You are on page 1of 24

LAPORAN PRESENTASI KASUS DOKTER INTERNSIP

LIMFADENITIS TB ANAK
Disusun untuk Memenuhi sebagian Syarat Program Dokter Indonesia

Oleh :

dr. Ridwan Baihaqi


Pembimbing:
dr. Fontanella Sp.A

Pendamping Wahana:
dr. Azharul Yusri, Sp. OG
dr. Aisah Bee

PROGRAM DOKTER INTERNSIP


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KEPULAUAN MERANTI
MERANTI
2015

ILUSTRASI KASUS

Identitas Pasien
Nama
Umur
Jenis kelamin
Alamat
Masuk RS
RM

: An.M
: 6 th
: Laki-laki
: Jl. Perumbi Banglas
: 26/10/2015 (Masuk Poli Anak)
: 05 62 36

Anamnesis (Alloanamnesis terhadap ibu pasien saat berkunjung kerumah tanggal


1/11/2015)
Keluhan Utama:
Benjolan pada leher sejak 7 bulan SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang
Sejak 7 bulan SMRS pasien mengeluh timbul benjolan pada daerah leher kanan
bagian bawah, ukuran sebesar biji jagung, bisa digerakkan, terasa kenyal, tidak nyeri,
awalnya benjolan satu buah, setelah beberapa bulan benjolan bertambah banyak
disekitar leher dan ada beberapa benjolan yang pecah mengeluarkan cairan seperti
nanah dan terasa nyeri. Tidak ada benjolan dirasakan di daerah ketiak dan lipat paha.
Pasien ada demam selama 1 bulan, demam berkurang dengan minum obat dan
kembali timbul lagi, demam tidak terus menerus, demam sering berulang, demam
tidak tinggi.
Pasien tidak ada batuk lama, batuk darah dan sesak nafas. Nafsu makan berkurang
dan berat badan tidak naik.
Pasien pernah tinggal serumah dengan penderita TB dengan hasil BTA yang tidak
diketahui pasien
Sejak 5 bulan SMRS pasien berobat ke puskesmas dan disarankan untuk ke RSUD
Meranti, pasien berobat ke poli anak dan dilakukan tes mantoux, pasien disuruh
kontrol lagi 2 hari, namun pasien tidak datang ke RSUD Meranti.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien tidak pernah menderita penyakit ini sebelumnya.
Riwayat penyakit keluarga
Ayah pasien minum obat TB selama 6 bulan saat umur pasien 5 tahun.
Riwayat orang tua
Ayah : Wiraswasta
Ibu : IRT
Riwayat Tumbuh kembang

Riwayat Tumbuh Kembang


Miring
Tengkurap
Duduk
Berjalan
Bicara kata

Usia
2 bulan
4 bulan
10 bulan
1 tahun
1,5 tahun

Riwayat Makan dan Minum

0-4 bulan
:
4-6 bulan
:
6 bulan-1 tahun
1 tahun- 2 tahun
2 tahun- sekarang

ASI OD + susu formula


ASI OD + susu formula + nasi tim
:
ASI OD dan nasi tim
: nasi biasa lunak + ASI OD
: nasi biasa

Riwayat Kehamilan
Pasien anak I dari II bersaudara
Lahir normal dengan dukun kampung, BBL tidak tahu
Selama hamil ibu periksa kehamilan teratur ke puskesmas
Selama hamil ibu pasien tidak pernah menderita penyakit tertentu, tidak merokok,
minum jamu maupun minum keras
Riwayat Imunisasi
Ibu pasien tidak tahu status imunisasi dan tidak ada bekas jaringan parut BCG di
lengan kanan atas pasien
Riwayat perumahan

Rumah tempat tinggal :

kamar kecil, ventilasi kurang, pencahayaan kurang.


Sumber air minum
:
air gallon isi ulang.
Sumber air MCK
:
air sumur cincin.
Buang air besar
:
di jamban, jarak 10 meter dari

sumber air.
Buang sampah :
dikumpulkan dibakar
Kesan lingkungan : kurang baik

rumah sewa, terbuat dari kayu,

Pemeriksaan Fisik
Kesadaran
: Komposmentis
Tekanan darah: 110/70 mmHg
Nadi
: 92 x/menit, teraba kuat, reguler
Nafas
: 20 x/menit
Suhu
: 36,70 c
2

Status Gizi
BB
TB
Kesan

:
: 16 Kg
: 110 cm
: - BB/TB = 80% (Mild malnutrion)
- BB/U = <80% (Moderete malnutrion)
Berdasarkan kurva CDC pasien tergolong Gizi Kurang, Berat badan seharusnya 20 Kg
Pemeriksaan Fisik
Kepala :
Mata : konjuntiva anemis (-/-)
Sklera ikterik (-)
Leher : Colli anterior
Inspeksi : - Pembesaran KGB Multiple colli dextra sinistra daerah I,II,III dan
IV
- Tampak ulkus di daerah II, III dan IV berbentuk oval, berbatas
tegas, bergaung, tepi tidak rata, secret seropurulen, tidak berbau,
terdapat skin bridge (+), kulit disekitar livide.
Palpasi : Teraba massa bulat berbenjol-benjol, konsistensi kenyal, tidak
terfiksir, tidak nyeri dengan ukuran > 1 cm

Mulut : Normal

Thoraks
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
murmur (-)
Abdomen
Inspeksi

: gerakan dada simetris, retraksi (-)


: vokal fremitus kanan=kiri
: sonor
: vesikuler, ronkhi (-), wheezing (-), Bunyi jantung normal,

: Perut tampak datar


3

Palpasi
: supel, Nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), hepar dan lien tidak
teraba, turgor baik
Perkusi
: timpani
Auskultasi
: bising usus (+) normal
Ekstremitas: Akral hangat, CRT < 2 detik

Pemeriksaan penunjang
Tes mantoux : terdapat indurasi bulat, permukaan rata, warna kemerahan dan ukuran
11 mm.

Rontgen thoraks : tampak limfadenopati perihiler kanan


Kesan : suspek limfadenitis TB

Diagnosis kerja
Limfadenitis TB + Skrofuloderma

Penatalaksanaan
Obat TB intensif diberikan selama 2 bulan :
INH 1x160 mg
4

Rifampisin 1x240 mg
Pirazinamid 1x480 mg
Vit B6 sirup 1x1 cth
Prognosis :
Quo ad vitam
: Bonam
Quo ad function
: Bonam
Quo ad kosmetikum : Malam
Pemeriksaan A njuran : FNAB

TINJAUAN PUSTAKA
I.

Definisi
Limfadenitis merupakan peradangan satu atau lebih kelenjar getah bening.
Limfade nitis tuberkulosa adalah tuberkulosis kelenjar getah bening yang terjadi

akibat infeksi primer atau disebabkan oleh penyebaran limfatik atau hematogenik
dari fokus infeksi primer di tempat lain dalam tubuh.1
Skrofuloderma merupakan TB kulit akibat penjalaran perkontinuitatum
dari kelenjer limfe dibawahnya yang terkena TB. Penyakit ini menyerang semua
usia mulai dari anak-anak, dewasa muda hingga orang tua.2
II.

Epidemiologi
Sekurang-kurangnya 200 anak di dunia meninggal setiap hari akibat TB,
70.000 anak meninggal setiap tahun akibat TB. Beban kasus TB anak di dunia
tidak diketahui karena kurangnya alat diagnostik yang child-friendly dan tidak
adekuatnya sistem pencatatan dan pelaporan kasus TB anak. Diperkirakan banyak
anak menderita TB tidak mendapatkan penatalaksanaan yang tepat dan benar
sesuai dengan ketentuan strategi DOTS. Kondisi ini akan memberikan
peningkatan dampak negatif pada morbiditas dan mortalitas anak. Data TB anak
di Indonesia menunjukkan proporsi kasus TB Anak di antara semua kasus TB
pada tahun 2010 adalah 9,4%, kemudian menjadi 8,5% pada tahun 2011 dan 8,2%
pada tahun 2012. Apabila dilihat data per provinsi, menunjukkan variasi proporsi
dari 1,8% sampai 15,9%. Hal ini menunjukan kualitas diagnosis TB anak masih
sangat bervariasi pada level provinsi. Kasus TB Anak dikelompokkan dalam
kelompok umur 0-4 tahun dan 5-14 tahun, dengan jumlah kasus pada kelompok
umur 5-14 tahun yang lebih tinggi dari kelompok umur 0-4 tahun. Kasus BTA
positif pada TB anak tahun 2010 adalah 5,4% dari semua kasus TB anak,
sedangkan tahun 2011 naik menjadi 6,3% dan tahun 2012 menjadi 6%.2

III.

Etiologi
Basil TB yang biasa menyebabkan penyakit pada manusia adalah
Mycobacterium tuberculosis, M. bovis dan M. africanum. Limfadenitis
tuberkulosa disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis. Mycobacterium
tuberculosis tergolong dalam famili Mycobactericeae dan ordo Actinomyceales.
Yang tergolong dalam Mycobacterium tuberculosae complex adalah : 1. M.
tuberculosae, 2. Varian Asian, 3. Varian African I, 4. Varian African II, 5. M.
bovis. Pembagian tersebut adalah berdasarkan secara epidemiologi.3
Basil TB adalah bakteri aerobik obligat berbentuk batang tipis lurus
berukuran sekitar 0,4 x 3 m dan tidak berspora. Mycobacteria termasuk
M.tuberculosis tidak dapat diwarnai dengan pewarnaan Gram dan hanya dapat
6

diwarnai dengan pewarnaan khusus serta sangat kuat mengikat zat warna tersebut
sehingga tidak dapat dilunturkan walaupun menggunakan asam alkohol, sehingga
dijuluki bakteri tahan asam. Pewarnaan Ziehl Neelsen biasanya digunakan untuk
menampakkan basil ini. Reservoir dari M.tuberculosis hanya pada manusia.
Penyebarannya dari manusia ke manusia melalui droplet dari saluran respirasi.4
IV.

Kelenjar limfe
Kelenjar limfe merupakan organ kecil yang terletak berderet-deret
sepanjang pembuluh limfe. Sekitar 75 buah kelenjar limfe terdapat pada setiap sisi
leher.

Gambar 1. Daerah kelenjar limfe leher5


Letak kelenjar limfe leher menurut Sloan Kattering Memorial Cancer Center
Classification dibagi dalam lima daerah penyebaran kelompok kelenjar, yaitu
daerah:5
I.
Kelenjar yang terletak di segitiga sub-mental dan submandibula
II.
Kelenjar yang terletak di 1/3 atas dan termasuk kelenjar limfe jugular
III.

superior, kelenjar digastrik dan kelenjar servikal posterior superior


Kelenjar limfa jugularis di antara bifurkasio karotis dan persilangan
M.omohioid

IV.
V.
V.

dengan

M.sternokleidomastoid

dan

batas

posterior

M.sternokleidomastoid.
Grup kelenjar di daerah jugularis inferior dan supraklavikula
Kelenjar yang berada di setiga posterior servikal.

Patogenesis
7

Paru merupakan port dentree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman TB
dalam percik renik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil (<5 m), akan
terhirup dan dapat mencapai alveolus.. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat
dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak
terjadi respons imunologis spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya,
tidak seluruhnya

dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat

menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB


yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang
tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam makrofag, dan
akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di
tempat tersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon.
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe
menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran
limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di
saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika
fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat
adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di
apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus
primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer (primary
complex).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda
dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang
diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa
inkubasi TB bervariasi selama 212 minggu, biasanya berlangsung selama 48
minggu. Selama masa inkubasi tersebut, kuman berkembang biak hingga
mencapai jumlah 103104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons
imunitas selular
Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah
terjadi. Setelah terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB
terbentuk, yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin
masih negatif. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi
8

baik, pada saat sistem imun selular berkembang, proliferasi kuman TB terhenti.
Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila
imunitas selular telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli
akan segera dimusnahkan oleh imunitas selular spesifik (cellular mediated
immunity, CMI).
Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya
akan mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi
setelah terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga
akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan
menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan
gejala sakit TB.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di paru
atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan
menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan
yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga
meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).
Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada
awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga
bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal
menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil (ballvalve mechanism). Obstruksi total dapat menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang
mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan
erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk
fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga
menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelektasis, yang sering disebut sebagai
lesi segmental kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat
terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman
menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut
menyebar secara limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen
langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh

tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut


sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini,
kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak
menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ
di seluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling
sering di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga
bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada
umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang),
demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan
fokus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB
apeks paru saat dewasa.2,4
Limfa nodus hilus, mediastinum, dan paratrakhea merupakan lokasi
penyebaran pertama dari parenkim paru. Kelenjar limfa supraklavikula terlibat
sebagai reflex dari aliran drainase paru. Jalur penyebaran basil tuberkel ke
kelenjar limfa leher berasal parenkim paru dimana paru kanan dan lobus inferior
paru kiri biasanya mengalirkan drainase ke kelenjar limfa supraklavikula kanan
dan kemudian dialirkan ke kelenjar limfa leher lainnya.
Pada tahap inisial akan terjadi multiplikasi progresif dari M.tuberculosis di
kelenjar limfe dan menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang
memberi gambaran hiperemis, bengkak, nekrosis, dan caseasi pada bagian tengah
benjolan. Hal ini diikuti dengan proses inflamasi, pembengkakan yang progresif
dan konsolidasi dengan kelenjar limfe sekitarnya. Bagian tengah dari benjolan
menjadi lunak dan material caseosus rupture ke jaringan disekitarnya atau ke kulit
membentuk sinus.2,4
Jones dan Campbell mengklasifikasikan limfadenitis tuberkulosa menjadi
lima tahap, yaitu:
a. Tahap I, pembesaran kelenjar, padat, mobile, kelenjar limfe tidak
menunjukkan gambaran spesifik
b. Tahap II, nodus membesar dan kemerahan, terfiksir dengan jaringan di
sekitarnya diikuti periadenitis
c. Tahap III, perlunakan di tengah benjolan diikuti dengan pembentukan abses
d. Tahap IV, terbentuk abses collar stud
e. Tahap V, terbentuk traktus sinus
10

Skrofuloderma timbul akibat penjalaran per kontinuitatum dari organ di bawah


kulit yang telah diserang penyakit tuberkulosis, yang tersering berasal dari kelenjar
getah bening, juga dapat berasal dari sendi dan tulang. Oleh karena itu tempat
predileksinya pada tempat-tempat yang banyak didapati kelenjar getah bening
superfisialis, yang tersering pada leher, kemudian disusul di ketiak dan yang terjarang
di lipatan paha.3

Gambar 2 : Alur Patogenesis Tuberkulosis2


VI.

Diagnosis

11

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaan penunjang.

1. Anamnesis2
Pasien datang dengan keluhan timbulnya benjolan di leher baik tunggal ataupun
multiple, benjolan dirasakan tidak nyeri, semakin membesar atau persisten.
Selain itu perlu ditanyakan :
a. Anak yang kontak erat dengan pasien TB menular. Yang dimaksud dengan
kontak erat adalah anak yang tinggal serumah atau sering bertemu dengan pasien
TB menular. Pasien TB menular adalah terutama pasien TB yang hasil
pemeriksaan sputumnya BTA positif dan umumnya terjadi pada pasien TB
dewasa.
b. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik dengan
adekuat atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya perbaikan gizi
yang baik.
c. Demam lama (2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan
demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam umumnya
tidak tinggi. Keringat malam saja bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak
apabila tidak disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum lain.
d. Batuk lama 3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau
intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat
disingkirkan.
e. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh
(failure to thrive).
f. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
g. Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan pengobatan
baku diare.
2. Pemeriksaan fisik2,4
Pada infeksi oleh mycobacterium, pembesaran kelenjar limfe berjalan
berminggu-minggu hingga berbulan-bulan, namun dapat juga terjadi secara
12

mendadak. Tahap dini pemeriksaan kelenjar limfe teraba massa keras dengan
batas tegas, tidak sakit dan dapat digerakkan. Pada tahap selanjutnya dapat
ditemukan pembesaran kelenjar limfe yang saling berlengketan satu sama lain.
Kelenjar limfe ini akan membentuk suatu abses dingin. Lesi biasanya unilateral.
Bila mengenai kulit, kulit akan meradang, memerah, bengkak dan mungkin
sedikit nyeri. Kulit akhirnya menipis dan jebol, mengeluarkan bahan seperti keju.
Tukak yang terbentuk akan berwarna pucat dengan tepi yang membiru disertai
secret yang jernih. Tukak ini dapat sembuh dan meninggalkan jaringan parut
yang tipis dan berbintil-bintil. Suatu saat tukak meradang lagi dan mengeluarkan
bahan seperti keju lagi, demikian berulang-ulang. Kulit seperti ini dinamakan
skrofuloderma.Kelenjar limfe yang paling sering terkena adalah kelenjar limfe
servikal pada segitiga posterior servikal dan supraklavikula.

Gambar 3. Limfadenitis tuberkulosa yang sudah menjadi skrofuloderma


3. Pemeriksaan penunjang2,4
a. Tes tuberculin
Tes intradermal (tes mantoux) dapat menunjukkan reaksi hipersensitivitas tipe
lambat melawan agen mycobacterium. Tes akan positif 2-10 minggu setelah
infeksi mycobacterium. Tes ini dibaca setelah 48-72 jam setelah suntikan.
Reaksi positif bila terdapat indurasi >10mm yang menandakan adanya infeksi
M.tuberculosis. Reaksi intermediet (indurasi 5-9mm) dapat terjadi setelah
vaksinasi BCG, infeksi M.tuberculosis dan non tuberculosis mycobacterium.
Reaksi negatif (indurasi <4mm) menandakan kurangnya sensitisasi tuberculin.
75% pasien dengan limfadenitis tuberkulosa mempunyai hasil tes tuberculin
yang positif.
13

Tes dapat positif palsu pada mereka yang telah divaksinasi BCG, sedangkan
negative palsu terjadi pada orang yang menderita AIDS, malnutrisi, dan pasien
yang memakai steroid.

Gambar 3. Hasil tes tuberculin


b. Pemeriksaan mikrobiologi
Sediaan mikroskopis untuk identifikasi kuman BTA dapat dilakukan dengan
pewarnaan Ziehl Neelsen. Pengambilan sampel pemeriksaan dapat diperoleh
melalui drainase sinus atau Fine Needle aspiration (FNA).

Gambar 4. Kuman BTA (mikroskopis)13


Kultur mycobacterium merupakan alat diagnostik untuk menentukan
limfadenitis tuberkulosa, namun hasil kultur yang negatif seharusnya tidak
menghilangkan kemungkinan terhadap penyakit ini. Adanya 10.000 basil per
millimeter kubik menunjukkan hasil kultur yang positif. Dibutuhkan beberapa
minggu untuk melihat hasil kultur.3,8,10
c. Pemeriksaan histopatologi
Pemeriksaan histopatologi adalah salah satu pemeriksaan yang cukup penting
untuk menegakkan diagnosis limfadenitis mikrobakterial. Pada pemeriksaan
ditemukan tuberkel yang terdiri dari beberapa unsur yakni sel epiteloid yang
berinti lonjong dengan batas sel yang tidak jelas. Unsur kedua adalah sel datia

14

lagerhans/giant

cell,

sebuah

sel

yang

besar

berinti

banyak.

Basil

M.tuberculosis dapat ditemukan di antara sel epiteloid, kadang dalam sel


datia.3,8,10

Gambar 5. Sel langerhans14


d. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan penunjang lain yang cukup penting adalah pemeriksaan foto
toraks. Namun gambaran foto toraks pada TB tidak khas karena juga dapat
dijumpai pada penyakit lain. Dengan demikian pemeriksaan foto toraks saja
tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis TB, kecuali gambaran TB milier.
Secara umum, gambaran radiologis yang menunjang TB adalah ditemukan
pembesaran

kelenjar

hilus

atau

paratrakeal

dengan/tanpa

infiltrat

(visualisasinya selain dengan foto toraks AP, harus disertai foto toraks lateral),
konsolidasi segmental/lobar, efusi pleura, milier, atelektasis, kavitas kalsifikasi
dengan infiltrate, tuberkuloma

15

Gambar 3 : Sistem scoring gejala dan pemeriksaan penunjang TB2


VII. Diagnosis banding
Beberapa diagnosis banding dari benjolan di leher, yaitu:
- Congenital: benjolan yang terdapat di lateral leher misalnya kista brankial dan
-

higroma kistik, benjolan di sentral leher seperti kista duktus tiroglosus.


Infeksi: adenitis servikal adalah penyebab terbanyak benjolan di leher akibat
inflamasi, ditandai dengan benjolan yang terasa sakit, limfadenitis

16

mikobakterium, infeksi jamur seperti actinomycosis dapat juga menyebabkan


-

benjolan di leher.
Trauma: hematoma akibat benturan
Neoplasma: dapat jinak seperti lipoma, hemangioma, neuroma, dan fibroma.
Tumbuh dengan lambat dan jarang invasi. Sebagian besar didiagnosis pada
saat eksisi bedah. Maligna seperti karsinoma tiroid, karsinoma nasofaring,
karsinoma laring, limfoma, dan sarcoma.3

VIII. Tatalaksana TB Anak2,4


Tatalaksana medikamentosa TB Anak terdiri dari terapi (pengobatan) dan
profilaksis (pencegahan). Terapi TB diberikan pada anak yang sakit TB, sedangkan
profilaksis TB diberikan pada anak yang kontak TB (profilaksis primer) atau anak yang
terinfeksi TB tanpa sakit TB (profilaksis sekunder).
Beberapa hal penting dalam tatalaksana TB Anak adalah:
Obat TB diberikan dalam paduan obat tidak boleh diberikan sebagai monoterapi.
Pemberian gizi yang adekuat.
Mencari penyakit penyerta, jika ada ditatalaksana secara bersamaan.

A. Paduan OAT Anak


OAT diberikan dalam bentuk kombinasi minimal 3 macam obat untuk mencegah
terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman intraseluler dan ekstraseluler
Waktu pengobatan TB pada anak 6-12 bulan. pemberian obat jangka panjang selain
untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
kekambuhan
Pengobatan TB pada anak dibagi dalam 2 tahap:
o Tahap intensif, selama 2 bulan pertama. Pada tahap intensif, diberikan minimal 3
macam obat, tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya
penyakit.
o Tahap Lanjutan, selama 4-10 bulan selanjutnya, tergantung hasil pemeriksaan
bakteriologis dan berat ringannya penyakit.
Selama tahap intensif dan lanjutan, OAT pada anak diberikan setiap hari untuk
mengurangi ketidakteraturan minum obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak
diminum setiap hari.

17

Paduan OAT untuk anak yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian

Tuberkulosis di Indonesia adalah:


o Kategori Anak dengan 3 macam obat: 2HRZ/4HR
o Kategori Anak dengan 4 macam obat: 2HRZE(S)/4-10HR
Paduan OAT Kategori Anak diberikan dalam bentuk paket berupa obat Kombinasi
Dosis Tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 3 jenis
obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini
dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
OAT untuk anak juga harus disediakan dalam bentuk OAT kombipak untuk
digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.

Tabel 1 : Obat OAT yang biasa dipakai dan dosisnya2

B. Kombinasi dosis tetap OAT KDT (FDC=Fixed Dose Combination)


Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan keteraturan
minum obat, paduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/ FDC. Satu paket
dibuat untuk satu pasien untuk satu masa pengobatan. Paket KDT untuk anak berisi
obat fase intensif, yaitu rifampisin (R) 75mg, INH (H) 50 mg, dan pirazinamid (Z)

18

150 mg, serta obat fase lanjutan, yaitu R 75 mg dan H 50 mg dalam satu paket. Dosis
yang dianjurkan dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2 : Dosis Kombinasi Pada TB Anak2


C. Tatalaksana pencegahan dengan Isoniazid
Sekitar 50-60% anak yang tinggal dengan pasien TB paru dewasa dengan BTA
sputum positif, akan terinfeksi TB juga. Kira-kira 10% dari jumlah tersebut akan
mengalami sakit TB. Infeksi TB pada anak kecil berisiko tinggi menjadi TB berat
(misalnya TB meningitis atau TB milier) sehingga diperlukan pemberian
kemoprofilaksis untuk mencegah terjadinya sakit TB.

Tabel 3 : Pemberian Isoniazid2


Keterangan
Obat yang diberikan adalah INH (Isoniazid) dengan dosis 10 mg/ kgBB (7-15
mg/kg) setiap hari selama 6 bulan.
Setiap bulan (saat pengambilan obat Isoniazid) dilakukan pemantauan terhadap
adanya gejala TB. Jika terdapat gejala TB pada bulan ke 2, ke 3, ke 4, ke 5 atau ke 6,
maka harus segera dievaluasi terhadap sakit TB dan jika terbukti sakit TB, pengobatan
harus segera ditukar ke regimen terapi TB anak dimulai dari awal

19

Jika rejimen Isoniazid profilaksis selesai diberikan (tidak ada gejala TB selama 6
bulan pemberian), maka rejimen isoniazid profilaksis dapat dihentikan.
Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, perlu diberikan BCG
setelah pengobatan profilaksis dengan INH selesai.
PEMBAHASAN

Seorang anak laki-laki berusia 6 tahun datang ke poli anak dengan keluhan benjolan
pada leher yang tidak kunjung. Riwayat perjalanan penyakit dimulai saat 7 bulan yang lalu,
awalnya timbul benjolan dileher sebesar biji jagung, tidak nyeri dan teraba kenyal. Benjolan
semakin bertambah besar dalam kurun waktu 7 bulan dan sebagian benjolan menjadi pecah
mengeluarkan nanah dan terasa nyeri. Nafsu makan yang menurun dan berat badan sulit naik,
pernah demam hilang timbul selama 1 bulan. Riwayat TB dalam keluarga berupa ayah pasien
yang minum obat TB selama 6 bulan, status imunisasi pasien yang tidak jelas dan tidak ada
bekas suntikan BCG di lengan kanan atas. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesan gizi mild
malnutrion, pada daerah leher terdapat multiple limfadenopati dan sebagian benjolan yang
telah menjadi ulkus. Pada tes mantoux menunjukkan hasil positif dan rontgen thoraks
menunjukkan kesan limfadenitis TB.
Menurut Pedoman Nasional TB Anak, kriteria penegakan TB anak dengan
menggunakan skoring TB anak. Sistem scoring tersebut dikembangkan melalui tiga tahap
penelitian oleh IDAI, Kemenkes dan WHO dan disepakati sebagai salah satu cara untuk
mempermudah penegakan diagnosis TB anak. Adapun scoring TB anak yaitu adanya kontak
dengan pasien TB, uji tuberculin positif, keadaan gizi yang kurang atau buruk, demam yang
tidak diketahui penyebabnya, batuk kronik, pembesaran kelenjer limfe colli, aksila atau
inguinal, pembengkakan tulang sendi dan foto thoraks mendukung TB. Pada pasien dari
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang menunjukkan scoring TB 9.
Dimana pada pasien terdapat kontak dengan penderita TB, mantoux positif, gizi mild
malnutrion, demam selama 1 bulan yang hilang timbul, adanya pembesaran kelenjer limfe
colli dan rontgen thoraks dengan kesan limfadenitis TB.2,4
Pada pasien ditemukan adanya pembesaran kalenjer limfe daerah leher, ini merupakan
bentuk TB ekstrapulmonal pada anak yang sering terjadi dan terbanyak pada kelenjer limfe
leher. Kebanyakan kasus dapat timbul 6-9 bulan setelah infeksi awal M.Tuberkulosis, tetapi
20

beberapa kasus dapat timbul bertahun-tahun. Lokasi pembesaran kelenjer limfe yang sering
adalah di servikal anterior, submandibula, supraklavikula, inguinal dan aksila. Kelenjar limfe
biasanya membesar perlahan-lahan pada stadium awal penyakit. Pembesaran kelenjar limfe
bersifat kenyal, tidak keras, discrete, dan tidak nyeri. Pada perabaan, kelenjar sering terfiksasi
pada jaringan di bawah atau di atasnya. Limfadenitis ini paling sering terjadi unilateral, tetapi
infeksi bilateral dapat terjadi karena pembuluh limfatik di daerah dada dan leher-bawah
saling bersilangan. Uji tuberkulin biasanya menunjukkan hasil positif. Diagnosis definitif
memerlukan pemeriksaan histologis dan bakteriologis yang diperoleh melalui biopsi, yang
dapat dilakukan di fasilitas rujukan dan pada pasien akan direncanakan biopsi untuk
selanjutnya dilakukan pemeriksaan histopatologis.2,4
Adanya kelenjer yang pecah dan menjadi ulkus menunjukkan telah terjadi
manifestasi TB kulit dan yang paling khas adalah skrofuloderma. Skrofuloderma terjadi
akibat penjalaran perkontinuitatum dari kelenjar limfe yang terkena TB. Manifestasi klinis
skrofuloderma sama dengan gejala umum TB anak. Skrofuloderma biasanya ditemukan di
leher dan wajah, dan di tempat yang mempunyai kelompok kelenjar limfe, misalnya di daerah
parotis, submandibula, supraklavikula, dan daerah lateral leher. Lesi awal skrofuloderma
berupa nodul subkutan atau infiltrat subkutan dalam yang keras (firm), berwarna merah
kebiruan, dan tidak menimbulkan keluhan (asimtomatik). Infiltrat kemudian meluas/
membesar dan menjadi padat kenyal (matted and doughy). Selanjutnya mengalami pencairan,
fluktuatif, lalu pecah (terbuka ke permukaan kulit), membentuk ulkus berbentuk linear atau
serpiginosa, dasar yang bergranulasi dan tidak beraturan, dengan tepi bergaung (inverted),
berwarna kebiruan, disertai fistula dan nodul granulomatosa yang sedikit lebih keras.
Kemudian terbentuk jaringan parut/sikatriks berupa pita/benang fibrosa padat, yang
membentuk jembatan di antara ulkus-ulkus atau daerah kulit yang normal. Pada pemeriksaan,
didapatkan berbagai bentuk lesi, yaitu plak dengan fibrosis padat, sinus yang mengeluarkan
cairan, serta massa yang fluktuatif.2,4
Tatalaksana pada pasien sudah tepat dimana pada pasien dengan limfadenitis TB dan
skrofuloderma tergolong TB ringan sehingga pengobatan yang diberikan pada fase intensif
berupa 2RHZ dan pada fase lanjutan 4HR. Pada fase intensif pasien TB anak kontrol tiap
minggu, untuk melihat kepatuhan, toleransi dan kemungkinan adanya efek samping obat.
Pada fase lanjutan pasien kontrol tiap bulan. Setelah diberi OAT selama 2 bulan, respon
pengobatan pasien harus dievaluasi. Respon pengobatan dikatakan baik apabila gejala klinis
berkurang, nafsu makan meningkat, berat badan meningkat, demam menghilang, dan batuk
21

berkurang. Apabila respon pengobatan baik maka pemberian OAT dilanjutkan sampai dengan
6 bulan. Sedangkan apabila respon pengobatan kurang atau tidak baik maka pengobatan TB
tetap dilanjutkan tetapi pasien harus dirujuk ke sarana yang lebih lengkap.
Setelah pemberian obat selama 6 bulan, OAT dapat dihentikan dengan melakukan
evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang lain seperti foto toraks. Pemeriksaan
tuberkulin tidak dapat digunakan sebagai pemeriksaan untuk pemantauan pengobatan, karena
uji tuberkulin yang positif masih akan memberikan hasil yang positif. Meskipun gambaran
radiologis tidak menunjukkan perubahan yang berarti, tetapi apabila dijumpai perbaikan
klinis yang nyata, maka pengobatan dapat dihentikan dan pasien dinyatakan selesai.2

22

DAFTAR PUSTAKA

1. Dorland WA. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC,
2006.
2. Kemenkes, 2013, Petunjuk Teknis Manajemen TB Anak
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2007.
4. UKK Respirologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008, Pedoman Nasional
Tuberkulosis Anak, edisi ke2 dengan revisi
5. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 2008.

23

You might also like