You are on page 1of 20

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa terpanjatkan ke Hadirat-Nya, atas berkat, rahmat, dan bimbinganNya, penulis telah dapat menyelesaikan Tugas ini.
Penulis menyadari bahwa selama dalam penyusunan tugas ini penulis banyak mendapatkan
bantuan dan dorongan baik moril maupun materil dari berbagai pihak, semoga Tuhan melipat
gandakan kebaikannya. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sedalamdalamnya dan sekaligus penghargaan kepada semua pihak yang telah membantu
terselesaikannya tugas ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tugas masih banyak kekurangan baik dari segi
cara penulisan maupun materi kajiannya. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik
ataupun masukan yang bersifat membangun untuk perbaikan tugas kedepan.
Akhir kata, semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan semua pihak dan
semoga Allah SWT senantiasa memberikan petunjuk, ilmu yang bermanfaat, serta ridha-Nya
kepada kita. Amin Ya Rabbal aalamin.

Bandung, September 2010

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indikasi keberhasilan otonomi daerah adalah adanya peningkatan pelayanan dan
kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, kehidupan demokrasi yang semakin maju,
keadilan, pemerataan, serta adanya hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta
antar daerah. Keadaan tersebut hanya akan tercapai apabila daerah dapat mengelola
pemerintahannya dengan diantaranya adalah Administrasi Keuangan. Sistem pengelolaan
Keuangan yang baik akan memberikan manfaat pada efektivitas pelayanan public dengan
pemberian pelayanan yang tepat sasaran, meningkatkan mutu pelayanan publik, biaya
pelayanan yang murah karena hilangnya inefisiensi dan penghematan dalam penggunaan
resources, alokasi belanja yang lebih berorientasi pada kepentingan publik, dan
meningkatkan public costs awareness sebagai akar pelaksanaan pertanggung jawaban
publik.
Pemberian otonomi yang luas dan desentralisasi yang sekarang ini dinikmati
pemeirntah daerah Kabupaten dan Kota, memberikan jalan bagi pemerintah daerah untuk
melakukan pembaharuan dalam sistem pengelolaan keuangan daerah dan anggaran
daerah. Kemunculan UU No. 22 dan 25 tahun 1999 telah melahirkan paradigma baru
dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Dalam pengelolaan keuangan
daerah, paradigma baru tersebut berupa tuntutan untuk melakukan pengelolaan keuangan
daerah yang berorientasi pada kepentingan publik (public oriented). Hal tersebut meliputi
tuntutan kepada pemerintah daerah untuk membuat laporan keuangan dan transparansi
informasi anggaran kepada publik.
B.

Perumusan Masalah

Belajar dari pengalaman internasional, pelaksanaan otonomi daerah tidak selalu


harus dibiayai oleh pendapatan yang berasal dari daerah itu sendiri. Namun, secara pasti
dapat dikatakan bahwa apabila semakin maju industri suatu negara maka pelaksanaan
demokrasi akan semakin baik. Penyelenggaraan pemerintahan yang semakin demokratis
akan tercermin dalam pelaksanaan otonomi daerah yang semakin besar. Pelaksanaan
otonomi yang semakin besar tersebut dari aspek keuangan tercermin dari expenditure
ratio yang cenderung semakin besar. Dengan demikian, keberhasilan pelaksanaan
otonomi daerah dalam suatu negara tidak selalu harus diukur dari besarnya peranan PAD
untuk membiayai seluruh aktivitas pemerintahan daerah.
Sejalan dengan pelaksanaan desentralisasi fiskal, kebijakan di bidang pajak daerah
dan retribusi daerah (PDRD) juga perlu diatur dengan Undang-undang sesuai dengan

amanat UUD 1945. Untuk menghindari high cost economy, telah diterbitkan UU Nomor
18 Tahun 1997 tentang PDRD, kemudian sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah,
telah direvisi dengan UU Nomor 34 Tahun 2000 tentag PDRD. Prinsip-prinsip yang
dianut dalam UU 34/2000 bukan berarti dimaksudkan untuk menghambat pelaksanaan
otonomi daerah tetapi implementasi sistem perpajakan dan retribusi yang baik dan
bersifat universal.
Sesuai dengan UU 25/1999, perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah
dilakukan melalui Dana Perimbangan (DP) yang terdiri dari:
1. Bagian Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Penghasilan (PPh)
Perseorangan, dan Sumber Daya Alam (SDA);
2. Dana Alokasi Umum (DAU);
3. Dana Alokasi Khusus(DAK).
Pelaksanaan otonomi Daerah secara efektif telah dimulai sejak Januari 2001. Dari sisi
keuangan negara hal tersebut telah membawa konsekuensi kepada perubahan peta
pengelolaan fiskal yang cukup mendasar. Sebagaimana diketahui dalam APBN tahun
2001, total dana yang didaerahkan melalui Dana Perimbangan (DP) adalah sebesar
Rp81,67 triliun.
Pembayaran tunggakan pinjaman Pemda dan BUMD pada dasarnya merupakan
kewajiban daerah sebagai pihak yang memperoleh manfaat dari pinjaman tersebut.
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Menjelaskan pengertian administrasi keuangan daerah, hubungan keuangan
daerah dengan keuangan pusat, serta pengurusan keuangan daerah
2. Menjelaskan pengertian APBD, fungsi dan prinsip anggaran daerah, struktur
APBD, sumber-sumber penerimaan daerah, belanja daerah, serta pembiayaan
daerah
3. Memahami siklus anggaran, khususnya proses penyusunan APBD, mulai dari
penyusunan rancangan hingga penetapan APBD
4. Memahami proses pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan
pertanggungjawaban APBD
5. Menjelaskan pengertian penggantian kerugian daerah.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Keuangan Daerah
Pengertian keuangan daerah sebagaimana dimuat dalam penjelasan pasal 156 ayat
1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah sebagai
berikut :
Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai
dengan uang dan segala sesuatu berupa uang dan barang yang dapat dijadikan milik
daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Menurut UU No. 17 tahun 2003 Keuangan Daerah/Negara adalah semua dan
kewajiban Daerah/Negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik
berupa uang maupun berupa barang yang dapay dijadikan milik negara/daerah
berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Adapun ruang lingkup keuangan daerah meliputi:
1. hak daerah untuk
memungut
pajak daerah dan
retribusi daerah serta
melakukan pinjaman;
2. kewajiban daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah dan
membayar tagihan pihak ketiga;
3. penerimaan daerah;
4. pengeluaran daerah;
5.
kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang,
surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan
uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan daerah; dan
6. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah daerah dalam
penyelenggaraan tugas pemerintahan daerahdan/atau kepentingan umum.
Rangka

1. Sistem Informasi Keuangan Daerah


Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) adalah suatu fasilitas yang
diselenggarakan oleh Menteri Keuangan untuk mengumpulkan, melakukan validasi,
mengolah, menganalisis data, dan menyediakan informasi keuangan daerah dalam rangka
merumuskan kebijakan dalam pembagian dana perimbangan, evaluasi kinerja keuangan
daerah, penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN)
serta memenuhi kebutuhan lain, seperti statistik keuangan negara.
SIKD ini diselenggarakan oleh pemerintah pusat. Sumber informasi bagi sistem
informasi keuangan daerah terutama adalah laporan informasi APBD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) UU Nomor 25 Tahun 1999, yaitu: informasi mengenai

pengelolaan keuangan daerah dan informasi mengenai kinerja keuangan daerah dari segi
efisiensi dan efektivitas keuangan dalam rangka desentralisasi.
2. Tujuan penyelenggaraan SIKD adalah:
a. Membantu Menteri Keuangan dalam merumuskan kebijakan keuangan daerah;
b. Membantu menyediakan data dan informasi kepada Sekretariat Bidang
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (PKPD) pacla Dewan Pertimbangan
Otonomi Daerah;
c. Membantu Menteri Keuangan dan instansi terkait IainnYa dalam melakukan
evaluasi kinerja keuangan daerah, penyusunan RAPBN, dan kebutuhan lain
seperti statistik keuangan negara;
d. Membantu pemerintah daerah dalam menetapkan kebijakar keuangan dan
menyusun Rancangan Anggaran Pendapatan dar Belanja Daerah (RAPBD),
pemerintahan, dan pembangunan di Daerah.
e.
B. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah selanjutnya disingkat APBD adalah
suatu rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang disetujui oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (UU No. 17 Tahun 2003 pasal 1 butir 8 tentang Keuangan
Negara). Semua Penerimaan Daerah dan Pengeluaran Daerah harus dicatat dan dikelola
dalam APBD. Penerimaan dan pengeluaran daerah tersebut adalah dalam rangka
pelaksanaan tugas-tugas desentralisasi.
Sedangkan penerimaan dan pengeluaran yang berkaitan dengan pelaksanaan
Dekonsentrasi atau Tugas Pembantuan tidak dicatat dalam APBD. APBD merupakan
dasar pengelolaan keuangan daerah dalam satu tahun anggaran. APBD merupakan
rencana pelaksanaan semua Pendapatan Daerah dan semua Belanja Daerah dalam rangka
pelaksanaan Desentralisasi dalam tahun anggaran tertentu. Pemungutan semua
penerimaan Daerah bertujuan untuk memenuhi target yang ditetapkan dalam APBD.
Demikian pula semua pengeluaran daerah dan ikatan yang membebani daerah dalam
rangka pelaksanaan desentralisasi dilakukan sesuai jumlah dan sasaran yang ditetapkan
dalam APBD. Karena APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah, maka
APBD menjadi dasar pula bagi kegiatan pengendalian, pemeriksaan dan pengawasan
keuangan daerah.
1. Fungsi-Fungsi Anggaran Daerah
Berbagai fungsi APBN/APBD sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 3 ayat (4) UU
No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yaitu :
a. Fungsi Otorisasi
Anggaran daerah merupakan dasar untuk melaksanakan pendapatan dan
belanja pada tahun yang bersangkutan.
b. Fungsi Perencanaan

Anggaran daerah merupakan pedoman bagi


merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.
c.

manajemen

dalam

Fungsi Pengawasan

Anggaran daerah menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan


penyelenggaraan pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan.
d.

Fungsi Alokasi

Anggaran daerah diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan


pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas
perekonomian.
e.

Fungsi Distribusi

Anggaran daerah harus mengandung arti/ memperhatikan rasa keadilan


dan kepatutan
f. Fungsi Stabilisasi
Anggaran daerah harus mengandung arti/ harus menjadi alat untuk
memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian.
2. Prinsip-Prinsip Anggaran Daerah
Prinsip-prinsip dasar (azas) yang berlaku di bidang pengelolaan Anggaran Daerah
yang berlaku juga dalam pengelolaan Anggaran Negara / Daerah sebagaimana bunyi
penjelasan dalam Undang Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yaitu :
a. Kesatuan
Azas ini menghendaki agar semua Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah
disajikan dalam satu dokumen anggaran.
b. Universalitas
Azas ini mengharuskan agar setiap transaksi keuangan ditampilkan secara
utuh dalam dokumen anggaran.
c. Tahunan
Azas ini membatasi masa berlakunya anggaran untuk suatu tahun tertentu
d. Spesialitas
Azas ini mewajibkan agar kredit anggaran yang disediakan terinci secara
jelas peruntukannya.

e. Akrual
Azas ini menghendaki anggaran suatu tahun anggaran dibebani untuk
pengeluaran yang seharusnya dibayar, atau menguntungkan anggaran untuk
penerimaan yang seharusnya diterima, walaupun sebenarnya belum dibayar atau
belum diterima pada kas
f. Kas
Azas ini menghendaki anggaran suatu tahun anggaran dibebani pada saat
terjadi pengeluaran/ penerimaan uang dari/ ke Kas Daerah Ketentuan mengenai
pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual sebagaimana
dimaksud dalam pasal 1 angka 13, 14, 15 dan 16 dalam UU Nomor 17 Tahun
2003, dilaksanakan selambatlambatnya dalam 5 (lima) tahun. Selama pengakuan
dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual belum dilaksanakan,
digunakan pengakuan dan pengukuran berbasis kas.
3.

Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah


Struktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari:
a. Pendapatan Daerah
Pendapatan daerah meliputi semua penerimaan uang melalui Rekening
Kas Umum Daerah, yang menambah ekuitas dana lancar, yang merupakan hak
daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak perlu dibayar kembali oleh Daerah.
Pendapatan daerah terdiri atas:

Pendapatan Asli Daerah (PAD);


Dana Perimbangan; dan
Lain-lain pendapatan daerah yang sah.

Pendapatan daerah, selain PAD dan Dana Perimbangan, adalah Lain-lain


Pendapatan Daerah yang Sahyang meliputi hibah, dana darurat, dan lain-lain
pendapatan yang ditetapkan oleh pemerintah. Hibah yang merupakan bagian dari
Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah merupakan bantuan berupa uang, barang,
dan/atau jasa yang berasal dari pemerintah, masyarakat, dan badan usaha dalam
negeri atau luar negeri yang tidak mengikat.

b. Belanja Daerah
Komponen berikutnya dari APBD adalah Belanja Daerah. Belanja daerah
meliputi semua pengeluaran dari Rekening Kas Umum Daerah yang mengurangi
ekuitas dana lancar, yang merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun
anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh Daerah.

Belanja daerah dipergunakan dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan


yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari urusan
wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan.
Belanja daerah diklasifikasikan menurut organisasi, fungsi, program dan
kegiatan, serta jenis belanja. Klasifikasi belanja menurut organisasi disesuaikan
dengan susunan organisasi pemerintahan daerah.

C. Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)


APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 (satu) tahun
anggaran terhitung mulai tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. APBD
disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan
pendapatan daerah. Dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, pemerintah
melaksanakan kegiatan keuangan dalam siklus pengelolaan anggaran.
Pada dasarnya, siklus anggaran terdiri atas empat tahap, yaitu:
1. Tahap persiapan dan penyusunan anggaran;
2. Tahap ratifikasi;
3. Tahap implementasi; dan
4. Tahap pelaporan dan evaluasi.

a.

Tahap Persiapan dan Penyusunan Anggaran (Budget Preparation)

Pada tahap persiapan dan penysuunan anggaran dilakukan taksiran pengeluaran


atas dasar taksiran pendapatan yang tersedia. Terkait dengan masalah tersebut, yang perlu
diperhatikan adalah sebelum menyetujui taksiran pengeluaran, hendaknya terlebih
dahulku dilakukan penaksiran pendapatan secara lebih akurat. Selain itu, harus disadari
adanya masalah yang cukup berbahaya jika anggaran pendapatan diestimasi pada saat
bersamaan dengan pembuatan keputusan tentang anggaran pengeluaran.
Dalam persoalan estimasi, yang perlu mendapat perhatian adalah terdapatnya
faktor uncertainty(tingkat ketidakpastian) yang cukup tinggi. Oleh sebab itu manajer
keuangan publik harus memahami betul dalam menentukan besarnya suatu mata
anggaran. Besarnya suatu mata anggaran sangat tergantung pada teknik dan sistem
anggaran yang digunakan. Besarnya mata anggaran pada suatu anggaran yang
menggunakan line-item budgeting. Akan berbeda pada performance budgeting,
input-output budgeting, program budgeting, atau zero based budgeting.
b. Tahap Ratifikasi Anggaran
Tahap berikutnya, adalah budget ratification. Tahap ini merupakan tahap yang
melibatkan proses politik yang cukup rumit dan cukup berat. Pimpinan eksekutif (kepala

daerah) dituntut tidak hanya memiliki managerial skill namun juga harus
mempunyai political skill, salesmanship, dan coalition building yang memadai,
integritas dan kesiapan mental yang tinggi dan eksekutif sangat penting dalam tahap ini.
Hal tersebut penting karena dalam tahap ini pimpinan eksekutif harus mempunyai
kemampuan untuk menjawab dan memberikan argumentasi yang rasional atas segala
pertanyaan-pertanyaan dan bantahan-bantahan dari pihak legislatif.

c.

Tahap Pelaksanaa Anggaran (Budget Implementation)

Setelah anggaran disetujui oleh legislatif, tahap berikutnya adalah pelaksanaan


anggaran. Dalam tahap ini, hal terpenting yang harus diperhatikan oleh manajer keuangan
publik adalah dimilikinya sistem (informasi) akuntansi dan sistem pengendalian
manajemen. Manajer keuangan publik dalam hal ini bertanggung jawab untuk
menciptakan sistem akuntansi yang memadai dan handal untuk perencanaan dan
pengendalian anggaran yang telah disepakati, dan bahkan dapat diandalkan untuk tahap
penyusunan anggaran periode berikutnya. Sistem akuntansi yang digunakan hendaknya
juga mendukung pengendalian anggaran.

d. Tahap Pelaporan dan Evaluasi Anggaran


Tahap terakhir dari siklus anggaran asalah pelaporan dan evaluasi anggaran. Tahap
persiapan, ratifikasi, dan implementasi anggaran terkait dengan aspek operasional
anggaran, sedangkan tahap pelaporan dan evaluasi terkait dengan aspek akuntabilitas.
Apabila pada tahap implementasi telah didukung dengan sistem akuntansi dan sistem
pengendalian manajemen yang baik, maka pada tahap pelaporan dan evaluasi anggaran
biasanya tidak akan menemui banyak masalah.
Penyusunan APBD berpedoman kepada Rencana Kerja Pemerintah Daerah dalam
rangka mewujudkan pelayanan kepada masyarakat untuk tercapainya tujuan bernegara.
APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD ditetapkan setiap
tahun dengan peraturan daerah. Dalam menyusun APBD, penganggaran pengeluaran
harus didukung dengan adanya kepastian atas tersedianya penerimaan dalam jumlah yang
cukup. Pendapatan, belanja dan pembiayaan daerah Pada akhir pemelajaran ini peserta
dapat memahami siklus anggaran, khususnya proses penyusunan APBD, mulai dari
penyusunan rancangan hingga penetapan APBD.
Pemerintah Daerah perlu menyusun APBD untuk menjamin kecukupan dana
dalam menyelenggarakan urusan pemerintahannya. Karena itu, perlu diperhatikan
kesesuaian antara kewenangan pemerintahan dan sumber pendanaannya. Pengaturan
kesesuaian kewenangan dengan pendanaannya adalah sebagai berikut:

Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah didanai


dari dan atas beban APBD.

Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah


pusat di daerah didanai dari dan atas beban APBN
Penyelenggaraan urusan pemerintahan provinsi yang penugasannya dilimpahkan
kepada kabupaten/kota dan/atau desa, didanai dari dan atas beban APBD provinsi.
Penyelenggaraan urusan pemerintahan kabupaten/kota yang penugasannya
dilimpahkan kepada desa, didanai dari dan atas beban APBD kabupaten/kota.

Seluruh penerimaan dan pengeluaran pemerintahan daerah baik dalam bentuk


uang, barang dan/atau jasa pada tahun anggaran yang berkenaan harus dianggarkan
dalam APBD. Penganggaran penerimaan dan pengeluaran APBD harus memiliki
dasar hukum penganggaran. Anggaran belanja daerah diprioritaskan untuk
melaksanakan kewajiban pemerintahan daerah sebagaimana ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan.

D. Pelaksanaan, Penatausahaan APBD


a. Pelaksanaan APBD
Semua penerimaan daerah dan pengeluaran daerah dalam rangka pelaksanaan
urusan pemerintahan daerah dikelola dalam APBD.
Pelaksanaan APBD meliputi pelaksanaan anggaran pendapatan, belanja, dan
pembiayaan. Penjelasan berikut ini didasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun
2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Pengeluaran dapat dilakukan jika dalam keadaan darurat, yang selanjutnya
diusulkan dalam rancangan perubahan APBD dan/atau disampaikan dalam laporan
realisasi anggaran. Kriteria keadaan darurat ditetapkan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Pelaksanaan Anggaran oleh Kepala SKPD dilaksanakan setelah Dokumen
Pelaksanaan Anggaran SKPD (DPA-SKPD) ditetapkan oleh PPKD dengan persetujuan
Sekretaris Daerah. Proses penetapan DPA-SKPD adalah sebagai berikut. APBD
ditetapkan, memberitahukan kepada semua kepala SKPD agar menyusun rancangan
DPA-SKPD.
Setiap SKPD yang mempunyai tugas memungut dan/atau menerima pendapatan
daerah wajib melaksanakan pemungutan dan/atau penerimaan berdasarkan ketentuan
yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Penerimaan SKPD dilarang
digunakan langsung untuk membiayai pengeluaran, kecuali ditentukan lain oleh peraturan
perundang-undangan. Penerimaan SKPD berupa uang atau cek harus disetor ke rekening
kas umum daerah paling lama 1(satu) hari kerja oleh Bendahara Penerimaan dengan
didukung oleh bukti yang lengkap.
Semua penerimaan daerah dilakukan melalui rekening kas umum daerah. SKPD
dilarang melakukan pungutan selain dari yang ditetapkan dalam peraturan daerah. SKPD

yang mempunyai tugas memungut dan/atau menerima dan/atau kegiatannya berdampak


pada penerimaan daerah wajib mengintensifkan pemungutan dan penerimaan tersebut.
Semua penerimaan daerah apabila berbentuk uang harus segera disetor ke kas
umum daerah dan berbentuk barang menjadi milik/asset daerah yang dicatat sebagai
inventaris daerah. Pengembalian atas kelebihan pajak, retribusi, pengembalian tuntutan
ganti rugi dan sejenisnya dilakukan dengan membebankan pada rekening penerimaan
yang bersangkutan untuk pengembalian penerimaan yang terjadi dalam tahun yang sama.
Untuk pengembalian kelebihan penerimaan yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya
dibebankan pada rekening belanja tidak terduga. Jumlah belanja yang dianggarkan dalam
APBD merupakan batas tertinggi untuk setiap pengeluaran belanja. Pengeluaran tidak
dapat dibebankan pada anggaran belanja jika untuk pengeluaran tersebut tidak tersedia
atau tidak cukup tersedia dalam APBD. Setiap SKPD dilarang melakukan pengeluaran
atas beban anggaran daerah untuk tujuan lain dari yang telah ditetapkan dalam APBD.
Pengeluaran belanja daerah menggunakan prinsip hemat, tidak mewah, efektif, efisien
dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Setiap pengeluaran harus didukung oleh bukti yang lengkap dan sah mengenai hak
yang diperoleh oleh pihak yang menagih. Pengeluaran kas yang mengakibatkan beban
APBD tidak dapat dilakukan sebelum rancangan peraturan daerah tentang APBD
ditetapkan dan ditempatkan dalam lembaran daerah. Pengeluaran kas tersebut tidak
termasuk belanja yang bersifat mengikat dan belanja yang bersifat wajib.
Pembayaran atas beban APBD dapat dilakukan berdasarkan Surat Penyediaan
Dana (SPD), atau Dokumen Pelaksanaan Anggaran SKPD (DPA-SKPD), atau dokumen
lain yang dipersamakan dengan SPD. Khusus untuk biaya pegawai diatur bahwa gaji
pegawai negeri sipil daerah dibebankan dalam APBD. Pemerintah daerah dapat
memberikan tambahan penghasilan kepada pegawai negeri sipil daerah berdasarkan
pertimbangan yang obyektif dengan memperhatikan kemampuan keuangan daerah dan
memperoleh persetujuan DPRD sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pengelolaan anggaran pembiayaan daerah dilakukan oleh Pejabat Pengelola
Keuangan Daerah (PPKD). Semua penerimaan dan pengeluaraan pembiayaan daerah
dilakukan melalui Rekening Kas Umum Daerah.
Untuk pencairan dana cadangan, pemindahbukuan dari rekening dana cadangan ke
Rekening Kas Umum Daerah dilakukan berdasarkan rencana pelaksanaan kegiatan,
setelah jumlah dana cadangan yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang
pembentukan dana cadangan yang berkenaan mencukupi. Pemindahbukuan tersebut
paling tinggi sejumlah pagu dana cadangan yang akan digunakan untuk mendanai
pelaksanaan kegiatan dalam tahun anggaran berkenaan sesuai dengan yang ditetapkan
dalam peraturan daerah tentang pembentukan dana cadangan. Pemindahbukuan dari
rekening dana cadangan ke rekening kas umum daerah tersebut dilakukan dengan surat
perintah pemindahbukuan oleh kuasa BUD atas persetujuan PPKD.

Penjualan kekayaan milik daerah yang dipisahkan dilakukan sesuai dengan


ketentuan perundang-undangan. Pencatatan penerimaan atas penjualan kekayaan daerah
didasarkan pada bukti penerimaan yang sah. Penerimaan pinjaman daerah didasarkan
pada jumlah pinjaman yang akan diterima dalam tahun anggaran yang bersangkutan
sesuai dengan yang ditetapkan dalam perjanjian pinjaman berkenaan. Penerimaan
pinjaman dalam bentuk mata uang asing dibukukan dalam nilai rupiah. Penerimaan
kembali pemberian pinjaman daerah didasarkan pada perjanjian pemberian pinjaman
daerah sebelumnya, untuk kesesuaian pengembalian pokok pinjaman dan kewajiban
lainnya yang menjadi tanggungan pihak peminjam.
Pelaksanaan pengeluaran pembiayaan mencakup pelaksanaan pembentukan dana
cadangan, penyertaan modal, pembayaran pokok utang, dan pemberian pinjaman daerah.
Jumlah pendapatan daerah yang disisihkan untuk pembentukan dana cadangan dalam
tahun anggaran bersangkutan sesuai dengan jumlah yang ditetapkan dalam peraturan
daerah. Pemindahbukuan jumlah pendapatan daerah yang disisihkan yang ditransfer dari
rekening kas umum daerah ke rekening dana cadangan dilakukan dengan surat perintah
pemindahbukuan oleh kuasa BUD atas persetujuan PPKD.

b.

Penatausahaan Keuangan Daerah

Pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran, bendahara penerimaan, bendahara


pengeluaran dan orang atau badan yang menerima atau menguasai uang/barang/kekayaan
daerah wajib menyelenggarakan penatausahaan sesuai dengan peraturan perundangundangan.
Penerimaan daerah disetor ke rekening kas umum daerah pada bank pemerintah
yang ditunjuk dan dianggap sah setelah kuasa BUD menerima nota kredit.
Bendahara penerimaan wajib menyelenggarakan penatausahaan terhadap seluruh
penerimaan dan penyetoran atas penerimaan yang menjadi tanggung jawabnya.
Bendahara penerimaan pada SKPD wajib mempertanggungjawabkan secara administratif
atas pengelolaan uang yang menjadi tanggung jawabnya dengan menyampaikan laporan
pertanggungjawaban penerimaan kepada pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran
melalui PPK-SKPD paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya. Disamping
pertanggungjawaban secara administratif, Bendahara penerimaan pada SKPD wajib
mempertanggung jawabkan secara fungsional atas pengelolaan uang yang menjadi
tanggung jawabnya dengan menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan
kepada PPKD selaku BUD paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.

E.

Akuntansi Keuangan Daerah

Pelaksanaan otonomi daerah yang mendukung efisiensi penggunaan keuangan


negara dapat dilihat dari sisi pelaksanaan fungsi pelayanan pemerintahan yang bersifat

lokal. Sebelum otonomi daerah dilaksanakan, fungsi pemerintahan yang bersifat lokal
(seperti pembangunan prasarana yang manfaatnya hanya bersifat lokal) sering dikelola
oleh instansi Pusat. Hal ini sering memberikan dampak biaya yang relatif lebih besar
daripada apabila fungsi tersebut dilaksanakan oleh Pemda.
Konsep good governance di bidang dana perimbangan sebagaimana diatur melalui
PP Nomor 104 Tahun 2000 paling tidak dapat dilihat dalam proses pengambilan
keputusannya. Perumusan alokasi dana perimbangan telah melibatkan pihak
universitas/pakar, kemudian sebelum ditetapkan dengan Keppres, setelah terlebih dahulu
mendapat persetujuan dari DPOD yang mayoritas anggotanya berasal dari Pemda.
Kemudian selanjutnya produk dari keputusan tersebut dapat diketahui semua lapisan
masyarakat.
Implementasi prinsip-prinsip good governance pengelolaan keuangan daerah
dalam kaitannya dengan kebijakan desentralisasi fiskal telah diatur dalam PP 105/2000
tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah sebagai derivasi atau
penjelasan lebih lajut dari UU 25/1999. PP tersebut telah mengatur secara tegas mengenai
pengelolaan keuangan daerah, yaitu :

Pengaturan : Pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah ditetapkan dengan


Peraturan Daerah, sedangkan mengenai sistem dan prosedurnya
(penatausahaan) diatur dengan peraturan kepala daerah;
Perencanaan : Penganggaran berdasarkan pendekatan kinerja. Ke depan
penganggaran harus diarahkan pada unified budget, sehingga tidak akan ada
lagi dikhotomi antara anggaran rutin dan pembangunan yang selama ini sering
tumpang tindih.
Pelaksanaan : Penatausahaan berdasarkan standar akuntansi keuangan
pemerintah daerah yang berlaku. Selama ini, pencatatan keuangan daerah
bersifat pembukuan tunggal (single entry) dan berbasis kas (cash basis). Ke
depan akan di arahkan pada pembukuan berpasangan (double entry) dan
secara bertahap akan mengarah pada basis akrual (acrual basis).
Pertanggungjawaban : Pertanggungjawaban keuangan kepala daerah terdiri
dari Perhitungan APBD, Nota Perhitungan APBD, Laporan Aliran Kas, dan
Neraca.

Selanjutnya PP 11/2001 tentang Informasi Keuangan Daerah yang merupakan


produk hukum lain yang diamanatkan oleh UU 25/1999, menyatakan perlunya suatu
sistem informasi keuangan daerah. Sebagai dokumen publik informasi tentang
keuangan daerah dapat diketahui oleh masyarakat secara terbuka. Untuk memudahkan
masyarakat mendapatkan informasi mengenai penggunaan dana yang diperoleh dari
masyarakat melalui pajak dan retribusi, perlu adanya suatu sistem informasi keuangan
daerah (SIKD). Melalui SIKD, informasi tidak lagi ditujukan hanya untuk konsumsi
lokal dan nasional, tetapi sudah menjadi kebutuhan dan tuntutan internasional
sebagaimana dijabarkan dalam Government Financial Statistics (GFS) yang

dikeluarkan oleh International Monetary Fund (IMF) dimana Indonesia juga sebagai
salah satu anggota
Untuk melakukan penyusunan laporan keuangan, Pemerintah daerah
menyusun sistem akuntansi pemerintah daerah yang mengacu kepada standar
akuntansi pemerintahan. Sistem akuntansi pemerintah daerah dilaksanakan oleh
Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD) sebagai entitas pelaporan dan
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sebagai entitas akuntansi.
Sistem akuntansi pemerintahan daerah meliputi serangkaian prosedur mulai dari proses
pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran, sampai dengan pelaporan keuangan dalam
rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBD yang dapat dilakukan secara manual atau
menggunakan aplikasi komputer. Proses tersebut didokumentasikan dalam bentuk buku jurnal
dan buku besar, dan apabila diperlukan ditambah dengan buku besar pembantu.
Sistem akuntansi pemerintahan daerah sekurang-kurangnya meliputi:

prosedur akuntansi penerimaan kas;


prosedur akuntansi pengeluaran kas;
prosedur akuntansi aset tetap/barang milik daerah; dan
prosedur akuntansi selain kas.

Sistem akuntansi pemerintahan daerah disusun dengan berpedoman pada prinsip


pengendalian intern sesuai dengan peraturan pemerintah yang mengatur tentang pengendalian
internal dan peraturan pemerintah tentang standar akuntansi pemerintahan. Sistem akuntansi
pemerintahan daerah dilaksanakan oleh PPKD. Sistem akuntansi SKPD dilaksanakan oleh
PPKSKPD. PPK-SKPD mengkoordinasikan pelaksanaan sistem dan prosedur penatausahaan
bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran.
Dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, entitas pelaporan menyusun
laporan keuangan yang meliputi:

laporan realisasi anggaran;


neraca;
laporan arus kas; dan
catatan atas laporan keuangan.

Dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, entitas akuntansi menyusun


laporan keuangan yang meliputi:

laporan realisasi anggaran;


neraca; dan
catatan atas laporan keuangan.

F. Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah


Pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara tertib, taat pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku, efisien, efektif, transparan dan bertanggung jawab
dengan memperhatikan asas keadilan dan kepatutan. APBD merupakan dasar pengelolaan
keuangan daerah dalam tahun anggaran tertentu. Ketentuan ini berarti, bahwa APBD
merupakan rencana pelaksanaan semua pendapatan daerah dan semua belanja daerah
dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dalam tahun anggaran tertentu. Dengan
demikian, pemungutan semua penerimaan daerah dalam rangka pelaksanaan desentra lisasi bertujuan untuk memenuhi target yang ditetapkan dalam APBD. Semua
pengeluaran daerah dan ikatan yang membebani daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi dilakukan sesuai jumlah dan sasaran yang ditetapkan dalam APBD,
sehingga APBD menjadi dasar bagi kegiatan pengendalian, pemeriksaan dan pengawasan
keuangan daerah.
Semua penerimaan daerah dan pengeluaran daerah dalam rangka desentralisasi
dicatat dan dikelola dalam APBD. Semua penerimaan daerah dan pengeluaran daerah
yang tidak berkaitan dengan pelaksanaan dekosentrasi atau tugas pembantuan merupakan
penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. APBD, Perubahan
APBD, dan Perhitungan APBD ditetapkan dengan peraturan daerah dan merupakan
dokumen daerah.

G. Tuntutan Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti Rugi


Ketentuan mengenai penyelesaian maupun pengenaan ganti kerugian
negara/daerah diatur dalam Bab IX Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang
Keuangan Negara, Bab XI Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara, serta dalam Bab V Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2004
tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
a. Penyelesaian Kerugian Daerah
Penyelesaian kerugian daerah adalah sebagai berikut :

Setiap kerugian negara/daerah yang disebabkan oleh tindakan melanggar


hukum atau kelalaian seseorang harus segera diselesaikan sesuai ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang karena
perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajiban yang dibebankan
kepadanya secara langsung merugikan negara, wajib menggantikan kerugian
tersebut.
Setiap pimpinan kementrian negara/lembaga/kepala Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD) dapat segera melakukan tuntutan ganti rugi setelah
mengetahui bahwa dalam kementrian negara/lembaga/SKPD yang
bersangkutan terjadi kerugian akibat perbuatan dari pihak manapun.

b.

Setiap kerugian daerah wajib dilaporkan oleh atasan langsung atau oleh kepala
SKPD kepada gubernur/bupati/walikota dan diberitahukan kepada BPK
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah kerugian daerah itu diketahui.
Segera setelah kerugian daerah diketahui, kepada bendahara, pegawai negeri
bukan bendahara, atau pejabat lain yang nyatanyata melanggar hukum dapat
segera dimintakan surat pernyataan kesanggupan dan/atau pengakuan bahwa
kerugian tersebut menjadi tanggung jawabnya dan bersedia mengganti
kerugian daerah dimaksud.
Jika surat keterangan tanggung jawab mutlak (SKTJM) tidak mungkin
diperoleh atau tidak dapat menjamin pengembalian kerugian daerah, maka
gubernur/bupati/walikota yang bersangkutan segera mengeluarkan surat
keputusan pembebanan penggantian kerugian sementara kepada yang
bersangkutan.
Pengenaan ganti kerugian daerah terhadap bendahara ditetapkan oleh BPK.
Apabila dalam pemeriksaan kerugian daerah ditemukan unsur pidana, maka
BPK menindaklanjutinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap pegawai negeri bukan
bendahara, atau pejabat lain ditetapkan oleh menteri/pimpinan
lembaga/gubernur/bupati/walikota. Tatacara tuntutan ganti kerugian
negara/daerah diatur dengan peraturan pemerintah.
Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang telah
ditetapkan untuk mengganti kerugian negara/daerah dapat dikenakan sanksi
administratif dan/atau sanksi pidana.
Putusan pidana tidak membebaskan dari tuntutan ganti rugi.

Pengenaan Ganti Kerugian Negara/Daerah

Tatacara tuntutan ganti kerugian negara/daerah maupun pengenaan ganti kerugian


negara/daerah terhadap pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain diatur dengan
peraturan pemerintah yang merupakan petunjuk pelaksanaan ketiga paket undang-undang
di atas. Ketentuan tersebut diharapkan dapat digunakan oleh pihakpihak yang terkait
dalam menangani dan menyelesaikan kerugian negara/daerah yang semakin hari semakin
bertambah besar, sehingga dapat diantisipasi terjadinya kerugian daerah,
dicegah penyelesaian kerugian daerah yang berlarut-larut, serta dipercepat proses
pemulihan kerugian daerah maupun diperkecil terjadinya kerugian daerah.

H. Tata Cara Penyelesaian Kerugian Keuangan Daerah

Penyelesaian kerugian keuangan daerah melalui upaya damai dilakukan apabila


penggantian kerugian keuangan daerah dilakukan secara tunai sekaligus dan angsuran
dalam jangka waktu selambatlambatnya 2 (dua) tahun dengan menandatangani Surat
Keterangan Tanggung jawab Mutlak (SKTJM).
Penyelesaian kerugian keuangan daerah melalui proses Tuntutan Perbendaharaan
dilakukan apabila upaya damai yang dilakukan secara tunai sekaligus atau angsuran tidak
berhasil. Proses penuntutannya merupakan kewenangan kepala daerah melalui Majelis
Pertimbangan Tuntutan Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti Rugi Keuangan dan Barang
Daerah (Majelis Pertimbangan). Apabila pembebanan perbendaharaan telah diterbitkan,
kepala daerah melakukan eksekusi keputusan dimaksud dan membantu proses
pelaksanaan penyelesaiannya.
Penyelesaian kerugian keuangan daerah melalui proses Tuntutan Ganti Rugi
dilakukan apabila upaya damai yang dilakukan secara tunai sekaligus atau angsuran tidak
berhasil.

BAB III
KESIMPULAN

Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang, termasuk
segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah
tersebut. Pengelolaan Keuangan Daerah kemudian adalah seluruh kegiatan yang
meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban,
dan pengawasan keuangan daerah.
Pengelolaan Administrasi Keuangan daerah merupakan salah satu perhatian
utama para pengambil keputusan di pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun
daerah. Sejalan dengan hal tersebut, berbagai perundang-undangan dan produk hukum
telah ditetapkan dan mengalami perbaikan atau penyempurnaan untuk menciptakan
sistem pengelolaan anggaran yang mampu memenuhi berbagai tuntutan dan
kebutuhan masyarakat, yaitu terbentuknya semangat desentralisasi, demokratisasi,
transparansi, dan akuntabilitas dalam proses penyelenggaraan pemerintahan pada
umumnya dan proses pengelolaan keuangan daerah.
Secara garis besar, pengelolaan keuangan daerah dapat dibagi menjadi dua
bagian, yaitu manajemen penerimaan daerah dan manajemen pengeluaran daerah.
Kedua komponen tersebut akan sangat menentukan kedudukan suatu pemerintah
daerah dalam rangka melaksanakan otonomi daerah.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ahmad Yani, S.H., M.M., Ak., Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Daerah di Indonesia, Divisi Buku Perguruan Tinggi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
Cetakan kedua, April, 2004.
2.

Anwar Sulaiman H., Drs., Manajemen Aset Daerah, STIA-LAN, 2000

3. Arifin P. Soeria Atmadja, Dr., Mekanisme Pertanggungjawaban Keuangan Negara, PT


Gramedia, Jakarta, 1986.
4. Badan Pemeriksa Keuangan, Petunjuk Pelaksanaan Tuntutan Perbendaharaan dan
Tuntutan Ganti Rugi, 1976.
5.

BPKP, Pedoman Penanganan Penggantian Kerugian Negara, 1993.

6.

Darise, Nurlan, Pengelolaan Keuangan Daerah, Jakarta, Penerbit PT Indeks, 2006.

7. __________, Pengelolaan Keuangan Pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD),


Jakarta, Penerbit PT Indeks, 2007.
8. Devas, Nick, et al., Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia, Jakarta, Penerbit
Universitas Indonesia, 1989.
9. Dian Puji N. Simatupang, S.H., M.H., Determinasi Kebijakan Anggaran Negara
Indonesia, Studi Yuridis, Papas Sinar Sinanti, Jakarta 2005.
10. Gade, Muhammad. 1998. Akuntansi Pemerintahan. Edisi Revisi. Jakarta: Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
11. Goedhart C., Dr., Garis-Garis Besar Ilmu Keuangan Negara, Terjemahan oleh Ratmoko,
S.H., Penerbit Jembatan, Jakarta, 1981.
12. Hadi, M., Administrasi Keuangan RI, Jakarta, 1981.
13. Halim, Abdul (editor), Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta, UPP
AMP YKPN, 2001.
14. Halim, Abdul, Akuntansi Sektor Publik, Akuntansi Keuangan Daerah, Jakarta, Penerbit
Salemba Empat, 2002.
15. Kansil CST, Prof. Drs., S.H.dan Kansil Christine S.T., S.H., M.H. 2001. Kitab UndangUndang Otonomi Daerah 1999 2001; Kitab 2. Jakarta: PT Pradnya Paramita.
16. Mardiasmo, Prof., Dr., MBA., Ak., Akuntansi Sektor Publik, Penerbit ANDI Yogyakarta,
2004.
17. Modul Sistem Administrasi Keuangan Daerah II , Edisi Keempat, 2004.

18. Modul-Modul Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.


19. Pendapatan Nasional. Edisi ke-5. Yogyakarta: Penerbit Liberty.
20. Rasul Sjahrudin, Dr., SH., Pengintegrasian Sistem Akuntabilitas Kinerja dan Anggaran
Dalam Perspektif UU No. 17 Tahun 2003, PNRI, Jakarta 2003.
21. Sugijanto, Drs., Ak., dkk., Akuntansi Pemerintahan dan Organisasi Non Laba, Pusat
Pengembagan Akuntansi FE-UI, Jakarta, 1995.

You might also like