You are on page 1of 13

HAMBATAN PELAKSANAAN EKSEKUSI KEPAILITAN

Semaraknya konflik hutang piutang ini tidak lepas dari krisis moneter yang terjadi pada
pertengahan tahun 1997 lalu yang mana krisis tersebut telah mengacaukan seluruh sendi-sendi
perekonomian Indonesia dan akibatnya sampai sekarang ini masih terasa, dampak krisis tersebut
sangat dirasakan oleh pelaku bisnis yang mana dengan lemahnya nilai tukar rupiah terhadap
Dollar AS mengakibatkan nilai bayar melambung tinggi, sehingga biaya produksi dan biaya
operasional menjadi meningkat.

Terlebih bagi pengusaha yang memiliki kewajiban untuk mengembalikan hutang-hutangnya


dalam bentuk valuta asing, dengan meningkatnya nilai dollar tersebut secara otomatis hutang-
hutang terhadap kreditur asing menjadi membengkak luar biasa sehingga debitur menjadi tidak
mampu membayar hutang-hutangnya. Dengan berhentinya operasional perusahaan dampak lain
adalah dunia perbankan, dengan lesunya usaha maka kredit terhadap lembaga perbankan sebagai
pendukung dana ikut tersendat, bahkan banyak pula yang macet. Sebelum krisis moneter
perbankan Indonesia memang juga telah menghadapi masalah kredit bermasalah atau Non-
Performing Loans yang memprihatinkan, yaitu sebagai akibat terpuruknya sektor riil karena
krisis moneter tersebut.

Untuk mengatasi permasalahan yang akan timbul akibat krisis moneter tersebut, terutama dalam
penyelesaian masalah utang antara debitur dan kreditur, pemerintah pada tanggal 22 April 1998
menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1 tahun 1998 tentang
Perubahan atas Undang-Undang tentang Kapailitan (Lembaran Negara RI tahun 1998 No.87
Undang-Undang Kepailitan). Perpu tersebut setelah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat
ditetapkan menjadi Undang-Undang No.4 tahun 1998 tanggal 9 September 1998. Undang-
Undang No.4 tahun 1998 tersebut memuat tiga bab, yaitu bab I tentang kepailitan, bab II tentang
penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU), dan bab III tentang Pengadilan Niaga.

Pasal 280 Undang-Undang No.4 tahun 1998 disebutkan bahwa Pengadilan Niaga merupakan
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang berwenang untuk memeriksa dan memutus
permohonan pernyataan pailit dan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang, serta
perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya akan ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah. Dengan kata lain dalam proses kepailitan maka setelah jatuhnya putusan kepailitan
ada dua organ yang sangat berperan aktif dalam pelaksanaannya, yaitu Hakim Pengawas yang
bertugas mengawasi pengurusan dan pemberesan, kemudian Kurator yang bertugas melakukan
pengurusan dan pemberesan harta pailit.

Pengertian mengenai kurator tidak disebutkan dalam Undang-Undang No.4 tahun 1998 maupun
dalam penjelasannya, namun menurut Sudargo Gautama, Kurator adalah orang yang akan
melakukan segala sesuatu yang berkenaan dengan faillissements ini, yang mengambil tempat
dari pihak debitur yang telah dinyatakan pailit untuk melakukan tindakan-tindakan hukum
berkenaan dengan preservasi (pemeliharaan) asetnya yang sedapat mungkin dibagi kepada semua
para kreditur secara adil.

Dalam proses kepailitan sering ditemui hambatan-hambatan yang menghalangi jalannya proses
kepailitan sampai dengan pelaksanaan putusan kepailitannya. Hambatan ini bisa menimbulkan
ketidakpastian hukum karena dengan lambatnya pelaksanaan putusan kepailitan maka dapat
menimbulkan penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan kepailitan tersebut, padahal
Undang-undang No.4 tahun 1998 ini menganut asas adil (memperhatikan kepentingan secara
seimbang antara kreditur dan debitur), cepat (dibatasi jangka waktu penyelesaian perkara baik
ditingkat pertama, kasasi maupun peninjauan kembali), dan efektif (tanpa putusan mempunyai
kekuatan pasti, putusan sudah dapat dilaksanakan).

Hambatan biasanya datang dari pihak debitur yang beritikad buruk atau yang tidak mempunyai
keinginan untuk melunasi utang-utangnya bisa berupa, penggelapan investasi pada saat kurator
akan mencatat harta debitur, dengan serta merta debitur memindahkan harta kekayaannya ke
tempat lain sehingga pada saat diadakan pencatatan oleh kurator ternyata debitur telah tidak
mempunyai harta apa-apa lagi.

Ketidak-profesionalnya Kurator dalam mengurus harta-harta debitur yang telah dinyatakan pailit
merupakan faktor hambatan lainnya. Hal ini mungkin saja terjadi karena para kurator yang rata-
rata merupakan lulusan sarjana hukum yang tidak mempunyai kemampuan untuk mengelola
perusahaan. Karena di samping penguasaan bidang hukum sudah seharusnya para kurator juga
memiliki kemampuan dalam pengelolaan suatu usaha khususnya yang berkaitan dengan audit
pembukuan.

Harapan untuk memperoleh profit sesuai dengan yang diharapkan merupakan tujuan akhir dari
kegiatan bisnis, namun tidak semua pelaku usaha dapat mencapai keberhasilan seperti yang
diharapkan, berbagai faktor yang menyebabkan kegagalan dalam menjalankan usaha. Kegagalan
dalam menjalankan usaha dalam skala apapun selalu meninggalkan konflik terutama yang
berkaitan dengan utang piutang (undisputable dept) konflik tersebut timbul akibat kebangkrutan
sehingga perusahaan tidak mampu untuk mengembalikan pinjaman kepada kreditor.

Robintan Sulaiman dan Joko Prabowo menyatakan bahwa pokok-pokok penyempurnaan


Undang-Undang tentang Kepailitan tersebut meliputi segi-segi penting yang dinilai perlu untuk
mewujudkan: Pertama, penyempuranaan di sekitar syarat-syarat dan prosedur permintaan
pernyataan kepailitan. Kedua, penyempurnaan pengaturan yang bersifat penambahan ketentuan
tentang tindakan sementara yang dapat diambil pihak-pihak yang bersangkutan, khususnya
kreditor atas kekayaan debitor sebelum adanya putusan pernyataan kepailitan. Ketiga, peneguhan
fungsi kurator dan penyempurnaan yang memungkinkan berfungsinya pemberian jasa-jasa
tersebut disamping institusi yang selama ini telah dikenal yaitu Balai Harta Peninggalan.
Keempat, penegasan upaya hukum yang dapat diambil terhadap putusan pernyataan kepailitan,
bahwa untuk itu dapat diajukan langsung ke Mahkamah Agung. Kelima, dalam rangka
kelancaran proses kepailitan dan pengamanan kepentingan secara adil, dalam rangka
penyempurnaan ini juga ditegaskan adanya menaknisme penangguhan pelaksana hak di antara
para kreditor yang memegang hak tanggungan, gadai atau agunan lainnya. Keenam,
penyempurnaan dilakukan pula terhadap ketentuan tentang penundaan kewajiban pembayaran
sebagaimana diatur dalam bab kedua Undang-Undang Kepailitan. Ketujuh, penegasan dan
pembentukan peradilan khusus yang akan menyelesaikan kepailitan secara umum.

Dalam hukum acara perdata disebutkan terdapat dua macam tuntutan hak yaitu tuntutan hak
yang mengandung sengketa, dan tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa. Hak yang
mengandung sengketa atau yang disebut gugatan, yaitu tuntutan hak yang sekurang-kurangnya
terdiri dari dua pihak, lazimnya disebut peradilan contentieuse yurisdictie atau peradilan
“sesungguhnya”. Sedangkan hak yang tidak mengandung sengketa yang disebut permohonan,
yaitu tuntutan dimana hanya terdapat satu pihak saja, lazimnya disebut peradilan volunter
(voluntaire jurisdictie) atau peradilan suka rela atau peradilan yang “tidak sesungguhnya”.

Khusus tuntutan yang berkait dengan kebangkrutan suatu usaha, dalam menuntut haknya kreditor
pelaksanaan gugatan dapat dilakukan dengan menggunakan hukum acara perdata (HIR atau
R.Bg) yaitu melalui gugatan yang diajukan kepada Pengadilan Negeri atau dapat juga
dilaksanakan dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 4 tahun 1998 tentang Kepailitan
yaitu melalui Pengadilan Niaga, yang ternyata pula Undang undang nomor 4 tahun 1998 ini telah
mengalami perubahan dan penyempurnaan dengan ditelah diterbitkannya Undang-Undang
Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang
secara prinsip terdapat beberapa perubahan-perubahan yang sangat penting bagi pelaksanaan dan
pengambilan keputusan dalam perkara perkara yang diajukan di muka Pengadilan Niaga yang
menyangkut khususnya tentang perkara kepailitan.

Pengertian kepailitan sendiri dalam Undang-Undang Kepailitan dan penjelasannya tidak ditemui
adanya pengertian atau definisi tentang kepailitan atau pailit secara pasti. Namun dalam Pasal 1
ayat 1 Undang-Undang No.4 tahun 1998 yang telah disempurnakan melalui Undang-Undang
Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ditemui
ketentuan yang menjelaskan bahwa “debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak
dapat membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih dinyatakan pailit
dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, baik atas
permohonan sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditornya”.

Menurut Fred B.G.Tumbuan, kepailitan adalah sita umum yang mencakup seluruh kekayaan
debitor untuk kepentingan semua kreditornya. Djohansah menjelaskan kepailitan merupakan
suatu proses di mana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar
utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini pengadilan niaga, dikarenakan debitur
tersebut tidak dapat membayar utangnya. Harta debitur dapat dibagikan kepada para kreditur
sesuai dengan peraturan pemerintah. Sementara itu Munir Fuady menjelaskan pengertian yang
umum dari pailit atau bangkrut adalah suatu sitaan umum atas seluruh harta debitor agar
dicapainya perdamaian antara debitor dan para kreditor atau agar harta tersebut dapat dibagi-bagi
secara adil di antara para kreditor. Hal ini juga ditegaskan dalam Bab 1 Pasal 1 yang menyatakan
bahwa dalam Undang undang ini yang dimaksud dengan kepailitan adalah sita umum atas semua
kekayaan debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah
pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Pasal 1131 dan 1132 KUHP Perdata merupakan dasar hukum dari kepailitan. Pasal 1131 KUHP
Perdata menyebutkan bahwa segala kebendaan si Debitor, baik yang bergerak maupun tidak
bergerak, baik yang sudah ada maupun akan ada, menjadi tanggungan untuk segala perikatan
perorangan debitor itu. Pasal 1132 KUHP Perdata menyebutkan bahwa kebendaan debitor
tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua kreditor, pendapatan dari penjualan harta
debitor itu dibagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing
kreditur.
Dalam hal pailit kreditor mana yang harus diselesaikan pembayaran hutang-hutangnya diatur
dalam Pasal 1133, 1134, 1135, dan 1136 KUHPerdata dalam Pasal 1133 KUHPerdata
disebutkan: Hal untuk didahulukan di antara orang-orang berpiutang terbit dari hak istimewa,
dari gadai dan dari hipotik, sedangkan Pasal 1134 KUHPerdata menyebutkan: Hak istimewa
ialah suatu hak yang oleh Undang-Undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga
tingkatnya lebih tinggi daripada orang berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat
piutangnya. Sementara itu Pasal 1135 KUHPerdata menyebutkan di antara orang-orang
berpiutang yang diistimewakan, tingkatannya diatur menurut berbagai bagai sifat hak-hak
istimewanya.

Berdasarkan Pasal 280 Undang-Undang No.4 tahun 1998, dinyatakan bahwa Pengadilan Niaga
merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara
permohonan pernyataan dan penundaan kewajiban pembayaran utang. Istilah Pengadilan Niaga
untuk pertama kali di kenal dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1 tahun
1998 tentang Perubahan atas ketentuan ketentuan dalam Faillisement Verordening yang termuat
dalam Staatsblad tahun 1905 No. 217 jo Staatsblad tahun 1906 No.348 dan Perpu tersebut telah
ditingkatkan menjadi Undang-Undang dengan Undang-Undang No.4 tahun 1998, dan kemudian
telah disempurnakan lagi dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004.

Di dalam Perpu No.1 tahun 1998 pada Bab III diatur tentang Pengadilan Niaga yang dikenal
dalam Faillisement Verordening. Menurut Pasal 280 ayat 1 Perpu No.1 tahun 1998 tersebut
dinyatakan Pengadilan Niaga berada dalam lingkungan Pengadilan Umum.

Prosedur permohonan pailit diajukan oleh seorang penasehat hukum yang memiliki ijin praktek.
Di samping itu pihak yang berkaitan dengan perusahaan yang pailit itu pun dapat pula
mengajukan permohonan seperti debitor sendiri, seorang atau lebih kreditornya, kejaksaan untuk
kepentingan umum, Bank Indonesia menyangkut debitor yang merupakan bank, dan Badan
Pengawas Pasar Modal menyangkut debitur yang merupakan perusahaan efek.

Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Membayar
Utang, yaitu Pasal 1 ayat 5 dinyatakan: “Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak dibidang
kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri
Keuangan“.

Ketentuan dalam pasal ini sangat menarik untuk dikaji sebab masalah ini dan juga dikaitkan
dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004, yang mendapat mandat untuk
mengajukan permohonan kepailitan ke Pengadilan Niaga ternyata bukan setiap orang yang
mempunyai tagihan secara murni atau kreditor asli, tetapi yang diberi hak untuk mengajukan
permohonan pailit adalah Bank Indonesia jika debitornya adalah bank dan Menteri Keuangan
jika debitornya adalah Perusahaan Asuransi, Reasuransi, Dana Pensiun atau Badan Usaha Milik
Negara.

Hal ini akan menimbulkan pertanyaan dan sekaligus kesulitan, sebab jika yang mempunyai utang
sebagai misal adalah perusahaan asuransi, padahal semua orang tahu bahwa perusahaan asuransi
tersebut mempunyai ratusan bahkan ribuan nasabah yang ternyata para nasabah dari perusahaan
asuransi tersebut oleh Undang-Undang tidak diberi ruang untuk mengajukan permohonan pailit
ke Pengadilan Niaga. Bahwa dengan demikian sangat penting untuk diadakan telah teoritis
terhadap para pihak yang berhak mengajukan permohonan pernyataan pailit.

Tuntutan hak melalui Pengadilan Niaga dilakukan dengan mengajukan permohonan kepada
Pengadilan Niaga. Pasal 4 UUK menyatakan bahwa permohonan pernyataan pailit diajukan
kepada Pengadilan melalui Panitera. Jadi bentuk tuntutan hak melalui Pengadilan Niaga di
tentukan oleh undang-undang tersebut dilakukan dengan mengajukan permohonan dan tidak
dengan mengajukan gugatan. Kalau mengajukan gugatan perdata biasa ke Pengadilan Negeri
yang berwenang untuk mengajukan gugatan di atur dalam Pasal 118 HIR, tetapi untuk
mengajukan permohonan pernyataan pailit diatur dalam Pasal 2 UUK yaitu Pengadilan Niaga
yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitor (Pasal 2 ayat (1)
UUK).

Oleh karena sekarang sudah ada lima wilayah hukum Pengadilan Niaga, maka menjadi persoalan
hukum ke Pengadilan Niaga mana permohonan pernyataan pailit harus dialamatkan. Dalam hal
debitor telah meninggalkan wilayah Republik Indonesia, Pasal 2 ayat (2) UUK menentukan
bahwa Pengadilan Niaga yang berwenang menetapkan putusan permohonan pernyataan pailit
adalah Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir
debitor.

Dalam Pasal 2 ayat (3) UUK menyebutkan dalam hal debitor adalah persero suatu firma,
Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum firma tersebut yang
berwenang memutuskan. Sedangkan apabila debitor tidak bertempat kedudukan hukum dalam
wilayah Indonesia maka menurut Pasal 2 ayat (4) UUK, jika ia menjalani profesi atau usahanya
dalam wilayah Republik Indonesia, Pengadilan Niaga yang berwenang memutuskan adalah
Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum kantor debitor yang
menjalankan profesi atau usahanya.

Apabila debitor badan hukum seperti Perseroan Terbatas (PT), Koperasi, dan Yayasan maka
kedudukan hukumnya adalah sesuai dengan Anggaran Dasarnya, jadi Pengadilan Niaga yang
daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum dari badan hukum yang bersangkutan
sesuai dengan Anggaran Dasarnya.

Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Niaga adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku
sebagai hukum positif di Pengadilan Negeri, Pengadilian Tinggi, dan Mahkamah Agung kecuali
ditentukan lain dengan undang-undang. Hukum acara yang dimaksud adalah HIR untuk Jawa
dan Madura, sedangkan RBG berlaku untuk luar Jawa dan Madura. Hal tersebut dapat diketahui
dari Pasal 284 ayat (1) Undang-Undang nomor 4 tahun 1998, yang menyatakan bahwa kecuali
ditentukan lain dengan Undang-Undang, Hukum Acara Perdata yang berlaku diterapkan pula
terhadap Pengadilan Niaga.

Berbeda dengan pengajuan gugatan di Pengadilan Negeri, yang tidak harus diwakilkan, maka
permohonan pernyataan pailit harus diajukan dengan perwakilan yaitu harus diajukan oleh
seorang Penasehat Hukum yang memiliki izin praktek (Pasal 5 UUK). Asas keharusan untuk
mewakilkan kepada orang lain atau procureur pernah diatur dalam Pasal 106 ayat (1) RV
(Reglement op de Burgelijke Rechtsvordering) yaitu dipakai semasa Raad Justitie dan
Hooggerechtshoop, akan tetapi dengan dihapuskan Raad Justitie dan Hooggerechtshoop maka
RV sudah tidak berlaku lagi. Pada masa RV itu setiap orang yang akan beracara dimuka
pengadilan harus diwakilkan kepada orang lain atau procereur, dengan akibat batalnya tuntutan
hak yang diajukan jika tidak diwakilkan.

HIR tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan kepada orang lain, sehingga pemeriksaan
dipersidangan dapat langsung dengan pihak yang melakukan tuntutan hak dan yang dituntut.
Akan tetapi jika dikehendaki oleh para pihak, mereka dapat meminta bantuan atau diwakili oleh
kuasanya (Pasal 123 HIR). Mengenai kuasa ini tidak ada keharusan seorang yang ahli hukum
atau sarjana hukum.

Dalam undang-undang Kepailitan seperti yang diatur dalam Pasal 5 UUK, asas keharusan
mewakilkan seperti yang diatur dalam RV diterapkan dalam mengajukan permohonan
pernyataan pailit, akan tetapi dalam pasal tersebut tidak diatur sanksi jika tidak menggunakan
perwakilan.

Terhadap permasalahan tentang perbedaan status antara Pengacara Praktek dan Advokat
sebagaimana dicontohkan dalam kasus tersebut, sejak diterbitkannya Undang-Undang Nomor 18
tahun 2003 tentang Advokat, maka perbedaan tersebut sudah tidak ada lagi, sebab dalam
ketentuan undang-undang tentang Advokat menjelaskan bahwa Advokat adalah orang yang
berprofesi memberi jasa hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi
persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang ini, Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor
18 tahun 2003.

Dalam praktek bentuk tuntutan hak dengan permohonan tersebut dapat dilihat hampir dalam
setiap permohonan yang diajukan oleh kreditor dan dalam putusan Pengadilan Niaga yang
menyebutkan pihak yang dimohonkan pailit itu kebanyakan dengan kata-kata “terhadap” dan
tidak dengan kata-kata “melawan”.

Panitera mendaftarkan permohonan tersebut dan dalam waktu 1x24 jam terhitung sejak tanggal
permohonan didaftarkan, Panitera harus menyampaikan permohonan tersebut kepada Ketua
Pengadilan Negeri dan dalam jangka waktu 2x24 jam terhitung sejak tanggal permohonan
didaftarkan, Pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang yang
diselenggarakan dalam jangkan waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal
permohonan didaftarkan. Pengadilan dapat menunda penyelenggaraan sidang atas permohonan
debitur dan berdasarkan alasan yang cukup, paling lama 25 (dua puluh lima) hari sejak tanggal
permohonan didaftarkan.

Dalam praktek ketentuan yang demikian tidak pernah dilakukan karena kalau ketentuan ini
diikuti dikhawatirkan tenggang waktu yang ditentukan undang-undang untuk memutus perkara
tersebut tidak akan tercapai.

Kesulitan berikutnya akan timbul yaitu apabila terjadi keadaan bahwa utang Debitur sangat besar
dan ia dalam keadaan tidak mampu membayar dan tidak lagi bersedia melunasi utangnya yang
dalam hal demikian ini bisa saja berakibat Kreditor sulit menjalankan usahanya, maka dalam
keadaan ini akan sangat sulit bagi Kreditur untuk mengajukan perkaranya ke Pengadilan Niaga
guna mengajukan permohonan pailit, hingga sangat terpaksa dalam situasi seperti ini Kreditur
hanya dapat melakukan gugatan dalam perkara perdata pada umumnya ke Pengadilan Negeri.

Sengketa dalam dunia usaha secara umum dapat dikatakan bahwa permasalahan yang
melingkupinya adalah berada pada persoalan bisnis dimana filosofinya waktu adalah uang. Oleh
karena dalam peraturan Kepailitan tidak dibarengi dengan ketentuan bahwa dalam mengajukan
permohonan pailit harus mendapat persetujuan dari sebagian besar Kreditur, maka sangat
mungkin para Kreditur saling dahulu mendahului untuk mengajukan permohonan pailit sehingga
dapat berakibat bahwa Kreditur yang mempunyai tagihan utang sangat besar belum
menghendaki untuk mengajukan permohonan pailit tetapi justru Kreditur kecil yang lebih dahulu
mengajukan permohonan pailit padahal Kreditur dengan tagihan besar tersebut bukan Kreditur
preferen.

Untuk mengatasi hal ini dan juga untuk mewujudkan perlindungan hukum yang seimbang, maka
dapat dibuka kemungkinan Kreditur tunggal dapat mengajukan permohonan pailit dengan syarat
Hakim Pengadilan Niaga secara aktif memanggil Para Kreditur sesuai dengan amanat Undang-
Undang Kepailitan bahwa Hakim adalah aktif dan sejak dimohonkan permohonan pailit,
seyogyanya segera diberlakukan azas pembekuan pada semua kekayaan Debitur (Standstill).

Bahwa pada saat dan pada suatu ketika arus kas menunjukkan penurunan dalam bidang laba dan
terdapat kemungkinan terjadi keadaan keuangan yang tidak lagi dalam keadaan sehat dan
diperkirakan akan mengalami kesulitan dalam membayar utang utangnya, hal ini merupakan
tanda tanda awal adanya kepailitan.

Ketika keadaan yang demikian ini terjadi, maka harus segera diputuskan bahwa perusahaan akan
dimohonkan pailit atau bertahan dengan jalan restrukturisasi atau penjadwalan pembayaran utang
.Permohonan pailit yang diajukan oleh seorang Debitur sangat dimungkinkan karena hal ini telah
diatur oleh Undang-Undang (ketentuan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004
tentang Kepailitan) yang dalam hal ini menunjukkan adanya sikap suka rela bagi Debitur untuk
mengadakan pengakuan bahwa dirinya dalam keadaan kesulitan dalam membayar utang-
utangnya. Hal ini sering kali ditafsirkan bahwa Debitur mempunyai niat untuk menghindari
adanya tuntutan Pidana dengan cara mengajukan permohonan pailit sebab ketika proses pailit
dimulai, Debitur akan terbebas dari tuntutan pidana, karena persoalan yang timbul adalah
persoalan perdata yang timbul dari adanya utang piutang karena Debitur dalam keadaan berhenti
membayar utang-utangnya.

Lembaga keuangan yang dikenal dengan nama Bank sudah barang tentu bukan merupakan
lembaga yang asing lagi bagi masyarakat di Indonesia sebab lembaga ini mempunyai spesifikasi
tersendiri yaitu oleh undang-undang yang mengaturnya dan oleh Pemerintah diberi kewenangan
untuk mengumpulkan dana masyarakat dengan jumlah nasabah mencapai ribuan orang, sehingga
bank disebut pula sebagai lembaga perantara (financial intermediary) yang mengerahkan dana
masyarakat dan menyalurkan kembali dana tersebut kepada masyarakat dalam bentuk kredit.
Dengana demikian, oleh ketentuan Undang-undang tentang kepailitan, bank dilarang
mengajukan permohonan pailit, dimasuksudkan untuk melindungi nasabah dari tindakan curang
yang dilakukan oleh pemilik bank.

Apabila bank selaku Debitur terjadi atau berada dalam ketidakmampuan untuk membayar utang,
pihak yang bisa merasakan langsung akibat dari keadaan ini adalah para Kreditur. Bank
Indonesia sama sekali tidak pernah terlibat dalam perjanjian utang piutang yang dibuat antara
Debitur dan Kreditur, kecuali apabila terjadi Rush barulah Bank Indonesia memberi Kredit
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dalam rangka membantu bank yang mengalami kesulitan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 ini dapat dikatakan
mempunyai standar ganda karena mengatur bank sebagai kreditur dalam menghadapi debitur non
bank, dengan demikian dapat dikatakan bahwa apabila bank selaku kreditur berhadapan dengan
Debitur yang merupakan bank berarti harus kehilangan hak untuk mengajukan permohonan pailit
bagi bank bank lain yang notabene sebagai kreditur yang memberikan fasilitas kepada bank bank
melalui pasar uang antar bank (inter bank money market) selain nasabah penyimpan dana dari
masyarakat.

Ketentuan ini diatur dalam Pasal 2 ayat 2 Undang undang nomor 37 tahun 2004 tentang
Kepailitan dan tidak ada perubahan apapun dibanding dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal
1 ayat 2 Undang undang nomor 4 tahun 1998 tentang kepailitan, Hal hal yang dapat
menimbulkan permasalahan adalah bahwa apa yang dimaksud dengan “kepentingan hukum“ ini
tidak ada satu aturanpun yang mengatur secara tegas. Masalah pertama yang timbul apabila
sebuah perusahaan yang akan dimohonkan pailit oleh Kejaksaan ternyata hanya mempunyai satu
orang kreditur, apakah permohonan dengan bukti hanya satu Kreditur ini tetap dapat dilakukan
mengingat syarat utama untuk dapat mengajukan permohonan pailit harus memenuhi ketentuan
sedikitnya dua atau lebih Kreditur.

Kesulitan berikutnya adalah bahwa dengan cara dan tolok ukur yang bagaimana sebuah
perusahaan yang akan dipailitkan melalui Kejaksaan ini dinyatakan melanggar kepentingan
umum yang apabila masalah ini akan dijadikan alasan, maka mau tidak mau Kejaksaan harus
melakukan kegiatan pengawasan pada perusahaan yang diduga melanggar kepentingan umum
tersebut sehingga tugas Kejaksaan akan bertambah yaitu tugas mengawasi dalam dunia usaha
yang selalu berubah rubah dan sangat dinamis. Oleh karrena itu sangat perlu adanya definisi
yang tegas tentang masalah “kepentingan umum“.

Sebagai contoh misalnya Debitur menggelapkan dari bagian harta kekayaan, mempunyai utang
kepada Badan Usaha Milik Negara, melarikan diri, mempunyai utang yang dihimpun dari dana
masyarakat dan hal hal lain yang menurut pihak Kejaksaan Debitur telah melangar kepentingan
umum.

Dalam ketentuan Pasal 2 ayat 4 Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan yang
dapat ditafsirkan bahwa peran bagi Pengawas Pasar Modal adalah sangat besar dalam hal
Debitur adalah merupakan perusahaan efek namun Badan Pengawas Pasar Modal hanyalah
badan yang menerima laporan saja sebab menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 8 tahun
1995 tentang Pasar Modal, tugas utama Badan Pengawas Pasar Modal adalah memberikan
perlindungan kepada investor publik, bukan mengambil alih hak-hak investor publik yang harus
dilindungi.

Pasal 2 ayat 5 Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 merupakan dasar hukum bagi Menteri
Keuangan untuk mengajukan pernyataan permohonan pailit bagi Debitur perusahaan Asuransi ke
Pengadilan Niaga, sehingga hal ini dapat diartikan bahwa satu satunya kewenangan yang dapat
mengajukan permohonan pailit bagi perusahaan asuransi adalah Menteri Keuangan Berdasarkan
ketentuan dari pasal 20 Undang-Undang Nomor 2 tahun 1992 tentang asuransi, maka pernyataan
permohonan pailit diajukan setelah adanya pencabutan ijin usaha oleh Menteri Keuangan.
Selanjutnya pada pasal 20 ayat 1 Undang-Undang nomor 2 tahun 1992 tentang usaha
perasuransian menyatakan : ..... Menteri berdasarkan kepentingan umum dapat memintakan
kepada Pengadilan agar perusahaan yang bersangkutan dinyatakan pailit.

Ketentuan tentang masalah yang menyatakan “kepentingan Umum” ini bertabrakan dengan soal
Kepentingan Umum yang wewenang untuk mengajukan pernyataan permohonan pailit juga
diberikan kepada Kejaksaan.

Dalam penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian menyatakan bahwa kewenangan Menteri Keuangan untuk mengajukan pernyataan
permohonan pailit dimaksudkan untuk mencegah berlangsungnya kegiatan yang izin usahanya
telah dicabut sehingga hal ini dimasudkan untuk dapat mencegah kerugian yang lebih banyak
dari masyarakat.

Ketentuan ini merupakan pembatasan kewenangan Kejaksaan sebagaimana ditentukan dalam


Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan sehinga dalam masalah
ini timbul pertanyaan apakah Kejaksaan dalam pengetian kepentingan umum yang dimaksud
dalam hal ini apakah juga bisa mengajukan pernyataan permohonan pailit.

Putusan atas permohonan harus ditetapkan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh)
hari terhitung sejak tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan. Putusan atas permohonan
pernyataan pailit tersebut harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum dan dapat
dijalankan terlebih dahulu (uitvoerbaar bij voorraad), meskipun terhadap putusan tersebut
diajukan suatu upaya hukum.

Undang-Undang Kepailitan menganut azas cepat seperti yang dikehendaki oleh Undang-undang
Pokok Kekuasaan Kehakiman Nomor 14 tahun 1970 yang pasal 4 ayat (2) menyatakan
“Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan”. Cepat dalam perkara kepailitan
pada Pengadilan Niaga adalah proses penerimaan perkara hingga putusan yaitu diputus dalam
jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan didaftarkan sedangkan
tahap penyelesaian yaitu pengurusan dan pemberesan tidak mengenal jangka waktu, sedangkan
dalam Pasal 8 ayat 5 Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 sebagai pembaharuan dari
ketentuan Undang-Undang Nomor 4 tahun 1998, maka putusan harus sudah diucapkan dalam
waktu 60 (enam puluh) hari.

Undang-Undang No.4 tahun 1998 tentang Kepailitan menganut asas pembuktian sederhana yang
pada umumnya dalam HIR tidak dikenal. Pasal 6 UUK menyebutkan permohonan pernyataan
pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa
syarat untuk dinyatakan pailit telah terpenuhi sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 1 ayat (1)
UUK. Menurut penjelasan Pasal tersebut yang dimaksud dengan pembuktian secara sederhana
adalah yang lazim disebut pembuktian secara sumir. Dari bunyi pasal 6 UUK di atas, maka, yang
harus dibuktikan oleh pemohon pailit dipersidangkan sebelum putusan pernyataan pailit
dijatuhkan adalah fakta atau peristiwanya, sedangkan mengenai hukumnya tidak perlu
dibuktikan karena Hakim dianggap tahu akan hukumnya (Ius Curia Novit). Selain dari pada itu
permohonan pailit dan hal-hal lain yang berkaitan tidak merupakan sengketa (Putusan Kasasi
Mahkamah Agung No.016 K/N/2000 tanggal 8 Juni 2000). Dalam perkara gugatan perdata
melalui Pengadilan Negeri menurut surat edaran Mahkamah Agung RI No.6 tahun 1992
menyatakan bahwa perkara harus diputus dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah perkara
diterima.

Putusan pernyataan pailit adalah bersifat serta merta (uitvoerbaar bij voorraad), yang berarti
walaupun putusan pernyataan pailit belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap (kracht van
gewijsde) Kurator telah dapat melakukan tindakan pengurusan dan atau pemberesan harta pailit,
seperti yang dimuat dalam Pasal 6 ayat 5 dan Pasal 12 UUK yang berbunyi:

Pasal 6 ayat 5: “Putusan atas permohonan pernyataan pailit sebagaimana dimaksudkan dalam
ayat 4 harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum dan dapat dijalankan terlebih
dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan suatu upaya hukum”.

Pasal 12 ayat 1: “Terhitung sejak tanggal putusan pernyataan pailit ditetapkan, kurator
berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan atau pemberesan atas harta pailit, meskipun
terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali”.

Terhadap tindakan kurator yang melaksanakan tindakan pengurusan dan atau pemberesan
sebelum putusan mempunyai kekuatan hukum yang tetap, tetap sah dan mengikat bagi debitur
walaupun kemudian putusan tersebut dibatalkan ditingkat kasasi atau peninjauan kembali.

Menurut kebiasaan selama ini tindakan pengurusan harta pailit selalu dilakukan kurator, akan
tetapi tindakan pemberesan dilakukan kurator setelah putusan mempunyai kekuatan hukum yang
tetap. Pelaksanaan putusan serta merta dalam perkara kepailitan tidak memerlukan izin Ketua
Pengadilian Tinggi tetapi dalam pelaksanaan putusan serta merta dalam perkara gugatan perdata
biasa, Ketua Pengadilan Negeri tidak dapat melaksanakan putusan tersebut tanpa izin dari Ketua
Pengadilian Tinggi atau Ketua Mahkamah Agung RI (SEMA No.16 tahun 1969, SEMA No.3
tahun 1971 dan SEMA No.3 tahun 1978).

Putusan permohonan pernyataan pailit adalah merupakan putusan akhir yang bersifat constitutif
yaitu putusan yang meniadakan atau menciptakan suatu keadaan hukum. Oleh karena itu dalam
Undang-Undang kepailitan ditentukan time frame yang terperinci baik tentang penyampaian
permohonan yang telah didaftar kepada Ketua Pengadilan Niaga, kepada Majelis Hakim maupun
penyampaian salinan putusan kepada pihak-pihak tertentu.

Dalam pasal 6 ayat (6) UUK menyatakan bahwa dalam jangka waktu paling lambat 2 x 24 yang
terhitung sejak permohonan pernyataan pailit ditetapkan, Pengadilan wajib menyampaikan
dengan surat dinas tercatat atau malalui kurir kepada debitur, pihak yang mengajukan
permohonan pernyataan pailit dan kurator serta Hakim Pengawas, salinan putusan Pengadilan
yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut.

Dalam Undang-Undang kepailitan banyak akibat-akibat hukum (yuridis) yang sedang


diberlakukan oleh Undang-Undang kepada debitur pailit. Akibat-akibat hukum (yuridis) tersebut
berlaku kepada debitur pailit dengan dua mode pemberlakuan yaitu sebagai berikut: 1) Berlaku
demi hukum. Akibat hukum yang berlaku demi hukum (by the operation of law) ini terjadi
segera setelah putusan pernyataan pailit dinyatakan atau setelah putusan pernyataan pailit
mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde). Seperti larangan bagi debitur
pailit untuk meninggalkan tempat tinggalnya (cekal) seperti disebut dalam Pasal 88 UUK,
sungguhpun dalam hal ini pihak Hakim Pengawas masih memungkinkan memberi izin bagi
debitur pailit untuk meninggalkan tempat tinggalnya. Demikian pula dengan ketentuan yang
dimuat dalam pasal 22 UUK, sejak dinyatakan pailit harta pailit dibawah sitaan umum. Bagi
kreditur separatis juga berlaku akibat hukum demikian yaitu harta yang dijaminkan tidak boleh
dijual selam 90 hari (stay) sejak putusan pernyataan pailit. 2) Berlaku secara rule of reason.
Untuk akibat-akibat umum tertentu dari kepailitan berlaku rule of reason, artinya akibat hukum
tersebut tidak otomatis berlaku, akan tetapi baru saja jiaka diberlakukan oleh pihak-pihak
tertentu setelah mempunyai alasan yang wajar untuk diberlakukan.

Pihak-pihak tertentu yang mempertimbangkan berlakunya akibat-akibat hukum tersebut seperti


Kurator, Pengadilan Niaga ataupun Hakim Pengawas. Akibat kepailitan yang memerlukan rule
of reason adalah tindakan penyegelan harta pailit. Penyegelan memerlukan persetujuan Hakim
Pengawas, jadi tidak terjadi secara otomatis. Reason untuk penyegelan ini adalah untuk
pengamanan harta pailit itu sendiri. Ketentuan ini dapat dilihat dalam Pasal 90 ayat (1) UUK
yang menyatakan bahwa atas persetujuan Hakim Pengawas, berdasarkan alasan untuk
mengamankan harta pailit dapat dilakukan penyegelan atas harta pailit.

Di dalam melaksanakan putusan pengadilan di bidang hukum perdata, ternyata tidak semua
putusan hakim dapat dijalankan karena setiap putusan tersebut harus terlebih dahulu dilihat dari
asal usul perkaranya, yaitu perkara yang duajukan dimuka pengadilan tersebut berupa perkara
permohonan atau perkara gugatan dikarenakan dalam perkara perdata, akibat hukum dalam
perkara permohonan dan akibat hukum dalam perkara gugatan masing-masing mempunyai sifat
yang berbeda sehingga dikenal beberapa sifat putusan yaitu Putusan Condemnatoir yang berasal
dari perkara gugatan maka putusanya dapat dijalankan dan dilaksanakan, sedangkan putusan
yang bersifat Declaratoir dan putusan Constitutif yang berasal dari perkara permohonan maka
dalam menjalankan putusannya tidak diperlukan sarana atau upaya paksa, sebab dalam amar
putusannya tidak di muat hal hal yang mengandung hukuman atau adanya hak atas suatu
prestasi, maka terjadinya akibat hukum tidak tergantung pada bantuan atau kesediaan dari pihak
yang dikalahkan, maka oleh karena itu tidak diperlukan sarana sarana pemaksa untuk
menjalankannya.

Berbeda dengan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata dimana putusan belum dapat
dijalankan apabila dalam putusan perkara tersebut para pihak masih menempuh upaya hukum
sehingga terdapat tenggang waktu untuk menyelesaikan secara hukum, sebab dalam
melaksanakan putusan perkara perdata disamping harus bersifat eksekutorial yaitu dalam kepala
putusan harus ada kalimat “Demi keadilan berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa“, maka
dalam putusan perkara perdata harus pula dinyatakan bahwa putusan tersebut “telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap“ dalam arti bahwa segala dan seluruh hak untuk mengajukan upaya
hukum bagi para pihak telah dilakukan sesuai dengan ketentuan undang-undangan yang berlaku
dan dinyatakan selesai.

Hal yang demikian ini berbeda dengan sifat putusan dalam perkara kepailitan. Dalam perkara
kepailitan bentuknya adalah permohonan, namun demikian meskipun bentuk dari perkara
kepailitan adalah permohonan, tetapi Undang-undang menetapkan bahwa terhadapnya,
Pengadilan memberikan keadilannya dalam bentuk suatu putusan. Putusan atas permohonan
pernyataan pailit, dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun terhadapnya diajukan upaya hukum.

Bambang Riyanto, 2002, Dasar-Dasar Pembelanjaan Perusahaan, Edisi 7, BPFE, Yogyakarta.

Dharta Karo Karo, 2001, Peta Keuangan Perbankan Indonesia Dalam Era Krisis Multi Dimensi,
Vol.1, PT. Ekofin Konsulindo, Jakarta.

Deyuzar Syamsi, 2000, Prospek Bisnis Tanpa Uang Tunai, Bank & Manajemen, No.53
Maret/April 2000, PT. Bank Negara Indonesia Tbk.

Fred. B.G, Tumbuan, 1999, Pokok-pokok Undang-Undang tentang Kepailitan sebagaimana


diubah oleh Perpu No. 1/1998, Jakarta.

Imran Nating, Kepailitan Di Indonesia (Pengantar), www.solusihukum.com, 5 November 2004,


(Diakses pada tanggal 1 Juni 2007).

Jerry Hoff, 2000, Undang-Undang Kepailitan di Indonesia, PT. Tatanusa, Jakarta.

Lawrence D. Schall and Charles W. Haley., Introduction to Financial Management, McGraw


Hill, Inc., edisi ke-6, Singapore.

Munir Fuady, 1998, Hukum Pailit 1998 dalam Teori dan Praktek, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Purwosutjipto, H.M.N, 1995, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Djmabatan,


Bandung.

Rachmadi Usman, 2001, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia, Gramedia Pustaka


Utama, Jakarta.

Robintan Sulaiman dan Joko Prabowo, Lebih Jauh tentang Kepailitan, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2000.

Rudy Lontoh, Penyelesaian Utang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,
Alumni, Bandung, 2001.
Sudargo Gautama, 1998, Komentar Atas Peraturan Kepailitan Baru Untuk Indonesia, Citra
Aditya Bakti, Bandung.

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum. Yogyakarta: Liberty, 2002.

Sutan Renny Sjahdeini, 2001, Sejarah Hukum Kepailitan di Indonesia, dalam Jurnal Hukum
Bisnis, Jakarta.

www.lapen.co.cc / www.laporanpenelitian.co.cc / www.kesimpulan.co.cc

You might also like