You are on page 1of 6

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Peran terpenting konseling pasien adalah memperbaiki kualitas hidup pasien dan
menyediakan pelayanan yang bermutu untuk pasien. Kejadian yang disebut
kecelakaan obat (efek merugikan, efek samping, interaksi obat dan kesalahan
penggunaan obat) dan ketidak patuhan terhadap program pengobatan menurunkan
kualitas hidup dan mengganggu pelayanan yang bermutu. Selain itu tingginya
biaya pelayanan kesehatan saat ini menimbulkan kebutuhan akan adanya
intervensi untuk meminimalkan biaya – biaya yang tidak diperlukan dan
memaksimalkan keuntungan – keuntungan yang diperoleh dari terapi medis
(Melanie J. Rantucci, 2010).

Sebagai bukti adanya kebutuhan ini, lebih dari 200 penelitian dan perkiraan
penggunaan obat oleh pasien yang tidak dirawat inap menunjukkan bahwa 50 %
pasien akan menggunakan obat secara tidak benar. Menurut laporan Department
of Health and Human Service ( DHHS ) tahun 1990, 48 % dari seluruh penduduk
Amerika serikat, dan 55 % manula, dalam beberapa hal, gagal mengikuti regimen
pengobatan. Selain itu sebuah penelitian menunjukan bahwa 32 % pasien yang
mendapat perintah pengulangan resep dari dokter tidak mengulangi pembelian
resep tersebut. Sebagai bukti lain dari hal ini, telah dihitung bahwa dari 25.815
resep yang kemungkinan dapat dibeli ulang di Apotik komunitas bebas biasa pada
tahun 1988 hanya 14.681 resep yang diracik dan diserahkan pada pasien. Dengan
kata lain setiap detik atau sepertiga pasien yang menerima resep kemungkinan
menggunakan obat secara tidak benar.

Meskipun ketidak patuhan tidak selalu menimbulkan konsekuensi, penelitian


menujukkan bahwa 25 % pasien ini akan menggunakan obat dengan cara yang
dapat membahayakan kesehatan pasien. Ketidakpatuhan dapat memperlama masa
sakit atau meningkatkan keparahan penyakit. Selain itu ketidakpatuhan dapat
membuat dokter berasumsi bahwa diagnosis salah. Asumsi ini muncul akibat
buruknya respon terhadap obat. Hal ini menyebabkan dokter melakukan lebih
banyak test dan mungkin memberikan tambahan obat baru. Tinjauan literatur
memperlihatkan bahwa 5.5 % pasien masuk rumah sakit akibat keidakpatuhan
terhadap terapi obat.

Tenaga medis dapat memberikan banyak dampak signifikan pada keadaan ini
melalui konseling pasien. Menurut laporan DHHS “Regimen Pengobatan :
Penyebab Ketidakpatuhan “kurangnya informasi tentang obat merupakan salah
satu dari empat variabel terpenting yang menjadi alasan utama pasien manula
gagal mematuhi regimen pengobatan. Banyak penelitian telah membuktikan
keefektifan penyediaan informasi dan sistem pengingat oleh apoteker. Sebagai
contoh, suatu penelitian di Memphis, Tenesse menemukan tingkat kepatuhan
84.7% pada pasien yang menerima banyak informasi tentang antibiotik,
sedangkan pasien yang lebih sedikit menerima informasi hanya menunjukkan
tingkat kepatuhan 63 %. Penelitian lain menunjukkan peningkatan kepatuhan
sebesar 49 % pada pasien yang mendapat obat jantung, antihipertensi dan
hipoglikemik oral dengan bantuan sistem pengingat resep.

Selain masalah kepatuhan dan reaksi obat merugikan, melalui konselin pasien,
apoteker dapat menemikan banyak masalah lain yang terkait obat seperti Indikasi
yang tidak terobati, pemilikhan obat yang tidak tepat, dosis subterapi, over-dosis,
Interaksi obat dan penggunaan obat tanpa indikasi.

Komunitas pelayanan kesehatan baru-baru ini telah menyadari bahwa kejadian


efek merugikan yang di sebabkan oleh kesalahan dalam perawatan dan terapi
pasien merupakan suatu masalah besar yang turut mengakibatkan bertambah
lamanya perawatan di rumah sakit, bertambah keparahan penyakit dan
penderitaan, serta hilangnya kepercayaan terhadap sistem pelayanan kesehatan
.Laporan Institut Kediokteran Amerika Serikat, “ Kesalahan adalah manusiawi, “
Membagun Sistem Kesehatan yang lebih aman, “ yang berfokus pada kualitas
pelayanan kesehatan di Amerika, memperkirakan bahwa pada tahun 1999,
sebanyak 100.000 penduduk Amerika meninggal setiap tahun di rumah sakit
akibat efek merugikan obat ( lebih banyak dari pada akibat kecelakaan lalu lintas,
kanker panyudara, atau AIDS ). Pada sebuah penelitian Pelayanan Medis Harvard
yang penting, yaitu penelitian berbasis populasi pada pasien rawat inap yang
mengalami luka iatrogenik ( Penyakit yang di sebabkan oleh terapi medis ) di
negara bagian New York pada tahun 1994, di temukan bahwa 3,7 % pasien
penderita yang menyebabkan waktu tinggal di rumah sakit menjadi lama atau
menyebabkan cacat, dan 69% luka ini terjadi akibat kesalah. Obat bertanggung
jawab atas 19,4 % kejadian luka tersebut; 45 % dari kesalahan yang berkaitan
dengan obat ini disebabkan oleh kesalahan pengobatan. Dalam penelitian tentang
penerimaan pasien rumah sakit, di temukian 6,5 kejadian obat merugikan (
adverse drug event,ADE ) dan 5,5 kemungkinan terjadi ADE pada 100 orang yang
masuk rumah sakit dengan 28 % akibat kesalahan. ADE meliputi reaksi
merugikan dan kesalahan. Kesalahan pada lebih dari satu terhadap teridentifikasi
dari ADE tersebut; kesalahan paling sering terjadi pada tahap peresepan dan
pemberian obat. Penelitian yang dilakukan pada pelayanan apotek komunitas
menunjukkan perkiraan kesalahan pengobatan berkisar dari 1,5 % sampai 4%
resep yang di berikan untukl pasien rawat jalan ( ambolutori ). Analisis sistem
kesalahan pengobatan menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
terjadinya kesalahan pengobatan bersifat multi faktorial dan meliputi penyebab
lansung yang berasal dari faktor keadaan saat obat di berikan kepada pasien.
Faktor lain melibatkan kondisi laten yang berkaitan dengan sistem penyediaan
obat mulai dari proses pembuatan dan sistem regulasi hingga obat sampai ke
pasien Penyebab mencakup komunikasi yang tidak lancar ( atau gagal )
kurangnya edukasi pasien; pemberian obat, proses peracikan, dan distribusi obat
yang salah ; serta tingkat pengetahuan apoteker, pasien, dan penulis rfesep
( dokter ). Semua ini dapat diindentifikasi dan di cegah melalui koseling pasien.
Intitute for Safe Medication Pratices telah mengindentifikasi edukasi pasien ( baik
lisan maupun tulisan ) sebangai strategi pencegahan kesalahan pengobatan yang
paling penting.
Masalah penggunaan obat tidak hanya dapat meningkatan risiko pada pasien.
Tetapi juga menambah waktu dan biaya yang dibutuhkan, Suatu penelitian yang
dilakukan di california menunjukkan bahwa biaya perawatan rumah sakit pasien
manula akibat reaksi obat merugikan adalah US$340,1 juta. Biaya yang
dikeluarkan akibat ketidak patuhan terhadap terapi obat diperkirakan sebesar US$
20 juta karena tidak bekerja dan US$ 1,5 miliar karena kehilanagan pendapatan
pertahun selain itu, pengeluaran sebesar US$ 8,5 miliar untuk biaya rumah sakit
yang sebenarnya tidak perlu pada tahun 1986 ( US$ 8,6 miliar ini adalah sekitar
1,7 % dari semua pengeluaran untukl pelayanan kesehatan pada tahun tersebut )
secara keseluruhan biay, biaya tahunan morbiditas dan mortalitas akibat obat di
Amerika serikat di perkirakan oleh Johnson dan Bootman pada tahun 1995sebesar
US$45,6 miliar unjtu7k bviaya pelayanan kesehatan langsung. Selain itu biaya
yang di keluarkan untuk kejadian merugikan yang sebetulnya dapat di cegah
( Segala sesuatu yang dapat memperburuk keadaan pasien dalam sistem pelayanan
kesehatan yang merupakan kejadian berbahaya yang tidak direncanakan dan tidak
diinginkan seperti reaksi merugikan dan kesaalahan medis ) diperkirakan antara
$17 miliar dan $ 19 Miliar, yang mencakup kehilanagn pendapatan, cacat, dan
biaya medis menurut laporan, “kesalahan adalah manusiawi.” Dengan terus
meningkatnya biaya pelayanan kesehatan setiap tahun, yang di keluarkan oleh
perorangan dan oleh lembaga yang mengurus perencanaan kesehatan baik di
pemerintah maupun di swasta, keterlibatan apoteker dalam konseling pasien
menjadi penting.

Selain mengurangi morbiditas akibat obat dan biaya – biaya selanjutnya yang di
keluarkan oleh perorangan dan masyarakat, konseling pasien dapat memberikan
keuntungan pada pasien dalam sejumlah hal lain yang meliputi perbaikan kondisi
pasien dan kepuasan terhadap pelayanan. Pasien kemungkinan mengiginkan
pemastian bahwa suatu obat aman dan efektiuf. Pasien juga kemungkinan
membutuhkan penjelasan tambahan yang belum mereka dapatkan dari dokter
tentang penyakit mereka karena pasien terlalu terburu-buru, terlalu sedih atau
terlalu malu untuk bertanya. Banyak penelitian telah membuktikan bahwa
komunikasi yang efektif antara pasien dan dokter memperbaiki hasil yang di
peroleh pasien. Kualitas komunikasi saat mengambil riwayat pasien dan selama
mendiskusikan perencanaan pengobatan pasien diketahui riwayat pasien dan
selama mendiskusikan perencanaan pengobatan pasien di ketahui meningkatkan
kesehatan emosional, penghilangan gejala, Fungsi, pengukuran fisoigik ( yaitu
tekanan darah dan kadar gula darah ) dan pengendalian rasa nyeri. Akan tetapi,
komunikasi dokter-pasien sering kali terburu-buru dan Informasi terkait masalah-
masalah terapi obat tidak didiskusikan dengan cukup lengkap. Komunikasi
apoteker-pasien dapat memperbaiki keterbatasan komunikasi dokter-pasien, dan
dapat meningkatkan hasil yang di peroleh pasien.

Pasien merasakan bahwa komunikasi, kepekaan antar-pribadi, dan kemitraan


dengan penyedia layanan kesehatan meningkatkan kepuasan . Hasilnya, pasien
cenderung mematuhi saran medis dan mengingat informasi medis yang di berikan.

Konseling lebih lanjut dapat membantu pasien melekuken rawat-mandiri


meskipun banyak kondisi penyakit dapat ditangani sendiri, pasien sering
membutuhkan bantuan untuk menentukan gejalayang dapat ditangani sendiri dan
gejala yang perlu ditangani dokter. Salah penggunaan obat tanpa resep telah
tercatac dalam literatur; angka kejadian pada kelompok –kelompok yang di teliti
bervariasi dari 15 % sampai 66 % terapi –mandiri, bila diperlukan , dapat
menguranggi kebutuhan akan pelayaan kesehatan yang lebih formal dan
menguranggi biaya yang di keluarkan untuk pelayanan tersebut. Sama halnya
dengan konseling resep, konseling obat tanpa resep yang dilakukan oleh apoteker
dapat menguntungkan pasien baik secara medis maupun financial.
Di Bandung sendiri pernah dilakukan penelitian oleh seorang mahasiswa ITB di
Rumah Sakit Immanuel Bandung, yang hasilnya : bahwa 41,43% pasien pernah
melakukan ketidaktepatan dalam penggunaan obat, 70,99% salah menjalankan
jadwal obat, 2,81% lebih menyukai apoteker sebagai sumber informasi obat.

Mandailing Natal merupakan kabupaten dengan Indeks Pembangunan Manusia


yang dalam beberapa tahun terakhir menduduki peringkat tiga terbawah untuk
provinsi sumatera utara. Pemahan akan arti sehat dan penggunaan obat masih
sangat memprihatinkan.

You might also like