You are on page 1of 13

Kejang Umum Tonik Klonik

*Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Alamat korespondensi: Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara nomor 6. Kebon Jeruk, Jakarta Barat, 11510
Telp 56942061, Faks 5631731

Pendahuluan
Kejang umum tonik klonik / generalized tonic clonic seizure (GTCS) adalah jenis
bangkitan yang mengenai seluruh tubuh, didahului oleh peningkatan tonus otot-otot (fase
tonik) yang diikuti hentakan simetris bilateral dari ekstremitas (fase klonik).
Terdapat 2 jenis GTCS, yaitu:
1. GTCS primer: serangan mulai bilateral, simetris, tanpa gambaran fokal sejak awal
mula serangan.
2. GTCS sekunder: serangan mulai setempat, fokal, yang berkembang menjadi umum.
Beberapa bangkitan parsial menjadi general dengan sangat cepat sehingga tidak
tampak secara klinis atau bahkan pada perekamanEEG.
Etiologi dan Usia
GTCS dapat terjadi sebagai bangkitan yang idiopatik atau merupakan bagian
manifestasi klinik dari sindrom-sindrom epilepsi baik pada dewasa maupun kanak-kanak.
(Misalnya, benign neonatal convulsions, benign myoclonic epilepsy of infancy, childhood
absence epilepsy, juvenile absence epilepsy, juvenile myoclonic epilepsy, GTCS yang terjadi
saat bangun tidur, temporal lobe epilepsy syndrome, frontal lobe epilepsy syndrome, West
syndrome, dan lain-lain. Dengan perkembangan ilmu, telah dapat ditentukan lokus-lokus
genetik yang pasti dari berbagai tipe atau sindrom epilepsi.
GTCS sering juga terjadi sebagai bagian dari epilepsi fokal simptomatik. Hal-hal yang
dapat menyebabkan timbulnya GTCS antara lain defek kongenital dan trauma saat lahir,
febris (terutama pada anak), infeksi akut ataupun kronis termasuk AIDS, trauma kepala, lesi
desak ruang seperti tumor atau hematoma, penyalahgunaan narkoba dan alkohol, strok, dan
penyakit degeneratif seperti penyakit Alzheimer. Penyakit-penyakit metabolik yang juga
berhubungan dengan kejadian GTCS adalah gangguan elektrolit, uremia, hipoglikemia, dan
disfungsi hepar yang berat.
Bangkitan kejang umum tidak umum ditemukan pada bayi dan jarang pada neonatus. Pada
pasien usia lanjut, GTCS biasanya disebabkan generalisasi sekunder yang berasal dari lesi
fokal otak.

Patofisiologi
Secara fisiologis, sinyal listrik pada sel-sel neuron mempunyai 2 bentuk: potensial
aksi dalam satu neuron dan transmisi informasi antar neuron melalui sinaps kimiawi.
Membran neuron bersifat semipermeabel terhadap arus listrik yang lewat. Permeabilitasnya
menghalangi perubahan cepat yang secara dramatis dapat mengganggu voltase yang
melewatinya. Ion Na mempunyai konsentrasi yang tinggi di ruang ekstraseluler, sedangkan
ion K berkonsentrasi tinggi di intraseluler. Influks ion positif (Na, Ca) meningkatkan
potensial membran yang menyebabkan depolarisasi, sementara influks ion Cl dan efluks ion
K menyebabkan hiperpolarisasi. Saat membran sel mengalami depolarisasi sampai mencapai
ambang, saluran ion Na terbuka, menyebabkan masuknya ion ke intraseluler, yang
menghasilkan potensial aksi. Efluks K dari sel menyebabkan repolarisasi. Pompa Na-K
mengganti ion-ion yang berpindah ini dengan menggunakan ATP. Propagasi potensial aksi
sepanjang akson mentransmisikan informasi sepanjang sistim saraf. Bila akson terminal
presinaps terstimulasi oleh potensial aksi, akan terjadi influks ion Ca yang mencetuskan
pelepasan neurotransmitter yang lalu terikat pada reseptor postsinaptik. Proses ini akan
menghasilkan potensial postsinaptik eksitatoris dan inhibitoris (EPSP dan IPSP) di mana
penjumlahan dan sinkronisasinya menghasilkan aktivitas listrik yang direkam oleh EEG.
Glutamat dan aspartat adalah neurotransmitter eksitatorik utama, sementara gammaaminobutyric acid (GABA) merupakan neurotransmitter inhibitorik utama dalam otak.
Impuls listrik dilanjutkan oleh neuron-neuron berikutnya. Serat-serat proyeksi, baik aferen
maupun eferen membawa impuls dari dan ke korteks, baik dalam hubungan dengan strukturstruktur di bawahnya ataupun dengan hemisfer kontralateral.
Normalnya, terdapat keseimbangan antara faktor yang menyebabkan eksitasi dan
inhibisi aktivitas listrik. Sistim tertentu di otak membatasi perluasan aktivitas listrik ini.
Bangkitan dihasilkan oleh letupan sinkron dan menetap dari suatu populasi neuron di otak.
Fungsi neuron-neuron kortikal terganggu dalam pembangkitan dan penyebaran aktivitas
listrik abnormal. Bangkitan dapat timbul karena imbalans antara eksitasi dan inhibisi serta
adanya sinkroni dari pelepasan neuronal. Baik pengaruh eksitatorik maupun inhibitorik dapat
terganggu, menyebabkan predisposisi terjadinya sinkroni berlebihan dalam populasi
neuronal. (Goetz, 2003) Eksitasi yang berlebihan mengakibatkan letupan neuronal yang cepat
waktu kejang, merekrut sistim neuronal yang berhubungan secara sinaptik, sehingga terjadi
pelepasan yang berlebihan. Sementara itu, bertambahnya sinkronisasi adalah ciri khas
pelepasan epileptik. Tunas anjang-anjang aksonal (sprouting of axonal arbors) dari neuron
eksitatoris dan pembentukan hubungan sinaptik eksitatoris yang berulang-ulang serta
feedback positif dan bertambahnya hubungan sinaptik ini menyokong pelepasan sinkronisasi.
Reseptor glutamat sangat penting dalam eksitasi. Perubahan pada sinaps
glutaminergik merupakan dasar epileptogenesis, terutama perubahan pada komposisi sub unit
reseptor dengan akibat perubahan pada sifat fungsional reseptor glutamat, berupa potensiasi
jangka panjang pada sinaps glutamat maupun bertambahnya masuknya ion Ca. Selain itu,
transport glutamat/mekanisme uptake termasuk dalam penunjang utama ikut sertanya dalam
epileptogenesis; glutamat yang berada terus-menerus di celah sinaps adalah dasar potensial
bertambahnya eksitabilitas.
Perubahan struktur elektrik neuron (misalnya pemangkasan dendritik atau perubahan
sifat membran) merubah hubungan antara depolarisasi distal (misalnya dari input sinaptik)
dan output aksi potensial. Akan tetapi, kebanyakan penyelidikan mekanisme intrinsik
dipusatkan pada perubahan saluran voltase, terutama saluran ion natrium, kalium, dan

kalsium. Mutasi atau hilangnya saluran itu menyebabkan pelepasan transmitter, penambahan
transmisi di akson, influks ion Ca yang bertambah berhubungan dengan depolarisasi
neuronal, dan bertambahnya kemampuan melepaskan letupan berulang-ulang.
Kadar ion K esktraseluler yang berlebihan mendepolarisasi neuron. Sel-sel glial dapat
membersihkan neurotransmitter dari ruangan ekstraseluler, menjadi buffer ion K dan
memperbaiki konsentrasi K esktraseluler yang meningkat waktu terjadi kejang. Gliosis dapat
meempengaruhi kapasitas buffer ion K glia dan arena itu ikut serta dalam pembentukan
kejang.
Trauma, neurotoksin dan hipoksia secara selektif dapat menyebabkan kematian subpopulasi sel-sel tertentu, sehingga akson-akson dari neuron yang hidup mengadakan tunas
untuk berhubungan dengan neuron deaffrensiasi parsial. Sirkuit yang sembuh cenderung
mudah terangsang (hipereksitabel) karena rusaknya interneuron penghambat.
Mekanisme berhentinya kejang masih sedikit dimengerti. Diperkirakan kejang berhenti
sebagai akibat proses inhibisi aktif, dengan mekanisme seperti blok depolarisasi, perubahan
lingkungan ekstraseluler seperti penurunan K ekstraseluler atau eliminasi ion Ca intraseluler.
Agen-agen endogen seperti norepinefrin atau adenosine mempunyai aksi antikonvulsan
mungkin berperan dalam berhentinya kejang.
Bangkitan parsial disebabkan oleh pelepasan muatan dalam fokus atau regio tertentu dari
otak, yang dapat berkembang menjadi bangkitan umum. Bangkitan parsial berusaha
dijelaskan dengan model kindling. Kindling adalah pemberian berulang stimulus elektris atau
agen-agen epileptogenik yang awalnya nonkonvulsif ke struktur otak mana saja yang
menghasilkan berkembangnya bangkitan EEG dan bangkitan klinis, kadang-kadang
berkembang menjadi general. Terdapat 3 mekanisme, yaitu aktivasi reseptor NMDA,
hilangnya neuron yang biasanya mengaktivasi sel-sel inhibitoris, dan reorganisasi sinaptik
output sel-sel eksitatorik.
Gambaran Klinis
Pasien mungkin tidak memberikan sama sekali temuan-temuan pada pemeriksaan neurologis
bila tidak sedang mengalami kejang.
1. Gejala prodromal
Pasien dengan GTCS mungkin mengalami gejala prodromal yang terjadi selama
beberapa jam atau hari sebelum suatu bangkitan. Gejala-gejala yang umum adalah
perubahan mood, gangguan tidur, rasa ringan pada kepala, kecemasan, iritabilitas,
kesulitan berkonsentrasi, dan, perasaan riang. Gejala-gejala lain yang lebih jarang
dilaporkan adalah nyeri abdomen, wajah pucat, atau nyeri kepala. Mayoritas pasien
mengalami gangguan kesadaran tanpa gejala-gejala pendahuluan.
2. Aura
Pasien dengan GTCS primer tidak mengalami aura. Aura mewakili bangkitan
parsial sederhana, dan riwayat aura mengidentifikasikan bangkitan parsial. GTCS
sekunder dapat dimulai dengan gejala atau tanda bangkitan parsial sesuai dengan fokus
asalnya (bangkitan parsial sederhana atau kompleks, atau keduanya).

3. Fase Tonik
Fase tonik biasanya terdiri atas fase fleksi yang hebat, diikuti fase ekstensi yang
lebih lama, disertai gangguan kesadaran. Fleksi biasanya dimulai dari wajah (mata
terbuka, bola mata terputar ke atas, mulut terbuka kaku), leher (semifleksi kaku), dan
badan (dada tertekuk ke pelvis). Fase fleksi menyebar ke seluruh ekstremitas, meliputi
lengan lebih tampak daripada tungkai, dan otot-otot proksimal lebih tampak daripada
otot-otot distal. Lengan terangkat, mengalami aduksi, dan berotasi eksternal. Tungkai dan
panggul terfiksir, mengalami aduksi, dan berotasi secara eksternal.
Fase ekstensi mulai dengan perototan aksial dengan ekstensi punggung dan leher.
Mulut tertutup rapat (lidah mungkin tergigit). Otot-otot thoraks dan perut berkontraksi,
seringkali dengan mengeluarkan tonic cry saat udara dikeluarkan dari korda vokalis.
Lengan kemudian diturunkan dan diadduksi. Pergelangan tangan dapat tetap fleksi,
adduksi, dan berotasi eksternal.
Selama periode transisi dari tonik menjadi klonik, kontraksi menjadi makin
berkurang. Rigiditas tonik digantikan oleh tremor halus, yang amplitudonya makin
meningkat dan frekuensinya menurun dari 8 menjadi 4 Hz. Tremor ini disebabkan
penurunan tonus secara intermitten yang dimulai dari ekstremitas dan menyebar ke
proksimal. Durasi fase ini 10-30 detik.
Fase ini dapat disertai oleh apnea, secara sekunder karena spasme laring. Tandatanda otonom sering didapatkan selama fase ini, meliputi peningkatan denyut nadi dan
tekanan darah, berkeringat hebat, dan hipersekresi trakeobronkial. Walaupun tekanan
kandung kemih meningkat, miksi tidak terjadi karena kontraksi otot spinkter.
4. Fase Klonik
Selama fase klonik, relaksasi otot menginterupsi kontraksi tonik. Kembalinya
tonus otot (fase atonia) berganti-gantian dengan spasme yang kasar dari fleksor dan
berulang secara ritmik menyebabkan penampakan seperti hentakan ritmis, yang makin
lama tampak makin jauh satu sama lain sampai kejang berhenti. Tiap hentakan dapat
disertai oleh cry. Durasi fase ini antara 30-50 detik. Miksi dapat terjadi pada akhir fase
klonik saat otot spinkter berelaksasi. Pasien tetap mengalami apneu selama fase ini.
Kejang ini, yang meliputi fase tonik dan klonik berlangsung selama 1-2 menit.
5. Gejala Otonomik
Gejala otonomik bermula dari fase pre-iktal, mencapai maksimal pada akhir fase
tonik, dan menurun hebat saat onset fase klonik. Gejala-gejala autonom yang dapat
terlihat adalah peningkatan tekanan darah nadi, tekanan buli-buli, tonus spinkter, flushing,
sianosis, piloereksi, perspirasi, saliva, dan sekresi bronkial. Apnea dimulai dengan
ekspirasi hebat saat onset fase tonik, menetap selama fase tonik dan klonik, dan kadang
sampai periode post-iktal awal.
6. Fase Post-Iktal Awal
Relaksasi otot sempurna tidak langsung terjadi pada fase post-iktal. Setelah 5
menit setelah hentakan klonik yang terakhir, kontraksi tonik yang baru berlangsung dari

beberapa detik sampai 4 menit. Tonus otot-otot sefalik meningkat, lidah dapat tergigit.
Antara hentakan klonik terakhir dan fase post-iktal awal, otot spinkter buli-buli
berelaksasi, dan inkontinensia dapat terjadi.
Respirasi mulai kembali menjadi normal pada fase post-iktal awal. Peningkatan
sekresi menyebabkan onstruksi parsial. Respirasi terhambat, dan otot-otot bantu napas
aksesorius diaktivasi. Tekanan darah dan resistensi kulit kembali normal, tetapi takikardia
menetap. Sianosis berubah menjadi pucat. Gangguan kesadaran menjadi komplit, dan
refleks-refleks pupil dan kutaneus tidak didapatkan. Refleks tendon sangat bervaraisi.
Durasi fase ini 1-5 menit.
7. Fase Post-Iktal Lanjutan
Pada fase post-iktal lanjutan, flaksiditas berkembang sempurna. Denyut jantung
kembali normal, refleks tendon biasanya hilang, dan respon plantar biasanya ekstensor.
Pasien dapat tebangun dengan melewati berbagai tingkatan koma, konfusi atau
kebingungan, atau terus berlanjut tidur tanpa terbangun. Nyeri kepala dan otot sering
ditemukan. Pasien sendiri tidak mengingat peristiwa kejangnya. Durasi fase ini 2-10
menit. Sehingga total durasi kejang GTCS 5-15 menit. Pada GTCS sekunder yang
berkembang dari bangkitan parsial, durasi fase individual dan ekspresi klinis sangat
bervariasi sesuai jalur saraf yang dilewatinya.
Gambaran Rekaman Ensefalografik (EEG)
1. Fase Interiktal
EEG saat sadar pasien dengan GTCS umumnya normal. Abnormalitas interiktal
meliputi spikes, sharp waves, polyspikes, dan polyspike atau spike-and-wave complexes.
(Ko, 2007; Browne & Holmes, 2004) Aktivitas spike-and-wave yang cepat sering
dihubungkan dengan GTCS Hiperventilasi, stimulasi fotik, dan saat tidur dapat
meningkatkan kemungkinan menemukan abnormalitas EEG. (Ko, 2007)
Paroxysmal frontal intermittent rhythmic delta activity (FIRDA) mungkin
ditemukan pada beberapa pasien, terutama yang mempunyai riwayat absans, tetapi
gelombang ini merupakan abnormalitas nonspesifik sehingga tidak dianggap
epileptiform.
2. Fase Awal/Inisial
Selama fase awal GTCS sekunder, EEG dapat memperlihatkan gelombang tajam
atau gelombang lambat fokal.
3. Fase Tonik dan Fase Klonik
Fase tonik kejang dikarakteristikkan dengan pola amplitudo letupan yang lebih
tinggi dan frekuensi yang lebih rendah secara progresif yang diamati secara simultan
pada kedua korteks hemisfer, mencapai maksimum 10 Hz.
Hal ini kemudian menjadi lebih lambat, bercampur dengan spike amplitudo
tinggi bilateral, dan lebih banyak aktivitas ritme delta amplitudo tinggi. Gelombang-

gelombang ini lambat, berkembang progresif menjadi kompleks aktivitas spike-andslow-wave amplitudo tinggi repetitif pada fase klonik.
1. Fase Post-Iktal
EEG postiktal dapat isoelektris atau menunjukkan aktivitas gelombang delta amplitudo
sangat rendah yang difus. Hal ini berkaitan dnegan hiperpolarisasi. (Ko, 2007; Browne &
Holmes, 2004)
1. E. Pemeriksaan Penunjang Lainnya
1. Pemeriksaan Laboratorium
1.1.
Kadar prolaktin plasma, bila diperiksa dalam 10-20 menit saat kejang, meningkat 530 kali kadar normal. Kadar prolaktin plasama merupakan alat diagnosik yang berguna untuk
menyingkirkan pseudoseizure yang menyerupai kejang tonik-klonik. Kadar prolaktin tidak
meningkat pada bangkitan absans, mioklonik, dan pada kejang parsial sederhana atau
kompleks. (Ko, 2007)
1.2.
Kadar hormon adrenokortikotropik (ACTH), kortisol, vasopresin, growth hormone,
and endorfin beta serum juga meningkat post-iktal tetapi dalam durasi yang sangat singkat.
Sehingga sulit dilacak secara klinis. (Ko, 2007)
1.3.
Pada 15% pasien, terutama pada kejang yang berkepanjangan, mungkin didapatkan
pleiositosis likuor (umumnya 10 sel/mm3 dan jarang sampai sebanyak 50 sel/mm3). (Ko,
2007)
1.4.
Asidosis metabolik dan peningkatan kadar laktat dan kreatinin kinase sering
ditemukan setelah kejang. (Ko, 2007)
1. Pemeriksaan Radiologis
2.1. Abnormalitas dalam CT scan ditemukan dalam 10% pasien dengan GTCS primer.
Karena CT scan tidak mendeteksi kebanyakan jenis abnormalitas struktural congenital, MRI
adalah pilihan pemeriksaan. (Ko, 2007)
2.2. Pada GTCS sekunder yang terjadi karena gangguan migrasi neuronal, yang dapat
dideteksi MRI adalah lissencephaly, pachygyria, band atau laminar heterotopia,
subependymal heterotopias, focal cortical dysplasia polymicrogyria, focal subependymal
heterotopias, dan schizencephaly. (Ko, 2007)
Pasien dengan GTCSs dan epilepsi general idiopatik tidak mempunyai bukti-bukti
abnormalitas otak yang terlokalisir, regional, ataupun umum pada anamnesis, pemeriksaan
fisik atau neurologis, tes laboratorium, atau pemeriksaan radiologis. (Ko, 2007)
1. F. Diagnosis Diferensial
GTCS perlu dibedakan dengan sinkop dan pseudoseizure pada pasien dari segala usia. Pada
anak-anak, GTCS perlu dibedakan dengan breath-holding spell dan sindrom QT memanjang.
(Browne & Holmes, 2004)

GTCS primer yang merupakan bagian dari epilepsi general atau idiopatik perlu dibedakan
dengan kejang parsial yang menjadi GTCS sekunder sebagai bagian dari epilepsi fokal
simptomatik. Dicurigai GTCS primer bila (a) tidak terdapat bukti gangguan struktural otak,
(b) terdapat riwayat kejang dalam keluarga, (c) terdapat penyerta kejang mioklonik atau
absans, (d) kejadian kejang biasanya segera setelah bangun tidur, (e) hentakan mioklonik
bilateral saat onset kejang, dan (f) terdapat generalized spike-wave atau polispike wave pada
rekaman EEG interiktal. Dicurigai GTCS sekunder bila terdapat (a) aura, (b) tanda gangguan
struktural otak (dari pemeriksaan fisik atau radiologis), (c) onset dengan gejala atau tanda
kejang parsial sederhana, kejang parsial kompleks atau keduanya, dan (d) gelombang tajam
atau lambat fokal pada rekaman EEG interiktal. (Browne & Holmes, 2004)
Beberapa keadaan atau penyakit yang juga perlu dibedakan dengan GTCS adalah kejang
parsial kompleks, gangguan keseimbangan, kejang demam, distonia, dan hiperventilasi. (Ko,
2007)
1. G. Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul saat terjadinya GTCS adalah: (Browne & Holmes, 2004)
1. Trauma oral
Dapat terjadi maserasi lidah, bibir, atau pipi.
1. Trauma kepala
Fraktur tengkorak, kontusio, hematoma subdural atau epidural dapat disebabkan oleh jatuh
atau karena aktivitas klonik.
1. Fraktur
Fraktur kompresi vertebra thorakal atau lumbar dapat terjadi asimptomatik, dan lebih sering
pada orang tua.
1. Pneumonia aspirasi
Aspirasi bahan sekresi atau muntahan dapat terjadi saat refleks-refleks protektif normal jalan
napas mengalami inhibisi post-iktal, dan hal ini dapat berbahaya.
1. H. Tata Laksana
2. 1. Pertolongan Pertama Saat Kejang dan Pencegahan Komplikasi
Secara umum, setiap orang yang menyaksikan terjadinya kejang bertanggungjawab untuk
mencegah luka fisik, memastikan keamanan, dan mengawasi dengan baik. Penderita tidak
boleh ditinggalkan sendirian. Bila diperlukan, penolong harus mencari pertolongan. (Browne
& Holmes, 2004)
Bila memungkinkan, tempatkan alat bantu airway oral yang lunak pada mulut penderita
untuk mencegah trauma oral dan menjamin drainase sekret selama kejang. Pasien sebaiknya
ditempatkan di tempat aman sebelum terjatuh. Selama fase klonik, tangan atau benda lunak

dapat digunakan untuk mencegah trauma kepala. Letakkan pasien pada posisi lateral
dekubitus untuk menjamin drainase sekret dan mencegah aspirasi. (Browne & Holmes,
2004)
1. 2. Prinsip Dasar Tata Laksana Epilepsi
Tujuan utama tata laksana epielpsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk pasien
dengan upaya menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan, mencegah
timbulnya komplikasi dan mencegah timbulnya efek samping obat. (Perdossi, 2007)
Keberhasilan pengobatan epilepsi ditentukan oleh ketepatan diagnosis, jenis obat anti epilepsi
(OAE), kepatuhan, sikap dan pengetahuan pasien dan keluarga tentang epilepsi. (Limoa,
2004)
Prinsip-prinsip terapi farmakologis:
1. Obat anti epilepsi diberikan bila: (Perdossi, 2007; Limoa, 2004)
1. Diagnosis yang akurat dan karakteristik, serta penyebab, jenis bangkitan atau
sindroma epilepsi telah ditegakkan melalui anamnesis yang cermat,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan EEG dan pemeriksaan penunjang lainnya.
2. Pasien dan keluarga menerima penjelasan tentang pengobatan dan efek
samping obat yang mungkin timbul.
3. Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai jenis
bangkitan atau jenis sindroma epilepsi. Dosis obat dapat dinaikkan bertahap
sampai mencapai hasil optimal, dan bila perlu dapat diteruskan dnegan
politerapi. Bila kadar OAE kedua telah mencapai kadar terapi, dosis OAE
pertama diturunkan bertahap. (Perdossi, 2007; Limoa, 2004)
4. Pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk diberikan terapi bila
: (Perdossi, 2007; Browne & Holmes, 2004)
1. Dijumpai focus epilepsi yang jelas pada EEG
2. Pada pemeriksaan CT scan atau MRI otak dijumpai lesi yang
berkorelasi dengan bangkitan
3. Pada pemeriksaan neurologis dijumpai kelainan yang mengarah pada
adanya kerusakan otak.
4. Terdapat riwayat epilepsi pada saudara sekandung
5. Riwayat bangkitan simptomatik
6. Riwayat trauma kepala terutama yang disertai penurunan kesadaran,
stroke, infeksi SSP
7. Bangkitan pertama berupa status epileptikus

8. Efek samping dan interaksi OAE perlu diperhatikan. (Perdossi, 2007)


9. 3. Terapi Farmakologis GTCS Primer dan Sekunder
Berdasarkan pedoman tata laksana epilepsi yang dikeluarkan Perdossi tahun 2007
berdasarkan jenis bangkitan, untuk GTCS primer, OAE lini pertama adalah adalah sodium
valproat, lamotrigine, topiramate, dan carbamazepine. OAE lini keduanya adalah clobazam,
levetiracetam, dan oxcarbazepine. OAE lain yang dapat dipertimbangkan adalah clonazepam,
phenobarbital, dan phenytoin. Sementara itu, untuk GTCS sekunder, OAE lini pertama adalah
carbamazepine, oxcarbazepine, sodium valproat, topiramate, lamotrigine; OAE lini kedua
adalah clobazam, gabapentine, levetiracetam, phenytoin, dan tiagabine; dan OAE lain yang
dapat dipertimbangkan adalah clonazepam dan phenobarbital. Untuk sindrom epilepsi umum
tonik-klonik (GTCS), disarankan sodium valproat, lamotrigine, carbamazepine, dan
topiramate sebagai OAE lini pertama; levetiracetam sebagai OAE lini kedua; dan clobazam,
clonazepam, oxcarbazepine, phenobarbital, dan phenytoin sebagai OAE lain yang dapat
dipertimbangkan. (Perdossi, 2007)
Dalam terapi OAE, perlu diperhatikan farmakokinetik obat dan efek samping obat, baik yang
terkait dosis maupun idiosinkrasi. (Lumbantobing, 2004)
Tabel 1. Dosis OAE untuk orang dewasa (Perdossi, 2007)
OBAT

DOSIS
AWAL
(mg/hari)

DOSIS
RUMATAN

JUMLAH
DOSIS PER
HARI

WAKTU
PARUH
PLASMA
(jam)

WAKTU
TERCAPAINYA
STEADY STATE
(hari)

2-3x(untuk yg
CR 2x)
1-2x
2-3x (untuk yg
CR 1-2x)
1
1 atau 2
2-3x (untuk yg
CR 2x)
2-3x
2x
2x
2-3x
1-2x

15-35

2-7

10-80
12-18

3-5
20-4

50-170
20-60
10-30

2-10
2-6

8-15
6-8
20-30
5-7
15-35

2
2-5
2
2-6

(mg/hari)
Carbamazepine

400-600

400-1600

Phenytoin
Asam valproat

200-300
500-1000

200-400
500-2500

Phenobarbital
Clonazepam
Clobazam

50-100
1
10

50-200
4
10-30

Oxcarbazepine
Levetiracetam
Topiramate
Gabapentin
Lamotrigine

600-900
1000-2000
100
900-1800
50-100

600-3000
1000-3000
100-400
900-3600
20-200

CR: controlled release


Tabel 2. Efek samping OAE klasik (Perdossi, 2007)
OBAT

EFEK SAMPING

Carbamazepine

Phenytoin

Asam Valporat

Phenobarbital

Clonazepam

TERKAIT DOSIS
IDIOSINKRASI
Diplopia, dizziness, nyeri kepala, mual, Ruam morbiliform, agranulositosis,
mengantuk, netropenia, hiponatremia anemia aplastik, hepatotoksik,
sindrom Steven-Johnson, teratogenik
Nistagmus, ataksia, mual, muntah,
Jerawat, coarse face, hirsutism, lupushipertrofi gusi, depresi, mengantuk,
like syndrome, ruam, sindrom
anemia megaloblastik
Stevens-Johnson, Dupuytrens
contracture, hepatotoksik, teratogenik
Tremor, BB bertambah, dyspepsia,
Pankreatitis akut, hepatotoksik,
mual, muntah, kebotakan, teratogenik trombositopenia, ensefalopati, edema
perifer
Kelelahan, depresi; pada anak:
Ruam makulopapular, eksfoliasi,
insomnia, distractibility, hiperkinesia, nekrosis epidermal toksik,
ititabilitas
hepatotoksik, teratogenik, Dupuytrens
contracture, arthritic changes
Kelelahan, sedasi, mengantuk,
Ruam, trombositopenia
dizziness; pada anak: agresi,
hiperkinesia

Tabel 3. Efek samping OAE baru (Perdossi, 2007)


OBAT

EFEK SAMPING UTAMA

Levetiracetam

Somnolen, asthenia, ataksia, penurunan ringan


eritrosit, hemoglobin, hematokrit
Somnolen, kelelahan, ataksia, dizziness, gangguan
saluran cerna
Ruam, dizziness, tremor, ataksia, diplopia, nyeri Sindrom Stevens-Johnson
kepala, gangguan saluran cerna
Sedasi, dizziness, iritabilitas, depresi, dysinhibition
Dizziness, diplopia, ataksia, nyeri kepala,
kelemahan, ruam, hiponatremia
Gangguan kognitif, tremor, dizziness, ataksia,
nyeri kepala, kelelahan, gangguan saluran cerna,
batu ginjal

Gabapentin
Lamotrigine
Clobazam
Oxcarbazepine
Topiramate

EFEK SAMPING SERIUS


TETAPI JARANG

J.1. Medikamentosa
Sejumlah obat-obatan digunakan untuk terapi GTCS. Pilihan obat sebaiknya diseusiakan
secara individual dengan pasien dan sindrom epilepsi, tidak hanya tipe kejang.

Asam valproat dianggap sebagai lini pertama karena sifatnya yang spectrum luas,
termasuk kejang mioklonik.

Fenitoin dan karbamazepin merupakan pilihan kedua yang logis di antara obat-obat
generasi lama, tetapi obat-obat generasi baru tampaknya bekerja sama efektifnya bila

tidak lebih baik, dan mempunyai efek samping ynag lebih ringan, terumata
penggunaan jangka panjang.

Di antara obat-obat generasi baru, lamotrigine, topiramate, dan zonisamide


merupakan obat-obat spectrum luas yang lain yang relative mudah ditoleransi.

Fenobarbital tetap digunakan oleh banyak neurologis, walaupun efek sampingnya


terhadap kognisis menurunkan penggunaannya.

Untuk epilepsi general refrakter, felbamate juga digunakan sebagai obat yang efektif.
Efek samping obat ini mengharuskan monitoring blood counts dan tes fungsi hati
yang ketat.

J.2. Pembedahan
Studi-studi pendahuluan memperlihatkan stimulasi nervus vagus (VNS) efektif untuk epilepsi
general. Food and Drug Administration (FDA) USA telah menerima VNS sebagai salah satu
terapi untuk kejang parsial. Dalam suatu penelitisn open label, pasien GTCS berespon baik.
Tidak ada pilihan pembedahan yang lain untuk GTCS murni. the treatment of partial
seizures. Open label VNS registry results have also shown some patients with GTCS respond
well. No other surgical option exists for pure GTCS.
1. G. Diet
Diet ketogenik direkomendasikan untuk meningkatkan kontrol kejang. Diet ketogenik
dikembangkan di Klinik Mayo dan Institut John Hopkins, berdasarkan observasi bahwa
bangkitan meningkat bila terjadi perasaan lapar. Mekanisme pasti kerja diet ini masih belum
diketahui. Diet ini memperodukasi kondisi ketotik, tetapi memberikan kalori adekuat dari
protein dan lemak. Biasanya digunakan untuk epilepsi intractabel, terutama untuk anak-anak.
Diet ini jarang diberikan lagi pada orang dewasa, karena diet ini sangat sulit dipertahankan.
Penelitian-penelitian menunjukkan reduksi frekuensi kejang yang bermakna pada 50% pasien
yang mendapatkan diet. Efek-efek samping terutama pada traktus GI, termasuk kembung,
konstipasi, batu ginjal, penurunan kualitas tulang dan berat badan. Diet ini mengandung
perbandingan rasio lemak:karbohidrat= 4:1. Keton pada urin diperiksa tiap hari dan
normalnya lebih dari 4.
1. H. Medikamentosa
Tujuan farmakoterapi adalah mengurangi morbiditas dan mencegah komplikasi.
Kategori Obat: Obat Anti Epilepsi
Obat-obatan ini mencegah rekuerensi bangkitan dan mengakhiri aktivitas bangkitan elektris
dan klinis.
L.1. Valproate

Dianggap sebagai pilihan utama epilepsi general primer, mempunyai spectrum yang sangat
luas dan efektif pada kebanyakan tipe kejang, termasuk kejang mioklonik. Mempunyai
mekanisme kerja multipel termasuk meningkatkan kadar GABA dalam otak dan aktivitas
saluran kalsium tipe-T.
Untuk dewasa, dosis inisial valproat injeksi (100mg/ml vial) 10-15 mg/kgBB/hari, tingkatkan
5-20 mg/kgBB/minggu sampai maksimum dosis 60 mg/kgBB/hari atau sampai batas dosis
yang ditoleransi; kecepatan pemberian iv 20 mg/menit. Sementara dosis oral sama dengan
dosis injeksi. Sementara, untuk anak-anak, dosis inisial adalah 20 mg/kgBB/hari i.v, dan
dosis pemeliharaan 30-60 mg/kg/hari iv.v.
L.2. Phenytoin
Efektif pada kejang tonik-klonik dan sering digunakan. Mempunyai efek samping jangka
panjangnya berupa osteopenia dan ataksia serebelar. Mempunyai kinetika obat zero-order dan
interaksi obat yang signifikan.
Untuk dewasa, loading dose adalah 15-20 mg/kg/hari per oral atau i.v. Dosis pemeliharaan 5
mg/kg/hari per oral atau i.v, dengan kecepatan pemberian tidak melebihi 50 mg/kgBB.
Sementara dosis inisial pediatrik adalah 5-7 mg/kgBB/hari per oral atau i.v, dengan dosis
pemeliharaan 5-7 mg/kgBB/hari per oral atau i.v.
L.3. Fenobarbital
Salah satu oabt anti epilepsi utama yang digunakan sejak awal 1900-an. Sekarang diketahui
bahwa obat ini dapat menyebabkan beberapa efek samping kognitif sehingga kemudian
kurang disukai. Lebih menguntungkan diberikan dalam bentuk dosis sekali sehari, karena
mempunyai waktu paruh yang sangat panjang.
Dosis dewasa adalah 90 mg per oral terbagi dalam 4 dosis, ditingkatkan 30 mg/hari sampai
dosis pemeliharaan biasanya adalah 90-120 mg/hari. Sementara itu, dosis inisial pediatric
adalah 3-5 mg/kgBB/hari per oral, dengan dosis pemeliharaan 3-5 mg/kgBB/hari per oral.
L.4. Karbamazepin
Obat antiepilesi generasi lama yang digunakan sebagai lini kedua bersama fenitoin. Efek
samping adalah osteopenia. Dosis dewasa adalah 400-1200 mg/hari per oral, terbagi dalam 3
kali sehari. Dosis awal 5 mg/kgBB/hari per oral, dengan dosis pemeliharaan 15-20
mg/kgBB/hari per oral.
L.5. Lamotrigine
Obat anti epilepsi generasi lebih baru dengan spectrum kerja yang luas seperti valproat. FDA
mengakuinya baik sebagai epilepsi general dan parsial primer. Mempunyai beberapa
mekanisme kerja. Kekurangan utamanya adalah dosis harus ditingkatkan sangat perlahan
dalam beberapa minggu untuk meminimalisasi kemungkinan timbulnya rash. Dosis dewasa
untuk minggu pertama dan kedua adalah 50 mg/hari per oral; bila diberikan bersama dengan
valproat (VPA), mulai dengan 25 mg 4 kali per hari. Pada minggu ketiga dan keempat, 100
mg/hari per oral dalam dosis terbagi; bila diberikan bersama VPA, 25 mg/hari. Tingkatkan
100 mg/hari dalam 4 minggu; bila diberikan bersama VPA, tingkatkan 25-50 mg tiap minggu.

Dosis pemeliharaan tanpa VPA adalah 300-500 mg per oral dalam dosis terbagi. Sementara
itu dosis pemeliharaan tanpa VPA adalah 100-200 mg/hari per oral. Untuk pediatrik, dosis
inisial adalah 1-2 mg/kgBB/hari per oral. Dosis pemeliharaan adalah 5-10 mg/kgBB/hari per
oral. Obat ini merupakan satu-satunya obat yang diakui oleh FDA untuk sindrom LennoxGastaut untuk pasien berusia kurang dari 16 tahun.
L.6. Zonisamide
Salah satu dari obat generasi baru yang memblok saluran kalsium tipe T, memperpanjang
inaktivasi saluran natrium dan merupakan suatu inhibitor karbonik anhidrase. Dosis inisial
dewasa adalah 100 mg/kg/hari per oral terbagai dalam 2 dosis, tingkatkan
100mg/hari/minggu sampai ke dosis pemeliharaan 100-300 mg dua kali sehari per oral.
L.7. Felbamat
Obat ini diakui oleh FDA untuk terapi kejang parsial refreakter dan sndrom Lennox-Gastaut.
Mempunyai banyak mekanisme kerja, termasuk (1) inhibisi NMDA-associated sodium
channels, (2) potensiasi aktivitas GABA-ergic, dan (3) inhibisi voltage-sensitive sodium
channels. Hanya digunakan untuk kasus-kasus refrakter karena risiko anemia aplastik dan
toksisitas hepar, sehingga dibutuhkan tes darah reguler. Dosis inisial dewasa adalah 600 mg
tiga kali sehari per oral, tingkatkan 600-1200 mg/hari tiap minggu sampai dosis maksimum
1200-1600 mg tiga kali per hari per
oral.
L.7. Topiramat
Obat anti epilepsi spektrumluas yang diakui untuk kejang tonik-klonik umum primer.
Mekanisme kerjanya meliputi blok kerja state-dependent sodium channel, potensiasi aktivitas
inhibitorik dari neurotransmitter GABA, dapat memblok aktivitas glutamate, dan sebagai
inhibitor karbonik anhidrase. Dosis dewasa adalah 50 mg/hari per oral, titrasi 50 mg/hari tiap
interval 1 minggu sampai dosis target 200 mg 2 kali per hari. Sementara itu, dosis inisial
pediatrik adalah 25 mg atau 50 mg/hari per oral; lakukan titrasi sampai dosis 6 mg/kg/hari.
L.8. Levetiracetam
Diindikasikan untuk kejang tonik-klonik primer pada dewasa dan anak usia 6 tahun atau
lebih. Diindikasikan untuk kejang umum tonik klonik primer pada dewasa dan dan anak usia
lebih dari 6 tahun.
Dosis inisial
dewasa adalah 500 mg 2 kali per hari per oral, dapat ditingkatkan 1000 mg/hari 4 kali dalam
2 minggu, tidak melebihi 1500 mg dua kali per hari. Dosis anak kurang dari 6 tahun belum
dapat ditentukan. Untuk anak usia 6-15 tahun, dosis 10 mg/kg per oral 2 kali sehari; dapat
ditingkatkan dosis harian 20 mg/kg 4 kali dlaam 2 minggu, tidak melebihi 30 mg/kg dua kali
sehari. Untuk anak usia > tahun, dosis sama seperti pada dewasa.

You might also like