You are on page 1of 17

KISAH

Dunia Sufistik & Biografi KH. Achmad


Asrori Al Ishaqy RA

ByKOPYAHer
Posted on Juni 1, 2016

Page 1 of 17

Page 2 of 17

SHARE

TWEET

SHARE

EMAIL

COMMENTS

Oleh: EM. Arsyad Sady Jr.

Riwayat Hidup
Achmad Asrori Al Ishaqy RA dilahirkan di Surabaya pada tanggal 17 Agustus
1951.[1] Beliau

adalah

putra

ke-empat dari sepuluh bersaudara. Ayahnya

bernama KH. Muhammad Utsman Al Ishaqy dan ibunya bernama Nyai Hj. Siti
Qomariyah binti KH. Munadi. Al Ishaqy adalah gelar yang dinisbatkan kepada
Maulana Ishaq, ayah dari Sunan Giri. Sebab, KH. Utsman adalah keturunan ke-14
dari Sunan Giri. Dari jalur ibu, silsilah nasab KH. Asrori bersambung dengan Sunan
Gunung Jati, Cirebon. Jika dirunut, nasab Yai Rori bersambung dengan Nabi
Muhammad SAW pada urutan yang ke-38. Berikut silsilah nasab Beliau: Achmad
Asrori al Ishaqy Muhammad Utsman al Ishaqi Nyai Surati Kyai Abdullah
Mbah Dasha Mbah Salbeng Mbah Jarangan Kyai Ageng Mas Kyai
Panembahan Bagus Kyai Ageng Pangeran Sadang Rono Panembahan Agung
Sido Mergi Pangeran Kawis Guwa Syaikh Fadllullah (Sunan Prapen) Syaikh Ali
Sumadiro Syaikh Muhammad Ainul Yaqin (Sunan Giri) Syaikh Maulana Ishaq
Syaikh Ibrohim Akbar (Ibrohim Asmorokondi) Syaikh Jamaluddin Akbar (Syaikh
Page 3 of 17

Jumadil Kubro) Syaikh Ahmad Syah Jalal Amir Syaikh Abdullah Khon Syaikh
Alwi Syaikh Abdullah Syaikh Ahmad Muhajir Syaikh Isa ar Rumi Syaikh
Muhammad Naqib Syaikh Ali al Iridhi Syaikh Jafar Shodiq Syaikh Muhammad
al Baqir Sayyid Ali Zainul Abidin Sayyid Imam al Husain Sayyidah Fathimah az
Zahro Nabi Muhammad SAW.
Tanda-tanda Yai Rori akan menjadi seorang tokoh panutan sudah nampak sejak
masa muda Beliau. Setelah menuntut ilmu di beberapa pondok pesantren di Jawa
Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat, Yai Rori muda berdakwah kepada anak-anak
atau pemuda jalanan. Padahal, di ndalem ayah Beliau yang berlokasi di kelurahan
Jatisrono, Kecamatan Semampir, ayah Beliau sendiri juga masih memerlukan
tenaga

Beliau

untuk

membantu

mengajar

di

Pondok

Pesantren Raudlatul

Mutaallimin Darul Ubuudiyyah yang diasuh oleh sang ayah sendiri.


Dengan metode dakwahnya yang unik, yaitu dengan mengikuti hobi anak-anak
jalanan seperti bermain musik, nongkrong, dan sebagainya, anak-anak muda
tersebut sedikit demi sedikit bisa menerima ilmu yang diselipkan oleh Gus Rori
begitu Yai Rori muda akrab dipanggil melalui obrolan ringan ketika mereka semua
sedang berkumpul.
Meskipun dalam skala yang lebih kecil, metode dakwah semacam ini mirip-mirip
dengan apa yang dulu pernah dilakukan oleh para pendakwah Islam generasi awal
di Indonesia, khususnya di tanah Jawa yang lebih dikenal dengan sebutan Wali
Songo. Dimana, cara Wali Songo berdakwah pada waktu itu adalah melalui proses
akulturasi budaya Islam dan budaya lokal yang telah mengakar kuat di masyarakat.
Mereka tak lantas langsung membabat habis budaya-budaya lokal yang pada
waktu itu bisa dibilang kurang Islami seperti wayangan, gendingan, gendorenan,
dan lain sebagainya. Namun, budaya-budaya lokal tersebut justru digunakan

Page 4 of 17

sebagai sarana pendekatan ataupun sarana untuk menarik minat penduduk pribumi
terhadap Islam. Sehingga, setelah timbul ketertarikan dalam diri pemduduk pribumi,
pada tahap selanjutnya, secara psiklogis mereka tentu juga akan lebih siap untuk
menerima dakwah Islam.
Apa yang dilakukan oleh Yai Rori muda pun kurang lebih juga seperti itu. Beliau tak
langsung melarang aktivitas-aktivitas kurang produktif untuk tak menyebutnya:
kurang

bermanfaat,

seperti nyangkrukan dan

lainnya- yang

telah

menjadi

kebiasaan para pemuda jalanan yang menjadi obyek dakwah Beliau pada waktu itu.
Namun, aktivitas-aktivitas tersebut justru dijadikan oleh Yai Rori muda menjadi
semacam pintu masuk untuk mulai mendakwahi dan membimbing mereka. Secara
spesifik lagi, meskipun pelan namun pasti, dalam hal ini mereka dibimbing agar tak
hanya mau ngumpul-ngumpul dengan sesama komunitasnya sendiri saja. Namun
mereka juga dibimbing agar mau ngumpul-ngumpulbersama dengan orang-orang
shalih melalui majlis dzikir.
Seiring dengan terus berjalannya waktu, semakin lama semakin banyak pula
pemuda yang tertarik dengan metode ataupun konsep dakwah yang diterapkan oleh
Gus Rori. Hingga pada akhirnya, Gus Rori mengajak mereka untuk mengadakan
majlis manaqiban dan pengajian di Gresik. Majlis yang pertama kali ini dilaksanakan
di kampung Bedilan yang di kemudian hari di-adakan secara rutin pada tiap
bulannya di tempat tersebut. Majlis ini di-isi dengan pembacaan Manaqib Syaikh
Abdul Qodir al Jilany, pembacaan Maulid, dan tanya jawab keagamaan. Majlis ini
awalnya diberi nama jamaah KACA yang merupakan akronim dari Karunia Cahaya
Agung. Namun agar lebih familiar, Gus Rori menyebut anggota jamaah KACA
dengan sebutan Orong-Orong. Secara harfiah, Orong-Orong adalah binatang melata
yang biasa keluar pada malam hari. Secara filosofis, pemberian nama semacam ini

Page 5 of 17

disesuaikan dengan perilaku anak-anak muda pengikut Gus Rori yang rata-rata
memang

mempunyai

kebiasaan

keluar

pada

waktu

malam

hari.

Dalam

perkembangannya, nama Orong-Orong ini kemudian menjadi lebih terkenal


dibandingkan dengan nama KACA. Dan jamaah Orong-Orong inilah yang kelak, di
kemudian hari bermetamorfosis serta menjadi embrio dari lahirnya jamaah Al
Khidmah.
Meski masih muda, ketokohan Gus Rori yang kharismatik dan netral serta sikap
Beliau yang non partisan terhadap kelompok Islam tertentu ataupun terhadap partai
politik tertentu, pada akhirnya membuat Beliau sangat disegani oleh berbagai
kalangan masyarakat dari strata sosial serta kelompok yang berbeda-beda. Majlismajlis Beliau bersifat inklusif serta terbuka bagi siapapun dan dari kelompok
manapun.

Sehingga,

karena

tidak

adanya

kesan

eksklusivisme

ini,

tak

mengherankan jika dalam majlis-majlis yang Beliau pimpin, para pejabat sipil
maupun pemerintahan yang notabenenya mempunyai pandangan keagamaan atau
politik yang berbeda-beda, sering kali bisa terlihat rukun serta mau untuk duduk
bersama-sama dalam sebuah majlis.

Pada tahun 1983, Gus Rori mendirikan mushola di Kelurahan Tanah Kali Kedinding.
Dalam perkembangannya, ternyata banyak masyarakat sekitar yang antusias serta
Page 6 of 17

tertarik untuk memondokkan anak-anak mereka di kediaman baru Gus Rori tersebut.
Akhirnya, Gus Rori mendirikan masjid dan pondok pesantren yang kemudian diberi
nama Pondok Pesantren As Salafi Al Fithrah.

Riwayat Pendidikan
Yai Rori muda hanya mengenyam pendidikan formal sampai kelas tiga Sekolah
Dasar. Selanjutnya, seperti umumnya putra kyai di daerah Jawa, Gus Rori menimba
ilmu di pondok pesantren sebagai persiapan untuk melanjutkan tongkat estafet
kepemimpinan dari ayah Beliau. Sesuai dengan keinginan sang ayah, pada tahun
1966, pondok pesantren yang pertama kali menjadi tempat belajar Beliau adalah
pondok pesantren Darul Ulum, Peterongan-Jombang yang di-asuh oleh KH. DR.
Mustain

Romly[2],

yang

juga

seorang

mursyid

tarekat

Qadiriyyah

wan

Naqsyabandiyyah.
Setelah setahun[3] mondok di Peterongan, Gus Rori melanjutkan studi ke pondok
pesantren Alhidayah di desa Tretek-Pare-Kediri yang di-asuh oleh almarhum KH.
Juwaini bin Nuh. Di pesantren ini, Gus Rori mengaji selama tiga tahun. Kitab-kitab
yang didalami kebanyakan adalah kitab tasawuf dan hadits seperti kitab Ihya
Ulumiddin karya al Ghazali dan Shahih Bukhari. Meski terhitung cukup singkat,
namun banyak sekali kitab yang dikhatamkan oleh Gus Rori di pondok asuhan Kyai
Juwaini ini.[4]

Page 7 of 17

Selepas dari Kediri, Gus Rori melanjutkan belajar ke Pondok Pesantren al


Munawwir, Krapyak-Jogjakarta di bawah asuhan KH. Ali Mashum. Di pesantren ini,
durasi belajar Gus Rori hanya berkisar selama beberapa bulan saja. Selanjutnya,
Beliau belajar di salah satu pesantren di desa Buntet-Cirebon yang di-asuh oleh KH.
Abdullah Abbas. Di pesantren ini, Gus Rori hanya belajar selama setengah tahun.[5]
Aktivitas Sosial Kemasyarakatan dan Keagamaan
Jamaah pengikut dari Yai Rori RA secara garis besar terbagi menjadi dua. Yaitu
mereka

yang

sudah

mengikuti

baiat

(inisiasi)

tarekat

Qadiriyyah

wan

Naqsyabandiyyah al Utsmaniyyah atau disebut murid, dan jamaah yang baru


sebatas tertarik dengan majlis-majlis dzikir yang diperuntukkan bagi siapapun yang
mau mengikutinya. Kelompok kedua ini dinamakan jamaah atau muhibbin.
Di Pondok Pesantren As Salafi Al Fithrah yang berlokasi di Kelurahan Tanah Kali
Kedinding Kecamatan Kenjeran yang Beliau dirikan dan asuh, tak kurang dari 2000
santri putra-putri yang mukim, dan 1200 santri yang mengaji pulang-pergi. Lembaga
pendidikan formal di pondok ini bahkan telah tersedia lengkap mulai dari tingkat
kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi. Sedangkan untuk pendidikan non formal
yang dilaksanakan pada malam hari, ada TPQ dan madrasah diniyah.
Sejak Yai Rori RA membuka pengajian rutin bulanan di Pondok Pesantren As Salafi
Al Fithrah ini, jamaah Beliau bertambah dengan pesat. Pengajian rutin bulanan
dihadiri tak kurang oleh 20.000 jamaah yang datang dari berbagai kota di pulau
Jawa. Sedangkan Haul Akbaryang rutin di-adakan setiap tahun di tempat yang
sama, dihadiri tak kurang oleh 200.000 jamaah yang berdatangan dari dalam
maupun

luar

negeri.

Selain

itu,

ada

majlis

dzikir

rutin

mingguan

dan

majlis manaqiban bulanan yang dihadiri oleh lebih dari 10.000 ribu orang jamaah.

Page 8 of 17

Momen-momen majlis mingguan, bulanan, dan tahunan yang dihadiri oleh banyak
jamaah tersebut sekaligus juga membawa keberkahan tersendiri bagi masyarakat
Kedinding dan sekitarnya. Sebab, dengan adanya majlis-majlis yang melibatkan
banyak massa tersebut, sedikit-banyak roda perekonomian mereka juga ikut
terdongkrak naik. Para pengusaha warung tegal (warteg), para pengusaha warung
kopi/giras, para pengusaha kos-kosan/kontrakan, para abang tukang becak, para
sopir angkot serta taksi, dan berbagai jenis usaha/profesi lainnya, tentu bisa
merasakan perbedaan income atau penghasilan mereka: antara ketika sedang ada
majlis di pondok dengan hari-hari biasa.

Dan dengan didasari atas kesadaran bahwa manusia tidak akan hidup di dunia
selamanya, Yai Rori kemudian berfikir jauh ke depan demi keberlangsungan
pembinaan jamaah yang jumlahnya telah mencapai ratusan ribu ini. Maka
dibentuklah sebuah organisasi keagamaan yang bernama Jamaah Al Khidmah.
Organisasi ini dideklarasikan secara resmi pada tanggal 25 Desember 2005 di
Semarang Jawa Tengah. Kegiatan utamanya adalah menjadi semacam Event
Organizer (EO) dalam menyelenggarakan Majlis Dzikir, Majlis Khatmil Quran,
Maulid, dan Manaqib serta kirim doa kepada orang tua, para leluhur, dan para guru.
Majlis lain yang menjadi bidang garapan dari jamaah Al Khidmah adalah majlis

Page 9 of 17

sholat malam, majlis taklim, majlis lamaran, majlis akad nikah, majlis tingkepan,
majlis memberi nama anak, dan lain- lain.
Ketua Umum Jamaah Al Khidmah periode I dan II (2005-2014) H. Hasanuddin, SH.
menjelaskan bahwa organisasi ini dibentuk semata-mata agar pembinaan jamaah
bisa lebih terarah serta teratur dan siapapun bisa menjadi anggotanya tanpa harus
memenuhi syarat-syarat tertentu.

Sampai saat ini, sepeninggal Yai Rori, jamaah Al Khidmah tetap eksis dalam
menyelenggarakan majlis-majlis dzikir tidak beda dengan seperti ketika Beliau masih
hidup. Bahkan, sepeninggal Beliau, jamaah Al Khidmah ini secara kuantitas justru
mengalami perkembangan yang sangat signifikan, baik di dalam maupun di luar
negeri. Banyak kabupaten/kota maupun provinsi yang pada saat Yai Rori
masih sugeng belum ada jamaah Al Khidmahnya, namun sepeninggal Beliau,
jamaah Al Khidmah bisa muncul dan berkembang pesat di daerah tersebut. Begitu
pula dengan perkembangan di luar negeri. Misalnya saja, sepeninggal Yai Rori,
jamaah Al Khidmah bisa masuk bahkan berdiri sebagai organisasi resmi dengan
amaliah rutin di Thailand bagian selatan dan di Belgia.
Menurut Bung Has, sampai saat ini kepengurusan jamaah Al Khidmah sudah berdiri
di 77 kabupaten/kota dan sembilan provinsi di Indonesia. Sedangkan kepengurusan
di luar negeri sudah terbentuk di Malaysia, Singapura, Thailand, Belgia, dan Saudi
Arabia.

Perjalanan Kehidupan Sufistik


Kyai Utsman RA, ayah Kyai Asrori RA wafat pada bulan Januari 1984 dalam usia 77
tahun. Enam tahun sebelum meninggal, tepatnya pada hari Senin Pon 17 Ramadlan

Page 10 of 17

1398 H / 21 Agustus 1978 M, Yai Utsman telah mengangkat Yai Rori sebagai
mursyid tarekat yang dipersiapkan untuk menggantikan Beliau.[6]
Ada cerita menarik terkait dengan peristiwa di-angkatnya Yai Rori oleh
Yai Sepuh untuk menjadi mursyid ini. Dikisahkan bahwa sejak tahun 1975, Yai Rori
sebenarnya telah dibujuk oleh Yai Utsman agar bersedia dibaiat dan selanjutnya
mau meneruskan tampuk kemursyidan tarekat sang ayah. Tapi Yai Rori selalu
berusaha menghindar dan mencari-cari alasan untuk mengemban amanat yang
sangat berat ini. Salah satu alasan yang sempat di-ungkapkan adalah: masih ada
beberapa kakak Yai Rori yang lebih tua dari Beliau, tapi kenapa justru Beliau yang
lebih muda yang ditunjuk?.
Namun pada akhirnya, tepat pada tanggal yang telah disebutkan di atas, di rumah
almarhum H. Jamil ayah dari H. Masud yang berlokasi di desa Kroman Gresik
barulah Yai Rori bersedia untuk dibaiat sebagai mursyid. Saking senangnya dengan
hal ini, Yai Utsman langsung mengajak sang putra yang telah lama digadanggadang agar mau menerima amanat dari para guru ini untuk berziarah ke makam
Kyai Romli Tamim di Peterongan-Jombang yang pada waktu itu juga bertepatan
dengan haul Beliau. Peristiwa bersejarah ini, oleh Yai Rori kemudian di-abadikan
dengan menduplikasikannya ke dalam suatu rangkaian majlis dzikir untuk para
jamaah Beliau pada setiap tanggal 17 Ramadlan. Yaitu, setelah Ashar di-adakan
majlis dzikir di sekitar Kroman, dan kemudian dilanjutkan dengan berziarah
bersama-sama serta mengikuti majlis haul ke makan Kyai Romli Tamim di Jombang.
Dan aktivitas napak tilas ini sampai sekarang masih dilaksanakn secara rutin oleh
jamaah Al Khidmah.

Dari sang ayah inilah, Yai Rori untuk pertama kalinya menerima pelajaran dan
pendidikan sufistik serta tarekat. Dalam gurauannya, Yai Rori sering menyebutkan
Page 11 of 17

bahwa Yai Utsman adalah ayah, guru, teman, dan sekaligus musuh. Menjadi ayah
saat dalam kehidupan sehari-hari. Menjadi guru saat belajar. Menjadi teman saat
bersama-sama di perjalanan. Dan menjadi musuh saat berdebat membahas ilmu.

Yai Utsman banyak memberikan dasar dan pengaruh dalam kehidupan sufistik Yai
Rori. Hal ini dikarenakan Yai Utsman sangat terkenal dengan akhlak Beliau yang
mulia. Bahkan, dalam bacaan amaliah khushushi disebutkan bahwa Yai Utsman ini
bukan saja sebagai mursyid tarekat, tapi sekaligus juga mursyid akhlak.[7]
Di antara tarbiyah Yai Utsman kepada putranya Yai Rori adalah;
Pertama; Penanaman sikap rahmatan lilaalamiin.
Yai Utsman pernah berpesan kepada Yai Rori:
Hadapilah orang awam dengan sikap belas kasih sayang, tidak sekedar dengan
ilmu.
Kedua; penanaman sikap tawadlu.
Yai Utsman berpesan kepada Yai Rori agar selalu membawa kitab, atau setidaknya
membawa catatan ketika memberikan mauidhah, hal ini dilakukan agar terhindar
dari sikap sombong dengan ilmu dan kemampuan yang dimiliki. Karenanya,
semasa sugengnya dulu, Yai Rori juga sering terlihat membawa/mengantongi,
memegang, dan bahkan membuka kitab Iklil ketika memimpin istighatsah ataupun
doa tahlil, meski tak selalu dilihat/dibaca.
Ketiga; tuntunan dan bimbingan rabithah, riyadlah, dan mujahadah.
Melalui ketiga cara ini, Yai Utsman mencoba untuk mengingatkan bahwa apapun
yang diperoleh oleh Yai Rori tidak akan pernah bisa terlepas dari berkah para
pendahulu/guru yang disertai dengan kesungguhan usaha dan ikhtiar lahir-batin.

Page 12 of 17

Yai Rori juga bukan tipikal orang yang hanya bisa berdakwah dengan ucapan
maupun tulisan saja. Justru tak sedikit pula yang meyakini bahwa antara dakwah
Beliau yang berupa dedawuhan dan tulisan yang tersebar dalam banyak VCD,
MP3, serta kitab-kitab karya Beliau dengan dakwah Beliau yang berupa
teladan/contoh perbuatan secara langsung, jika dihitung, jumlahnya akan lebih
banyak yang terakhir disebut ini. Sebab, bahasa perbuatan lebih fasih daripada
bahasa ucapan. Dan Beliau tentu mengetahui hal ini serta telah mempraktikkannya.
Agamis Nasionalis
Mungkin belum banyak yang tahu bahwa Yai Rori RA adalah juga seorang
nasionalis (sejati). Ini paling tidak terlihat dari upacara bendera 17 Agustus pertama
kalinya yang di-adakan di Al Fithrah pada tahun 2005. Dengan menggunakan jubah
putih khas Al Fithrah, dan meskipun banyak yang tak bersepatu bahkan seperti
lazimnya anak pondok, pada waktu itu juga banyak santri yang tak memakai sandal
[baca: nyeker: jw], pagi itu para santri putra Al Fithrah mengikuti ritual upacara
bendera perdana di Al Fithrah. Dan siapa sangka?, upacara bendera yang
(mungkin)

pertama

kalinya

dilakukan

oleh

pesantren

salaf

ini

adalah

atas dawuh serta instruksi langsung dari Beliau RA.

Page 13 of 17

Instruksi untuk melakukan upacara bendera perdana di Al Fithrah ini tentu saja
mengindikasikan sikap kebangsaan Beliau terhadap pancasila dan NKRI. Beliau RA
yang suatu ketika pernah mengaku bahwa SD saja tak lulus, ternyata juga seorang
Nasionalis. Beliau seolah menyadari sepenuhnya bahwa kenikmatan berdzikir dan
lain sebagainya yang sudah biasa dijalankan sebagai Wadhifah tak akan bisa
dikecap jika kenikmatan berupa kemerdekaan tak lebih dahulu diraih. Dan tentu saja
Beliau juga sedang berusaha untuk mengimplementasikan sebuah hadits yang
menyebutkan bahwa siapa yang tak bisa/pandai berterima kasih kepada
manusia/sesamanya dalam hal ini adalah mereka, para pahlawan kemerdekaan,
maka (niscaya) ia juga tak akan sebegitu cakap untuk berterima kasih kepada
TuhanNya.
Selain itu, sebagai bukti sikap nasionalisme Beliau yang lain, setiap bulan Agustus
tiba, Beliau juga menginstruksikan santri pondok yang tergabung dalam bagian
dekorasi untuk membuat bangunan dekoratif dengan warna dasar merah-putih yang
isinya adalah ucapan dirgahayu atas kemerdekaan RI. Jumlahnya ada dua; satu
diletakkan di akses masuk pintu gerbang depan, dan satunya lagi ditaruh di pojok
pertigaan garasi ndalem. Bahkan, kalimat terakhir dalam ucapan dirgahayu tersebut
merupakan dawuh dari Beliau RA sendiri. Dawuh itu berbunyi; DAMAI, DAMAI,
DAMAILAH !
Kiamat Shughra
Achmad Asrori RA wafat pada tahun 2009, tepatnya pada hari Selasa dini hari
sekitar pukul 02.00 WIB tanggal 18 Agustus bertepatan dengan tanggal 26 syaban
1430 H. dalam usia 58 tahun, setelah menderita sakit kurang-lebih selama tiga
tahun.

Page 14 of 17

Pada bulan itu, Yai Rori masih sempat memimpin Haul Akbar di Pondok Pesantren
Al Fithrah dengan menggunakan tabung oksigen sebagai alat bantu pernafasan
yang disediakan oleh dokter pribadi Beliau. Dan Haul Akbar pada tahun 2009 di
Pondok Pesantren As Salafi Al Fithrah tersebut menjadi kebersamaan Beliau yang
terakhir kalinya bersama ratusan ribu jamaah dan santri-santri Beliau.

Selama menderita sakit berkepanjangan, Yai Rori tetap istiqamah menghadiri majlismajlis dzikir yang telah puluhan tahun dibinanya di berbagai daerah. Hal ini
menunjukkan kegigihan Yai Rori dalam mensyiarkan amalan-amalan para ulama
salaf shalih. Hal itu sekaligus juga merupakan wujud nyata kecintaan Beliau kepada
para jamaah Beliau.
Meninggalnya Yai Rori merupakan kehilangan besar bagi para murid Tarekat
Qadiriyyah wan Naqsyabandiyyah Al Utsmaniyyah yang Beliau pimpin dan telah
tersebar hampir di seluruh Indonesia serta beberapa negara di Asia Tenggara.
Meninggalnya Guru tarekat yang santun ini sekaligus juga meninggalkan kesedihan
yang mendalam bagi para pecinta dan pengagum Beliau yang tergabung dalam
organisasi Jamaah Al Khidmah yang Beliau bentuk pada tahun 2005. Dalam kalimat
lain, meninggalnya Beliau laksana kiamat kecil bagi mereka.

Yai Rori RA dimakamkan di masjid lama yang berada di kompleks area Pondok
Pesantren Assalafi Al Fithrah. Ketika pembangunan makam dilakukan, ditemukanlah
sumber mata air di sebelah Timur pesarean Beliau. Dan ternyata, mata air tersebut
tawar serta tidak asin seperti layaknya mata air di kebanyakan tempat yang
berlokasi tak jauh dari pantai/laut. Hal ini mengingatkan pada kebiasaan Beliau
semasa sugengnya dulu yang sering dimintai air barokah oleh murid-murid Beliau

Page 15 of 17

serta kebiasaan Beliau yang sering terlihat membuka tutup botol air mineral yang
disuguhkan kepada Beliau ketika mengikuti majlis-majlis Al Khidmah.
Ketika dalam majlis sowanan dan Beliau dimaturi oleh seseorang yang saudaranya
sedang sakit pun misalnya, Beliau biasanya juga akan memintanya untuk
mengobatinya dengan air manaqib atau air khushushi. Pada akhirnya, sumber
mata air yang ada di sekitar pesarean Beliau tersebut dipugar sedemikian rupa oleh
pengurus pondok agar siapapun yang sedang berziarah kepada Beliau, bisa tetap
merasakan kesegaran dan keberkahan air barokah dari Beliau, seperti halnya ketika
Beliau masih sugeng dulu. Wa Allahu alam.
***

[1] Ust. H. Zainul Arif, Wawancara pada tanggal 10 Maret 2014, di Kedinding Lor.
Ada beberapa versi lain tentang tanggal kelahiran KH. Asrori. Di antaranya seperti
yang tertera dalam KTP yang dikeluarkan oleh Kecamatan Semampir Surabaya
tahun 1991. Di situ tertulis bahwa tanggal kelahiran KH. Asrori adalah 20 November
195. Pada KTP yang lain tertulis 1 Juni 1951.
[2] KH. DR. Mustain Romly adalah putra dari KH. M. Romly Tamim, yang tak lain
adalah guru tarekat dari KH. Muhammad Utsman.
[3] Gus Rori tak pernah lama belajar di pondok pesantren tertentu. Dalam dunia
pesantren, hal seperti ini dikenal dengan istilah tabarrukan. Masa menuntut ilmu
yang paling lama bagi Gus Rori adalah tatkala di Pondok Pesantren Alhidayah
Tretek-Pare-Kediri yang di-asuh oleh KH. Juwaini ini.
[4] H. Masud Abu bakar, wawancara
[5] Bpk. Iskandar, Wawancara.
[6] H. Masud Abu Bakar, Wawancara.

Page 16 of 17

[7] Al Anwar al Khushuushiyyah al Khatmiyyah, Cet. VII (Surabaya: al Wava, 2010),


70.

Sumber: Dunia Sufistik & Biografi KH. Achmad Asrori Al Ishaqy RA | Buletin Al
Fithrah http://buletinalfithrah.co/biografi-yai-asrori-alishaqy/#ixzz4DUiqEQuQ

Page 17 of 17

You might also like