You are on page 1of 23

REFERAT

PNEUMONIA KOMINITI

(Community Acquired Pneumonia)


YY

Disusun oleh :
Anggi Saputri
030.11.029

Pembimbing :
Dr. Atika Sari, Sp.P

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA


KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
RSU ANGKATAN LAUT MINTOHARDJO
PERIODE 7 MARET 14 MEI 2016

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan anugerah serta
hikmah-Nya kepada penulis atas kesempatanya yang telah diberikan. Terima kasih juga
kepada dr. Atika Sari, Sp.P selaku pembimibing atas waktu, pengarahan, masukan serta
berbagai ilmu yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang
berjudul pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia) sebagai salah satu
syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam di rumah sakit TNI
Angkatan Laut Dr. Mintohardjo periode 7 maret 14 mei 2016.
Adapun tugas ini di tulis berdasarkan acuan dari berbagai sumber yang ada.
Tentunya dalam penulisan tugas ini masih banyak kekurangan dan kesalahan yang tidak
dapat dihindari. Oleh karena itu segala kritik dan saran guna penyempurnaan referat ini
sangat penulis harapkan.
Akhir kata, semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca
terutama dalam bidang Ilmu Penyakit Dalam.

Jakarta, April 2016


Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

Community-acquired pneumonia (CAP) tetap menjadi salah satu penyakit yang


serius dan paling sering terjadi, di samping telah tersedianya antimikroba poten yang
terbaru dan vaksin yang efektif. Di Amerika, pneumonia merupakan penyakit urutan
keenam yang menyebabkan kematian dan merupakan penyebab nomor satu dari penyakit
infeksi. Karena pneumonia merupakan penyakit yang tidak dilaporkan, informasi
mengenai insiden hanya berdasarkan estimasi secara mentah, tetapi terdapat sampai 5.6
juta kasus CAP terjadi setiap tahunnya, dan sebanyak 1.1 juta memerlukan perawatan di
rumah sakit. Angka mortalitas pneumonia pada pasien rawat jalan sebesar 1-5%, tetapi
pada pasien yang dirawat di rumah sakit angka mortalitas sebesar 12%, yang meningkat
pada populasi tertentu seperti pasien dengan bakteremia, dan beberapa dengan perawatan
rumah sakit di rumahnya, dan kira-kira 40% pasien yang mengalami sakit yang parah
memerlukan Intensive Care Unit.
Epidemiologi dan penanganan pneumonia telah mengalami perubahan, insiden
pneumonia meningkat terutama pada pasien yang lebih tua dan beberapa dengan
komorbid tertentu (Penyakit Paru Obstruktif Kronis, Diabetes Mellitus, Insufisiensi
Renal, gagal jantung kongestif, penyakit jantung koroner, keganasan, penyakit neurologic
kronis dan penyakit liver kronis. Pasien-pasien ini mungkin terinfeksi dengan pathogen
yang baru teridentifikasi atau yang sebelumnya tidak diketahui. Pada waktu yang sama,
jumlah dari antimikroba yang terbaru sudah tersedia. Pada saat yang sama pula dengan
perkembangan dari antimikroba, terjadi juga evolusi dari mekanisme resistensi bakteri
tertentu. Pada tahun 1990, banyak pathogen respirasi umumnya yang mengalami resisten.
Peningkatan frekuensi resistensi terjadi pada bakteri seperti Streptococcus pneumoniae,
Hemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis, dan beberapa dari bakteri gram negative.

BAB II
PEMBAHASAN
1. ANATOMI
Paru manusia terbentuk setelah embrio mempunyai panjang 3 mm. Pembentukan paru di
mulai dari sebuah Groove yang berasal dari Foregut. Selanjutnya pada Groove ini
terbentuk dua kantung yang dilapisi oleh suatu jaringan yang disebut Primary Lung Bud.
Bagian proksimal foregut membagi diri menjadi 2 yaitu esophagus dan trakea.
Pada perkembangan selanjutnya trakea akan bergabung dengan primary lung bud.
Primary lung bud merupakan cikal bakal bronchi dan cabang-cabangnya. Bronchial-tree
terbentuk setelah embrio berumur 16 minggu, sedangkan alveoli baru berkembang
setelah bayi lahir dan jumlahnya terus meningkat hingga anak berumur 8 tahun. Ukuran
alveol bertambah besar sesuai dengan perkembangan dinding toraks. Jadi, pertumbuhan
dan perkembangan paru berjalan terus menerus tanpa terputus sampai pertumbuhan
somatik berhenti.
Saluran pernafasan terdiri dari rongga hidung, rongga mulut, faring, laring, trakea, dan
paru. Laring membagi saluran pernafasan menjadi 2 bagian, yakni saluran pernafasan
atas dan saluran pernafasan bawah. Pada pernafasan melalui paru-paru atau pernafasan
external, oksigen di pungut melalui hidung dan mulut. Pada waktu bernafas, oksigen
masuk melalui trakea dan pipa bronchial ke alveoli dan dapat erat hubungan dengan
darah didalam kapiler pulmonaris. Hanya satu lapis membran yaitu membran alveoli,
memisahkan oksigen dan darah oksigen menembus membran ini dan dipungut oleh
hemoglobin sel darah merah dan dibawa ke jantung. Dari sini dipompa didalam arteri
kesemua bagian tubuh. Darah meninggalkan paru-paru pada tekanan oksigen 100 mm hg
dan tingkat ini hemoglobinnya 95%. Di dalam paru-paru, karbon dioksida, salah satu
hasil buangan. Metabolisme menembus membran alveoli, kapiler dari kapiler darah ke
alveoli dan setelah melalui pipa bronchial, trakea, dinafaskan keluar melalui hidung dan
mulut.

SISTEM SALURAN PERNAFASAN

Sumber : (Evelyn. Pearce, Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis, Tahun 1992, Hal
219).
FISIOLOGI

Udara bergerak masuk dan keluar paru-paru karena ada selisih tekanan yang terdapat
antara atmosfir dan alveolus akibat kerja mekanik otot-otot. Seperti yang telah diketahui,
dinding toraks berfungsi sebagai penembus. Selama inspirasi, volume toraks bertambah
besar karena diafragma turun dan iga terangkat akibat kontraksi beberapa otot yaitu
sternokleidomastoideus mengangkat sternum ke atas dan otot seratus, skalenus dan
interkostalis eksternus mengangkat iga-iga (Price,1994)
Selama pernapasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat elastisitas dinding
dada dan paru-paru. Pada waktu otot interkostalis eksternus relaksasi, dinding dada turun

dan lengkung diafragma naik ke atas ke dalam rongga toraks, menyebabkan volume
toraks berkurang. Pengurangan volume toraks ini meningkatkan tekanan intrapleura
maupun tekanan intrapulmonal. Selisih tekanan antara saluran udara dan atmosfir
menjadi terbalik, sehingga udara mengalir keluar dari paru-paru sampai udara dan
tekanan atmosfir menjadi sama kembali pada akhir ekspirasi (Price,1994)
Tahap kedua dari proses pernapasan mencakup proses difusi gas-gas melintasi membrane
alveolus kapiler yang tipis (tebalnya kurang dari 0,5 m). Kekuatan pendorong untuk
pemindahan ini adalah selisih tekanan parsial antara darah dan fase gas. Tekanan parsial
oksigen dalam atmosfir pada permukaan laut besarnya sekitar 149 mmHg. Pada waktu
oksigen diinspirasi dan sampai di alveolus maka tekanan parsial ini akan mengalami
penurunan sampai sekiktar 103 mmHg. Penurunan tekanan parsial ini terjadi berdasarkan
fakta bahwa udara inspirasi tercampur dengan udara dalam ruangan sepi anatomic saluran
udara dan dengan uap air. Perbedaan tekanan karbondioksida.

antara darah dan alveolus yang jauh lebih rendah menyebabkan karbondioksida berdifusi
kedalam alveolus. Karbondioksida ini kemudian dikeluarkan ke atmosfir (Price,1994)
Dalam keadaan beristirahat normal, difusi dan keseimbangan oksigen di kapiler darah
paru-paru dan alveolus berlangsung kira-kira 0,25 detik dari total waktu kontak selama
0,75 detik. Hal ini menimbulkan kesan bahwa paru-paru normal memiliki cukup
cadangan waktu difusi. Pada beberapa penyakit misal; fibosis paru, udara dapat menebal
dan difusi melambat sehingga ekuilibrium mungkin tidak lengkap, terutama sewaktu
berolahraga dimana waktu kontak total berkurang. Jadi, blok difusi dapat mendukung
terjadinya hipoksemia, tetapi tidak diakui sebagai faktor utama (Rab,1996).

2. 1 Sistem Pertahanan Paru

Paru-paru mempunyai pertahanan khusus dalam mengatasi berbagai kemungkinan


terjadinya kontak dengan aerogen dalam mempertahankan tubuh. Sebagaimana
mekanisme tubuh pada umumnya, maka paru-paru mempunyai pertahanan seluler dan
humoral. Beberapa mekanisme pertahanan tubuh yang penting pada paru-paru dibagi
atas(Rab,1996) :
Filtrasi udara

Partikel debu yang masuk melalui organ hidung akan :

Yang berdiameter 5-7 akan tertahan di orofaring.

Yang berdiameter 0,5-5 akan masuk sampai ke paru-paru

Yang berdiameter 0,5 dapat masuk sampai ke alveoli, akan tetapi dapat pula di
keluarkan bersama sekresi.

Mukosilia

Baik mucus maupun partikel yang terbungkus di dalam mucus akan digerakkan oleh silia
keluar menuju laring. Keberhasilan dalam mengeluarkan mucus ini tergantung pada
kekentalan mucus, luas permukaan bronkus dan aktivitas silia yang mungkin terganggu
oleh iritasi, baik oleh asap rokok, hipoksemia maupun hiperkapnia.
Sekresi Humoral Lokal

zat-zat yang melapisi permukaan bronkus antara lain, terdiri dari :

Lisozim, dimana dapat melisis bakteri

Laktoferon, suatu zat yang dapat mengikat ferrum dan bersifat bakteriostatik

Interferon, protein dengan berat molekul rendah mempunyai kemampuan dalam


membunuh virus.
Ig A yang dikeluarkan oleh sel plasma berperan dalam mencegah terjadinya infeksi virus.
Kekurangan Ig A akan memudahkan terjadinya infeksi paru yang berulang.
Fagositosis

Sel fagositosis yang berperan dalam memfagositkan mikroorganisme dan kemudian


menghancurkannya. Makrofag yang mungkin sebagai derivate monosit berperan sebagai
fagositer. Untuk proses ini diperlukan opsonim dan komplemen.
Faktor yang mempengaruhi pembersihan mikroba di dalam alveoli adalah :

Gerakan mukosiliar.

Faktor humoral lokal.

Reaksi sel.

Virulensi dari kuman yang masuk.

Reaksi imunologis yang terjadi.

- Berbagai faktor bahan-bahan kimia yang menurunkan daya tahan paru, seperti alkohol,
stress, udara dingin, kortekosteroid, dan sitostatik.
2.2 Sistem Pernafasan

2.2.1. Pengertian Pernafasan

Pernafasan atau ekspirasi adalah menghirup udara dari luar yang mengandung O2
(oksigen) kedalam tubuh serta menghembuskan udara yang banyak mengandung CO2
(karbon dioksida) sebagai sisa dari oksidasi keluar tubuh. Penghisapan ini disebut
inspirasi dan menghembuskan disebut ekspirasi (Syaifuddin,1996).
2.2.2. Fungsi Pernafasan

Fungsi pernafasan adalah

Mengambil oksigen kemudian dibawa oleh darah keseluruh tubuh (sel-selnya) untuk
mengadakan pembakaran.
Mengeluarkan karbon dioksida yang terjadi sebagai sisa pembakaran, kemudian dibawa
oleh darah ke paru-paru untuk dibuang (karena tidak berguna lagi oleh tubuh).
dan melembabkan udara (Syaifuddin, 1996)

Pertukaran oksigen dan karbon dioksida antara darah dan udara berlangsung di

alveolus paru-paru. Pertukaran tersebut diatur oleh kecepatan dan di dalamnya aliran
udara timbal balik (pernafasan), dan tergantung pada difusi oksigen dari alveoli ke dalam
darah kapiler dinding alveoli. Hal yang sama juga berlaku untuk gas dan uap yang
terhirup paru-paru merupakan jalur masuk terpenting dari bahan-bahan berbahaya lewat
udara pada paparan kerja (WHO, 1993).

proses sistem pernafasan atau sistem respirasi berlangsung dengan beberapa tahap
yaitu :
Ventilasi yaitu pergerakan udara ke dalam dan keluar paru.
Pertukaran gas dalam alveoli dan darah atau disebut pernapasan luar.
Transportasi gas melalui darah.
Pertukaran gas antara darah dengan sel-sel jaringan atau disebut pernapasan dalam.
Metabolisme penggunaan O2 di dalam sel serta pembuatan CO2 yang disebut pernapasan
seluler.
2.2.4. Mekanisme Kerja Sistem Pernapasan

Proses terjadinya pernapasan terbagi 2 yaitu :


Inspirasi (menarik napas)
Ekspirasi (menghembus napas)

Inspirasi adalah proses yang aktif, proses ini terjadi bila tekanan intra pulmonal (intra
alveol) lebih rendah dari tekanan udara luar. Pada tekanan biasa, tekanan ini berkisar
antara -1 mmHg sampai dengan -3 mmHg. Pada inspirasi dalam tekanan intra alveoli
dapat mencapai -30 mmHg. Menurunnya tekanan intra pulmonal pada waktu inspirasi
disebabkan oleh mengembangnya rongga toraks akibat kontraksi otot-otot inspirasi.
Ekspirasi adalah proses yang pasif, proses ini berlangsung bila tekanan intra pulmonal
lebih tinggi dari pada tekanan udara luar sehingga udara bergerak keluar paru.
Meningkatnya tekanan di dalam rongga paru terjadi bila volume rongga paru mengecil
akibat proses penguncupan yang disebabkan oleh daya elastis jaringan paru.
Penguncupan paru terjadi bila otot-otot inspirasi mulai relaksasi. Pada proses ekspirasi
biasa tekanan intra alveoli berkisar antara + 1 mmHg sampai dengan + 3 mmHg
(Alsagaff, 2002).

2. DEFINISI
Pneumonia merupakan penyakit infeksi yang menyerang parenkim dari paruparu. Di samping penyakit ini merupakan penyebab yang signifikan morbiditas dan
mortalitas, pneumonia kadang salah terdiagnosis, salah dalam penatalaksanaannya
dan kadang dianggap penyakit yang tidak penting.1
CAP sendiri adalah suatu infeksi yang menyerang alveoli, jalan nafas distal
dan jaringan intersisial dari paru-paru yang terjadi di luar lingkup rumah sakit.
Karakteristik secara klinis dari penyakit ini ialah demam, menggigil, batuk, nyeri dada
pleuritik, produksi sputum dan ditemukannya minimal 1 opasitas dari foto rontgen
thorax. Terdapat empat bentuk umum dari pneumonia, yaitu pneumonia lobaris,
bronkopneumonia, pneumonia interstitial, dan pneumonia miliar. Pneumonia lobaris
terjadi di satu lobus paru secara menyeluruh, bronkopneumonia merupakan
konsolidasi yang bersifat tidak menyeluruh pada satu atau beberapa lobus yang
biasanya terdapat di bagian posterior sekitar bronkus dan bronkiolus. Pneumonia
intersisial merupakan inflamasi dari intersisial, termasuk dinding alveolus dan
jaringan ikat di sekitar cabang dari bronkovaskular. Pneumonia miliar merupakan lesi
pada paru yang disebabkan oleh penyebaran hematogen.1
3. EPIDEMIOLOGI
Pneumonia merupakan salah satu penyebab utama kematian di seluruh dunia
dan merupakan penyebab kematian ke tujuh di Amerika Serikat. Penyakit ini adalah
penyebab kematian nomor satu dari golongan penyakit menular di Amerika Serikat.
Setiap tahun di Amerika Serikat, ada sekitar 1-2.000.000 kasus Community Acquired
Pneumonia mengarah ke sebanyak 1,1 juta pasien di rawat inap dan 45.000
mengalami kematian.2
Insidens CAP adalah yang tertinggi pada kelompok usia ekstrim, yaitu sekitar
915.900 kasus pada pasien berusia > 65 tahun setiap tahun di Amerika Serikat. Angka
kematian kurang dari 1% untuk orang dengan CAP yang tidak memerlukan rawat
inap, namun rata-rata angka kematian dari 12% sampai 14% di antara sakit pasien
dengan CAP yang dirawat di rumah sakit. Di antara pasien yang dirawat di unit
perawatan intensif (ICU), atau pasien bacteremia, atau yang berasal dari panti jompo,

rata-rata angka kematian meningkat menjadi 30% sampai 40%. Oleh karena itu,
sangat penting bahwa dokter mengenali dan mengobati CAP tepat.2
Faktor resiko untuk CAP adalah konsumsi alkohol, asma, imunosupresi,
institusionalisasi, usia lebih dari 70 tahun dan 60 69 tahun. Faktor resiko untuk
pneumococcal pneumonia adalah demensia, kejang, gagal jantung, penyakit
cerebrovaskular, konsumsi alkohol, rokok, PPOK, dan infeksi HIV. Faktor resiko
untuk CA-MRSA adalah ras native Amerika, anak jalanan, homoseksual, tahanan
penjara, tentara militer, panti asuhan, atlit seperti pegulat.3
Di bawah ini adalah tabel hubungan antara faktor resiko pada Community
Acquired Pneumonia dengan jenis patogen tersering yang menjadi etiologinya.1
Patogen Paling Sering
Faktor Resiko
Pengkonsumsi Alkohol

Streptococcus pneumoniae, bakteri anaerob


oral, bakteri gram negatif, Mycobacterium
tuberculosis

PPOK / Perokok

S. pneumoniae, Hemophilus influenzae,


Moraxella catarrhalis, Legionella

Tinggal di Panti Asuhan atau Panti Jompo

S. pneumoniae, bakteri gram negatif, H.


influenzae, Staphylococcus aureus, bakteri
anaerob, Chlamydia pneumoniae,
Mycobacterium tuberculosis

Kebersihan Gigi yang Buruk

Anaerobes Epidemic Legionnaire's disease


Legionella spp

Paparan terhadap kelelawar

Histoplasma capsulatum

Paparan terhadap unggas

Chlamydia psittaci, Cryptococcus


neoformans, H. Capsulatum

Paparan terhadap kelinci

Francisella tularensis

Demensia, Stroke, penurunan kesadaran

Bakteri anaerob oral, bakteri gram negatif


enteric

Paparan terhadap hewan ternak atau kucing

Coxiella burnetii (Q fever)

yang melahirkan
Influenza aktif di lingkungan sekitar

Influenza, S. pneumoniae, S. aureus, H.


Influenzae

Curiga aspirasi dalam jumlah besar

Bakteri anaerob, chemical pneumonitis, atau


obstruksi

Penyakit paru struktural

(bronchiectasis, P. aeruginosa, Pseudomonas cepacia, atau

cystic fibrosis, etc.)

S. Aureus

Pengguna obat jarum suntik

S. aureus, bakteri anaerob, Mycobacterium


tuberculosis, Pneumocystis carinii

Obstruksi endobronkial

Bakteri anaerob
Drug-resistant pneumococci, P. Aeruginosa

Pengobatan antibiotik sebelumnya


TABEL 1 : Hubungan antara Faktor Resiko pada Community Acquired Pneumonia
dengan Jenis Patogen Penyebabnya dari Data Epidemiologi.1
4. ETIOLOGI
Ketika dilakukan diagnosis cepat yang optimal dalam manajemen CAP,
pathogen yang berkaitan tidak dapat di identifikasi pada 50% pasien, bahkan ketika
diagnostik secara extensive dilakukan. Tidak ada tes tunggal yang tersedia untuk
mengidentifikasi seluruh pathogen potensial dan setiap diagnostik mempunyai
keterbatasan. Seperti misalnya, kultur sputum untuk bakteri gram kurang dapat
menunjukkan adanya bakteri Streptococcus pneumonia dan tesi ini juga tidak dapat
mendeteksi pathogen lain seperti Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae,
Legionella spp., dan virus-virus respiratori.

Pada beberapa penelitian menunjukan bahwa beberapa pasien dengan CAP


dapat mengalami infeksi lebih dari satu pathogen yang membutuhkan terapi untuk
semua pathogen yang teridentifikasi, tetapi tidak dapat didiagnosis secara dini dengan
kultur spesimen yang sudah ada. Infeksi campuran dapat melibatkan lebih dari satu
spesies bakteri, atau dapat juga campuran antara bakteri dan virus pathogen. Peran
pathogen atipikal disini kontroversial karena frekuensi dari organisme ini secara
luas tergantung dari pemeriksaan diagnostik dan penggunaan kriteria-kriteria tertentu,
dan ini tidak pasti karena jika bakteri ini menginfeksi dengan bakteri lain atau jika
bakteri ini menyebabkan infeksi dini yang menuju kepada infeksi bakteri sekunder.
Yang termasuk di dalam bakteri atipikal ialah

Mycoplasma pneumoniae,

Chlamydia pneumoniae, Legionella spp.


Pada saat ini juga terjadi peningkatan kewaspadaan pada pathogen terbaru
(seperti hantavirus) dan pathogen atipikal. Pada beberapa penelitian, sejumlah besar
pasien tidak memiliki etiologi yang jelas. Hal ini bisa disebabkan karena penanganan
sebelumnya dengan antibiotic, pathogen yang tidak biasa ditemui seperti fungi,
Coxiella burnetii, infeksi virus, dan munculnya pathogen yang sekarang tidak dikenal
atau tidak teridentifikasi.
Organisme Etiologi CAP Pasien Rawat Jalan
Beberapa penelitian telah dilakukan pada pasien dengan CAP dan pada grup
ini terdapat 40-50%. Dengan menggunakan kultur sputum, pneumococcus merupakan
patogen yang paling sering dapat diidentifikasi (9-20% episode), ketika M.
pneumoniae merupakan organisme yang memang umumnya sering ditemukan saat
diagnosis dilakukan (13-37% dari seluruh kejadian). Chlamydia pneumoniae telah
dilaporkan sebanyak 17% didapat dari pasien rawat jalan dengan CAP. Dari lingkup
kelompok pasien rawat jalan, Legionella spp. juga dapat terlihat dengan angka dari
0.7 13% dari semua pasien. Insiden infeksi virus bervariasi, tetapi sempat ditemukan
sebanyak 36% kasus dalam satu serial. Insiden terjadinya infeksi dari bakteri gram
negatif sulit ditentukan dari beberapa penelitian yang sekarang tersedia, tetapi
kompleksitas dari populasi yang sekarang dirawat di luar rumah sakit semaking
meningkat, dan banyak pasien yang memang mempunyai faktor risiko untuk
kolonisasi bakteri basil gram negatif pada saluran pernafasan, yang memang
merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya pneumonia.

Organisme yang Menyebabkan CAP pada Pasien Rawat Inap di Luar ICU
Berdasarkan kesimpulan dari 15 studi dari Amerika Utara dimana lebih dari
tiga dekade pada pasien rawat inap, Bartlett dan Mundy menyimpulkan bahwa S.
pneumonia merupakan pathogen yang paling sering teridentifikasi (20-60% dari
seluruh episode), diikuti dengan H. influenza (3-10% dari seluruh episode) dan
Staphylococcus aureus, Legionella, M. pneumoniae, C. pneumoniae dan virus.
Beberapa pasien (3-6%) dengan pneumonia disebabkan karena aspirasi. Di seluruh
penelitian, agen etiologis sulit ditemukan pada 20-70%. Pada beberapa studi, M.
pneumonia dan C. pneumoniaedi antara beberapa yang dirawat di luar ICU. Insiden
infeksi dari organism atipikal sebesar 40-60% dari seluruh pasien, kadang sebagai
bagian dari infeksi campuran. Insiden yang tinggi telah diidentifikasi dengan serologis
dan diagnosis lainnya untuk yang termasuk titer akut tinggi sebanyak 4 kali lipat
kenaikan antara titer akut dan konvalesen, tetapi criteria serologis dan diagnostik
untuk memeriksa pathogen tersebut tidak terstandardisasi, dan termasuk juga IgG dan
IgM. Ketika pathogen atipikal telah diidentifikasi, bakteri tersebut tidak hanya
ditemukan pada pasien yang muda dan sehat, tetapi ditemukan juga di semua
golongan umur.
Bakteri enterik gram negatif tidak biasa ditemukan pada CAP, tetapi mungkin
tampak pada 10% pasien rawat inap non-ICU. Mereka kadang ditemukan pada pasien
dengan komorbid penyakit tertentu (terutama PPOK) dengan terapi antibiotik oral
sebelumnya, beberapa dengan perawatan rumah sakit di rumahnya dan beberapa
dengan malignancy hematologi atau imunosupresi.
Satu studi membuktikan bakteri enteric gram negative diidentifikasi dari 9%
pasien dan 11% dari seluruh pathogen lainnya dan adanya komorbid yang berkaitan
yang dapat meningkatkan risiko terjadinya infeksi dengan mikroorganisme tersebut,
seperti penyakit jantung, penyakit paru kronis, insufisiensi renal, penyakit liver toxic,
penyakit neurologis kronis, diabetes, dan malignancy yang aktif dalam 1 tahun.
Meskipun insidens infeksi P. aeruginosa tidak tinggi pada kebanyakan pasien dengan
CAP, organisme ini ditemukan pada 4% dari seluruh pasien CAP dengan diagnosis
etiologis yang sudah dilakukan. Masih terdapat controversial tentang insidens
sebenarnya dari infeksi bakteri gram negative pada pasien dengan CAP, ketika
diagnostic seperti kultur sputum biasanya tidak dapat membedakan antara kolonisasi
organisme ini dengan infeksi sebenarnya. Insidens dari infeksi gram negative tidak

setinggi seluruh pasien dengan CAP, tetapi meningkat pada pasien yang dirawat
dalam ICU.
Organisme Penyebab CAP pada Pasien Rawat Inap yang Membutuhkan ICU
Ketika organisme aerobic gram negatif telah diidentifikasi dengan peningkatan
frekuensi pada pasien dengan CAP yang membutuhkan ICU, organisme yang paling
sering ialah pneumococcus, Legionella, dan H. influenzae, di samping S. aureus juga
menjadi patogen yang cukup sering juga menjadi penyebab. Patogen atipikal seperti
C. pneumoniae dan M. pneumoniae dapat membuat penyakit menjadi lebih parah,
organisme ini memang lebih sering dibandingkan Legionella dalam menjadi penyebab
dari CAP yang parah. Secara keseluruhan, sampai 10% dari pasien dengan CAP yang
dirawat dalam ICU, dan pneumococcus muncul pada sepertiga dari seluruh pasien.
Dari beberapa pasien yang dirawat dalam ICU, organisme seperti P. aeruginosa sering
diidentifikasi, terutama pada pasien dengan bronchiectasis. Pada populasi ini,
enterobacteraceae telah ditemukan pada 22% pasien dan 10-15% pada pasien ICU
yang juga terinfeksi P. aeruginosa. Dari seluruh serial, 50-60% pasien dengan CAP
yang parah mempunyai etiologi yang tidak jelas, dan kesalahan dalam menentukan
pathogen ini tidak berkaitan dengan hasil yang berbeda dibandingkan jika pathogen
tersebut telah diidentifikasi.
5. PATOFISIOLOGI
Pneumonia terjadi akibat dari proliferasi pathogen mikrobial pada tingkat
alveolus dan respon dari tingkat host terhadap pathogen ini. Mikroorganisme dapat
masuk ke saluran pernafasan bawah melalui beberapa jalan. Yang paling sering ialah
akibat aspirasi dari oropharynx. Sejumlah kecil aspirasi terjadi paling sering ketika
tidur (terutama pada orang tua) dan pada pasien dengan penurunan tingkat kesadaran.
Banyak pathogen yang terinhalasi sebagai droplet yang terkontaminasi. Selain itu,
pneumonia juga dapat terjadi melalui penyebaran hematogen (seperti endocarditis
tricuspid) atau dari penyebaran dari infeksi pleural atau ruang mediastinum.
Factor mekanis sangat penting dalam menentukan system pertahanan tubuh
penderita. Rambut dan turbinasi dari lubang hidung menangkap partikel yang lebih
besar yang terinhalasi sebelum mereka mencapai saluran pernafasan bawah, dan
cabang dari trakeobronkial menangkap juga partikel dari saluran pernafasan tersebut,
dimana klirens mukosiliar dan factor local antibacterial juga membersihkan atau

membunuh pathogen potensial. Reflex dan mekanisme batuk juga dapat melindungi
dari aspirasi. Flora normal yang menempel pada sel mukosa dari oropharynx juga
dapat mencegah bakteri pathogen dalam mengikat dan dapat menurunkan risiko
pneumonia.
Ketika perlindungan tersebut dihadapi oleh mikroorganisme yang cukup kecil
untuk terinhalasi pada tingkat alveolus, makrofag alveolar setempat secara efisien
membersihkan dan membunuh pathogen. Makrofag dibantu oleh protein lokal (seperti
surfactant protein A dan D) yang mempunyai kemampuan untuk opsonizing atau
aktivitas antibacterial. Pathogen tersebut dieliminasi bisa melalui system mukosiliar
atau limfatik dan dapat menunjukan reaksi dari inflamasinya. Hanya ketika kapasitas
dari makrofag alveolar untuk membunuh mikroorganisme melebihi kemampuan,
pneumonia secara klinis baru bermanifestasi. Pada situasi ini, makrofag alveolar
memulai respons inflamasi untuk meningkatkan system pertahanan dari saluran
pernafasan bawah. Respon inflamasi tersebut dapat memicu timbulnya manifestasi
klinis dari pneumonia. Pengeluaran dari mediator inflamasi seperti Interleukin (IL)
dan tumor necrosis factor dapat menyebabkan terjadinya demam. Kemokin seperti IL8 dan granulocyte colony-stimulating factor dapat merangsang pengeluaran dari
netrofil dan cara kerja mereka di paru yang menghasilkan leukosit perifer dan
meningkatkan sekresi purulen. Mediator inflamasi yang dikeluarkan oleh makrofag
dan netrofil yang terbaru dapat membuat kebocoran kapiler alveolar yang sama
seperti pada Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Meskipun pada
pneumonia kebocoran yang terjadi bersifat terlokalisasi. Bahkan eritrosit dapat
menembus juga melalui membrane kapiler alveolar dengan hemoptisis konsekuen.
Kebocoran kapiler dapat menyebabkan munculnya infiltrat pada gambaran radiologi
dan ronkhi yang terdengar pada auskultasi dan juga hypoxemia yang disebabkan
karena alveolar yang terisi. Bahkan ada beberapa pathogen yang dapat berperan
langsung pada vasokontriksi hypoxic yang secara normal terjadi pada alveoli yang
terisi cairan dan dapat menyebabkan hypoxemia.
Peningkatan pernafasan pada Systemic Inflammatory Response Syndrome
(SIRS) dapat menyebabkan alkalosis respiratori. Penurunan compliance karena
kebocoran kapiler, hypoxemia, peningkatan pernafasan, peningkatan sekresi dan
bronkospasm dapat memicu terjadinya dyspnea. Jika terjadi cukup parah, perubahan
struktur mekanis dari paru juga dapat terjadi seperti penurunan dari volume paru dan

komplians dan shunting aliran darah intrapulmoner dapat menyebabkan kematian


pada pasien.

6. KLASIFIKASI
Klasifikasi dan penentuan tingkat keparahan pada CAP ditentukan terutama
ditentukan untuk mengetahui rekomendasi rawat inap dan untuk menentukan
prognosis dari CAP ini. Ada 2 macam grading yang digunakan pada CAP yaitu CURB
65 / CRB 65 dan Pneumonia Severity Index (PSI).4,5

CURB-65 dan CRB-65 Severity Scores untuk Community-Acquired Pneumonia


(CAP)4,5
Faktor Klinis
Confusion (terlihat bingung)
Blood Urea nitrogen > 19 mg per dL (BUN)
Respiratory rate > 30 breaths per minute

Poin
1
1
1

(frekuensi napas)
Systolic Blood pressure < 90 mm Hg (tekanan 1
darah sistolik)
or
Diastolic Blood pressure < 60 mm Hg ( tekanan
darah diastolik)
Age > 65 years (usia)

Total poin:
Skor CURB-65
0
1

Tingkat kematian (%)


0.6
2.7

6.8

3
4 or 5

14.0
27.8

Rekomendasi
Resiko rendah, dipertimbangkan untuk rawat di
rumah.
Rawat inap sementara atau rawat jalan dengan
pengawasan ketat.
Pneumonia berat; rawat inap dan pertimbangkan

untuk rawat di ICU


CURB-65 = Confusion, Urea nitrogen, Respiratory rate, Blood pressure, 65 years of age and
older.

CRB-65 score
0

Tingkat kematian (%)


0.9

1
2

5.2
12.0

3 or 4

31.2

Rekomendasi
Resiko kematian sangat rendah; biasanya tidak
perlu dirawat di rumah sakit
Resiko
kematian
meningkat;

perlu

dipertimbangkan untuk dirawat inap


Resiko kematian tinggi; perlu secepatnya dirawat

inap.
CRB-65 = Confusion, Respiratory rate, Blood pressure, 65 years of age and older.
Pneumonia Severity Index (PSI)
Faktor Resiko

Nilai

Usia
Pria

usia (th)

Wanita

usia (th) 10

Tinggal dalam panti jompo atau panti asuhan

+10

Penyakit komorbid lain


Penyakit Keganasan

+30

Penyakit Hepar

+20

Penyakit Ginjal

+10

Penyakit Cerebrovaskular

+10

Gagal Jantung Kongestif

+10

Pemeriksaan Fisik
Gangguan mental

+20

Takipneu (>30 kali/menit)

+20

Hipertensi Sistolik (<90 mm Hg)

+20

Suhu tubuh (<35 atau >40 C)

+15

Detak jantung >125 beats/min

+10

Laboratorium dan Hasil Radiografi


pH darah (arterial) <7.35

+30

Hipoxemia (arterial Pao2<60 mm Hg atau saturasi O2 <90%)

+10

Serum urea nitrogen (BUN) >30 mg/Dl

+20

Na <130 mEq/L

+20

Gula darah >250 mg/dL

+10

Anemia (hematokrit <30%)

+10

Efusi pleura

10

Adapted from Kolleff MH, Micek ST: Methicillin-resistant Staphylococcus aureusa new
community-acquired

pathogen?

Curr

Opin

Infect

Dis

2006;19:161-168.

2002 The Cleveland Clinic Foundation.


Table 6: Pneumonia Severity Index: Resiko kematian dalam 30 hari berdasarkan PSI
Kelas Resiko

Poin

Tingkat kematian (%)

0.1

II

<70

0.6

III

71-90

2.8

IV

91-130

8.2

>130

29.2

Adapted from Kolleff MH, Micek ST: Methicillin-resistant Staphylococcus aureusa new
community-acquired pathogen? Curr Opin Infect Dis 2006;19:161-168. 2002 The
Cleveland Clinic Foundation.
Pasien dengan CAP grade I dan II menurut PSI dapat menjalani rawat jalan saja
apabila tidak ada instabilitas hemodinamik, tidak memerlukan oksigen tambahan secara
kronis, imunokompeten, dan dapat mengkonsumsi obat oral. Pasien grade III harus
dipertimbangkan untuk rawat inap sementara atau dapat rawat jalan, diputuskan sesuai
dengan kondisi klinisnya, sedangkan pasien grade IV dan V direkomendasikan untuk rawat
inap.
Sedangkan berdasarkan CURB 65, pasien dengan skor 0 1 dirawat jalan, skor 2 dirawat
dalam bangsal biasa, dan skor >= 3 dirawat inap dalam pelayanan ICU.
Namun ada beberapa kategori sehingga pasien dengan resiko kematian rendah perlu
di rawat jalan:

1. Terdapat komplikasi dari pneumonia tersebut


2. Terdapat eksaserbasi dari penyakit lain yang mendasarinya misalnya PPOK,
Dekompensasio Kordis, atau Diabetes Melitus.
3. Tidak mampu untuk mengkonsumsi obat oral atau menjalani pengobatan rawat
jalan
4. Faktor resiko multipel yang mendekati batas skor

Selain itu dapat pula seorang pasien yang perlu dirawat inap karena hipoksemia, atau
pasien dengan skor PSI rendah (I-III) yang perlu dirawat inap karena syok, dekompensasi
dari penyakit lain, effusi pleura, masalah sosial dan masalah pengasuhan di rumah karena
pasien memerlukan pengasuhan khusus, serta riwayat respon yang tidak adekuat terhadap
antibiotik empiris. Pada pasien pengguna jarum suntik, muntah terus menerus yang sulit
diatasi, penyakit psikiatri berat, homelessness, tidak dapat berfungsi dengan baik secara sosial
dan kognitif.

7. Diagnosis CAP
Manisfestasi klinis berupa batuk, demam, produksi sputum, dan nyeri dada pleuritik. Pada
pemeriksaan fisik dapat ditemukan suara nafas bronkial dan ronkhi (rales) pada paru paru,
namun kurang sensitif dan tidak spesifik sehingga diperlukan pemeriksaan penunjang yaitu
dengan radiografi paru (chest x-ray). Pemeriksaan radiologi ini penting untuk menegakan
diagnosis, serta membedakan CAP dari penyakit paru lain yang juga memberikan gambaran
batuk dan demam seperti bronkitis akut. Selain itu dari pemeriksaan radiologi kita dapat
menduga agen penyebab infeksi, prognosis, diagnosis banding, dan kondisi lain yang
berhubungan. Pada pasien yang dirawat inap dengan kecurigaan pneumonia namun dengan
hasil radiologi negatif, boleh diberikan terapi secara presumptif dengan antibiotik, lalu
dilakukan pemeriksaan ulang radiologi 24 48 jam kemudian. Etiologi pasti perlu ditentukan
apabila ada resistensi terhadap antibiotik yang digunakan secara empiris dan terapi antibiotik
akan diganti sesuai dengan etiologinya. Antibiotik spektrum luas yang direkomendasikan

pada umumnya tidak berguna pada psittacosis dan tularemia. Selain itu diagnosis etiologi
juga perlu dilakukan bila akan menimbulkan implikasi epidemiologis yang penting karena
sangat menular. Misalnya pada SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome), influenza,
legionnaires disease atau bioterorisme agent. Menentukan etiologi pasti dapat dilakukan
dengan cara kultur darah, kultur sputum, atau kultur cairan pleura. Selain itu dapat pula
dilakukan non bronchoscopic bronchovascular lavage (BAL). 87% kultur dari BAL adalah
positif, bahkan pada pasien yang telah menerima pengobatan antibiotik. Indikasi untuk
melakukan BAL, protected specimen brushing, dan transthoracic lung aspiration ini adalah
pada pasien immunocompromise dan CAP gagal pengobatan.6

You might also like