You are on page 1of 9

ISSN 2337-3776

EFFECT OF ORAL ROUTE RHIZOME TEMULAWAK (Curcuma xanthorriza


Roxb.) ON LIVER DAMAGE OF WHITE MALE RATS (Rattus norvegicus)
Sprague dawley STRAIN INDUCED BY ASPIRIN
Sirait RRU, Windarti I, Fiana DN
Faculty of medicine Lampung University
Abstract
Aspirin is a non steroidal anti-inflammatory (NSAIDS) which is very widely used and
reported has some toxicity. Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) is a herb that widely
used and known as the hepatoprotective agent . The aims of this research is to determine the
effect of oral route temulawak rhizome (Curcuma xanthorriza Roxb.) on the liver damage of
white male rats Sprague dawley strain induced aspirin. This research is an laboratory
experimental post-test only control group. Subjects are 25 Sprague dawley rats divided into 5
groups: K1: given distilled water; K2: given aspirin at a dose of 90 mg; K3: given aspirin 90
mg and oral route temulawak 1.3 g/kg; K4: given aspirin 90 mg and oral route temulawak
with 2.6 g/kg; K5: given aspirin 90 mg and oral route temulawak 5.2 g/kg. From ANOVA,
the value of p is p=0.000 (p<0.05) it means that there are significant difference in the amount
of hepatocyte cell between the other group. The results of Post Hoc test obtained K1-K2
(p=0.001), K1-K3 (p=0.001), K2-K4 (pc=0.001), K2-K5 (p=0.001), K3-K4 (p=0.001), and
K3-K5 (p=0.001) which shows significant difference. The conclusion is that there is
hepatoprotective effect of temulawak rhizome oral route provision on the liver damage of rats
Sprague dawley strain induced by aspirin.
Key words: Aspirin, liver damage, temulawak rhizome.

Abstrak
Aspirin adalah golongan obat antiinflamasi non steroid (OAINS) yang sangat luas digunakan
dan dilaporkan sering terjadi toksisitas akibat pemakaiannya. Temulawak (Curcuma
xanthorriza Roxb.) adalah tanaman herbal yang banyak digunakan dan diketahui sebagai
agen hepatoprotektif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian dekok
rimpang temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) terhadap kerusakan hepar tikus galur
Sprague dawley yang diinduksi aspirin. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental
laboratorik dengan rancangan post test only control group. Subjek penelitian menggunakan
25 ekor tikus putih Sprague dawley jantan dewasa dibagi menjadi 5 kelompok yaitu K1:
diberi akuades; K2: aspirin dengan dosis 90 mg; K3: aspirin 90 mg dan dekok temulawak 1,3
g/kgBB; K4: aspirin 90 mg dan dekok temulawak dengan 2,6 g/kgBB; K5:aspirin 90 mg dan
dekok temulawak 5,2 g/kgBB. Hasil uji ANOVA diperoleh nilai p=0,000 (p<0,05) yang
berarti paling tidak terdapat perbedaan jumlah pembengkakan sel hepatosit yang bermakna
antar kelompok dan pada uji Post Hoc LSD didapatkan hasil K1-K2 (p=0,000), K1-K3
(p=0,000), K2-K4 (p=0,000), K2-K5 (p=0,000), K3-K4 (p=0,000), dan K3-K5 (p=0,000)
yang menunjukkan perbedaan bermakna. Kesimpulannya adalah terdapat efek
hepatoprotektif pada pemberian dekok rimpang temulawak terhadap kerusakan hepar tikus
galur Sprague dawley yang diinduksi aspirin.
.
Kata kunci: Aspirin, dekok rimpang temulawak, kerusakan hepar.

129

ISSN 2337-3776

Pendahuluan
Aspirin atau dikenal asam salisilat adalah prototipe dari grup obat antiinflamasi
non steroid (OAINS) yang memiliki efek sebagai analgesik, antipiretik, dan antiinflamasi yang sangat luas digunakan dan digolongkan dalam obat bebas (Mycek,
2001;Tim Editor UI, 2007). Pada tahun 2004, American Association of Poison
Control Centers (AAPC) melaporkan 40.405 kasus pasien terpapar salisilat. Dari
angka tersebut, 25.239 (63%) akibat paparan tidak sengaja dan 17.659 (44%) terjadi
pada anak dibawah usia 6 tahun. Paparan salisilat ini mengakibatkan 3.804 kasus
(9%) toksisitas sedang, 524 (1%) toksisitas berat, dan 64 (0,2%) mengakibatkan
kematian (Watson, 2005).
Berdasarkan Goodman dan Gilman (2006), ingesti 4 atau 5 gram aspirin setiap
hari menyebabkan konsentrasi salisilat plasma pada rentang yang lazim untuk terapi
antiinflamasi (120 sampai 150 ug/ml), menyebabkan kehilangan darah lewat feses
rata-rata sekitar 3-8 ml per hari. Salisilat dapat menyebabkan kerusakan hepar. Ini
biasanya terjadi pada pasien yang diberi salisilat dosis tinggi yang menyebabkan
konsentrasi salisilat plasma di atas 150 ug/ml. Efek samping tersebut biasanya
muncul pada minggu-minggu pertama terapi (Goodman & Gilman, 2006). Efek
samping aspirin terhadap hepar terjadi karena penggunaan dosis yang tinggi yang
menyebabkan metabolit reaktif dari aspirin terlalu banyak dalam hepar dan
menyebabkan glutathione (GSH) tidak dapat mendetoksikasi kelebihan metabolit
tersebut yang akhirnya dapat menyebabkan toksisitas pada hepar dan akirnya terjadi
hepatitis (Rolfe, 2013).
Obat herbal telah diterima secara luas di hampir seluruh negara di dunia.
Menurut World Health Organization (WHO), negara-negara di Afrika, Asia dan
Amerika Latin menggunakan obat herbal sebagai pelengkap pengobatan primer yang
mereka terima. Bahkan di Afrika, sebanyak 80% dari populasi menggunakan obat
herbal untuk pengobatan primer (WHO, 2003). Salah satu obat herbal yang sering
digunakan dalam mengobati gangguan hepar adalah temulawak (Curcuma
xanthorryza Roxb.). Temulawak merupakan salah satu dari 9 tanaman obat unggulan
130

ISSN 2337-3776

Indonesia yang telah sejak tahun 2003 mulai diteliti (BPOM, 2005). Manfaat dari
tanaman temulawak antara lain sebagai antihepatitis, antioksidan, antiinflamasi,
antikarsinogen, antimikroba, antiviral, detoksifikasi, dan antihiperlipidemia (Hemeida
et al, 2008).
Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti pengaruh
pemberian temulawak tehadap keruskan hepar yang diinduksi aspirin.

Metode
Penelitian ini adalah eksperimental laboratorik menggunakan metode acak
terkontrol (post test only control group). Penelitian dilaksanakan selama lebih 14 hari
dengan lokasi di pet house Fakultas Kedokteran Unila sebagai tempat pemeliharaan
dan pemberian perlakuan. Sedangkan, pemeriksaan hasil sediaan preparat dilakukan
di Labortorium Patologi Anatomi FK Unila.
Populasi penelitian ini adalah tikus jantan galur Sprague dawley, umur 3-4
bulan, berat badan 150-200 gram yang diperoleh dari Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini menggunakan 25 ekor tikus dan dibagi
menjadi 5 kelompok yaitu kelompok I sebagai kelompok kontrol normal hanya diberi
akuades. Kelompok II sebgai kontrol negatif diberikan aspirin dengan dosis 90 mg.
Kelompok III adalah kelompok perlakuan coba dengan pemberian dekok temulawak
dosis 1,3 g/kgBB, kelompok IV diberikan dekok temulawak 2,6 g/kgBB dan
kelompok V diberikan 5,2 g/kgBB. Dekok temulawak diberikan setelah 2 jam induksi
aspirin dosis 90 mg. Selama 1 minggu tiap-taip kelompok tikus diadaptasikan
sebelum diberi perlakuan. Setelah itu, diberi aspirin dan dekok rimpang temulawak
selama 14 hari. Kemudian, pada hari ke 15 tikus dimatikan dengan cara dikapitasi
kemudian organ hepar diambil untuk sediaan mikroskopis. Pembuatan sediaan
mikroskopis dengan metode paraffin dan pewarnaan Hematoksilin Eosin.
Dari masing-masing tikus dibuat preparat lalu diamati di bawah mikroskop
dengan pembesaran 400x. Kerusakan yang dinilai adalah hepatosit yang mengalami
pembengkakan sel. Sel yang membengkak dihitung secara semikuantitatif dalam 5
131

ISSN 2337-3776

lapang pandang berbeda. Tiap lapangan pandang dihitung dalam bentuk persentase
antara rentang 0-100% dijumlah dan dirata-ratakan. Data yang didapatkan diolah
secara analitik dengan menggunakan program analisis data. Di uji menggunakan uji
parametrik one way ANOVA dan dilanjutkan dengan uji statistic parametrik Post
Hoc LSD.

Hasil penelitian
Dari penelitian ini ditemukan adanya pembengkakan sel hepatosit pada K2
(diberi aspirin) dan terdapat perbaikan sel hepatosit pada kelompok yang diberi dekok
rimpang temulawak (K4 dan K5). Hal ini dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Hasil rata-rata gambaran histopatologi pembengkakan sel hepatosit pada
kelompok uji dekok rimpang temulawak
Kelompok Uji

Rata-Rata Pembengkakan Hepatosit


(XSD)

K1

1% 1,00

K2

48,84% 8,2175

K3

39,4% 7,7006

K4

2% 2,1213

K5

1,52% 0,7950

Keterangan: K = kelompok

Pada analisis gambaran histopatologi kerusakan hepar tikus didapatkan hasil


rata-rata hepatosit yang mengalami pembengkakan sel dari 5 lapangan pandang pada
kelompok I yang hanya diberi akuades yaitu 1%, pada kelompok II yang hanya
diberikan aspirin 90 mg sebesar 48,84%, pada kelompok III yang diberikan aspirin 90
mg dan dekok rimpang temulawak 1,3 g/kgBB yaitu 39,4%, pada kelompok IV yang
diberikan aspirin 90 mg dan dekok rimpang temulawak 2,6 g/kgBB yaitu 2%, dan
132

ISSN 2337-3776

pada kelompok V yang diberikan aspirin 90 mg dan dekok rimpang temulawak 5,2
g/kgBB yaitu 1,52%. Grafik perbandingan persentasi rat-rata skor pembengkakan sel

Rata-rata pembengkakan Hepatosit

hepatosit tampak pada gambar 1.


60%
48,84%

50%

39,40%

40%
30%
20%
10%
1%

2%

1,52%

K4

K5

0%
K1

K2

K3
kelompok percobaan

Gambar 1. Grafik perbandingan persentasi rata-rata skor pembengkakan sel


hepatosit pada tiap kelompok percobaan.

Pada hasil uji ANOVA, diperoleh nilai p=0,000 (p<0,05) yang berarti paling
tidak terdapat perbedaan jumlah pembengkakan sel hepatosit yang bermakna antar
kelompok. Analisis data dilanjutkan menggunakan analisis Post Hoc yaitu berupa uji
LSD untuk menilai perbedaan masingmasing kelompok dan diperoleh hasil sebagai
berikut tampak pada Tabel 2.

133

ISSN 2337-3776

Tabel 2. Hasil uji statistik jumlah pembengkakan sel hepatosit perbandingan antar
kelompok (Post Hoc LSD)
Kelompok
I

I
-

II
-

III
-

IV
-

II

0,001*

III

0,001*

0,106

IV

0,357

0,001*

0,001*

0,345

0,001*

0,001*

0,980

*Hasil analisis Post Hoc LSD bermakna jika p<0,05


Pada uji beda antara Kelompok 1 dengan kelompok 2 dan 3 dijumpai
perbedaan nilai derajat pembengkakan sel hespatosit yang bermakna yaitu antara K1
dengan K2 (p=0,001) dan K1 dengan K3 (p=0,001). Kemudian pada uji beda antar
Kelompok 2 dengan kelompok perlakuan (K3, K4 dan K5) menunjukkan pula adanya
perbedaan yang bermakna yaitu antara Kelompok 2 dengan K4 (p=0,001); antara K2
dengan K5 (p=0,001). Selanjutnya pada uji beda antar kelompok perlakuan (K1, K2,
K3) didapatkan perbedaan yang bermakna antara K3 dengan K4 (p=0,001) dan K3
dengan K5 (p=0,001). Sedangkan pada uji beda antar K4 dan K5 didapatkan p=0,980
yang berarti perbedaan tidak bermakna.

Pembahasan
Pada hasil pengamatan hepar tikus dengan menggunakan mikroskop
pembesaran 400x didapatkan bahwa K1 memiliki gambaran hepar yang normal yaitu
lempeng sel hepatosit tersusun radier, tidak terdapat kongesti pada vena sentralis, dan
sinusoid yang memisahkan antar lempeng hepatosit tampak normal. Gambaran
histopatologi K2 menunjukkan kerusakan hepar yang paling parah di antara
kelompok yang lain yaitu sebesar 48,84%. Sebagian besar sel hepatosit mengalami
pembengkakan, vena sentralis terdapat kongesti, terjadi penyempitan sinusoid, dan
ditemukan sel radang. Sedangkan, pada kelompok perlakuan yang diberikan dekok
134

ISSN 2337-3776

rimpang temulawak yaitu K3, K4, dan K5 mempunyai gambaran histopatologi


dengan derajat kerusakan yang berbeda-beda, tetapi lebih ringan dibandingkan
dengan K2. Hasil pengamatan didapatkan bahwa jumlah sel hepatosit yang
mengalami pembengkakan pada K4 dan K5 menunjukkan perbedaan yang signifikan
dengan nilai p=0,000 (p<0,05) melalui analisis Post Hoc LSD jika dibandingkan
dengan K2, tetapi menunjukkan hasil yang tidak bermakna pada K3 dengan nilai
p=0,106.
Kerusakan sel hepar yang terjadi pada kelompok yang diberi aspirin (asam
salisilat) diakibatkan oleh interaksi salisilat dengan rantai respirasi mitokondria hepar
akan menghasilkan hidrogen peroksida dan, kemungkinan besar, spesies oksigen
reaktif lainnya (ROS), yang akan mengoksidasi kelompok thiol dan GSH. Selain itu
juga, salisilat dapat menyebabkan pembengkakan pada mitokondria dan gangguan
pada homeostasis Ca2+ yang semuanya akan menyebabkan terjadinya kematian sel.
Hal tersebut dapat terjadi karena salisilat memiliki kelompok reaktif yang dapat
menginduksi stres oksidatif yaitu gugus hidroksil (Battaglia et al., 2005). Selain itu,
penggunaan aspirin yang berlebih menyebabkan GSH tidak dapat mendetoksifikasi
semua metabolit aspirin sehingga metabolit terakumulasi mengakibatkan tokstisitas di
hati (Rolfe, 2013).
Dalam penelitian Irvanda (2007) dijelaskan juga bahwa aspirin memliki
pengaruh dalam penghambatan proses fosforilasi oksidatif serupa dengan pengaruh
yang ditimbulkan 2,4-dinitrofenol. Dalam dosis toksik, aspirin bisa menghambat
metabolisme aerob dari beberapa enzim dehidrogenase di hepar dan jaringan lainnya,
dengan cara berkompetisi dengan koenzim nukleotida piridin dan penghambatan
beberapa enzim oksidase yang membutuhkan nukleotida sebagai koenzim, seperti
xanthin oksidase. Hal inilah yang menyebabkan gangguan fungsin hepar.
Hasil penelitian menunjukkan adanya penurunan jumlah sel yang mengalami
pembengkakn sel antara kelompok yang diberi dekok rimpang temulawak dengan
kelompok yang diberi aspirin. Hal ini terjadi karena temulawak memiliki potensi

135

ISSN 2337-3776

sebagai antioksidan (BPOM, 2005). Kandungan temulawak yang bermanfaat sebagai


antioksidan adalah kurkuminoid. Secara kimiawi, kurkuminoid pada rimpang
temulawak merupakan turunan dari diferuloilmetan yakni senyawa dimetoksi
diferuloilmetan

(kurkumin)

dan

monodesmetoksi

diferuloilmetan

(desmetoksikurkumin) (Oktaviana, 2010). Kurkumin merupakan molekul dengan


kadar polifenol yang rendah namun memiliki aktivitas biologi yang tinggi, antara lain
memiliki potensi sebagai antioksidan (Jayaprakasha et al., 2005).
Mekanisme hepatoprotektif ini terjadi karena efek kurkumin sebagai
antioksidan yang mampu menangkap ion superoksida dan memutus rantai antar ion
superoksida (O2-) sehingga mencegah kerusakan sel hepar karena peroksidasi lipid
dengan cara dimediasi oleh enzim antioksidan yaitu superoxide dismutase (SOD)
dimana enzim SOD akan mengonversi O2- menjadi produk yang kurang toksik
(Nawaz et al., 2011; Samuhasaneeto et al., 2009). Kurkumin juga mampu
meningkatkan gluthation S-transferase (GST) (Sharma et al., 2004) dan mampu
menghambat beberapa faktor proinflamasi seperti nuclear factor-B (NF-kB) dan
profibrotik sitokin (Rivera et al., 2009).

Simpulan
Terdapat pengaruh pemberian dekok rimpang temulawak dalam mencegah
kerusakan hepar tikus jantan dewasa galur Sprague dawley yang diinduksi aspirin.
Pemberian dekok rimpang temulawak dengan dosis 2,6 g/kgBB dan 5,2 g/kgBB
memiliki efek hepatoprotektif terhadap hepar tikus yang diinduksi aspirin
dibandingkan dengan kelompok yang hanya diberi dekok rimpang temulawak dosis
1,3 g/kgBB.

136

ISSN 2337-3776

Daftar Pustaka
Affifah E, Tim Lentera. 2003. Khasiat dan manfaat temulawak: rimpang penyembuh aneka penyakit.
Jakarta: Agromedia Pustaka.
Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2005. Gerakan nasional minum temulawak. InfoPOM, 6(6): 112.
Battaglia V, Salvi M, Toninello A. 2005. Oxidative stress is responsible for mitochondrial permeability
transition induction by salicylate in liver mitochondria. Jounal of biological chemistry.
40(280): 33864-72.
Burke A, Smyth E, FitzGerald GA. 2006. Analgesic-antipyretic agents; pharmacotherapy of gout. In:
Hardman JG, Limbrid LE, Gilman AG. Goodman & Gilmans The Pharmacological Basis of
Therapeutics 11th Ed. New York: McGraw-Hill. pp: 687-692.
Hemeida RAM, Mohafez OM. 2008. Curcumin attenuates methotraxate-induced hepatic oxidative
damage in rats. Journal of the Egyptian Nat. Cancer Inst. 20(2): 141-148
Irvanda R. 2007. Pengaruh pemberian aspirin berbagai dosis per oral terhadap gambaran histopatologi
hepar tikus Wistar. Artikel Karya Tulis Ilmiah. Semarang: Universitas Diponegoro. hlm. 1-13
Jayaprakasha GK., Rao JML, Sakariah KK. 2005. Chemistry and biological activities of C.longa.
Trends in Food Science and Technology. 16: 533-548.
Kertia N, Danang, Broto R, Rahardjo P, Asdie AH. 2000. Increase quality of service for patients with
osteoarthritis by using the combination of curcuminoid and curcumins atsiri oil. [In abstract]
of 9th Asia Pacific League of Associations for Rheumatology Congress. Beijing. pp: 273.
Mycek MJ. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi 2. Jakarta: Widya Medika. Hlm. 406-411.
Nawaz A, Khan GM, Hussain A, Ahmad A, Khan A, & Safdar M. 2011. Curcumin: a natural product
of biological importance. Gomal University Jounal of Research. 27(1): 07-14.
Oktaviana PR. 2010. Kajian kadar kurkuminoid, total fenol, dan aktivitas antioksidan ekstrak
temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) pada berbagai teknik pengeringan dan proporsi
pelarutan. Skripsi. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. hlm: 1-46.
Rivera Y, Espinoza, Muriel P. 2009. Pharmacological actions of curcumin in liver diseases or damage.
Liver International. Pp: 1457-1466.
Rolfe V. 2013. RLO: The Liver and Drug Metabolism [Internet]. Diunduh dari
http://www.nottingham.ac.uk/nmp/sonet/rlos/bioproc/liverdrug/ [10 Oktober 2013 pukul
20.30 WIB].
Samuhasaneeto S, Tong-Ngam D, Kulaputana O, Suyasunanont D, Klaikeaw N. 2009. Curcumin
decreased oxidative stress, inhibited NF-kB activation, and improved liver pathology in
ethanol-induced liver injury in rats. Jounal of biomedicine and Biotechnology. pp. 1-8.
Sharma RA. 2004. Phase I Clinical Trial of oral curcumin biomarkers of systemic activity and
compliance. Clinical Cancer Res. 10: 6847-6854.
Tim editor UI. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Gaya Baru. hlm. 234-236.
Watson WA. 2005. Annual report of the american association of poison control centers toxic exposure
surveillance system. Am J Emerg Med. 23:589666.

WHO. 2003. Traditional medicine. http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs134/en/


[Diakses pada tanggal 12 Oktober 2013 pukul 22.15 WIB].

137

You might also like