You are on page 1of 26

HERPES SIMPLEX

1. Pendahuluan
Virus herpes simpleks termasuk jenis patogen yang dapat
menyesuaikan diri dengan tubuh host. Ada dua jenis yaitu herpes
simpleks virus tipe 1 (HSV-1) dan tipe 2 (HSV-2). Keduanya berkaitan
erat tetapi berbeda dalam gambaran epidemiologinya. HSV-1 dikaitkan
dengan penyakit orofacial, sedangkan HSV-2 dikaitkan dengan
penyakit genital, namun lokasi lesi tidak selalu menunjukkan tipe virus. 1
Sekitar 80 % dari infeksi herpes simpleks tidak menunjukkan
gejala. Gejala infeksi dapat ditandai oleh morbiditas yang signifikan
dan kekambuhan. Pada host yang immunocompromised, infeksi dapat
menyebabkan komplikasi yang mengancam jiwa. 1
Herpes simpleks virus (HSV) adalah virus DNA yang patogen
pada manusia yang secara intermiten dapat mengaktifkan kembali.
Setelah replikasi di kulit atau mukosa, virus menginfeksi ujung saraf
lokal dan menuju ke ganglion yang kemudian menjadi laten hingga
pengaktifan kembali.2
Prevalensi infeksi HSV di seluruh dunia telah meningkat selama
beberapa dekade terakhir, membuatnya menjadi permasalahan besar
di kesehatan masyarakat. Sehingga deteksi dini infeksi herpes
simpleks dan inisiasi awal dari terapi adalah sangat penting dalam
penatalaksanaan penyakit ini.1
2. Definisi
Infeksi akut yang disebabkan oleh virus herpes simpleks (virus
herpes hominis) tipe I atau tipe II yang ditandai oleh adanya vesikel
yang berkelompok di atas kulit yang sembab dan eritematosa pada
daerah dekat mukokutan, sedangkan infeksi dapat berlangsung baik
primer maupun rekurens.3
3. Sinonim
Fever blister, cold sore, herpes febrilis, herpes labialis, herpes
progenitalis (genitalis).3
1

4. Epidemiologi
Penyakit ini tersebar kosmopolit dan menyerang baik pria
maupun wanita dengan frekuensi yang tidak berbeda. Infeksi primer
oleh virus herpes simpleks tipe I biasanya dimulai pada usia anak
anak, sedangkan infeksi virus herpes simpleks tipe II biasanya terjadi
pada dekade II atau III, dan berhubungan dengan peningkatan
aktivitas seksual.3
Insiden infeksi primer dengan HSV-1 yang bertanggung jawab
terhadap kebanyakan kasus rekurens herpes labialis, sebagian besar
terjadi pada anak-anak, dimana 30-60 % anak-anak terekspos oleh
virus

ini.

Kecepatan

infeksi

oleh

virus

in

meningkat

sesuai

pertambahan usia, mayoritas populasi diatas usia 30 tahun atau lebih


tua seropositif untuk HSV-1.2
Angka kejadian HSV-2 berhubungan dengan perilaku seksual
dan prevalensi infeksi pada partner seksual yang potensial. Angka
seroprevalens HSV-2 di Amerika Serikat sebesar 22 % pada populasi
usia 12 tahun atau lebih.2
5. Etiologi
HSV merupakan bagian dari famili Herpesviridae, grup dari
lipid-enveloped double-stranded DNA virus yang bertanggung jawab
untuk berbagai macam infeksi yang umum pada manusia. Kedua
serotipe HSV terkait erat dengan Varicella-Zoster Virus (VZV), adalah
anggota

dari

subfamili

virus

-Herpesviridae.

-Herpesviridae

menginfeksi beberapa jenis sel dalam kultur, tumbuh pesat, dan efisien
menghancurkan sel inang.2
Kedua tipe HSV baik tipe 1 maupun tipe 2 didapatkan melalui
kontak langsung, droplet, adanya sekret infeksius (saliva yang
terinfeksi) yang masuk melalui kulit atau membran mukosa, dimana
infeksi primernya tampak jelas. Contoh dari membrane mukosa adalah
orofaring, cervix, konjungtiva, sedangkan untuk kulit dapat melalui
retakan retakan kecilnya.4,5
Infeksi primer tipe 1 terjadi terutama pada bayi dan anak-anak ,
dimana pada umumnya kasus ini bersifat minimal atau kadang-kadang

subklinis. Infeksi tipe 2 terjadi terutama saat setelah pubertas, dan


kadang transmisinya melalui hubungan seksual. Infeksi HSV tipe 2
primer umumnya lebih sering bersifat simptomatik.4
6. Patogenesis
Secara in vivo, infeksi HSV dapat dibagi dalam 3 tahap, yaitu
infeksi akut, latensi dan reaktivasi virus. Selama fase infeksi akut, virus
bereplikasi

di

tempat

inokulasinya

yaitu

pada

permukaan

mukokutaneus, yang menyebabkan adanya lesi primer dimana virus ini


dengan cepat menyebar dan menginfeksi saraf sensoris terminal, yang
akan menjalar ke nukleus neuronal pada ganglion saraf sensoris
regional. Pada bagian neuron yang terinfeksi ini, infeksi laten terjadi
sebagai episom dan ekspresi gen HSV tidak tampak. Pada tahap akhir,
replikasi tereaktivasi seiring dengan transpor aksonal anterograde dari
replikasi virus yang baru ke perifer, pada port of entry lesi awal atau di
dekatnya.2
HSV-1 tereaktivasi lebih sering berasal dari ganglia trigeminal,
sedangkan HSV-2 teraktivasi terutama yang berasal dari ganglia
sakralis. Kecepatan reaktivasi HSV ini dipengaruhi oleh kuantitas dari
virus DNA yang laten pada ganglion saraf. Selain itu, faktor host
sangat mempengaruhi reaktivasi HSV ini. Eksperimen pada hewan
percobaan hewan yang sakit, reaktivasi ini terinduksi oleh adanya
paparan iradiasi ultraviolet, hipertermia, trauma lokal dan oleh stressor
fisologis lainnya. Hal ini juga umumnya berdampak sama pada
manusia yang tertekan (stress).2

Gambar 6.1 Herpes labialis.


A. Infeksi virus herpes simpleks primer, virus bereplikasi di
orofaringeal dan naik dari saraf sensoris perifer ke ganglion trigeminal.
B. Herpes simplex virus dalam fase latent dalam ganglion
trigeminal.
C. Berbagai rangsangan memicu reaktivasi virus laten, yang
kemudian turun dari saraf sensorik ke daerah bibir atau perioral
menyebabkan herpes labialis rekuren. 2

Pada infeksi primer, kedua virus Herpeks simpleks , HSV 1 dan


HSV-2 bertahan di ganglia saraf sensoris . Virus kemudian akan
mengalami masa laten, dimana pada masa ini virus Herpes simpleks
inib tidak menghasilkan protein virus, oleh karena itu virus tidak dapat
terdeteksi oleh

mekanisme pertahanan tubuh host. Setelah masa

laten, virus bereplikasi disepanjang serabut saraf perifer dan dapat


menyebabkan infeksi berulang pada kulit atau mukosa. 4
Virus Herpes simpleks ini dapat ditularkan melalui sekret
kelenjar dan secret genital dari individu yang asimptomatik, terutama di
bulan-bulan setelah episode pertama penyakit, meskipun jumlah dari
lesi aktif 100-1000 kali lebih besar.4
7. Gejala klinis
Infeksi virus herpes simpleks ini berlangsung dalam 3 tingkat
yaitu infeksi primer, fase laten, dan infeksi rekurens. 3
a. Infeksi primer

Infeksi primer dari virus herpes simpleks tipe I mempunyai


tempat predileksi di daerah pinggang ke atas terutama di daerah
mulut dan hidung, biasanya dimulai pada usia anak anak. Virus
ini juga sebagai penyebab herpes ensefalitis. 3
Infeksi primer dari virus herpes simpleks tipe II mempunyai
tempat predileksi di daerah pinggang ke bawah, terutama di daerah
genital, juga dapat menyebabkan herpes meningitis dan infeksi
neonatus.3
Infeksi primer berlangsung kira kira 3 minggu dan sering
disertai gejala sistemik, misalnya demam, malese, dan anoreksia,
dan dapat ditemukan pembengkakan kelenjar getah bening
regional.3
Kelainan

klinis

yang

dijumpai

berupa

vesikel

yang

berkelompok di atas kulit yang sembab dan eritematosa, berisi


cairan jernih dan kemudian menjadi seropurulen, dapat menjadi
krusta dan kadang kadang mengalami ulserasi yang dangkal,
biasanya sembuh tanpa sikatriks. Bisa timbul infeksi sekunder yang
mengakibatkan gambaran yang tidak jelas.3
b. Fase laten
Fase ini tidak ditemukan gejala klinis, tetapi virus herpes
simpleks dapat ditemukan dalam keadaan tidak aktif pada ganglion
dorsalis.3
c. Infeksi rekurens
Infeksi ini berarti HSV pada ganglion dorsalis yang dalam
tidak aktif, dengan faktor pencetus menjadi aktif dan mencapai kulit
sehingga menimbulkan gejala klinis. Faktor pencetus itu dapat
berupa trauma fisik (demam, infeksi, kurang tidur, hubungan
seksual, dan sebagainya) trauma psikis (gangguan emosional,
menstruasi) dan dapat pula timbul akibat jenis makanan dan
minuman yang merangsang.3
Gejala klinis yang timbul lebih ringan dari pada infeksi primer
dan berlangsung kira-kira 7 sampai 10 hari. Sering ditemukan
gejala prodromal lokal sebelum timbul vesikel berupa rasa panas,

gatal, dan nyeri. Infeksi rekuren ini dapat timbul pada tempat yang
sama (loco), atau tempat lain/tempat di sekitarnya (non loco).3
Manifestasi klinis infeksi HSV tergantung dimana lokasi dan
status imunologis dari penderita. Infeksi primer dengan HSV,
dinamakan demikian karena terjadi pada orang yang tidak pernah
memiliki kekebalan tubuh sebelumnya baik terhadap HSV-1 atau HSV2, umumnya memiliki gejala yang lebih berat, dengan gejala dan tanda
sistemik, dan memiliki kemungkinan terjadinya komplikasi yang lebih
tinggi dibandingkan dengan episode rekuren.2
Herpes Orolabialis
Herpes orolabialis hampir semua disebabkan oleh HSV-1. Pada
1 % kasus atau kurang pada kasus infeksi baru terjadi
gingivostomatitis herpetis, terutama pada anak-anak dan
dewasa muda. Onset biasanya diikuti dengan demam tinggi,
limfadenopati regional, dan malaise. Manifestasi klinis yang
paling sering muncul pada orolabialis herpes ini adalah cold
sore atau demam blister.6

Gambar 7.1 Infeksi virus herpes simpleks: herpes labialis


rekurens.2

Herpetic Sycosis
6

Infeksi herpes simpleks awal atau rekuren (biasanya akibat


HSV-1) dapat berdampak terutama pada folikel rambut.
Tampilan klinis mungkin beragam mulai dari papul folikuler yang
tererosi hingga lesi yang luas hingga mencapai janggut. Onset
mulai dari sangat akut (beberapa hari) hingga subakut atau
kronik.6

Gambar 7.2 Herpetik sycosis.6

Herpes genitalia
Herpes genital biasanya disebabkan oleh HSV-2, menyebabkan
85 % dari lesi awal dan lebih dari 98 % lesi rekuren. Herpes
genital menyebar melalui kontak kulit, biasanya pada aktivitas
seksual. Masa inkubasinya sekitar 5 hari. Pada hakikatnya
semua orang yang terinfeksi dengan HSV-2 kana mengalami
rekurensi, bahkan jika infeksi awal merupakan subklinis atau
asimptomatik. Rekurensi diawali dengan gejala prodromal rasa
terbakar, gatal, atau rasa kesemutan. Biasanya dalam 24 jam,

papul merah akan muncul, berkembang menjadi blister berisi


cairan jernih selam 24 jam, dan terjadi erosi 24-36 jam
berikutnya, dan akan membaik dalam 2-3 hari kedepan. 6

Gambar 7.3 A. Herpes genitalis primer pada penis. B. Herpes


genitalis primer pada vulva.2

Gambar 7.4 A. Herpes genitalis rekurens pada penis. B. Herpes


genitalis rekurens pada vulva.2
Herpes Simpleks intrauterin dan pada neonatus
70 % dari kasus herpes simpleks neonatus disebabkan oleh
HSV-2. Infeksi HSV-1 neonatus umumnya didapatkan post natal
melalui kontak dengan penyakit orolabial, tetapi mungkin juga
terjadi intrapartum jika ibunya terinfeksi HSV-1. Spektrum klinis
dari herpes simpleks neotaus ini dapat dibagi ke dalam 3 bentuk
: infeksi lokal pada kulit, mata atau mulut (SEM), penyakit
sistem saraf pusat (SSP), dan penyakit yang menyebar
(ensefalitis, hepatitis, pneumonia, dan koagulopati).6

Gambar 7.5 Herpes neonatal.6

Herpes gladiatorum disebabkan oleh HSV-1 dan tampak


sebagai erosi papular atau vesikular pada torsos atlet dalam
olahraga yang melibatkan kontak fisik dekat (gulat klasik). 7

Gambar 7.6 Herpes gladiatorum.6

10

Eczema herpeticum yang terlokalisir atau tersebar juga dikenal


sebagai Kaposi varicelliform. Disebabkan oleh HSV-1, Eczema
herpeticum adalah varian dari infeksi HSV yang biasanya
berkembang pada pasien dengan dermatitis atopik, luka bakar,
atau kondisi kulit inflamasi. Anak-anak yang paling sering
terkena.7

Gambar 7.7 Herpetikum eksema.6

Herpes whitlow, wabah vesikular pada tangan dan jari, yang


paling sering disebabkan oleh infeksi dengan HSV-1. Biasanya
terjadi pada anak-anak yang mengisap jempol mereka dan,
sebelum meluasnya penggunaan sarung tangan, pada pekerja
perawatan kesehatan gigi dan medis. Terjadinya herpes whitlow
karena HSV-2 semakin dikenal, mungkin karena kontak jarigenital.7

11

Gambar 7.8 Herpetik whitlow.6

Herpetic keratoconjunctivitis, infeksi Herpes simpleks pada mata


merupakan penyebab umum dari kebutaan di Amerika Serikat.
Hal ini terjadi sebagai keratitis marginal, atau sebagai ulkus
kornea dendritik, yang dapat menyebabkan disciform keratitis
dan meninggalkan bekas luka yang mengganggu penglihatan.
kortikosteroid topikal dalam situasi ini dapat menyebabkan
perforasi kornea. Vesikel dapat muncul pada kelopak mata.
Kekambuhan sudah umum. gejala ocular pada orang dengan
wabah awal HSV bisa mewakili okular HSV, dan evaluasi
oftalmologi harus dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
ini.6

8. Diagnosa
Virus

herpes

simplex

biasanya

diidentifikasi

oleh

lesi

karakteristik: lepuhan berdinding tipis pada dasar kulit yang meradang.


Namun, kondisi lain dapat menyerupai herpes , dan dokter tidak dapat
mendasarkan diagnosis herpes pada pemeriksaan visual saja . Selain
itu, banyak pasien yang membawa virus tidak memiliki lesi genital atau
oral yang terlihat . Tes laboratorium diperlukan untuk mengkonfirmasi
diagnosis herpes . Tes ini meliputi:
a. Tes virologi ( biakan virus dari lesi )
b. Tes serologi ( tes darah yang mendeteksi antibodi ). 8

12

Tes kultur virus dilakukan dengan mengambil sampel cairan,


dari luka sedini mungkin, idealnya dalam 3 hari pertama manifestasi.
Virus, jika ada, akan bereproduksi dalam sampel cairan namun
mungkin berlangsung selama 1 - 10 hari untuk melakukannya. Jika
infeksi parah, pengujian teknologi dapat mempersingkat periode ini
sampai 24 jam, tapi mempercepat jangka waktu selama tes ini
mungkin membuat hasil yang kurang akurat. Kultur virus sangat akurat
jika lesi masih dalam tahap blister jelas, tetapi tidak bekerja dengan
baik untuk luka ulserasi tua, lesi berulang, atau latency. Pada tahap ini
virus mungkin tidak cukup aktif.8
Tes PCR yang jauh lebih akurat daripada kultur virus, dan CDC
merekomendasikan tes ini untuk mendeteksi herpes dalam cairan
serebrospinal ketika mendiagnosa herpes ensefalitis .PCR dapat
membuat banyak salinan DNA virus sehingga bahkan sejumlah kecil
DNA dalam sampel dapat dideteksi.8
Jenis yang lebih tua dari pengujian virologi, tes Pap Tzanck,
mengorek dari lesi herpes kemudian menggunakan pewarnaan Wright
dan Giemsa. Pada pemeriksaan ditemukan sel raksasa khusus
dengan banyak nukleus atau partikel khusus yang membawa virus
(inklusi) mengindikasikan infeksi herpes. Tes ini cepat tapi akurat 5070% dari waktu. Hal ini tidak dapat membedakan antara jenis virus
atau antara herpes simpleks dan herpes zoster.8
Tes serologi dapat mengidentifikasi antibodi yang spesifik
untuk virus dan jenis, Herpes Simplex Virus 1 (HSV-1) atau Virus
Herpes Simpleks 2 (HSV-2). Ketika herpes virus menginfeksi
seseorang, sistem kekebalan tubuh tersebut menghasilkan antibodi
spesifik untuk melawan infeksi. Adanya antibodi terhadap herpes juga
menunjukkan bahwa seseorang adalah pembawa virus dan mungkin
mengirimkan kepada orang lain.8

13

Tes tes antibodi terhadap dua protein yang berbeda yang


berkaitan dengan virus herpes yaitu Glikoprotein GG-1 dikaitkan
dengan HSV-1 dan Glikoprotein GG-2 berhubungan dengan HSV-2. 8
Meskipun glikoprotein (GG) jenis tes-spesifik telah tersedia
sejak tahun 1999, banyak tes khusus nontipe tua masih di pasar. CDC
merekomendasikan hanya tipe-spesifik glikoprotein (GG) tes untuk
diagnosis herpes.8
Pemeriksaan serologi yang paling akurat bila diberikan
12-16 minggu setelah terpapar virus. Fitur tes meliputi:

ELISA (immunosorbent assay enzim-link) atau Immunoblot. Tes


sangat akurat dalam mendeteksi kedua jenis virus herpes simpleks.

Biokit HSV-2 (juga dipasarkan sebagai SureVue HSV-2). Tes ini


mendeteksi HSV-2 saja. Keunggulan utamanya adalah bahwa
hanya membutuhkan tusukan jari dan hasil yang disediakan dalam
waktu kurang dari 10 menit. Hal ini juga lebih murah.

Western Blot Test adalah standar emas untuk peneliti dengan


tingkat akurasi sebesar 99%. Tes ini mahal, memakan waktu lama,
dan tidak tersedia secara luas sebagaimana tes lainnya. 8

Tes serologi herpes terutama dianjurkan untuk:

Orang yang memiliki gejala genital berulang tapi tidak ada kultur
virus negatif.

Konfirmasi infeksi pada orang yang memiliki gejala yang terlihat


herpes genital.

Menentukan jika pasangan seseorang didiagnosa menderita


herpes genital.

14

Orang-orang yang memiliki banyak pasangan seks dan yang perlu


diuji untuk berbagai jenis PMS (Penyakit Menular Seksual). 8

9. Diagnosa banding
Herpes simpleks di daerah sekitar mulut dan hidung harus
dibedakan dengan impetigo vesikobulosa. Pada daerah genital harus
dibedakan dengan ulkus durum, ulkus mole, maupun ulkus yang
mendahului penyakit limfogranuloma venereum.3
a. Impetigo Vesikobulosa
Kelainan kulit pada impetigo vesikobulosa berupa eritem, bula, dan
bula hipopion. Keadaan umum tidak dipengaruhi, kadang-kadang
waktu penderita datang berobat, vesikel/bula telah memecah
sehingga yang tampak hanya koleret dan dasarnya masih
eritematosa.9

Gambar 9.1 Impetigo vesikobulosa.10

b. Ulkus Durum

15

Chancre (ulkus durum) sifilis biasanya bulat, solitar, dasarnya ialah


jaringan granulasi berwarna merah dan bersih, diatasnya hanya
tampak serum. Yang khas ialah ulkus tersebut indolen dan teraba
indurasi.11

Gambar 9.2 Sifilis primer: chancre meatus.12

c. Chancroid (Ulkus Mole)


Chancroid adalah penyakit infeksi menular ulseratif akut yang
disebabkan

oleh

organisme

Haemophilus

ducreyi,

sering

bermanifestasi sebagai ulkus dengan eksudat abu-abu kekuningan


diatas dasar jaringan granulasi. Ulkus kecil, lunak pada perabaan,

16

tidak terdapat indurasi, berbentuk cawan, pinggir tidak rata, sering


bergaung dan dikelilingi halo yang eritematosa. 13

Gambar 9.3 Chancroid.12

d. Limfogranuloma Venereum
Ulkus yang mendahului limfigranuloma venereum berbentuk tidak
khas dan tidak nyeri, dapat berupa erosi, papul miliar, vesikel,
pustul, dan ulkus. Umumnya penderita tidak datang berobat pada
fase ini, tetapi pada waktu terjadi sindrom ingunal yaitu terjadi
limfadenitis dan periadenitis.14

17

Gambar 9.4 Limfogranuloma venereum.12


10. Penatalaksanaan
a. Edukasi
Semua orang yang telah aktif secara seksual sebaiknya
diedukasi

mengenai

perjalanan

penyakit

dan

resiko

dari

terjangkitnya serta transmisi dari Penyakit Menular Seksual,


termasuk HSV. Studi menunjukkan bahwa setengah dari pasien
dengan infeksi HSV-2 yang asimptomatik tidak mengetahui
penyakitnya dan dapat diajari bagaimana mengenali gejala dan
tanda dari hespes genital. Dan, pasien juga sebaiknya diberikan
konseling mengenai perilaku seks yang aman. Harus ditekankan
bahwa kebanyakan dari transmisi terjadi pada fase asimptomatik
dan berasal dari penderita yang tidak memiliki lesi yang klasik.
Pasien yang menderita herpes genital harus diberikan konseling
untuk tidak melakukan hubungan seksual selama sakit dan selama
1 atau 2 hari setelahnya, dan menggunakan kondom selama sakit.
Terapi antivirus supresif juga bisa menjadi opsi untuk orang-orang
yang terkait transmisi virus ini dari pasangannya.2
Wanita hamil yang menderita herpes

genital

harus

diyakinkan bahwa resiko dari transmisi virus herpes ke bayi selama


kehamilan sangat rendah. Rekomendasi penanganan wanita hamil
dengan herpes genita rekuren termasuk evaluasi klinis selama
melahirkan, dengan diindikasikannya melahirkan secara seksio

18

caesaria bila ada gejala dan tanda dari infeksi aktif (termasuk
gejala prodromal).2
Wanita yang telah diketahui tidak mengidap herpes genital
berdasarkan

anamnesis dan tes serologis harus diberikan

konsultasi terhadap gejala dan tanda dari HSV dan bagaimana cara
menghindari terjangkitnya infeksi ini selama kehamilan. Tes serologi
dapat membantu dalam konseling pada pasangan yang partner
pria-nya menderita herpes genital rekuren dan pada wanita hamil
yang rentan terinfeksi.2
b. Fase Primer
Asiklovir sistemik adalah pilihan perawatan untuk infeksi
herpes simpleks primer yang parah atau berpotensi parah, tetapi
tidak ada efek pada pembentukan latensi virus dan tingkat
kekambuhan setelah terapi. Pengobatan harus dimulai sesegera
mungkin. Dosis umum adalah 5mg/kg/iv/8jam. Sebagai obat yang
diekskresikan melalui ginjal, maka dosis harus diperkecil pada
gagal ginjal. Kenaikan sementara ureum dan kreatinin darah dapat
terjadi pada suntikan bolus, direkomendasikan untuk infusi lambat,
lebih 1 jam pada pasien cukup terhidrasi. Dosis oral yang biasa
adalah 200 mg lima kali sehari, meskipun 800 mg dua kali sehari
telah digunakan dengan sukses. Obat ini diberikan selama 5 hari
atau lebih. Pada anak-anak suspensi oral diberikan 15 mg/kgBB 5
kali/hari selama 7 hari. Valasikrovir 1000 mg 2 kali sehari selama 10
hari mempunyai efektivitas yang sama dengan Asiklovir. Herpes
neonatus diterapi dengan asiklovir intravena dosis tinggi (60
c.

mg/kgBB per hari dibagi dalam 3 dosis selama 2-3 minggu).4


Fase Rekuren
Herpes labialis rekuren mungkin tidak memerlukan
perawatan jika serangan ringan atau jarang. Oral asiklovir dimulai
sesegera mungkin setelah timbulnya gejala dapat mempersingkat
durasi dan mengurangi intensitas sebuah episode. Jika sering
kambuh, profilaktik asiklovir jangka panjang dengan dosis 200-400

19

mg dua kali sehari selama 4 - 6 bulan dapat meningkatkan waktu


antara episode.4
Pada pasien imunokompromis, mukokutan herpes simpleks
memperlihatkan respon yang baik dengan intravena asiklovir.
Setelah pemaparan, infeksi dapat dicegah dengan intravena atau
asiklovir oral, yang

harus dimulai

beberapa hari sebelum

imunosupresi diantisipasi dan berlanjut ke sepanjang periode risiko


terbesar.4
Erupsi awal herpes genital meningkat secara signifikan
dengan oral asiklovir, tetapi kurang berpengaruh pada infeksi
berulang. Namun, pengobatan pada infeksi rekuren yang lebih
parah mungkin bermanfaat, dalam kasus seperti itu penting untuk
meminimalkan penundaan sebelum memulai pengobatan, dan
pasien harus memiliki persediaan tablet dan harus dimulai atas
inisiatif sendiri. Dosis umum: asiklovir 200 mg 5 kali sehari selama
5 hari atau 400 mg 3 kalo sehari; valasiklovir 500 mg 2 kali sehari
selama 3 hari; famsiklovir 125 mg 2 kali sehari selama 5 hari. Dosis
profilaksis bervariasi antara 200 dan 1000 mg sehari, regimen khas
adalah 400 mg dua kali sehari, secara bertahap dikurangi untuk
menemukan dosis efektif minimum untuk masing-masing pasien.
Valasiklovir 250 mg dua kali sehari atau 1 g sekali sehari atau
famsiklovir 125 mg tiga kali sehari atau 250 mg dua kali sehari juga
efektif dalam menekan episode berulang. 4
Topikal asiklovir baik digunakan untuk herpes keratitis.
Dalam pengobatan erupsi rekuren herpes labialis, dan herpes
genital episode pertama dan rekuren, perbaikan telah dibuktikan
tetapi tampaknya kurang mengesankan dari yang diperoleh oleh
dalam beberapa studi. Demikian pula, tidak ada bukti kuat bahwa
pengaruh asiklovir topikal berjalan baik pada perjalanan rekuren
kutaneus

herpes

simpleks.

Pensiklovir

topikal

lebih

baik

dibandingkan dengan asiklovir, dan mengurangi durasi nyeri dan


erupsi.4
Topikal asiklovir baik digunakan untuk herpes keratitis.
Dalam pengobatan erupsi rekuren herpes labialis, dan herpes
20

genital episode pertama dan rekuren, perbaikan telah dibuktikan


tetapi tampaknya kurang mengesankan dari yang diperoleh oleh
dalam beberapa studi. Demikian pula, tidak ada bukti kuat bahwa
pengaruh asiklovir topikal berjalan baik pada perjalanan rekuren
kutaneus

herpes

simpleks.

Pensiklovir

topikal

lebih

baik

dibandingkan dengan asiklovir, dan mengurangi durasi nyeri dan


erupsi jika dibandingkan dengan placebo.4
Perlawanan herpes simpleks untuk asiklovir tidak muncul
sebagai masalah yang signifikan pada pasien imunokompeten.
Namun dalam imunokompromis, strain resisten yang menyebabkan
lesi keras telah muncul setelah jangka panjang atau pengobatan
sering diulang. Perlawanan biasanya karena perubahan, atau
kehilangan, virus timidin kinase atau perubahan polimerase DNA
virus yang lebih jarang.4
Risiko terhadap bayi dari vulvovaginitis herpes primer pada
ibu pada saat melahirkan begitu besar sehingga operasi caesar
diindikasikan, dan profilaksis asiklovir harus dipertimbangkan untuk
neonatus.4
d. Pengobatan Simptomatik
Untuk menangani herpes, selain diberikan obat anti virus,
pengobatannya

dapat

dengan

memberikan

pengobatan

simptomatik artinya memberikan pengobatan sesuai keluhan. 15


Antibiotik kadang diberikan pada penyakit herpes hanya
disebabkan untuk mencegah infeksi sekunder saja artinya pada
penyakit yang disebabkan oleh karena virus biasanya orang
menjadi kurang fit tidak nafsu makan sehingga daya tahan tubuh
makin rendah dan mudah terkena infeksi bakteri, untuk itulah
diberikan antibiotik.15
11. Prognosis
Pencegahan rekurens masih merupakan problem, hal tersebut
secara psikologik akan memberatkan penderita. Pengobatan secara
dini dan tepat memberi prognosis yang lebih baik, yakni masa penyakit
berlangsung lebih singkat dan rekurens lebih jarang. 3

21

Pada orang dengan gangguan imunitas, misalnya penyakitpenyakit dengan tumor di system retikuloendoteial, pengbatan dengan
imunosupressan yang lama, menyebabkan infeksi ini dapat menyebar
ke alat-alat dalam dan fatal.3
Prognosis akan lebih baik seiring dengan meningkatnya usia
seperti pada orang dewasa.3
12. Komplikasi
Komplikasi yang paling umum dari infeksi HSV adalah
superinfeksi bakteri. Pada wanita dengan infeksi HSV-2 primer,
meningitis aseptik juga umum.16
Komplikasi yang signifikan, seperti penyebaran visceral dan
CNS dan gejala sisa jangka panjang, jarang dan terjadi pada pasien
yang immunocompromised atau dalam kasus HSV neonatal. 16
Bayi yang lahir dari ibu dengan infeksi HSV genital harus
dipantau secara ketat untuk tanda-tanda infeksi dan segera ditangani
jika tanda-tanda penyakit berkembang. Infeksi HSV neonatal memiliki
tingkat kematian lebih dari 80% jika tidak diobati dan angka mortalitas /
morbiditas yang signifikan sekitar 50% bahkan ketika diobati. 16
13. Pencegahan
Strategi untuk mencegah infeksi HSV telah terbukti tidak
memadai untuk mengatasi pertumbuhan epidemi herpes genital.
Infeksi HSV dapat dicegah dengan pantangan total, seperti yang
ditunjukkan oleh tingkat prevalensi yang sangat rendah di biarawati
tertutup. Kondom mengurangi tingkat penularan jika digunakan secara
rutin. Selain pendekatan kesehatan masyarakat, sebagian besar upaya
melibatkan terapi antivirus dan vaksin diarahkan pada herpes genital. 2
a. Terapi Antiviral
Asiklovir, famsiklovir, dan valasiklovir semua menurunkan baik
yang dengan gejala dan yang subklinis dari infeksi HSV-2, dari sekitar
8 persen dari hari-hari pada kelompok plasebo menjadi 0,3 persen
sampai 0,6 persen dari hari pada kelompok perlakuan, ketika dinilai
oleh budaya. Baru-baru ini, valacyclovir 500 mg sekali sehari terbukti
efektif dalam mengurangi penularan HSV-2 antara pasangan sebesar

22

48 persen, dan mengurangi penyakit klinis pada pasangan rentan


sebesar

75

persen

secara

acak,

kontrol

placebo

melibatkan

imunokompeten, pasangan heteroseksual dalam hubungan yang


stabil. Terapi ini dapat direkomendasikan untuk individu yang peduli
tentang transmisi untuk pasangan, dalam hubungannya dengan
penggunaan kondom. Mengenai kelompok-kelompok lain (misalnya,
pasangan homoseksual, orang non-monogami, immunocompromised,
dan orang dengan gejala infeksi HSV-2), tidak pasti apakah
penggunaan terapi antiviral (dan rejimen yang mana) akan menjadi
yang paling memadai untuk mengurangi penularan. 2
Mikrobisida vagina juga sedang dipelajari, sebagian besar fokus
dalam mengurangi penularan HIV, tetapi beberapa dari senyawa juga
memiliki aktivitas anti-HIV dan juga dapat mempengaruhi transmisi
HSV.2
b. Vaksin
Strategi kesehatan masyarakat yang terbaik untuk mengurangi
infeksi

dan

morbiditas

terkait

dengan

infeksi

HSV

adalah

pengembangan vaksin yang efektif. Sayangnya, tidak ada vaksin yang


telah terbukti untuk melindungi secara memadai terhadap perolehan
infeksi HSV (profilaksis) atau untuk mengurangi jumlah episode
reccurent (terapi), meskipun ada perkembangan yang penuh harapan
dalam arah ini.2
Vaksin glikoprotein rekombinan yang mengandung protein
imunogenik HSV telah dikembangkan dan diuji oleh beberapa
perusahaan farmasi dan bioteknologi. Dalam studi pendahuluan,
rekombinan HSV-2 D vaksin glikoprotein dengan alum adjuvant
menurunkan frekuensi wabah gejala pada pasien dengan herpes
genital. Sebuah bentuk modifikasi dari vaksin (dengan menambahkan
glikoprotein B dan adjuvant emulsi lemak yang dikenal sebagai MF59)
tidak ditemukan, dalam studi yang lebih besar, untuk mengurangi
jumlah rekurens pada pasien dengan herpes genital, tapi itu bisa
mengurangi durasi dan keparahan wabah studi berikutnya dari herpes
genital. Dua fase III studi tentang efek dari vaksin ini (satu di pasangan

23

seronegatif monogami dari individu dengan herpes genital, dan lainnya


pada orang seronegatif menghadiri klinik untuk penyakit menular
seksual) gagal mencegah penerimaan infeksi herpes genital atau
penyakit. Sebuah GD2 vaksin rekombinan yang menggunakan
monofosforil lipid-A sebagai adjuvant adalah pelindung terhadap HSV2 penyakit genital (tapi memiliki perlindungan yang terbatas terhadap
infeksi) di HSV-1 dan HSV-2 perempuan seronegatif tapi tidak pada
laki-laki atau HSV-1 wanita seropositif. Sebuah studi double-blind,
terkontrol secara acak di HSV-1 dan HSV-2 perempuan seronegatif
sedang berlangsung.2
Keterbatasan utama teoritis vaksin HSV rekombinan adalah
ketidakmampuan mereka untuk menginduksi respon imun selular yang
luas

dan

protektif.

Untuk

lebih

melakukannya,

peneliti

telah

mengalihkan perhatian mereka ke vaksin hidup berdasarkan DNA dan


secara genetik yang direkayasa. Virus yang replikasinya cacat mampu
hanya satu putaran replikasi, dan karena itu tidak memiliki potensi
patogen sementara berpotensi menginduksi spektrum penuh respon
imun. Juga, ini konstruksi mutan membuka kemungkinan agen teknik
dengan gen tambahan yang mengkode antigen dari agen infeksi
lainnya, membayangkan vaksin yang dapat melindungi terhadap
beberapa infeksi. Penggunaan mutan HSV yang replikasinya cacat
telah diuji dengan sukses sebagai calon vaksin pada hewan coba.
Baru-baru ini, sebuah glikoprotein yang kekurangan H virus tidak
berpengaruh pada pengurangan reaktivasi HSV dan penyakit klinis
antara individu dengan infeksi genital HSV-2 berulang. Mutan yang
replikasi-cacat lainnya, cacat pada ICP8 (protein terikat pada untai
tunggal DNA) dan bagian dari kompleks helikase / primase, telah
menunjukkan untuk menjadi imunogenik dan protektif pada hewan
tetapi belum diuji pada manusia sampai sekarang. Vaksin DNA untuk
HSV juga telah menunjukkan hasil yang menjanjikan pada hewan
coba. Penelitian Tahap I sedang dilakukan.2

24

DAFTAR PUSTAKA
1. Salvaggio MR. Herpes simplex 2012 Januari. Available from: URL:
http://emedicine.medscape.com/article/218580-overview.
2. Marques AR, Straus SE. Herpes simplex. In: Wolff K, Goldsmith LA,
Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatricks
dermatology in general medicine volume 2. 7 th ed. US: Mc Graw
Hill; 2008. p. 1873-84.
3. Handoko RP. Herpes simpleks. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S,
editors. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 6 th ed. Jakarta: FKUI; 2011.
p. 380-2.
4. Sterling JC. Virus infections. In: Burns T, Breathnach S, Cox N,
Griffiths C, editors. Rooks textbook of dermatology volume 2. 8 th
ed. UK: Blackwell Publishing Ltd; 2010. p. 33.14-22.
5. Salvaggio MR. Herpes simplex 2012 Januari. Available from: URL:
http://emedicine.medscape.com/article/218580-clinical#a0218.
6. James WD, Berger TG, Elston DM, editors. Andrews diseases of
the skin clinical dermatology. 10 th ed. Canada: W.B. Saundres
Company; 2006. p. 360-8.

25

7. Eastern JS. Dermatologic manifestations of herpes simplex 2013


Juni.
Available
from:
URL:
http://emedicine.medscape.com/article/1132351-clinical.
8. Simon H. Herpes simplex 2013 Juni. Available from: URL:
http://umm.edu/health/medical/reports/articles/herpes-simplex.
9. Djuanda A. Pioderma. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors.
Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 6th ed. Jakarta: FKUI; 2011. p. 59.
10. Hay RJ, Adriaans BM. Bacterial infections. In: Burns T, Breathnach
S, Cox N, Griffiths C, editors. Rooks textbook of dermatology
volume 2. 8th ed. UK: Blackwell Publishing Ltd; 2010. p. 30.15.
11. Djuanda A, Natahusada EC. Sifilis. In: Djuanda A, Hamzah M,
Aisah S, editors. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 6th ed. Jakarta:
FKUI; 2011. p. 394.
12. Kinghorn GR. Syphilis and bacterial sexually transmitted infections.
In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editors. Rooks
textbook of dermatology volume 2. 8 th ed. UK: Blackwell Publishing
Ltd; 2010. p. 34.6,33-4.
13. Judanarso J. Ulkus mole. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S,
editors. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 6 th ed. Jakarta: FKUI; 2011.
p. 417-8.
14. Djuanda A. Limfogranuloma venereum. In: Djuanda A, Hamzah M,
Aisah S, editors. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 6th ed. Jakarta:
FKUI; 2011. p. 413-4.
15. Tim Redaksi Klikdokter. Mengatasi herpes 2014 Maret. Available
from:
URL:
http://m.klikdokter.com/ekonsultasi/read/4521/mengatasi-herpes.
16. Eastern JS. Dermatologic manifestations of herpes simplex 2013
Juni.
Available
from:
URL:
http://emedicine.medscape.com/article/1132351-followup#a2649.

26

You might also like