You are on page 1of 35

BAB 1

PENDAHULUAN
Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada anak berusia 3
bulan sampai dengan 5 tahun dan berhubungan dengan demam serta
tidak didapatkan adanya infeksi ataupun kelainan lain yang jelas di
intrakranial (Deliana, 2002).
Berkisar 2%-5%, anak di bawah 5 tahun pernah mengalami
bangkitan kejang demam. Lebih dari 90% penderita kejang demam
terjadi pada anak berusia di bawah 5 tahun. Terbanyak bangkitan kejang
demam terjadi pada anak berusia antara usia 6 bulan sampai dengan
22 bulan. Insiden bangkitan kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18
bulan. Di Amerika Serikat dan Eropa prevalensi kejang demam berkisar
2-5%. Di Asia prevalensi kejang demam meningkat dua kali lipat bila
dibandingkan di Eropa dan di Amerika (Fuadi, 2010).
Patofisiologi kejang demam belum diketahui secara pasti
diperkirakan bahwa pada keadaan demam terjadi peningkatan
reaksi kimia tubuh. Dengan demikian reaksi-reaksi oksidasi
terjadi lebih cepat dan akibatnya oksigen akan lebih cepat habis,
terjadilah keadaan hipoksia. Transport aktif yang memerlukan
ATP terganggu, sehingga Na intrasel dan K ekstrasel meningkat
yang akan menyebabkan potensial membran cenderung turun
atau kepekaan sel saraf meningkat dan mempermudah terjadinya
kejang. (Budiarto, 1998).
Kejang demam merupakan penyakit kejang yang paling sering
dijumpai di bidang neurologi khususnya anak. Kejang demam
dikelompokkan menjadi dua, yaitu kejang demam sederhana dan
kejang demam kompleks

Faktor-faktor yang berperan dalam

etiologi kejang demam, yaitu : faktor demam, usia, dan riwayat


keluarga, dan riwayat prenatal, riwayat perinatal, dan jenis
kelamin (Fuadi, 2010).
Diagnosa kejang demam didapatkan dari anamnesa dan

pemeriksaan

fisik.

Pemeriksaan

penunjang

umumnya

tidak

dilakukan kecuali untuk mencari penyebab demam atau atas


indikasi tertentu. Penatalaksanaan yang perlu dikerjakan meliputi
pengobatan fase akut,

mencari dan mengobati penyebab, dan

pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam.


Walaupun prognosis kejang demam baik, bangkitan kejang
demam cukup mengkhawatirkan bagi orang tuanya, sehingga sebagai
dokter kita wajib mengatasi kejang dengan tepat dan cepat. Penanganan
kejang demam sampai saat ini masih terjadi kontroversi terutama
mengenai pengobatannya yaitu perlu tidaknya penggunaan obat untuk
profilaksis rumat (Pusponegoro, 2006).

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Definisi Kejang Demam


Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada ke-

naikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 380 C) yang disebabkan oleh
suatu proses ekstrakranium (Saharso, 2008).
Kejang demam umumnya terjadi pada anak berumur 6 bulan
- 5 tahun. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam,
kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang
demam. Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1
bulan tidak termasuk dalam kejang demam. Bila anak berumur
kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang
didahului demam, pikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi SSP,
atau

epilepsi

yang

kebetulan

terjadi

bersama

demam

(Pusponegoro, 2006).

Tabel 2.1 Perbedaan kejang demam dengan kejang disertai


demam
Kejan
KD
Faktor predisposisi genetik
Lama kejang
Manifestasi klinis pada
saat kejang
Kelainan patologi yang
mendasari
Status neurologi
Post-iktal (paralisis Todds)

Besar
1-3 min, jarang
kejang
Lama
Pada saat demam,
sebagian besar
karena ISPA
Tidak ada
Jarang

KEJANG DISERTAI
DEMAM (Intrakrnial)
Kecil / tidak bermakna
> 10 mnt
Infeksi SSP
(ensefalitis,meningitis)
Perubahan vaskular dan
Edema
Sering

(Niedermeyer E: Epilepsy Guide: Diagnosis and Treatment of Epileptic Seizure Disorders,


1985)

2.2 Klasifikasi Kejang Demam


Kejang demam dibagi menjadi dua kelompok:
1. Kejang demam sederhana (Simple febrile seizure)
Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15
menit, dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk
umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak
berulang dalam waktu 24 jam (Pusponegoro, 2006).
2. Kejang demam kompleks (Complex febrile seizure)
Kejang demam dengan salah satu ciri berikut ini :
a. Kejang

lama

Kejang

lama

adalah

kejang

yang

berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang berulang lebih


dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang anak tidak sadar.
Kejang

lama

terjadi

pada

8%

kejang

demam

(Pusponegoro, 2006).
b. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum
didahului kejang parsial (Pusponegoro, 2006).
c. Kejang berulang : kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, di
antara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang
terjadi pada 16% di antara anak yang mengalami kejang
demam.
Tabel 2.2 Perbedaan kejang demam sederhana dan kompleks
N Klinis
KD
KD
o
sederhana
kompleks
1.
Durasi
< 15 menit
>15 menit
2.
Tipe kejang
Umum
umum/fokal
4

3.
4.
5.
6.
7.

Berulang dalam satu


Defisit neurologis
Riwayat keluarga
kejang demam
Riwayat keluarga
kejang tanpa demam
Abnormalitas
neurologis sebelumnya

1 kali
-

> 1 kali
+
+

Fuadi, Fuadi, 2010, Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam Pada Anak.

Sebagian besar (63%) kejang demam berupa kejang demam


sederhana dan 35% berupa kejang demam kompleks (Kliegman,
2007).
2.3 Epidemiologi Kejang Demam
Kejang

demam merupakan salah

satu

kelainan

saraf

tersering pada anak. Pendapat para ahli tentang usia penderita saat
terjadi bangkitan kejang demam tidak sama. Pendapat para ahli
terbanyak kejang demam terjadi pada waktu anak berusia antara
3 bulan sampai dengan 5 tahun (Deliana, 2002).
Sedangkan menurut American Academy of Pediatrics (AAP)
usia termuda bangkitan kejang demam adalah 6 bulan. (Pusponegoro,
2006).

Berkisar 2%-5% anak di bawah 5 tahun pernah mengalami


bangkitan kejang demam. Lebih dari 90% penderita kejang demam
terjadi pada anak berusia di bawah 5 tahun. Terbanyak bangkitan kejang
demam terjadi pada anak berusia antara usia 6 bulan sampai dengan
22 bulan. Insiden bangkitan kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18
bulan. Di Amerika Serikat dan Eropa prevalensi kejang demam berkisar
2-5%. Di Asia prevalensi kejang demam meningkat dua kali lipat bila
dibandingkan di Eropa dan di Amerika. Di Jepang kejadian kejang
demam berkisar 8,3%-9,9%. Bahkan di Guam insiden kejang demam
mencapai 14% (Fuadi, 2010).

2.4 Patofisiologi Kejang Demam


Kejang merupakan manifestasi klinik akibat terjadinya pelepasan
muatan listrik yang berlebihan di sel neuron otak karena gangguan
fungsi pada neuron tersebut baik berupa fisiologi, biokimiawi, maupun
anatomi (Kliegman, 2007).
Secara umum, terdapat beberapa teori mengenai mekanisme
terjadinya kejang (Kliegman, 2007) :

a. Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan


pompa

Na-K,

misalnya

pada

hipoksemia,

iskemia,

dan

hipoglikemia. Sedangkan pada kejang sendiri dapat terjadi


pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.
a.Perubahan permeabilitas membran sel saraf, misalnya hipokalsemia dan
hipomagnesemia.
b. Perubahan relatif pada neurotransmiter yang bersifat eksitasi
dibandingkan dengan neurotransmiter yang bersifat inhibisi dapat
menyebabkan depolarisasi yang berlebihan. Misalnya ketidakseimbangan antara GABA dan glutamat akan menimbulkan
kejang.
Patofisiologi kejang demam belum diketahui secara pasti,
namun

diperkirakan

bahwa

pada

keadaan

demam

terjadi

peningkatan reaksi kimia tubuh. Dengan demikian reaksi-reaksi


oksidasi terjadi lebih cepat dan akibatnya oksigen akan lebih cepat
habis, terjadilah keadaan hipoksia. Transport aktif yang memerlukan
ATP terganggu, sehingga Na intrasel dan K ekstrasel meningkat
yang akan menyebabkan potensial membran cenderung turun
atau kepekaan sel saraf meningkat. (Budiarto, 1998).
Pada saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi
energi di otak, jantung, otot, dan terjadi gangguan pusat
pengatur suhu. Demam akan menyebabkan kejang bertambah
lama, sehingga kerusakan otak makin bertambah. Pada kejang yang
6

lama akan terjadi perubahan sistemik berupa hipotensi arterial,


hiperpireksia sekunder akibat aktifitas motorik dan hiperglikemia.
Semua hal ini akan mengakibatkan iskemi neuron karena kegagalan
metabolisme di otak. Demam dapat menimbulkan kejang melalui
mekanisme sebagai berikut:
i.

Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel


yang belum matang/immatur.

ii.

Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang


menyebabkan gangguan permeabilitas membran sel.
iii.

Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan


asam laktat dan CO2 yang akan merusak neuron. Setiap
kenaikan suhu 1oC meningkatan metabolisme basal 10-20%
dan kebutuhan oksigen meningkat 20%.

iv.

Demam meningkatkan Cerebral Blood Flow (CBF) serta


meningkatkan kebutuhan oksigen dan glukosa, sehingga
menyebabkan gangguan pengaliran ion-ion keluar masuk
sel.

Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan


tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang seseorang anak yang
menderita pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak dengan ambang
kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38 oC, sedangkan
pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi
pada suhu 40oC atau lebih. Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan
bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang
kejang yang lebih rendah sehingga dalam penanggulangannya perlu
diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita kejang (RSU Haji,
2013).
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umu mnya
tidak berbahaya dan tidak akan meninggalkan gejala sisa. Pada
kejang demam yang lama (lebih dari 15 menit) biasanya diikuti dengan
apneu, hipoksemia, (disebabkan oleh meningkatnya

kebutuhan

oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet), asidosis laktat

(disebabkan oleh metabolisme anaerobik), hiperkapnea, hipoksi


arterial, dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat.
Rangkaian kejadian di atas menyebabkan gangguan peredaran darah di
otak, sehingga terjadi hipoksemia dan edema otak, pada akhirnya terjadi
kerusakan sel neuron (Budiarto, 1997).

Kerusakan daerah mesial lobus temporalis setelah mendapatkan


serangan kejang yang berlangsung lama, dapat menjadi matang
dikemudian hari, sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan. Jadi
kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan
anatomis sehingga terjadi epilepsi. (RSU Haji, 2013)

2.5 Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam


Terdapat 7 faktor yang berperan dalam etiologi kejang demam,
yaitu : demam, usia, dan riwayat keluarga, faktor prenatal (usia saat
ibu hamil, riwayat pre-eklamsi pada ibu, hamil primiimultipara,
pemakaian bahan toksik), faktor perinatal (asfiksia, bayi berat lahir
rendab, usia kehamilan, partus lama, cara lahir), faktor paskanatal
(kejang akibat toksik, trauma kepala), dan jenis kelamin (Fuadi, 2010).

2.5.1 Faktor demam


Demam apabila hasil pengukuran suhu tubuh mencapai di
atas 37,8 C aksila atau di atas 38,3 C rektal. Demam dapat
disebabkan oleh berbagai sebab, tetapi pada anak tersering
8

disebabkan oleh infeksi. Demam merupakan faktor utama timbul


hangkitan kejang demam. Demam yang disebabkan oleh infeksi
virus merupakan penyebab terbanyak timbulnya bangkitan kejang
demam (80%) (Fuadi, 2010).
Demam mempunyai peranan untuk menimbulkan perubahan
potensial membran dan menurunkan fungsi inhibisi sehingga
menurunkan nilai ambang kejang. Penurunan nilai ambang
kejang ini memudahkan timbulnya bangkitan kejang demam.
Bangkitan kejang demam terbanyak terjadi pada kenaikan suhu
tubuh berkisar 38,9C-39,9C (40-56%) (Fuadi, 2010).
Kejang demam pertama yang terjadi pada kenaikan suhu tidak
mendadak dengan puncak tidak terlalu tinggi (berkisar 38C - 40C)
serta jarak waktu antara mulai demam sampai timbul bangkitan
kejang singkat (kurang dari satu jam), merupakan indikator bahwa
penderita tersebut mempunyai nilai ambang terhadap kejang rendah.
Nilai ambang kejang rendah merupakan faktor risiko untuk terjadi
bangkitan kejang demam (Fuadi, 2010).
2.5.2 Faktor usia
Tahapan perkembangan masih berlanjut sampai tahun-tahun
pertama paska natal, sehingga kejang demam dapat terjadi pada fase
organisasi sampai mielinisasi. Fase perkembangan otak merupakan
fase yang rawan apabila mengalami bangkitan kejang, terutama di
fase organisasi. Di fase organisasi ini terjadi kematian sel terprogram
(proses eliminasi sel neuron yang tidak torpaka) dan plastisitas
(pembentukan sel baru). Masa yang lebih dikenal sebagai masa
developmental window tersebut terjadi sampai anak berusia 2
tahun dan rentan terhadap bangkitan kejang. Pada masa ini, otak
yang belum matang mempunyai eksitabilitas neural lebih tinggi
dibandingkan otak yang sudah matang . Eksitator (CRH) lebih
dominan

dibanding

inhibitor

(GABA),

keseimbangan antara eksitator

sehingga

tidak

ada

dan inhibitor. Anak mendapat

serangan

bangkitan

developmental

kejang

window

demam

mempunyai

pada

usia

waktu

lebih

awal
lama

masa
fase

eksitabilitas neural dibanding anak yang mendapat serangan


kejang demam pada usia akhir masa developmental window (Fuadi,
2010).
2.5.3 Faktor riwayat keluarga
Belum dapat dipastikan cara pewarisan sifat genetik terkait
dengan kejang demam. Tetapi nampaknya pewarisan gen secara
autosomal dominan paling banyak ditemukan. Penetrasi autosomal
dominan diperkirakan sekitar 60% - 80%. Apabila salah satu orang
tua penderita dengan riwayat pernah menderita kejang demam
mempunyai risiko untuk terjadi bangkitan kejang demam sebesar
20%-22%. Dan apabila ke dua orang tua penderita tersebut
mempunyai riwayat pernah menderita kejang demam maka risiko
untuk terjadi bangkitan kejang demam meningkat menjadi 59-64%,
tetapi sebaliknya apabila kedua orangnya tidak mempunyai riwayat
pernah menderita kejang demam maka risiko terjadi kejang demam
hanya 9%. Pewarisan kejang demam lebih banyak oleh ibu
dibandingkan ayah, yaitu 27 % berbanding 7% (Fuadi, 2010).
2.5.4

Faktor Prenatal

2.5.4.1 Usia saat Ibu hamil


Usia ibu pada saat hamil sangat menentukan status
kesehatan bayi yang akan dilahirkan. Usia ibu kurang dari 20 tahun
atau lebih dari 35 tahun dapat mengakibatkan berbagai komplikasi
kehamilan dan persalinan. Komplikasi kehamilan di antaranya
adalah hipertensi dan eklamsia, sedangkan gangguan pada persalinan
di antaranya adalah trauma persalinan. Komplikasi kehamilan dan
persalinan dapat menyebabkan prematuritas, bayi berat lahir
rendah, penyulit persalinan dan partus lama. Keadaan tersebut dapat
mengakibatkan janin dengan asfiksia. Pada asfiksia akan terjadi

10

hipoksia dan iskemia. Hipoksia dapat mengakibatkan rusaknya


faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi,
sehingga mudah timbul kejang bila ada rangsangan yang memadai
(Fuadi, 2010).
2.5.4.2 Kehamilan dengan eklamsia dan hipertensi

Ibu yang mengalami komplikasi kehamilan seperti plasenta


previa dan eklamsia dapat menyebabkan asfiksia pada bayi. Eklamsia
dapat terjadi pada kehamilan primipara atau usia pada saat hamil
diatas 30 tahun. Asfiksia disebabkan adanya hipoksia pada bayi yang
dapat berakibat timbulnya kejang. Hipertensi pada ibu dapat
menyebabkan

aliran

darah

ke

placenta

berkurang,

sehingga

berakibat keterlambatan pertumbuhan intrauterin dan bayi berat


lahir rendah (Fuadi, 2010).

2.5.4.3 Kehamilan primipara atau multipara


Urutan

persalinan

dapat

menyebabkan

terjadinya

kejang.

Insiden kejang ditemukan lebih tinggi pada anak pertama. Hal ini
kemungkinan besar disebabkan pada primipara lebih sering terjadi
penyulit persalinan. Penyulit persalinan (partus lama, persalinan
dengan alat, kelainan letak) dapat terjadi juga pada kehamilan
multipara (kehamilan dan melahirkan bayi hidup lebih dari 4 kali).
Penyulit persalinan dapat menimbulkan cedera karena kompresi
kepala yang dapat berakibat distorsi dan kompresi otak sehingga
terjadi perdarahan atau oedem otak. Keadaan ini dapat menimbulkan
kerusakan otak dengan kejang sebagai manifestasi klinisnya (Fuadi,
2010).

11

2.5.4.4 Pemakaian bahan toksik

Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/ kehamilan ibu,


seperti ibu menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak
janin, mengalami infeksi, minum alkohol atau mengalami cedera
atau

mendapat

penyinaran

dapat

menyebabkan

kejang.

Merokok dapat mempengaruhi kehamilan dan perkembangan


janin

serta

terjadinya

placenta

previa.

Placenta

previa

dapat

menyebabkan perdarahan berat pada kehamilan atau persalinan


dan bayi sungsang sehingga diperlukan seksio sesaria. Keadaan
ini dapat menyebabkan trauma lahir yang berakibat teriadinya
kejang (Fuadi, 2010).
2.5.5 Faktor Perinatal
2.5.5.1 Asfiksia

Trauma persalinan akan menimbulkan asfiksia perinatal


atau perdaraban intrakranial. Penyebab yang paling banyak akibat
gangguan prenatal dan proses persalinan adalah asfiksia, yang
akan menimbulkan hipoksia dan iskemia di jaringan otak terutama
pada

daerah

hipokampus,

dan

selanjutnya

mengakibatkan

rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron


eksitasi, sehingga mudah timbul kejang bila ada rangsangan yang
memadai (Fuadi, 2010).

12

2.5.5.2 Bayi berat lahir rendah

Bayi dengan bayi berat lahir rendah BBLR adalah bayi yang lahir
dengan berat kurang dari 2500 gram. BBLR dapat menyebabkan
asfiksia atau iskemia otak dan perdarahan intraventrikuler. Iskemia
otak dapat menyebabkan
mengalami

gangguan

kejang.

Bayi

metabolisme

dengan

yaitu

BBLR

hipoglikemia

dapat
dan

hipokalsemia. Keadaan ini dapat menyebabkan kerusakan otak pada


periode perinatal. Adanya kerusakan otak, dapat menyebabkan kejang
pada perkembangan selanjutnya. Trauma kepala selama melahirkan
pada bayi dengan BBLR kurang 2500 gram dapat terjadi perdarahan
intrakranial yang mempunyai risiko tinggi untuk terjadi komplikasi
neurologi dengan manifestasi kejang (Fuadi, 2010).

2.5.5.3 Kelahiran Prematur atau Postmatur


Bayi prematur adalah bayi yang lahir hidup yang dilahirkan
sebelum 37 minggu dari hari pertama menstruasi terakhir.
Pada bayi prematur, perkembangan alat-alat tubuh kurang
sempurna sehingga sebelum berfungsi dengan baik. Perdarahan
intraventikuler terjadi pada 50% bayi prematur. Hal ini disebabkan karena
bayi prematur seringkali menderita apnea, asfiksia berat dan
sindrom gangguan pernapasan yang menyebabkan hipoksia. Bila
keadaan ini sering timbul dan tiap serangan lebih dari 20 detik maka,
kemungkinan timbulnya kerusakan otak yang permanen lebih besar.
Daerah yang rentan terhadap kerusakan antara lain di hipokampus.

13

Oleh karena itu setiap serangan kejang selalu menyebabkan


kenaikan

eksitabilitas

neuron,

serangan

kejang

cenderung

berulang dan selanjutnya menimbulkan kerusakan yang lebih luas


(Fuadi, 2010).
Bayi yang dilahirkan lewat waktu yaitu lebih dan 42 minggu
merupakan bayi postmatur. Pada keadaan ini akan terjadi proses
penuaan plasenta, sehingga pemasukan makanan dan oksigen akan
menurun. Komplikasi yang dapat dialami oleh bayi yang lahir
postmatur ialah suhu yang tak stabil, hipoglikemia dan kelainan
neurologik. Gawat janin terutama terjadi pada persalinan, bila
terjadi kelainan obstetrik seperti : berat bayi lebih dari 4000 gram,
kelainan posisi, partus > 13 jam, perlu dilakukan tindakan seksio sesaria.
Kelainan tersebut dapat menyebabkan trauma perinatal (cedera
mekanik) dan hipoksia janin yang dapat mengakibatkan kerusakan
pada otak janin. Manifestasi klinis dari keadaan ini dapat berupa
kejang (Fuadi, 2010).
2.5.5.4 Partus lama
Partus lama yaitu persalinan kala I lebih dari 12 jam dan kala II
lebih dari 1 jam. Pada primigravida biasanya kala I sekitar 13 jam dan
Kala II : 1,5 jam. Sedangkan pada multigravida, kala I: 7 jam dan kala II:
1-5 jam. Persalinan yang sukar dan lama meningkatkan risiko
terjadinya cedera mekanik dan hipoksia janin. Manifestasi klinis dari
cedera mekanik dan hipoksi dapat berupa kejang (Fuadi, 2010).

2.5.5.5 Persalinan dengan alat


Persalinan yang sulit termasuk persalinan dengan bantuan alat

14

dan kelainan letak dapat menyebabkan trauma lahir atau cedera


mekanik pada kepala bayi. Trauma lahir dapat menyebabkan
perdarahan

subdural,

subaraknoid

dan

perdarahan

intraventrikuler. Persalinan yang sulit terutama bila terdapat


kelainan letak dan disproporsi sefalopelvik, dapat menyebabkan
perdarahan subdural. Perdarahan subaraknoid dapat terjadi pada
bayi prematur dan bayi cukup bulan karena trauma. Manifestasi
neurologis dari perdarahan tersebut dapat berupa iritabel dan kejang.
Cedera karena kompresi kepala yang dapat berakibat distorsi dan
kompresi otak, sehingga terjadi perdarahan atau oedem otak;
keadaan ini dapat menimbulkan kerusakan otak, dengan kejang
sebagai manifestasi klinisnya (Fuadi, 2010).

2.5.5.6 Perdarahan intrakranial


Perdarahan intrakranial dapat merupakan akibat trauma atau
asfiksia dan jarang diakibatkan oleh gangguan perdarahan primer
atau anomali kongenital. Perdarahan intrakranial pada neonatus
dapat bermanifestasi sebagai perdarahan subdural, subarakhnoid,
intraventrikuler/periventrikuler atau intraserebral (Fuadi, 2010).
Perdarahan subdural biasanya berhubungan dengan persalinan yang
sulit terutama terdapat kelainan letak dan disproporsi sefalopelvik.
Perdarahan dapat terjadi karena laserasi dari vena-vena, biasanya
disertai kontusio serebral yang akan memberikan gejala kejang.
Perdarahan subarakhnoid terutama terjadi pada bayi prematur yang
biasanya

bersama-sama

dengan

perdarahan

intraventrikuler.

Keadaan ini akan menimbulkan gangguan struktur serebral dengan


kejang sebagai salah satu manifestasi klinisnya (Fuadi, 2010).
2.5.6 Faktor Paskanatal

15

2.5.6.1 Infeksi susunan saraf pusat

Risiko akibat serangan kejang bervariasi sesuai dengan tipe


infeksi

yang

terjadi

pada

sistem

saraf

pusat.

Risiko

untuk

perkembangan kejang akan menjadi lebih tinggi bila serangan


berlangsung bersamaan dengan terjadinya infeksi sistem saraf pusat
seperti meningitis, ensefalitis, dan terjadinya abses serta infeksi
lainnya. Ensefalitis virus berat seringkali mengakibatkan terjadinya
kejang. Di negara-negara barat penyebab yang paling umum adalah
virus Herpes simplex (tipe 1) yang menyerang lobus temporalis.
Kejang yang timbul berbentuk serangan parsial kompleks dengan
sering diikuti serangan umum sekunder dan biasanya sulit diobati.
Infeksi virus ini dapat juga menyebabkan gangguan daya ingat yang
berat dan kejang dengan kerusakan otak dapat berakibat fatal. Pada
meningitis dapat terjadi sekuele yang secara langsung menimbulkan
cacat berupa cerebal palsy, retardasi mental, hidrosefalus dan
defisit nervus kranialis serta kejang. Dapat pula cacad yang terjadi
sangat ringan berupa sikatriks pada sekelompok neuron atau
jaringan sekitar neuron sehingga terjadilah fokus epilepsi, yang dalam
kurun waktu 2 - 3 tahun kemudian menimbulkan kejang (Fuadi, 2010).

2.5.6.2 Trauma kepala/ cedera kepala


Trauma memberikan dampak pada jaringan otak yang dapat
bersifat akut dan kronis. Pada trauma yang ringan dapat menimbulkan
dampak yang muncul dikemudian hari dengan gejala sisa neurologik
parese nervus cranialis, serta cerebral palsy dan retardasi mental
(Fuadi, 2010).

16

2.5.6.3 Kejang akibat toksik


Beberapa jenis obat psikotropik dan zat toksik seperti Co, Cu, Pb
dan lainnya dapat memacu terjadinya kejang. Beberapa jenis obat
dapat menjadi penyebab kejang, yang diakibatkan racun yang
dikandungnya atau adanya konsumsi yang berlebihan. Termasuk di
dalamnya alkohol, obat anti-epileptik, opium, obat anestetik dan antidepresan.

Penggunaan

barbiturat

dan

benzodiazepine

dapat

menyebabkan serangan mendadak pada orang yang tidak menderita


epilepsi. Serangan terjadi setelah 12-24 jam setelah mengkonsumsi
alkohol. Sedangkan racun yang ada pada obat dapat mengendap dan
menyebabkan kejang (Fuadi, 2010).

2.5.6.4 Gangguan Metabolik


Serangan kejang dapat terjadi dengan adanya gangguan pada
konsentrasi serum glokusa, kalsium, magnesium, potassium dan
sodium.

Beberapa

kasus

hiperglikemia

yang

disertai

status

hiperosmolar non ketotik merupakan faktor risiko penting penyebab


epilepsi di Asia, sering kali menyebabkan kejang (Fuadi, 2010).

2.5.7 Jenis kelamin

Kejang demam lebih sering ditemukan pada anak laki-laki daripada


perempuan dengan perbandingan 2 : 1. Hal ini mungkin disebabkan oleh

17

maturasi serebral yang lebih cepat pada perempuan dibandingkan pada


laki-laki. Namun hasil beberapa penelitian di luar negri tidak menunjukkan
adanya perbedaan yang signifikan terhadap pengaruh jenis kelamin
terhadap terjadinya kejang demam (Dewanti, 2012).

2.6 Diagnosis Kejang Demam (Saharso, 2008), (Pusponegoro, 2006):

Diagnosis Kejang demam dibuat berdasarkan:


1.

Anamnesis
Dari anamnesis ditanyakan:

a. Adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang, suhu


sebelum/saat kejang, frekuensi, interval, pasca kejang, penyebab
kejang di luar SSP.

b. riwayat kejang tanpa demam sebelumnya.

c. Riwayat kelahiran, perkembangan, kejang demam dalam


keluarga, epilepsi dalam keluarga (kakak-adik, orangtua).

d. Singkirkan dengan anamnesis penyebab kejang yang lain.

18

2. Dari pemeriksaan fisik dan neurologis


Kesadaran, suhu tubuh, tanda rangsang meningeal, tanda
peningkatan tekanan intrakranial, dan tanda infeksi di luar SSP.
Pada umumnya tidak dijumpai adanya kelainan neurologis,
termasuk tidak ada kelumpuhan nervi kranialis.

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara
rutin pada kejang demam, tetapi dapat dikerjakan untuk
mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau
keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai
demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan
misalnya darah perifer, elektrolit dan gula darah.
b. Pungsi lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk
menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis.
Risiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6%-6,7%.
Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan
atau

menyingkirkan

diagnosis

meningitis

karena

manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu pungsi


lumbal dianjurkan pada:
1. Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan
2. Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan
3. Bayi > 18 bulan tidak rutin

19

Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu


dilakukan pungsi lumbal.
c. Elektroensefalografi
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat
memprediksi berulangnya kejang, atau memperkirakan
kemungkinan
demam.

kejadian epilepsi pada

Oleh

karenanya

tidak

pasien

kejang

direkomendasikan.

Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan


kejang demam yang tidak khas. Misalnya: kejang demam
kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun, atau kejang
demam fokal.
d. Pencitraan
Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti computed
tomography scan (CT-scan) atau magnetic resonance
imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan, tidak rutin dan
hanya atas indikasi seperti:
1.

Kelainan

neurologik

fokal

yang

menetap

(hemiparesis)
2. Paresis nervus VI
3. Papiledema

2.7 Tata Laksana Kejang Demam (Deliana, 2002), (Saharso, 2008),


(Pusponegoro, 2006) :

Tujuan pengobatan kejang demam pada anak adalah untuk :


Mencegah kejang demam berulang

20

Mencegah status epilepsi


Mencegah epilepsi dan / atau mental retardasi
Normalisasi kehidupan anak dan keluarga.

Penatalaksanaan kejang demam pada anak mencakup dalam tiga


hal:
1. Pengobatan fase akut
Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada
waktu pasien datang kejang sudah berhenti. Apabila datang dalam
keadaan kejang, prioritas utama adalah menjaga agar jalan nafas
tetap terbuka. Pakaian dilonggarkan, posisi anak dimiringkan
untuk mencegah aspirasi. Sebagian besar kasus kejang berhenti
sendiri, tetapi dapat juga berlangsung terus atau berulang.
Pengisapan lendir dan pemberian oksigen harus dilakukan teratur,
kalau perlu dilakukan intubasi. Keadaan tanda tanda vital
(kesadaran, suhu, tekanan darah, pernafasan dan fungsi) dan
kebutuhan cairan, kalori dan elektrolit harus diperhatikan secara
ketat. Suhu tubuh dapat diturunkan dengan kompres air hangat
(diseka) dan pemberian antipiretik (asetaminofen oral 10 mg/ kg
BB, 4 kali sehari atau ibuprofen oral 20 mg/kg BB, 4 kali sehari).
Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang paling
cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang
diberikan secara intravena. Saat ini diazepam merupakan obat
pilihan utama untuk kejang demam fase akut, karena diazepam
mempunyai masa kerja yang singkat. Diazepam dapat diberikan
secara

intravena

atau

rektal,

jika

diberikan

intramuskular

absorbsinya lambat. Dosis diazepam intravena adalah 0,3-0,5


mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau
dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 20 mg.

21

Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau
di rumah adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah
0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan
berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih
dari 10 kg. Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak
dibawah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak di atas usia 3
tahun (lihat bagan penatalaksanaan kejang demam).
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum
berhenti, dapat diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama
dengan interval waktu 5 menit.
Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap
kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah sakit dapat diberikan
diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg.
Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara
intravena dengan dosis awal 10-20 mg/kg/kali dengan kecepatan
1 mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti
dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah
dosis awal. Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka
pasien harus dirawat di ruang rawat intensif.
Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya
tergantung dari jenis kejang demam apakah kejang demam
sederhana atau kompleks dan faktor risikonya.

2. Mencari dan mengobati penyakit penyebab dengan melakukan


pemeriksaan pungsi lumbal pada saat pertama sekali kejang
demam. Kejang dengan suhu badan yang tinggi dapat terjadi karena
faktor lain, seperti meningitis atau ensefalitis. Oleh sebab itu
pemeriksaan cairan serebrospinal diindikasikan pada anak pasien
kejang demam berusia kurang dari 2 tahun, karena gejala rangsang

22

selaput otak lebih sulit ditemukan pada kelompok umur tersebut.


Pada saat melakukan pungsi lumbal harus diperhatikan pula kontra
indikasinya. Pemeriksaan laboratorium lain dilakukan atas indikasi
untuk mencari penyebab, seperti pemeriksaan darah rutin, kadar
gula darah dan elektrolit. Pemeriksaan CT-Scan dilakukan pada
anak dengan kejang yang tidak diprovokasi oleh demam dan
pertama kali terjadi, terutama jika kejang atau pemeriksaan post
iktal menunjukkan abnormalitas fokal.

3. Pengobatan rumatan
a. Profilaksis Intermittent : Pengobatan profilaksis intermittent
dengan anti konvulsan segera diberikan pada waktu pasien
demam suhu rektal lebih dari 38C. Pilihan obat harus dapat
cepat masuk dan bekerja ke otak. Antipiretik saja dan
fenobarbital tidak mencegah timbulnya kejang berulang. Obat
yang

biasa

dipakai

adalah:

diazepam

oral

rektal,

klonazepam atau kloralhidrat supositoria (Pusponegoro,


2006).
1. Diazepam oral efektif untuk mencegah kejang demam
berulang dan bila diberikan intermittent hasilnya lebih baik
karena penyerapannya lebih cepat. Diazepam diberikan
melalui oral atau rektal. Dosis per rektal tiap 8 jam adalah
5 mg untuk pasien dengan berat badan kurang dari 10 kg
dan 10 mg untuk pasien dengan berat badan lebih dari 10
kg. Dosis oral diberikan 0,5 mg/kg BB perhari dibagi dalam
3 dosis, diberikan bila pasien menunjukkan suhu 38,5 oC
atau lebih. Efek samping diazepam adalah ataksia,
mengantuk dan hipotoni (Deliana, 2002).
2. Klonazepam dapat dipakai sebagai obat anti konvulsan
intermittent (0,03 mg/kg BB per dosis tiap 8 jam) selama
23

suhu diatas 38oC dan dilanjutkan jika masih demam. Efek


samping

klonazepam

yaitu

mengantuk,

mudah

tersinggung, gangguan tingkah laku, depresi, dan salivasi


berlebihan (Deliana, 2002).
3. Kloralhidrat supositoria diberikan dalam dosis 250 mg
untuk berat badan kurang dari 15 kg, dan 500 mg untuk
berat badan lebih dari 15 kg, diberikan bila suhu diatas
38oC. Kloralhidrat dikontraindikasikan pada pasien dengan
kerusakan ginjal, hepar, penyakit jantung, dan gastritis
(Deliana, 2002).

b. Pengobatan rumatan terus menerus


Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak
berbahaya dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek
samping, maka pengobatan rumat hanya diberikan terhadap
kasus selektif dan dalam jangka pendek. Indikasi pemberian
pengobatan profilaksis terus menerus hanya diberikan bila
kejang demam menunjukkan ciri sebagai berikut (salah satu)
(Pusponegoro, 2006):
1. Kejang lama > 15 menit
2. Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau
sesudah kejang, misalnya hemiparesis, paresis Todd,
cerebral palsy, retardasi mental, hidrosefalus.
NB: Kelainan neurologis tidak nyata misalnya
keterlambatan perkembangan ringan bukan merupakan
indikasi pengobatan rumat
3. Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan
bahwa anak mempunyai fokus organik

24

4. Pengobatan rumat dipertimbangkan bila:


a. Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam.
b. Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan
c. kejang demam > 4 kali per tahun
Pengobatan diberikan selama 1 tahun bebas kejang,
kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan.
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari
efektif dalam menurunkan risiko berulangnya kejang, namun
tetapi tidak dapat mencegah timbulnya epilepsi di kemudian
hari

dan

pemakaian

fenobarbital

setiap

hari

dapat

menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada


40-50% kasus. Obat pilihan saat ini adalah asam valproat.
Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumur kurang
dari 2 tahun asam valproat dapat menyebabkan gangguan
fungsi hati , tremor dan alopesia. Dosis asam valproat 15-40
mg/kg/hari dalam 2-3 dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kg per
hari dalam 1-2 dosis. Efek samping fenobarbital ialah iritabel,
hiperaktif, pemarah dan agresif ditemukan pada 3050 %
kasus. Efek samping fenobarbital dapat dikurangi dengan
menurunkan dosis (Deliana, 2002).

2.8 Pemberian Obat Pada Saat Demam


2.8.1 Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik dapat
mengurangi risiko terjadinya kejang demam, namun para ahli di

25

Indonesia

sepakat

bahwa

antipiretik

tetap

dapat

diberikan

(Pusponegoro, 2006). Alasan untuk mengobati demam meliputi:


ketidaknyamanan pasien, potensi gejala sisa yang merugikan,
kemungkinan

kejang, dan

kemungkinan

bahwa

demam

dapat

mempengaruhi farmakokinetik obat (Mahmood, 2011).


Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10 15 mg/kg/kali
diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis Ibuprofen 5-10
mg/kg/kali, 3-4 kali sehari. Meskipun jarang, asam asetilsalisilat dapat
menyebabkan sindrom Reye terutama pada anak kurang dari 18
bulan, sehingga penggunaan asam asetilsalisilat tidak dianjurkan
(Pusponegoro, 2006).

2.8.2 Antikonvulsan
Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada
saat demam menurunkan risiko berulangnya kejang pada 30%-60%
kasus, begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/kg setiap 8
jam pada suhu > 38,5

C . Dosis tersebut cukup tinggi dan

menyebabkan ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 2539% kasus. Fenobarbital, karbamazepin, dan fenitoin pada saat
demam tidak berguna untuk mencegah kejang demam (Pusponegoro,
2006).

2.9 Edukasi Pada Orang Tua


Edukasi merupakan bagian integral dari pengelolaan kejang
demam. Kejang dapat menjadi pengalaman menakutkan bagi banyak
orang tua, yang mungkin berpikir awalnya bahwa anak mereka sedang
sekarat. (Farell, 2011)

26

Kecemasan ini harus dikurangi dengan cara yang diantaranya


(Pusponegoro, 2006) :
1. Menyakinkan

bahwa

kejang

demam

umumnya

mempunyai

prognosis baik, bahwa tidak ada peningkatan risiko keterlambatan


intelektual atau sekolah kesulitan dan bahwa kejang demam kurang
dari 30 menit durasinya tidak mengakibatkan kerusakan otak.
2. Memberitahukan cara penanganan kejang
3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
4. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi
harus diingat adanya efek samping obat

Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang


1. Tetap tenang dan tidak panik
2. Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher
3. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring.
Bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun
kemungkinan

lidah

tergigit,

jangan

memasukkan

sesuatu

kedalam mulut.
4. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang.
5. Tetap bersama pasien selama kejang
6. Berikan diazepam rektal. Dan jangan diberikan bila kejang telah
berhenti.
7. Bawa kedokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit
atau lebih

27

2.10 Vaksinasi Pada Anak dengan Riwayat Kejang Demam


Sejauh ini tidak ada kontra indikasi untuk melakukan vaksinasi
terhadap anak yang mengalami kejang demam. Kejang setelah
demam karena vaksinasi sangat jarang. Angka kejadian pasca
vaksinasi DPT adalah 6-9 kasus per 100.000 anak yang divaksinasi
sedangkan setelah vaksinasi MMR 25-34 per 100.000 (Pusponegoro,
2006).
Dianjurkan untuk memberikan diazepam oral atau rektal bila
anak demam, terutama setelah vaksinasi DPT atau MMR. Beberapa
dokter anak merekomendasikan parasetamol pada saat vaksinasi
hingga 3 hari kemudian (Pusponegoro, 2006).

2.11 Prognosis
Prognosis kejang demam baik, angka kematian hanya 0,640,75%. Sebagian besar penderita kejang demam sembuh sempurna,
2-7% berkembang menjadi epilepsi, 4% mengalami gangguan motorik,
gangguan tingkah laku dan penurunan tingkat intelegensi secara
bermakna (Fuadi, 2010).
Di Indonesia, kematian karena kejang demam tidak pernah
dilaporkan.

Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam

tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis


umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal.
Penelitian lain secara retrospektif melaporkan kelainan neurologis
pada sebagian kecil kasus, dan kelainan ini biasanya terjadi pada
kasus dengan kejang lama atau kejang berulang baik umum atau fokal
(Pusponegoro, 2006).
Apabila tidak ditangani dengan baik, makan kejang demam
dapat berkembang menjadi (Saharso, 2008) (Pusponegoro, 2006):
1. Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus.
28

Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah :


a. Riwayat kejang demam dalam keluarga
b. Usia kurang dari 12 bulan
c. Temperatur yang rendah saat kejang
d. Cepatnya kejang setelah demam
Bila

seluruh

faktor

di

atas

ada,

kemungkinan

berulangnya kejang demam adalah 80%, sedangkan bila tidak


terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya kejang
demam hanya 10%-15%. Kemungkinan berulangnya kejang
demam paling besar pada tahun pertama.
2. Terjadinya epilepsi di kemudian hari.
Faktor risiko menjadi epilepsi adalah :
a. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum
kejang demam pertama.
b. Kejang demam kompleks
c. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung
Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan
kejadian epilepsi sampai 4%-6%, kombinasi dari faktor risiko
tersebut meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 10%-49%.
Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan
pemberian obat rumat pada kejang demam.
3. Kelainan motorik
4. Gangguan mental dan belajar

29

BAB 3
PENUTUP

Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada anak berusia


3 bulan sampai dengan 5 tahun dan terjadi pada kenaikan suhu tubuh
di atas 380 C (rektal) yang disebabkan suatu proses ekstrakranium
Kejang demam dapat diklasifikasikan menjadi

kejang demam

sederhana dan kejang demam kompleks.


Diagnosa kejang demam didapatkan dari anamnesa dan
pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang umumnya tidak
dilakukan kecuali untuk mencari penyebab demam atau atas
indikasi

tertentu.Penatalaksanaan

kejang

demam

meliputi

pengobatan fase akut, mencari dan mengobati penyebab, pengobatan


profilaksis dan pengobatan rumatan terhadap berulangnya kejang
demam.
Prognosis

kejang

demam

umumnya

baik

dan

tidak

menyebabkan kematian jika ditanggulangi dengan tepat dan cepat.


Akan tetapi bangkitan kejang demam umumnya merupakan suatu
pengalaman yang menakutkan bagi orang tua, sehingga edukasi
kepada orang tua juga menjadi bagian yang sangat penting dalam
menatalaksanaan kejang demam. Kejang demam yang tidak ditangani
dengan baik bisa berkembang menjadi kejang demam berulang,
epilepsi, gangguan motorik, serta gangguan mental dan belajar.

30

DAFTAR PUSTAKA
1. Budiarto G, 1997, Patofisiologi Epilepsi, Dalam: Penatalaksanaan

Kejang Yang Rasional. Gramik FK Unair, Surabaya.


2. Deliana, Melda., 2002, Tata Laksana Kejang Demam pada Anak, Sari
Pediatri 2002; Vol 4(2): 59 6.
3. Dewanti, Attila Dewanti., Widjaja, Joanne Angelica., Tjandrajani Anna.,
Burhany, Amril A. 2012. Kejang Demam dan Faktor yang
Mempengaruhi Rekurensi. Sari Pediatri 2012;Vol 14(1):57-61.
4. Farrell K., Goldman R.D., 2011, The Management Of Febrile Seizures
, Bc Medical Journal Vol. 53 No. 6, July/August 2011.
5. Fuadi, Fuadi, 2010, Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam Pada
Anak. Master Thesis, Diponegoro University.
6. Kliegman R.M., Behrman R.E., Jenson H.B., Stanton B.F., 2007,
Nelson Textbook Of Pediatrics 18 Ed, Wb Saunders Co, Philadelphia.
7. Mahmood K.T., Fareed T., Tabbasum R., 2011, Management Of
Febrile Seizures In Children, J Biomed Sci And Res 2013; Vol 3 (1):
353-357.
8. Niedermeyer E., 1983, Diagnosis and treatment of epileptic seizure
disorders, Urban and Schwarzenberg, Baltimore.
9. Pusponegoro H.D., Widodo D.P.,Ismael S., 2006, Konsensus
Penatalaksanaan Kejang Demam, Badan Penerbit IDAI, Jakarta.
10. RSU Haji, 2013. Buku Ajar Kepaniteraan Klinik SMF Ilmu Kesehatan
Anak RSU Haji Surabaya, RSU Haji Surabaya, Surabaya.
11. Saharso, Darto, 2008. Kejang Demam, Dalam: Pedoman Diagnosis
Dan Terapi SMF Ilmu Kesehatan Anak Edisi III, Rumah Sakit Umum
Dokter Soetomo, Surabaya.

31

LAMPIRAN I
BAGAN FAKTOR RESIKO KEJANG DEMAM
Sumber: Fuadi, Fuadi, 2010, Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam Pada Anak. Master
Thesis, Diponegoro University

LAMPIRAN II
BAGAN PATOFISIOLOGI KEJANG DEMAM

32

Sumber: RSU Haji, 2013. Buku Ajar Kepaniteraan Klinik SMF Ilmu Kesehatan Anak RSU
Haji Surabaya, RSU Haji Surabaya, Surabaya.

LAMPIRAN III
BAGAN PENATALAKSANAAN KEJANG PADA ANAK

33

Sumber: Pusponegoro H.D., Widodo D.P.,Ismael S., 2006, Konsensus


Penatalaksanaan Kejang Demam, Badan Penerbit IDAI, Jakarta (dengan modifikasi

34

35

You might also like