Professional Documents
Culture Documents
bermuara
Wilayah
Pesisir
kota
Makassar
melalui
Kecamatan
Luas (Ha)
10.241,9
4.656,5
14.898,4
Dari peta kerawanan banjir yang dibuat berdasarkan peta peta Vektor
penentu banjir didapatkan sebagian wilayah kota Makassar rawan terjadi
banjir, dapat dilihat pada gambar 15 dan tabel 10 berikut ini:
Luas/
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
(Ha)
3678,17
173,79
265,35
250,87
2291,46
281,88
1567,64
1096,28
961,52
3857,07
2413,59
Biringkanaya
Bontoala
Makassar
Mamajang
Manggala
Mariso
Panakkukang
Rappocini
Tallo
Tamalanrea
Tamalate
Kecamatan Luas
potensi Ket.
banjir
173,35
5,38
564,57
369,45
121,25
266,45
1.337,02
-
Berpotensi banjir
Tidak banjir
Berpotensi banjir
Tidak banjir
Berpotensi banjir
Tidak banjir
Berpotensi banjir
Berpotensi banjir
Berpotensi banjir
Berpotensi banjir
Tidak banjir
12 Ujung Pandang
284,593
13 Ujung Tanah
233,19
14 Wajo
204,71
Total
17560,17
Sumber: Hasil analisis data Spasial.
2.878,02
Tidak banjir
Tidak banjir
Tidak banjir
Kecamatan
1. Kecamatan Tamalanrea
Penyebab Banjir
Luapan Sungai Tallo
Sedimentasi pada muara sungai tallo
Tersumbatnya Saiuran Drainase
2. Kecamatan Manggala
Sedimentasi
Sampah
Perubahan Alih fungsi lahan
Ruang terbuka hijau menjadi
pemukiman
Pertambahan jumlah penduduk
3. Kecamatan Panakukang
4. Kecamatan Tallo
5. Kecamatan Biringkanaya
6. Kecamatan Rappocini
7. Kecamatan Makassar
proses
data
menggunakan
suatu
rangkaian
berbasis
VHF
Transmisi data menggunakan komunikasi seluler
transisi naik terjadi pada output dan mulai perhitungan waktu hingga transisi
turun terjadi. , setelah itu dengan menggunakan persamaan 2.12 untuk
menentukan jarak antara sensor dengan objek. Timing diagram pengoperasian
sensor ultrasonik HC SR04 diperlihatkan pada Gambar 19
Dengan memberikan tegangan positif pada pin Trigger selama 10uS, maka
sensor akan mengirimkan 8 step sinyal ultrasonik dengan frekuensi 40kHz.
Selanjutnya, sinyal akan diterima pada pin Echo. Sinyal yang dipancarkan akan
merambat sebagai gelombang bunyi dengan kecepatan sekitar 340 m/s. Ketika
menumbuk suatu benda, maka sinyal tersebut akan dipantulkan oleh benda
tersebut. Setelah gelombang pantulan sampai di alat penerima, maka sinyal
tersebut akan diproses untuk menghitung jarak benda tersebut. Dengan s adalah
jarak antara sensor dan penghalang, V adalah kecepatan suara, dan t adalah
waktu antara sinyal dikirim dan diterima. Dalam rumus jarak memiliki faktor
pembagi 2, sebab waktu yang terdeteksi adalah waktu saat sinyal dikirim dan
diterima. Waktu ini adalah dua kali waktu untuk mencapai sensor dan
penghalang, sehingga jarak yang terdeteksi dengan waktu ini adalah dua kali
jarak sensor dan penghalang. Dengan demikian, kita harus menambahkan
faktor pembagi dua.
Dari Tabel 4.1 menunjukkan pengukuran jarak deteksi pada sensor
dengan berbagai dua kondisi pemantul berupa permukaan air. Permukaan air
kondisi pertama adalah kondisi dimana permukaan diam. Sedangkan pada
kondisi kedua permukaan air dibuat bergelombang seperti pada gambar 3.7.
Pada pengujian dilakukan dengan menggunakan beberapa obyek pemantul
sebagai simulasi permukaan air. Obyek pemantul yang dimaksud adalah
sebagai berikut:
adanya
interferensi
gelombang
dengan
frekuensi
yang
sama.
Sistem sensor terdiri atas dua rangkaian yakni bagian pemancar dan penerima.
3 X 108
f
r
(1)
dimana:
gelombang.
r udara 1
Data di penerima diolah melalui sebuah prosesor yang kemudian mengkonversi
satuan waktu kedalam satuam panjang.
Vs = 344 m/s = 34400 cm/s = 34400 cm/1000000 s = 1 cm/34400 =
29,069767441 s. Karena Sensor Ultrasonic Distance menggunakan pantulan
maka untuk mengukur jarak 1 cm sama dengan 2t sehingga 1 cm = 2 x
29,069767441 s = 58, 139534 s ~ 58 s. Berarti setiap tertunda 58 uS
bertambah jarak sebesar 1 cm.
Perhitungan nilai sensor menjadi jarak (lihat gambar 2.10 untuk referensi).
Trigger dipergunakan untuk mengirimkan sinyal ke halangan. Dalam Proses
tersebut terdapat waktu berhenti yang dipergunakan untuk proses jeda sensor.
Waiting Time (Wt) adalah waktu tunggu dari sinyal trigger untuk terpantul
kembali, dimana waktu tunggu tersebut akan diasumsikan menjadi jarak.
Alat penggaris
10
20
30
40
50
70
90
110
130
150
170
200
220
240
250
Dari hasil pengukuran pada tabel diatas, dapat diperoleh data sebagai berikut:
Error rata-rata
error
n pengukuran
5,59
15
= 0,37 cm
Jika distandarkan dengan tingkat kesalahan 1 cm, maka diperoleh nilai
kesalahan
Persen kesalahan
rerata error
X 100
akurasi
5,59
X 100
1 cm
= 55,9%
Jika distandarkan dengan tingkat kesalahan 5 cm,
Persen kesalahan =
5,59
X 100
6 cm
= 9,31 %
10
11
12
13
14
15
Gambar 20. Kurva nilai kesalahan dari setiap pengukuran pada air diam
Dari data perhitungan nilai kesalahan di atas dapat dijadikan sebagai
bahan masukan dalam mendisain ulang sistem pengideraan dan juga
penyesuaian dengan alat ukur tinggi muka air konvensional yang sudah sering
digunakan yaitu pail scale yang memiliki tingkat akurasi berbeda-beda, misal 1
cm atau 5 cm.
.
Alat penggaris
10
20
30
40
50
70
90
110
130
150
Kesalahan
0,6
1,02
-1
1,5
0,9
1,4
1,3
1,8
0,3
1,02
11
12
13
14
15
170
200
220
240
250
171,7
202,4
221,9
242,1
252,8
Error rata-rata
1,7
0,41
1,9
2,1
2,8
error
n pengukuran
17,82
15
= 1,18 cm
Jika distandarkan dengan tingkat kesalahan 1 cm, maka diperoleh nilai
kesalahan
Persen kesalahan
rerata error
X 100
akurasi
17,82
X 100
1 cm
= 1782%
17,82
X 100
6 cm
= 297 %
10
11
12
13
14
15
Gambar 21. Kurva nilai kesalahan dari setiap pengukuran pada air
bergelombang
Dari hasil pengukuran pada tabel diatas menunjukkan bahwa akurasi
hasil ukur sangat tergantung pada benda pemantul, bukan pada intensitas
sinyal. Akurasi hasil ukur dari sensor menjadi lebih tergantung kepada
pemanfaatannya. Jika akurasi lebih diutamakan, maka hasil ukur seperti pada
tabel diatas masih perlu dievaluasi kembali, tetapi jika sistem sensor hanya
akan digunakan sebagai lebih kepada indikator seperti untuk mendeteksi
keberadaan datangnya kenaikan suatu level air maka hasil ukur tersebut diatas
masih dapat ditolerir.
Sistem pengukur jarak dapat berfungsi dengan baik dalam mengukur
objek yang menjadi penghalang dengan prosentase error rata-rata sebesar 0,37
cm pada air kondisi diam dan 1,18 cm pada kondisi air bergelombang.
Waktu tempuh di atas di dapat sesuai dari perhitungan jarak dimana :
S = t in x 2, dengan v = 344 m/s, Maka t in = x 2 = 581.3953488 s Dari hasil
pengukuran di atas maka dapat diketahui, bahwa persentase kesalahan dari
pengukuran jarak menggunakan sensor ultrasonic PING adalah : Sebagai
sample perhitungan, diambil jarak pertama yaitu jarak sebenarnya 10 cm dan
jarak pengukuran 10,18 cm
3.
4.
Gambar 3.6 Pengujian perangkat sensor level air pada permukaan air rata
Gambar 3.7 Pengujian perangkat sensor level air pada permukaan air
bergelombang
Perangkat sensor level air terdiri dari modul tranmitter, modul GSM, modul
mikrokontroler serta transmitter dan receiver.
tersebut frekuensi kerja yang digunakan harus sama agar dapat melakukan
komunikasi.
Untuk beberapa institusi ataupun lembaga tertentu, jumlah frekuensi
kerja yang dimilki dapat lebih dari 1 frekuensi. Dengan kondisi tersebut,
apabila suatu stasiun melakukan pemindahan frekuensi, maka stasiun radio
lawan komunikasi harus ikut menyesuaikan. Namun, jika lebih dari 2 atau 3
frekuensi yang dimiliki tentu saja berdampak pada waktu penyesuaian
frekuensi kerja yang hendak digunakan akan berlangsung cukup lama. Stasiun
radio lawan komunikasi akan memeriksa satu persatu frekuensi kerja yang
dimiliki terutama apabila tidak adanya jadwal yang telah disepakati. Dengan
kondisi tersebut, efektifitas waktu untuk mulai berkomunikasi akan menjadi
tidak baik atau boros.
Dalam tulisan kali ini, dibahas tentang suatu sistem yang bekerja
secara otomatis memilih frekuensi kerja yang tersedia guna memberikan
kemudahan bagi operator radio untuk mulai berkomunikasi. Sistem ini sangat
baik digunakan apabila frekuensi yang dimiliki lebih dari 1 frekuensi. Sistem
ini dikenal dengan nama sistem Automatic Link Establishment atau disingkat
dengan sebutan sistem ALE.
Mekanisme Sistem ALE
Sistem ALE terdiri dari 2 kondisi yang berbeda, yakni kondisi siaga (standby)
dan mencari hubungan komunikasi. Kondisi siaga dalam sistem ALE adalah
kondisi dimana radio melakukan pemantauan tiap frekuensi kerja yang
dimiliki. Secara otomatis frekuensi yang dimiliki oleh sistem tersebut akan
dipantau satu persatu untuk mengetahui apakah ada panggilan yang dilakukan
oleh stasiun lain. Jika pada suatu frekuensi tertentu ditangkap sinyal panggil
dari stasiun lain, maka radio akan menjawab panggilan tersebut dengan cara
mengirimkan secara otomatis sinyal respon (acknowledgement). Sinyal respon
tersebut merupakan indikasi bahwa stasiun tersebut dapat menerima sinyal dan
siap untuk berkomunikasi.
Untuk kondisi mencari hubungan komunikasi, sistem ALE akan
melakukan pemanggilan atau pengiriman sinyal panggil pada frekuensifrekuensi yang dimiliki. Satu-persatu frekuensi kerja yang telah di daftarkan
dalam sistem ALE tersebut, akan digunakan untuk mengirim sinyal panggil
secara otomatis. Setelah sinyal panggil dikirim, stasiun tersebut akan
memantau sinyal respon dari stasiun lawan. Apabila tidak diperoleh sinyal
respon, maka frekuensi lain yang terdaftar akan digunakan untuk mengirim
sinyal panggil dan memantau sinyal balasan. Apabila dari semua frekuensi
yang digunakan tidak diperoleh sinyal balasan, maka sistem ALE akan
meberitahu operator bahwa saat tersebut tidak dapat dilakukan komunikasi
berdasarkan frekuensi yang tersedia didalam sistem.
Secara sederhana mekanisme kerja sistem ALE dapat diilusrasikan pada
Gambar 1. Pada Gambar 1.(a) ditunjukkan bagaimana kodisi radio yang berada
dalam kondisi siaga. Pada gambar 1 (b) ditunjukkan kondisi radio saat mencari
hubungan komunikasi. Sedangkan gambar 1 (c) merupakan kondisi saat suatu
komunikasi antar stasiun mulai dilakukan .
Gambar 1. Ilustrasi mekanisme kerja sistem ALE saat (a) Kondisi standby,
(b) melakukan panggilan, dan (c) komunikasi antar 2 stasiun mulai dilakukan
Antena
Perangkat lain yang harus dimiliki dalam sistem ALE adalah berupa pengendali
radio dan pengolah sinyal yang merupakan perangkat keras berbasis sistem
komputer. Perangkat pengendali radio ini berfungsi untuk mengendalikan nilai
frekuensi kerja radio serta kondisi saat memancar atau menerima. Sedangkan
perangkat pengolah sinyal merupakan perangkat yang berfungsi untuk
mengolah sinyal guna mengetahui atau menerjemahkan sinyal yang diterima
maupun yang hendak dikirim. Kedua perangkat tersebut dapat berupa
komputer umum yang disertai dengan modem/ TNC radio beserta software
sistem ALE. Saat ini kedua perangkat tersebut telah tersedia dalam bentuk
radio dan dijual secara bebas. Perangkat sistem ALE telah diintegrasikan pada
sebuah perangkat radio komunikasi. Pada Gambar 3 ditunjukkan konfigurasi
sistem ALE menggunakan PC dan Modem/TNC serta contoh perangkat radio
yang sudah terintegrasi dengan sistem ALE.
Gambar 3. (a) Sitem ALE menggunakan PC dan TNC, (b) Perangkat radio
ICOM IF-7000 yang telah terintegrasi dengan sistem ALE
kondisi propagasi radio secara real time dapat dilihat berdasarkan data tiap-tiap
stasiun dan alamat website tersebut.
Tulisan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan memotivasi para
pembaca agar dapat menerapakan sistem ALE untuk kemudahan komunikasi
yang hendak dilakukan. Varuliantor Dear
Selama ini di Indonesia yg.umum kita kenal adalah repeater jenis duplex yg.
mengggunakan 2 frekuensi berbeda ( 1 untuk uplink atau input repeater dan 1
frekuensi
lainnya
untuk
downlink
atau
output
repeater
).
Praktis hampir semua ( atau semua ) radio repeater ( VHF atau UHF ) kita
menggunakan
sepasang
bh
frekuensi.
Namun sebuah repeater juga bisa dibangun hanya dengan menggunakan 1 bh.
frekuensi saja yang sekaligus menjadi frekuensi input maupun outputnya.
Repeater
a.
b.
Store
jenis
and
Echo
c.
Forward
repeater
ini
(
biasa
S&F
(
disebut
SNF
echo
Simplex
SAF
station
sebagai
)
repeater,
)
:
atau
atau
repeater.
cukup
signifikan.
Konfigurasi dasar/minimal dari Store and Forward repeater adalah terdiri dari 1
bh. Transceiver ( bisa sebuah HT ataupun Rig ) , 1 alat atau rangkaian perekam
suara ( recorder / voice memory ) atau perekam data jika repeaternya adalah
bagian
receivernya
menerima
mendeteksi
adanya
duplex.
Meski repeater simplex juga ada yang memiliki power pancaran yang besar ,
namun lebih banyak repeater jenis ini yang memiliki power yg relative kecil
( 10 watt , bahkan hanya 5 atau 6 watt dengan menggunakan HT sebagai
repeaternya ). Penggunaan power kecil tersebut sekaligus akan memperkuat &
mempertegas status repeater store & forward yang dikenal sebagai jenis
repeater yang sangat portable dan bisa dengan sangat cepat dipasang dan
dioperasikan.
Repeater jenis ini sangat ideal ( dan sebaiknya ) dimiliki / digunakan oleh tim
SAR dan para evakuator / petugas penolong pada kejadian2 darurat atau
bencana alam. Repeater store and forward tidak hanya bisa dioperasikan
menggunakan accu kecil namun juga banyak jenis yang bisa langsung cepat
mengudara
hanya
dengan
menggunakan
tenaga
battery
HT
nya.
digital
).
diprogram
untuk
bermacam
kebutuhan
untuk
membacakan
dalam
konfigurasi
lain.
Lampiran
mar