You are on page 1of 31

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Daerah Aliran Sungai (DAS)


Wilayah Kota Makassar dilalui oleh beberapa sungai yang cukup besar
sehingga membentuk sistem DAS diantaranya DAS Jeneberang, Tallo dan
Pampang. Aliran air sungai ini merupakan penampungan aliran air permukaan
yang berasal dari sebagian wilayah Kabupaten Gowa dan Maros. DAS Tallo
yang

bermuara

Wilayah

Pesisir

kota

Makassar

melalui

Kecamatan

Kec.Manggala, Panakukang, Rappocini, Kec. Tallo, Kec. Tamalanrea, dan


Kec. Biringkanaya.
Meluasnya wilayah pemukiman di area DAS Tallo dan DAS
Jeneberang menyebabkan tingginya aliran air permukaan yang bersumber dari
limpahan curah hujan serta terkendalanya proses inpiltrasi ke dalam tanah
akibat terhalang perkerasan jalan dan atap bangunan. Peningkatan aliran
permukaan inilah yang menyebabkan banjir dan melanda beberapa wilayah di
Kota Makassar dan terjadi semaki meluas. Ditinjau dari aspek perencanaan
tata ruang kota Makassar Tahun 2005-2015 bahwa kawasan tersebut
diperuntukkan menjadi kawasan perumahan terpadu dan pergudangan serta
peruntukan kawasan khusus yang tidak diikuti penataan Rencan Detail Tata
Ruang (RDTR) zoning regulation, pengendalian perizinan, pengenaan sanksi
dan sebagainya.
Daerah Aliran Sungai (DAS) pada wilayah kota Makassar dibagi
menjadi empat daerah aliran sungai yang didominasi oleh DAS Tallo sebesar
10.241, Ha dan DAS Jeneberang sebesar 4.656,5 Ha dengan persentase 8,75%.

Tabel 9. Daerah Aliran Sungai (DAS)


No
Daerah Aliran Sungai
1
DAS Tallo
2
DAS Jeneberang
Total
Sumber; Hasil analisis data Spasial.

Luas (Ha)
10.241,9
4.656,5
14.898,4

Sumber: Hasil analisis data Spasial.


Gambar 14. Peta Daerah Aliran Sungai (DAS)

Identifikasi Kerawanan Banjir

Dari peta kerawanan banjir yang dibuat berdasarkan peta peta Vektor
penentu banjir didapatkan sebagian wilayah kota Makassar rawan terjadi
banjir, dapat dilihat pada gambar 15 dan tabel 10 berikut ini:

Sumber: Hasil analisis data Spasial.


Gambar 15. Peta Rawan Banjir Kota Makassar
Tabel. 10. Daerah Rawan banjir
No Kecamatan

Luas/

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

(Ha)
3678,17
173,79
265,35
250,87
2291,46
281,88
1567,64
1096,28
961,52
3857,07
2413,59

Biringkanaya
Bontoala
Makassar
Mamajang
Manggala
Mariso
Panakkukang
Rappocini
Tallo
Tamalanrea
Tamalate

Kecamatan Luas

potensi Ket.

banjir
173,35
5,38
564,57
369,45
121,25
266,45
1.337,02
-

Berpotensi banjir
Tidak banjir
Berpotensi banjir
Tidak banjir
Berpotensi banjir
Tidak banjir
Berpotensi banjir
Berpotensi banjir
Berpotensi banjir
Berpotensi banjir
Tidak banjir

12 Ujung Pandang
284,593
13 Ujung Tanah
233,19
14 Wajo
204,71
Total
17560,17
Sumber: Hasil analisis data Spasial.

2.878,02

Tidak banjir
Tidak banjir
Tidak banjir

Kecamatan yang berpotensi banjir yang paling tinggi adalah kecamatan


Tamalanrea dengan luas 1.377,0 ha dengan persentase yaitu 47.85% diikuti
Kecamatan Manggala dengan luas 564,.57 ha dengan persentase yaitu 19,62%,
Kecamatan Panakkukang dengan luas 369,94 Ha dengan persentase 12,85%,
Kecamatan Tallo dengan luas 266,45 Ha dengan persentase 9,26%, Kecamatan
Biringkanaya dengan luas 173,35 Ha dengan persentase 6,02%, Kecamatan
Rappocini dengan luas 121,25 Ha dengan persentase 4,21% dan terakhir
kecamatan Makassar dengan luas 5,38 Ha dengan persentase 0.19%.

Sumber; Hasil analisis data Spasial.


Gambar 16. Grafik rawan banjir
Potensi banjir pada kecamatan tersebut disebabkan oleh faktor-faktor yaitu :
Tabel 11. Penyebab banjir per kecamatan
No

Kecamatan
1. Kecamatan Tamalanrea

Penyebab Banjir
Luapan Sungai Tallo
Sedimentasi pada muara sungai tallo
Tersumbatnya Saiuran Drainase

2. Kecamatan Manggala

Sedimentasi
Sampah
Perubahan Alih fungsi lahan
Ruang terbuka hijau menjadi
pemukiman
Pertambahan jumlah penduduk

Dimensi Saluran Primer yang kurang


memadai
Tersumbatnya Saluran Drainase
Sedimentasi
Sampah
Perubahan Alih fungsi lahan
Ruang
terbuka
hijau
menjadi
pemukiman
Pertambahan jumlah penduduk

3. Kecamatan Panakukang

4. Kecamatan Tallo

5. Kecamatan Biringkanaya

6. Kecamatan Rappocini

Tersumbatnya Saluran Drainase


Sedimentasi
Sampah
Penggunaan lahan di dominasi oleh
pemukiman
Perubahan Alih fungsi lahan
Ruang
terbuka
hijau
menjadi
pemukiman
Pertambahan jumlah penduduk
Luapan Sungai Tailo
Sedimentasi pada muara sungai tallo
Perubahan Alih fungsi lahan
Ruang
terbuka
hijau
menjadi
pemukiman
Pertambahan jumlah penduduk
Tersumbatnya Saluran Drainase
Sedimentasi
Sampah
Luapan Sungai Tallo
Sedimentasi pada muara sungai tallo
Tersumbatnya Saluran Drainase
Sedimentasi
Tersumbatnya Saluran Drainase
Sedimentasi
Sampah
Penggunaan lahan di dominasi oleh
pemukiman

7. Kecamatan Makassar

Tersumbatnya Saluran Drainase


Sedimentasi
Sampah
Penggunaan lahan di dominasi oleh
pemukiman

Sumber: Hasil analisis data Spasial.


Dampak Banjir yang selalu terjadi menimbulkan kerugian bagi mereka
yang terkena banjir baik secara langsung maupun tidak langsung yang dikenal
sebagai dampak banjir. Bencana banjir akan dialami langsung oleh masyarakat
yang rumah atau lingkunganya terkena banjir. Sehingga umumnya banjir
memiliki berbagai akibat dan dampak negatif yang secara langsung maupun
tidak langsung berpengaruh pada masyarakatm seperti
-

merusak sarana dan prasarana umum

memutuskan jalur transportasi

merusak dan bahkan menghilangkan peralatan, perlengkapan, harta


benda lainnya bahkan jiwa manusia

Banjir dapat mengakibatkan pemadaman listrik

Banjir mengganggu atau bahkan merusak perekonomian

Banjir mengganggu aktivitas sehari-hari

Banjir dapat mencemari lingkungan dan kesehatan

Pemetaan daerah kerawanan banjir ini bertujuan untuk mengidentifikasi


daerah mana saja yang rawan untuk terjadinya banjir, sehingga daerah tersebut
dapat dianalisis untuk melakukan pencegahan dan penanganan banjir. Faktor
manusia seperti akibat penggunaan lahan yang kurang tepat dapat dilakukan
perbaikan/perubahan. Sedangkan faktor - faktor yang lain merupakan faktor
alam yang umumnya sulit untuk dilakukan perbaikan/perubahan.
C

Rancangan dan Pengujian

Gambar 16 Model Rancangan

Metode rancangan penelitian dipetakan berdasarkan data awal dan model


rancangan :
1. Persiapan
a. Sistem sensor level air
1.

Persiapan sistem sensor yang dimaksud adalah mempesiapkan

peralatan sistem sensor pengukur jarak. Pada penelitian sensor yang


digunakan adalah sensor HC-SR04.

Gambar 17. Sistem sensor ultrasonik HC-SR04

Pemilihan HC SR04 sebagai sensor jarak yang akan digunakan pada


penelitian ini karena memiliki fitur sebagai berikut; kinerja yang stabil,
pengukuran jarak yang akurat dengan ketelitian 0,3 cm, pengukuran
maksimum dapat mencapai 4 meter dengan jarak minimum 2 cm,
ukuran yang ringkas dan dapat beroperasi pada level tegangan TTL.
Sistem sensor diletakkan pada posisi diatas sebuah simulasi tempayan
berisi air mengacu pada gambar berikut:

Gambar 18. Model pengujian sensor level jarak air

2. Obyek pemantul permukaan air


Pengujian jarak pendeteksian sensor ultrasonik dilakukan
dengan mendekatkan dan menjauhkan posisi objek yang ada didepan
sensor. untuk mengetahui kepekaan sensor ketika diberikan objek yang
berbeda dilakukan sebanyak masing 20 kali pada masing-masing objek.
-

Permukaan air dengan kondisi dianggap tenang

Obyek pemantul permukaan air dengan kondisi dianggap tenang

yang dimaksud adalah kondisi dimana permukaan air yang


diletakkan di sebuah tempat, dalam kondisi tidak bergerak atau
diam atau tidak berputar, mengalir.
-

Permukaan air dengan kondisi bergelombang

Untuk obyek pemantul dengan permukaan air bergerak atau


mengalir disimulasi dengan menggunakan air tuangan yang jatuh
ketempayan obyek penelitian. Laju air ditentukan dengan cara
menghitung gerakan suatu benda terhadap waktu tempuh.
-

Permukaan air dengan kondisi air bergerak naik

Permukaan air bergerak naik disimulasi dengan cara tempayan


penelitian diisi air dengan kecepatan konstan dengan volume
tertentu.
b. Sistem Proses Data
Sitem

proses

data

menggunakan

suatu

rangkaian

berbasis

mikrokontroler, dalam hal ini adalah arduino.


c. Sistem Trasmisi Data
Sistem transmisi data dibagi dua bagian, yakni:
-

Transmisi data menggunakan komunikasi radio pada aplikasi frekuensi

VHF
Transmisi data menggunakan komunikasi seluler

Transimisi data menggunakan komunikasi radio pada aplikasi frekuensi


VHF sebagai media transmisi utama yang konfigurasi secara ad-hoc
membentuk link network.
2. Hasil Sistem Sensor Level Air
Pengoperasian sensor ultrasonik HC SR04 adalah diawali dengan
memberikan pulsa Low (0) ketika modul mulai dioperasikan, kemudian
berikan pulsa High (1) pada trigger selama 10 s untuk mengaktifkan rentetan
(burst) 8x40KHz gelombang ultrasonik pada elemen Pembangkitnya hingga

transisi naik terjadi pada output dan mulai perhitungan waktu hingga transisi
turun terjadi. , setelah itu dengan menggunakan persamaan 2.12 untuk
menentukan jarak antara sensor dengan objek. Timing diagram pengoperasian
sensor ultrasonik HC SR04 diperlihatkan pada Gambar 19

Gambar 19 . Diagram Waktu HC-SR04.

Kecepatan rata-rata aliran air sungai tallo sebagai sampel kecepatan


aliran sungai 0,26 m/dtk

Dengan memberikan tegangan positif pada pin Trigger selama 10uS, maka
sensor akan mengirimkan 8 step sinyal ultrasonik dengan frekuensi 40kHz.
Selanjutnya, sinyal akan diterima pada pin Echo. Sinyal yang dipancarkan akan
merambat sebagai gelombang bunyi dengan kecepatan sekitar 340 m/s. Ketika
menumbuk suatu benda, maka sinyal tersebut akan dipantulkan oleh benda
tersebut. Setelah gelombang pantulan sampai di alat penerima, maka sinyal

tersebut akan diproses untuk menghitung jarak benda tersebut. Dengan s adalah
jarak antara sensor dan penghalang, V adalah kecepatan suara, dan t adalah
waktu antara sinyal dikirim dan diterima. Dalam rumus jarak memiliki faktor
pembagi 2, sebab waktu yang terdeteksi adalah waktu saat sinyal dikirim dan
diterima. Waktu ini adalah dua kali waktu untuk mencapai sensor dan
penghalang, sehingga jarak yang terdeteksi dengan waktu ini adalah dua kali
jarak sensor dan penghalang. Dengan demikian, kita harus menambahkan
faktor pembagi dua.
Dari Tabel 4.1 menunjukkan pengukuran jarak deteksi pada sensor
dengan berbagai dua kondisi pemantul berupa permukaan air. Permukaan air
kondisi pertama adalah kondisi dimana permukaan diam. Sedangkan pada
kondisi kedua permukaan air dibuat bergelombang seperti pada gambar 3.7.
Pada pengujian dilakukan dengan menggunakan beberapa obyek pemantul
sebagai simulasi permukaan air. Obyek pemantul yang dimaksud adalah
sebagai berikut:

Dari hasil pengukuran tersebut didapat jarak rata-rata untuk halangan


6cm adalah 5.754, 8cm adalah 7.716cm , 10cm adalah 9.642cm, 12cm adalah
11.526cm, 14cm adalah 13.56 dan jarak 16cm adalah 15.458. Hasil pengujian
dapat membuktikan bahwa sensor ultrasonik bekerja berdasarkan kemampuan
penghalang memantulkan kembali gelombang ultrasonik yang dikirim oleh
sensor ultrasonik, gangguan pada pendeteksiaan sensor dapat diakibatkan oleh
penghalang yang tidak mampu memantulkan gelombang bunyi dengan baik
dan

adanya

interferensi

gelombang

dengan

frekuensi

yang

sama.

Sistem sensor terdiri atas dua rangkaian yakni bagian pemancar dan penerima.

Pemancar memancarkan gelombang dengan frekuensi 40 Khz dan diterima


oleh penerima ultrasonik. Berdasarkan persamaan(1) diperoleh panjang
gelombang sebesar:
x

3 X 108
f

r
(1)

dimana:

c = 3 x108 m/dtk (kecepatan cahaya)


f = frekuensi dalam Hz (detik-1)

= konstanta dielektrik medium yang dirambati oleh

gelombang.

r udara 1
Data di penerima diolah melalui sebuah prosesor yang kemudian mengkonversi
satuan waktu kedalam satuam panjang.
Vs = 344 m/s = 34400 cm/s = 34400 cm/1000000 s = 1 cm/34400 =
29,069767441 s. Karena Sensor Ultrasonic Distance menggunakan pantulan
maka untuk mengukur jarak 1 cm sama dengan 2t sehingga 1 cm = 2 x
29,069767441 s = 58, 139534 s ~ 58 s. Berarti setiap tertunda 58 uS
bertambah jarak sebesar 1 cm.
Perhitungan nilai sensor menjadi jarak (lihat gambar 2.10 untuk referensi).
Trigger dipergunakan untuk mengirimkan sinyal ke halangan. Dalam Proses
tersebut terdapat waktu berhenti yang dipergunakan untuk proses jeda sensor.
Waiting Time (Wt) adalah waktu tunggu dari sinyal trigger untuk terpantul
kembali, dimana waktu tunggu tersebut akan diasumsikan menjadi jarak.

Keterangan S = jarak (cm), dan Wt = Waktu tunggu (s). Misalkan dari


pembacaan sensor sensor didapat Wt = 270 s, maka jarak terdeteksi sensor
terhadap benda adalah :

Tabel 4. 1. pengukuran pada kondisi pemantul dianggap diam


No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

Alat penggaris
10
20
30
40
50
70
90
110
130
150
170
200
220
240
250

Pengukuran Sessor ultrasonik


Air kondisi diam
Kesalahan
10,18
0,18
20,25
0,25
30,27
0,27
40,32
0,32
50,4
0,4
70,4
0,4
90,38
0,38
110,33
0,33
130,3
0,3
150,3
0,3
170,3
0,3
200,41
0,41
220,48
0,48
240,6
0,6
250,67
0,67

Dari hasil pengukuran pada tabel diatas, dapat diperoleh data sebagai berikut:

Error rata-rata

error
n pengukuran

5,59
15

= 0,37 cm
Jika distandarkan dengan tingkat kesalahan 1 cm, maka diperoleh nilai
kesalahan
Persen kesalahan

rerata error
X 100
akurasi

5,59
X 100
1 cm

= 55,9%
Jika distandarkan dengan tingkat kesalahan 5 cm,
Persen kesalahan =

5,59
X 100
6 cm

= 9,31 %

Nilai kesalahan ukur


0.8
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0

10

11

12

13

14

15

Gambar 20. Kurva nilai kesalahan dari setiap pengukuran pada air diam
Dari data perhitungan nilai kesalahan di atas dapat dijadikan sebagai
bahan masukan dalam mendisain ulang sistem pengideraan dan juga
penyesuaian dengan alat ukur tinggi muka air konvensional yang sudah sering
digunakan yaitu pail scale yang memiliki tingkat akurasi berbeda-beda, misal 1
cm atau 5 cm.
.

Tabel 4. 2. pengukuran pada kondisi pemantul bergelombang


No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Alat penggaris
10
20
30
40
50
70
90
110
130
150

Pengukuran Sessor ultrasonik


Air kondisi gelombang
10,6
21,02
29,0
41,5
50,9
71,4
91,3
111,8
130,8
153,02

Kesalahan
0,6
1,02
-1
1,5
0,9
1,4
1,3
1,8
0,3
1,02

11
12
13
14
15

170
200
220
240
250

171,7
202,4
221,9
242,1
252,8

Error rata-rata

1,7
0,41
1,9
2,1
2,8

error
n pengukuran

17,82
15

= 1,18 cm
Jika distandarkan dengan tingkat kesalahan 1 cm, maka diperoleh nilai
kesalahan
Persen kesalahan

rerata error
X 100
akurasi

17,82
X 100
1 cm
= 1782%

Jika distandarkan dengan tingkat kesalahan 5 cm,


Persen kesalahan =

17,82
X 100
6 cm

= 297 %

Nilai kesalahan ukur


3
2.5
2
1.5
1
0.5
0

10

11

12

13

14

15

Gambar 21. Kurva nilai kesalahan dari setiap pengukuran pada air
bergelombang
Dari hasil pengukuran pada tabel diatas menunjukkan bahwa akurasi
hasil ukur sangat tergantung pada benda pemantul, bukan pada intensitas
sinyal. Akurasi hasil ukur dari sensor menjadi lebih tergantung kepada
pemanfaatannya. Jika akurasi lebih diutamakan, maka hasil ukur seperti pada
tabel diatas masih perlu dievaluasi kembali, tetapi jika sistem sensor hanya
akan digunakan sebagai lebih kepada indikator seperti untuk mendeteksi
keberadaan datangnya kenaikan suatu level air maka hasil ukur tersebut diatas
masih dapat ditolerir.
Sistem pengukur jarak dapat berfungsi dengan baik dalam mengukur
objek yang menjadi penghalang dengan prosentase error rata-rata sebesar 0,37
cm pada air kondisi diam dan 1,18 cm pada kondisi air bergelombang.
Waktu tempuh di atas di dapat sesuai dari perhitungan jarak dimana :
S = t in x 2, dengan v = 344 m/s, Maka t in = x 2 = 581.3953488 s Dari hasil
pengukuran di atas maka dapat diketahui, bahwa persentase kesalahan dari
pengukuran jarak menggunakan sensor ultrasonic PING adalah : Sebagai
sample perhitungan, diambil jarak pertama yaitu jarak sebenarnya 10 cm dan
jarak pengukuran 10,18 cm

3.

Pengujian Prosesing Data

4.

Pengujian Media Trasmisi

Gambar 3.5 Pengujian transmitter

Pengujian transmitter untuk melihat seberapa besar tingkat kestabilan


frekuensi, daya keluaran dan bentuk sinyal.

Gambar 3.4 Pengujian Receiver

Pada pengujian receiver untuk mengukur seberapa besar tingkat sensitivitas


penerima yang layak yang dapat dikonversi kedalam satuan jarak maksimum
yang dapat dicapai. Sumber sinyal disimulasi melalui signal generator. Dengan
mengatur daya sumber sinyal sampai pada level yang tidak cacat dapat
diperoleh tingkat sensitivitas receiver.

Gambar 3.6 Pengujian perangkat sensor level air pada permukaan air rata

Gambar 3.7 Pengujian perangkat sensor level air pada permukaan air
bergelombang

Pengujian perangkat sensor level air dilakukan untuk mendapatkan


kemampuan jarak yang dapat direspon oleh sensor terhadap tingkat kesalahan
ukur. Gelombang air yang mengalir pada bak simulasi air sungai diredam
melalui tabung yang diberi lubang agar gelombang air yang berada di dalam
tabung berkurang atau cenderung rata.

Gambar 3.8 Perangkat sensor level air

Perangkat sensor level air terdiri dari modul tranmitter, modul GSM, modul
mikrokontroler serta transmitter dan receiver.

SISTEM AUTOMATIC LINK ESTABLISHMENT (ALE) ; MENCARI


FREKUENSI KERJA RADIO YANG DAPAT DIGUNAKAN SECARA
OTOMATIS
Varuliantor Dear (YD0OXH)
Dalam komunikasi radio HF (3-30 MHz), khususnya propagasi
angkasa, penggunaan satu frekuensi kerja dibatasi oleh kondisi lapisan
ionosfer. Sifat lapisan ionosfer yang berubah setiap waktu, mengakibatkan satu
frekuensi kerja komunikasi antar dua stasiun radio tidak dapat digunakan
selama 24 jam penuh. Oleh karena itu salah satu solusi yang dilakukan adalah
dengan menyediakan lebih dari satu frekuensi kerja yang dapat dipilih. Dengan
solusi ini, apabila sebuah frekuensi kerja tidak dapat digunakan, maka dapat
digunakan frekuensi lain yang telah tersedia. Tentu saja antara kedua stasiun

tersebut frekuensi kerja yang digunakan harus sama agar dapat melakukan
komunikasi.
Untuk beberapa institusi ataupun lembaga tertentu, jumlah frekuensi
kerja yang dimilki dapat lebih dari 1 frekuensi. Dengan kondisi tersebut,
apabila suatu stasiun melakukan pemindahan frekuensi, maka stasiun radio
lawan komunikasi harus ikut menyesuaikan. Namun, jika lebih dari 2 atau 3
frekuensi yang dimiliki tentu saja berdampak pada waktu penyesuaian
frekuensi kerja yang hendak digunakan akan berlangsung cukup lama. Stasiun
radio lawan komunikasi akan memeriksa satu persatu frekuensi kerja yang
dimiliki terutama apabila tidak adanya jadwal yang telah disepakati. Dengan
kondisi tersebut, efektifitas waktu untuk mulai berkomunikasi akan menjadi
tidak baik atau boros.
Dalam tulisan kali ini, dibahas tentang suatu sistem yang bekerja
secara otomatis memilih frekuensi kerja yang tersedia guna memberikan
kemudahan bagi operator radio untuk mulai berkomunikasi. Sistem ini sangat
baik digunakan apabila frekuensi yang dimiliki lebih dari 1 frekuensi. Sistem
ini dikenal dengan nama sistem Automatic Link Establishment atau disingkat
dengan sebutan sistem ALE.
Mekanisme Sistem ALE
Sistem ALE terdiri dari 2 kondisi yang berbeda, yakni kondisi siaga (standby)
dan mencari hubungan komunikasi. Kondisi siaga dalam sistem ALE adalah
kondisi dimana radio melakukan pemantauan tiap frekuensi kerja yang
dimiliki. Secara otomatis frekuensi yang dimiliki oleh sistem tersebut akan
dipantau satu persatu untuk mengetahui apakah ada panggilan yang dilakukan
oleh stasiun lain. Jika pada suatu frekuensi tertentu ditangkap sinyal panggil

dari stasiun lain, maka radio akan menjawab panggilan tersebut dengan cara
mengirimkan secara otomatis sinyal respon (acknowledgement). Sinyal respon
tersebut merupakan indikasi bahwa stasiun tersebut dapat menerima sinyal dan
siap untuk berkomunikasi.
Untuk kondisi mencari hubungan komunikasi, sistem ALE akan
melakukan pemanggilan atau pengiriman sinyal panggil pada frekuensifrekuensi yang dimiliki. Satu-persatu frekuensi kerja yang telah di daftarkan
dalam sistem ALE tersebut, akan digunakan untuk mengirim sinyal panggil
secara otomatis. Setelah sinyal panggil dikirim, stasiun tersebut akan
memantau sinyal respon dari stasiun lawan. Apabila tidak diperoleh sinyal
respon, maka frekuensi lain yang terdaftar akan digunakan untuk mengirim
sinyal panggil dan memantau sinyal balasan. Apabila dari semua frekuensi
yang digunakan tidak diperoleh sinyal balasan, maka sistem ALE akan
meberitahu operator bahwa saat tersebut tidak dapat dilakukan komunikasi
berdasarkan frekuensi yang tersedia didalam sistem.
Secara sederhana mekanisme kerja sistem ALE dapat diilusrasikan pada
Gambar 1. Pada Gambar 1.(a) ditunjukkan bagaimana kodisi radio yang berada
dalam kondisi siaga. Pada gambar 1 (b) ditunjukkan kondisi radio saat mencari
hubungan komunikasi. Sedangkan gambar 1 (c) merupakan kondisi saat suatu
komunikasi antar stasiun mulai dilakukan .

Gambar 1. Ilustrasi mekanisme kerja sistem ALE saat (a) Kondisi standby,
(b) melakukan panggilan, dan (c) komunikasi antar 2 stasiun mulai dilakukan

Perangkat Sistem ALE


Dalam sistem ALE beberapa perangkat yang harus dimiliki antara lain adalah :
Antena Broadband, Pengendali radio, dan Pengolah Sinyal.

Antena

broadband merupakan antena dengan bandwidth yang cukup lebar, sehingga


apabila frekuensi kerja yang digunakan berubah, antena tersebut masih layak
digunakan (contoh nilai SWR = 1). Jenis antena ini sangat mudah diperoleh
dipasaran dengan sebutan antena folded dipole. Bentuk antena folded dipole
ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Bentuk antena folded Dipole.

Perangkat lain yang harus dimiliki dalam sistem ALE adalah berupa pengendali
radio dan pengolah sinyal yang merupakan perangkat keras berbasis sistem
komputer. Perangkat pengendali radio ini berfungsi untuk mengendalikan nilai
frekuensi kerja radio serta kondisi saat memancar atau menerima. Sedangkan
perangkat pengolah sinyal merupakan perangkat yang berfungsi untuk
mengolah sinyal guna mengetahui atau menerjemahkan sinyal yang diterima
maupun yang hendak dikirim. Kedua perangkat tersebut dapat berupa
komputer umum yang disertai dengan modem/ TNC radio beserta software
sistem ALE. Saat ini kedua perangkat tersebut telah tersedia dalam bentuk
radio dan dijual secara bebas. Perangkat sistem ALE telah diintegrasikan pada
sebuah perangkat radio komunikasi. Pada Gambar 3 ditunjukkan konfigurasi
sistem ALE menggunakan PC dan Modem/TNC serta contoh perangkat radio
yang sudah terintegrasi dengan sistem ALE.

Gambar 3. (a) Sitem ALE menggunakan PC dan TNC, (b) Perangkat radio
ICOM IF-7000 yang telah terintegrasi dengan sistem ALE

Keuntungan penerapan Sistem ALE


Beberapa keuntungan penerapan sistem ALE pada radio komunikasi adalah
kemudahan dalam menentukan frekuensi kerja komunikasi yang hendak
digunakan, serta kemampuan untuk mengirim pesan singkat dalam bentuk teks
seperti layaknya sms pada telepon. Kemudahan dalam menentukan frekuensi
kerja diperoleh karena sistem ini melakukan analisis propagasi yang terjadi
pada tiap-tiap frekuensi yang dimiliki. Frekuensi dengan kualitas terbaik akan
digunakan sebagai pilihan utama. Metoda proses analisa penentuan frekuensi
kerja tersebut dikenal dengan metoda Link Quality Analisis (LQA).
Pengiriman pesan singkat berupa data teks seperti layaknya sms pada telepon
selular (handphone), dapat dilakukan karena sistem ini menerapkan sistem
komunikasi data melalui radio. Informasi berupa identitas stasiun pemanggil
dan stasiun tujuan terlebih dahulu diubah kedalam bentuk data agar dapat
diterjemahkan oleh stasiun lawan. Dengan mekanisme sistem tersebut, data
teks berupa pesan singkat dapat dilakukan dan juga ditujukan secara khusus
pada stasiun yang diinginkan. Stasiun lain yang tidak ditujukan sebagai
penerima, tidak akan menerjemahkan informasi yang dipancarkan kendatipun
stasiuntersebut menerima sinyal yang dipancarkan.
Secara umum sistem ini sangat menguntungkan. Hal ini didasari karena sistem
ini juga dipersiapkan untuk penanganan kondisi bencana alam. Salah satu
contoh komunitas yang menggunakan sistem ALE dengan radio konvensional
untuk penanganan bencana alam (emergency communication) adalah
komunitas HFLink dengan alamat website http:hflink.net. Lapan saat ini telah
mendirikan 2 stasiun ALE yang berlokasi di Bandung dan Watukosek. Dengan
memanfaatkan jaringan tersebut penelitian yang dilakukan dan pengamatan

kondisi propagasi radio secara real time dapat dilihat berdasarkan data tiap-tiap
stasiun dan alamat website tersebut.
Tulisan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan memotivasi para
pembaca agar dapat menerapakan sistem ALE untuk kemudahan komunikasi
yang hendak dilakukan. Varuliantor Dear

Selama ini di Indonesia yg.umum kita kenal adalah repeater jenis duplex yg.
mengggunakan 2 frekuensi berbeda ( 1 untuk uplink atau input repeater dan 1
frekuensi

lainnya

untuk

downlink

atau

output

repeater

).

Praktis hampir semua ( atau semua ) radio repeater ( VHF atau UHF ) kita
menggunakan

sepasang

bh

frekuensi.

Namun sebuah repeater juga bisa dibangun hanya dengan menggunakan 1 bh.
frekuensi saja yang sekaligus menjadi frekuensi input maupun outputnya.
Repeater
a.
b.

Store

jenis
and

Echo

c.

Forward
repeater

ini
(

biasa
S&F
(

disebut
SNF

echo

Simplex

SAF

station

sebagai
)

repeater,
)

:
atau
atau

repeater.

Repeater type ini banyak digunakan di sejumlah Negara. Di Amerika


jumlahnya

cukup

signifikan.

Konfigurasi dasar/minimal dari Store and Forward repeater adalah terdiri dari 1
bh. Transceiver ( bisa sebuah HT ataupun Rig ) , 1 alat atau rangkaian perekam
suara ( recorder / voice memory ) atau perekam data jika repeaternya adalah

sebuah Data Sore & Forward Repeater , dan rangkaian controller.

Secara garis besar , kerja sebuah repeater simplex adalh sbb. :


Setelah

bagian

receivernya

menerima

mendeteksi

adanya

message/transmisi yang diterima , controllernya akan bekerja dan langgsung


menugaskan recorder untuk merekam berita yang masuk. Panjang ( lama )
message yang masuk selalu dibatasi ( misalnya max. 2menit ). Maka pengguna
repeater harus menghentikan transmisinya sebelum waktu cut-0ff tsb. Tahap
berikutnya adalah bagian Tx nya mulai memancar dengan modulasi yang berisi
suara ( atau data ) yang tadi sudah disimpan itu. Pancaran repeater ini tetap
menggunakan frekuensi yang sama dengan frekuensi bag. Penerima tadi.

Demikianlah repeater bekerja pada 1 frekuensi ( simplex ). Karena repeater


dipasang pada lokasi yang tinggi ( gunung / puncak bukit atau menara yang
tinggi ) maka coveragenya pada prinsipnya adalah sama dengan coverage
repeater

duplex.

Meski repeater simplex juga ada yang memiliki power pancaran yang besar ,
namun lebih banyak repeater jenis ini yang memiliki power yg relative kecil
( 10 watt , bahkan hanya 5 atau 6 watt dengan menggunakan HT sebagai
repeaternya ). Penggunaan power kecil tersebut sekaligus akan memperkuat &
mempertegas status repeater store & forward yang dikenal sebagai jenis
repeater yang sangat portable dan bisa dengan sangat cepat dipasang dan
dioperasikan.

Repeater jenis ini sangat ideal ( dan sebaiknya ) dimiliki / digunakan oleh tim
SAR dan para evakuator / petugas penolong pada kejadian2 darurat atau
bencana alam. Repeater store and forward tidak hanya bisa dioperasikan
menggunakan accu kecil namun juga banyak jenis yang bisa langsung cepat
mengudara

hanya

dengan

menggunakan

tenaga

battery

HT

nya.

Pada penggunaan repeater S&F , setiap operator ( mobile maupun fixed


station ) yang menggunakan repeater tsb. akan bisa mendengarkan suaranya
sendiri yang sedang diputar ulang oleh repeater ( repeater sekarang tidak
menggunakan tape recorder lagi melainkan semuanya sudah memakai alat
perekam

digital

).

Kekurangan utama dari repeater ini adalah ia membutuhkan waktu untuk


berkomunikasi yang lebih panjang / lama dibandingkan dengan duplex
repeater.
Namun repeater Store and Forward tetap memiliki kelebihan2 tersendiri
( bahkan yang modern memiliki berbagai fiture yang makin lengkap misalnya
bisa

diprogram

untuk

bermacam

kebutuhan

untuk

membacakan

pengumuman2 baik yg berkala maupun kontinyu dsb ).


Repeater jenis ini ada yang sangat kecil dan ringkas. Namun ada juga yg. dijual
hanya Unit Controller nya saja ( pemilik tinggal menambah / membelikan 1 bh
HT atau Rig yang perlu di connect ke controller ) , atau bisa/ada juga yang
dijual

dalam

konfigurasi

lain.

Lampiran

mar

You might also like