You are on page 1of 8

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Muamalah merupakan bagian dari rukun islam yang mengatur hubungan antara seseorang
dan orang lain. Contoh hukum islam yang termasuk muamalah salah satunya adalah ijarah
(sewa-menyewa). Seiring dengan perkembangan zaman, transaksi muamalah tidak terdapat
miniatur dari ulama klasik, transaksi tersebut merupakan terobosan baru dalam dunia
modern. Sebelum dijelaskan mengenai ijarah, terlebih dahulu akan dikemukakan mengenai
makna operasional ijarah itu sendiri. Idris Ahmad dalam bukunya yang berjudul Fiqh SyafiI,
berpendapat bahwa ijarah berarti upah-mengupah, hal ini terlihat ketika beliau menerangkan
rukun dan syarat upah-mengupah, mujir dan mustajir, sedangkan Kamaluddin A. Marzuki
sebagai penerjemah Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq menjelaskan makna ijarah dengan
sewa-menyewa.
Dari dua buku tersebut ada perbedaan terjemahan kata ijarah dari bahasa Arab ke dalam
bahasa Indonesia, antara sewa dan upah juga ada perbedaan makna operasional, sewa
biasanya digunakan untuk benda, sedangkan upah digunkan untuk tenaga. Namun dalam
bahasa Arab ijarah adalah sewa dan upah. Sehingga ketika kita melihat bagaimana aplikasi
dari ijarah itu sendiri dilapangan, maka kita bisa mendapati sebagai mana yang akan dibahas
dalam makalah ini. Yang mana diharapkan dengan hadirnya makalah ini dapat memberikan
masukan ilmu pengetahuan kepada kaum muslimin mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
sewa-menyewa.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud Al-ijarah ?
2. Apa saja yang menjadi dasar hukum Al-ijarah ?
3. Apa yang termasuk rukun dan syarat-syarat Al-ijarah ?
4. Bagaimana hukum upah dalam pekerjaan ibadah ?
5. Bagaimana cara menyewakan barang sewaan ?
6. Apa yang menyebabkan dibatalkannya Al-ijarah ?
7. Bagaimana cara pengembalian barang sewaan ?
1.3 Tujuan

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Al-Ijarah
Ijarah adalah perjanjian sewa-menyewa suatu barang dalam waktu tertentu melalui
pembayaran sewa. Secara etimologi al-ijarah berasal dari kata al-Ajru yang berarti
al-Iwadh/penggantian, dari sebab itulah ats-Tsawabu dalam konteks pahala dinamai juga alAjru/upah. Ijarah sebagai kontrak yang mengacu pada pengupahan atau penyewaan komoditas
untuk mendapatkan hak pemanfaatan atasnya. Ijarah juga mencakup penyewaan tenaga kerja dan
kontrak kerja untuk siapa pun dengan balasan imbalan atau upah. (Ayub, 2007)
2.2 Dasar Hukum

A. Al-Quran
Ayat di bawah ini mensyaratkan adanya imbalan atau upah mengupah atau
memperkerjakan orang lain yang punya keahlian dibidangnya.
Surat Az-zukhruf ayat 32 :

Artinya

Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara
mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan
sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat
mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang
mereka kumpulkan.

B. As-Sunnah
Dasar hukum al-ijarah dalam As-Sunnah terkandung pada hadits riwayat Ahmad dan
Abu Dawud :
Dahulu kami menyewa tanah dengan jalan membayar dari tanaman yang tumbuh.
Lalu Rasulullah melarang kami cara itu dan memerintahkan kami agar membayarnya
dengan uang mas atau perak.
2.3 Rukun dan Syarat-syarat Al-Ijarah
Rukun dalam ijarah menurut Jumhur Ulama ada 4, yaitu:
1.
2.
3.
4.

Dua orang yang berakad


Sighat (ijab dan kabul)
Sewa atau imbalan
Manfaat

1.
2.

3.
4.
5.
6.
7.
8.

Adapun syarat-syarat dalam al-ijarah menurut Nasrun Haroen yaitu:


Yang terkait dengan dua orang yang berakad. Menurut ulama Syafiiah disyaratkan telah
balig dan berakal.
Kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaannya melakukan akad al-ijarah.
Apabila salah seorang diantaranya melakukan akad dengan terpaksa maka akad al-ijarah
nya tidak sah.
Manfaat yang menjadi objek al-ijarah harus diketahui, sehingga tidak muncul
perselisihan di kemudian hari.
Objek al-ijarah tidak boleh diserahkan dan digunakan secara langsung dan tidak ada
cacatnya.
Objek al-ijarah itu sesuatu yang dihalalkan.
Yang disewakan itu bukan suatu kewajiban bagi penyewa.
Objek al-ijarah itu merupakan sesuatu yang bias disewakan.
Upah atau sewa dalam al-ijarah harus jelas.

2.4 Jenis Ijarah


a. Ijarah terhadap benda atau sewa menyewa
Terlaksana dengan penyerahan barang yang disewa kepada penyewa untuk dimanfaatkan,
seperti menyerahkan rumah, toko, kendaraan, pakaian, perhiasan, dan sebagainya untuk
dimanfaatkan penyewa. Dengan diserahkannya barang maka pihak yang menyewakan
berhak mendapatkan uang sewa.
b. Ijarah terhadap pekerjaan atau upah-mengupah
terlaksana kalau pihak yang disewa (pekerja) melaksanakan tanggung jawabnya
melakukan sesuatu, seperti membuat rumah yang dilakukan tukang, memperbaiki
computer oleh teknisi computer dan sebagainya. Dengan dilaksanakannya pekerjaan
tersebut, pihak pekerja baru berhak mendapatkan upah.

2.5 Upah dalam Pekerjaan Ibadah


Upah dalam perbuatan ibadah (ketaatan) seperti shalat, shaum, haji dan membaca Al-Quran
diperselisihkan kebolehannya oleh para ulama karena berbeda cara pandang terhadap pekerjaanpekerjaan ini. Mazdhab Hanafi berpendapat bahwa ijarah dalam perbuatan taat seperti menyewa
orang lain untuk shalat, shaum, haji atau membaca Al-Quran yang pahalanya dihadiahkan
kepada orang tertentu seperti kepada arwah ibu bapak dari yang menyewanya, azan, qamat dan

menjadi imam, haram hukumnya mengambil upah dari pekerjaan tersebut berdasarkan sabda
Rasulullah SAW.:

Bacalah olehmu Alquran dan jangan kamu (cari) makan dengan jalan itu

Jika kamu mengangkat seseorang menjadi muadzin, maka janganlah kamu punngut dari
adzan itu suatu upah
Perbuatan seperti azan, qomat, shalat, haji, puasa, membaca Al-quran dan zikir tergolong
perbuatan untuk taqarrub kepada Allah SWT., karenanya tidak boleh mengambil upah untuk
pekerjaan itu selain dari Allah SWT. Pekerjaan ini batal menurut hukum Islam, karena bila yang
membaca Al-quran bertujuan untuk memperoleh harta, maka tidak ada pahalanya. Dijelaskan
oleh Sayyid Sabiq, dalam kitabnya Fikih Sunnah, para ulama memfatwakan tentang kebolehan
mengambil upah yang dianggap sebagai perbuatan baik, seperti para pengajar Al-quran, guru di
sekolah, dan yang lainnya karena mereka membutuhkan tunjangan untuk dirinya dan orangorang yang menjadi tanggungannya, mengingat mereka tidak sempat melakukan pekerjaan lain
seperti dagang, bertani dan yang lainnya karena waktunya tersita untuk mengajarkan Al-quran
2.6 Menyewakan Barang Sewaan
Menurut Sayyid Sabiq, penyewa dibolehkan menyewakan lagi barang sewaannya pada
orang lain, dengan syarat penggunaan barang itu sesuai dengan penggunaan yang dijanjikan
ketika akad awal. Contohnya penyewaan tanah, ketika akad awal dinyatakan bahwa tanah
tersebut digunakan untuk perkebunan, kemudian tanah tersebut disewakan lagi kepada penyewa
kedua, maka tanah itu harus digunakan untuk perkebunan juga.
Apabila terjadi kerusakan pada benda/barang yang disewa, maka yang bertanggung
jawab adalah pemilik barang (al-Mujir) dengan ketentuan apabila benda/barang sewaan tersebut
rusak bukan akibat kelalaian penyewa (al-mustajir). Bila kerusakan benda yang disewa akibat
kelalaian penyewa maka yang bertanggung jawab adalah penyewa.
2.7 Pengambilan Sewaan

Madzhab Hambali berpendapat bahwa ketika al-ijarah telah berakhir penyewa harus
melepaskan barang sewaan dan tidak ada keharusan mengembalikan untuk mnyerahterimakannya seperti, barang titipan. Selanjutnya, mereka juga berpendapat bahwa setelah
berakhirnya masa akad al-ijarah dan tidak terjadi kerusakan yang tanpa disengaja, maka tidak
ada kewajiban menanggung bagi penyewa.
Menurut Sayyid Sabiq jika akad al-ijarah telah berakhir, penyewa berkewajiban
mengembalikan barang sewaan. Jika barang itu berbentuk barang yang dapat dipindah maka
wajib diserahkan langsung kepada pemiliknya, sedangkan jika barang tersebut berbentuk barang
yang tidak dapat dipindah maka wajib diserahkan kepada pemiliknya dalam keadaan seperti
semula.
2.8 Pembatalan dan Berakhirnya Al-Ijarah
Menurut Ulama Hanafiyah, akad al-ijarah boleh dibatalkan secara sepihak jika terdapat
uzur dari salah satu pihak yang berakad seperti, salah satu pihak wafat, atau kehilangan
kecakapan dalam bertindak hukum. Sedangkan menurut Jumhur Ulama berakhirnya akad alijarah disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.

Terjadinya cacat pada barang sewaan yang terjadi pada tangan penyewa.
Rusaknya barang yang disewakan, seperti rumah menjadi runtuh dan sebagainya.
Rusaknya barang yang diupahkan, seperti baju yang diupahkan untuk dijahitkan.
Terpenuhinya manfaat yang diadakan, berakhirnya masa yang telah ditentukan dan
selesainya pekerjaan.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA
Ayub, Muhammad, 2007. Understanding Islamic Finance. Jakarta: PT Gramedia PustakaUtama.
Sahrani, Sohari. 2011. Fikih Muamalah. Bogor: Ghalia Indonesia.
Mardani, 2011. Ayat-ayat dan Hadits Ekonomi Syariah. Jakarta: PT Raja Grafindo
Mardani, 2012. Fiqh Ekonomi Syariah. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

You might also like