You are on page 1of 9

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

A. Tinjauan Tentang Skizofrenia


1. Pengertian Skizofrenia
Beberapa ahli menjelaskan tentang skizofrenia antara lain oleh
Stuart Laraia (2005), yang menyatakan bahwa skizofrenia adalah
sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi berbagai area fungsi
individu, termasuk fungsi berpikir dan berkomunikasi, menerima dan
menginterpretasikan realitas, merasakan dan menunjukkan emosi dan
berperilaku

yang dapat diterima secara rasional. Sedangkan Videbeck

(2008), menyatakan bahwa skizofrenia suatu penyakit yang mempengaruhi


otak dan menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan dan
perilaku yang aneh dan terganggu. Didasarkan

pernyataan yang

dinyatakan oleh para ahli tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa


skizofrenia sebagai reaksi psikotik yang mempengaruhi pikiran, perasaan,
persepsi, perilaku dan hubungan sosial individu ke arah maladaptif.
2. Tipe dan Gambaran Klinis Skizofrenia
Skizofrenia dapat dibedakan menjadi beberapa tipe. Menurut
menurut

DSM IV-TR diantaranya: tipe paranoid, katatonik,

disorganisasi,

terdiferensiasi, dan residual. Skizofrenia paranoid

merupakan tipe skizofrenia yang paling banyak ditemukan diantara tipe


lainnya. Gambaran klinis skizofrenia paranoid didominasi oleh waham yg
secara relatif stabil berupa waham kejaran, rujukan, merasa dirinya tinggi,
misi khusus, perubahan tubuh atau kecemburuan. Gejala halusinasi yang
7

menyertai terutama halusinasi pendengaran, biasanya berupa suara-suara


yang mengancam atau memberi perintah atau halusinasi auditorik tanpa
bentuk verbal berupa bunyi pluit, mendengung atau bunyi tawa.
. 3. Gejala Skizofrenia
Gejala skizofrenia menurut PPDGJ III (dalam Maslim, 2001)
terdiri dari dari gejala positif diantaranya delusi, halusinasi, kekacauan
kognitif, disorganisasi bicara, dan perilaku katatonik seperti keadaan
gaduh gelisah sedangkan gejala negatif atau gejala samar berupa afek
datar, tidak memiliki kemauan, merasa tidak nyaman, dan menarik diri dari
masyarakat (Videbeck, 2008).
4. Terapi Psikofarmaka Pada Skizofrenia
Terapi psikofarmaka yang umum digunakan untuk klien skizofrenia
adalah antipsikotik. Obat antipsikotik ini dibedakan menjadi dua golongan
yaitu antipsikotik jenis tipikal (tradisional) dan atipikal. Antipsikotik
tipikal efektif digunakan untuk mengatasi gejala positif skizofrenia seperti
waham, halusinasi, gangguan berpikir, namun tidak memberikan efek yang
baik untuk perubahan gejala negatif. Klien yang mendapatkan obat ini
halusinasinya sering tidak muncul lagi namun perilaku menarik diri atau
keengganan untuk melaksanakan aktivitas tidak ada perbaikan.
Antipsikotik atipikal merupakan generasi baru dimana
kelebihannya tidak hanya mengatasi gejala positif tetapi efektif
menurunkan gejala negatif skizofrenia seperti menarik diri, hilangnya
motivasi dan kemauan, dan anhedonia. Obat yang termasuk golongan
atipikal antipsikosis yaitu clozapine, risperidone, olanzapine dan

quetiapine.

Golongan tipikal antipsikotik diantaranya: haloperidol,

trifloupherazine, chlorpromazine (CPZ) dan loxapine (Littrel & Littrel,


1998 dalam Videbeck, 2008).
Obat antipsikotik tersebut kadang perlu dikombinasikan dengan
pemberian obat lainnya tergantung gejala yang ditunjukkan oleh klien.
Skizofrenia yang menunjukkan gejala akut perilaku kekerasan dapat
diberikan tambahan obat berupa antimanik seperti lithium (Varcarolis,
Carson & Shoemaker, 2006). Obat ini berfungsi untuk membantu menekan
episode kekerasan yang dialami oleh klien
B. Tinjauan Tentang Perilaku Kekerasan
1. Pengertian Perilaku Kekerasan
Kemarahan adalah suatu perasaan atau emosi yang timbul
sebagai reaksi terhadap kecemasan yang meningkat dan dirasakan sebagai
ancaman (Riyadi & Purwanto 2009). Marah tidak harus memiliki tujuan
khusus. Marah lebih merujuk kepada suatu perangkat plerasaan-perasaan
tertentu yang biasanya disebut dengan perasaan marah. Dengan kata lain
kemarahana dalah perasaan jengkel yang muncul sebagai respons terhadap
kecemasaan yang dirasakan sebagai ancaman oleh individu
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan
melukai atau mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan secara
verbal atau fisik (Stuart & Laraia, 2005).

Perilaku kekerasan adalah

tindakan mencederai orang lain, diri sendiri, merusak harta benda


(lingkungan), dan ancaman secara verbal (Keliat, 2003). Kesimpulan dari

pernyataan diatas, bahwa perilaku kekerasan adalah perilaku melukai diri


sendiri, orang lain, dan lingkungan baik secara verbal maupun fisik.
2. Rentang Respon marah
Respon Adapatif

Asertif

Frustasi

Respon Maladapatif

Pasif

Agresif

Perilaku Kekerasan

Gambar 1. Rentang Respon Marah

Perilaku aserfif merupakan perilaku individu yang marnpu rnenyatakan


atau mengungkapkan rasa marah atau tidak setuiu tanpa menyakiti atau
menyalahkan orang lain. Dengan perilaku ini dapat melegakan perasaan
pada individu. Frustrasi merupakan respons yang terjadi akibat gagal
mencapai tujuan. Perilaku pasif merupakan perilaku individu yang tidak
mampu untuk mengungkapkan perasaan marah yang sedang dialami,
dilakukan dengan tujuan menghindari suatu tuntutan nyata. Agresif
merupakan suatu perilaku yang menyertai marah, merupakan dorongan
mental untuk bertindak dan masih terkontrol. Individu agresif tidak
mempedulikan hak orang lain. Bagi individu ini hidup adalah medan
peperangan. Biasanya lndividu kurang percaya diri. Harga dirinya
ditingkatkan dengan cara menguasai orang lain untuk membuktikan
kemampuan yang dimilikinya. Violent (amuk) adalah rasa marah dan
bermusuhan yang kuat dan disertai kehitangan kontrol, yang dapat
merusak diri dan lingkungan (Riyadi & Purwanto 2009).

10

3. Proses terjadinya Perilaku Kekerasan


Proses terjadinya perilaku kekerasan dapat dijelaskan dengan
menggunakan konsep stress adaptasi Stuart (2009, dalam Keliat &
Akemat, 2010), yang meliputi stresor dari faktor predisposisi dan
presipitasi sebagai berikut :
4. Faktor Predisposisi
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan meliputi :
a. Faktor Biologi
Faktor biologis terjadinya perilaku kekerasan pada individu dikaitkan
faktor herediter mengalami gangguan jiwa, riwayat penyakit atau
trauma kepala dan adanya riwayat penggunaan NAPZA.
b. Faktor Psikologis
Perilaku kekerasan merupakan respon emosional yang maladaptif
akibat terakumulasinya frustrasi. Pengalaman marah adalah akibat dari
respon psikologis terhadap stimulus eksternal, internal maupun
lingkungan sedangkan perilaku kekerasan terjadi sebagai hasil dari
akumulasi frustrasi. Frustrasi terjadi akibat apabila keinginan individu
untuk mencapai sesuatu menemui hambatan atau kegagalan terkait
kesehatan fisik dan mental yang terganggu atau hubungan sosial yang
terganggu sehingga kebutuhan melalui perilaku konstruktif tidak dapat
dipenuhi maka yang akan muncul adalah individu berperilaku
destruktif.
c. Faktor Sosial Budaya

11

Sikap individu berperilaku dalam mengekspresikan marah dipengaruhi


oleh fungsi dan hubungan sosial yang terganggu disertai lingkungan
sosial yang mengancam akan kebutuhan individu. Norma budaya
dapat mempengaruhi individu untuk berespon baik asertif maupun
agresif. Perilaku kekerasan dapat dipelajari secara langsung melalui
proses sosialisasi melalui proses meniru dari lingkungan yang
menggunakan perilaku kekerasan sebagai cara menyelesaikan
masalah.
d. Faktor Predisposisi
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan pada
setiap individu bersifat unik, berbeda satu orang dengan orang lain
baik terhadap stressor internal maupun eksternal.
Faktor yang berhubungan dengan stressor secara internal meliputi
keinginan yang tidak terpenuhi, perasaan kehilangan dan kegagalan
akan kehidupan seperti pekerjaan, pendidikan dan kehilangan orang
yang dicintai serta kekhawatiran terhadap penyakit fisik.
Faktor yang berhubungan dengan stressor secara eksternal meliputi
kegiatan atau kejadian sosial seperti tindakan kekerasan, kritikan yang
menghina, lingkungan yang terlalu ribut, putusnya hubungan sosial,
putus kerja dan sekolah.
5 Tanda dan Gejala Perilaku Kekerasan
Tanda dan gejala perilaku kekerasan atau risiko perilaku
kekerasan dapat diobservas.
a. Fisik

12

Tanda dan gejala secara fisik pada klien perilaku kekerasan dapat
berupa ketegangan tubuh, muka merah, pandangan tajam, nadi dan
pernapasan meningkat (Rawlin 1993). Townsend (1995) menambahkan
dengan ekspresi wajah tampak tegang dan berkeringat.
b.

Emosional
tanda dan gejala secara emosional pada klien dengan perilaku kekerasan
berupa: agitasi meningkat, cemas, mudah frustasi, tempertantrum,
merasa tidak aman, merasa terganggu, jengkel, cepat marah, muram,
lesu, cemas, suara keras, mengeluarkan sumpah serapah, berteriak,
memaksa meminta hak istimewa, dan menolak instruksi
Laraia, 2005; Rawlin, 1993; Keliat,

(Stuart &

2009). Townsend (1995)

menyatakan secara emosional maka, gejala halusinasi berupa merasa


ketakutan, mudah tersinggung, jengkel , merasa curiga, dan mudah
marah dan mengalami perubahan mood yang cepat mudah tersinggung,
cepat jengkel dan marah ketika mendapatkan stimulus yang tidak
menyenangkan.
c.

Kognitif
Rawlin (1993) menyatakan secara kognitif gejala klien dengan perilaku
kekerasan adalah: mudah bingung, penuh khayalan, senang membantah,
menentang, mengancam secara verbal, dan merencanakan perilaku
kekerasan yang akan dilakukan. Gejala kognitif lainnya berupa: senang
berdebat, bawel, pembicaraan mendominasi, meremehkan, menekan
pikiran untuk menyerang, mengacaukan pikiran, ketidak mampuan
belajar, penurunan perhatian, penurunan fungsi intelektual (Keliat,

13

2009). Gejala yang tampak berupa pembicaraan kacau dan tidak masuk
akal, tidak mampu membedakan yang nyata dengan yang tidak nyata
(Townsend, 1995).
d.

Sosial
Tanda dan gejala secara sosial ditemukan pada klien perilaku kekerasan
menurut Rawlin (1993) adalah menggertak, suara keras, kata-kata
menekan, marah. Gejala lain seperti: menarik diri dari hubungan sosial,
pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, humor, mengabaikan hak
orang lain (Keliat, 1996; Stuart, 2009).

e.

Perilaku
Perilaku yang tampak pada klien dengan perilaku kekerasan
diantaranya: mondar mandir, tidak mampu duduk diam, merusak benda,
melukai orang lain (Stuart & Laraia, 2005).

f.

Tindakan Keperawatan pada Klien Perilaku Kekerasan


Tindakan keperawatan yang diberikan pada klien perilaku kekerasan
yang terjadi secara aktual lebih ditekankan kepada penyelamatan klien
dan

lingkungan

sekitarnya

melalui

manajemen

krisis

dengan

menggunakan psikofarmako maupun secara fisik dengan seklusi atau


restrain (Stuart, 2009).

Tindakan keperawatan pada klien risiko

perilaku kekerasan adalah mengajarkan klien mengenal dan memahami


perilaku kekerasan yang dilakukannya serta mengajarkan cara
mengendalikan marah/perilaku kekerasan secara fisik, sosial/verbal,
spiritual dan pemanfaatan obat (Keliat & Akemat, 2010).

14

Lebih lanjut Keliat dan Akemat (2010), menyatakan bahwa jika klien
perilaku kekerasan telah mendapatkan terapi psikofarmako, maka hal
pertama yang dilatih perawat pentingnya kepatuhan minum obat. Selain
itu tindakan keperawatan untuk mengatasi risiko perilaku kekerasan
ataupun perilaku kekerasan adalah menjelaskan penyebab marah,
perasaan saat terjadinya marah, perilaku yang dilakukan saat marah,
melatih cara mengontrol rasa marah dengan pengungkapan marah
secara tepat sehingga tidak diungkapkan dalam bentuk perilaku
kekerasan.

15

You might also like