You are on page 1of 10

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perdarahan post partum (PPP) adalah perdarahan yang mencapai 500 ml atau lebih
setelah bayi lahir. Dibedakan pada PPP primer / dini yang terjadi dalam 24 jam pertama
dan PPP sekunder /lanjut, yang terjadi setelah 24 jam . Pada umumnya PPP primer lebih
berat dan lebih tinggi tingkat morbiditasnya dan mortalitasnya dibandingkan yang
sekunder. PPP masih merupakan dari kausa kematian ibu (AKI) di seluruh dunia
terutama di negara sedang berkembang. Penyebab klasiknya adalah : atonia uteri, robekan
jalan lahir, sisa plasenta dan dalam kondisi yang amat jarang, yang diakibatkan oleh
gangguan mekanisme pembekuan darah. Masalah ini sudah sering dibicarakan tetapi
kadang kala masih ada ketidak-sepakatan tentang urutan langkah-langkah intervensi
yang harus diambil , metode terbaik pilihan dan syarat-syarat yang diperlukan supaya
tindakan menjadi aman. Secara internasional, WHO telah melakukan Technical
Consultation on The Prevention of Post Partum Hemorrhage di Jenewa pada bulan
Oktober 2006. Telah dikenal uterotonika, pertolongan aktif kala tiga, pemakaian
prostaglandin dan turunannya sampai tindakan radikal bedah operatif menyebabkan
masalah ini dibicarakan lagi untuk mencari tuntunan praktis yang berbasis bukti.
Kalaupun terhindar dari kematian , PPP tetap menyisakan morbiditas berupa anmemia
kronis, penyembuahan yang lama, mudahnya kena infeksi sampai histerektomi serta
nekrosis lobus anterior hipofise ( syndrome Seehan) serta dampak sosiopsikologis.
Kegagalan dalam pertolongan terhadap PPP sering dihubungkan dengan adanya 3
terlambat berupa : terlambat mengambil keputusan/merujuk ; terlambat sampai di tempat
rujukan dan juga terlambat mendapat pertolongan yang adekwat di tempat rujukan.
Evaluasi menyeluruh menyatakan bahwa AKI karena PPP disebabkan oleh too little
done and too late Meskipun tindakan bedah merupakan pilihan terakhir maka perlu
dibicarakan apa indikasinya, kapan dilakukan dan apa saja modalitasnya.
B. Tujuan
Adapun tujuan penulisanini adalah untuk memenuhi tugas kepanitraan klinik dokter
muda di RSUD Jendral Ahmad Yani, Kota Metro

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perdarahan Post Partum
Perdarahan postpartum adalah perdarahan pervaginam 500 cc atau lebih setelah kala III
selesai (setelah plasenta lahir) (Wiknjosastro, 2000). Perdarahan postpartum terjadi
setelah kala III persalinan selesai (Saifuddin, 2002). Perdarahan postpartum ada kalanya
merupakan perdarahan yang hebat dan menakutkan sehingga dalam waktu singkat wanita
jatuh ke dalam syok, ataupun merupakan perdarahan yang menetes perlahan-lahan tetapi
terus menerus dan ini juga berbahaya karena akhirnya jumlah perdarahan menjadi banyak
yang mengakibatkan wanita menjadi lemas dan juga jatuh dalam syok (Mochtar, 1995).
Penyebab Perdarahan Postpartum
Penyebab perdarahan Postpartum antara lain :
1. Atonia uteri 50% - 60%
2. Retensio plasenta 16% - 17%
3. Sisa plasenta 23% - 24%
4. Laserasi jalan lahir 4% - 5%
5. Kelainan darah 0,5% - 0,8% (Mochtar, 1995).
Klasifikasi Perdarahan Postpartum
Klasifikasi klinis perdarahan postpartum yaitu (Manuaba, 1998) :
1. Perdarahan Postpartum Primer yaitu perdarahan pasca persalinan yang terjadi dalam 24
jam pertama kelahiran. Penyebab utama perdarahan postpartum primer adalah atonia
uteri, retensio plasenta, sisa plasenta, robekan jalan lahir dan inversio uteri. Terbanyak
dalam 2 jam pertama.
2. Perdarahan Postpartum Sekunder yaitu perdarahan pascapersalinan yang terjadi setelah
24 jam pertama kelahiran. Perdarahan postpartum sekunder disebabkan oleh infeksi,
penyusutan rahim yang tidak baik, atau sisa plasenta yang tertinggal.

Gejala Klinik Perdarahan Postpartum

Seorang wanita hamil yang sehat dapat kehilangan darah sebanyak 10% dari volume total
tanpa mengalami gejala-gejala klinik, gejala-gejala baru tampak pada kehilangan darah
sebanyak 20%. Gejala klinik berupa perdarahan pervaginam yang terus-menerus setelah
bayi lahir. Kehilangan banyak darah tersebut menimbulkan tanda-tanda syok yaitu
penderita pucat, tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan kecil, ekstrimitas dingin,
dan lain-lain (Wiknjosastro, 2005).
Pengertian Perdarahan Postpartum Primer
Perdarahan Postpartum Primer yaitu perdarahan pasca persalinan yang terjadi dalam 24
jam pertama kelahiran. Penyebab utama perdarahan postpartum primer adalah atonia
uteri, retensio plasenta, sisa plasenta, robekan jalan lahir dan inversio uteri (Manuaba,
1998).
B. Penyebab Perdarahan Postpartum Primer
a. Atonia Uteri
Atonia uteri merupakan kegagalan miometrium untuk berkontraksi setelah persalinan
sehingga uterus dalam keadaan relaksasi penuh, melebar, lembek dan tidak mampu
menjalankan fungsi oklusi pembuluh darah. Akibat dari atonia uteri ini adalah terjadinya
perdarahan. Perdarahan pada atonia uteri ini berasal dari pembuluh darah yang terbuka
pada bekas menempelnya plasenta yang lepas sebagian atau lepas keseluruhan (Faisal,
2008).
Miometrium terdiri dari tiga lapisan dan lapisan tengah merupakan bagian yang
terpenting dalam hal kontraksi untuk menghentikan perdarahan pasca persalinan.
Miometrum lapisan tengah tersusun sebagai anyaman dan ditembus oeh pembuluh darah.
Masing-masing serabut mempunyai dua buah lengkungan sehingga tiap-tiap dua buah
serabut kira-kira berbentuk angka delapan. Setelah partus, dengan adanya susunan otot
seperti tersebut diatas, jika otot berkontraksi akan menjepit pembuluh darah.
Ketidakmampuan miometrium untuk berkontraksi ini akan menyebabkan terjadinya
pendarahan pasca persalinan (Faisal, 2008).
Atonia uteri dapat terjadi sebagai akibat :
1. Partus lama
2. Pembesaran uterus yang berlebihan pada waktu hamil, seperti pada hamil kembar,
hidramnion atau janin besar
3. Multiparitas
4. Anestesi yang dalam
5. Anestesi lumbal

Selain karena sebab di atas atonia uteri juga dapat timbul karena salah penanganan kala
III persalinan, yaitu memijat uterus dan mendorongnya ke bawah dalam usaha melahirkan
plasenta, dimana sebenarnya plasenta belum terlepas dari dinding uterus (Wiknjosastro,
2005).
b. Retensio Plasenta
Retensio plasenta adalah keadaan dimana plasenta belum lahir setengah jam setelah janin
lahir. Hal tersebut disebabkan (Wiknjosastro, 2005) :
1. Plasenta belum lepas dari dinding uterus
2. Plasenta sudah lepas, akan tetapi belum dilahirkan.
Bila plasenta belum lepas sama sekali tidak akan terjadi perdarahan, tapi bila sebagian
plasenta sudah lepas akan terjadi perdarahan dan ini merupakan indikasi untuk segera
mengeluarkannya. Plasenta belum lepas dari dinding uterus disebabkan :
1. Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta (plasenta adhesiva)
2. Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab villi korialis menembus desidua
sampai miometrium (plasenta akreta)
3. Plasenta merekat erat pada dinding uterus oleh sebab villi korialis menembus sampai di
bawah peritoneum (plasenta perkreta).
Plasenta sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar, disebabkan oleh tidak
adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah penanganan kala III, sehingga terjadi
lingkaran kontriksi pada bagian bawah uterus yang menghalangi keluarnya plasenta
(inkarserasio plasenta).
c. Sisa Plasenta
Sewaktu suatu bagian dari plasenta tertinggal, maka uterus tidak dapat berkontraksi
secara efektif dan keadaan ini dapat menimbulkan perdarahan. Perdarahan postpartum
yang terjadi segera jarang disebabkan oleh retensi potongan-potongan kecil plasenta.
Inspeksi plasenta segera setelah persalinan bayi harus menjadi tindakan rutin. Jika ada
bagian plasenta yang hilang, uterus harus dieksplorasi dan potongan plasenta dikeluarkan
(Faisal, 2008).

d. Robekan Jalan Lahir

Robekan jalan lahir dapat terjadi bersamaan dengan atonia uteri. Perdarahan pasca
persalinan dengan uterus yang berkontraksi baik biasanya disebabkan oleh robekan
serviks atau vagina (Saifuddin, 2002). Setelah persalinan harus selalu dilakukan
pemeriksaan vulva dan perineum. Pemeriksaan vagina dan serviks dengan spekulum juga
perlu dilakukan setelah persalinan.
Robekan jalan lahir selalu memberikan perdarahan dalam jumlah yang bervariasi
banyaknya. Perdarahan yang berasal dari jalan lahir selalu harus dievaluasi yaitu sumber
dan jumlah perdarahan sehingga dapat diatasi. Sumber perdarahan dapat berasal dari
perineum, vagina, serviks, dan robekan uterus (ruptura uteri). Perdarahan dapat dalam
bentuk hematoma dan robekan jalan lahir dengan perdarahan bersifat arterill atau
pecahnya pembuluh darah vena. Untuk dapat menetapkan sumber perdarahan dapat
dilakukan dengan pemeriksaan dalam dan pemeriksaan spekulum setelah sumber
perdarahan diketahui dengan pasti, perdarahan dihentikan dengan melakukan ligasi
(Manuaba, 1998).
e. Inversio Uteri
Inversio uteri merupakan keadaan dimana fundus uteri masuk ke dalam kavum uteri,
dapat secara mendadak atau terjadi perlahan (Manuaba, 1998).
Pada inversio uteri bagian atas uterus memasuki kavum uteri, sehingga fundus uteri
sebelah dalam menonjol ke dalam kavum uteri. Peristiwa ini jarang sekali ditemukan,
terjadi tiba-tiba dalam kala III atau segera setelah plasenta keluar. Sebab inversio uteri
yang tersering adalah kesalahan dalam memimpin kala III, yaitu menekan fundus uteri
terlalu kuat dan menarik tali pusat pada plasenta yang belum terlepas dari insersinya.
Menurut perkembangannya inversio uteri dibagi dalam beberapa tingkat (Wiknjosastro,
2005) :
1. Fundus uteri menonjol ke dalam kavum uteri, tetapi belum keluar dari ruang tersebut
2. Korpus uteri yang terbalik sudah masuk ke dalam vagina
3. Uterus dengan vagina semuanya terbalik, untuk sebagian besar terletak di luar vagina.
Gejala-gejala inversio uteri pada permulaan tidak selalu jelas. Akan tetapi, apabila
kelainan itu sejak awal tumbuh dengan cepat, seringkali timbul rasa nyeri yang keras dan
bisa menyebabkan syok.
C. Pencegahan Perdarahan Postpartum Primer
Penanganan terbaik perdarahan postpartum adalah pencegahan. Mencegah atau sekurangkurangnya bersiap siaga pada kasus-kasus yang disangka akan terjadi perdarahan adalah
penting. Tindakan pencegahan tidak saja dilakukan sewaktu bersalin, namun sudah
dimulai sejak wanita hamil dengan antenatal care yang baik. Pengawasan antenatal
memberikan manfaat dengan ditemukannya berbagai kelainan secara dini, sehingga dapat
diperhitungkan dan dipersiapkan langkah-langkah dalam pertolongan persalinannya.
Kunjungan pelayanan antenatal bagi ibu hamil paling sedikit 4 kali kunjungan dengan
distribusi sekali pada trimester I, sekali trimester II, dan dua kali pada trimester III.

Anemia dalam kehamilan harus diobati karena perdarahan dalam batas-batas normal
dapat membahayakan penderita yang sudah anemia. Kadar fibrinogen perlu diperiksa
pada perdarahan yang banyak, kematian janin dalam uterus dan solusio plasenta. Apabila
sebelumnya penderita sudah mengalami perdarahan postpartum, persalinan harus
berlangsung di rumah sakit. Di rumah sakit diperiksa keadaan fisik, keadaan umum,
kadar Hb, golongan darah dan bila mungkin tersedia donor darah. Sambil mengawasi
persalinan, dipersiapkan keperluan untuk infus dan obat-obatan penguat rahim (uterus
tonikum). Setelah ketuban pecah kepala janin mulai membuka vulva, infus dipasang dan
sewaktu bayi lahir diberikan ampul methergin atau kombinasi 5 satuan sintosinon
(sintometrin intravena) (Mochtar, 1995).
Dalam kala III uterus jangan dipijat dan didorong ke bawah sebelum plasenta lepas dari
dindingnya. Penggunaan oksitosin sangat penting untuk mencegah perdarahan
postpartum. Sepuluh satuan oksitosin diberikan intramuskulus segera setelah anak lahir
untuk mempercepat pelepasan plasenta. Sesudah plasenta lahir hendaknya diberikan 0,2
mg ergometrin intramuskulus. Kadang-kadang pemberian ergometrin, setelah bahu depan
bayi lahir dengan tekanan pada fundus uteri plasenta dapat dikeluarkan dengan segera
tanpa banyak perdarahan. Namun salah satu kerugian dari pemberian ergometrin setelah
bahu depan bayi lahir adalah kemungkinan terjadinya jepitan (trapping) terhadap bayi
kedua pada persalinan gemelli yang tidak diketahui sebelumnya (Wiknjosastro, 2005).
Pada perdarahan yang timbul setelah anak lahir dua hal harus dilakukan, yakni
menghentikan perdarahan secepat mungkin dan mengatasi akibat perdarahan. Setelah
plasenta lahir perlu ditentukan apakah disini dihadapi perdarahan karena atonia uteri atau
karena perlukaan jalan lahir. Jika plasenta belum lahir (retensio plasenta), segera
dilakukan tindakan untuk mengeluarkannya (Wiknjosastro, 2005).
D. Tatalaksana
Dengan manajemen Haemostasis yang singkatannya adalah

1. ask for HELP. Segera memninta pertolongan, atau dirujuk ke rumah sakit bila
persalinan di bidan/PKM. Kehadiran SpOG, bidan, ahli anasthesi dan hematologist
sangat penting. Pendekatan multidisipliner dapat mengoptimalkan monitoring dan
pemberian cairan. Monitoring elektrolit dan parameter koagulasi adalah data yang
penting untuk penetuan tahap berikutnya.
2. Assess and resuscitate. Penting sekali untuk segera menilai jumlah darah yang keluar
seakurat mungkin dan menentukan derajat perubahan hemodinamik. Lebih baik
overestimate jumlah darah yang hilang dan bersikap proaktif daripada underestimate
dan bersikap menunggu/pasif. Nilai tingkat kesadaran, nadi, tekanan darah, dan bila
fasilitas memungkinkan, saturasi oksigen harus dimonitor. Saat memasang jalur
infuse dengan abbocath 14G 16G, harus segera diambil specimen darah untuk
pemeriksaan Hb, profil pembekuan darah, elektrolit , golongan darah serta
crossmatch. (RIMOT = resusitasi, infuse 2 jalur, monitoring keadaan umum, nadi
dan tekanan darah, oksigen dan pendekatan tim). Diberikan cairan kristaloid dan
koloid secara cepat sambil menunggu hasil crossmatch.

3. Establish etiology , Ensure Availability of Blood. Sambil melakukan resusitasi juga


dilakukan upaya menentukan etiologi PPS. Nilai kontrksi uterus, cari adanya cairan
bebas di cavum abdomen, bila ada risiko rupture (pada kasus bekas seksio atau partus
buatan yang sulit), atau bila kondisi pasien lebih buruk dari pada jumlah darah yang
keluar.Harus dicek ulang kelengkapan plasenta dan selaput plasenta yang telah
berhasil dikeluarkan. Bila perdarahan terjadi akibat morbidly adherent placentae saat
seksio sesarea dapat diupayakan hemostatic sutures, ligasi arteri hipogastrika dan
embolisasi arteria uterine. Keadaan ini sering terjadi pada kasus plasenta previa
pasca seksio sesarea.
4. Massage the uterus . Perdarahan setelah plasenta lahir harus segera ditangani dengan
masase uterus dan pemberian obat-obatan uterotonika. Bila uterus tetap lembek harus
dilakukan kompresi bimanual interna dengan menggunakan kepalan tangan kanan
didalam uterus dan telapak tangan kiri melakukan masase fundus uteri.
5. Oxytocin infusion / Prost glandin. Dapat diberikan oksitosin 40 Unit dalam 500 cc.
normal saline dan dipasang dengan kecepatan 125 cc/jam . Hindari kelebihan cairan
karena dapat menyebabkan edema pulmoner hingga edema otak yang pada akhirnya
dapat menyebabkan kejang karena hiponatriemia. Hal ini timbul karena efek
antideuretic hormone (ADH)-like effect dan oksitosin. Jadi monitoring ketat keluar
masuknya cairan sangat penting dalam pemberian oksitosin dosis besar. Bila PPP
tidak berespon dengan pemberian ergometrin dan oksitosin, dapat diberikan
misioprostol 800 1000 ug per-rektal. Selain itu perlu diberikan transfusi darah atau
fresh frozen plasma (FFP) untuk menggantikan factor pembekuan yang turut hilang.
Direkomendasikan pemberian 1 liter FFP ( 15 ml/kg ) setiap 6 unit darah.
Pertahankan trombosit diatas 50.000; dan bila perlu diberikan transfuse trombosit..
Cryoprecipitat direkomendasikan bila terjadi DIC yang ditandai dengan kadar
fibrinogen < 1gr/dl ( 10 gr /L). \
6. Shift to theatre. Bila perdarahan masih tetap terjadi , segera pasien dievakuasi ke
ruang operasi. Pastikan untuk menyingkirkan sisa plasenta atau selaput ketuban dan
kalau perlu dengan eksplorasi kuret. Kompresi bimanual dilakukan selama ibu
dibawa ke ruang operasi.
7. Tamponade or uterine packing. Bila perdarahan masih berlangsung setelah langkah
langkah diatas, pikirkan juga kemungkinan adanya koagulopati yang menyertai
atonia yang refrakter. Tamponade uterus dapat membantu mengurangi perdarahan.
Tindakan ini juga dapat memberi kesempatan koreksi factor pembekuan. Segera
libatkan tambahan tenaga dokter spesialis kebidanan dan hematologist dan persiapan
ruang ICU. Dapat dilakukan pemasangan Sengstaken Tube yang mempunyai nilai
prediksi positif 87%. Variasinya bisa dipakai Sengstaken Blakemore Oesophageal
Catheter (SBOC) atau dapat dipakai Rush Urological Hydrostatic Baloon dan Bakri
SOS Baloon. Biasanya dimasukkan 300 400 cc cairan untuk mencapai tekanan
yang cukup adekuat sehingga perdarahan berhenti. Atau yang paling sederhana dan
murah adalah tamponade memekai kondom-kateter, yang bisa temporer atau final
tergantung masih ada perdarahan atau tidak.

8. Apply compression suture. Pertimbangan untuk bedah konservatif maupun radikal


adalah sangat krusial , kritis dan perlu banyak pertimbangan. Perkiraan darah yang
telah hilang, yang masih berlangsung , keadaan hemodinamik dan paritas
memerlukan keputusan yang tepat dan cepat. B-Lynch suture dianjurkan dengan
memakai chromic catgut no. 2 atau Vicryl 0 (Ethicon). Cara ini dipilih bila tes
dengan manual kompresi berhasil menghentikan perdarahan. Cara ini banyak
dikembangkan modifikasi disesuaikan dengan fasilitas dan cara mengerjakan yang
lebih simple.
9. Systemic Pelvic Devascularization : ligasi arteria uterine
hypogastrica.

atau ligasi arteri

10. Subtotal or total abdominal hysterectomy. Tujuannya untuk menyelamatkan nyawa


dan diutamakan pada ibu yang sudah mempunyai anak cukup (complete family).

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Perdarahan post partum primer adalah perdarahan yang terjadi 24 jam pertama, penyebab
utama perdarahan post partum primer adalah atonis, retensio placenta, sisa plasenta, dan
robekan jalan lahir terbanyak dalam 2 jam post partum.Perdarahan post partum yang
disebabkan oleh atonia uteri atau sisa placenta sering berlangsung sangat banyak dan
cepat. . Gejala hpp yaitu karena kehilangan banyak darah tersebut menimbulkan tandatanda syok yaitu penderita pucat, tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan kecil,
ekstrimitas dingin.
Penyebab atau etiologi dari hpp yaitu 4T Tonus, Trombin, Tissue, Trauma kelainan Tonus
contohnya atonia uteri, kelainan Trombin yaitu koagulopati, kelainan tissue yaitu retensio
plasenta dan trauma disebabkan robekan jalan lahir yaitu vagina servik perineum dll.
Tatalaksana hpp dengan Haemostasis yaitu help, assesment, establish etiologi, massage
uterus, oxytosin, shift to threate, tamponade uteri, apply compresion suture, systemic
pelvic devascularization, subtotal or total hysterectomy

DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Gilstrap III LC, Wenstrom KD (Eds) :
Williams Obstetrics, 22nd Edition 2005 , Chapter 35 Obstetrical Hemorrhage : 809 49
2. WHO Recommendation for the prevention of Post partum Haemorrhage. Geneve , 2006
3. Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI . Pedoman Pengelolaan Perdarahan Pascasalin di
Indonesia. Agustus 2009.

4. Ramanathan G, Arulkumaran S. Post partum hemorrhage. J Obstet Gynaecol Can 2006;


28(11) : 967-7 Anderson JM, Etches ED. Prevention and management of postpartum
hemorrhage. Am Fam Physician 2007; 75: 875-82
5. NSW Pregnancy & Newborn Services Network. Framework for prevention, early recognition
and management of postpartum hemorrhage . November 2002, NSW Health Dept.Sidney
2002.

You might also like