You are on page 1of 31

LAPORAN KASUS

P1A0 Umur 22 Tahun, 1 Hari Post Partum Pervaginam


Bayi LahirHidup Jenis Kelamin Laki-Laki BBL 3800 gr PBL 50
EklampsiaPost Partum

Pembimbing:
dr. Wahdi Sdj, Sp.OG
Dr.dr. Anto Sawarno, Sp.OG (K) FER
dr. Trestyawaty, Sp.OG

Oleh
Farida Hakim Lamuhammad, S. Ked
1518012191

KEPANITRAAN KLINIK BAGIAN OBSTETRI & GINEKOLOGI


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH JEND. AHMAD YANI METRO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
2016
CASE REPORT
SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
RSUD JENDERAL AHMAD YANI METRO

I.

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS
Nama

Istri
Ny.Dewi

Suami
Robahatus Tn. Sueli Yanto

Umur
Suku/ Bangsa
Agama
Pendidikan
Pekerjaan
Alamat
Masuk

Soleha
22 thn
Lampung/ Indonesia
Islam
SMA
Ibu Rumah Tangga
Bumi Nabung Timur
22 Maret 2016

RSUD

Pukul: 06.50WIB

23 thn
Lampung/ Indonesia
Islam
SMP
Petani
Bumi Nabung Timur
-

B. ANAMNESIS
Autoanamnesis dilakukan tanggal 21Maret 2016 pukul 21.55 WIB
a. Keluhan Utama
Kejang
b. Keluhan tambahan
Tidak didapatkan keluhan tambahan
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke ugdRS Ahmad Yanitanggal 21 Maret 2016 pukul
21.55 karena mengalami kejang. Kejang awalnya pada tangan lalu
menjalar ke seluruh tubuh, lamanya kejang sekitar 15 menit.
Kejang sebanyak 2x kejang pertama pada pukul 19.00 dan kejang
kedua pada pukul 21.30. Tidak ada yang memperberat dan
memperingan kejang. Kejang menyebabkan penuruan kesadaran
pada pasien.
Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak ada
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada
2

e.

Riwayat Menstruasi
Menarche

: 15 tahun

Siklus haid

: 28 hari

Jumlah

: 3 kali ganti pembalut

Lamanya

: 7 hari

HPHT

: 7Juni 2015

TP

: 14Maret 2016

f. Riwayat Perkawinan
Menikah satu kali, status masih menikah
g. Riwayat obstetri (kehamilan, persalinan,nifas)
Tidak ada
h. Riwayat KB
Tidak memakai kb
i. Riwayat Operasi
Pasien belum pernah operasi sebelumnya
j. Riwayat ANC
Pasienkontrol ke bidan. Hamil saat ini mulas (+), mual (-), muntah
(-), perdarahan (-), riwayat trauma (-), riwayat infeksi(-),
suplementasi zat besi (+).
k. Riwayat Ginekologi
Tidak ada
l. Kebiasaan Hidup
Merokok (-), alkohol (-), minum obat-obatan & jamu (-)
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. STATUS PRESENT
a. Keadaan Umum
Kesadaran
b. Status Emosional
c. Tanda Vital
KU

: Sakit sedang
: Somnolen
:
Stabil

Labil

: Tampak sakit sedang

Kesadaran

: Somnolen

Tekanan Darah

: 140/90mmHg

Nadi

: 104 x/menit
3

RR

: 23 x/menit

Temperatur

: 37,20C

2. STATUS GENERALIS
Kepala

Normocepali, rambut hitam, tidak mudah


rontok

Mata

Konjungtiva anemis-/-, skleraikterik -/-,


edema palpebra -/-

THT

Sekret telinga -/-, sekret hidung -/-, tonsil


tidakhiperemis, T1 T1

Leher

KGB tidak membesar, tiroid tidak teraba


membesar

Thorax :

Mammae : Simetris,

membesar,

aerolar

mammae

hiperpigmentasi

Pulmo

: Suara nafas vesikuler, ronki -/-, wheezing -/-

Cor

: S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

: Lihat status obstetri

Ekstremitas

superior: Akral hangat (+/+), edema (-/-)

Ekstremitas

inferior: Akral hangat (+/+), edema (+/+)

3. STATUS OBSTETRI

Inspeksi

: Perut tampak membuncit, arah memanjang,striae

gravidarum (+), linea nigra (-), luka bekas SC (-)

Palpasi

:
Leopold I
TFU 28 cm, teraba satu bagian besar yaitu satu bagian
bulat dan lunak.

Leopold II

Kiri

: teraba bagiankeras melebar seperti

papan

Leopold III

Teraba satu bagian besar yaitu satu bagian bulat dan


melenting

Leopold IV
Divergen

His

: 2x/10/20

Auskultasi : DJJ 1 (+), 13+13+13= 157x/ menit

Kesan : TFU 28 cm, janin tunggal hidup intrauterin,letak janin


memanjang, presentasi kepala, teraba punggung pada bagian kiri
perut ibu, DJJ 156x/menit,belum inpartu.

Pemeriksaan Genitalia

Inspeksi

vulva

hematom (-), oedema (-),

varises (-), hiperemis (-)

Uretra

muara (+), hematome (-),

oedema (-)

Vaginal Toucher :

Pembukaan 5cm
Preskep 3/5
Ketuban +
Portio tipis kaku
Blood slym

4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium :
Hematologi

Hb

10,9g/dL

Eritrosit

4.50 jt/ul

Ht

34 %

MCV

75.6 fL

MCH

24.2 pg

WBC

27.800/uL

PLT

232.000/ uL

Kimia Darah

GDS

186 mg/dl

SGOT

33 U/L

SGPT

14 U/L

Ureum

16 mg/dl

Creatinin

1.08 mg/dl

Urinalisis

Warna
:
PH
:
Berat jenis :
Glukosa
Keton
Bilirubin
Urobilirubin
Darah samar
Protein/Albumin
Leukosit
Nitrit

Kuning jernih
6
1025
:
:
+
:
:
N
:
+
:
+++
:
:
-

5. RESUME
Pasien G1P0A0 umur 22 tahun hamil 41 minggu datang ke ugd
RS Ahmad Yani karena mengeluh kejang 2x SMRS. Pada
pemeriksaan fisik didapat tanda-tanda vital tekanan darah
meningkat nadi dan nafas serta suhu juga meningkat, pada
pemeriksaan obstetri didapatkan TFU 28 cm,janin tunggal hidup
intrauterin,presentasi

kepala,

posisi

punggung

kiri,

DJJ

156x/menit pembukaan 5 cm. Pada pemeriksaan urin protein ++


+. Di ugd pasien diberi oksigen dan mendapat pengobatan
MgSo4 sesuai protap, cefotaxim 2x1gr dan nifedipin 4x10gr (per
6 jam). Setelah stabil pasien dipindahkan ke RB dan dipantau
keadaanya lalu pasien partus pada tanggal 22 Maret 2016 pukul
05.00 air ketuban hijau keruh, bayi lahir dengan jenis kelamin
6

laki-laki bbl 3,8 kg dan pbl 50cm, lalu dilakukan hecting


perineum namun ibu tidak kooperatif. Pada pukul 05.20 setelah
melahirkan ibu kejang 1x lamanya 15 menit dengan tekanan
darah post partum 180/110 HR 160x RR 32x Sp02 90%, lalu
diberi sungkup 10 lpm, infus 2 line tangan kanan MgSo4 2gr
bolus dan 12,5cc drip tangan kiri RL+oksitosin 20 iu lalu diberi
nifedipin 10 g. Untuk pemantauan yang ketat pasien dipindahkan
ke icu.
6. DIAGNOSIS

P1A0, Umur 22 tahun, 1 hari post partum pervaginam

Bayi lahir hidup jenis kelamin laki-laki bbl 3,8 kg pbl 50cm

PEB, Eklampsia post partum, HPP, fistula rektovaginal

7. PROGNOSIS
Ibu

: Dubia ad Malam

Janin

: Dubia ad Malam

8. PENATALAKSANAAN
Tatalaksana obstetri

Rencana persalinan pervaginam


Tatalaksana medikamentosa

Pemberian antikejang untuk mengatasi kejang

Pemberian antihipertensi untuk menurunkan tekanan darah

Pemberian antibiotik untuk mencegah infeksi

Tatalaksana non medikamentosa

Perawatan pada vagina dengan betadin dan ringer laktat untuk


mengompres fistula rektovaginal

Repair fistula rektovaginal 3 bulan post partum

Follow up
Tanggal

21/3/2016

Pasien masuk igd

Ku/Kes:

G1P0A0 Umur

-Observasi

21.55

mengeluh Kejang

Tampak sakit

22

jika

2xpada

sedang/

Hamil

somnolen

Minggu,

Janin

St. Generalis:

tunggal

Hidup

T:

Intrauterin,

SC cito

mmHg

Presentasi

-Antisipasi

N : 104x/mnt

Kepala,

HPP

S : 37,20 C

Punggung Kiri.

-O2

P : 23 x/mnt

Dengan

-IVFD

St. Obstetri :

dan eklampsia

pukul

19.00 dan 21.30

140/90

Tahun,
41

PEB

terjadi

perburukan
-TTV
-Persiapkan

RL

15gtt/mnt

Perut tampak

-MgSo4

membuncit

bolus

dan

drip

memanjang,

protap

TFU 28 cm.

-Nifedipin

DJJ

dan
sesuai

4x10gr (per

156x/menit

6 jam)

dan

-Cefotaxim

His

2x1gr

2x/10/20

Tanggal

Keterangan

22/3/2016

Lahir neonatus tunggal pervaginam dengan presentasi kepala, air ketuban hijau

05.00

keruh, jenis kelaminlaki-laki. BBL : 3800 gram, PBL : 50 cm.

22/3/2016

Lahir plasenta lengkap lalu dilakukan perineum hecting namun ibu tidak

05.15

kooperatif

22/3/2016

Ibu kejang post partum durasi 15 menit RR:32x/menit SpO2:90% TD: 180/110

05.20

mg lalu diberikan O2 sungkup 6 Lpm, nifedipin 10 gr, dan dipasang 2 jalur iv


line untuk MgSo4 2gr bolus+12,5 cc drip dan oksitosin drip. Inform consent
keluarga lalu konsul dr. Hartawan Sp.Anastesi untuk dibawa ke ICU

Tanggal

22/3/2016

Kejang post

Ku/Kes : Tampak sakit

Post partum

- konsul dr. Tres

06.00

partum

1x

berat/koma

dengan

Sp.OG

durasi

15

St. Generalis :

eklampsia

-O2 sungkup 10

menit

post

T : 180/100 mmHg

Lpm

kejang tidak

N : 150 x/mnt

-nifedipin 10 gr

sadarkan

P : 30 x/mnt

- 2 jalur iv line

diri

untuk MgSo4 2gr


bolus+12,5 cc drip
dan oksitosin drip.
-Inform

consent

keluarga
-konsul
9

dr.

Hartawan
Sp.Anastesi untuk
dibawa ke ICU

Tanggal

22/3/2016

ICU

Ku/Kes : Tampak sakit

-HPP + Syok

- Cairan guyur

07.00

Pasca

berat/koma

Hipovolemik

-stop MgSo4

Eklampsia

St. Generalis :

-Post

-Transfusi

T : 180/100 mmHg

Eklampsia

500cc

N : 150 x/mnt

post partum

-Metergin 1 amp

P : 30 x/mnt

-PEB

-Misoprostol

PRC

1000gr 2 tab oral 3


tab perectal
-cefotaxim 2x1gr
-nifedipin 4x10 gr
-bila

ku

stabil

lanjutkan MgSo4

Tanggal

10

22/3/2016

Keluar

12.30

darah

dari

anus

Ku/Kes : Tampak sakit

Fistula

-Inform

berat/koma

rektovaginal

keluarga

consent

St. Generalis :

-vulva hygine

T : 180/100 mmHg

-kompres

N : 150 x/mnt

kassa dan betadine

P : 30 x/mnt

-repair

Pembukaan

1cm

dengan

fistula

bulan post partum

vagina-rektum
Perdarahan aktif (-)

Tanggal

23/3/2016

Keluar

Ku/Kes : Tampak sakit

-H2

sedang/ CM

partum

perdarahan

St. Generalis :

eklampsia

-Cefotaxim 2x1 gr

T : 150/90 mmHg

-riw

-Transfusi PRC 1

N : 82 x/mnt

hipovolemik

kolf

R : 20 x/mnt

-riw HPP

-Nifedipin 4x1gr

Sat : 100%

-PEB

-Mobilisasi

Vulva edema (+)

-Fistula

-Vulva

Perdarahan aktif (-)

Rektovaginal

kompres

-Anemia

betadin

darah
anus

dari

P
Post

syok

-obs

TTV

dan

Hygine
kasa

-Na diclofenac 2x1


gr
- Ranitidin 2x1gr
-Bila

KU

pindah ruang

11

stabil

Tanggal

24/3/2016

Keluhan (-)

Ku/Kes : Tampak sakit

-H3

berat/koma

partum

ulang DL

St. Generalis :

eklampsia

-cefotaxim 2x1 gr

T : 180/100 mmHg

-riw

-Ranitidin 2x1 gr

N : 150 x/mnt

hipovolemik

-vulva hygine

P : 30 x/mnt

-riw HPP

-kompres

-PEB

kassa dan betadine

vagina-rektum

-Fistula

-Na diclofenac 2x1

Perdarahan aktif (-)

Rektovaginal

gr

Pembukaan

1cm

P
Post

syok

-Cek

TTV,

cek

dengan

-Anemia
Tanggal

25/3/2016

Keluhan (-)

Ku/Kes : Tampak sakit

-H4

berat/koma

partum

-cefotaxim 2x1 gr

St. Generalis :

eklampsia

-vulva hygine

T : 160/90 mmHg

-riw

-kompres

N : 104 x/mnt

hipovolemik

P : 24 x/mnt

-riw HPP

S : 38,9

-PEB

Pembukaan

Tanggal

1cm

P
Post

syok

-Cek TTV

kassa dan betadine

-Fistula

vagina-rektum

Rektovaginal

Perdarahan aktif (-)

-Anemia

dengan

12

26/3/2016

Keluhan (-)

Ku/Kes : Tampak sakit

-H4

berat/koma

partum

-vulva hygine

St. Generalis :

eklampsia

-kompres

T : 160/90 mmHg

-riw

kassa dan betadine

N : 100 x/mnt

hipovolemik

P : 20 x/mnt

-riw HPP

S : 35,4

-PEB

Pembukaan

II.
I.

1cm

Post

syok

-Cek TTV

-Fistula

vagina-rektum

Rektovaginal

Perdarahan aktif (-)

-Anemia

ANALISIS KASUS

Permasalahan
1. Apakah anamnesa, pemeriksaan fisik dan penunjang sudah sesuai?
2. Apakah diagnosis untuk kasus ini sudah tepat?
3. Apakah penatalaksanaan pada kasus ini sudah tepat?

II.

Analisa Kasus
1. Apakah anamnesa, pemeriksaan fisik dan penunjang sudah sesuai?
Anamnesis telah mencakup keluhan utama dan keluhan tambahan,
dilengkapi dengan identitas pasien, riwayat haid, riwayat perkawinan,
riwayat kehamilan, riwayat persalinan, riwayat penyakit pasien terdahulu,
riwayat penyakit keluarga, riwayat operasi dan riwayat kontrasepsi.
Anamnesis
Pada kasus ini Ny.D, 22 tahunmengeluhkan kejang 2 kali pada pukul 19.00
dan pukul 21.30 SMRS dan tidak didapatkan keluhan tambahan.
13

dengan

Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan sudah tepat, yaitu dilakukan
pemeriksaan fisik tanda tanda vital khususnya untuk menilai tekanan darah
apakah terjadi peningkatan atau tidak, kemudian dilakukan pemeriksaan
obstetri. Pemeriksaan obstetri yang dilakukan mencakup pemeriksaan luar.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan:
Status Present
Keadaan umum

: Sakit sedang

Kesadaran

: Somnolen

Tekanan darah

:140/90 mmHg

Nadi

:104 x/menit

Respiratory Rate

: 23 x/menit

Suhu

: 37,2oC

Status obstetri

Inspeksi

: Perut tampak membuncit, arah memanjang,striae

gravidarum (+), linea nigra (-), luka bekas SC (-)

Palpasi

Leopold I
TFU 28 cm, teraba satu bagian besar yaitu satu bagian bulat dan lunak.
Leopold II
Kiri : teraba bagiankeras melebar seperti papan
Leopold III
Teraba satu bagian besar yaitu satu bagian bulat dan melenting
Leopold IV
Divergen

His

: 2x/10/20

Auskultasi : DJJ 1 (+), 12+13+13= 156x/ menit

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan lab darah


rutin, kimia darah dan urinalisis. Pemeriksaan darah rutin pada pasien ini

14

ditujukan untuk melihat kadar sel darah. Kimia darah untuk melihat kadar
gula darah serta urinalisis untuk melihat proteinuri. Didapatkan:
Hematologi

Hb

Eritrosit :

4.50 jt/ul

Ht

MCV

75.6 fL

MCH

24.2 pg

WBC

27.800/uL

PLT

10,9g/dL
34 %

232.000/ uL

Kimia Darah

GDS

186 mg/dl

SGOT

33 U/L

SGPT

14 U/L

Ureum

16 mg/dl

Creatinin

1.08 mg/dl

Urinalisis
proteinuria +++
2. Apakah diagnosa untuk kasus ini sudah tepat?
Diagnosis eklampsia post partum dapat ditegakkan dari keadaan umum
pasien post partum lemah dan kesadaran menurun lalu diikuti dengan
kejang tonik klonik selama 15 menit lalu pasien masuk kedalam keadaan
koma atau tidak sadarkan diri. Dan dari pemeriksaan fisik dan penunjang
didapatkan tekanan darah tinggi serta proteinuri +++. Dengan adanya
tanda dan gejala preeklampsia yang disusul oleh serangan kejang seperti
telah diuraikan, diagnosis eklampsia sudah tidak diragukan
Lalu diagnosis fistula rektovaginal didapatkan karena perdarahan keluar
melalui anus pasien. Fistula terjadi karena ruptur perinemum derajat 4
yang disebabkan karena bayi besar dan juga saat persalinan dilakukan
kristeller selain itu saat melakukan hecting perineum post partum pasien
sangat tidak kooperatif sehingga penolong kesulitan untuk menatalaksana
pasein tersebut sehingga jahitan tidak sempurna.
15

3. Apakah penatalaksanaan pada kasus ini sudah tepat?


Penatalaksanakan awal yang dilakukan pada kasus inisudah tepat yaitu
dengan memperbaiki keadaan umum pasien,dengan memberikan 02 6 Lpm
lalu mengekstensikan jalan nafas, memasang 2 iv line dengan memberi
MgSo4 4 gr bolus+12,5 cc drip untuk mengatasi kejang dan oksitosin drip
agar mencegah perdarahan.
Lalu mempersiapkan transfusi darah dan memberikan obat untuk
menurunkan tekanan darah dikarenakan tekanan darah post partum
adalah180/110 maka diberikan nifedipin 10 gr. Untuk mencegah atonia
uteri diberikan Metergin 1 amp, Misoprostol 1000gr 2 tab oral 3 tab
perectal dan untuk mencegah infeksi diberikan cefotaxim 2x1gr.
Karena pada pasien terdapat fistula rektovaginal maka dilakukan vulva
hygine dengan mengkompres vagina dengan betadin dan NaCl dan
dilakukan rekonstruksi setelah 3 bulan post partum

16

III.
3.1

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Eklampsia merupakan keadaan dimana ditemukan serangan kejang tibatiba yang dapat disusul dengan koma pada wanita hamil, persalinan atau
masa nifas yang menunjukan gejala preeklampsia sebelumnya. Kejang
disini bersifat grand mal dan bukan diakibatkan oleh kelainan neurologis.
Istilah eklampsia berasal dari bahasa Yunani yang berarti halilintar. Katakata tersebut dipergunakan karena seolah-olah gejala eklampsia timbul
dengan tiba-tiba tanpa didahului tanda-tanda lain.
Eklampsia

dibedakan

(antepartum),eklampsia

menjadi

partuirentum

eklampsia
(intrapartum),

gravidarum
dan

eklampsia

puerperale (postpartum), berdasarkan saat timbulnya serangan. Eklampsia


banyak terjadi pada trimester terakhir dan semakin meningkat saat
mendekati kelahiran. Pada kasus yang jarang, eklampsia terjadi pada usia
kehamilan kurang dari 20 minggu. Sektar 75% kejang eklampsia terjadi
sebelum melahirkan, 50% saat 48 jam pertama setelah melahirkan, tetapi
kejang juga dapat timbul setelah 6 minggu postpartum. Sesuai dengan
batasan dari National Institutes of Health (NIH) WorkingGroup on Blood
Pressure in Pregnancy preeklampsia adalah timbulnya hipertensi disertai
dengan proteinuria pada usia kehamilan lebih dari 20 minggu atau segera
setelah persalinan. Saat ini edema pada wanita hamil dianggap sebagai hal
yang biasa dan tidak spesifik dalam diagnosis preeklampsia.
Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah sistolik 140
mmHg atau tekanan diastolik 90 mmHg. Proteinuria adalah adanya
protein dalam urin dalam jumlah 300 mg/dl dalam urin tampung 24 jam

17

atau 30 mg/dl dari urin acak tengah yang tidak menunjukkan tanda-tanda
infeksi saluran kencing.
3.2

Epidemiologi
Frekuensi eklampsia bervariasi antara satu negara dengan negara yang
lain. Frekuensi rendah pada umumnya merupakan petunjuk tentang adanya
pengawasan antenatal yang baik, penyediaan tempat tidur antenatal yang
cukup, dan penanganan preeklampsia yang sempurna. Di negara-negara
berkembang frekuensi eklampsia berkisar antara 0,3% - 0,7%, sedangkan
di negara-negara maju angka tersebut lebih kecil, yaitu 0,05% - 0,1 %.

3.3

Faktor Resiko
Faktor risiko preeklampsia, yaitu :
1) Usia
Duckitt melaporkan peningkatan risiko preeklampsia dan eklampsia
hampir dua kali lipat pada wanita hamil berusia 40 tahun atau lebih pada
primipara maupun multipara. Usia muda tidak meningkatkan risiko secara
bermakna. Robillard dkk melaporkan bahwa risiko preeklampsia dan
eklampsia pada kehamilan kedua meningkat dengan peningkatan usia ibu.
Choudhary P dalam penelitiannya menemukan bahwa eklampsia lebih
banyak (46,8%) terjadi pada ibu dengan usia kurang dari 19 tahun.

2) Nulipara
Hipertensi gestasional lebih sering terjadi pada wanita nulipara. Duckitt
melaporkan nulipara memiliki risiko hampir tiga kali lipat
3) Kehamilan pertama oleh pasangan baru

18

Kehamilan pertama oleh pasangan yang baru dianggap sebagai faktor


risiko, walaupun bukan nulipara karena risiko meningkat pada wanita yang
memiliki paparan rendah terhadap sperma.
4) Jarak antar kehamilan
Studi melibatkan 760.901 wanita di Norwegia, memperlihatkan bahwa
wanita multipara dengan jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun atau lebih
memiliki risiko preeklampsia dan eklampsia hampir sama dengan nulipara.
Robillard dkk melaporkan bahwa risiko preeklampsia dan eklampsia
semakin meningkat sesuai dengan lamanya interval dengan kehamilan
pertama (1,5 setiap 5 tahun jarak kehamilan pertama dan kedua p
<0,0001).
5) Riwayat preeklampsia eklampsia sebelumnya
Riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya merupakan faktor
risiko utama. Menurut Duckitt risiko meningkat hingga tujuh kali lipat
(RR 7,19 95% CI 5,85-8,83). Kehamilan pada wanita dengan riwayat
preeklampsia dan eklampsia sebelumnya berkaitan dengan tingginya
kejadian preeklampsia berat, preeklampsia onset dinin dan dampak
perinatal yang buruk.
6) Riwayat keluarga preeklampsia eklampsia
Riwayat preeklampsia dan eklampsia pada keluarga juga meningkatkan
risiko hampir tiga kali lipat. Adanya riwayat preeklampsia pada ibu
meningkatkan risiko sebanyak 3,6 kali lipat.
III.5

Patofosiologi
Etiologi dan Patofisiologi Hipertensi dalam Kehamilan Hingga saat ini
etiologi dan patogenesis dari hipertensi dalam kehamilan masih belum
diketahui dengan pasti. Telah banyak hipotesis yang diajukan untuk
mencari etiologi dan patogenesis dari hipertensi dalam kehamilan namun
hingga kini belum memuaskan sehinggan Zweifel menyebut preeklampsia

19

dan eklampsia sebagai the disease of theory. Adapun hipotesis yang


diajukan diantaranya adalah :
1) Genetik
Terdapat suatu kecenderungan bahwa faktor keturunan turut berperanan
dalam patogenesis preeklampsia dan eklampsia. Telah dilaporkan adanya
peningkatan angka kejadian preeklampsia dan eklampsia pada wanita yang
dilahirkan oleh ibu yang menderita preeklampsia preeklampsia dan
eklampsia.

Bukti

yang

mendukung

berperannya

faktor

genetik

padakejadian preeklampsia dan eklampsia adalah peningkatan Human


Leukocyte Antigene (HLA) pada penderita preeklampsia. Beberapa
peneliti melaporkan hubungan antara histokompatibilitas antigen HLADR4 dan proteinuri hipertensi. Diduga ibu-ibu dengan HLA haplotipe A
23/29, B 44 dan DR 7 memiliki resiko lebih tinggi terhadap perkembangan
preeklampsia eklampsia dan intra uterin growth restricted (IUGR)
daripada ibu-ibu tanpa haplotipe tersebut. Peneliti lain menyatakan
kemungkinan preeklampsia eklampsia berhubungan dengan gen resesif
tunggal. Meningkatnya prevalensi preeklampsia eklampsia pada anak
perempuan yang lahir dari ibu yang menderita preeklampsia eklampsia
mengindikasikan adanya pengaruh genotip fetus terhadap kejadian
preeklampsia. Walaupun faktor genetik nampaknya berperan pada
preeklampsia eklampsia tetapi manifestasinya pada penyakit ini secara
jelas belum dapat diterangkan.
2) Iskemia Plasenta
Pada kehamilan normal, proliferasi trofoblas akan menginvasi desidua dan
miometrium dalam dua tahap. Pertama, sel-sel trofoblas endovaskuler
menginvasi arteri spiralis yaitu dengan mengganti endotel, merusak
jaringan elastis pada tunika media dan jaringan otot polos dinding arteri
serta mengganti dinding arteri dengan material fibrinoid. Proses ini selesai
pada akhir trimester I dan pada masa ini proses tersebut telah sampai pada
deciduomyometrial junction.Pada usia kehamilan 14-16 minggu terjadi
invasi tahap kedua dari sel trofoblas di mana sel-sel trofoblas tersebut akan
menginvasi arteri spiralis lebih dalam hingga kedalaman miometrium.
Selanjutnya terjadi proses seperti tahap pertama yaitu penggantian endotel,

20

perusakan jaringan muskulo-elastis serta perubahan material fibrionid


dinding arteri. Akhir dari proses ini adalah pembuluh darah yang
berdinding

tipis,

lemas

dan

berbentuk

seperti

kantong

yang

memungkinkan terjadi dilatasi secara pasif untuk menyesuaikan dengan


kebutuhan aliran darah

yang meningkat

pada kehamilan.

Pada

preeklampsia, proses plasentasi tersebut tidak berjalan sebagaimana


mestinya disebabkan oleh dua hal, yaitu :
(1) tidak semua arteri spiralis mengalami invasi oleh sel-sel trofoblas;
(2) pada arteri spiralis yang mengalami invasi, terjadi tahap pertama invasi
sel trofoblas secara normal tetapi invasi tahap kedua tidak berlangsung
sehingga bagian arteri spiralis yang berada dalam miometrium tetapi
mempunyai dinding muskulo-elastis yang reaktif yang berarti masih
terdapat resistensi vaskuler.

Disamping itu juga terjadi arterosis akut (lesi seperti atherosklerosis) pada
arteri spiralis yang dapat menyebabkan lumen arteri bertambah kecil atau
bahkan mengalami obliterasi. Hal ini akan menyebabkan penurunan aliran
darah ke plasenta dan berhubungan dengan luasnya daerah infark pada
21

plasenta. Pada preeklampsia, adanya daerah pada arteri spiralis yang


memiliki resistensi vaskuler disebabkan oleh karena kegagalan invasi
trofoblas ke arteri spiralis pada tahap kedua. Akibatnya, terjadi gangguan
aliran darah di daerah intervilli yang menyebabkan penurunan perfusi
darah ke plasenta.Hal ini dapat menimbulkan iskemi dan hipoksia di
plasenta yang berakibat terganggunya pertumbuhan bayi intra uterin
(IUGR) hingga kematian bayi.
3) Prostasiklin-tromboksan
Prostasiklin merupakan suatu prostaglandin yang dihasilkan di sel endotel
yang berasal dari asam arakidonat di mana dalam pembuatannya
dikatalisis oleh enzim sikooksigenase. Prostasiklin akan meningkatkan
cAMP intraselular pada sel otot polos dan trombosit dan memiliki efek
vasodilator dan anti agregasi trombosit. Tromboksan A2 dihasilkan oleh
trombosit,

berasal

dari

asamarakidonat

dengan

bantuan

enzim

siklooksigenase. Tromboksan memiliki efek vasokonstriktor dan agregasi


trombosit prostasiklin dan tromboksan A2 mempunyai efek yang
berlawanan dalam mekanisme yang mengatur interaksi antara trombosit
dan dinding pembuluh darah. Pada kehamilan normal terjadi kenaikan
prostasiklin oleh jaringan ibu, plasenta dan janin. Sedangkan pada
preeklampsia terjadi penurunan produksi prostasiklin dan kenaikan
tromboksan A2 sehingga terjadi peningkatan rasio tromboksan A2 :
prostasiklin. Pada preeklampsia terjadi kerusakan sel endotel akan
mengakibatkan

menurunnya

produksi

prostasiklin

karena

endotel

merupakan tempat pembentuknya prostasiklin dan meningkatnya produksi


tromboksan sebagai kompensasi tubuh terhadap kerusakan endotel
tersebut. Preeklampsia berhubungan dengan adanya vasospasme dan
aktivasi sistem koagulasi hemostasis. Perubahan aktivitas tromboksan
memegang peranan sentral pada proses ini di mana hal ini sangat
berhubungan

dengan

ketidakseimbangan

antara

tromboksan

dan

prostasiklin. Kerusakan endotel vaskuler pada preeklampsia menyebabkan


penurunan produksi prostasiklin, peningkatan aktivasi agregaasi trombosit
dan fibrinolisis yang kemudian akan diganti trombin dan plasmin. Trombin

22

akan mengkonsumsi antitrombin III shingga terjadi deposit fibrin. Aktivasi


trombosit menyababkan pelepasan tromboksan A2 dan serotonin sehingga
akan terjadi vasospasme dan kerusakan endotel.
4) Imunologis
Beberapa penelitian menyatakan kemungkinan maladaptasiimunologis
sebagai patofisiologi dari preeklampsia. Pada penderita preeklampsia
terjadi penurunan proporsi T-helper dibandingkan dengan penderita yang
normotensi yang dimulai sejak awal trimester II. Antibodi yang melawan
sel endotel ditemukan pada 50% wanita dengan preeklampsia, sedangkan
pada kontrol hanya terdapat 15%. Maladaptasi sistem imun dapat
menyebabkan invasi yang dangkal dari arteri spiralis oleh sel sitotrofoblas
endovaskuler dan disfungsi sel endotel yang dimediasi oleh peningkatan
pelepasan sitokin (TNF- dan IL-1), enzim proteolitik dan radikal bebas
oleh desidua.22 Sitokin TNF- dan IL-1 berperanan dalam stress oksidatif
yang berhubungan dengan preeklampsia. Di dalam mitokondria, TNF-
akan merubah sebagian aliran elektron untuk melepaskan radikal bebasoksigen yang selanjutkan akan membentuk lipid peroksida dimana hal ini
dihambat oleh antioksidan.

Radikal bebas yang dilepaskan oleh sel

desidua akan menyebabkan kerusakan sel endotel. Radikal bebas-oksigen


dapat menyebabkan pembentukan lipid perioksida yang akan membuat
radikal bebas lebih toksik dalam merusak sel endotel. Hal ini akan
menyebabkan gangguan produksi nitrit oksida oleh endotel vaskuler yang
akan mempengaruhi keseimbangan prostasiklin dan tromboksan di mana
terjadi peningkatan produksi tromboksan A2 plasenta dan inhibisi produksi
prostasiklin dari endotel vaskuler.21 Akibat dari stress oksidatif akan
meningkatkan produksi sel makrofag lipid laden, aktivasi dari faktor
koagulasi

mikrovaskuler

(trombositopenia)

serta

peningkatan

permeabilitas mikrovaskuler (oedem dan proteinuria). Antioksidan


merupakan kelompok besar zat yang ditunjukan untuk mencegah
terjadinya overproduksi dan kerusakan yang disebabkan oleh radikal
bebas. Telah dikenal beberapa antioksidan yang poten terhadap efek buruk
dari radikal bebas diantaranya vitamin E (- tokoferol), vitamin C dan -

23

caroten.21 Zat antioksidan ini dapat digunakan untuk melawan perusakan


sel akibat pengaruh radikal bebas pada preeklampsia.
Patofisiologi kejang eklamptik belum diketahui secara pasti. Kejang
eklamptik dapat disebabkan oleh hipoksia karena vasokonstriksi lokal
otak, dan fokus perdarahan di korteks otak. Kejang juga sebagai
manifestasi tekanan pada pusat motorik di daerah lobus frontalis. Beberapa
mekanisme yang diduga sebagai etiologi kejang adalah sebagai berikut :
a) Edema serebral
b) Perdarahan serebral
c)Infark serebral
d) Vasospasme serebral
e) Pertukaran ion antara intra dan ekstra seluler
f) Koagulopati intravaskuler serebral
g) Ensefalopati hipertensi
III.6

Manifestasi Klinis
Pada umumnya kejang didahului oleh makin memburuknya preeklampsia
dan terjadinya gejala-gejala nyeri kepala di daerah frontal, gangguan
penglihatan, mual yang hebat, nyeri epigastrium, dan hiperreflexia. Bila
keadaan ini tidak dikenal dan tidak segera diobati, akan timbul kejang.
Konvulsi eklampsia dibagi dalam 4 tingkat, yakni :
1. Stadium Invasi (tingkat awal atau aura)
Mula-mula gerakan kejang dimulai pada daerah sekitar mulut dan
gerakan-gerakan kecil pada wajah. Mata penderita terbuka tanpa
melihat, kelopak -mata dan tangan bergetar. Setelah beberapa detik
seluruh tubuh menegang dan kepala berputar ke kanan dan ke kiri. Hal
ini berlangsung selama sekitar 30 detik.
2. Stadium kejang tonik
Seluruh otot badan menjadi kaku, wajah kaku, tangan menggenggam
dan kaki membengkok ke dalam, pernafasan berhenti, muka mulai
kelihatan sianosis, dan lidah dapat tergigit. Stadium ini berlangsung
kira-kira 20 - 30 detik.
3. Stadium kejang klonik
Spasmus tonik menghilang. Semua otot berkontraksi berulang-ulang
dalam tempo yang cepat. Mulut terbuka dan menutup, keluar ludah
berbusa, lidah dapat tergigit, mata melotot, muka kelihatan kongesti, dan
sianotik. Kejang klonik ini dapat demikian hebatnya hingga penderita
24

dapat terjatuh dari tempat tidurnya. Setelah berlangsung selama 1 - 2


menit, kejang klonik berhenti dan penderita tidak sadar, menarik nafas
seperti mendengkur.
4. Stadium koma
Koma berlangsung beberapa menit hingga beberapa jam. Secara
perlahan-lahan penderita mulai sadar kembali. Kadang-kadang antara
kesadaran timbul serangan baru dan akhirnya penderita tetap dalam
keadaan koma.
3.7

Diagnosis
Seluruh

kejang

eklampsia

didahului

dengan

preeklampsia.

Preeklampsiadibagi menjdai ringan dan berat. Penyakit digolongkan berat


bila ada satu atau lebih tanda dibawah ini :
1) Tekanan sistolik 160 mmHg atau lebih, atau tekanan diastolik 110
mmHg atau lebih
2) Proteinuria 5 gr atau lebih dalam 24 jam; 3+ atau 4+ pada pemeriksaan
kualitatif
3) Oliguria, diuresis 400 ml atau kurang dalam 24 jam
4) Keluhan serebral, gangguan penglihatan atau nyeri di daerah
epigastrium
5) Edema paru atau sianosis. Pada umumnya serangan kejang didahului
dengan memburuknya preeklampsia dan terjadinya gejala-gejala nyeri
kepala di daerah frontal, gangguan penglihatan, mual keras, nyeri di
daerah epigastrium, dan hiperrefleksia.
Menurut Sibai terdapat beberapa perubahan klinis yang memberikan
peringatan gejala sebelum timbulnya kejang, adalah sakit kepala yang
berat dan menetap, perubahan mental sementara, pandangan kabur,
fotofobia, iritabilitas, nyeri epigastrik, mual, muntah. Namun, hanya
sekitar 50% penderita yang mengalami gejala ini. Prosentase gejala
sebelum timbulnya kejang eklampsia adalah sakitkepala yang berat dan
menetap (50-70%), gangguan penglihatan (20-30%), nyeri epigastrium

25

(20%), mual muntah (10-15%), perubahan mental sementara (5- 10%).


Tanpa memandang waktu dari onset kejang, gerakan kejang biasanya
dimulai dari daerah mulut sebagai bentuk kejang di daerah wajah.
Beberapa saat kemuadian seluruh tubuh menjadi kaku karena kontraksi
otot yang menyeluruh, fase ini dapat berlangsung 10 sampai 15 detik. Pada
saat yang bersamaan rahang akan terbuka dan tertutup dengan keras,
demikian juga hal ini akan terjadi pada kelopak mata, otot-otot wajah yang
lain dan akhirnya seluruh otot mengalami kontraksi dan relaksasi secara
bergantian dalam waktu yang cepat. Keadaan ini kadang-kadang begitu
hebatnya sehingga dapat mengakibatkan penderita terlempar dari tempat
tidurnya, bila tidak dijaga. Lidah penderita dapat tergigit oleh karena
kejang otot-otot rahang. Fase ini dapat berlangsung sampai satu menit,
kemudian secara berangsur kontraksi otot menjadi semakin lemah dan
jarang dan pada akhirnya penderita tak bergerak. Setelah kejang diafragma
menjadi kaku dan pernapasan berhenti. Selamabeberapa detik penderita
seperti meninggal karena henti napas, namun kemudian penderita bernapas
panjang dan dalam, selanjutnya pernapasan kembali normal. Apabila tidak
ditangani dengan baik, kejang pertama ini akan diikuti dengan kejangkejang berikutnya yang bervariasi dari kejang yang ringan sampai kejang
yang berkelanjutan yang disebut status epileptikus. Setelah kejang
berhenti, penderita mengalami koma selama beberapa saat. Lamanya koma
setelah kejang eklampsia bervariasi. Apabila kejang yang terjadijarang,
penderita biasanya segera pulih kesadarannya segera setelah kejang.
Namun, pada kasus-kasus yang berat, keadaan koma belangsung lama,
bahkan penderita dapat mengalami kematian tanpa sempat pulih
kesadarannya. Pada kasus yang jarang, kejang yang terjadi hanya sekali
namun dapat diikuti dengan koma yang lama bahkan kematian. Frekuensi
pernapasan biasanya meningkat setelah kejang eklampsia dan dapat
mencapai 50 kali per menit. Hal ini dapat menyebabkan hiperkarbia
dampai asidosis laktat, tergantung derajat hipoksianya. Pada kasus yang
berat ditemukan sianosis. Demam tinggi merupakan keadaan yang jarang
terjadi, apabla hal tersebut terjadi maka penyebabnya adalah perdarahan

26

pada susunan saraf pusat. Proteinuria hampir selalu didapatkan, produksi


urin berkurang, bahkan kadang kadang sampai anuria dan pada
umumnya terdapat hemoglobinuria. Setelah persalinan urin output akan
meningkat dan ini merupakan tanda awal perbaikan kondisi penderita.
Proteinuria dan edema menghilang dalam waktu beberapa hari sampai dua
minggu setelah persalinan apabila keadaan hipertensi menetap setelah
persalinan maka hal ini merupakan akibat penyakit vaskuler kronis.
III.7

Prognosis
Kriteria Eden adalah kriteria untuk menentukan prognosis eklampsia.
Kriteria Eden antara lain:
1. koma yang lama (prolonged coma)
2. nadi diatas 120
3. suhu 39,4C atau lebih
4. tekanan darah di atas 200 mmHg
5. konvulsi lebih dari 10 kali
6. proteinuria 10 g atau lebih
7. tidak ada edema, edema menghilang
Bila tidak ada atau hanya satu kriteria di atas, eklampsia masuk ke kelas
ringan; bila dijumpai 2 atau lebih masuk ke kelas berat dan prognosis akan
lebih buruk. Tingginya kematian ibu dan bayi di negara-negara
berkembang disebabkan oleh kurang sempurnanya pengawasan masa
antenatal dan natal. Penderita eklampsia sering datang terlambat sehingga
terlambat memperoleh pengobatan yang tepat dan cepat. Biasanya
preeklampsia dan eklampsia murni tidak menyebabkan hipertensi
menahun.

III.8

Tatalaksana
Penanganan preeklampsia berat dan eklampsia sama, kecuali bahwa
persalinan harus berlangsung dalam 6 jam setelah timbulnya kejang pada
eklampsia. Antikonvulsan Magnesium sulfat merupakan obat pilihan untuk
27

mencegah dan mengatasi kejang pada preeklampsia dan eklampsia.


Alternatif lain adalah Diazepam, dengan risiko terjadinya depresi neonatal.
MgSO4 4 g IV sebagai larutan 40% selama 5 menit Diikuti dengan
MgSO4 (40%) 5 g IM dengan 1 ml Lignokain (dalam semprit yang sama)
Setelah pemberian dosis awal, diberikan 12 gram dalam 500 ml RL dengan
tetesan 15/menit (2 gram/jam). Hentikan pemberian MgSo4 jika Refleks
patella (-), bradipneu (<16 kali/menit) Urin < 30 ml/jam pada hari ke 2.
Jika terjadi henti nafas: Bantu pernafasan dengan ventilator. Berikan
Kalsium glukonas 2 g (20 ml dalam larutan 10%) IVperlahan-lahan sampai
pernafasan mulai lagi.
Diazepam 10 mg IV pelan-pelan selama 2 menit Jika kejang berulang,
ulangi pemberian sesuai dosis awal Diazepam 40 mg dalam 500 ml larutan
Ringer laktat
melalui infus Depresi pernafasan ibu baru mungkin akan terjadi bila dosis
> 30 mg/jam Jangan berikan melebihi 100 mg/jam.
Obat pilihan adalah Nifedipin, yang diberikan 5-10 mg oral yang dapat
diulang sampai 8 kali/24 jam Jika respons tidak membaik setelah 10 menit,
berikan tambahan 5 mg sublingual Nifedipin 10 mg sublingual. Labetolol
10 mg oral. Jika respons tidak membaik setelah 10 menit, berikan lagi
Labetolol 20 mg oral.
Pada preeklampsia berat, persalinan harus terjadi dalam 24 jam,sedangkan
pada eklampsia dalam 6 jam sejak gejala eklampsia timbulJika terjadi
gawat janin atau persalinan tidak dapat terjadi dalam 12 jam(pada
eklampsia), lakukan bedah CaesarJika bedah Caesar akan dilakukan,
perhatikan bahwa:Tidak terdapat koagulopati. Koagulopati kontra indikasi
anestesi spinal.Anestesia yang aman/terpilih adalah anestesia umum untuk
eklampsia danspinal untuk PEB. Dilakukan anestesia lokal, bila risiko
anestesi terlalu tinggi. Jika serviks telah mengalami pematangan, lakukan

28

induksi dengan Oksitosin 2-5 IU dalam 500 ml Dekstrose 10 tetes/menit


atau dengan cara pemberian prostaglandin/misoprostol.
Anti konvulsan diteruskan sampai 24 jampostpartum atau kejang yang
terakhir. Teruskan terapi hipertensi jika tekanan diastolicmasih > 90
mmHg. Lakukan pemantauan jumlah urin

DAFTAR PUSTAKA

Sofoewan S., 2003. Preeklampsia Eklampsia di Beberapa Rumah Sakit di


Indonesia, patogenesis, dan kemungkinan pencegahannya. MOGI, 27; 141
151.
Et al,editors, 2005. Hypertensive disorders in pregnancy. In: Cunningham FG.
Williams Obstetrics , 2010. 23rd ed. New York: McGraw-Hill ; p. 706 56.
Sibai B, Dekker G, Kupferminc M. Pre-eclampsia, 2005 [cited 2011 Jan 30] 365:
785

99.

Available

from

http://web.squ.edu.om/medLib/med/net/ETALC9
/html/clients/lancet/pdf/PIIS0140673605179872.pdf
Pratiknya, W. A., 2010. Dasar Dasar Metodologi Penelitian Kedokteran
danKesehatan, Jakarta: Raja Grafindo Persada
29

Notoatmodjo, S., 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Ed rev, Jakarta: Rineka


Cipta ; p.45 50.
Yusmardi, 2010. Perbandingan Kadar Asam Folat Serum Maternal Preeklampsia
Berat dengan Kehamilan Normal. Tesis Bagian Obgyn FK USU RSUP Haji
Adam Malik
Girsang, E., 2004. Analisa Tekanan Darah dan Proteinuria sebagai faktor
prognosa, Kematian Maternal dan Perinatal pada Preeklampsia Berat dan
Eklampsia.Tesis Bagian Obgyn FK USU RSUP.H. Adam Malik / RSUD
Dr.Pringadi Medan.
Robert J. M., 2004. Carl A Hubel Oxydative Stress in Preeclampsia. AJOG, 190:
117 8
Himpunan Kedokteran Feto Maternal POGI, 2005.
Pedoman Pengelolaan Hipertensi dalam Kehamilan di Indonesia, ed (2).
Kelompok Kerja Penyusun Pedoman Pengelolaan Hipertensi dalam
Kehamilan di Indonesia.
Sibai B. M., 2003. Diagnosis and Management of Gestational Hypertention and
Preeclampsia. Obstetric Gynecology, 102: 181 192.
Baker P. N., Kingdom J., 2004. Preeclampsia, New Current Perspectives on
Management. The Parthenon Publishing Group York. USA ; 133 143.
Brown M. A., 2003. Diagnosis and Classification of Preeclampsia, Hypertensive
Disorders of Pregnancy. In: Belfort M. A., Thornton S, Saade GR.
Zhang J., Meikle S., Trumble A., 2003. Severe Maternal Morbidity Associated
With Hypertensive Disorders in Pregnancy. In: The United States Hypertens
Pregnancy; 22: 203 12
Saifuddin, AB., 2002. Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal, Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.
Susanto, H., 2003. Obstetri Patologi. Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran,
Bandung ; 32 35.
Prawirohardjo, S., 2009. Ilmu kebidanan, Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.
Winkjosastro, 2006. Gejala preeklampsia, akibat preeklampsia pada ibu dan janin,
dan penatalaksanaan preeklampsia. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta.

30

Cunningham FG, Lenovo KJ, Bloom SL, Hauth JC, Gilstrap LC, Wenstrom KD.
Hypertensive Disorder in pregnancy. Williams Obstetrics, 22nded,
McGraw-Hill, 2005: 761 808
Brooks MD. Pregnancy, Preeclampsia, Available at: http://www.emedicine.com,
Department of Emergency Medicine, St MaryCorwin Medical Center 2011.
Benson and Pernolls (2009), Buku Saku Obstetri dan Ginekologi, Jakarta: EGC

31

You might also like