Professional Documents
Culture Documents
Kelompok A9
Yogi Priambada
10.2009.135
10.2010.299
10.2013.041
Jason
10.2013.102
10.2013.131
Evita Jodjana
10.2013.201
10.2013.301
Albert Priyambadha
10.2013.440
10.2013.465
Abstrak
Demam berdarah dengue(DBD) merupakan penyakit infeksi virus yang di bawa oleh
nyamuk, dan disebabkan oleh gigitan nyamuk. DBD ini memiliki derajat-derajat tersendiri
untuk mengklasifikasikan penyakitnya. DBD bisa berkembang menjadi demam berdarah
dengan syok atau dengue syok sindrom (DSS) yang daoat menimbulkan kematian. Penyakit
ini sering terjadi di Indonesia dengan angka penderita masing-masing berbeda tiap daerah.
Penyakit ini meiliki gejala-gejala tertentu yang terkadang harus juga dengan pemeriksaan
laboratorium. Terdapat pengobatan medica dan non medica, serta untuk melakukan pencegaah
atau agar tidak terjadi lagi dapat menerapkan langkah 3M (menguras, menutup, mengubur).
Kata kunci: Demam berdarah dengue (DBD), demam syok sindrom(DSS), etiologi DSS,
epidemiologi DBD, penatalaksanaan DBD, pencegahan DBD.
Abstract
Dengue hemorrhagic fever (DHF) is a viral infectious disease carried by mosquitoes, and is
caused by mosquito bites. DHF has its own degrees to classify the disease. DHF can develop
into dengue fever or dengue shock with shock syndrome (DSS) that can cause death. This
disease often occurs in Indonesia, the numbers of each is different in each region. This
disease has particularly specific symptoms that sometimes must also with laboratory tests.
There are medical and non medica medica, and to take precautions to avoid or longer can
apply 3M step (drain, close, burying).
Keywords: Dengue hemorrhagic fever (DHF), fever shock syndrome (DSS), DSS etiology,
epidemiology of dengue, dengue management, prevention of dengue.
Pendahuluan
Demam berdarah dengue (DBD) bukanlah suatu hal yang asing lagi bagi
masyarakat diindonesia. DBD merupakan penyakit infeksi yang diakibatkan oleh
virus yang dibawa oleh nyamuk(vektor), dan ditularkan melalui gigitan nyamuk.
Jumlah penderita DBD cukup banyak diindonesia dengan perbebaan jumlah tiap
daerah masing-masing. Penyakit ini bisa menimbulkan efek yang ringan sampai
dengan kematian. DBD bisa berkembang jadi demam berdarah dengan syok(DSS)
dengan angka kematian yang cukup tinggi. Dengan penanganan yang baik penyakit
ini dapat teratasi dengan baik.
Anamnesis
Pemeriksaan Penunjang
3
II, derajat III, derajat IV. Demam dengan uji bendung positifDerajat I disertai
perdarahan spontan di kulit atau perdarahan lain Ditemukannya kegagalan sirkulasi,
yaitu nadi cepat dan halus, tekanan nadi menurun ( 20 mmHg) atau hipotensi disertai
kulit dingin, lembab dan gelisahSyok berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan
darah yang tidak dapat diukur.3
Dengue syok syndrome (DSS). Seluruh kriteria diatas untuk DBD disertai kegagalan
sirkulasi dengan manifestasi nadi yang cepat dan halus, tekanan nadi turun ( 20
mmHg), hipotensi. Dibandingkan standar sesuai umur, kulit dingin dan lembab serta
gelisah. Penderita seringkali mengeluhkan nyeri didaerah perut sesaat sebelum
renjatan timbul. Nyeri tersebut seringkali mendahului perdarahan gastrointestinal.3
Diagnosis
A. Working Diagnosis
Diagnosis demam berdarah biasa dilakukan secara klinis. Penyakit ini
ditunjukkan melalui munculnya demam secara tiba-tiba, disertai sakit kepala berat,
sakit pada sendi dan otot (myalgias dan arthralgias) dan ruam. Ruam demam berdarah
mempunyai ciri-ciri merah terang dan biasanya mucul dulu pada bagian bawah badan
pada beberapa pasien, ia menyebar hingga menyelimuti hampir seluruh tubuh. Selain
itu, radang perut bisa juga muncul dengan kombinasi sakit di perut, rasa mual,
muntah-muntah atau diare.4
Demam berdarah umumnya lamanya sekitar enam atau tujuh hari dengan
puncak demam yang lebih kecil terjadi pada akhir masa demam. Gejala klinis demam
berdarah menunjukkan demam yang lebih tinggi, pendarahan, trombositopenia dan
hemokonsentrasi . Sejumlah kecil kasus bisa menyebabkan sindrom shock dengue
yang mempunyai tingkat kematian tinggi.
Pada bayi dan anak-anak kecil biasanya berupa demam disertai Ruam-ruam
makulopapular. Pada anak-anak yang lebih besar dan dewasa, bisa dimulai dengan
demam ringan atau demam tinggi (>39 derajat C) yang tiba-tiba dan berlangsung
selama 2 - 7 hari, disertai sakit kepala hebat, nyeri di belakang mata, nyeri sendi dan
otot, mual-muntah dan ruam-ruam. Bintik-bintik perdarahan di kulit sering terjadi,
kadang kadang disertai bintik-bintik perdarahan di farings dan konjungtiva.5
Penderita juga sering mengeluh nyeri menelan, tidak enak di ulu hati, nyeri di
tulang rusuk kanan dan nyeri seluruh perut. Kadang-kadang demam mencapai 40410C dan terjadi kejang demam pada bayi. Perlu diperhatikan bahwa terjangkitnya
Demam Berdarah Dengue tidak selalu ditandai dengan munculnya bintik-bintik merah
5
pada kulit. Mendiagnosis secara dini dapat mengurangi resiko kematian daripada
menunggu akut.
Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14 hari), timbul
gejala prodormal yang tidak khas seperti : nyeri kepala, nyeri tukang belakang, dan
persaaan lelah.
Demam berdarah dengue (DBD). Berdasarkan criteria WHO tahun 1997
diagnosis ditegakkan bila semua hal di bawah ini dipenuhi:5,6
Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik.
Terdapat minimal 1 dari manisvestasi pendarahan berikut:
- Uji bending positif
- Petekie, ekimosis, purpura.
- Perdarahan mukosa ( tersering epitaksis, atau pendarahan gusi), pendarahan dari
tempat lain
- Hematemesis atau melena
Trombositoprenia (jumlah trombosit < 100.000/mikroliter)
Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai
-
berikut:
Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan
jenis kelamin.
Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan
adalah pada DBD ditemukan adanya kebocoran plasma. Selain itu perbedaan yang
paling utama adalah pada demam dengue tidak ditemukan manifestasi perdarahan
pada pasien. Pada kulit pasien dengan demam dengue hanya tampak ruam kemerahan
saja sementara pada pasien demam berdarah dengue akan tampak bintik bintik
perdarahan. Selain perdarahan pada kulit, penderita demam berdarah dengue juga
dapat mengalami perdarahan dari gusi, hidung, usus dan lain lain
Sindroma Syok Dengue (SSD). Seluruh kriteria di atas untuk DBD disertai
kegagalan sirkulasi dengan manifestasi nadi yang cepat dan lemah tekanan nadi
turun(<20 mmHg), hipotensi dibandingkan standar sesuai umur, kulit dingin dan
lembab serta gelisah. Klasifikasi Derajat Penyakit Infeksi Virus Dengue
sama
3. Demam Tifoid5
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan
gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam,
nyeri kepala, pusing, neri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau
diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epitaksis. Pada
pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu tubuh meningkat. Sifat demam
adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam
hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa
demam, bradikardia relative, lidah yang berselaput, hepatomegali,
splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor,
koma, delirium, atau psikosis. Roseole jarang terjadi pada orang
Indonesia.
4. Malaria
Malaria mempunyai gambaran karateristik demam periodic, anemia dan
splenomegali.
Masa
inkubasi
bervariasi
pada
masing-masing
Syok Sepsis
kondisi medis yang ditandai dengan tekanan darah rendah berbahaya yang
berbagai jenis bakteri dan pada kasus-kasus jarang, mungkin disebabkan oleh
jamur atau virus. Sejumlah besar racun yang dilepaskan bakteri ke dalam
kerusakan jaringan dan fungsi organ yang buruk. Hal ini merupakan kondisi
yang mengancam jiwa yang memerlukan perhatian medis segera karena hal
ini.5
Etiologi
Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan oleh
virus dengue, yang termasuk genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Virus
mempunyai empat serotipe yang dikenal dengan DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN4; dengan serotipe DEN-3 yang dominan di Indonesia dan paling banyak berkaitan
dengan kasus berat. Terdapat reaksi silang antara serotipe Dengue dengan Flavivirus
lainnya. Infeksi oleh salah satu serotipe Dengue akan memberikan imunitas
seumur hidup, namun tidak ada imunitas silang dengan jenis serotipe lain.6
Epidemiologi
Demam berdarah dengue tersebar di seluruh dunia di daerah tropis dan
subtropics, khususnya di wilayah Asia Tenggara, Pasifik Barat, dan Karibia. Perang
dunia II menimbulkan penyebaran dengue dan Asia Tenggara ke Jepang dan
kepulauan Pasifik.
Selama 20 tahun terakhir, endemic dengue telah menimbulkan masalah di Amerika.
Pada tahun 1995, lebih dari 200.000 kasus demam dengue dan lebih dari 5.500 kasus
demam berdarah dengue terjadi di Amerika selatan dan tengah. Diperkirakan sekitar
50 juta atau lebih kasus dengue terjadi setiap tahun di seluruh dunia dengan 400.000
kasus demam berdarah dengue. Kasus demam berdarah dengue merupakan penyebab
utama kematian pada anak di beberapa negara di Asia.
Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran diseluruh tanah air.
Pada tahun 1989-1995, insiden DBD di Indonesia antara 6-15 per 100.000 penduduk ,
dan pernah meningkat tajam saat keadaan luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk
pada tahun 1998, sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai
2% pada tahun 1999.
Pada komunitas urban, epidemic dengue bersifat eksplosif dan melibatkan
populasi dalam jumlah yang cukup banyak. Penularan infeksi virus dengue terjadi
melalui vector nyamuk genus Aedes, terutama Aedes aegypti dan Aedes albopictus.
Epidemi dengue umumnya dimulai pada musim hujan ketika terdapat banyak vector.
Peningkatan kasus setiap tahunnya berkaitan dengan sanitasi lingkungan dan
tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk betina.
Beberapa factor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi biakan virus
dengue, yaitu:6
9
1. Vektor
Meliputi perkembangbiakan vector, kebiasaan menggiti, kepadatan vector di
lingkungan, dan transpotasi vector dari satu tempat ke tempat lain.
2. Host
Meliputi terdapatnya penderita di lingkungan, atau keluarga mobilisasai dan
pemaparan terhadap vector, usia, dan jenis kelamin.
3. Lingkungan
Meliputi curah hujan, suhu, sanitasi, dan kepadatan penduduk.
Aedes
aegypti
dewasa
berukuran
lebih
kecil
dari
nyamuk
Culex
sampai petang dengan dua puncak waktu, yaitu setelah matahari terbit (8.00-10.00)
dan sebelum matahari terbenam (15.00-17.00). Tempat istirahat Aedes aegypti berupa
semak-semak atau tanaman rendah, dan juga berupa benda-benda yang tergantung di
dalam rumah seperti pakaian. Umur nyamuk dewasa betina di alam bebas kira-kira 10
hari. Walaupun berumur pedek yaitu kira-kira 10 hari, Aedes aegypti dapat
menularkan virus dengue yang masa inkubasinya antara 3-10 hari.
Aedes aegypti tersebar luas diseluruh Indonesia. Walaupun spesies ini
ditemukan di kota-kota pelabuhan yang oenduduknya padat, nyamuk ini juga
ditemukan di pedesaan. Penyebaran Aedes aegypti dari pelabuhan ke desa disebabkan
larva Aedes aegypti terbawa melalui transportasi.
Vektor potensial penyebaran demam berdarah dengue selain Aedes aegypti
adalah Aedes albopictus. Spesies ini tersebar luas diseluruh kepulauan Indonesia.
Spesies ini sepintas tampak seperti Aedes aegypti yaitu mempunyai warna dasar hitam
dengan bintik-bintik putih, tetapi pada mesonotumnya terdapat garis tebal putih
vertical. Walaupun kadang-kadang larva Aedes albopictus sering ditemukan hidup
bersama dalam satu tempat dengan tempat perindukan larva Aedes aegypti, namun
larva Aedes albopivtus ini lebih menyukai tempat-tempat perindukan alamiah (plant
containers) seperti kelopak daun, tonggak bamboo, dan tempurung kelapa yang
mengandung air hujan. Perilaku nyamuk Aedes albopictus boleh dikatakan sama
dengan Aedes aegypti meskipun nyamuk Aedes albopictus lebih senang beristirahat di
luar rumah
Patofisiologi
Hipotesis infeksi heterolog sekunder (the secondary heterologous infection
hypothesis atau the sequential infection hypothesis) sampai saat ini masih dianut.
Berdasarkan hipotesis ini seseorang akan menderita DBD/DHF apabila mendapatkan
infeksi berulang oleh serotipe virus dengue yang berbeda dalam jangka waktu tertentu
yang berkisar antara 6 bulan 5 tahun.7
Patogenesis terjadinya renjatan pada DHF merupakan peranan dari proses
imunologis. Berdasarkan hipotesis infeksi heterolog sekunder maka terbentuknya
11
12
yang paling penting dalam penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap
dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu
dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melalui intravena untuk mencegah
dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna.6
Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersana dengan Divisi
Penyakit Trofik dan Infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi Medik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia telah menyusun protokol penatalaksanaan DBD
pada pasien dewasa berdasarkan kriteria :
Penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan tindakan yang dibuat sesuai atas
indikasi.
Hb, Ht, dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000 150.000 pasien
dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke poliklinik dalam
13
Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk dirawat.
Bila Hb, Ht meningkat 10 20% dan trombosit < 100.000 jumlah pemberian
cairan tetap seperti rumus di atas tetapi pemantauan Hb, Ht trombosit dilakukan
tiap 12 jam.
Bila HB, Ht meningkat > 20% dan trombosit < 100.000 maka pemberian cairan
sesuai dengan protokol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20
14
15
Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan. Selain
resusitasi cairan, penderita juga diberikan oksigen 2 4 liter/menit. Pemeriksaanpemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL),
hemostasis, analisis gas darah, kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan
kreatinin.
Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10 20 ml/kgBB dan
dievaluasi setelah 15 30 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan tekanan
darah sistolik 100 mHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang
dari 100 kali per menit dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit
tidak pucat disertai diuresis 0,5 1 ml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi menjadi 7
ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60 120 menit kemudian tetap stabil pemberian
cairan menjadi 5 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60 120 menit kemudian keadaan
tetap stabil pemberian cairan menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila 24 - 48 jam setelah
renjatan teratasi tanda-tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta diuresis cukup
maka pemberian cairan perinfus harus dihentikan (karena jika reabsorbsi cairan
plasma yang mengalami ekstravasasi
hematokrit, cairan infus terus diberikan maka keadaan hipervolemi, edema paru atau
gagal jantung dapat terjdi.)
Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang terus dilakukan
terutama dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadi renjatan (karena selain proses
patogenesis penyakit masih berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar 20%
saja yang menetap dalam pembuluih darah setelah 1 jam saat pemberian). Oleh karena
untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan baik, diperlukan pemantauan
tanda vital yaitu status kesadaran, tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi jantung
dan naps, pembesaran hati, nyeri tekan daerah hipokondrium kanan dan epigastrik,
serta jumlah diuresis.diuresis diusahak 2 ml/kgBB/jam. Pemantauan kadar
hemoglobin, hematokrit dan jumlah trombosit dapat dipergunakan untuk pemantauan
perjalanan penyakit.
Bila setelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi, maka
pemberian cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20 30 ml/kgBB/jam dan
kemudian dievaluasi setelah 20 30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, maka
perhatikan nilai hematokrit. Bila nilai hematokrit meningkat berarti perembesan
plasma masih berlangsung maka pemberian cairan koloid merupakan pilihan, tetapi
bila nilai hematokrit menurun, berati terjadi perdarah (internal bleeding) maka
16
penderita diberikan transfusi darah segar 10 ml/kgBB dan dapat diulang sesuai
kebutuhan.
Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui sifatsifat cairan tersebut. Pemberian koloid sendiri mula-mula diberikan dengan tetesan
cepat 10 - 20ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10 - 30 menit. Bila keadaan tetap belum
teratasi maka untuk memantau kecukupan cairan dilakukan pemasangan kateter vena
sentral, dan pemberian koloid dapat ditambah hingga jumlah maksimum 30ml/kgBB
(maksimal 1 - 1,51/hari) dengan sasaran tekanan vena sentral 15-18 cm H 20. Bila
keadaan tetap belum teratasi harus diperhatikan dan dilakukan koreksi terhadap
gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID, infeksi sekunder. Bila
tekanan vena sentral penderita sudah sesuai dengan target tetapi renjatan tetap belum
teratasi maka dapat diberikan obat inotropik / vasopresor
Non medikamentosa
Bedrest (tirah baring), minum air yang banyak. Mengedukasi keluarga pasien
untuk melakukan kegiatan pencegahan DBD dengan 3M, yaitu menutup, menguras,
mengubur barang-barang yang dapat menampung air. Menganjurkan agar pasien
memakai repellan untuk mencegah gigitan nyamuk. Menjaga asupan nutrisi yang
seimbang, baik kualitas, maupun kuantitasnya
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah ensefalopati dengue, dapat terjadi pada
DBD dengan syok ataupun tanpa syok. Kelainan ginjal, akibat syok berkepanjangan
dapat terjadi gagal ginjal akut. Edema paru, seringkali terjadi akibat overloading cairan.
Prognosis
Demam berdarah dengue dapat menjadi fatal bila kebocoran plasma tidak
dideteksi lebih dini. Namun, dengan manajemen medis yang baik yaitu monitoring
trombosit dan hematokrit maka mortalitasnya dapat diturunkan. Jika trombosit
<100.000/ul dan hematokrit meningkat waspadai DSS.7
Pencegahan
17
Daftar Pustaka
1. Gleadle Jonathan. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Penerbit
Erlangga; 2007. h. 1-17.
2. Departemen Kesehatan RI. Pedoman tatalaksana klinis infeksi dengue di sarana
pelayanan kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan; 2005.h.22-4
3. Hirawati. Dengue syok sindorm(dss).Riau: Fakultas Kedokteran Universitas Riau;
2009.h.30-6
4. Bastiansyah, Eko. Panduan lengkap: membaca hasil test kesehatan. Jakarta:
Penebar Plus; 2008.h.45-7.
5. Widyastuti, Palupi. Pencegahan dan pengendalian dengue dan demam berdarah
dengue:panduan lengkap. Jakarta: EGC; 2005.h.41-5.
18
19