You are on page 1of 8

Nama

NIM
Universitas

: Mutiara Ferina
:030.11.202
:FK. Trisakti
Psikiatri Forensik

Psikiatri forensik menurut American Academy of Psychiatry and The Law, adalah
penggunaan keilmuan dan ekspertise psikiatri pada konteks hukum (baik pidana, perdata,
administratif, dan terutama pada konsultasi klinis dalam area penilaian tingkat risiko atau
masalah ketenagakerjaan).1 Psikiatri forensic merupakan sub-spesialisasi ilmu kedokteran yang
menelaah mental manusia dan membantu hukum dan peradilan. Kedokteran forensic merupakan
salah satu titik singgung ilmu hokum dan ilmu kedokteran selain ilmu hokum kedokteran.
Perbedaannya adalah para kedokteran forensic, dokter ilmu kedokteran berfungsi membantu
ilmu hokum dan peradilan secara aktif; sedangkan pada ilmu hukum kedokteran, dokter dan ilmu
kedokteran merupakan objek pasif yang ditelaah oleh ilmu hukum.2
Kegiatan utama psikiatri forensik adalah pembuatan Visum et Repertum Psychiatricum.
Kasus hukum yang saat ini yang paling banyak dimintakan pembuatan Visum et Repertum
Psychiatricum adalah kasus pidana. Dengan berkembangnya ilmu hukum dan ilmu kedokteran
serta pengetahuan masyarakat tentang hukum, berkembang pulalah kasus-kasus hukum yang
diminta untuk dibuatkan Visum et Repertum Psychiatricum. Pada garis besarnya, kasus-kasus
hukum yang sering dimintakan Visum et Repertum Psychiatricum adalah sebagai berikut:
1. Kasus pidana:
a. Terperiksa sebagai pelaku
b. Terperiksa sebagai korban
2. Kasus Perdata:
a. Pembatalan kontrak
b. Pengampuan atau curatelle
c. Hibah
d. Perceraian
e. Adopsi
3. Kasus-kasus lain:
a. Kompetesi untuk diinterviewed
b. Kelayakan untuk diajukan di sidang pengadilan.2
Bagaimana perlakuan terhadap orang-orang sedemikian dalam hukum pidana, dalam
KUHPidana diatur pada Pasal 44. Pasal 44 KUHPidana, menurut terjemahan oleh Tim
Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, memberikan ketentuan
yang sebagai berikut:
(1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena
jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.

(2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena
pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan
supaya orang itu di- masukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu
percobaan.
(3) Ketentuan dalam ayat 2 hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan
Pengadilan Negeri.
Dalam Pasal 44 ayat (1) KUHPidana tersebut diatur salah satu dari apa yang dalam
doktrin dinamakan alasan-alasan penghapus pidana (Bld.: strafuitsluitingsgronden). Seseorang
yang keadaan psikhisnya sebagaimana yang ditentukan dalam ayat ini - yaitu jiwanya cacat
dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit - , sekalipun ia telah melakukan suatu
perbuatan yang jelas-jelas sudah mencocoki rumusan suatu ketentuan pidana, tidaklah dapat
dipidana.
Dalam Pasal 44 ayat (2) KUHPidana diatur mengenai tindakan (Bld.: maatregel) yang
dapat dikenakan oleh hakim berkenaan dengan orang yang berada dalam keadaan sebagaimana
dirumuskan dalam Pasal 44 ayat (1) KUHPidana. Selanjutnya dalam Pasal 44 ayat (3)
KUHPidana, ditentukan pengadilan mana yang mempunyai wewenang yang ditentukan dalam
ayat (2) Pasal 44 KUHPidana, yaitu wewenang untuk memasukkan seorang terdakwa ke rumah
sakit jiwa sebagai masa percobaan. Menurut ayat ini, yang memiliki wewenang tersebut
hanyalah Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri saja. Pengadilanpengadilan lainnya, tidak diberikan wewenang sedemikian.3
Ketentuan yang berhak membuat Visum et Repertum Psychiatricum tercantum dalam
Undang - Undang Kesehatan nomor 36 Tahun 2009 Pasal 150:
(1) Pemeriksaan kesehatan jiwa untuk kepentingan penegakan hukum ( visum et repertum
psikiatricum ) hanya dapat dilakukan oleh dokter spesialis kedokteran jiwa pada fasilitas
pelayanan kesehatan.
(2) Penetapan status kecakapan hukum seseorang yang diduga mengalami gangguan kesehatan
jiwa dilakukan oleh tim dokter yang mempunyai keahlian dan kompetensi sesuai dengan standar
profesi.4
Pasal 183 KUHAP berbunyi sebagai berikut:
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang
-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar
-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya
Ketentuan di atas adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian
hukum bagi seseorang. Untuk dapat menjatuhkan hukuman diisyaratkan terpenuhi 2 syarat
yaitu: Alat bukti yang sah (wettige bewijsmiddelen) dan Keyakinan hakim (overtuiging des
rechters). Yang disebut pertama dan kedua satu sama lain berhubungan sedemikian rupa, dalam
arti bahwa yang disebut terakhir adalah dilahirkan dari yang pertama.
Sesuai dengan ini, maka kita juga mengatakan adanya keyakinan yang sah (wettige
overtuiging), atau keyakinan yang diperoleh dari alat-alat bukti yang sah (wettige
bewijsmiddelen)
Dengan hanya satu alat bukti saja, umpama dengan keterangan dari seorang saksi, tidak
diperoleh bukti yang sah, tetapi harus dengan keterangan beberapa alat bukti. Dengan demikian

maka kata-kata alat-alat bukti yang sah mempunyai kekuatan dalam arti yang sama dengan
bukti yang sah. Selain bukti yang demikian, diperlukan juga keyakinan hakim yang harus
diperoleh atau ditimbulkan dari alat - alat bukti yang sah. (wittig bewijs).
Yang dimaksudkan dengan a lat bukti dapat di lihat dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP, ialah
sebagai berikut:
Alat bukti yang sah ialah:
1. Keterangan saksi;
2. Keterangan ahli;
3.Surat
4.Petunjuk
5. Keterangan terdakwa.5
Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian
khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna
kepentingan pemeriksaan (KUHAP Ketentuan Umum pasal 1 butir 28). Keterangan ahli ialah
apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan (KUHAP pasal 186). Setiap orang yang
diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib
memberikan keterangan ahli demi keadilan. (KUHAP pasal 179 ayat 1)
Keterangan ahli Kedokteran jiwa ada dua bentuk yaitu :
Surat keterangan ahli kedokteran jiwa (VeRP ) yang didahului sebutan PRO JUSTITIA
yang dibuat dalam bentuk menurut pedoman yang ditetapkan dan terikat sumpah jabatan
dokter Indonesia.
Keterangan ahli Kedokteran Jiwa lisan yang dinyatakan dalam sidang pengadilan
dibawah sumpah.
Pembuatan visum tersebut memiliki berbagai fungsi, yaitu:
Membantu menentukan apakah terperiksa mengalami gangguan jiwa dengan upaya
menegakkan diagnosis
Membantu menentukan kemungkinan adanya hubungan antara gangguan jiwa pada
terperiksa dengan peristiwa hukumnya.
Membantu menentukan kemampuan bertanggung jawab pada terperiksa
Membantu menentukan cakap tidaknya terperiksa bertindak dalam lalu lintas hukum.
Pada pembuatan Visum et Repertum Psychiatricum memiliki format yang tersendiri yang
ditetapkan oleh pedoman Visum et Repertum Psychiatricum Direktorat Kesehatan Jiwa
Departemen Kesehatan yaitu terdiri dari:
I.
II.
III.
IV.
V.

PROJUSTITIA
Identitas Pemeriksa
Identitas Peminta
Identitas terperiksa
Laporan Hasil pemeriksaan
Anamnesis

VI.

Status internistik
Status neurologis
Status psikiatrik
Pemeriksaan Tambahan
Diagnosis
Kesimpulan

Visum et Repertum Psychiatricum merupakan satu dokumen hukum, disusun dan ditulis
seperti dokumen-dokumen hukum lainnya. Oleh karena itu bukan dokumen medis, penggunaan
bahasa kedokterannya disarankan dapat dimodifikasi menjadi bahasa hukum, atau setidaknya
bahasa awam yang dapat dimengerti oleh orang hukum.
Biasanya yang merupakan bagian penting dari ahli hukum adalah kesimpulan. Bagian
kesimpulan ini merupakan jawaban dari pertanyaan yang tercantum di dalam surat permintaan
pembuatan Visum et Repertum Psychiatricum. Sangat diharapkan bahwa pertanyaan di dalam
surat tersebut jelas arahnya karena akan menjadi arahan bagi psikiater pembuat Visum et
Repertum Psychiatricum dalam pemeriksaan.
Sering pertanyaan dalam surat permintaan Visum et Repertum Psychiatricum: apakah
terdakwa menderita gangguan jiwa atau bagaimana mental tergugat. Pertanyaan pertanyaan
seperti ini tidak jelas dan tidak dapat dijadikan pedoman apa yang harus diperiksa pada terdakwa
atau tergugat. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini: bagaimanakah kemampuan bertanggung jawab
terdakwa, atau apakah saksi dapat diajukan dalam sidang pengadilan, atau apakah orang yang
diminta untuk diperiksa cakap atau kompeten dalam lalu lintas hukum; merupakan pertanyaan
yang jelas dan terarah yang sangat diharapkan oleh psikiater yang akan membuat Visum et
Repertum Psychiatricum.
Bagian yang terpenting dalam Visum et Repertum Psychiatricum adalah bagia
kesimpulan. Kesimpulan merupakan jawaban pada pertanyaan yang tercantum dalam surat
permintaan Visum et Repertum Psychiatricum. Seharusnya kseimpulan harus selalu ada, tetapi
dapat dimaklumi bahwa tidak jarang suatu rangkaian pemeriksaan tidak menghasilkan apa-apa.
Dekngan demikian masih dimugkinkan pada keimpulan disebutkan: tidak dapat ditarik
kesimpulan.
Pemeriksaan pada Visum et Repertum Psychiatricum.
Pemeriksaan yang lazim pada Visum et Repertum Psychiatricum adalah sebagai berikut
1. Pemeriksaan kemampuan bertanggung jawab
Pada awalnya yang ditanyakan oleh yang meminta pada Visum et Repertum
Psychiatricum adalah apakah terdakwa menderita gangguan jiwa. Ada anggapan bahwa
gangguan jiwa yang diderita terdakwa selalu merupakan alas an untuk melakukan
pelanggaran pidana,dalam arti bahwa tindakan pelanggaran hukum merupakan bagian
atau gejala dari gangguan jiwa. Namun ternyata tidak demikian, seorang terdakwa
skizofrenia dapat mencopet uag dari dompet seseorang yang tidakan copet bukan
merupakan skizofrenia.

Dahulu adanya diagnosis gangguan jiwa dianggap cukup untuk menyatakan bahwa
terdakwa dibebakan dari tuntutan. Padahal sebernarnya yang diharapkan adalah
kepastian seberapa jauh kemampuan bertanggung jawab terdakwa terhadap pelanggaran
hukum.
Untuk seseorang dapat bertanggung jawab dapat dilihat dari skema berikut:
Tahap kemampuan menyadari tindakan
Seharusnya pelaku dapat mempersepsi kemudian menginterpretasi dan mengambil
konklusi dari suatu stimulus. Kesadaran disini dinilai dengan pemeriksaan kesadaran.
b.
Tahap memahami tindakan
Stimulus respons menelaah nilai dan resiko terhadap diri dan lingkungan
( discriminative insight ) alternative respon yang mempertimbangkan baik-buruk,tinggirendah, dosa-pahala (discriminative judgement)
c.
Tahap pemilihan dan pengarahan tindakan
Seseorang yang normal dan mampu bertanggung jawab akan bebas mempertimbangkan
dan memilih respons yang kemudian akan bebas mengarahkan respons yang dipilih sebagai suatu
tindakan.
a.

Pemeriksaan kemampuan bertanggung jawab ini umumnya dilaksanakan untuk kasus sebagai
berikut:
a. Kasus pidana dimana terperiksa sebagai pelaku
b. Kasus perdata, misalnya untuk pembatalan kontrak.Dalam hal ini salah satu penanda
tangan kontrak diduga menderita gangguan jiwa. Biasanya kasus seprti ini terjadi pada :
penipuan.
2. Pemeriksaan Kopetensi (Cakap) dalam lalu lintas hukum
Yang dinilai biasana menyangkut tindakan yang mungkin akan dilakukan oleh
si terperiksa terutama yang bersangkutan dengan hartanya atau dalam
hubungannya dengan hubungan sosial yang memiliki konsekuensi yuridis. Pada
gangguan jiwa yang dapat sembuh (reversible), penentuan kompetensi tidak
begitu berarti. Pada gangguan jiwa yang menetap (irreversible), maka akan
berlanjut pada kasus-kasus pengampuan, hibah atau pewarisan dan sebagainya.

3. Penetuan hubungan sebab -akibat (kausalitas) antara suatu kondisi dengan timbulnya
gangguan jiwa.
Kasus-kasus yang membutuhkan pemeriksaan untuk menentukan hubungan kausal antara
satu kondisi dengan ganggua jiwa antara lain:
a. Kasus yang terperiksa adalah korban
b. Kasus ganti rugi pada gangguan jiwa atau cacat jiwa akibat suatu kondisi kerja.
4. Kompetensi untuk ditanya (competence to be interviewed) dan kelayakan untuk diajukan
di siding pengadilan ( fitness to stand trial)
Seseorang (terperiksa) akan diajukan ke pengadilan harus memenuhi syarat-syarat
berikut:

Apakah sidang dapat dilaksanakan (applicable)? Sidang dapat dilaksanakan


apabila terperiksa dapat menaati peraturan ketertiban sidang.
Apakah sidang tidak berbahaya ( harmful) bagi terperiksa? Sidang tidak dapat
dilaksanakan apabila suasana sidang terlalu menekan sehingga terperiksa dapat
menjadi sakit atau bahkan meninggal
Apakah sidang bermanfaat ( beneficial)? Diharapkan dalam sidang, terperiksa
mengerti akan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dan dapat mengungkapkan
pendapatnya dan dimengerti orang lain.
Alur pembuatan Visum et Repertum Psychiatricum
Pelaku/korban tindak pidana

BAP Polisi

Diduga menderita kelainan jiwa*

Surat Permohonan pembuatan VeRP**

Institusi Pelayanan Kesehatan

Observasi 2 minggu***

Psikiater + tim pemeriksa (psikolog, dll)

Pemeriksaan tambahan

Penyusunan VeRP
*Minta pendapat ahli
1.
Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat
orang ahli atau orang
yang memiliki keahlian khusus.(KUHAP pasal 120 ayat 1).
2.
Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau
seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan
bagi dirinya. (KUHAP pasal 65).
3.
Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang
pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan
bahan baru oleh yang berkepentingan.(KUHAP fasal 180 ayat 1).
** Yang berhak jadi pemohon
1. Penyidik ( KUHAP pasal 120 ) : Polisi, KPK
2. Penuntut umum dalam hal tindak pidana khusus
( pasal 120, pasal 284) : Jaksa, KPK
3. Hakim pengadilan (pasal 180 ayat 1)

4. Tersangka/terdakwa/korban melalui pejabat sesuai dengan tingkat an proses pemeriksaan


(pasal 65, pasal 180 ayat 1,2,3,4)
5. Penasehat hukum/pengacara melalui pejabat sesuai dengan tingkatan proses pemeriksaan
( pasal 180 ayat 1,2)
Tatacara meminta Visum
Surat permintaan tertulis dari penegak hukum (pemohon) yang ditujukan kepada sarana
yankeswa pemerintah
Berisi : - identitas lengkap pemohon
- identitas lengkap tersangka
- alasan permintaan VeRP
- Berita acara pemeriksaan (BAP)
Tersangka diobservasi selama-lamanya 14 hari dan dapat diperpanjang bila diperlukan
dengan persetujuan tertulis pemohon, dengan memperhatikan masa tahanan.
Observasi
Permohonan surat perpanjangan observasi dilakukan secara resmi dan tertulis
Selama diobservasi, tersangka mendapat penjagaan dari pihak pemohon dan tidak
diperkenankan menerima kunjungan kecuali dengan persetujuan kepala sarana yankeswa
Selama observasi tidak dilakukan terapi, kecuali dalam keadaan darurat medik tertentu.
Selama proses observasi, tersangka dilarang dibawa keluar dari sarana yankeswa kecuali
untuk pemeriksaan penunjang medis.
Setelah proses observasi selesai, terperiksa harus dibawa kembali oleh instansi pemohon
dan VeRP harus diserahkan dalam 7 hari pasca observasi selesai.
Pembiayaan ditanggung oleh instansi pemohon atau keluarga tersangka.
*** Jangka waktu observasi
UU Kesehatan Jiwa tahun 1965 menyebutkan :
jangka waktu observasi antara 3 minggu sampai 6 bulan, yang didasarkan pada
kemungkinan penyesuaian diri (adaptasi) terperiksa pada lingkungan perawatan.
KUHAP berdasarkan atas Hak Asasi Manusia yang masa penahanan tidak boleh melebihi
90 hari maka jangka waktu observasi harus diperpendek.
Pedoman pembuatan VeRP dari Direktorat Kesehatan Jiwa menyesuaikan jangka waktu
observasi dengan yang ditentukan KUHAP.
Daftar Pustaka
1. American Academy of Psychiatric and the Law. What is Forensik Psychiatric? Avalaible
at: http://www.aapl.org/org.htm
2. Dharmabrata W, Nurhidayat AW. Psikiatri Forensik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.2003.
3. Punuh SR. Kemampuan bertanggung jawab dalam Pasal 44 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana. Lex Crimen 2015;3:83-9
4. Undang - Undang Kesehatan nomor 36 Tahun 2009

You might also like