You are on page 1of 3

Di tengah kerisauan menghadapi kenyataan keterbatasan anggaran dan tuntutan perbaikan

kesejahteraan rakyat, Bangsa Indonesia masih belum mampu mengelola keuangan negara
dengan baik. Hasil pemeriksaan BPK menunjukkan adanya penyimpangan keuangan negara
sekitar Rp 650,298 triliun untuk periode tahun 2007 sampai semester I tahun 2011. Jumlah
perkara yang disidik dan dituntut aparat penegak hukum meningkat masing-masing dari 822
dan 662 perkara pada tahun 2007 menjadi 2.603 dan 1.755 perkara pada tahun 2010, namun
menurun pada tahun 2011 masing-masing 1.837 dan 954 perkara. Jumlah hukuman yang
dijatuhkan kepada koruptor kelas kakap, sedang, dan kecil berturut-turut adalah 50,10%,
61,6% dan 70,30% dari jumlah hukuman yang dituduhkan. Hanya peningkatan jumlah
perkara korupsi yang ditangani KPK yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap
peningkatan jumlah uang negara yang terselamatkan (sig < 0,05, yaitu 0,034). Indeks
keberlanjutan (IKB) proses penegakan hukum terhadap korupsi sekitar 41,95 (kategori
kurang). Sedangkan faktor kendala yang paling mengganggu (dependency dan drive power
kuat) adalah jumlah dan kualitas penyidik yang terbatas, ketergantungan pada waktu yang
dibutuhkan BPK, kerahasiaan dokumen APBD/APBN/DIPA kegiatan.

BPK: Penyimpangan APBN Rp 37,3 Triliun


Badan Pemeriksa Keuangan mengungkapkan, masih terjadi penyimpangan pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara yang dilaksanakan pemerintah pusat, pemerintah daerah,
BUMN/BUMD, dan Bank Indonesia. Jumlahnya mencapai Rp 37,3 triliun atau 2,85 persen
dari total realisasi anggaran dan aset yang diperiksa senilai Rp 1.312 triliun.
Penyimpangan itu terjadi selama pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan
Daerah (APBN/APBD) Januari-Juni 2004 dan periode dua tahun sebelumnya.
Demikian diungkapkan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Satrio B Joedono dalam
Sidang Paripurna DPR yang dipimpin Ketua DPR Akbar Tandjung, Rabu (22/9) di Jakarta.
Satrio menyerahkan laporan Hasil Pemeriksaan Semester (Hapsem) I yang dilakukan BPK
tahun 2004.

Penyimpangan yang dimaksud BPK adalah ketidaktertiban dan ketidaktaatan melaksanakan


ketentuan mengenai pengelolaan keuangan, juga ketidakhematan dan tidak efisien, termasuk
tidak efektif dalam penggunaan anggaran.
Satrio menyatakan, sejumlah temuan penyimpangan didapatkan tim pemeriksa BPK terhadap
pengelolaan keuangan negara. Penyimpangan itu mulai dari pengelolaan penerimaan negara
bukan pajak (PNBP) sebesar 27,16 persen dari cakupan pemeriksaan dan penyimpangan
belanja pembangunan di APBN sebesar 12,26 persen. Penyimpangan juga terjadi pada
Proyek Peningkatan Perguruan Agama Islam Tingkat Menengah tahun 2002 yang mencapai
41,89 persen dari cakupan pemeriksaan sebesar Rp 89,92 miliar. Penyimpangan ini dinilai
yang tertinggi dalam persentase, katanya.
Penyimpangan berikutnya di Proyek Bantuan dan Jaminan Sosial tahun 2002 sebesar Rp
156,07 miliar atau 15,89 persen dari cakupan pemeriksaan Rp 982,33 miliar. Adapun
penyimpangan dengan persentase terendah, demikian Satrio, terjadi dalam pemeriksaan
Proyek Pengembangan Istana Kepresidenan, yakni 0,00 persen dengan nilai nihil.
Dikatakan Satrio, BPK juga telah melakukan pemeriksaan atas laporan keuangan tahunan
Bank Indonesia (BI) di tahun 2003. BPK memberikan pendapat wajar tanpa pengecualian.
Namun, dengan catatan antara lain mengenai pemberian fasilitas kepada mantan Dewan
Gubernur BI pada tahun 2003, belum dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan dalam
peraturan BI, yaitu PBI Nomor 4/16/PDG/2002 tanggal 17 Desember 2002.
Putra-putri

anggota

dewan

Seusai penyampaian laporan tersebut di DPR, Satrio yang ditanya pers perihal kasus yang
paling menonjol dari laporan BPK tersebut menyatakan penyimpangan dalam pelaksanaan
belanja di kabupaten/kota sebesar 100 persen dari cakupan pemeriksaannya senilai Rp 1,64
miliar.
Yang paling menonjol adalah penyimpangan dalam anggaran belanja kabupaten yang
mencapai 100 persen. Lihat laporan BPK saja, katanya.
Dari laporan Hapsem I BPK yang dibacakan Satrio dan dibagikan kepada pers, terungkap
adanya pemberian bantuan pendidikan bagi 41 putra-putri dari total 45 putra-putri anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.

Laporan itu menyebutkan, masing-masing putra-putri anggota DPRD Temanggung mendapat


bantuan dana Rp 1,64 juta per orang. Laporan yang juga dibacakan Satrio itu tidak merinci
alasan dan tujuan dari pemberian bantuan.
Dilaporkan

ke

Jaksa

Agung

Pada bagian lain, Satrio juga mengakui, dari sejumlah temuan pemeriksaan yang dilakukan
BPK selama ini, terdapat dua kasus penyimpangan yang terindikasi adanya dugaan tindak
pidana korupsi dan kolusi. Dua kasus itu sudah disampaikan ke Jaksa Agung untuk dapat
ditindaklanjuti.
Disebutkan, kasus pertama meliputi hasil pemeriksaan atas laporan keuangan daerah Provinsi
Gorontalo pada tahun anggaran 2002 dan 2003, yang antara lain memuat dua temuan
pemeriksaan atas laporan keuangan tahun 2003 senilai Rp 5,61 miliar. Ini sudah
ditindaklanjuti ke Jaksa Agung degan surat Nomor 37/R/S/I-IV/08/2004 tanggal 19 Agustus
lalu, ujarnya.
Kasus kedua sudah ditindaklanjuti dengan surat bernomor 38/R/S/I-VI/08/2004 tanggal 19
Agustus lalu. Isinya mengenai hasil pemeriksaan atas pelaksanaan APBD Kabupaten Deli
Serdang tahun anggaran 2002 dan 2003, yang memuat 13 temuan sebesar Rp 36,30 miliar,
katanya.
Mengenai harapannya terhadap presiden baru supaya dapat mengurangi penyimpangan
keuangan di masa mendatang, Satrio menyatakan, presiden harus terus mengingatkan para
menteri sebagai kepala kantor untuk bertanggung jawab atas segala penyimpangan keuangan
di lingkungan kerjanya. Kalau ada penyimpangan, menteri atau kepala kantor harus
bertanggung jawab, ujarnya.
Secara terpisah, Akbar Tandjung menyatakan, pimpinan DPR segera mengirim surat lagi ke
Presiden Megawati Soekarnoputri supaya segera menetapkan ketua, wakil ketua, dan anggota
BPK. Ini surat ketiga DPR untuk meminta Presiden segera menetapkan pimpinan BPK.
Menurut Akbar, tidak ada alasan presiden menolak untuk menetapkan BPK. (har)

You might also like