You are on page 1of 40

REFERAT

TATALAKSANA PRE DAN POST OPERATIF KASUS


KEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGAN

Disusun oleh :
Yozhani Intan Thursina Puri, S.ked
1102012312

PEMBIMBING :
dr. H. Ammar Siradjuddin, Sp.OG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI


KEPANITERAAN KLINIK OBSTETRIK DAN GINEKOLOGI
RSUD DR DRADJAT PRAWIRANEGARA
AGUSTUS 2016

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................iii
BAB. I. PENDAHULUAN ..........................................................................................1
1.1. Latar Belakang........................................................................................................1
1.2.Tujuan.......................................................................................................................2
1.4. Manfaat....................................................................................................................3
BAB. II. TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................................4
2.1. Definisi....................................................................................................3
2.2. Klasifikasi Pembedahan..........................................................................................3
2.3. Indikasi Pembedahan...............................................................................................5
2.3.1. Indikasi Pembedahan Obstetri..............................................................................5
2.3.1.1 Indikasi Fetus.....................................................................................................6
2.3.2. Indikasi Pembedahan Ginekologi.........................................................................6
2.4. Faktor Resiko..........................................................................................................7
2.5. Pre Operatif.............................................................................................................9
2.6. Intra Operatif.........................................................................................18
2.6.1. Pembedahan Obstetri..........................................................................................18
2.6.1.2. Sectio Cesarea.................................................................................................18
2.6.1.2.1. Definisi Sectio Cesarea................................................................................18
2.6.1.2.2. Syarat Sectio Cesarea...................................................................................18
2.6.1.2.3.Indikasi Sectio Cesarea.................................................................................19
2.6.1.2.4. Klasifikasi Sectio Cesarea...........................................................................19
2.6.1.2.5. Resiko Sectio Cesarea..................................................................................22
2.7.1. Pembedahan Ginekologi................................................................................... 23

2.7. Post Operatif..........................................................................................................25


2.8. Komplikasi Pasca Operasi Ginekologi..................................................................28
BAB. III. PENUTUP..................................................................................................36
KESIMPULAN............................................................................................................36
SARAN........................................................................................................................37
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................38

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb.
Alhamdulillah, Puji dan syukur senantiasa saya panjatkan kehadirat Allah
SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, serta shalawat dan salam
kepada Nabi Muhammad SAW, dan para sahabat serta pengikutnya hingga akhir
zaman. Karena atas rahmat dan ridha-Nya, penulis dapat menyelesaikan Referat yang
berjudul Tatalaksana Pre dan Post Operatif Kasus Kebidanan dan Penyakit
Kandungan. Penulisan refarat ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas dalam
menempuh kepanitraan klinik di bagian obstetrik dan ginekologi di RSUD dr. Drajat
Prawiranegara.
Pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis menyampaikan rasa terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu, terutama kepada dr.
Ammar Siradjuddin, Sp.OG yang telah memberikan arahan serta bimbingan
ditengah kesibukan dan padatnya aktivitas beliau.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat dalam
penulisan refarat ini. Untuk itu penulis mengharapkan kritik maupun saran yang
bersifat membangun dari para pembaca. Akhir kata penulis berharap semoga refarat
ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.
Wassalamualaikum Wr.Wb.
Serang, Agustus 2016

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sering kali kalangan awam dibingungkan dengan istilah obstetri dan
ginekologi. Istilah ini menyangkut cabang ilmu kedokteran yang mempelajari dan
menangani kesehatan wanita. Secara bahasa, kata Obstetri (berasal dari bahasa
Latin obstare, yang berarti siap siaga atau to stand by) adalah spesialisasi
pembedahan yang menangani pelayanan kesehatan wanita selama masa kehamilan,
persalinan dan nifas. Sedangkan pengertian Kebidanan adalah pelayanan yang
sama namun bukan merupakan tindakan yang berkaitan dengan pembedahan. Hal ini
yang membedakan profesi dokter kebidanan dengan bidan.1-2
Di dalam praktek kedokteran pengambilan keputusan klinis dalam penentuan
kasus kebidanan maupun penyakit kandungan sangatlah penting. Beberapa keputusan
yang diambil merupakan hasil dari teori yang mendasar dan logis dari ilmu
kedokteran. Namun, ada pula sebagai hasil dari pengalaman dogma, kebiasaan tanpa
berfikir dan intuisi, dengan demikian setiap keputusan harus dipertimbangkan
keuntungan dan resikonya baik itu dalam pembuatan keputusan tindakan klinis
maupun keputusan dilakukannya tindakan operasi.3
Tindakan operasi merupakan tindakan pembedahan pada suatu bagian tubuh.
Sebagian besar pembedahan adalah pembedahan berencana. Oleh karena itu,
penilaian prabedah dan persiapan pembedahan harus disiapkan lebih teliti. Persiapan
yang teliti diharapkan akan menunjang keberhasilan pembedahan.1

Sebelum dilakukannya tindakan operasi kita mengenal istilah pre opration yaitu
merupakan ijin tertulis yang ditandatangani oleh klien untuk melindungi dalam proses
operasi yang akan dilakukan. Prioritas pada prosedur pembedahan yang utama adalah
inform consent yaitu pernyataan persetujuan klien dan keluarga tentang tindakan yang
akan dilakukan yang berguna untuk mencegah ketidaktahuan klien tentang prosedur
yang akan dilaksanakan dan juga menjaga rumah sakit serta petugas kesehatan dari
klien dan keluarganya mengenai tindakan tersebut. Pada periode pre operatif yang
lebih diutamakan adalah persiapan psikologis dan fisik sebelum operasi. 1
1.2. Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum
Mampu memahami tentang berbagai jenis pembedahan obstetrik maupun
ginekologi, mulai dari persiapan pembedahan sampai komplikasi yang mungkin
terjadi
1.2.2. Tujuan Khusus
Mengerti dan memahami berbagai persiapan tindakan operatif yang
meliputi :
a. Mengerti dan memahami tentang tatalaksana pre operatif kasus
kebidanan dan penyakit kandungan.
b. Mengerti dan memahami tentang tatalaksana post operatif kasus
kebidanan dan penyakit kandungan.

1.3.

Manfaat

1.3.1. Bagi Penulis

Menambah pengetahuan dan sebagai sarana penerapan ilmu pengetahuan


yang telah penulis peroleh selama mengikuti kepanitraan stase Obgyn.
1.3.2. Bagi Masyarakat
Diharapkan dapat menambah informasi bagi tenaga kesehatan sebagai
bahan untuk peningkatan kualitas dalam tatalaksana Pre dan Post Operatif kasus
kebidanan dan penyakit kandungan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Pembedahan

atau

operasi

adalah

semua

tindakan

pengobatan

yang

menggunakan cara infasive dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh yang
akan di tangani.1 Proses operasi merupakan pembukaan bagian tubuh untuk dilakukan
perbaikan yang diakhiri dengan penutupan dan penjahitan luka. Dalam pembedahan
tahapan operasi terdapat beberapa macam tahapan yaitu Pre Operatif, Intra Operatif
dan Post Operatif.9
Bedah Obstetri adalah tindakan bedah yang dilakukan untuk membantu atau
mengatasi masalah-masalah yang terjadi selama proses persalinan sedangkan bedah
ginekologi adalah tindakan pembedahan pada wanita akibat adanya tumor yang
berhubungan di alat reproduksi, baik itu berasal dari rahim/uterus, ovarium/indung
telur maupun dari vulva, dan kelainan bawaan dari uterus seperti kelainan bentuk
uterus. Secara umum dalam tindakan operasi tumor kandungan ada dua pilihan
mengangkat tumor saja atau mengangkat tumor dan alat kandungan (uterus dan
ovarium).1
2.2. Klasifikasi Pembedahan
2.2.1. Menurut Smeltzer and Bare (2002), membagi pembedahan berdasarkan tingkat
urgencynya, yaitu:2

a. Elektif
Operasi dilakukan setelah segala persiapan selesai dan dipilih waktu yang
paling menguntungkan.
b. Darurat/cito

Tindakan operasi terpaksa dilakukan karena menunggu lebih lama akan


membahayakan jiwa penderita.
c. Paliatif
Bertujuan untuk mengurangi penderitaan pasien tapi tidak menyembuhkan
penyakit.
d. Percobaan
Untuk mendapatkan kepastian tentang jenis penyakit rongga perut, apabila
sudah ditetapkan dan operasi dilanjutkan, misalkan pada kasus poof
laparatomi pada suspek KET, appendisitis, kista ovari terpelintir.
2.2.2. Menurut Luas atau Tingkat Resiko :2
a. Mayor
Operasi yang melibatkan organ tubuh secara luas dan mempunyai tingkat
resiko yang tinggi terhadap kelangsungan hidup klien.
b. Minor
Operasi pada sebagian kecil dari tubuh yang mempunyai resiko komplikasi
lebih kecil dibandingkan dengan operasi mayor.
2.3.

Indikasi Pembedahan

2.3.1. Indikasi Pembedahan Obstetri


Tindakan bedah obstetrik bertujuan untuk menghindari atau meringankan
resiko ibu dan fetus yang timbul selama kehamilan atau dalam persalinan. Intervensi
bedah diindikasikan jika dapat dipastikan bahwa tindakan yang digunakan ini akan
mengatasi resiko yang ada.9
Berdasarkan prioritas indikasi pada pembedahan dibagi menjadi tiga, yaitu :
1. To save life
2. To release suffering
3. To correct deformity
2.3.1.1. Indikasi Fetus
Manifestasi terpenting yang membahayakan fetus dan mengindikasikan
kebutuhan akan bedah kandungan adalah :9

1.
2.
3.
4.
5.
6.

Pola denyut jantung fetus abnormal


Asidosis
Prolapsus tali pusat
Insufiensi plasenta
Persalinan yang berlarut larut
Pendarahan pada fetus

Prinsip yang harus dipahami dalam pembedahan Obstetri adalah :9


1. Setiap tindakan pembedahan harus didasarkan atas indikasi yang tepat.
2. Perlu dipilih tindakan yang paling aman bagi ibu dan janin.
3. Tindakan harus diselenggarakan sedemikian rupa sehingga sedapat
mungkin tidak menimbulkan komplikasi pada ibu dan bayi.
2.3.2. Indikasi Pembedahan Ginekologi
Indikasi yang sering terdapat pada pembedahan ginekologik adalah sebagai
berikut:3-5
a. Tindakan untuk keperluan diagnostik. Tindakan ini umumnya ringan,
termasuk dalam golongan ini adalah biopsi, kerokan atau kuretase, dan
laparoskopi atau laparotomi diagnostik
b. Tindakan untuk mengangkat tumor jinak atau ganas. Jika pada tumor
jinak

umumnya

diusahakan

untuk

mengangkat

tumor

tanpa

mengikutsertakan alat (organ) tempat tumor, kecuali pada tumor yang


besar harus mengankat organ tersebut karena tidak dijumpai jaringan
sehat lagi. Pada tumor ganas tujuan pembedahan ialah mengangkat
organ lain seperti usus yang mengandung penyebaran tumor.
c. Tindakan untuk mengreksi kelainan bawaan atau kelainan bawaan atau
kelainan yang timbul sebagai akibat persalinan, trauma, dan radang.
Tindakan disini bertujuan agar alat-alat genital dapat berfungsi normal
(ini pada kelainan bawaan), atau supaya alat-alat genital mempunyai

bentuk dan letak normal lagi serta berfungsi normal (misalnya fistula
vesikovaginalis akibat persalinan dan operasi).
2.4. Faktor Resiko
Faktor Resiko yang dapat memperburuk keadaan pasien setelah melakukan
pembedahan atau operasi adalah :6
a. Usia Pasien
Dengan usia yang terlalu muda (bayi/anak-anak) dan usia lanjut
mempunyai resiko lebih besar. Hal ini diakibatkan cadangan fisiologis pada
usia tua sudah sangat menurun, sedangkan pada bayi dan anak-anak
disebabkan oleh karena belum matur-nya semua fungsi organ.6
b. Nutrisi
Kondisi malnutrisi dan obesitas/kegemukan lebih beresiko terhadap
pembedahan dibandingakan dengan orang normal dengan gizi baik terutama
pada fase penyembuhan. Pada orang malnutrisi maka orang tersebut
mengalami

defisiensi

nutrisi

yang

sangat

diperlukan

untuk

proses

penyembuhan luka. Nutrisi-nutrisi tersebut antara lain adalah protein, kalori,


air, vitamin C, vitamin B kompleks, vitamin A, Vitamin K, zat besi dan seng
(diperlukan untuk sintesis protein).6
Pada pasien yang mengalami obesitas. Selama pembedahan jaringan
lemak, terutama sekali sangat rentan terhadap infeksi. Selain itu, obesitas
meningkatkan permasalahan teknik dan mekanik.6
Oleh karenanya defisiensi dan infeksi luka, umum terjadi. Pasien
dengan obesitas sering sulit dirawat karena pasien bernafas tidak optimal saat
berbaring miring sehingga mudah mengalami hipoventilasi dan komplikasi
pulmonari pasca operatif. Selain itu, distensi abdomen, flebitis dan

kardiovaskuler, endokrin, hepatik dan penyakit biliari terjadi lebih sering pada
pasien obesitas.6
c. Penyakit Kronis
Pada pasien yang menderita penyakit kardiovaskuler, diabetes, PPOM
(Penyakit Paru Obstruksi Menahun), dan insufisiensi ginjal menjadi lebih
sukar terkait dengan pemakaian energi kalori untuk penyembuhan primer. Dan
juga pada penyakit ini banyak masalah sistemik yang mengganggu sehingga
komplikasi pembedahan maupun pasca pembedahan sangat tinggi.6
Ketidaksempurnaan respon neuroendokrin pada pasien

yang

mengalami gangguan fungsi endokrin, seperti diabetes mellitus yang tidak


terkontrol, bahaya utama yang mengancam hidup pasien saat dilakukan
pembedahan adalah terjadinya hipoglikemia yang mungkin terjadi selama
pembiusan akibat agen anestesi, atau juga akibat masukan karbohidrat yang
tidak adekuat pasca operasi atau pemberian insulin yang berlebihan. Bahaya
lain yang mengancam adalah asidosis atau glukosuria. Pasien yang mendapat
terapi kortikosteroid beresiko mengalami insufisinsi adrenal. Penggunaan
obat-obatan kortikosteroid harus sepengetahuan dokter anestesi dan dokter
bedah.6
d. Merokok
Pasien dengan riwayat merokok biasanya akan mengalami gangguan
vaskuler, terutama terjadi arterosklerosis pembuluh darah, yang akan
meningkatkan tekanan darah sistemik.6
e. Alkohol dan obat-obatan
Individu dengan riwayat alkoholik kronik seringkali menderita
malnutrisi dan masalah-masalah sistemik, seperti gangguan ginjal dan hepar
yang akan meningkatkan resiko pembedahan.6
2.5.

Pre Operatif

Pre Operatif adalah fase dimulai ketika keputusan untuk menjalani operasi
atau pembedahan dibuat dan diakhiri ketika pasien dipindahkan ke meja operasi.
Dalam tahapan ini persiapan fisik maupun pemeriksaan penunjang serta persiapan
mental sangat penting dilakukan, karena kesuksesan suatu tindakan pembedahan
pasien berawal dari kesuksesan persiapan yang dilakukan selama tahap pre operasi.2
Kesalahan yang dilakukan pada saat tindakan pre operasi apapun bentuknya
dapat berdampak pada tahap-tahap selanjutnya, untuk itu diperlukan kerjasama yang
baik antara masing-masing komponen yang yang berkompeten untuk menghasilkan
outcome yang optimal. Berikut ini persiapan yang perlu dilakukan pada tahap pre
operasi yaitu:2
Persiapan fisik
Persiapan fisik yang dilakukan sebelum operasi biasanya mencakup :
a. Status kesehatan fisik secara umum
Sebelum dilakukan pembedahan, penting dilakukan
pemeriksaan status kesehatan secara umum, meliputi identitas klien,
riwayat penyakit seperti kesehatan masa lalu, riwayat kesehatan
keluarga, pemeriksaan fisik lengkap, antara lain status hemodinamika,
status kardiovaskuler, status pernafasan, fungsi ginjal dan hepatik,
fungsi endokrin, fungsi imunologi, dan lain-lain. Selain itu pasien
harus istirahat yang cukup, karena dengan istirahat dan tidur yang
cukup pasien tidak akan mengalami stres fisik, tubuh lebih rileks
sehingga bagi pasien yang memiliki riwayat hipertensi, tekanan
darahnya dapat stabil dan bagi pasien wanita tidak akan memicu
terjadinya haid lebih awal. 2
b. Status nutrisi
Kebutuhan nutrisi ditentukan dengan mengukur tinggi badan
dan berat badan, lingkar lengan atas, kadar protein darah (albumin dan

globulin) dan keseimbangan nitrogen. Segala bentuk defisiensi nutrisi


harus dikoreksi sebelum pembedahan untuk memberikan protein yang
cukup untuk perbaikan jaringan.2
Kondisi gizi buruk dapat mengakibatkan pasien mengalami
berbagai komplikasi pasca operasi dan mengakibatkan pasien menjadi
lebih lama dirawat di rumah sakit. Komplikasi yang paling sering
terjadi adalah infeksi pasca operasi, dehisiensi (terlepasnya jahitan
sehingga luka tidak bisa menyatu), demam dan penyembuhan luka
yang lama. Pada kondisi yang serius pasien dapat mengalami sepsis
yang bisa mengakibatkan kematian.
c. Keseimbangan cairan dan elektrolit
Balance cairan perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan
input dan output cairan. Demikaian juga kadar elektrolit serum harus
berada dalam rentang normal. Kadar elektrolit yang biasanya
dilakukan pemeriksaan di antaranya adalah kadar natrium serum
(normal : 135 -145 mmol/l), kadar kalium serum (normal : 3,5 5
mmol/l) dan kadar kreatinin serum (0,70 1,50 mg/dl). Keseimbangan
cairan dan elektrolit terkait erat dengan fungsi ginjal. Dimana ginjal
berfungsi mengatur mekanisme asam basa dan ekskresi metabolit obatobatan anastesi. Jika fungsi ginjal baik maka operasi dapat dilakukan
dengan baik. Namun jika ginjal mengalami gangguan seperti
oliguri/anuria, insufisiensi renal akut, dan nefritis akut, maka operasi
harus ditunda menunggu perbaikan fungsi ginjal, kecuali pada kasuskasus yang mengancam jiwa. 2
d. Kebersihan lambung dan kolon
Lambung dan kolon harus dibersihkan terlebih dahulu.
Intervensi keperawatan yang bisa diberikan diantaranya adalah pasien
dipuasakan dan dilakukan tindakan pengosongan lambung dan kolon

dengan tindakan enema/lavement. Lamanya puasa berkisar antara 7


sampai 8 jam (biasanya puasa dilakukan mulai pukul 24.00 WIB). 2
Tujuan dari pengosongan lambung dan kolon adalah untuk
menghindari aspirasi (masuknya cairan lambung ke paru-paru) dan
menghindari kontaminasi feses ke area pembedahan sehingga
menghindarkan terjadinya infeksi pasca pembedahan. Khusus pada
pasien yang membutuhkan operasi CITO (segera), seperti pada pasien
kecelakaan lalu lintas, maka pengosongan lambung dapat dilakukan
dengan cara pemasangan NGT (naso gastric tube). 2
e. Pencukuran daerah operasi
Pencukuran pada daerah operasi ditujukan untuk menghindari
terjadinya infeksi pada daerah yang dilakukan pembedahan karena
rambut yang tidak dicukur dapat menjadi tempat bersembunyi kuman
dan

juga

mengganggu/menghambat

proses

penyembuhan

dan

perawatan luka. Meskipun demikian ada beberapa kondisi tertentu


yang tidak memerlukan pencukuran sebelum operasi, misalnya pada
pasien luka incisi pada lengan. Tindakan pencukuran (scheren) harus
dilakukan dengan hati-hati jangan sampai menimbulkan luka pada
daerah yang dicukur. Sering kali pasien diberikan kesempatan untuk
mencukur sendiri agar pasien merasa lebih nyaman. 2
Daerah yang dilakukan pencukuran tergantung pada jenis
operasi dan daerah yang akan dioperasi. Biasanya daerah sekitar alat
kelamin (pubis) dilakukan pencukuran jika yang dilakukan operasi
pada daerah sekitar perut dan paha. Misalnya : apendiktomi,
herniotomi, uretrolithiasis, operasi pemasangan plate pada fraktur
femur, dan hemmoroidektomi. Selain terkait daerah pembedahan,

pencukuran pada lengan juga dilakukan pada pemasangan infus


sebelum pembedahan.2
f. Personal hygiene
Kebersihan tubuh pasien sangat penting untuk persiapan
operasi karena tubuh yang kotor dapat merupakan sumber kuman dan
dapat mengakibatkan infeksi pada daerah yang dioperasi. Pada pasien
yang kondisi fisiknya kuat dianjurkan untuk mandi sendiri dan
membersihkan daerah operasi dengan lebih seksama. Sebaliknya jika
pasien tidak mampu memenuhi kebutuhan personal hygiene secara
mandiri maka perawat akan memberikan bantuan pemenuhan
kebutuhan personal hygiene.2
g. Pengosongan Kantung Kemih
Pengosongan kandung kemih dilakukan dengan melakukan
pemasangan kateter. Selain untuk pengongan isi bladder tindakan
kateterisasi juga diperlukan untuk mengobservasi balance cairan.2
Persiapan penunjang
Persiapan penunjang merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan
dari tindakan pembedahan/operasi. Pemeriksaan penunjang yang dimaksud
adalah berbagai pemeriksaan radiologi, laboratorium maupun pemeriksaan
lainnya.1
a. Pemeriksaan Foto Toraks pada Persiapan Prabedah
Pemeriksaan foto toraks dilakukan pada pasien diatas 60 tahun dan
pasien dengan tanda dan gejala penyakit kardiopulmona; infeksi
saluran napas akut, dan riwayat merokok. Tujuan dilaksanakannya
pemeriksaan foto toraks rutin pre operatif adalah sebagai berikut :1
Tujuan utama pemeriksaan foto toraks rutin prabedah pada
operasi nonkardiopulmonal adalah sebagai bahan masukan
untuk mengkaji kebugaran pasien sebelum anastesia umum.
Diharapkan foto toraks mampu mendeteksi kondisi seperti
gagal jantung atau penyakit paru kronik yang tidak terdeteksi

secara klinis, mungkin dapat menyebabkan penundaan atau


pembatalan operasi atau memerlukan modifikasi teknik

anastesia.
Prediksi komplikasi pasca bedah.
Sebagai dasar interpretasi pasca bedah.
Sebagai skrining

Beberapa penelitan telah mempelajari kegunaan foto toraks prabedah


dan melaporkan bahwa foto toraks rutin bukan hanya tidak memberikan
keuntungan, akan tetapi juga menyebabkan banyak pasien mendapatkan
penatalaksanaan yang tidak perlu. Jadi, foto toraks rutin prabedah sebaiknya
dihindari kecuali ada indikasi yang sesuai dengan riwayat penyakit dan
pemeriksaan fisik.1

Gambar 1. Pedoman Foto Toraks Praoperatif.


b. Pemeriksaan

Elektrokardiografi

Persiapan Prabedah

(EKG)

Rutin

dilakukan

pada

Pemeriksaan EKG dilakukan pada pasien dengan diabetes


mellitus, hipertensi, nyeri dada, gagal jantung kongestif, riwayat
merokok, penyakit vaskuler perifer, dan obesitas. Pemeriksaan EKG
juga dilakukan pada pasien dengan kardiovaskular periodik atau tanda
dan gejala penyakit jantung tidak stabil (unstable), dan semua pasien
yang berusia diatas 40 tahun.8
Tujuan utama pemeriksaan EKG prabedah adalah mendeteksi
kondisi jantung, seperti infark miokard baru, iskemik jantung, defek
konduksi atau aritmia, yang dapat mempengaruhi anastesia atau
bahkan menunda operasi; mengindentifikasi pasien sebelum tindakan
operasi dapat mencegah dari kemungkinan komplikasi jantung,
terutama miokard akut setelah operasi.8
Berikut ini adalah penuntun untuk EKG prabedah yang
direkomendasikan oleh Vanderbilt University.

Gambar 2. Pedoman EKG Praoperatif.


Informed Consent
Selain dilakukannya berbagai macam pemeriksaan penunjang terhadap
pasien, hal lain yang sangat penting terkait dengan aspek hukum dan tanggung

jawab dan tanggung gugat, yaitu Informed Consent. Baik pasien maupun
keluarganya harus menyadari bahwa tindakan medis, operasi sekecil apapun
mempunyai resiko. Oleh karena itu setiap pasien yang akan menjalani
tindakan medis, wajib menuliskan surat pernyataan persetujuan dilakukan
tindakan medis (pembedahan dan anestesi). 2
Meskipun mengandung resiko tinggi tetapi seringkali tindakan operasi
tidak dapat dihindari dan merupakan satu-satunya pilihan bagi pasien. Dan
dalam kondisi nyata, tidak semua tindakan operasi mengakibatkan komplikasi
yang berlebihan bagi klien.2
Bahkan seringkali pasien dapat pulang kembali ke rumah dalam
keadaan sehat tanpa komplikasi atau resiko apapun segera setelah mengalami
operasi. Tentunya hal ini terkait dengan berbagai faktor seperti: kondisi nutrisi
pasien yang baik, cukup istirahat, kepatuhan terhadap pengobatan, kerjasama
yang baik dengan perawat dan tim selama dalam perawatan. 2
Informed Consent sebagai wujud dari upaya rumah sakit menjunjung
tinggi aspek etik hukum, maka pasien atau orang yang bertanggung jawab
terhadap pasien wajib untuk menandatangani surat pernyataan persetujuan
operasi. Artinya apapun tindakan yang dilakukan pada pasien terkait dengan
pembedahan, keluarga mengetahui manfaat dan tujuan serta segala resiko dan
konsekuensinya. Pasien maupun keluarganya sebelum menandatangani surat
pernyataan tersebut akan mendapatkan informasi yang detail terkait dengan
segala macam prosedur pemeriksaan, pembedahan serta pembiusan yang akan
dijalani. Jika petugas belum menjelaskan secara detail, maka pihak
pasien/keluarganya berhak untuk menanyakan kembali sampai betul-betul

paham. Hal ini sangat penting untuk dilakukan karena jika tidak maka
penyesalan akan dialami oleh pasien/keluarga setelah tindakan operasi yang
dilakukan ternyata tidak sesuai dengan gambaran keluarga. 2
Persiapan mental
Persiapan mental merupakan hal yang tidak kalah pentingnya dalam
proses persiapan operasi karna mental pasien yang tidak siap dapat
berpengaruh terhadap kondisi fisiknya. Maslah mental yang biasa muncul
pada pasien pre operasi adalah kecemasan. Untuk mengurangi/mengatasi
kecemasan pasien, yaitu dengan menanyakan hal-hal yang terkait dengan
persiapan operasi. 2
Obat-obatan
Pasien akan diberikan obat-obatan antibiotic profilaksis yang biasanya
diberikan sebelum pasien di operasi, untuk mencegah terjadinya infeksi
selama tindakan operasi. Antibiotic profilaksis ini biasanya diberikan 1-2 jam
sebelum operasi dimulai dan dilanjutkan pasca bed .2
2.6.

Intra Operatif
Fase Intraoperatif adalah fase saat dimulainya pasien masuk ke bagian atau

ruang bedah dan berakhir saat pasien dipindahkan ke ruang pemulihan.9


2.6.1. Pembedahan Obstetri
Bedah Obstetri adalah tindakan bedah yang dilakukan untuk membantu atau
mengatasi masalah masalah yang terjadi selama proses persalinan.9
2.6.1.2. Sectio Cesarea
2.6.1.2.1. Definisi

Persalinan per Abdominam sering juga disebut Sectio Cesarea. Sectio


Cesarea adalah suatu tindakan bantuan persalinan di mana janin dilahirkan melalui
suatu insisi pada dinding perut dan dinding uterus. 9
Sectio cesarea adalah suatu persalinan buatan, dimana janin dilahirkan
melalui suatu insisi pada dinding perut da dinding rahim dengan syarat rahim dalam
keadaan utuh serta berat janin diatas 500 gram.1

2.6.1.2.2. Syarat Sectio Cesarea


a. Uterus dalam keadaan utuh (karena pada sectio cesarea, uterus akan
diinsisi). Jika terjadi ruptura uteri, maka operasi yang dilakukan adalah
laparotomi, dan tidak disebut sebagai sectio cesarea, meskipun
pengeluaran janin juga dilakukan per abdominam.
b. Berat janin di atas 500 gram.1
2.6.1.2.3. Indikasi Sectio Cesarea
a. Keadaan yang tidak memungkinkan janin dilahirkan per vaginam,
dan/atau.
b. keadaan gawat darurat yang memerlukan pengakhiran kehamilan atau
persalinan segera, yang tidak mungkin menunggu kemajuan persalinan
per vaginam secara fisiologis.
c. Indikasi ibu : panggul sempit absolut, tumor-tumor jalan lahir yang
menimbulkan obstruksi, stenosis serviks atau vagina, plasenta previa,
disproporsi sefalopelvik, ruptura uteri membakat.
d. Indikasi janin : kelainan letak, prolaps tali pusat, gawat janin.

Umumnya sectio cesarea tidak dilakukan pada keadaan janin mati, ibu syok
atau anemia berat yang belum teratasi, atau pada janin dengan kelainan kongenital
mayor yang berat.9
2.6.1.2.4. Klasifikasi Sectio Cesarea
Berdasarkan insisi atau teknik yang dilakukan, terdapat beberapa jenis
sectio cesarea :1
1. Sectio cesarea klasik: Pembedahan secara Sanger
2. Sectio cesarea transperitonealis profunda
3. Sectio cesarea yang dilanjutkan dengan histerektomi (cesarean
hysterectomy)
4. Sectio cesarea ekstraperitoneal
5. Sectio cesarea transvaginal.
2.6.1.2.5. Sectio cesarea klasik: Pembedahan secara Sanger
Dalam teknik ini, insisi abdomen dibuat vertikal di garis median, kemudian
insisi uterus juga vertikal di garis median. Dilakukan pada keadaan yang tidak
memungkinkan insisi di segmen bawah uterus. misalnya akibat perlekatan pasca
operasi sebelumnya atau pasca infeksi, atau ada tumor di segmen bawah uterus, atau
janin besar dalam letak lintang, atau plasenta previa dengan insersi di dinding depan
segmen bawah uterus. Komplikasinya adalah perdarahan yang terjadi akan sangat
banyak karena jaringan segmen atas korpus uteri sangat vaskular, oleh sebab itu
teknik ini jarang digunakan. 9
Indikasi:
Sectio caesaria yang diikuti dengan sterilisasi,
Terdapat pembuluh darah besar sehingga diperkirakan akan terjadi
robekan segmen bawah rahim dan perdarahan,
Pada letak lintang,
Kepala bayi telah masuk pintu atas panggul.9
Keuntungan :
Mudah dilakukan karena lapangan operasi relatif luas.9
Kerugian :

Kesembuhan luka operasi relatif sulit,


kemungkinan terjadi ruptur uteri pada kehamilan berikutnya lebih

besar,
kemungkinan terjadi perlekatan dengan dinding abdomen lebih
besar. 9

Gambar 3. Sectio Caesaria Klasik


2.6.1.2.6. Sectio Cesarea transperitonealis profunda
Insisi abdomen vertikal di garis median (atau dapat juga horisontal
mengikuti garis kontur kulit di daerah suprapubik), kemudian plica vesicouterina
digunting dan disisihkan, kemudian dibuat insisi pada segmen bawah uterus di bawah
irisan plica yang kemudian dilebarkan secara tumpul dengan arah horisontal. Segmen
bawah uterus relatif kurang vaskular dibandingkan korpus uteri, sehingga diharapkan
perdarahan yang terjadi tidak seberat dibandingkan pada sectio cesarea cara klasik.9
Sectio caesaria yang merupakan persalinan dengan morbiditas dan mortalitas
rendah adalah persalinan yang paling konservatif. 9
Indikasi dari ibu :
a. Primigravida dengan kelainan letak
b. Primipara tua dengan disertai : kelainan letak, disproporsi sefalo
pelvik

c. Terdapat kesempitan panggul


d. Komplikasi kehamilan yaitu preeklamsieklamsi Indikasi dari
bayi :a). Fetal distress / gawat janinb). Malpresentasi dan
malposisi kedudukan janinc). Kegagalan persalinan vakum
Keuntungan :
Segmen bawah rahim lebih tenang, kesembuhan baik, tidak
banyak menimbulkan perlekatan.
Kerugian :
Terdapat kesulitan pada waktu mengeluarkan janin, terjadi
perluasan luka insisi dan menimbulkan perdarahan.

Tabel 1. Perbandingan Seksio sesaria klasik dan Transperitoneal profunda.

2.6.1.2.5. Resiko Sectio Cesarea


Terdapat beberapa bahaya yang telah dikenal bagi ibu dan fetus bila
persalinan dilakukan dengan seksio cesarea, terlepas dari indikasi dilakukannya
persalinan tersebut.1
Resiko Fetus
a. Hipoksia akibat sindroma hipotensi terlentang.
b. Depresi pernapasan karena anestesia.
c. Sindroma gawat napas pernapasan.

Resiko Ibu
Resiko ibu karena persalinan dengan sectio cesarea harus dianggap
lebih serius karena mereka berhubungan langsung dengan tindakan
operasi. Resiko ini meliputi :1
a. Infeksi yang di dapat di rumah sakit, terutama setelah dilakukan
seksio pada persalinan
b. Tromboemboli, terutama pada multipara dengan verikositas
c. Ileus, terutama karena peritonitis
d. Kecelakaan anestesi
2.7.1. Pembedahan Ginekologi
Jenis pembedahan ginekologi yang umum dilakukan adalah :
1. Pembedahan pada Vulva
Pembedahan pada Vulva umumnya tidak tergolong operasi besar.
Pembedahan pada vulva tersering meliputi insisi abses kelenjar Bartholin,
marsupialisai atau ekstirpasi kista Bartholin dan eksisi dengan eletro
kauter kondiloma akuminata. Operasi yang terbesar pada vulva ialah
vulvektomi radikal untuk karsinoma vulva dengan berbagai cara jenis
flap.1
2. Pembedahan Vaginal
Pengertian pembedahan vaginal adalah semua jenis pembedahan
melalui akses vaginal. Pembedahan vaginal meliputi :1
Tindakan diagnostik seperti kuetase, loop eksisi, konisasi, insisi
forniks (kolpotomi) untuk drainase abses kavum Douglas,
mengoreksi kelainan bawaan dan keainan akibat trauma radang
seperti ginatresia dan stenosis pada vagina
Pengangkatan uterus pervaginam, mengoreksi prolaps oran
panggul, mengoreksi kelainan anatomik dan fungsi kandung

kemih, serta pembedahan yang melibatkan rektum seperti koreksi


rektokel dan koreksi pembedahan ruptur perineum.
Kerokan kavum uteri merupakan operasi yang paling sering dilakukan
dalam bidang ginekologi. Tindakan ini seringkali dilakukan guna keperluan
diagnostik untuk dapat memeriksa secara histologik jaringan yang
dikeluarkan. Namun, dapat pula untuk pengobatan, misalnya pada abortus
inkompletus.1
Pada histerektomi vaginal kemungkinan untuk melihat lapangan
operasi tidak sebesar pada histerektomi abdominal. Oleh sebab itu, bila
terdapat banyak perlekatan, perlekatan harus dibebaskan dahulu melalui
bantuan laparoskopi.1

3. Pembedahan dengan jalan Laparotomi


Laparotomi adalah semua jenis pembedahan melalui akses membuka
dinding abdomen. Pembedahan per laparotomi meliputi :
Berbagai jenis operasi pada uterus
Operasi pada tuba fallopi
Operasi pada ovarium
Diantara operasi-operasi dengan laparotomi, yang banyak dilakukan
ialah operasi pada uterus, berupa histerektomi (pembukaan uterus untuk
mengeluarkan

isinya

dan kemudian

menutupnya

lagi),

miomektomi

(histerektomi dengan tujuan khusus untuk mengangkat satu mioma atau lebih),
dan histerektomi (pengangkatan uterus). Histerektomi dibagi menjadi dua,
yaitu total dan subtotal. Histerektomi total yaitu pengankatan seluruh uterus
dengan membuka vagina, sedangkan histerektomi subtotal yaitu pengankatan
bagian uterus setinggi ismus. Umumnya histerektomi total lebih dipilih karena

dengan tindakan ini serviks uteri yang dapat menjadi sumber tumbuhnya
karsinoma di kemudian hari dapat terangkat. Selanjutnya, dikenal juga
histerektomi radikal untuk karsinoma serviks uteri dengan mengangkat uterus,
parametrium, sepertiga bagian atas vagina, dan kelenjar getah bening pelvik
sampai setinggi vassa iliaka komunis.1
Apabila histerektomi dilakukan, maka pada perempuan menjelang
menopause dilakukan pula salpingo-ooforektomi bilateral untuk mencegah
timbulnya kanker ovarium di kemudian hari. Pada perempuan yang lebih
muda, biasanya ovarium ditinggalkan untuk keperluan fungsi hormonalnya.
Hal terpenting pasien harus mengetahui dan memahami setiap konsekuensi
dari semua tindakan yang akan dilakukan.1
2.7. Post Operatif
Post Operatif adalah tahap lanjutan dari pre dan intra operatif yang dimulai
saat klien diterima di ruang pemulihan atau pasca anaestesi dan berakhir sampai
evaluasi selanjutnya. Periode segera sesudah anaesthesi adalah gawat. Pasien harus
diamati dengan jeli dan harus mendapat bantuan fisik dan psikologis yang intensif
sampai pengaruh utama dari anaesthesi mulai berkurang dan kondisi umum mulai
stabil. Banyaknya asuhan yang dilaksanakan segera setelah periode pasca
anaesthesi tergantung kepada prosedur bedah yang dilakukan.2-3
Tujuan perawatan pasca operasi adalah pemulihan kesehatan fisiologi dan
psikologi wanita kembali normal. Periode postoperatif meliputi waktu dari akhir
prosedur pada ruang operasi sampai pasien melanjutkan rutinitas normal dan gaya
hidupnya. Secara klasik, kelanjutan ini dibagi dalam tiga fase yang tumpang tindih
pada status fungsional pasien. Aturan dan perhatian para ginekolog secara gradual

berkembang sejalan dengan pergerakan pasien dari satu fase ke fase lainnya. Fase
pertama, stabilisasi perioperatif, menggambarkan perhatian para ahli bedah terhadap
permulaan fungsi fisiologi normal, utamanya sistem respirasi, kardiovaskuler, dan
saraf. Pada pasien yang berumur lanjut, akan memiliki komplikasi yang lebih banyak,
dan prosedur pembedahan yang lebih kompleks, serta periode waktu pemulihan yang
lebih panjang. Periode ini meliputi pemulihan dari anesthesia dan stabilisasi
homeostasis, dengan permulaan intake oral. Biasanya periode pemulihan 24-28 jam.2
Fase kedua, pemulihan postoperatif, biasanya berakhir 1-4 hari. fase ini dapat
terjadi di rumah sakit dan di rumah. Selama masa ini, pasien akan mendapatkan diet
teratur, ambulasi, dan perpindahan pengobatan nyeri dari parenteral ke oral. Sebagian
besar komplikasi tradisional postoperasi bersifat sementara pada masa ini. Fase
terakhir dikenal dengan istilah kembali ke normal, yang berlangsung pada 1-6
minggu terakhir. Perawatan selama masa ini muncul secara primer dalam keadaan
rawat jalan. Selama fase ini, pasien secara gradual meningkatkan kekuatan dan beralih
dari masa sakit ke aktivitas normal.2
a. Hal-hal yang harus diperhatikan meliputi :
1. Mempertahankan ventilasi pulmonari
Berikan posisi miring atau setengah telungkup dengan kepala
tengadah kebelakang dan rahang didorong ke depan pada pasien
sampai reflek-reflek pelindung pulih.2
2. Saluran nafas buatan
Saluran nafas pada orofaring biasanya terpasang terus setelah
pemberian anaesthesi umum untuk mempertahankan saluran tetap
terbuka dan lidah kedepan sampai reflek faring pulih. Bila pasien tidak

bisa batuk dan mengeluarkan dahak dan lendir harus dibantu dengan
suction.2
3. Terapi oksigen
O2 sering diberikan pada pasca operasi, karena obat anaesthesi dapat
menyebabkan lyphokhemia. Selain pemberian O2 harus diberikan
latihan nafas dalam setelah pasien sadar.2
4. Mempertahankan sirkulasi
Hipotensi dan aritmia adalah merupakan komplikasi kardiovaskuler
yang paling sering terjadi pada pasien post anaesthesi. Pemantauan tanda
vital dilakukan tiap 15 menit sekali selama pasien berada di ruang
pemulihan.2
5. Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
Pemberian

infus

mempertahankan

merupakan

usaha

pertama

untuk

keseimbangan cairan dan elektrolit. Monitor cairan

per infus sangat penting untuk mengetahui kecukupan pengganti dan


pencegah kelebihan cairan. Begitu pula cairan yang keluar juga harus
dimonitor.2
6. Mempertahankan keamanan dan kenyamanan
Pasien post

operasi

atau post

anaesthesi sebaiknya pada

tempat

tidurnya dipasang pengaman sampai pasien sadar betul. Posisi pasien


sering diubah untuk mencegah kerusakan saraf akibat tekanan kepada
saraf otot dan persendian. Obat analgesik dapat diberikan pada pasien
yang kesakitan dan gelisah sesuai dengan program dokter. Pada pasien
yang mulai sadar, memerlukan orientasi dan merupakan tunjangan agar

tidak merasa sendirian. Pasien harus diberi penjelasan bahwa operasi


sudah selesai dan diberitahu apa yang sedang dilakukan.2
2.8.

Komplikasi Pasca Operasi

2.8.1. Sistem Urinaria


Retensi urin merupakan masalah yang sering muncul setelah pembedahan
ginekologi, dengan insidensi 7-80% bergantung pada prosedur pembedahan yang
dilakukan. Overdistensi dapat menyebabkan kesulitan miksi jangka panjang dan
kerusakan detrusor secara permanen.7
Tanda klinis dari retensi urin berupa nyeri, takikardi, urgensi, dan pembesaran
bladder yang didapatkan dengan palpasi atau perkusi. Tanda klinis ini ditemukan
bersamaan dengan evaluasi volume urin disamping penggunaan sonography bladder
(Bodker, 2003). Saat retensi teridentifikasi, kateterisasi dan drainase bladder harus
dilakukan. Lau dan Lam (2004) memperlihatkan bahwa kateterisasi merupakan cara
terbaik dalam pengelolaan retensi urin pasca operasi. Dibanding dengan dekompressi
bladder sepanjang malam dengan kateter indwelling, episode kateterisasi in dan out
sama-sama efektif. Lebih jauh, morbiditas infeksi antara keduanya tidak berbeda
secara signifikan.7
2.8.2. Sistem Respirasi
Komplikasi paru

yang

luas

menyebabkan

sulitnya

memperkirakan

insidensinya secara akurat, tetapi laporan memperkirakan kisaran antara 9-69%


(Calligaro, 1993; Hall, 1991; Qaseem, 2006). Komplikasi paru yang sering ditemui
oleh para ginekolog adalah atelectasis dan pneumonia. Lima faktor resiko signifikan
untuk komplikasi paru yang muncul setelah pembedahan abdomen adalah umur yang
lebih dari 60 tahun, IMT lebih dari 27, riwayat kanker, merokok dalam waktu 8
minggu terakhir, dan insisi pembedahan yang dilakukan pada abdomen bagian atas.7
1. Atelektasis

Penyakit ini ditandai dengan penurunan suara pernapasan atau bunyi


tumpul pada saat perkusi pada bagian paru yang terkena. Sebagai tambahan,
densitas linear pada lapangan paru bagian bawah yang ditemukan dalam
gambaran radiografi dada. Secara klasik, atelektasis dihubungkan dengan
demam derajat rendah. Meskipun, demam sering terjadi setelah operasi
abdominal, kondisi ini biasanya bersifat sementara, tergantung kondisi pasien,
dan jarang memperlambat penyembuhan pasien. Pada kasus berat, atelektasis
dapat dicegah dengan beberapa hal menggunakan terapi pengembangan paru
(modalitas ekspansi paru).7
2.

Pneumonia
Penyakit ini merupakan infeksi nosokomial yang paling sering

ditemukan di Amerika Serikat dan mempunyai angka morbiditas dan


mortalitas yang tinggi. Insidensi pada pasien pembedahan beragam dengan
kisaran 1-19 % tergantung pada prosedur pembedahan dan peninjauan
rumah sakit. Untuk infeksi ini, sebagian besar bakteri patogen secara khas
bertanggung jawab adalah bakteri aerob gram-negatif yang berbentuk
basil, seperti spesies Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, Klebsiella
pneumonia, dan Acinetobacter.7
Keluhan pada pneumonia mulai tampak 2-3 hari pascaoperasi.
Secara klinik, pneumonia didiagnosis jika radiografi dada memperlihatkan
sebuah gambaran infiltrat baru atau progresif dan jika dua atau tiga gejala
klinis (seperti leukositosis, demam yang lebih dari 38C, atau sekresi
purulen) ditemukan. Pencegahan dapat dilakukan dengan menggunakan
endotrakeal oral atau orogastrik tube yang ditempatkan pada selang
hidung; elevasi kepala terhadap tempat tidur sebesar 30-45, utamanya

selama makan; aspirasi sekresi subglotis pada kasus ini tidak dapat
dihilangkan.7
2.8.3. Sistem Gastrointestinal
Fungsi gastrointestinal yang normal memerlukan motilitas yang sama di
sepanjang sistem, mukosa untuk transportasi bahan makanan, dan refleks
pengosongan. Meskipun demikian, setelah pembedahan abdominal, disfungsi dari
aktivitas saraf usus secara khas mengacaukan tenaga normal. Aktivitas pertama terjadi
pada usus yang tercatat biasanya dalam 24 jam. Aktivitas kontraksi usus halus
terhambat dalam 24 jam setelah pembedahan, tetapi fungsi normalnya terlambat
dalam 3-4 hari. Motilitas kolon yang ritmik dimulai paling akhir, kira-kira 4 hari
setelah pembedahan intra-abdomen. Pengeluaran flatus merupakan tanda khas dari
kembalinya fungsi ini, dan tinja biasanya telah dapat dikeluarkan dalam 1-2 hari.7
Ileus yang terjadi setelah operasi merupakan kerusakan sementara dari
aktivitas gastrointestinal yang mengakibatkan distensi abdomen, bunyi usus hipoaktif,
mual dan muntah yang menyebabkan akumulasi udara dan air di saluran
gastrointestinal, dan pengeluaran flatus serta terlambat.7
Awal mula terjadinya ileus adalah multifaktorial. Pertama, manipulasi usus
selama pembedahan menyebabkan munculnya beberapa faktor yang berkontribusi
terhadap munculnya ileus: (1) faktor neurogenik yang dihubungkan dengan
overaktivitas simpatis, (2) faktor hormonal yang menyebabkan pengeluaran
hypothalamic corticotrophin-releasing factor (CRF), yang memainkan peran kunci
dalam respon stress, dan (3) faktor inflamasi. Sebagai tambahan, penggunaan opioid
perioperatif juga menjadi salah satu etiologi dari ileus. Kemudian, dalam pemilihan
obat ini, dokter harus menyeimbangkan manfaat analgesik yang dihasilkan oleh ikatan
reseptor opioid sentral melawan disfungsi gastrointestinal yang dihasilkan dari
reseptor perifer yang menghasilkan efek ikatan.7
Tidak terdapat penanganan tunggal untuk pengelolaan ileus postoperasi.
Pemberian elektrolit dan cairan intravena untuk memperbaiki kembali keadaan

euvolemik yang merupakan terapi tradisional. Biasanya, dekompresi dengan


menggunakan NGT rutin untuk mengistirahatkan usus telah ditantang oleh beragam
prospektif, berupa percobaan random. Dalam sebuah penelitian meta-analisis terbaru
pada 4200 pasien ditemukan bahwa dekompresi NGT rutin tidak berhasil dan tidak
bermanfaat terhadap penggunaan selektif pada pasien simptomatis. Secara spesifik,
pasien tanpa NGT fungsi ususnya kembali normal lebih cepat dan menurunkan resiko
infeksi luka dan hernia ventral. Sebagai tambahan, perasaan discomfort, mual, dan
lama

rawat

inap

akan

berkurang.

Untuk

alasan

ini,

pemasangan

NGT

direkomendasikan hanya untuk mengurangi gejala kembung pada abdomen dan


muntah yang rekurensi.7
2.8.4. Sistem Sirkulasi
Disfungsi sirkulasi menyebabkan penurunan oksigenasi jaringan dan
menghasilkan kegagalan multiorgan jika tidak dikenali dan diterapi dengan segera.
Pada kasus ginekologi, penyebab utama syok adalah perdarahan yang berakhir ke
hipovolemia. Meskipun syok kardiogenik, sepsis dan neurogenik dapat juga
dipertimbangkan selama observasi. Penilaian tehadap perfusi oksigen dan status
hemodinamik cukup penting dalam masa postoperasi awal. Sayangnya, tanda-tanda
berupa tekanan darah dan denyut jantung saat istirahat tidak berdampak sepanjang
kompensasi awal. Contohnya, setelah kehilangan darah yang lebih dari 25-30% dari
volume tubuh total, hipotensi biasanya muncul terlambat dibanding tanda-tanda
disfungsi organ lainnya yang berupa oliguri, dan perubahan status mental.7
Penanganan shock hipovolemia oleh karena perdarahan yang tidak berhenti
adalah dengan penggantian volume intravaskuler. Pada awalnya, suplai oksigen
disajikan untuk menghindari desaturasi jaringan. Secara simultan, infus segera dengan
cairan kristaloid isotonik melalui intravena dapat mempercepat penggantian cairan.
Jika terdapat hipotensi berat, pemberian koloid dan tranfusi sel darah merah
dibutuhkan.

Jika

terdapat

hipovolemia,

penggunaan

vasopressor

tidak

direkomendasikan untuk digunakan kecuali untuk bantuan yang bersifat sementara


dengan kondisi yang tidak stabil ketika resusitasi cairan dipertimbangkan. Selama
penanganan, resusitasi dimonitoring secara berkelanjutan sepanjang tekanan vena
sentral, output urin, dan status pasien secara umum. Akhirnya, jika perdarahan terusmenerus terjadi, campur tangan operatif dapat menurunkan resiko untuk melanjutkan
terapi konservatif. Intraoperatif, isolasi dan pengontrolan perdarahan harus dilakukan
secara sistematik. Setelah pasien stabil, penting dilakukan pemeriksaan abnormalitas
elektrolit, ketidakseimbangan koagulasi, dan iskemia organ.7
3.
Demam Sistemik Pasca Operasi
Salah satu masalah yang sering ditemukan setelah operasi adalah demam.
Meskipun demam merupakan sebuah gambaran proses infeksi, sebagian besar
merupakan penyakit self-limited. Meskipun demikian, untuk penyakit ini dengan
gejala persisten, pendekatan sistemik dalam mengevaluasi pasien akan menolong
membedakan inflamasi dari etiologi infeksi.7
Demam merupakan sebuah respon inflamasi yang dilakukan oleh mediator,
dikenal dengan pyrogen, yang berasal dari dari endogen atau eksogen. Pyrogen
bersirkulasi menyebabkan pengeluaran prostaglandin (utamanya PGE2), yang
mengubah set point pada termoregulator. Reaksi infalamasi ini menghasilkan
sejumlah sitokin (Interleukin-1, interleukin-6, dan TNF) yang ditemukan dalam
sirkulasi setelah beragam kejadian seperti pembedahan, kanker, trauma, dan infeksi
(Wortel, 1993). Kemudian, differential diagnosis terhadap demam yang terjadi setelah
operasi termasuk penyebab non-infeksi dan infeksi.7
Demam setelah operasi berkembang lebih dari 2 hari setelah pembedahan yang
biasanya disebabkan oleh infeksi. Penyebab tersering berada dalam kategori besar
yakni angin, air, berjalan, luka, dan obat yang meragukan. Pertama, pneumonia harus
dipertimbangkan, dan wanita berada pada resiko paling besar yang secara mekanik
mendapatkan ventilasi lebih banyak karena periode rawat inap yang lebih panjang,

memakai NGT, atau pernah mendapatkan COPD sebelumnya. Sebagai tambahan,


pemakaian kateter juga akan meningkatkan resiko infeksi pada traktus urinarius.
Secara logis, penggunaan lama kateter berhubungan secara postif dengan resiko
infeksi ini. Demam yang berhubungan dengan infeksi pada area pembedahan biasanya
berkembang pada hari ke 5-7 setelah pembedahan. Infeksi ini menyerang lapisan
dinding pelvis dan abdomen. Akhirnya obat-obatan yang sering digunakan setelah
operasi seperti heparin, antibiotik beta-laktam, dan sulfonamide dapat menyebabkan
kemerahan, eosinofilia, atau demam karena obat.7
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk mendeteksi demam
adalah pemeriksaan darah lengkap, urinalisis, kultur darah, dan radiografi dada yang
telah dievaluasi pada beberapa penelitian dan sangat efisien serta efektif. Kemudian,
pemeriksaan utama pada wanita dengan demam setelah operasi dilakukan sendiri dan
dimulai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisis.7
4.
Dehisensi Luka
Meskipun perkembangan klinis telah maju di bidang anesthesia, antibiotik
preoperatif, teknologi jahitan bedah, dan perawatan postoperatif, insidensi gangguan
luka tidak banyak berubah. Dehisensi menyebabkan pasien harus dirawat inap dalam
jangka waktu yang lama dan membutuhkan perawatan intensif. Kemudian, seorang
ahli bedah memiliki ilmu pengetahuan terhadap faktor resiko dan pilihan penanganan
untuk komplikasi ini.7
Luka superficial biasanya muncul pada hari ke 3-5 setelah pembedahan, dengan
luka yang eritema dan drainase onset baru. Satu cara mengidentifikasi adalah dengan
isolasi selulitis luka dengan terapi antibiotik sistemik. Meskipun demikian,
keterlambatan dalam evakuasi cairan eksudat luka yang inflamasi dari lapisan
subkutan yang tidak memiliki ruang dapat melemahkan fascia dan meningkatkan
resiko dehisensi fascia.7
Umumnya dehisensi terjadi dalam 10 hari setelah operasi. Gangguan superficial
pada lapisan subkutaneus dan kebocoran ekstensif berupa cairan purulen peritoneal

diindikasikan untuk didrainase. Irigasi digunakan untuk menutupi luka dan


memindahkan bakteri tanpa merusak komponen penyembuh luka. Povidone-iodne,
balutan iodophor, cairan hydrogen peroksida, dan cairan Daiken bersifat sitotoksik
terhadap sel darah putih dan tidak boleh digunakan pada perawatan luka.7
5.

Tromboflebitis
Komplikasi ini jarang ditemukan pada penderita pascaoperasi di Indonesia.

Penyakit ini terdapat pada vena yang bersangkutan sebagai radang, dan sebagai
trombosit tanpa tanda radang. Pada tromboflebitis dalam minggu kedua pascaoperasi
suhu naik, nadi mencepat, timbul nyeri spontan pada perabaan vena yang
bersangkutan, dan tampak edema pada kaki, terutama jika vena femoralis yang
terkena. Trombus disini melekat kuat pada dinding pembuluh darah, dan tidak banyak
bahaya akan emboli paru-paru. Pada trombosis vena tidak terdapat banyak gejala,
mungkin suhu agak naik; thrombus tidak melekat erat pada dinding pembuluh darah,
dan bahaya emboli paru-paru lebih besar.1
Walaupun komplikasi ini jarang terjadi di Indonesia, ada juga manfaatnya untuk
menyelenggarakan pencegahan dengan menyuruh penderita selama masih berbaring
di tempat tidur menggerakkan kakinya secara aktif, ditambah dengan gerakan lain
yang diselenggarakan dengan bantuan seorang perawat.1

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Perawatan pre operatif merupakan tahap pertama dari perawatan perioperatif yang
dimulai sejak pasien diterima masuk di ruang terima pasien dan berakhir
ketika pasien dipindahkan ke meja operasi untuk dilakukan tindakan pembedahan.
Perawatan intra operatif dimulai sejak pasien ditransfer ke meja bedah dan
berakhir bila pasien di transfer ke wilayah ruang pemulihan.
Perawatan post operasi merupakan tahap lanjutan dari perawatan pre
dan intra operatif yang dimulai saat klien diterima di ruang pemulihan atau pasca
anaestesi dan berakhir sampai evaluasi selanjutnya.
Dalam pelaksanaan pembedahan kasus kebidanan maupun penyakit kandungan
tindakan pre, intra dan post operatif haruslah dipersiapkan dengan cemat dan teliti,
karena tindakan tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan
saling berkaitan.
B. SARAN
Dalam pembuatan makalah ini, penulis menyadari masih banyak kekurangan yang
harus diperbaiki. Namun untuk meningkatkan pemahaman tentang tindakan
kolaboratif persiapan operasi, maka penulis berkeinginan menyumbangkan beberapa
pemikiran yang dituangkan dalam bentuk saran sebagai berikut :

1. Bagi pembaca
Bisa menambah pengetahuan tentang tindakan kolaboratif
persiapan sebelum dan sesudah operasi.
2. Bagi Pendidikan
Untuk meningkatkan dan memperlancar dalam proses pembuatan
makalah, hendaknya pihak pendidikan menambah literature-literatur di
perpustakaan khususnya tindakan kolaboratif persiapan sebelum dan
sesudah operasi dan menambah kapasitas jaringan internet yang lebih
tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Wiknjosastro, H.. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo; 1999.
2. Smeltzer C. Suzanne, Brunner dan Suddarth. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah. Jakarta: EGC. 2002
3. Clarke-Pearson DL, Lee PS, Spillman MA, Lutman CV.. Preoperative
Evalution and Postoperative Management dalam Buku Berek and Novaks
Gynecology. 14th ed. Lippincott Williams and Wilkins; 2007: 672-749
4. Patient assessment, consent and preparation for surgery dalam Buku
Monaghan J.M, editor. Bonneys Gynaecological Surgery. 10 th ed. New Delhi:
Blackwell Science Ltd; 2004: 19-27
5. Markham SM, Rock JA.. Preoperative Care dalam Buku Te Lindes Operative
Ginecology. 10th ed. New York: Lippincott Williams and Wilkins; 2008: 11832
6. Potter dan Perry. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses &
Praktek edisi ke-4. Jakarta : EGC. 2005
7. S, William.. Perioperative Considerations: Introduction dalam Buku Williams
Gynecology. The McGraw-Hill Companies: USA. 2008.
8. Munro J, Booth A, Nicholl J.. Routine preoperative testing, a systematic
review of the evidence. Health Technol Assesment. 1997(1):12
9. Martius G.. Bedah Kebidanan Martius edisi ke 12. Jakarta: EGC.1997.

You might also like