You are on page 1of 56

1.

Pengertian Hukum Positif Indonesia

Pengertian
Hukum
Positif
Hukum positif dalam hilisan ini adalah Hukum Positif Indonesia. Dan yang diartikan
sebagai hukum positif adalah: "kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis dan tidak
tertulis yang pada saat ini sedang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus
dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara
Indonesia." Penekanan "pada saat ini sedang berlaku," karena secara keilmuan
rechtwefenschap, pengertian hukum positif diperluas. Bukan saja yang sedang
berlaku sekarang, melainkan termasuk juga hukum yang pernah berlaku dimasa lalu.
Perluasan ini timbul karena dalam definisi keilmuan mengenai hukum positif
dimasukkan unsur "berlaku pada waktu tertenh dan tempat tertentu." Hukum yang
pernah berlaku, adalah juga hukum yang berlaku pada waktu tertentu dan tempat
tertentu, sehingga termasuk pengertian hukum positif, walaupun dimasa lalu.
Memasukkan hukum yang pernah berlaku sebagai hukum positif dapat pula dikaitkan
dengan pengertian keilmuan yang membedakan antara ius constitutum dan ius
constituendum. Ius constituendum lazim didefinisikan sebagai hukum yang
diinginkan atau yang dicita-citakan, yaitu "hukum" yang telah didapati dalam
rumusan-rumusan hukum tetapi belum berlaku: Berbagai rancangan peraturan
perundang-undangan (RUU, RPP, R.Perda, dan lain-lain rancangan peraturan)
adalah contoh-contoh dari ius constituendum. Termasuk juga ius constituendum
adalah peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan tetapi belum berlaku:
Misalnya, Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
telah menjadi Undang-Undang pada tahun 1986, tetapi baru dijalankan lima tahun
kemudian (1991). Selama lima tahun tersebut, Undang-Undang No. 5 Tahun 1986
merupakan ius constituendum. Pada suatu ketika didapati berbagai rancangan
perubahan Undang-Undang Dasar yang telah di susun PAH I MPR, merupakan ius
constituendum yang diharapkan suatu ketika ditetapkan sebagai ius constitution.
Dipihak lain ada ius constitution yaitu hukum yang berlaku atau disebut hukum positif.
Hukum yang pernah berlaku adalah ius constitution walaupun tidak berlaku lagi,
karena tidak mungkin dimasukkan sebagai ius constituendum. Dalam kajian ini,
hukum positif diartikan sebagai aturan hukum yang sedang berlaku atau sedang
berjalan,
tidak
termasuk
aturan
hukum
di
masa
lalu
.
Selain unsur "pada saat ini sedang berlaku," didapati pula unsur-unsur lain dari
hukum
positif,
yaitu:
a.
Hukum
Positif
"mengikat
secara
umum
atau
khusus."
Mengikat secara umum adalah aturan hukurn yang berlaku umum yaitu peraturan
perundang-undangan (UUD, UU, PP, Peraturan Daerah), hukurn adat, hukum
yurisprudensi, dan hukum agama yang dijadikan atau diakui sebagai hukum positif
seperti hukurn perkawinan agama (UU No. l Tahun 1974). Khusus bagi yang
beragama Islam ditambah dengan hukum waris, wakaf, dan beberapa bidang hukum
lainnya (UU No. 7 Tahun 1989), Mengikat secara khusus, adalah hukurn yang
mengikat subyek tertentu atau obyek tertentu saja yaitu yang secara keilmuan (Ilmu

Hukum
Administrasi
Negara)
dinamakan
beschikkivg.
Termasuk juga Keputusan Presiden (sebagai Kepala Negara) yang menetapkan
pengangkatan atau pemberhentian pejabat-pejabat alat kelengkapan negara (DPA,
BPK, MA) , Selanjutnya, hukum khusus termasuk juga Ketetapan MPR mengangkat
Presiden dan Wakil Presiden. Berbagai keputusan konkrit ini dimasukkan juga
sebagai hukum positif karena mengikat. Secara langsung mengikat yang
bersangkutan. Secara tidak langsung mengikat pula pihak lain. Bagi pihak lain,
berbagai keputusan konkrit yang secara tidak langsung mengikat menjadi semacam
spiegelrecht. Pengangkatan seseorang menjadi Bupati, memberikan hak dan
wewenang kepada yang bersangkutan untuk membuat berbagai keputusan yang
mengikat, hak atas gaji, dan lain sebagainya. Keputusan konkrit ini dijalankan atau
ditegakkan oleh pemerintah atau pengadilan. Dapat pula dimasukkan kedalam
hukum positif yang khusus adalah hukum yang lahir dari suatu perjanjian. Dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) didapati asas bahwa suatu perjanjian
yang dibuat sesuai dengan undang-undang, merupakan undang-undang bagi pihakpihak yang membuat perjanjian tersebut (Pasal 1338) Karena mempunyai kekuatan
sebagai undang-undang walaupun hanya untuk pihak-pihak apabila ada perselisihan
atau sengketa, ketentuan-ketentuan dalam perjanjian tersebut dapat ditegakkan
melalui pengadilan atau cara-cara lain yang mempunyai kekuatan mengikat seperti
putusan di luar pengadilan (arbitrase, mediasi, dan lain-lain). Perjanjian, merupakan
hukum
positif"
bagi
pihak-pihak
yang
bersangkutan.
b. Hukum positif "ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan."
Manusia hidup dan diatur, serta tunduk pada berbagai aturan. Selain aturan umum
atau khusus yang telah disebutkan diatas, manusia juga diatur dan tunduk pada
aturan adat-istiadat (hukum kebiasaan), hukum agama (sepanjang belum menjadi
hukum positif), hukum moral. Hukum kebiasaan, hukum agama, hukum moral
mempunyai daya ikat yang kuat bagi seseorang atau suatu kelompok tertentu. Jadi
merupakan hukum bagi mereka, tetapi tidak merupakan (bukan) hukum positif.
Ketaatan terhadap hukum kebiasaan, hukum agama, atau hukum moral tergantung
pada sikap orang perorangan dan sikap kelompok masyarakat yang bersangkutan.
Negara, dalam hal ini pemerintah dan pengadilan tidak mempunyai kewajiban hukum
untuk mempertahankan atau menegakkan hukum tersebut. Tetapi tidak berarti
hukum kebiasaan, hukum agama, atau hukum moral tidak berpehtang mempunyai
kekuatan
sebagai
hukum
positif.
Pertama; seperti sepintas telah disebutkan, sebagian hukum agama telah menjadi
hukum positif melalui peraturan perundang-undangan. Hal yang sama dapat terjadi
pada
hukum
kebiasaan,
dan
hukum
moral.
Kedua; melalui pengadilan. Dalam penerapan hukum, didapat asas bahwa
penerapan aturan hukum (positif), tidak boleh bertentangan dengan atau wajib
memperhatikan kepatutan rechtsvaardigheid, keadilan billijkheid ketertiban umum
openbare orde, atau kepentingan umum algemeen belang. Apabila penerapan suatu
aturan hukum akan bertentangan dengan kepatutan (umum atau individual), hakim

wajib mempertimbangkan hal-hal seperti hukum atau kebiasaaan yang hidup dalam
masyarakat sebagai dasar kepatutan dan keadilan. Dengan cara ini, terjadilah
transformasi hukum kebiasaan, hukum agama, menjadi hukum positif dalam bentuk
hukum
yurisprudensi.
Hukum positif ditegakkan atau dipertahankan oleh atau melalui pemerintah atau
pengadilan. Ciri ini menimbulkan paham bahwa hukum positif adalah aturan hukum
yang mempunyai sifat memaksa. Hukum (positif) menurut ciri Kelsen adalah a
coercive order atau suatu "tatanan yang memaksa." Paksaan merupakan salah satu
bentuk sanksi yaitu perampasan atau perenggutan secara paksa diluar kemauan
yang terkena terhadap segala sesuatu yang dimiliki seperti nyawa, kebebasan atau
harta benda. Meskipun sanksi diakui Kelsen sebagai unsur aturan hukum (positif),
tetapi tidak dianggapnya sebagai ciri atau karakteristik hukum (positif). Menurut
Kelsen semua tatanan sosial mempunyai sanksi, dan sanksi tidak hanya berupa
hukuman (punishment), tetapi dapat juga berupa ganjaran (reward) .
Pandangan Kelsen mengenai kedudukan sanksi sebagai karakteristik hukum (positif)
agak berbeda dengan Bentham, yang menganggap sanksi sebagai motivasi
mendorong agar hukum ditaati. Walaupun demikian, Bentham mengakui tatanan
sosial lainnya juga mempunyai sanksi. Sanksi-sanksi ini dapat pula mendorong
ketaatan pada aturan hukum (positif). Sama dengan Kelsen, Bentham juga
membedakan antara corercive sanction dan alluring sanction (atau yang disebut
Kelsen
sebagai
(reward).
Berbeda dengan John Austin yang mengartikan sanksi semata-mata sebagai suatu
bentuk
membebankan
penderitaan
(punishment
bukan
reward)
.
Memberikan "sanksi" sebagai karakteristik aturan hukum (positif), tidak sesuai
dengan
kenyataan:
Pertama; seperti diakui Bentham dan Kelsen, tatanan sosial selain aturan hukum
(positif) juga mengandung sanksi. Perbedaannya hanya pada pengenaan sanksi dan
cara penindakannya. Pada tatanan sosial di luar aturan hukum (positif), sanksi tidak
berupa perampasan secara langsung atas nyawa, kebebasan, atau harta benda,
melainkan dalam bentuk sanksi sosial (misalnya, diasingkan dari pergaulan) atau
sanksi moral seperti dicap sebagai orang tidak baik. Dalam hal hukum agama, sanksi
itu berupa keyakinan yang dapat dikenakan di dunia (seperti musibah) atau diakhirat
kelak
(ditempatkan
dalam
api
neraka).
Kedua; banyak sekali aturan hukum (positif) yang tidak mencantumkan suatu sanksi
atau sifat memaksa tertentu atau suatu akibat hukum tertentu. Misalnya kaidahkaidah hukum tata negara. Tidak ada kaidah hukum tata negara yang memuat
sanksi. Memperhatikan kenyataan dan sifat aturan hukum tersebut, ilmu hukum
membedakan antara hukum yang memuat aturan hukum memaksa (dwirigeridrecht),
dan yang semata-mata memuat aturan yang mengatur (regelendrecht).
Dwingenrecht, disebut juga imperatiefrechf, atau normatiefrecht, adalah aturan
hukum yang tidak dapat dikesampingkan oleh pihak-pihak, baik melalui suatu
perbuatan
tertentu
atau
melalui
suatu
perjanjian
.

Prof. PJ.P.Take merumuskan dwifigendrecht adalah ketentuan yang tidak dapat


dikesampingkan oleh pihak-pihak yang melakukan suatu hubungan hukum. Aturan
hukum yang tidak dapat dikesampingkan pada umumnya adalah aturan hukum yang
bersifat perlindungan terhadap ketidaktahuan, atau kelalaian, atau menghadapi
overmacht dari pihak lain, dan ketentuan yang berkaitan dengan ketertiban umum
(openbare orde) dan atau kesusilaan (goede zeden). Suatu hubungan hukum atau
perbuatan hukum yang bertentangan dengan ketertiban umum dan atau kesusilaan
diancam batal demi hukum. Aturan hukum (positif) di bidang ketenagakerjaan
(arbeidsrecht) dan sewa-menyewa (huursrecht) dalam KUHPerdata (BW) banyak
memuat ketentuan yang mempunyai sifat memaksa (tidak dapat dikesampingkan).
Regelendrecht; disebut juga anvullenrecht, atau dispositiefrecht, adalah aturan
hukum yang dapat dikesampingkan pihak-pihak yang melakukan hubungan hukum,
atau suatu perjanjian. Dengan perkataan lain, terhadap aturan hukum yang termasuk
regelendrecht, pihak-pihak bebas mengatur dengan cara lain atau berbeda, baik
dalam bentuk menyimpangi atau berupa tambahan dari aturan hukum yang ada.
Dalam hal dan makna inilah yang dimaksud den-an asas kebebasan berkontrak,
sepanjang tidak menyimpangi asas dan aturan hukum yang tetmasuk dwingendrecht.
Menurut Prof. Tak, (baik dalam praktek maupun secara keilmuan) perbedaan antara
dwingendrecht dengan regeIendrecht: tenztama didapati dalam lapangan hukum
keperdataan. Hal ini bertalian dengan sifat terbuka aturan hukum keperdataan (open
system). Aturan hukum publik hampir selalu merupakan dwingendrecht, karena
penegakannya secara eksklusif ada pada negara. Selain itu, sifat dwingettd atau
memaksa dalam hukum publik sangat berbeda dengan hukum keperdataan. Untuk
menghindarkan salah pengertian, dwingeidrecht meskipun mengandung pengertian
memaksa, tidak terkait dengan pemberian sanksi dalam bentuk membebankan suatu
penderitaan seperti antara lain diutarakan John Austin. Kalau sifat memaksa
dikaitkan dengan sanksi yang membebankan suatu penderitaan, tidak semua aturan
hukum publik memuat sanksi semacam itu. Aturan hukum ketatanegaraan adalah
aturan hukum publik yang tidak memuat sanksi yang akan mengenakan suatu
penderitaan terhadap pelanggarannya. Walaupun demikian, aturan hukum
ketatanegaraan merupakan dwingendrecht, karena tidak dapat dikesampingkan
dalam
setiap
hubungan
atau
peristiwa
hukum.
c. Hukum positif "berlaku dan ditegakkan di Indonesia." Unsur ini dimaksudkan untuk
menunjukkan bahwa, hukum positif adalah suatu aturan hukum yang bersifat
nasional, bahkan mungkin lokal. Selain hukum positif Indonesia, akan didapati
hukum positif Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, clan lain-lain negara atau suatu
masyarakat hukum tertentu. Apakah mungkin ada hukum positif yang bersifat supra
nasional, misalnya.dalam lingkungan ASEAN, UNI EROPAH, clan lain-lain. Sangat
mungkin, asal dipenuhi syarat ada badan pada tingkat supra nasional yang
bersangkutan yang menegakkan aturan hukum tersebut apabila ada pelanggaran.
Ditinjau dari lingkungan teritorial sebagai tempat berlaku, di Indonesia ada dua
macam hukum positif yaitu hukum positif yang berlaku di selunzh wilayah Negara

Indonesia (nasional) dan ada yang berlaku untuk daerah atau lingkungan masyarakat
hukum
tertentu
atau
dapat
disebut
sebagai
hukum
positif
lokal.
Hukum positif lokal dapat dibedakan antara hukum positif yang lahir atau dibuat dan
berlaku dalam lingkungan pemerintahan otonomi berupa Peraturan Daerah, atau
keputusan-keputusan lainnya. Hukum positif lokal ini termasuk juga peraturan hukum
yang dibuat pada tingkat nasional tetapi hanya berlaku untuk daerah atau wilayah
tertentu. Undang-undang tentang pembentukan daerah otonom seperti Nanggroe
Aceh Darussalam (UU No. 18 Tahun 2001) adalah aturan hukum yang dibuat oleh
Pusat
tetapi
hanya
berlaku
untuk
daerah
atau
wilayah
Aceh.
Selain itu, hukum positif lokal dapat berupa hukum adat yang berlaku untuk
lingkungan masyarakat hukum teritorial atau geneologis tertentu. Van Vollenhoven
membagi Indonesia dalam 19 1ingkungan hukum adat (rechtskringen) yang berbedabeda satu sama lain dengan berbagai corak hukum terutama dalam hukum
kekeluargaan
dan
waris
yang
berbeda-beda
pula.
Meskipun hukum positif bersifat nasional dan pada dasarnya hanya berlaku dalam
wilayah negara Indonesia (daerah tertentu), tetapi dalam keadaan tertentu dapat
berlaku diluar wilayah negara Indonesia. Dalam KUHPidana (WvS) dijumpai
perluasan berlaku hukum pidana diluar teritorial negara Indonesia.
1) Ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku terhadap perbuatan pidana di atas
kapal Indonesia yang sedang berada diluar wilayah negara Indonesia (KUH Pidana,
Pasa13). Menurut Wirjono Prodjodikoro, ketentuan Pasal 3 KUH Pidana hanya
menyangkut perluasan tempat berlaku, bukan menunjukkan bahwa kapal Indonesia
adalah bagian dari wilayah Indonesia. Indonesia tidak menganut ship is terrifoir,
karena perbuatan pidana di atas kapal Indonesia yang sedang berada di luar wilayah
negara Indonesia dapat juga diadili oleh negara yang bersangkutan (sesuai
ketentuan yang berlaku di negara yang bersangkutan). Dalam hal pelaku pidana
diadili oleh negara asing, maka tidak dapat lagi diadili di Indonesia berdasarkan asas
ne
bis
in
idem
(KUH
Pidana
Pasal
76).
2) Berdasarkan prinsip nasionalitas, ketentuan tertentu hukum pidana Indonesia
(seperti Pasal 160, Pasal 161, Pasal 249), berlaku terhadap warga negara Indonesia
yang melakukan perbuatan pidana diluar negeri (KUH Pidana, Pasa15). Hal serupa
berlaku juga dalam hukum keperdataan seperti diatur dalam Pasal 16 AB yang
antara lain menyebutkan: "Ketentuan-ketentuan dalam undang-undang mengenai
status dan wewenang seseorang tetap berlaku ketika yang bersangkutan berada
diluar Indonesia." Kaidah hukum keperdataan dapat juga berlaku diluar wilayah
Indonesia
berdasarkan
suatu
perjanjian.
Hukum positif Indonesia juga berlaku dimana Indonesia mempunyai hak-hak
berdaulat (sovereign rights) atas wilayah yang tidak lagi masuk wilayah teritorial
negara
Indonesia
seperti
pada
Zona
Ekonomi
Eksklusif
(ZEE).
II.

Jenis

atau

Macam

Hukum

Positif

Hukum positif dapat dikelompokkan kedalam hukum positif tertulis dan hukum positif
tidak
tertulis.
1. Hukum Positif Tertulis, dapat dibedakan antara hukum positif tertulis yang berlaku
umum
dan
hukum
positif
tertulis
yang
berlaku
khusus.
1.1
Hukum
positif
tertulis
yang
berlaku
umum,
terdiri
dari:
(a) Peraturan perundang-undangan; yaitu hukum positif tertulis yang dibuat,
ditetapkan, atau dibentuk pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang menurut
atau berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tertentu dalam bentuk
tertulis yang berisi aturan tingkah laku yang berlaku atau mengikat (secara) umum.
Termasuk dalam kategori peraturan perundangundangan adalah aturan hukum
sebagaimana disebutkan dalam Tap. No. III/MPR/2000." Ditinjau dari wewenang
pembentukannya,
peraiuranperundang-undangandapatdibedakan
antarayang
bersifatkenegaraandanyang bersifat administrasi negara. Selanjutnya ditinjau dari
daya ikatrlya ada yang bersifat ketatanegaraan (staatsrechtelijk) dan ada yang
bersifat administrasi negara (admfnistratiefrechttelijk). Ditinjau dari lingkungan tempat
berlaku, dapat dibedakan antara peraturan perundang-undangan tingkat nasional
dan
daerah.
(b) Peraturan kebijakan (beleidsregels, pseudowetgeuing, policy rides), yaitu
peraturan yang dibuat baik kewenangan atau materi muatannya tidak berdasar pada
peraturan perundang-undangan, delegasi, atau mandat, melainkan berdasarkan
wewenang yang timbul dari Freis Ermessen yang dilekatkan pada administrasi
negara untuk mewujudkan suatu tujuan tertentu yang dibenarkan oleh hukum. Aturan
kebijakan hanya didapati dalam lapangan administrasi negara, karena itu keientuan
aturan kebijakan hanya dalam lapangan hukum administrasi negara. Termasuk
kedalam kategori ini adalah "surat edaran, juklak, juknis." Pada saat ini didapati juga
semacam aturan kebijakan yang dikeluarkan oleh badan yang bukan administrasi
negara seperti Surat Edaran Mahkamah Agung. Meskipun dari segi bentuk,
menyerupai salah satu aturan kebijakan, Surat Edaran Mahkamah Agung tidak perlu
dikategorikan sebagai aturan kebijakan. Pertama; Mahkamah Agung bukan
administrasi negara. Kedua; wewenang Mahkamah Agung membuat surat edaran
tidak didasarkan pada kebebasan bertindak, tetapi atas petunjuk undang-undang.
Ketiga; Surat Edaran Mahkamah Agung berada dalam cakupan yang terbatas yaitu
sebagai pedoman yang berisi petunjuk bagi badan peradilan tingkat rendah yang
mandiri
dalam
menjalankan
fungsi
peradilan.
Perlu ditiadakan kesan, seolah-olah peraturan kebijakan atas dasar Freis Ermessen,
atau beleidsvrijheid, adalah peraturan yang semata-mata berkaitan dengan
doelmatigheid sehingga tidak terkait dengan unsur rechtmatigheid, bahkan dapat
menyimpangi rechtmatigheid. Kesan semacam ini tidak benar (keliru). Unsur
doelmatiglet'd sebagai alas Freis Ennesseri haruslah suatu tujuan atau manfaat yang
dibenarkan hukum. Kebebasan bertindak adalah kebebasan dalam lingkup

wewenangyang telah ditentukan berdasarkan hukum. Setiap tindakan administrasi


negara diluar wewenang Yang telah ditetapkan berdasarkan hukum termasuk
tindakan berdasarkan Freis Errnesseri, adalah tindakan melampaui wewenang
(detournemeit de pouvair), bahkan dapat melawan hukum (ortrechtmatigouerheidsdaad),
atau
penyalahgunaan
wewenang
(misbruik
van
recht).
1.2 Hukum positif tertulis yang berlaku khusus. Hukum positif tertulis yang berlaku
khusus dapat dibedakan antara yang ditetapkan administrasi negara dan yang
ditetapkan badan kenegaraan bukan administrasi negara. Disebut berlaku khusus
karena hanya berlaku untuk subyek atau subyek-subyek tertentu dan atau obyek atau
obyek-objek tertentu yang bersifat konkrit. Berbagai hukum positif tertulis yang
berlaku
khusus,
adalah:
(1). Ketetapan atau keputusan administrasi negara yang bersifat konkrit. Dalam dunia
ilmu hukum di Negeri Belanda dan Indonesia ketetapan atau keputusan semacam ini
lazim disebut atau dinamakan beschikking. Pada negara-negara berbahasa Inggris
disebut decree. Bentuk hukum yang dipergunakan adalah keputusan, seperti
Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, dan lain-lain. Termasuk kedalam kategori
ini keputusan administrasi negara mengenai pengangkatan atau pemberhentian
pejabat dalam lingkungan administrasi negara, pemberian atau pencabutan hak atau
izin atas obyek tertentu dan lain-lain yang bersifat konkrit dan tertentu subyek dan
atau obyeknya. Ketetapan atau keputusan konkrit badan-badan kenegaraan yang
bertindak untuk dan atas nama negara bukan atas nama pemerintah (administrasi
negara). Termasuk kedalam kategori ini. Ketetapan atau keputusan Kepala Negara
berdasarkan wewenang yang mempribadi (melekat pada jabatan) yang diberikan
konstitusi atau bersifat prerogatif. Termasuk kategori ini, wewenang Presiden
mengangkat Menteri, menetapkan Hakim Agung, Anggota DPA, Anggota BPK,
Pimpinan Mahkamah Agung, Pimpinan DPA dan Pimpinan BPK. Wewenang
mengangkat atau menetapkan pejabat di atas, bukan beschikking karena wewenang
Presiden tidak dalam kedudukan administrasi negara dan pejabat yang diangkat atau
ditetapkan bukan pejabat administrasi negara. Berbeda dengan pengangkatan
Direktur Jenderal, Sekretaris Jenderal, Gubernur atau jabatan lain semacam itu.
Dalam hal ini Presiden bertindak selaku pejabat administrasi negara dan yang
diangkat adalah pejabat administrasi negara. Perbedaan ini sangat penting kalau
terjadi "sengketa." Dalam hal pertama, tidak akan ada "sengketa hukum," karena itu
tidak mungkin menjadi obyek gugatan di pengadilan. Kalau ada sengketa, adalah
sengketa "yang bersifat ketatanegaraan" dan hanya dapat diselesaikan melalui
mekanisme penyelesaian ketatanegaraan atau politik. Berbeda dengan Keputusan
Presiden mengangkat Sekretaris Jenderal, Direktur Jenderal atau pejabat lain dalam
lingkungan administrasi negara. Keputusan Presiden tersebut dalam kedudukan dan
dalam lingkungan administrasi, karena itu dapat menjadi obyek sengketa
dipengadilan
(Pengadilan
Tata
Usaha
Negara).
(2). Ketetapan atau keputusan suatu lembaga negara yang berwenang mengangkat
atau memberhentixan pejabat lembaga negara lainnya. Misalnya Ketetapan MPR

yang mengangkat dan memberhentikan Presiden clan Wakil Presiden. Ketetapan


MPR mengangkat Presiden dan Wakil Presiden tidak mempunyai arti hukum yang
bersifat
konstitutif.
Seorang menjadi Presiden atau Wakil Presiden bukan karena ada Ketetapan
melainkan karena dipilih MPR. Presiden dan Wakil Presiden terpilih akan mulai
berwenang menjalankan jabatan sejak mengucapkan sumpah bukan karena ada
Ketetatapan MPR. Praktek ketatanegaraan semacam ini tidak akan didapati lagi
karena dimasa depan, Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat."
Walaupun ketetapan atau keputusan dalam kategori b (1 dan 2), bersifat konkrit,
tetapi dibedakan dengan beschikking. Di atas telah dikemukakan, beschikking adalah
keputusan administrasi negara. Sedangkan, keputusan dalam kategori b (1 dan 2)
bukan oleh pejabat administrasi negara dan tidak dalam bidang administrasi negara.
Perlu pula dicatat suatu keputusan atau ketetapan konkrit yang dikeluarkan badan
atau pejabat administrasi negara tidak selalu dalam bentuk tertulis. Suatu perintah
konkrit
dapat
terjadi
secara
lisan.
2. Hukum Positif Tidak Tertulis, yang dapat dibedakan atau terdiri dari Hukum Adat,
Hukum Keagamaan, Hukum Yurisprudensi, Hukum Tidak Tertulis lainnya.
2.1. Hukum Adat, yaitu hukum ash bangsa Indonesia yang hidup dan berlaku secara
turun temurun atau diakui atau dinyatakan sebagai hukum yang berlaku berdasarkan
peraturan perundang-undangan dan atau putusan hakim. Hukum adat mungkin
didapati atau diketahui dalam atau melalui tulisan (dituliskan). Walaupun demikian,
hukum adat adalah hukum tidak tertulis, karena tidak pernah dengan sengaja
dibentuk secara tertulis oleh pejabat yang berwenang melalui tata cara tertentu.
Hukum adat menjadi hukum positif atas dasar kenyataan sebagai hukum yang hidup
dan ditaati, pengakuan, dibiarkan berlaku, atau ditetapkan oleh pengadilan. Lingkup
hukum adat sebagai hukum positif makin terbatas akibat kehadiran hukum positif
tertulis atau karena yurisprudensi. Sampai tahun 1999 hampir semua hukum adat
ketatanegaraan tidak berlaku lagi. Sisa hukum adat ketatanegaraan yang masih
berlaku adalah untuk pemerintahan desa atau yang dipersamakan dengan desa
berdasarkan ketentuan IGO dan IGOB. Ketentuan tersebut tidak berlaku lagi sejak
ada UU No. 5 Tahun 1979 tentang Desa, kecuali mengenai sistem dan isi urusan
rumah tangga desa. Otonomi desa tetap didasarkan pada kelaziman pemerintahan
desa tradisional. Tanpa perubahan sistem dan isi rumah tangga, pembaharuan
organisasi pemerintahan tingkat desa tidak cukup berarti untuk pembaharuan desa.
Bahkan unifikasi pemerintahan tingkat desa dengan meniadakan segala karakteristik
yang sesuai dengan lingkungan masyarakat hukum yang berbeda-beda telah
merusak sendi-sendi pemerintahan tingkat desa. Dengan demikian, walaupun
Penjelasan UUD 1945 Pasa118 menyebut satuan-satuan masyarakat hukum asli
(desa, nagari, dan lain-lain), sejak 1979 hal tersebut tidak berlaku lagi. Tetapi sejak
ditetapkan UU No. 22 Tahun 1999 keadaan berubah kembali. Undang-Undang
tersebut membolehkan kembali pemakaian nama-nama seperti gampong, marga dan
lain-lain dengan segala konsekuensi hukumnya. Hal ini kemudian lebih dipertegas

berdasarkan perubahan Pasal 18 UUD 1945 yang antara lain menyebut: "Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam
undang-undang
(UUD
1945,
Pasal
18
B).
Demikian pula di bidang hukum administrasi. Tidak ada lagi hukum administrasi adat
yang berlaku, kecuali misalnya di Daerah Istimewa Yogyakarta untuk hal-hal yang
berkaitan dengan administrasi di lingkungan rumah tangga pemerintahan Kesultanan
atau Pakualaman (bukan untuk pemerintahan Daerah Istimewa sebagai daerah
otonom). Di bidang hukum pidana sangat dibatasi. Hukum adat hanya berlaku
sepanjang diakui hukum pidana tertulis. Di bidang hukum keperdataan, hukum adat
berangsur-angsur menyempit, yaitu di bidang hukum kekeluargaan, hukum harta
kekayaan tertentu. Di bidang inipun makin terbatas, mengingat berbagai peraturan
perundang-undangan baru yang bersifat uniformitas seperti hukum keagrariaan baru
yang diatur UU No. 5 Tahun 1960. Meskipun UU No. 5 Tahun 1960 sebagai dasar
politik dan pengaturan keagrariaan baru (nasional) menyebutkan: "hukum agraria
ialah hukum adat" (Pasal 5), tidak berarti hukum adat sebagai hukum positif berlaku
penuh disamping (berjalan paralel dengan) ketentuan keagrariaan yang telah diatur
dalam atau berdasarkan UU No, 5 Tahun 1960. Hukum agraria ialah hukum adat,
harus diartikan atau dipahami sebagai: Pertama; UUNo. 5 Tahun 1960 disusun
menurut asas-asas hukum adat, dimaksudkan sebagai penggunaan hukum adat
yang dipertentangkan dengan asas hukum keagrariaan yang pernah diatur dalam
BW, agrarischewet, atau agrarischbesluit. Pengertian dan asas seperti eigendom,
zakelijkrecht, domein, yang merupakan asas hukum pertanahan masa kolonial tidak
diteruskan karena bertentangan dengan pengertian dan asas kepemilikan,
kedudukan
clan
fungsi
tanah
menurut
hukum
adat.
Kedua; ketentuan hukum adat yang tidak sesuai atau bertentangan dengan asas dan
ketentuan keagrariaan baru (UU No. 5 Tahun 1960, dan berbagai peraturan
perundang-undangan lain), harus dianggap tidak berlaku, karena itu tidak boleh
diterapkan lagi. Terhadap ketentuan hukum adat yang sekalipun sesuai dengan
ketentuan agraria baru juga tidak boleh diterapkan lagi apabila telah diatur baru.
Ketentuan keagrariaan baru, berlaku primaat atau prevail, terhadap ketentuan hukum
adat. Kalau tidak ditentukan demikian, berarti hukum keagrariaan, khususnya hukum
pertanahan tetap bersifat dualisme. Di masa kolonial dualisme didapati antara hukum
pertanahan adat dan hukum pertanahan menurut BW dan agrarischewet. Di masa
sekarang, dualisme antara hukum pertanahan menurut UU No. 5 Tahun 1960 dan
hukum adat. Dualisme sekarang terjadi karena pemahaman yang kurang tepat atas
prinsip UU No. 5 Tahun 1960 yaitu prinsip hukum agraria ialah hukum adat diartikan
seolah-olah di samping UU No. 5 Tahun 1960 berlaku juga hukum adat. Hal ini akan
lebih mengakibatkan ketidakpastian hukum dibandingkan pada masa kolonial. Di
masa kolonial ada batas-batas yang jelas antara yang tunduk pada hukum
pertanahan adat dan yang tunduk pada ketentuan BW. Sekarang tidak, sehingga

"pilihan hukum" dapat diterapkan sekehendak hati, tergantung pada kemauan atau
kepentingan
yang
bersangkutan
atau
hakim.
Ketiga; ketentuan hukum adat masih dapat diterapkan dalam hal didapati
kekosongan dalam ketentuan keagrariaanbaru, atau apabila penerapan ketentuan
keagrariaan baru akan secara mendasar bertentangan dengan kepatutan
(rechtvaardigheid), keadilan (billijkheid), kepentingan umum (algemeen belang) atau
ketertiban umum (openbare orde). Memperhatikan makin menyempitnya hukum adat
sebagai hukum positif, beberapa obyek pengajaran hukum adat tidak relevan lagi
sebagai
kajian
ilmu
hukum
positif
(positiefrechtswetenschap).
Namun tidak berarti kajian keilmuan hukum adat menjadi kurang penting. Tetap
periting. Tetapi harus bergeser dan ditempatkan dalam kajian sejarah hukum
(rechthistorie) dan atau teori hukum (rechthistorie) atau filsafat hukum. Kajian terakhir
ini (teori hukum atau filsafat hukum) beberapa puluh tahun yang lalu telah dirintis
oleh almarhum Prof. Mr. Sudiman Kartohadiprodjo (guru besar filsafat hukum FH.
UNPAD dan Parahiyangan) yang mencoba secara keilmuan mengkaji Pancasila dari
sudut pemikiran anak bangsa Indonesia. Kajian ini dalam rangka pengajaran filsafat
hukum yang berdasarkan Pancasila sebagai sesuatu yang digali dari bumi Indonesia
sendiri. Sayang, rintisan ini tidak dilanjutkan. Bahkan ada semacam mengucilkan,
sehingga dilupakan. Salah satu kelemahan pendekatan almarhum, karena terlalu
kuat bertolak dari Pancasila, sehingga oleh sebagian dianggap menjadi begitu
ideologis dibandingkan sebagai suatu kajian keilmuan dan menjadi sempit karena
"berputar-putar" pada fenomena Pancasila. Secara obyektif rintisan ini harus dihargai
dan sedapat mungkin ada yang meneruskan. Salah satu kelemahan pengajaran ilmu
hukum di Indonesia karena tidak berkembangnya kajian teori hukum dan filsafat
hukum yang bersifat ke Indonesiaan. Hal ini bukan mengada-ada atau chauvinisme.
Teori hukum jurisprudence, sangat erat dengan ketentuan hukum positif. Teori hukum
disatu pihak merupakan nbstraksi teoritik hukum positif sehingga dapat disebut
bersumber dari hukum positif. Dilain pihak, teori hukum dapat menjadi asas dan
landasan hukum positif. Hukum positif dimanapun bersifat "nasional," karena itu
bukanlah sesuatu yang aneh kalau berkembang teori hukum yang bersifat nasional
seperti kajian "American legal system, France legal system" dan lain-lain. Kita harus
membangun pula teori hukum Indonesia seperti kajian "the Indonesian legal system."
Begitu pula kajian filsafat hukum. Meskipun ada yang berpendapat filsafat hukum
lebih universal dibanding teori hukum, tetapi tidak menutup kajian "the Indonesian
philosophy of law." Sebab berbagai kebangkitan suatu ajaran atau filsafat hampir
semuanya tidak terlepas dari kenyataan atau pandangan umum yang ada
disekitarnya. Ajaran philospher kirtg Plato, lahir karena dihadapkan pada kenyataan
perang terus menerus antara negara kota di Yunani yang antara lain menghar,curkan
atau menyebabkan kemunduran negara kota Atena, karena dikalahkan Sparta.
Pandangan hukum marxisme yang begitu keras, (hukum dianggap sebagai alat
penindas belaka), timbul karena kenyataan bahwa hukum pada saat itu tidak secara
nyata memberikan perlindungan kepada kaum buruh yang tertindas oleh kaum

kapitalis. AjaranpemisahankekuasaanMontesquieu, merupakan reaksi terhadap


kekuasaan absolut yang sewenang-wenang di Perancis. Ajaran atau mazhab sejarah
von Savigny merupakan refleksi nasionalisme menghadapi ekspansi sistem hukum
Perancis melalui model kodifikasi hukum. Demikian pula ajaran hukum Bentham
command of the souvereign, merupakan "reaksi" terhadap hukum Inggris yang
beraneka ragam dan berbagai faktor kelemahan dari sistem common law. Beberapa
ilustrasi di atas, menunjukkan pekembangan ajaran fiLsafat hukum atau kenegaraan
yang kemudian diterima secara "universal," lahir dari kenyataan setempat atau
kondisi nasional yang dihadapi. Van Vollenhoven telah berjasa menemukan hukum
adat sebagai sebuah sistem. Sayangnya penemuan ini - demikian pula penulis atau
peneliti lain dibidang hukum adat - lebih memusatkan perhatian menemukan hukum
adat sebagai sistem hukum positif dan belum sampai pada pengembangan teori
hukum atau filsafat hukumnya. Tentu saja ada bagian-bagian dari temuan tersebut
yang telah diangkat pada tingkat teori hukum tetapi belum komprehensif. Holleman
misalnya menemukan cara berpikir menurut hukum adat, sehingga dapat dipahami
sistem hukum perolehan hak, sistem hak ulayat, dan lain-lain. Setelah merdeka
rintisan ini mandek. Sistem pengajaran pada pendidikan tinggi hukum berangsurangsur lebih menekankan kajian hukum positif. Kajian-kajian teori hukum mengalami
pendangkalan. Ahli hukum Indonesia lebih tertarik mendalami berbagai aspek hukum
yang bersumber dari luar. Sebagai contoh, pengajaran mengenai "sumber hukum."
Masih ada tulisan atau pengajaran yang antara lain menyebutkan traktat sebagai
sumber hukum. Traktat dalam sistem perundang-undangan Indonesia bukan
merupakan bentuk hukum mandiri. Bentuk hukum traktat adalah undang-undang
atau Keputusan Presiden. Karena itu dalam sistematik sumber hukum mestinya
masuk ke dalam kelompok "undang-undang dalam arti materiil." Sudah saatnya di
fakultas hukum dibangun pusat kajian teori hukum dan filsafat hukum, tidak sekedar
pusat kajian hukum positif. Diakui, membangun pusat semacam ini tidak mudah.
Pada saat hukum mempunyai "nilai ekonomis" yang begitu tinggi dan sarjana hukum
dibutuhkan untuk berbagai lapangan praktis, sulit menemukan tenaga yang mau
bertekun untuk hal abstrak ini. Rintisan Prof. Mochtar Kusumaatmadja mengenai
ajaran tentang peranan hukum dan pembaharuan hukum dan peranan hukum dalam
pembangunan hukum nasional kurang berkembang sebagai bangunan teori yang
komprehensif. Memang banyak yang kemudian menulis atau membicarakan
keterkaitan hukum dengan perubahan sosial, pembangunan, dan lain-lain. Tetapi
ilmu hukumnya sendiri tidak berkembang. Selain berputar pada teori yang sudah ada
seperti sociological jurisprudence, berbagai kajian tersebut lebih nampak sebagai
kajian kebijakan dari pada untuk perkembangan ilmu hukum. Prof. Mochtar
Kusumaatmadja sendiri tidak lagi berkesempatan mengembangkan lebih jauh
pemikiran-pemikiran baru mengenai hukum, karena berbagai pekerjaan lain yang
dipikulkan kepadanya. Mereka yang mentransformasikan pikiran-pikiran hukum Prof.
Mochtar Kusumaatmadja, terbztas pada menjelaskan dan kadang-kadang
rnengidiologikafi-nya sehingga tidak berkembang lebih komprehensif. Mestinya

mereka yang "mengambil alih" tugas beliau dengan mengembangkan lebih jauh
pandangan hukum tersebut sehingga terbentuk satu pendekatan teoritik yang
komprehensief.
Akibat kurang berkembangnya teori hukum, pengajaran hukum Indonesia lebih
berorientasi pada telaahan terhadap hukum positif. Hal ini nampak antara lain dalam
sistem pendidikan hukum yang dibagi dalam strata I, II, dan III. Strata I sebagai
pendidikan untuk memperoleh gelar sarjana hukum. Pada tingkat strata I, pengajaran
lebih diarahkan pada penguasaan hukum positif belaka. Kupasan teoritik, baik yang
umum maupun khusus sangat terbatas. Sebagai salah satu akibatnya, sarjana
hukum acap kali kurang mengenali dengan baik kerangka hukum sebagai sebuah
sistem atau tertib legal system, legal order. Hal ini nampak pada kemampuan
berargumentasi atau menerangkan pikiran hukum secara sistematik, logis, dan ilmiah
(legal reasonirrgs). Argumentasi pragmatiklah yang mendominasi pemikiran hukum.
Sadar atau tidak sadar, ciri-cir.i ini merupakan pendangkalan terhadap ilinu hukum
dan
pendidikan
hukum.
2.2
Hukum
Keagamaan
Hukum keagamaan sebagai hukum positif, adalah hukum dari agama yang diakui
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku atau berdasarkan suatu
kebijakan Pemerintah yang mengakui semua sistem keyakinan atau sistem
kepercayaan yang oleh pengikutnya dipandang sebagai agama. Pada saat ini,
didapati berbagai hukum keagamaan yang dinyatakan -melalui undang-undangsebagai hukum positif. Berdasarkan W No. 1 Tahun 1974, ketentuan-ketentuan
semua agama mengenai perkawinan dinyatakan sebagai hukum positif. Khusus bagi
yang beragama Islam, pengakuan hukum perkawinan Islam telah ada sejak masa
Hindia Belanda dengan dipertahankannya peradilan agama untuk menyelesaikan
sengketa nikah, talak, dan rujuk (seperti Mahkamah Syariah di Jawa dan Qadi Besar
di Kalimantan) berdasarkan hukum Islam. Berdasarkan UU No. 7 Tahun 1989 - bagi
pemeluk agama Islam-ketentuanhukum positif berdasarkan syariah (hukum Islam)
diperluas ke bidang-bidang lain seperti wakaf, pemeliharaan anak, pewarisan,
hubungan nasab dalam pengangkatan anak. Memperhatikan berbagai ketentuan
undr.ng-undang -antara lain seperfi disebut di atas ada beberapa cara menyatakan
hukum
agama
menjadi
hukum
positif.
Pertama; mengakui bahwa untuk hubungan atau peristiwa hukum tertentu berlaku
hukum agama, seperti pernyataan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut
agama
masinb
masing
(UU
No.
1
Tahun
1974).
Kedua; memasukkan atau mentransformasikan asas dan ketentuan hukum agama
tertentu kedalam ketentuan undang-undang. Misalnya, dalam penjelasan UndangUndang Kesejahteraan Anak dinyatakan pengangkatan anak tidak memutuskan
hubungan
nasab.
Ketiga; membiarkan hukum agama tertentu berlaku sebagai hukum positif. Hal ini
nampak antara lain dalam ketentuan perbankan mengenai sistem bank syariah atau

berlakunya
Syariat
Islam
di
Nanggroe
Aceh
Darussalam.
Memasukkan hukum agama menjadi hukum positif terjadi juga melalui putusan
hakim. Di lingkungan peradilan agama, telah diadakan pedoman penerapan hukum
agama bagi mereka yang beragama Islam seperti "kompilasi Hukum Islam" yang
ditetapkan dalam Instruksi Presiden No, l Tahun 1991 jo Keputusan Menteri Agama
No. 154 Tahun 1991. Hal yang sama dapat juga dilakukan atau terjadi pada
lingkungan peradilan lain, khususnya peradilan umum. Hakim dapat menggunakan
asas atau ketentuan agama apabila penerapan suatu peraturan perundangundangan sungguh-sungguh melukai rasa kepatutan, atau rasa keadilan, atau
pandangan
kesusilaan
menurut
dasar
keagamaan
pencari
keadilan.
2.3 Hukum Yurisprudensi; adalah hukum positif yang berlaku secara umum yang lahir
atau berasal dari putusan hakim. Disinilah letak perbedaaan sifat hukum antara
putusan hakim dengan yurisprudensi. Putusan hakim adalah hukum yang bersifat
konkrit dan khusus berlaku pada subyek yang terkena atau terkait langsung dengan
bunyi putusan. Pada saat suatu putusan hakim diterima sebagai yurisprudensi, maka
asas atau kaidahnya menjadi bersifat umum dan dapat dipergunakan sebagai dasar
pertimbangan hukum bagi siapa saja. Hingga saat ini, peranan hukum yurisprudensi
belum mendapat perhatian yang cukup, baik dalam pengajaran hukum maupun
praktek
hukum.
Pertama; sistem pengajaran hukum -terkecuali untuk kajian hukum internasional
karena ada case study- kurang sekali menggunakan putusanhakim atau
yurisprudensi sebagai bahan bahasan. Hal ini terjadi karena (antara lain):
1) Pengajaran hukum masih terbelenggu oleh sistem yang menekankan penguasaan
pengertian umum hukum sebagai suatu standar kajian hukum dalam ilmu hukum
rechtwetenschap, legal science. Pengajaran hukum ini bersifat abstrak dalam bentuk
generalisasi teoritik belaka. Itupun - seperti diutarakan dimuka- mengalami
pendangkalan karena pengajaran lebih ditekankan pada hukum positif.
2) Sistem hukum yang berlaku menempatkan asas dan kaidah hukum yang
bersumber pada peraturan perundang-undangan sebagai sendi utama hukum yang
berlaku. Akibatnya, orientasi pengajaran hukum diutamakan pada penguasaan
terhadap 34 ketentuanhukum yang didapati dalamperaturan perundang-undangan.
Sistem pengajaran ini sangat berbahaya, karena tidak tertutup kemungkinan, bunyi
atau pengertian yang didapati dalam peraturan perundang-undangan telah diberi
pengertian atau tafsiran baru oleh putusan hakim atau yurisprudensi. Sekedar
beberapa
contoh:
1) Pengertian "barang" dalam pidana pencurian termasuk pencurian listrik.
2) Pengertian onrechtmatigedaad, hanya dapat dipahami setelah mempelajari
yurisprudensi
(Arrest
H.R,1919).
3) Makin banyak putusan Mahkamah Agung yang menerima permohonan
kasasipraperadilan,berhadapan dengan ketentuan hukum positif yang menyatakan
tidak
ada
kasasi
untuk,
praperadilan.

4) Ketentuan "jual beli tidak memutuskan hubungan sewa menyewa" oleh


yurisprudensi diperluas menjadi asas pengasingan (vervreemding) tidak
memutuskan sewa menyewa, sehingga termasuk hibah, pewarisan, dan lain-lain
bentuk
pengasingan.
3) Publikasi putusan hakim atau yurisprudensi sangat terbatas sehingga tidak mudah
didapat untuk dipelajari atau dibahas. Bahkan ada yang berpendapat, publik tidak
berhak memperoleh suatu salinan putusan karena dalam HIR ada ketentuan yang
membatasi hanya untuk terpidana atau pihak yang berperkara, kecuali melalui tata
cara tertentu. Ketentuan ini tidak sejalan dengan asas bahwa putusan hakim harus
diucapkan dalam sidang terbuka dan dinyatakan terbuka untuk umum. Karena
terbuka untuk umum, maka putusan hakim tidak lagi sebagai dom:?in pribadi
melainkan
domein
publik.
4) Kebijakan penelitian hukum yang tidak memberi kelapangan fasilitas untuk
penelitian putusan hakim atau yurisprudensi. Lebih-lebih lagi kalau sumber dana dari
pemerintah yang tidak memahami peranan putusan hakim atau yurisprudensi, baik
untuk pengembangan ilmu hukum maupun praktek hukum. Dari segi pengembangan
teoritik, putusan hakim atau yurisprudensi sangat memperkaya pendapat-pendapat
atau pengertian-pengertian baru tentang hukum. Begitu pula praktek hukum. Salah
satu keluhan banyak pihak (dalam dan luar negeri), putusan hakim acapkali
menimbulkan ketidakpastian hukum karena -antara lain- tidak ada konsistensi.
Penelitiansistematik dan keilmuan mengenai hal ini akan memberikan sumbangan
penting dalam upaya membangun ketertiban dalam penerapan hukum. Selain itu,
penelitian yurisprudensi sangat penting untuk mengidentifikasi kemungkinan
kesenjangan
antara
law
in
books
dan
law
in
action.
Kedua; dari segi praktek hukum, putusan hakim atau yurisprudensi legally uou
binding, karena Indonesia Hdak menjalankan sistem precedetrt. Putusan hakim atau
yurisprudensi hanya mempunyai kekuatanyang bersifat persuasif bagi hakim. Ada
kelebihan dan kekurangan sistem non precedent yang kita jalankan. Kelebihannya,
hakim tidak terbelenggu oleh putusan masa lalu yang mungkin tidak sesuai lagi.
Pertumbuhan hukum akan lebih dinamis karena hakim bebas menemukan hukum
sesuai perkembangan dan kenyataan yang dihadapi. Kekurangan atau
kelemahannya -seperti sepintas diuraikan di atas- putusan hakim atau yurisprudensi
tidak dapat diandalkan sebagai sumber nyata kepas6an dan konsistensi penerapan
hukum.
Baik ditinjau dari pengertian maupun kenyataan, kepastian hukum didapati dalam
penerapan hukum bukan dalam suatu peraturan perundang-undangan yang hanya
merupakanbayang-bayang dari kepastian hukum. Selanjutnya sistem non precedent,
mudah mengundang penyalahgunaan dan kesewenang-wenangan hakim. Atas
nama kebebasan, hakim dapat memutus sesuai kepentingan tertentu.

3.4 Hukum Kebiasaan, yaitu hukum yang tumbuh dan dijalankan dalam praktek
penyelenggaraan negara atau pemerintahan, dan hukum yang tumbuh dan
dijalankan dalam praktek komunitas perniagaan, dan lain-lain. Hukum-hukum ini
sebenarnya merupakan (hukum) adat istiadat. Secara singkat dapat disebut hukum
adat. Tapi disini sengaja tidak dimasukkan kedalam kelompok Hukum Adat (huruf
besar), karena selama ini telah diterima pengertian bahwa Hukum Adat adalah
hukum asli yang tumbuh, berkembang, dan hidup dalam lingkungan masyarakat ash
Indonesia. Yang cukup intensif diajarkan di Fakultas Hukum adalah hukum kebiasaan
di bidang ketatanegaraan, atau lazim disebut konvensi. Tetapi karena hukum
kebiasaan ketatanegaraan ini sangat menonjol pada sistem ketatanegaraan Inggris,
maka referensi utama biasanya adalah kebiasaan ketatanegaraan Inggris. Termasuk
kedudukan hukum dari kebiasaan ketatanegaraan. Di Inggris kebiasaan
ketatanegaraan tidak digolongkan sebagai hukum melainkan sebagai etika,
alasannya karena tidak dapat ditegakkan melalui pengadilan. Pendirian ini perlu
mendapat
peninjauan
kembali:
(1) Tidak banyak kaidah hukum ketatanegaraan yang ditegakkan atau dipertahankan
melalui proses peradilan. Hukum ketatanegaraan umumnya tegak melalui proses
politik atau proses hukum di luar pengadilan seperti impeachment. Kaidah hukum
tata negara yang ditegakkan melalui proses peradilan hanya beberapa seperti
mengenai pengujian terhadap undang-undang (tidak semua negara menjalankan
praktek semacam itu), perkara pelanggaran hak asasi manusia oleh negara, alat
kelembagaan negara, atau pemerintah. Dengan demikian, tidak relevan menentukan
dasar perbedaan pada dapat atau tidak dapat ditegakkan melalui proses peradilan.
Lebih-lebih lagi makin berkembangnya pranata yang lazim disebut quasi
admirtistratiefsrechtspraak sebagai forum menyelesaikan sengketa tanpa melalui
pengadilan. Demikianpula lembaga penyelesaian sengketa dalam lingkungan
administrasi seperti "banding administrasi." Pada saat ini makin berkembang pula
lembaga penyelesaian sengketa yang tidak sepenuhnya melalui proses peradilan
seperti court cottttected mediatiott atau yang sama sekali diluar proses peradilan
seperti mediasi. Dalam mediasi yang diutamakan adalah menemukan penyelesaian
bukan mengenai hukum yang akan diterapkan. (2). Sistem hukum Indonesia -yang
diwarisi dari sistem kolonial adalah sistem kontinental yang menerima kaidah
kebiasaan sebagai hukum, bukan kaidah etika.
Read more: http://www.emakalah.com/2013/04/hukum-positifindonesia.html#ixzz3MjaOI87x
Diposkan 23rd December 2014 oleh Oscar moch
0

Tambahkan komentar

2.
DEC

23

Pengertian Hukum Menurut Para Ahli

Pengertian Hukum dan Jenis Hukum

Pengertian Hukum
Pengertian Hukum Menurut Para Ahli Hukum, yaitu :
Plato, dilukiskan dalam bukunya Republik. Hukum adalah sistem
peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun baik yang mengikat masyarakat.
Aristoteles, hukum hanya sebagai kumpulan peraturan yang tidak
hanya mengikat masyarakat tetapi juga hakim. Undang-undang adalah sesuatu
yang berbeda dari bentuk dan isi konstitusi; karena kedudukan itulah undangundang mengawasi hakim dalam melaksanakan jabatannya dalam menghukum
orang-orang yang bersalah.
Austin, hukum adalah sebagai peraturan yang diadakan untuk
memberi bimbingan kepada makhluk yang berakal oleh makhluk yang berakal
yang berkuasa atasnya (Friedmann, 1993: 149).
Bellfoid, hukum yang berlaku di suatu masyarakat mengatur tata
tertib masyarakat itu didasarkan atas kekuasaan yang ada pada masyarakat.
Mr. E.M. Mayers, hukum adalah semua aturan yang mengandung
pertimbangan kesusilaan ditinjau kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat
dan yang menjadi pedoman penguasa-penguasa negara dalam melakukan
tugasnya.
Jenis Jenis Hukum
Hukum Pidana : hukum yang mengatur hubungan antara subjek
hukum dalam hal perbuatan-perbuatan yang diharuskan dan dilarang oleh
peraturan undang-undang dan berakibat diterapkannya sanksi berupa pemidanaan
dan/atau denda bagi para pelanggarnya. Hukum pidana termasuk hukum public.
Dan terdapat 2 jenis perbuatan yang dapat dikenakan hukum pidana yaitu,
kejahatan dan pelanggaran.
Hukum perdata : Hukum yang mengatur hubungan-hubungan antar
individu-individu dengan saluran tertentu. Hukum perdata juga sering disebut
hukum privat atau hukum sipil. Contohnya, hukum keluarga, hukum harta
kekayaan, hukum benda dan lain-lain.
Hukum Acara : merupakan ketentuan yang mengatur bagaimana
cara dan siapa yang berwenang menegakkan hukum materiil dalam hal terjadi
pelanggaran terhadap hukum materiil. Tanpa hukum acara yang jelas dan
memadai, maka pihak berwenang menegakkan hukum materiil akan mengalami
kesulitan menegakkan hukum materiil.

Hukum Positif atau ius constitutum, adalah hukum yang berlaku


saat ini di suatu negara. Misalnya, di Indonesia persoalan perdata diatur dalam
KUH Perdata, persoalah pidana diatur melalui KUH Pidana, dll.
Diposkan 23rd December 2014 oleh Oscar moch
0

Tambahkan komentar

3.
DEC

23

Berbagai Macam Jenis Hukum


Hukum
Nasional
Dalam kehidupan sehari-hari kamu tentu pernah mendengar istilah hukum pidana,
hukum perdata, dan hukum adat. Tahukah kamu perbedaan ketiga jenis hukum
tersebut? Ketiga jenis hukum tersebut hidup dan berkembang di negara Indonesia,
tetapi memiliki bentuk yang berbeda. Hukum pidana dan perdata digolongkan
sebagai hukum yang tertulis, artinya hukum yang dicantumkan dalam berbagai
peraturan.
Perlu kamu ingat, jika ada hukum yang tertulis, tentu ada pula hukum yang tidak
tertulis, yaitu hukum yang masih hidup dalam keyakinan masyarakat. Hukum
semacam itu tidak tertulis, namun keberadaannya ditaati sebagai suatu peraturan
perundangan (disebut juga hukum kebiasaan). Hukum yang digolongkan kedalam
hukum
tidak
tertulis
adalah
hukum
adat.
Hukum tertulis sebenarnya bukan hanya pidana dan perdata, tetapi banyak
macamnya,
di
antaranya
sebagai
berikut.
1.
Hukum
Pidana
Hukum pidana termasuk dalam hukum publik. Hukum pidana mengatur hal-hal
yang menyangkut kepentingan umum. Hukum pidana adalah keseluruhan aturan
hukum yang menyangkut sanksi atau hukuman khusus yang dijatuhkan kepada
pelanggar hukum. Hukum pidana identik dengan hukum yang mengatur
pelanggaran yang menyangkut kepentingan umum. Sebagai contoh, kamu tentu

sering melihat tayangan kriminal di televisi, kasus-kasus seperti pembunuhan,


pencurian, dan penipuan. Kasus-kasus tersebut tergolong ke dalam pelanggaran
pidana. Pelaku tindak pidana wajib mendapat hukuman yang setimpal. Tahukah
kamu macam-macam hukumannya? Dalam hukum pidana di Indonesia dikenal
dua macam hukuman, menurut KUHP Pasal 10 hukuman atau pidana terdiri alas:
Hukuman
1)
2)
3)
4)
Hukuman
1)
2)
3)

pokok

terdiri

hukuman
hukuman
hukuman

kurungan,
hukuman

tambahan,
terdiri
pencabutan
hak-hak
perampasan
barang-barang
tertentu,
pengumuman
putusan

atas:
mati
penjara
dan
denda
atas:
tertentu,
dan
hakim.

2.
Hukum
Tata
Negara
Hukum tata negara adalah keseluruhan aturan hukum yang mengatur bentukbentuk dan susunan negara, alat-alat perlengkapan negara, tugas-tugas negara,
serta hubungan alat-alat perlengkapan negara. Tahukah kamu lembaga-lembaga
tinggi negara yang ada di Indonesia seperti Presiden, DPR, dan DPD? Apa tugas
lembaga-lembaga tersebut? Bagaimana hubungan antara lembaga tersebut? Semua
hal
tersebut
diatur
dalam
hukum
tata
negara.
3.
Hukum
Tata
Usaha
Negara
Hukum tata usaha negara, termasuk bagian dari hukum tata negara dalam arti luas.
Hukum tata usaha negara atau disebut juga hukum tata pemerintahan, yaitu
hukum yang mengatur cara-cara menjalankan tugas (hak dan kewajiban) dari
kekuasaan
alat-alat
perlengkapan
negara.
4.
Hukum
Acara
Pidana
Hukum acara pidana adalah peraturan-peraturan (hukum) yang berisi tata cara
penyelesaian perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum pidana. Hukum acara
pidana mengatur proses penyelidikan, penangkapan, penahanan, pemeriksaan,
persidangan, penuntutan, penjatuhan hukuman, dan pelaksanaan hukuman
(eksekusi). Hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur proses
penyelesaian
kasus
pidana
di
tingkat
pengadilan.
Hukum

Internasional

Dalam buku Pengantar Hukum Indonesia, karya C.S.T. Kansil, S.H. Hukum
internasional terdiri atas hukum perdata intenasional dan publik internasional.
Hukum perdata internasional, yaitu hukum yang mengatur hubungan hukum
antara warga negara suatu negara dan warga negara dari negara lain dalam
hubungan
internasional.
Hukum publik internasional (hukum antar negara), yaitu hukum yang mengatur
hubungan hukum antara negara yang satu dan negara-negara lain dalam hubungan
internasional.
Macam-macam hukum tersebut di alas termasuk dalam hokum publik, sedangkan
hukum
privat
(sipil),
di
antaranya
sebagai
berikut.
Hukum
Perdata
Hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan antara orang yang satu
dan yang lain dengan menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan. Hukum
perdata
di
Indonesia
memuat
hal-hal
sebagai
berikut.
Hukum
perorangan
(personenrecht),
di
antaranya
memuat:
1.
peraturan-peraturan
tentang
manusia
sebagai
subjek
hukum;
2. peraturan-peraturan tentang kecakapan untuk memiliki hak-hak dan untuk
bertindak
sendiri
melaksanakan
hak-haknya
itu.
Hukum
keluarga
(familierecht),
yang
di
antaranya
memuat:
1. perkawinan beserta hubungan dalam hukum harta kekayaan antara suami atau
istri;
2.
hubungan
antara
orangtua
dan
anak-anaknya;
3.
perwalian;
4.
pengampunan.
Hukum harta kekayaan yang mengatur tentang hubungan-hubungan hukum yang
dapat dinilai dengan uang. Hukum harta kekayaan terdiri atas:
1. hak mutlak, yaitu hak-hak yang berlaku terhadap tiap orang;
2. hak perorangan, yaitu hak-hak yang berlaku terhadap seorang atau suatu pihak
tertentu
saja.
Hukum waris (etfrecht), yang mengatur tentang Benda atau kekayaan seseorang
jika ia meninggal dunia (mengatur akibat-akibat dari hubungan keluarga terhadap
harta
peninggalan
seseorang).

Hukum
Dagang
Hukum dagang adalah hukum yang menurut sebagian sarjana ahli hukum
merupakan bagian dalam hukum perdata. Hukum dagang merupakan perluasan
dari Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu tentang perikatan
(hukum
persetujuan).
Di samping berbagai peraturan hukum tersebut pemerintah telah menetapkan
berbagai macam peraturan perundangan yang ditetapkan dalam Ketetapan MPR
No. III/MPR/2000. Ketetapan MPR tersebut telah diubah menjadi UU No.10
Tahun 2004 yang memuat tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundangan.
Adapun Peraturan Perundangan yang ada di Indonesia adalah sebagai berikut.
1)
UUD
1945;
2)
Ketetapan
MPR
(Tap
MPR);
3)
Undang-Undang
(UU);
4)
Peraturan
Pemerintah
Pengganti
Undang-undang
(Perpu);
5)
Peraturan
Pemerintah
(PP);
6)
Keputusan
Presiden
(Keppres);
7)
Peraturan
Daerah
(Perda).
Tata urutan perundang-undangan yang dianut sekarang adalah Undang-Undang
No. 10 Tahun 2004, tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Adapun tata urutannya secara nasional adalah sebagai berikut:
1)
UUD
1945;
2) Undang-Undang (UU) atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perpu);
3)
Peraturan
Pemerintah
(PP);
4)
Peraturan
Presiden
(Perpres);
5)
Peraturan
Daerah
(Perda).
Peraturan perundang-undangan yang telah disebutkan dalam tata urutan
perundang-undangan tersebut secara lebih jelas diterangkan sebagai berikut.
a.
Undang-Undang
Dasar
1945
(UUD
1945)
UUD 1945 merupakan hukum dasar tertulis yang memuat dasar dan garis besar
hukum dalam penyelenggaraan negara. UUD 1945 adalah produk hukum yang
disusun oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) dan kemudian ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945. Pada saat ini UUD 1945 telah
mengalami empat kali amandemen (pengubahan) yang dilakukan oleh MPR.

Sistematika UUD 1945 terdiri atas Pembukaan dan Batang Tubuh. Batang Tubuh
terdiri atas 16 bab, 37 pasal dengan 36 pasal tambahan, 3 pasal aturan peralihan
dan 2 pasal aturan tambahan. Pasal-pasal dalam UUD 1945 rnemuat aturan-aturan
pokok bernegara dan dijabarkan kembali dengan peraturan lain yang lebih rendah.
UUD 1945 menempati kedudukan tertinggi sebagai hukum di Negara Indonesia.
b.
Ketetapan
MPR
Ketetapan MPR (Tap MPR) adalah produk hukum yang dibuat oleh MPR. Tap
MPR dibuat dalam rangka melaksanakan UUD 1945. Produk hukum MPR ada
dua
macam,
yaitu
sebagai
berikut.
1) Ketetapan MPR, yaitu produk hukum MPR yang mengikat ke dalam dan ke
luar MPR. Contohnya Tap MPR No. III/MPR/2000 tentang sumber Hukum dan
Tata Urutan Perundang-undangan. Produk hukum yang mengikat ke dalam
maksudnya ketetapan tersebut hanya berlaku bagi anggota MPR. Adapun
ketetapan yang mengikat ke luar maksudnya ketetapan MPR berlaku bagi seluruh
rakyat
Indonesia,
lembaga
negara,
dan
penyelenggara
negara.
2) Keputusan MPR, yaitu produk hukum MPR yang hanya mengikat ke dalam
MPR saja. Contoh, keputusan tentang tata tertib anggota MPR. Berdasarkan
Ketetapan MPR No. III/ MPR/2000 tentang sumber Hukum dan Tata Urutan
Perundangan, Ketetepan MPR (Tap MPR) menempati urutan kedua seelah UUD
1945. Namun, berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004, Tap MPR tidak terrnasuk
kedalam
tata
urutan
perundang-undagan
nasional
lagi.
c.
Undang-Undang
Undang-Undang (UU) dibuat dalam rangka melaksanakan UUD. UU dibuat oleh
presiden bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Contoh undangundang yang telah diberlakukan adalah UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah
Daerah.
d.
Peraturan
Pemerintah
Pengganti
Undang-Undang
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) adalah peraturan
perundangan yang dikeluarkan oleh presiden karna keadaan yang memaksa. Perpu
dibuat presiden tanpa harus terlebih dahulu mendapat persetujuan DPR, dengan
ketentuan
sebagai
berikut.
1) Perpu harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikutnya.
2) DPR dapat menolak atau menerima Perpu yang diajukan presiden.
3) Jika perpu ditolak, harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.

e.
Peraturan
Pemerintah
Peraturan Pemerintah ditetapkan oleh presiden dengan tujuan menjalankan
undang-undang. UUD 1945 Pasal 5 ayat 2 menegaskan bahwa presiden
menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang
sebagaimana mestinya. Peraturan pemerintah ditetapkan oleh presiden sebagai
pelaksana
kepala
pemerintahan.
f.
Keputusan
Presiden
Keputusan Presiden adalah keputusan yang ditetapkan oleh presiden. Keputusan
Presiden merupakan peraturan yang dibentuk presiden berdasarkan Pasal 4 UUD
1945. Keputusan Presiden dibuat dalam rangka menjalankan UUD 1945, UU, dan
PP. Contoh Keppres No. 17 Tahun 2002 tentang Badan Narkotika Nasional
(BNN). Keppres ini dibuat untuk menangkap para bandar, pengedar, maupun
pemakai narkoba. BNN telah berhasil mengungkap kasus-kasus besar narkotika di
Indonesia.
Berdasarkan UU Nol 10 Tahun 2004, Keputusan Presiden berubah menjadi
Peraturan Presider (Perpes) yang menempati urutan keempat dalam tata urutan
perundang-undangan.
g.
Peraturan
Daerah
Peraturan Daerah (Perda) adalah peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah
provinsi dan kabupaten atau kota. Perda termasuk dalam peraturan perundangundangan karena sejalan dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Peraturan Daerah dibuat untuk melaksanakan peraturan perundangan
yang lebih Perda juga dibuat dalam rangka melaksanakan kebutuhan daerah.
Diposkan 23rd December 2014 oleh Oscar moch
0

Tambahkan komentar

4.
DEC

23

Jenis-Jenis Hukum

Hukum terdiri atas bermacam-macam. Untuk mengetahui tentang macam-macam


hukum,
ada
beberapa
penggolongan
hukum.
a
.
Hukum
menurut
Bentuknya
Menurut
bentuknya,
hukum
dikelompokkan
sebagai
berikut.
1) Hukum tertulis adalah hukum yang dicantumkan dalam berbagai peraturan
perundangan. Hukum tertulis dapat merupakan hukum tertulis yang
dikodifikasikan
dan
hukum
tertulis
yang
tidak
dikodifikasikan.
2) Hukum tak tertulis adalah hukum yang masih hidup dalam keyakinan
masyarakat,
tetapi
tidak
tertulis.
Hukum
tak
tertulis
juga
disebut
hukum
kebiasaan.
Hukum tidak tertulis ditaati seperti suatu peraturan perundangan.
b
.
Hukum
menurut
Tempat
Berlakunya
Menurut
tempat
berlakunya,
hukum
dibedakan
sebagai
berikut.
1) Hukum nasional adalah hukum yang berlaku dalam suatu negara.
2) Hukum internasional adalah hukum yang mengatur hubungan hukum dalam
dunia
internasional.
3) Hukum asing adalah hukum yang berlaku di negara lain.
4) Hukum lokal adalah hukum yang berlaku di suatu daerah atau wilayah tertentu.
c
.
Hukum
menurut
Sumbernya
Menurut sumbernya, hukum dapat digolongkan sebagai berikut.
1) Undang-undang adalah hukum yang tercantum dalam peraturan perundangan.
2) Hukum kebiasaan adalah hukum yang terletak dalam peraturan-peraturan
kebiasaan.
3) Hukum traktat adalah hukum yang ditetapkan oleh negara-negara di dalam
suatu
perjanjian
antarnegara.
4) Hukum yurisprudensi adalah hukum yang terbentuk karena keputusan hakim.
d
.
Hukum
menurut
Waktu
Berlakunya
Menurut waktu berlakunya, hukum dapat digolongkan sebagai berikut.
1) Hukum positif (ius constitutum) adalah hukum yang berlaku sekarang bagi
suatu masyarakat tertentu dalam suatu daerah tertentu. Hukum positif (ius
constitutum)
disebut
juga
tata
hukum.
2) Ius constituendum adalah hukum yang diharapkan berlaku pada waktu yang
akan
datang.
3) Hukum asasi adalah hukum yang berlaku di mana-mana dalam segala waktu
dan
untuk
segala
bangsa
di
dunia.
Hukum ini tidak mengenal batas waktu melainkan berlaku untuk selama-lamanya
(abadi)
terhadap
siapa
pun
di
seluruh
tempat.
e
.
Hukum
menurut
Isinya
Menurut
isinya,
hukum
dapat
dikelompokkan
sebagai
berikut.
1) Hukum privat adalah kumpulan hukum yang mengatur hubungan-hubungan
antarorang dengan menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan. Hukum

privat juga disebut hukum sipil. Contoh: KUH Perdata dan KUH Dagang.
2) Hukum publik adalah kumpulan hukum yang mengatur hubungan-hubungan
antara negara dengan alat perlengkapannya atau antara negara dengan perorangan.
Hukum publik bertujuan untuk melindungi kepentingan umum. Hukum publik
juga
disebut
hukum
negara.
f
.
Hukum
menurut
Wujudnya
Menurut wujudnya, hukum dapat dikelompokkan sebagai berikut.
1) Hukum objektif adalah hukum dalam suatu negara yang berlaku umum dan
tidak mengenai orang atau golongan tertentu. Hukum ini untuk menyatakan
peraturan yang mengatur antara dua orang atau lebih. Contoh: Kitab UndangUndang
Hukum
Pidana
(KUHP)
2) Hukum subjektif adalah hukum yang dihubungkan dengan seseorang tertentu
dan dengan demikian menjadi hak. Contoh: Kitab Undang-Undang Hukum
Militer.
g
.
Hukum
menurut
Sifatnya
Menurut
sifatnya,
hukum
dapat
digolongkan
sebagai
berikut.
1) Hukum yang memaksa adalah hukum yang dalam keadaan bagaimana pun juga
harus dan mempunyai paksaan mutlak. Contoh: hukum pidana
2) Hukum yang mengatur adalah hukum yang dapat dikesampingkan apabila
pihak-pihak yang bersangkutan telah membuat peraturan sendiri dalam suatu
perjanjian.
Contoh:
hukum
dagang.
h
. Hukum
menurut
Cara
Mempertahankannya
Menurut
cara
mempertahankannya, hukum dapat dikelompokkan sebagai berikut.
1) Hukum materiil adalah hukum yang memuat peraturan-peraturan yang
mengatur kepentingan-kepentingan dan hubungan-hubungan yang berwujud
perintah-perintah dan larangan-larangan. Contoh: hukum pidana, hukum perdata,
dan
hukum
dagang.
2) Hukum formal adalah hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengatur
cara-cara melaksanakan dan mempertahankan hukum materiil atau suatu
peraturan yang mengatur cara mengajukan suatu perkara ke muka pengadilan dan
bagaimana caranya hakim memberi putusan. Hukum formal disebut hukum acara.
Contoh: hukum acara pidana dan hukum acara perdata
Diposkan 23rd December 2014 oleh Oscar moch
0

Tambahkan komentar

5.
DEC

23

Pengertian Kaidah Hukum


Kaidah hukum adalah peraturan yang dibuat atau yang dipositifkan secara
resmi oleh penguasa masyarakat atau penguasa negara, mengikat setiap orang dan
berlakunya dapat dipaksakan oleh aparat masyarakat atau aparat negara, sehingga
berlakunya kaidah hukum dapat dipertahankan. Kaidah hukum ditujukan kepada
sikap lahir manusia atau perbuatan nyata yang dilakukan manusia. Kaidah hukum
tidak mempersoalkan apakah sikap batin seseorang itu baik atau buruk, yang
diperhatikannya adalah bagaimana perbuatan lahiriyah orang itu. Coba kita
pikirkan contoh berikut, ada seorang pria menikahi seorang wanita dengan sah
sesuai dengan aturan agama dan negara tetapi sebenarnya didalam hatinya ada niat
buruk untuk menguras harta kekayaan si pihak wanita dan lain lain. Dari contoh
tersebut secara lahiriyah sesuai dengan kaidah hukum karena dia menikahi dengan
jalur tidak melanggar hukum tapi sebenarnya batin pria tersebut adalah buruk.
Karena ada kaidah hukum maka hukum dapat dipandang sebagai kaidah.
Hukum sebagai kaidah adalah sebagai pedoman atau patokan sikap tindak atau
perikelakuan yang pantas atau diharapkan. Pada konteks ini masyarakat
memandang bahwa hukum merupakan patokan-patokan atau pedoman-pedoman
yang harus mereka lakukan atau tidak boleh mereka lakukan. Pada makna ini
aturan-aturan kepala adat atau tetua kampung yang harus mereka patuhi bisa
dianggap sebagai hukum, meskipun tidak dalam bentuk tertulis. Kebiasaan yang
sudah lumrah dipatuhi dalam suatu masyarakat pun meskipun tidak secara resmi
dituliskan, namun selama ia diikuti dan dipatuhi dan apabila yang mencoba
melanggarnya akan mendapat sanksi, maka kebiasaan masyarakat ini pun
dianggap sebagai hukum.
Diposkan 23rd December 2014 oleh Oscar moch
0

Tambahkan komentar

6.
DEC

23

Peristiwa Hukum
PERISTIWA HUKUM

Yang

dimaksud

dengan

peristiwa

hukum

atau

kejadian

hukum

atau rechtsfeit adalah peristiwa kemasyarakatan yang akibatnya diatur oleh


hukum, agar lebih jelas akan disampaikan beberapa contoh yang relevan dengan
istilah peristiwa hukum, sebab tidak setiap peristiwa kemasyarakatan akibatnya
diatur oleh hukum.
Contoh pertama :
Peristiwa transaksi jual beli barang. Pada peristiwa ini terdapat akibat yang diatur
oleh hukum, yaitu timbulnya hak dan kewajiban, sebagaimana pasal 1457 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata bahwa Jual beli adalah suatu persetujuan,
dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu
kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.
Contoh kedua :
Peristiwa kematian seseorang. Pada peristiwa kematian seseorang secara wajar,
dalam hukum perdata akan menimbulkan berbagai akibat yang diatur oleh hukum,
misalnya penetapan pewaris dan ahli waris. Pada pasal 830 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata berbunyi Pewarisan hanya berlangsung karena kematian.
Sedangkan apabila kematian seseorang tersebut akibat pembunuhan, maka dalam
hukum pidana akan timbul akibat hukum bagi si pembunuh yaitu ia harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya sebagaimana disebutkan pada pasal 338
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bahwa Barang siapa dengan sengaja
menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena makar atau pembunuhan
atau doodslag, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.
Contoh ketiga :
Seorang pria menikahi wanita secara resmi. Peristiwa pernikahan atau perkawinan
ini akan menimbulkan akibat yang diatur oleh hukum yakni hukum perkawinan

dimana dalam peristiwa ini timbul hak dan kewajiban bagi suami istri. Pada pasal
31 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan berbunyi
Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Sedangkan
pasal 34 ayat (2) menetapkan Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaikbaiknya.
Setelah memperhatikan contoh-contoh diatas, ternyata peristiwa hukum itu
dapat di bedakan menjadi 2, yaitu :
a.

Peristiwa hukum karena perbuatan subyek hukum;

b.

Peristiwa hukum yang bukan perbuatan subyek hukum.


Peristiwa hukum karena perbuatan subyek hukum adalah semua perbuatan
yang dilakukan manusia atau badan hukum yang dapat menimbulkan akibat
hukum. Contoh peristiwa pembuatan surat wasiat dan peristiwa tentang
penghibahan barang.
Peristiwa hukum yang bukan perbuatan subyek hukum adalah semua
peristiwa hukum yang tidak timbul karena perbuatan subyek hukum, akan tetapi
apabila terjadi dapat menimbulkan akibat-akibat hukum tertentu. Misal kelahiran
seorang bayi, kematian seseorang, dan kadaluarsa (aquisitief yaitu kadaluarsa
yang menimbulkan hak dan extinctief yaitu kadaluarsa yang melenyapkan
kewajiban).
Perbuatan subyek hukum dapat di bedakan menjadi dua, yaitu :

a.

Perbuatan subyek hukum yang merupakan perbuatan hukum;

b.

Perbuatan subyek hukum yang bukan perbuatan hukum.


Perbuatan subyek hukum yang merupakan perbuatan hukum adalah
perbuatann subyek hukum yang akibat hukumnya dikehendaki pelaku. Jadi unsur

kehendak merupakan unsur esensial dari perbuatan tersebut. Contoh perbuatan


jual beli, perjanjian sewa menyewa rumah, dan lain sebagainya.
Perbuatan hukum ada 2 macam yakni perbuatan hukum yang bersegi satu
(eenzijdig) dan perbuatan hukum yang bersegi dua (tweezijdig). Suatu perbuatan
hukum bersegi satu adalah setiap perbuatan yang berakibat hukum (rechtsgevolg)
dan akibat hukum ditimbulkan oleh kehendak satu subyek hukum, yaitu satu
pihak saja (yang telah melakukan perbuatan itu). Misalnya, perbuatan hukum
yang disebut dalam pasal 132 KUHPerdata (hak seorang istri untuk melepaskan
haknya atas barang yang merupakan kepunyaan suami istri berdua setelah mereka
kawin, benda perkawinan), perbuatan hukum yang disebut dalam pasal 875
KUHPerdata (perbuatan mengadakan testamen adalah suatu perbuatan hukum
yang

bersegi

satu),

perbuatan

hukum

yang

mendirikan

yayasan

(stichtingshandhandeling). Suatu perbuatan hukum yang bersegi dua adalah setiap


perbuatan yang akibat hukumnya ditimbulkan oleh kehendak dua subyek hukum,
yaitu dua pihak atau lebih. Setiap perbuatan hukum yang bersegi dua merupakan
perjanjian (overeenkomst) seperti yang tercantum dalam pasal 1313 KUHPerdata :
Perjanjian itu suatu perbuatan yang menyebabkan satu orang (subyek hukum)
atau lebih mengikat dirinya pada seorang (subyek hukum) lain atau lebih.
Perbuatan subyek hukum yang bukan perbuatan hukum adalah perbuatan
subyek hukum yang akibat hukumnya tidak dikehendaki pelaku. Contoh :
1.

Zaakwaarneming (perwakilan sukarela) yaitu perbuatan yang akibatnya diatur


oleh hukum, walapun bagi hukum tidak perlu akibat tersebut dikehendaki oleh
yang melakukan perbuatan itu. Misalnya pada pasal 1354 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata yang berbunyi :
Jika seseorang dengan sukarela, dengan tidak mendapat perintah untuk itu,
mewakili urusan orang lain dengan atau tanpa pengetahuan orang ini, maka ia
secara diam-diam mengikat dirinya untuk meneruskan serta menyelesaikan urusan

tersebut, hingga orang yang diwakili kepentingannya dapat mengerjakan sendiri


urusan itu. Ia memikul segala kewajiban yang harus dipikulnya, seandainya ia
dikuasakan dengan suatu pemberian kuasa yang dinyatakan dengan tegas.
2. Onrechtmatigedaad (perbuatan melawan hukum), misalnya pada pasal 1365 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata atau pasal 1401 Burgerlijk Wetboek, yang
menetapkan :
Elke onrechtmatigedaad, waardoor aan een ander schade wordt toegebragt, stelt
dengene door wiens shuld die schade veroorzaakt is in de verpligting om dezelve
te vergoeden.
Soebekti dan Tjitrosudibio menterjemahkannya sebagai berikut :
Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut.
Diposkan 23rd December 2014 oleh Oscar moch
0

Tambahkan komentar

7.
DEC

23

Pengertian Negara Hukum dan Norma Hukum


A.
Pengertian
Negara
Hukum
Aristoteles, merumuskan negara hukum adalah Negara yang berdiri di atas hukum
yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi
tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga Negara dan sebagai daripada keadilan
itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warganegara
yang baik. Peraturan yang sebenarnya menurut Aristoteles ialah peraturan yang

mencerminkan keadilan bagi pergaulan antar warga negaranya. maka menurutnya


yang memerintah Negara bukanlah manusia melainkan pikiran yang adil. Penguasa
hanyalah
pemegang
hukum
dan
keseimbangan
saja.
Penjelasan UUD 1945 mengatakan, antara lain, Negara Indonesia berdasar atas
hukum (Rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machsstaat). Jadi jelas
bahwa cita-cita Negara hukum (rule of law) yang tekandung dalam UUD1945
bukanlah sekedar Negara yang berlandaskan sembarang hukum. Hukum yang
didambakan bukalah hukum yang ditetapkan semata-mata atas dasar kekeuasaan,
yang dapat menuju atau mencerminkan kekuasaan mutlak atau otoriter. Hukum yang
demikian bukanlah hukum yang adil (just law), yang didasarkan pada keadilan bagi
rakyat.
B.
Konsep
Dasar
Negara
Hukum
Indonesia
Konsep rechtsstaat mengutamakan prinsip wetmatigheid yang kemudian menjadi
rechtmatigheid.
1.
unsur-unsur
rechtsstaat
:
a.
adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia (HAM).
b.
adanya pemisahan dan pembagian kekuasaan negara untuk menjamin
perlindungan
HAM,
c.
pemerintahan
berdasarkan
peraturan,
d.
adanya
peradilan
administrasi;
dan
Dari uraian unsur-unsur rechtsstaat maka dapat dikaitkan dengan konsep
perlindungan hukum, sebab konsep rechtsstaat tersebut tidak lepas dari gagasan
untuk memberi pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Dengan
demikian rechtsstaat memiliki inti upaya memberikan perlindungan pada hak-hak
kebebasan sipil dari warga negara, berkenaan dengan perlindungan terhadap hakhak dasar yang sekarang lebih populer dengan HAM, yang konsekuensi logisnya
harus diadakan pemisahan atau pembagian kekuasaan di dalam negara. Sebab
dengan pemisahan atau pembagian kekuasaan di dalam negara, pelanggaran dapat
dicegah
atau
paling
tidak
dapat
diminimalkan.
Di samping itu, konsep rechtsstaat menginginkan adanya perlindungan bagi hak
asasi manusia melalui pelembagaan peradilan yang independen. Pada konsep
rechtsstaat terdapat lembaga peradilan administrasi yang merupakan lingkungan
peradilan
yang
berdiri
sendiri.
Negara Anglo Saxon tidak mengenal Negara hukum atau rechtstaat, tetapi mengenal
atau menganut apa yang disebut dengan The Rule Of The Law atau pemerintahan
oleh
hukum
atau
government
of
judiciary.
Menurut A.V.Dicey, Negara hukum harus mempunyai 3 unsur pokok :
1
Supremacy
Of
Law
Dalam suatu Negara hukum, maka kedudukan hukum merupakan posisi tertinggi,
kekuasaan harus tunduk pada hukum bukan sebaliknya hukum tunduk pada

kekuasaan, bila hukum tunduk pada kekuasaan, maka kekuasaan dapat


membatalkan hukum, dengan kata lain hukum dijadikan alat untuk membenarkan
kekuasaan. Hukum harus menjadi tujuan untuk melindungi kepentingan rakyat.
2
Equality
Before
The
Law
Dalam Negara hukum kedudukan penguasa dengan rakyat dimata hukum adalah
sama (sederajat), yang membedakan hanyalah fungsinya, yakni pemerintah
berfungsi mengatur dan rakyat yang diatur. Baik yang mengatur maupun yang diatur
pedomannya satu, yaitu undang-undang. Bila tidak ada persamaan hukum, maka
orang yang mempunyai kekuasaan akan merasa kebal hukum. Pada prinsipnya
Equality Before The Law adalah tidak ada tempat bagi backing yang salah,
melainkan undang-undang merupakan backine terhadap yang benar.
3
Human
Rights
Human
rights,
maliputi
3
hal
pokok,
yaitu
:
a.
The rights to personal freedom ( kemerdekaan pribadi), yaitu hak untuk
melakukan sesuatu yang dianggan baik badi dirinya, tanpa merugikan orang lain.
b.
The rights to freedom of discussion ( kemerdekaan berdiskusi), yaitu hak untuk
mengemukakan pendapat dan mengkritik, dengan ketentuan yang bersangkutan juga
harus bersedia mendengarkan orang lain dan bersedia menerima kritikan orang lain.
c.
The rights to public meeting ( kemerdekaan mengadakan rapat), kebebasan ini
harus dibatasi jangan sampai menimbulkan kekacauan atau memprovokasi.
Persamaan Negara hukum Eropa Kontinental dengan Negara hukum Anglo saxon
adalah keduanya mengakui adanya Supremasi Hukum. Perbedaannya adalah pada
Negara Anglo Saxon tidak terdapat peradilan administrasi yang berdiri sendiri
sehingga siapa saja yang melakukan pelanggaran akan diadili pada peradilan yang
sama. Sedangkan nagara hukum Eropa Kontinental terdapat peradilan administrasi
yang
berdiri
sendiri.
C.
Indonesia
sebagai
Negara
Hukum
Negara Hukum Indonesia diilhami oleh ide dasar rechtsstaat dan rule of law.
Langkah ini dilakukan atas dasar pertimbangan bahwa negara hukum Republik
Indonesia pada dasarnya adalah negara hukum, artinya bahwa dalam konsep negara
hukum Pancasila pada hakikatnya juga memiliki elemen yang terkandung dalam
konsep
rechtsstaat
maupun
dalam
konsep
rule
of
law.
Yamin menjelaskan pengertian Negara hukum dalam penjelasan UUD 1945, yaitu
dalam Negara dan masyarakat Indonesia, yang berkuasa bukannya manusia lagi
seperti berlaku dalam Negara-negara Indonesia lama atau dalam Negara Asing yang
menjalankan kekuasaan penjajahan sebelum hari proklamasi, melainkan warga
Indonesia dalam suasana kemerdekaan yang dikuasai semata-mata oleh peraturan
Negara berupa peraturan perundang-undangan yang dibuatnya sendiri
Indonesia berdasarkan UUD 1945 berikut perubahan-perubahannya adalah negara
hukum artinya negara yang berdasarkan hukum dan bukan berdasarkan kekuasaan
belaka. Negara hukum didirikan berdasarkan ide kedaulatan hukum sebagai

kekuasaan
tertinggi
Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH ada dua belas ciri penting dari negara hukum
diantaranya
adalah
:
1.
Supremasi
hukum
2.
Persamaan
dalam
hukum
3.
Asas
legalitas
4.
Pembatasan
kekuasaan
5.
Organ
eksekutif
yang
independent
6.
Peradilan
bebas
dan
tidak
memihak
7.
Peradilan
tata
usaha
negara
8.
Peradilan
tata
negara
9.
Perlindungan
hak
asasi
manusia
10.
Bersifat
demokratis
11.
Sarana
untuk
mewujudkan
tujuan
negara
12.
Transparansi
dan
kontrol
sosial.
Sedangkan menurut Prof. DR. Sudargo Gautama, SH. mengemukakan 3 ciri-ciri atau
unsur-unsur
dari
negara
hukum,
yakni:
a.
Terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap perorangan
maksudnya negara tidak dapat bertindak sewenang-wenang. Tindakan negara
dibatasi oleh hukum, individual mempunyai hak terhadap negara atau rakyat
mempunyai
hak
terhadap
penguasa.
b.
Azas
Legalitas
Setiap tindakan negara harus berdasarkan hukum yang telah diadakan terlebih
dahulu yang harus ditaati juga oleh pemerintah atau aparaturnya.
c.
Pemisahan
Kekuasaan
Agar hak-hak azasi itu betul-betul terlindung adalah dengan pemisahan kekuasaan
yaitu badan yang membuat peraturan perundang-undangan, melaksanakan dan
mengadili harus terpisah satu sama lain tidak berada dalam satu tangan.
Namun apabila dikaji secara mendalam bahwa pendapat yang menyatakan orientasi
konsepsi Negara Hukum Indonesia hanya pada tradisi hukum Eropa Continental
ternyata tidak sepenuhnya benar, sebab apabila disimak Pembukaan UUD 1945
alinea I (satu) yang menyatakan Bahwa sesungguhnya kemerdekaan ialah hak
segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan
karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan menunjukkan
keteguhan dan kuatnya pendirian bangsa Indonesia menghadapi masalah
kemerdekaan melawan penjajahan. Dengan pernyataan itu bukan saja bangsa
Indonesia bertekad untuk merdeka, tetapi akan tetap berdiri di barisan yang paling
depan dalam menentang dan menghapuskan penjajahan di atas dunia.
Alinea ini mengungkapkan suatu dalil objektif, yaitu bahwa penjajahan tidak sesuai
dengan perikemanusiaan dan perikeadilan dan oleh karenanya harus ditentang dan

dihapuskan agar semua bangsa di dunia ini dapat menjalankan hak atas
kemerdekaan sebagai hak asasinya. Di samping itu dalam Batang Tubuh UUD 1945
naskah asli, terdapat pasal-pasal yang memuat tentang hak asasi manusia antara
lain: Pasal 27, 28, 29, 30, dan 31. Begitu pula dalam UUD 1945 setelah perubahan
pasal-pasal yang memuat tentang hak asasi manusia di samping Pasal 27, 28, 29,
30 dan 31 juga dimuat secara khusus tentang hak asasi manusia dalam Bab XA
tentang Hak Asasi Manusia yang terdiri dari Pasal 28A, 28B, 28C, 28D, 28E, 28F,
28G, 28H, 28I dan Pasal 28J. Hal ini menunjukkan bahwa dalam konsep negara
hukum Indonesia juga masuk di dalamnya konsepsi negara hukum Anglo Saxon
yang
terkenal
dengan
rule
of
law.
Dari penjelasan dua konsep tersebut dapat disimpulkan bahwa konsep negara
hukum Indonesia tidak dapat begitu saja dikatakan mengadopsi konsep rechtsstaat
maupun konsep the rule of law, karena latar belakang yang menopang kedua konsep
tersebut berbeda dengan latar belakang negara Republik Indonesia, walaupun kita
sadar bahwa kehadiran istilah negara hukum berkat pengaruh konsep rechtsstaat
maupun
pengaruh
konsep
the
rule
of
law.
Selain istilah rechtstaat, sejak tahun 1966 dikenal pula istilah The rule of law yang
diartikan
sama
dengan
negara
hukum.
Dari berbagai macam pendapat, nampak bahwa di Indonesia baik the rule of law
maupun rechtsstaat diterjemahkan dengan negara hukum. Hal ini sebenarnya
merupakan sesuatu yang wajar, sebab sejak tahun 1945 The rule of law merupakan
suatu topik diskusi internasional, sejalan dengan gerakan perlindungan terhadap hakhak asasi manusia. Dengan demikian, sulitlah untuk saat ini, dalam perkembangan
konsep the rule of law dan dalam perkembangan konsep rechtsstaat untuk mencoba
menarik perbedaan yang hakiki antara kedua konsep tersebut, lebih-lebih lagi
dengan mengingat bahwa dalam rangka perlindungan terhadap hak-hak dasar yang
selalu dikaitkan dengan konsep the rule of law, Inggris bersama rekan-rekannya dari
Eropa daratan ikut bersama-sama menandatangani dan melaksanakan The
European
Convention
of
Human
Rights.
Dengan demikian, lebih tepat apabila dikatakan bahwa konsep negara hukum
Indonesia yang terdapat dalam UUD 1945 merupakan campuran antara konsep
negara hukum tradisi Eropa Continental yang terkenal dengan rechtsstaat dengan
tradisi hukum Anglo Saxon yang terkenal dengan the rule of law. Hal ini sesuai
dengan fungsi negara dalam menciptakan hukum yakni mentransformasikan nilainilai dan kesadaran hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakatnya. Mekanisme
ini merupakan penciptaan hukum yang demokratis dan tentu saja tidak mungkin bagi
negara untuk menciptakan hukum yang bertentangan dengan kesadaran hukum
rakyatnya. Oleh karena itu kesadaran hukum rakyat itulah yang diangkat, yang
direfleksikan dan ditransformasikan ke dalam bentuk kaidah-kaidah hukum nasional
yang
baru.
Apabila dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 naskah asli, tidak secara
eksplisit terdapat pernyataan bahwa Indonesia adalah negara hukum, lain halnya

dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS). Dalam KRIS dinyatakan secara
tegas dalam kalimat terakhir dari bagian Mukadimah dan juga dalam Pasal 1 ayat (1)
bahwa
Indonesia
adalah
negara
hukum.
D.
Implementasi
Negara
Hukum
di
Indonesia
Berbicara tentang negara hukum yang disebut supremasi hukum tentu saja tidak
akan lepas dari konsepsi dasar yang dipakai sebagai landasan untuk menciptakan
sebuah negara nasional yang pada tataran kenegaraan dan hukum tertinggi disebut
konstitusi. Ini merupakan dasar yang bersifat universal yang berlaku pada tiap-tiap
negara.
Dalam tataran koridor konstitusional, maka persoalan mengenai supremasi hukum
terwujud didalam sebuah masyarakat nasional yang disebut negara hukum
konstitusional, yaitu suatu negara dimana setiap tindakan dari penyelenggara
negara: pemerintah dan segenap alat perlengkapan negara di pusat dan didaerah
terhadap rakyatnya harus berdasarkan atas hukum-hukum yang berlaku yang
ditentukan oleh rakyat / wakilnya di dalam badan perwakilan rakyat. Sesuai prinsip
kedaulatan rakyat yang ada, di dalam negara demokrasi hukum dibuat untuk
melindungi hak-hak azasi manusia warga negara, melindungi mereka dari
tindakan diluar ketentuan hukum dan untuk mewujudkan tertib sosial dan kepastian
hukum serta keadilan sehingga proses politik berjalan secara damai sesuai koridor
hukum/konstitusional.
UUD NRI 1945 sebenarnya telah mempunyai ukuran-ukuran dasar yang bisa dipakai
untuk mewujudkan negara hukum dimana supremasi hukum akan diwujudkan. Kalau
dilihat
dengan
seksama
UUD
NRI
1945
mejelaskan
bahwa
:
Indonesia adalah negara berdasar atas negara hukum, tidak berdasar atas
kekuasaan
belaka
Ini sebenarnya Grundnorm yang telah diberikan oleh Founding father yang
membangun negara ini. Bagaimana kita akan menyusun negara hukum, bagaimana
negara hukum itu akan diarahkan, dalam arti untuk apa kita wujudkan negara
hukum ini, sekaligus dituntut untuk menegakkan hukum sebagai salah satu piranti
yang bisa dipergunakan secara tepat di dalam mewujudkan keinginan atau cita-cita
bangsa. Formula UUD 1945 tersebut mengandung pengertian dasar bahwa di dalam
negara yang dibangun oleh rakyat Indonesia ini sebenarnya diakui adanya dua
faktor yang terkait dalam mewujudkan negara hukum, yaitu satu factor hukum dan
yang kedua factor kekuasaan. Artinya hukum tidak bisa ditegakkan inkonkreto
dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat tanpa adanya
kekuasaan dan dimanesfestasikan di dalam UUD NRI 1945. Dengan demikian dua
factor hukum dan kekuasaan, tidak bisa dilepaskan satu sama lain, bagaikan
lokomotif dan relnya serta gerbong yang ditarik lokomotif. Artinya hukum tidak bisa
ditegakkan bahkan lumpuh tanpa adanya dukungan kekuasaan. sebaliknya
kekuasaan sama sekali tidak boleh meninggalkan hukum, oleh karena apabila
kekuasaan dibangun dan tanpa mengindahkan hukum, yang terjadi adalah satu

negara yang otoriter. Fungsi kekuasaan pada hakekatnya adalah memberikan


dinamika terhadap kehidupan hukum dan kenegaraan sesuai norma-norma dasar
atau grundnorm yang dituangkan dalam UUD NRI 1945 dan kemudian dielaborasi
lebih lanjut secara betul dalam hirarki perundang-undangan yang jelas.

2.Pengertian Norma Hukum Menurut Para Ahli

Secara umum, Pengertian Norma adalah sebuah aturan, patokan atau ukuran,
yaitu sesuatu yang bersifat pasti dan tidak berubah. Pengertian Norma lainnya
adalah aturan-aturan atau pedoman sosial yang khusus mengenai tingkah laku,
sikap, dan perbuatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan di
lingkungan kehidupannya.
Berikut ini beberapa Pengertian Norma Menurut para Ahli:
Norma Menurut Bagja Waluya: Norma adalah wujud konkret
dari nilai yang merupakan pedoman, yaitu berisikan suatu keharusan bagi individu
atau masyarakat dalam berperilaku
Norma Menurut John J. Macionis: Aturan-aturan dan harapan
harapan masyarakat yang memandu perilaku anggota-anggotanya.
Norma Menurut Craig Calhoun: Aturan atau pedoman yang
menyatakan tentang bagaiamana seseorang seharusnya bertindak dalam situasi
tertentu.
Norma Menurut Isworo Hadi Wiyono: Norma adalah peraturan
atau petunjuk hidup yang memberi ancar-ancar perbuatan mana yang boleh
dijalankan dan perbuatan mana yang harus dihindari. Norma bertujuan untuk
mewujudkan ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat
Norma Menurut Giddens: Prinsip atau aturan yang konkret ,
yang seharusnya diperhatikan oleh masyarakat
Norma Menurut Hans Kelsen: Norma adalah perintah yang tidak
personal dan anonim (an impersonal and anonymous "command" - that is the
norm)
Norma Menurut Robert m.z. Lawang: Norma adalah patokan
perilaku dalam suatu kelompok tertentu. Norma memungkinkan seseorang untuk
menentukan terlebih dahulu bagaimana tindakan itu akan dinilai oleh orang lain.
Norma juga merupakan kriteria bagi orang lain untuk mendukung atau menolak
perilaku seseorang.
Norma Menurut Soerjono Soekanto: Norma adalah suatu
perangkat agar hubungan di dalam suatu masyarakat terlaksana sebagaimana yang
diharapkan. Norma-norma mengalami proses pelembagaan atau melewati suatu
norma kemasyarakatan yang baru untuk menjadi bagian dari salah satu lembaga
masyarakat sehingga norma tersebut dikenal, diakui, dihargai, dan kemudian
ditaati dalam kehidupansehari-hari
Norma Menurut Marvin e. Shaw: Norma ialah peraturan tingkah
laku yang ditegakkan ataupun diasaskan oleh anggota kelompok bagi
mengekalkan keselarasan tingkah laku.

Norma Menurut Bellebaum: Norma adalah alat untuk mengatur


masyarakat agar orang bertingkah laku dalam suatu komunitas berdasarkan
keyakinan dan sikap-sikap tertentu
Norma Menurut Isworo Hadi Wiyono: Norma adalah peraturan
atau petunjuk hidup yang memberi ancar-ancar perbuatan mana yang boleh
dijalankan dan perbuatan mana yang harus dihindari. Norma bertujuan untuk
mewujudkan ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat

Pengertian Norma
Norma Menurut AA Nurdiaman: Norma adalah suatu tatanan
hidup yang berupa aturan - aturan dalam pergaulan hidup pada masyarakat.

Pengertian Subjek Hukum Menurut Para Ahli


Menurut Yasep Atmaja Subjek hukum adalah setiap makhluk yang
berwenang untuk memiliki, memperoleh dan menggunakan hak serta
kewajiban
dalam
lalu
lintas
hukum.

Beberapa
pengertian
subjek
hukum
:
Subjek hukum adalah sesuatu yang menurut hukum berhak/berwenang
untuk melakukan perbuatan hukum atau siapa yang mempunyai hak dan
cakap
untuk
bertindak
dalam
hukum.
Subjek hukum adalah sesuatu pendukung hak yang menurut hukum
berwenang/berkuasa
bertindak
menjadi
pendukung
hak.
Subjek hukum adalah segala sesuatu yang menurut hukum mempunyai
hak
dan
kewajian.
Menurut teori tradisional, subjek hukum adalah orang yang merupakan
subjek dari suatu kewajiban hukum atau suatu hak. Teori tradisional
mengidentikkan konsep "subjek hukum" dengan konsep "person". Definisi
Person menurut teori tradisional adalah manusia sebagai subjek dari hak

dan kewajiban. Konsep pemegang hak dan kewajiban memainkan peran


sangat penting dalam teori tradisional yang membahas tentang konsep
"legal person". Jika pemegang hak dan kewajiban adalah manusia, berarti
yang dibicarakan oleh teori tradisional adalah "orang secara fisik" (physical
person), jika pemegang hak dan kewajiban itu merupakan entitas lain,
berarti yang dibicarakan teori tradisional adalah "badan hukum" (juristic
person).

Pada dasarnya yang menjadi subjek hukum adalah manusia/orang atau


person. Ada dua pengertian orang/person sebagai subjek hukum yaitu :
Naturlijk person adalan mens person, yang disebut orang atau manusia
pribadi.
Rechtperson adalah yang berbentuk badan hukum yang dapat di bagi
dalam
:
b.1. Publiek rechts-person, yang sifatnya ada unsur kepentingan umum
seperti
Negara,
Daerah,
Desa.
b.2. Privaat rechtpersoon/badan hukum privat, yang mempunyai
sifat/adanya
unsur.

Subjek
Hukum
Korporasi
Dalam hukum pidana pengertian korporasi berarti sangat luas tidak
hanya yang berbentuk badan hukum saja, seperti perseroan terbatas,
yayasan, koperasi sebagai korporasi melainkan juga firma, perseroan
komanditer,
persekutuan,
sekumpulan
orang.
Pengaturan korporasi sebagai subjek hukum pidana di latarbelakangi
oleh sejarah dan pengalaman yang berbeda di tiap Negara, termasuk
Indonesia. Namun pada akhirnya ada kesamaan pandangan, yaitu
sehubungan dengan perkembangan industrialisasi dan kemajuan yang
terjadi dalam bidang ekonomi dan perdagangan yang telah mendorong
pemikiran bahwa subjek hukum pidana tidak lagi hanya dibatasi pada
manusia alamiah saja (natural person), tetapi juga meliputi korporasi,
karena untuk tindak pidana tertentu dapat pula dilakukan oleh korporasi.
Perundang-undangan diluar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baik

perundang-undangan pidana maupun perundang-undangan administrasi


yang bersanksi pidana telah mengatur korporasi sebagai subjek hukum
pidana, kendati ada beberapa undang-undang yang belum mengatur
korporasi
sebagai
subjek
hukum
pidana.
Penyebutan korporasi sebagai subjek hukum juga tercantum dalam
Pasal 1 angka 1 Undang-undang No 31 Tahun 1999 yang telah dirubah
dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, Pasal 1 angka 13 Undang-Undang No. 5 tahun
1997 tentang Psikotropika, Pasal 1 angka 21 Undang-Undang No. 35
tahun 2009 tentang Narkotika, Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 8
tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Pasal 1 angka 6
Undang-Undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang, Pasal 1 angka 15 Undang-Undang No. 31
tahun 2004 tentang Perikanan; dikatakan bahwa "Korporasi adalah
kumpulan terorgaisasi dari orang/atau kekayaan, baik merupakan badan
hukum maupun bukan badan hukum". Dalam Pasal 1 butir e UndangUndang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monompoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat "pelaku usaha adalah setiap orang
perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau
bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan
kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri
maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai
kegiatan usaha dalam bidang ekonomi". Sedangkan dalam Pasal 1 angka
23 Undang-Undang No. 23 tahun 2007 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup. "orang adalah orang perorangan, dan/atau kelompok orang,
dan/atau badan hukum".

Pengertian Objek Hukum Menurut Penulis Artikel


OBYEK

HUKUM

Obyek hukum adalah segala sesuatu yang dapat menjadi hak dari subyek
hukum. Atau segala sesuatu yang dapat menjadi obyek suatu
perhubungan hukum. Obyek hukum dapat pula disebut sebagai benda.
Merujuk pada KUHPerdata, benda adalah tiap-tiap barang atau tiap-tiap
hak
yang
dapat
dikuasai
oleh
hak
milik.
Benda
itu
sendiri
dibagi
menjadi
dua:

1.
a.
b.
2.
Di

Berwujud

Konkrit
bergerak
bergerak
Abstrak

Benda
Benda
Tidak
dalam

1.Barang
2.Barang
3.Barang
4.Barang
5.Barang
6.Barang

KUH

Perdata

tak
Berwujud/
benda

dapat

dibedakan

menjadi

wujud
dan
barang
tidak
berwujud,
bergerak
dan
barang
tidak
bergerak,
dapat dipakai habis dan barang tidak dapat dipakai habis,
yang sudah ada dan barang yang masih akan ada,
uang dalam perdagangan dan barang diluar perdagangan,
yang dapat dibagi dan barang yang tidak dapat dibagi.

Sementara itu, diantara ke enam perbedaan diatas yang paling penting


adalah membedakan benda bergerak dan benda tidak bergerak.
Membedakan benda bergerak dan benda tidak bergerak ini penting,
karena berhubungan dengan empat hal yang menyangkut aspek seperti
pemilikan,
penyerahan,
daluarsa,
dan,
pembebanan.
contoh Benda bergerak/digerakkan
contoh Benda tidak bergerak : Tanah.

hewan

ternak,

kendaraan

Peristiwa Hukum
Artikel 1
Peristiwa hukum adalah suatu kejadian dalam masyarakat yang dapat
menimbulkan akibat hukum atau yang dapat menggerakkan peraturan tertentu
sehingga peraturan yang tercantum di dalamnya dapat berlaku konkrit[1][1].
Misalnya suatu peraturan hukum yang mengatur tentang kewarisan tentang
kematian, akan tetap merupakan perumusan yang kata-kata abstrak sampai ada
seseorang yang meninggal dunia dan menimbulkan masalah kewarisan.
Jadi, peristiwa hukum adalah peristiwa-peristiwa kemasyarakatn yang oleh hukum
diberikan akibat-akibat dan akibat itu dikehendaki oleh yang bertindak. Apabila
akibat sesuatu perbuatan tidak dikehendaki oleh orang yang melakukannya, maka
perbuatannya tersebut bukan merupakan peristiwa hukum.
Menurut van Apeldorn bahwa peristiwa hukum adalah peristiwa yang
berdasarkan hukum menimbulkan atau menghapuskan hak.[2][2] Begitu pula
pendapat Bellefroid yang menjelaskan bahwa peristiwa hukum adalah peristiwa

sosial yang tidak secara otomatis dapat merupakan/menimbulkan hukum. Suatu


peristiwa dapat menimbulkan hukum apabila peristiwa itu oleh peraturan hukum
dijadikan peristiwa hukum.[3][3] Seperti misalnya perkawinan antara pria dan
wanita Demikian pula misalnya kematian seseorang, akan pula membawa
berbagai akibat hukum, seperti penetapan pewaris, ahli waris dan harta waris. Dan
apabila dibidang hukum pidana, seandainya kematian tersebut akibat perbuatan
seseorang, maka orang bersangkutan terkena akibat hukum berupa pertanggung
jawab pidana.
Dengan demikian peristiwa hukum ini dapat mengenai berbagai segi hukum
baik hukum publik, privat, tata negara, tata usaha negara, hukum pidana dan
perdata.
Dalam hukum dikenal dua macam peristiwa hukum yaitu:
1.
Perbuatan subyek hukum (persoon) yaitu berupa perbuatan manusia atau badan
hukum (recht persoon) sebagai pendukung hak dan kewajiban.
2.
Peristiwa lain yang bukan perbuatan subyek hukum.[4][4]

Diposkan 23rd December 2014 oleh Oscar moch


0

Tambahkan komentar

8.
DEC

23

Dasar Hukum dan Pengertiannya

Dasar hukum telah sering kita dengar sebagai istilah yang paling sering disebutkan
dalam berbagai perdebatan masalah hukum. Untuk itu, kami coba untuk menulis
artikel mengenai dasar hukum dan pengertiannya.

Pengertian Dasar Hukum


Dasar hukum adalah norma hukum atau ketentuan dalam peraturan perundangundangan yang menjadi landasan atau dasar bagi setiap penyelenggaraan atau
tindakan hukum oleh subyek hukum baik orang perorangan atau badan hukum.
Selain itu dasar hukum juga dapat berupa norma hukum atau ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan atau dasar bagi
pembentukan peraturan perundang-undangan yang lebih baru dan atau yang lebih
rendah derajatnya dalam hirarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan.
Bentuk yang disebut terakhir ini juga biasanya disebut sebagai landasan yuridis yang
biasanya tercantum dalam considerans peraturan hukum atau surat keputusan yang
diterbitkan oleh lembaga-lembaga tertentu.
Dasar hukum dalam pembentukan Surat keputusan merupakan sesuatu yang
penting karena menunjukkan darimana kewenangan seorang pejabat atau lembaga
tertentu mendapatkan legitimasi untuk membuat surat keputusan itu. Demikian
halnya dengan dasar hukum yang biasanya disebutkan dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan seperti peraturan pemerintah dan peraturan daerah.
Dasar hukum pada peraturan perundang-undangan yang dimaksud tersebut adalah
merujuk darimana perintah untuk membuat pengaturan tersebut diperoleh oleh suatu
peraturan daerah dan atau darimana sumber kewenangan yang dimiliki oleh suatu
lembaga tertentu untuk membuat produk perundang-undangan yang sebagaimana
dimaksud.
Setiap penyelenggaraan tugas, fungsi dan wewenang oleh lembaga-lembaga negara
harus memiliki dasar hukum atau paling tidak tindakan atau penyelenggaraan
tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai moral dan etika serta ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Perbedaan Dasar Hukum dan Hukum Dasar


Hukum dasar adalah ketentuan yang menjadi dasar bagi pembentukan peraturan
perundang-undangan lainnya. Dasar hukum dan hukum dasar merupakan sesuatu
yang memiliki pengertian yang berbeda satu sama lain.
Penentuan suatu dasar hukum dapat dilakukan dengan mengambil ketentuan dari
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang isinya kurang lebih menyuratkan
perintah atau larangan untuk melakukan sesuatu tindakan hukum. Sementara yang
dimaksud dengan hukum dasar hanya ada satu peraturan, yang biasanya disebut
sebagai konstitusi negara.

Hukum dasar negara Indonesia adalah Undang-Undang Dasar 1945. Berdasarkan


Undang-Undang Dasar 1945, Negara kesatuan Republik Indonesia ini dibentuk.
Materi yang dimuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 hanya bersifat umum saja
dan tidak mengatur hal-hal secara spesifik atau yang berlaku khusus. Berdasarkan
ketentuan yang telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar
Negara Kesatuan Republik Indonesia itulah kemudian disusun peraturan perundangundangan yang mengatur hal-hal yang lebih terperinci lagi sampai pada
pembentukan peraturan daerah yang secara khusus mengatur hal-hal sesuai dengan
keadaan dan kondisi di suatu daerah kabupaten atau kota.
Dasar
hukum
merupakan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang secara jelas dapat dimengerti


maksud dan tujuannya karena secara tegas menyebutkan ketentuan tersebut
sebagai pendukung sebuah tindakan hukum. Sedangkan hukum dasar memuat
ketentuan peraturan hukum berupa prinsip-prinsip hukum umum atau secara garis
besarnya saja, tidak terperinci dan tidak mengatur hal-hal yang bersifat khusus.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam hukum dasar inilah
kemudian dibuat penjabaran yang menguraikan ketentuan tersebut secara lebih
spesifik dalam peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, hukum dasar merupakan sesuatu yang mutlak menjadi dasar
hukum bagi pembentukan suatu negara sedangkan dasar hukum belum tentu
merupakan hukum dasar bagi pembentukan suatu negara.
Diposkan 23rd December 2014 oleh Oscar moch
0

Tambahkan komentar

9.
DEC

23

Pengertian Hukum
BAB
PENDAHULUAN

A.
Latar
Belakang
Hukum adalah sebuah perkara yang selalu diucapkan oleh setiap golongan yang
memiliki latar belakang yang berlainan; seperti ulama misalnya berkata hukum
solat adalah wajib, atau seorang guru yang berkata pada muridnya barangsiapa
yang datang lambat akan dihukum berdiri selama satu jam. Tidak luput dari
ucapan seorang filosof yang berkata hukum alam sudah menentukan hal
tersebut.
Akan tetapi, dari sekian orang yang mendengar kata-kata tersebut, sangat jarang
yang mengerti apakah hukum itu sebenarnya, serta berbagai sosok yang
berhubungan
dengannya.
Agar dapat memahami apakah hukum itu, setiap perkara yang berkaitan dengan
hukum itu haruslah diteliti, seperti unsur, ciri-ciri, sifat, fungsi, dan yang paling
penting
adalah
tujuan
dari
wujudnya
hukum
tersebut.
Dengan mengetahui perkara-perkara ini, hukum dapat dimaknai dengan makna
yang sebenarnya sehingga tidak akan menyisakan keraguan akan keberadaannya
dari
segi
kenapa
manusia
perlu
hukum.
B.
Fokus
Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, fokus masalah yang akan dibahas adalah
sebagai
berikut:
1.
Pengertian
dari
hukum.
2.
Unsur-unsur,
ciri-ciri,
serta
sifat
dari
hukum.
3.
Fungsi
dan
Tujuan
bagi
hukum.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Hukum
Kata hukum secara etimologis biasa diterjemahkan dengan kata law (Inggris),
recht (Belanda), loi atau droit (Francis), ius (Latin), derecto (Spanyol),
dirrito (Italia).[1] Dalam bahasa Indonesia, kata hukum diambil dari
bahasa Arab[2] yaitu


, yang berarti
(memutuskan
sebuah
perkara).[3]
Pada umumnya, pengertian hukum dapat diartikan sangat beragam sebagai
berikut:[4]
1. Hukum diartikan sebagai produk keputusan penguasa; perangkat peraturan
yang
ditetapkan
penguasa
seperti
UUD
dan
lain-lain.

2. Hukum diartikan sebagai produk keputusan hakim; putusan-putusan yang


dikeluarkan hakim dalam menghukum sebuah perkara yang dikenal dengan
jurisprudence
(yurisprodensi).
3. Hukum diartikan sebagai petugas/pekerja hukum; hukum diartikan sebagai
sosok seorang petugas hukum seperti polisi yang sedang bertugas. Pandagan ini
sering
dijumpai
di
dalam
masyarakat
tradisionil.
4. Hukum diartikan sebagai wujud sikap tindak/perilaku; sebuah perilaku yang
tetap sehingga dianggap sebagai hukum. Seperti perkataan: setiap orang yang
kos, hukumnya harus membayar uang kos. Sering terdengar dalam pembicaraan
masyarakat
dan
bagi
mereka
itu
adalah
aturannya/hukumnya.
5. Hukum diartikan sebagai sistem norma/kaidah; kaidah/norma adalah aturan
yang hidup ditengah masyarakat. Kaidah/norma ini dapat berupa norma
kesopanan, kesusilaan, agama dan hukum (yang tertulis) uang berlakunya
mengikat kepada seluruh anggota masyarakat dan mendapat sanksi bagi
pelanggar.
6. Hukum diartikan sebagai tata hukum; berbeda dengan penjelasan angka 1,
dalam konteks ini hukum diartikan sebagai peraturan yang saat ini sedang berlaku
(hukum positif) dan mengatur segala aspek kehidupan masyarakat, baik yang
menyangkut kepentingan individu (hukum privat) maupun kepentingan dengan
negara (hukum publik). Peraturan privat dan publik ini terjelma di berbagai aturan
hukum dengan tingkatan, batas kewenangan dan kekuatan mengikat yang berbeda
satu sama lain. Hukum sebagai tata hukum, keberadaannya digunakan untuk
mengatur
tata
tertib
masyarakat
dan
berbentuk
hierarkis.
7. Hukum diartikan sebagai tata nilai; hukum mengandung nilai tentang baikburuk, salah-benar, adil-tidak adil dan lain-lain, yang berlaku secara umum.
8. Hukum diartikan sebagai ilmu; hukum yang diartikan sebagai pengetahuan
yang akan dijelaskan secara sistematis, metodis, objektif, dan universal. Keempat
perkara
tersebut
adalah
syarat
ilmu
pengetahuan.
9. Hukum diartikan sebagai sistem ajaran (disiplin hukum); sebagai sistem ajaran,
hukum akan dikaji dari dimensi dassollen dan das-sein. Sebagai das-sollen,
hukum menguraikan tentang hukum yang dicita-citakan. Kajian ini akan
melahirkan hukum yang seharusnya dijalankan. Sedangkan sisi das-sein
mrupakan wujud pelaksanaan hukum pada masyarakat. Antara das-sollen dan dassein harus sewarna. Antara teori dan praktik harus sejalan. Jika das-sein
menyimpang dari das-sollen, maka akan terjadi penyimpangan pelaksanaan
hukum.
10. Hukum diartikan sebagai gejala sosial; hukum merupakan suatu gejala yang
berada di masyarakat. Sebagai gejala sosial, hukum bertuuan untuk mengusahakan
adanya keseimbangan dari berbagai macam kepentingan seseorang dalam
masyarakat, sehingga akan meminimalisasi terjadinya konflik. Proses interaksi
anggota masyarakat untuk mencukupi kepentingan hidupnya, perlu dijaga oleh
aturan-aturan hukum agar hubungan kerjasama positif antar anggota masyarakat
dapat
berjalan
aman
dan
tertib.[5]
Hukum secara terminologis pula masih sangat sulit untuk diberikan secara tepat
dan dapat memuaskan. Ini dikarenakan hukum itu mempunyai segi dan bentuk
yang sangat banyak, sehingga tidak mungkin tercakup keseluruhan segi dan

bentuk hukum itu di dalam suatu definisi.[6] Kenyataan ini juga adalah apa
yang diungkapkan Dr. W.L.G. Lemaire dalam bukunya Het Recht in
Indonesia.[7]
Sebagai gambaran, Prof. Sudiman Kartohadiprodjo, memberi contoh-contoh
tentang
definisi
Hukum
yang
berbeda-beda
sebagai
berikut:
1. Aristoteles: Particular law is that which each community lays down and
applies to its own members. Universal law is the law of nature (Hukum tertentu
adalah sebuah hukum yang setiap komunitas meletakkan ia sebagai dasar dan
mengaplikasikannya kepada anggotanya sendiri. Hukum universal adalah hukum
alam).
2. Grotius: Law is a rule of moral action obliging to that which is right (Hukum
adalah sebuah aturan tindakan moral yang akan membawa kepada apa yang
benar).
3. Hobbes: Where as law, properly is the word of him, that by right had
command over others (Pada dasarnya hukum adalah sebuah kata seseorang, yang
dengan
haknya,
telah
memerintah
pada
yang
lain).
4. Phillip S. James: Law is body of rule for the guidance of human conduct
which are imposed upon, and enforced among the members of a given state
(Hukum adalah tubuh bagi aturan agar menjadi petunjuk bagi kelakuan manusia
yang mana dipaksakan padanya, dan dipaksakan terhadap ahli dari sebuah
negara).
5. Immanuel Kant: Hukum ialah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini
kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak
bebas dari orang yang lain, menuruti peraturan hukum tentang kemerdekaan.[8]
Akan tetapi, walaupun tidak mungkin diadakan suatu definisi yang lengkap
tentang apakah hukum itu, namun Drs. E. Utrecht, S.H. dalam bukunya yang
berjudul Pengantar Dalam Hukum Indonesia, telah mencoba membuat sebuah
batasan, yang maksudnya sebagai pegangan bagi orang yang sedang mempelajari
ilmu hukum. Batasan tersebut adalah Hukum itu adalah himpunan peraturanperaturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata-tertib
suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu.[9]
Selain dari Utrecht, sarjana hukum lainnya juga telah berusaha merumuskan
tentang
apakah
hukum
itu:
1. Prof. Mr. EM. Meyers: Hukum adalah semua peraturan yang mengandung
pertimbangan kesusilaan, ditujukan pada tingkah laku manusia dalam masyarakat
dan menjadi pedoman bagi penguasa-penguasa negara dalam melakukan
tugasnya.
2. Leon Duquit: Hukum adalah aturan tingkah laku para anggota masyarakat,
aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu
masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan jika dilanggar
menimbulkan reaksi bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran itu.
3. SM. Amin, SH.: Hukum adalah kumpulan peraturan-peraturan yang terdiri
dari norma-norma dan sanksi-sanksi yang disebut hukum dan tujuan hukum itu

adalah mengadakan ketatatertiban dalam pergaulan manusia sehingga keamanan


dan
ketertiban
terjamin.
4. MH. Tirtaatmidjaja, SH.: Hukum adalah seluruh aturan (norma) yang harus
diturut dalam tingkah laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan
ancaman mesti mengganti kerugian jika melanggar aturan-aturan itu, akan
membahagiakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang akan kehilangan
kemerdekaan
dan
didenda.
5. Wasis Sp.: Hukum adalah perangkat peraturan baik yang bentuknya tertulis
atau tidak tertulis, dibuat oleh penguasa yang berwenang, mempunyai sifat
memaksa dan atau mengatur, mengandung sanksi bagi pelanggarnya, ditujukan
pada tingkah laku manusia dengan maksud agar kehidupan individu dan
masyarakat
terjamin
keamanan
dan
ketertibannya.[10]
B.
Unsur,
Ciri-Ciri
dan
Sifat
Hukum
Setelah melihat definisi-definisi hukum tersebut, dapat diambil kesimpulan,
bahwa
hukum
itu
meliputi
beberapa
unsur,
yaitu:
1. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat.
2. Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib.
3.
Peraturan
itu
bersifat
memaksa.
4. Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas.[11]
Selanjutnya, agar hukum itu dapat dikenal dengan baik, haruslah mengetahui ciriciri hukum. Menurut C.S.T. Kansil, S.H., ciri-ciri hukum adalah sebagai berikut:
a.
Terdapat
perintah
dan/atau
larangan.
b. Perintah dan/atau larangan itu harus dipatuhi setiap orang.[12]
Setiap orang berkewajiban untuk bertindak sedemikian rupa dalam masyarakat,
sehingga tata-tertib dalam masyarakat itu tetap terpelihara dengan sebaik-baiknya.
Oleh karena itu, hukum meliputi pelbagai peraturan yang menentukan dan
mengatur perhubungan orang yang satu dengan yang lainnya, yakni peraturanperaturan hidup bermasyarakat yang dinamakan dengan Kaedah Hukum.[13]
Barangsiapa yang dengan sengaja melanggar suatu Kaedah Hukum akan
dikenakan sanksi (sebagai akibat pelanggaran Kaedah Hukum) yang berupa
hukuman.[14]
Pada dasarnya, hukuman atau pidana itu berbagai jenis bentuknya. Akan tetapi,
sesuai dengan Bab II (PIDANA), Pasal 10, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP)
adalah:
a.
Pidana
pokok:
1.
pidana
mati;
2.
pidana
penjara;
3.
pidana
kurungan;
4.
pidana
denda;
5.
pidana
tutupan.
b.
Pidana
tambahan:
1.
pencabutan
hak-hak
tertentu;
2.
perampasan
barang-barang
tertentu;
3.
pengumuman
putusan
hakim.

Sedangkan sifat bagi hukum adalah sifat mengatur dan memaksa. Ia merupakan
peraturan-peraturan hidup kemasyarakatan yang dapat memaksa orang supaya
mentaati tata-tertib dalam masyarakat serta memberikan sanksi yang tegas (berupa
hukuman) terhadap siapa saja yang tidak mematuhinya. Ini harus diadakan bagi
sebuah hukum agar kaedah-kaedah hukum itu dapat ditaati, karena tidak semua
orang
hendak
mentaati
kaedah-kaedah
hukum
itu.[15]
C.
Fungsi
dan
Tujuan
Hukum
Keterangan yang telah dikemukakan memiliki sebuah kesimpulan yaitu hukum
selalu melekat pada manusia bermasyarakat. Dengan berbagai peran hukum, maka
hukum memiliki fungsi: menertibkan dan mengatur pergaulan dalam masyarakat
serta menyelesaikan masalah-masalah yang timbul. Lebih rincinya, fungsi
hukum
dalam
perkembangan
masyarakat
dapat
terdiri
dari:
1. Sebagai alat pengatur tata tertib hubungan masyarakat: dalam arti, hukum
berfungsi menunjukkan manusia mana yang baik, dan mana yang buruk, sehingga
segala
sesuatu
dapat
berjalan
tertib
dan
teratur.
2. Sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin: dikarenakan
hukum memiliki sifata dan ciri-ciri yang telah disebutkan, maka hukum dapat
memberi keadilan, dalam arti dapat menentukan siapa yang salah, dan siapa yang
benar, dapat memaksa agar peraturan dapat ditaati dengan ancaman sanksi bagi
pelanggarnya.
3. Sebagai sarana penggerak pembangunan: daya mengikat dan memaksa dari
hukum dapat digunakan atau didayagunakan untuk menggerakkan pembangunan.
Di sini hukum dijadikan alat untuk membawa masyarakat ke arah yang lebih
maju.
4. Sebagai penentuan alokasi wewenang secara terperinci siapa yang boleh
melakukan pelaksanaan (penegak) hukum, siapa yang harus menaatinya, siapa
yang memilih sanksi yang tepat dan adil: seperti konsep hukum konstitusi negara.
5. Sebagai alat penyelesaian sengketa: seperti contoh persengekataan harta waris
dapat segera selesai dengan ketetapan hukum waris yang sudah diatur dalam
hukum
perdata.
6. Memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi
kehidupan yang berubah, yaitu dengan cara merumuskan kembali hubunganhubungan
esensial
antara
anggota-anggota
masyarakat.[16]
Dari sekian penegertian, unsur, ciri-ciri, sifat, dan fungsi hukum, maka tujuan dari
perwujudan hukum itu haruslah ada. Sesuai dengan banyaknya pendapat tentang
pengertian hukum, maka tujuan hukum juga terjadi perbedaan pendapat antara
satu ahli dengan ahli yang lain. Berikut ini beberapa pendapat ahli hukum tentang
tujuan
hukum:
1. Prof. Lj. Van Apeldorn: Tujuan hukum adalah mengatur tata tertib dalam
masyarakat secara damai dan adil. Demi mencapai kedamaian hukum harus
diciptakan masyarakat yang adil dengan mengadakan perimbangan antara
kepentingan yang bertentangan satu sama lain, dan setiap orang harus
memperoleh (sedapat mungkin) apa yang menjadi haknya. Pendapat Apeldorn ini
dapat dikatakan jalan tengah antara dua teori tujuan hukum, teori etis dan utilitis.
2. Aristoteles: Tujuan hukum menghendaki keadilan semata-mata dan isi dari

hukum ditentukan oleh kesadaran etis mengenai apa yang dikatakan adil dan apa
yang
tidak
adil.
3. Prof. Soebekti: Tujuan hukum adalah melayani kehendak negara yakni
mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyat. Dalam melayani tujuan
negara, hukum akan memberikan keadilan dan ketertiban bagi masyarakatnya.
4. Geny (Teori Ethic): Menurut Geny dengan teori etisnya, bahwa tujuan hukum
adalah untuk keadilan semata-mata. Tujuan hukum ditentukan oleh unsur
keyakinan seseorang yang dinilai etis. Adil atau tidak, benar atau tidak, berada
pada sisi batin seseorang, menjadi tumpuan dari teori ini. Kesadaran etis yang
berada pada tiap-tiap batin orang menjadi ukuran untuk menentukan warna
keadilan
dan
kebenaran.[17]
5. Jeremy Bentham (Teori Utility): Menurut Bentham dengan teori utilitasnya,
bahwa hukum bertujuan semata-mata apa yang berfaedah bagi orang. Pendapat ini
dititik beratkan pada hal-hal yang berfaedah bagi orang banyak dan bersifat umum
tanpa memperhatikan soal keadilan. Maka teori ini menetapkan bahwa tujuan
hukum
ialah
untuk
memberikan
faedah
sebanyak-sebanyaknya.
6. J.H.P. Bellefroid: Bellefroid menggabungkan dua pandangan ekstrem tersebut.
Menurut Bellefroid, isi hukum harus ditentukan menurut dua asas yaitu asas
keadilan
dan
faedah.
7. Prof. J Van Kan: Tujuan hukum adalah menjaga kepentingan tiap-tiap manusia
supaya kepentingan-kepentingannya tidak dapat diganggu. Dengan tujuan ini,
akan dicegah terjadinya perilaku main hakim sendiri terhadap orang lain, karena
tindakan
itu
dicegah
oleh
hukum.[18]
BAB
KESIMPULAN

III

1. Pengertian hukum itu sangat banyak karena terdapat banyak sisi pandang
terhadap hukum, akan tetapi, sebuah definisi bagi hukum yang dapat menjadi
pedoman adalah Hukum itu adalah himpunan peraturan-peraturan (perintahperintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata-tertib suatu masyarakat dan
karena
itu
harus
ditaati
oleh
masyarakat
itu
2. Unsur-unsur hukum adalah peraturan tingkah laku manusia yang diadakan oleh
badan resmi, bersifat memaksa, terdapat sanksi tegas bagi pelanggarnya; dan ciricirinya adalah terdapat perintah dan/atau larangan serta harus dipatuhi setiap
orang; sedangkan sifatnya adalah mengatur dan memaksa.Fungsi hukum adalah
sebagai alat pengatur tata tertib, sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial
lahir dan batin, sebagai sarana penggerak pembangunan, sebagai penentuan
alokasi wewenang, sebagai alat penyelesaian sengketa, berfungsi memelihara
kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi kehidupan yang
berubah; dengan tujuan mengatur tata tertib dalam masyarakat secara damai dan
adil, dapat melayani kehendak negara yaitu mendatangkan kemakmuran dan
kebahagiaan pada rakyat, demi keadilan dan/atau berfaedah bagi rakyat yang
mana dapat menjaga kepentingan rakyat.

Diposkan 23rd December 2014 oleh Oscar moch


0

Tambahkan komentar

10.
DEC

23

Hukum dan Undang-Undang Dasar


Sebagai dasar negara, Pancasila merupakan suatu asas kerohanian yang
dalam ilmu kenegaraan populer disebut sebagai dasar filsafat negara
(pilisophisce gronslag). Dalam kedudukan ini Pancasila merupakan
sumber nilai dan sumber norma dalam setiap aspek penyelenggaraan
negara, termasuk dalam sumber tertib hukum di Indonesia, sehingga
Pancasila merupakan sumber nilai, norma dan kaidah baik moral maupun
hukum di Indonesia. Oleh karenanya, Pancasila merupakan sumber
hukum negara baik yang tertulis maupun yang tak tertulis atau convensi.

Yaitu aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek


penyelenggaraan negara. Untuk menyelediki hukum dasar suatu negara
tidak cukup hanya menyelidiki pasal-pasal UUD nya saja, akan tetapi
harus menyelidiki juga bagaimana prakteknya dan suasana kebatinannya
dari
UUD
itu.
Hukum dasar tertulis (UUD) merupakan kerangka dan tugas-tugas pokok
dari badan-badan pemerintah suatu negara dalam menentkan mekanisme
kerja badan-badan tersebut seperti ekslusif, yudikatif dan legislatif.
Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hukum dasar yang tertulis,
kedudukan dan fungsi dari UUD 1945 merupakan pengikat bagi
pemerintah, lembaga negara, lembaga masyarkat, warga negara
Indonesia sebagai hukum dasar UUD 1945 memuat normat-norma atau
aturan-aturan
yang
harus
diataati
dan
dilaksanakan.
Indonesia adalah negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum, oleh
karena itu dalam segala aspek pelaksanaan dan penyelenggaraan negara
diatur dalam system peraturan perundang undangan. Hal inilah yang
dimaksud dengan pengertian Pancasila dalam konteks ketatanegaraan
Republik
Indonesia.
Hal ini tidaklah lepas dari eksistensi pembukaan UUD 1945, yang dalam
konteks ketatanegaraan Indonesia memiliki kedudukan yang sangat
penting karena merupakan suatu staasfundamentalnorm dan berada pada
hierarkhi tertib hukum tertinggi di Indonesia. Dalam kedudukan dan fungsi
Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia, pada hakikatnya merupakan
suatu dasar dan asas kerohanian dalam setiap aspek penyelenggaraan
negara termasuk dalam penyusunan tertib hukum di Indonesia.
Maka kedudukan Pancasila sesuai dengan yang tercantum dalam
pembukaan UUD 1945 adalah sebagai sumber dari segala sumber hukum
di Indonesia, sesuai dengan yang tercantum dalam penjelasan tentang
pembukaan UUD yang termuat dalam Berita Republik Indonesia tahun II
no. 7, hal ini dapat disimpulkan bahwa pembukaan UUD 1945 adalah
sebagai
sumber
hukum
positif
Indonesia.
Dengan demikian seluruh peraturan perundang undangan di Indonesia
harus bersumber pada Pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya
terkandung dasar filsafat Indonesia. Dapat kita bahwa pancasila dalam

konteks ketatanegaraan RI. Dalam beberapa tahun ini Indonesia


mengalami perubahan yang sangat mendasar mengenai system
ketatanegaraan.
Dalam hal perubahan tersebut Secara umum dapat kita katakan bahwa
perubahan mendasar setelah empat kali amandemen UUD 1945 ialah
komposisi dari UUD tersebut, yang semula terdiri atas Pembukaan,
Batang Tubuh dan Penjelasannya, berubah menjadi hanya terdiri atas
Pembukaan
dan
pasal-pasal.
Penjelasan UUD 1945, yang semula ada dan kedudukannya mengandung
kontroversi karena tidak turut disahkan oleh PPKI tanggal 18 Agustus
1945, dihapuskan. Materi yang dikandungnya, sebagian dimasukkan,
diubah dan ada pula yang dirumuskan kembali ke dalam pasal-pasal
amandemen. Perubahan mendasar UUD 1945 setelah empat kali
amandemen, juga berkaitan dengan pelaksana kedaulatan rakyat, dan
penjelmaannya
ke
dalam
lembaga-lembaga
negara.
Sebelum amandemen, kedaulatan yang berada di tangan rakyat,
dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Majelis
yang terdiri atas anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan dari
daerah-daerah dan golongan-golongan itu, demikian besar dan luas
kewenangannya. Antara lain mengangkat dan memberhentikan Presiden,
menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara, serta mengubah UndangUndang
Dasar.
Rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggaraan negara belum
cukup didukung ketentuan konstitusi yang memuat aturan dasar tentang
kehidupan yang demokratis, supremasi hukum, pemberdayaan rakyat,
penghormatan hak asasi manusia dan otonomi daerah. Hal ini membuka
peluang bagi berkembangnya praktek penyelengaraan negara yang tidak
sesuai dengan Pembukaan UUD 1945, antara lain sebagai berikut:
Tidak adanya check and balances antar lembaga negara dan kekuasaan
terpusat
pada
Presiden
Infra struktur yang dibentuk, antara lain partai politik dan organisasi
masyarakat.
Pemilihan Umum (Pemilu) diselenggarakan untuk memenuhi persyaratan
demokrasi formal karena seluruh proses tahapan pelaksanaannya

dikuasai
oleh
pemerintah.
Kesejahteraan sosial berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 tidak tercapai,
justru yang berkembang adalah sistem monopoli dan oligopoli.
Dengan demikian seluruh peraturan perundang undangan di Indonesia
harus bersumber pada Pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya
terkandung
dasar
filsafat
Indonesia.

1.
Hukum
dasar
yang
tidak
tertulis
(Convensi)
Hukum dasar yang tidak tertulis atau sering disebut convensi, merupakan
aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek
penyelenggaraan negara. Convensi ini merupakan pelengkap dari aturanaturan dasar yang belum tercantum dalam Undang-Undang Dasar dan
diterima oleh seluruh rakyat dan tidak boleh bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar. Dalam praktek penyelenggaraan negara yang
sudah menjadi hukum dasar tidak tertulis, yaitu Pidato kenegaraan
Presiden di depan sidang DPR Setiap tanggal 16 Agustus, penyampaian
pertanggungjawaban Presiden di depan MPR dan Penilian MPR terhadap
pertanggung jawaban tersebut. Rancangan GBHN oleh Presiden pada
MPR.

2.
Konstitusi
Istilah konstitusi berasal dari bahasa Inggris Constitution dan bahasa
Belanda Constitute yang diterjemahkan dengan Undang-Undang Dasar,
sesuai dengan kebiadaan orang Belanda dan Jerman dalam perbincangan
sehari-hari menggunakan istilah Groundwet (Ground = Dasar, Wet =
Undang-undang) keduanya menunjukkan naskah tertulis.
Diposkan 23rd December 2014 oleh Oscar moch
0

Tambahkan komentar

11.
DEC

23

Penelitian Hukum
1. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah salah satu pembentuk dunia yang ada dan hidup di dalam dunia
sebagai komunitasnya. Komunitas dunia yang besar itu membuat manusia hidup
dalam kelompok-kelompok kecil yang mendiami sebagian dari dunia ini. Masingmasing kelompok yang mendiami dunia itu berada dan berkumpul pada negara,
propinsi, kecamatan, desa dan dusun. Singkatnya, manusia hidup bersama dalam
satu kelompok. Perkumpulan yang dimaksud disini adalah dihubungkan langsung
dengan negara.
Sejak zaman Yunani banyak filusuf sudah berpendapat bahwa hukum merupakan
bagian dalam kehidupan manusia terutama kehidupan bernegara. Ada yang
berpendapat bahwa hukum adalah hak dari para penguasa. Pandangan seperti ini
datang dari mereka yang disebut kaum sofist.[1] Sokrates berpendapat lain,
menurutnya kalau mengukur apa yang baik, dan apa yang buruk, indah dan
jelek, berhak dan tidak berhak jangan diserahkan semata-mata kepada orang
perseorangan atau kepada mereka yang memilki kekuatan untuk berkuasa, tetapi
hendaknya dicari ukuran yang obyektif untuk menilainya.
Sementara Plato berpendapat bahwa pengetahuanlah yang menduduki tempat
utama dalam satu negara bukan hukum ynag menjadi sumber kekuasan suatu
negara.[2] Realitas yang dipertentangkan sehubungan dengan hukum ini,
seringkali dipraktekan juga oleh negara kita. Ada banyak fakta telah
membuktikannya. Hukum yang berlaku sering kali tidak dihargai. Hukum
dijadikan oleh pihak-pihak tertentu sebagai sarana kekuasaan dalam mengejar
kepentingan-kepentingan kelompok atau pribadi. Zaman Orde Baru hendak
menjadi contoh bagi kita, dimana hukum di Negeri ini tergantung dari orangorang tertentu. Di zaman kita ini pun ada banyak kelompok orang atau kita sendiri
yang menafsirkan hukum secara berbeda- beda. Ada yang bertindak atas dasar
hukum. Ada yang membenarkan diri atas dasar hukum. Ada pula yang mengejar
tujuan pribadi dengan menggunakan hukum sebagai sarana pencapaian tujuannya.
Melihat kenyataan seperti ini, muncul pertanyaan bagi kita. Mengapa hukum itu
dirasa penting ? Apa yang menyebabakan hukum itu penting bagi manusia ?
Semua pertanyaan ini sebenarnya bermuara pada pertanyaan mendasar ini: Apa
makna dan arti hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?. Dalam
menjawab pertanyaan-pertanyaan ini kita mencoba memahaminya lewat
pendapat- pendapat Aristoteles tentang hukum.
2. Pentingnya dan Kegunaan Penelitian
Usaha untuk meneliti sesuatu pasti memilki kepentingan dan kegunaannya dibalik
penelitian itu. Penelitian ini dianggap dan berguna sebagai sarana yang dapat
membantu saya dan kita sekalaian untuk dapat menemukan arti dan makna
terdalam dari hukum yang ada disekitar kita. Penelitian ini dapat berguna secara
khusus juga bagi masyarakat dan para
penguasa dan pemimpin yang ada di negri kita ini.
3. Tujuan Penelitian

Pada tiap manusia terkandung harapan dan cita-cita akan sesuatu. Usaha untuk
mencapai harapan dan cita-cita itu sering dijalani secara berbeda oleh tiap
manusia. Demikian pula dengan penelitian saya ini. Adapun yang menjadi
penelitian ini saya bagi atas Tiga bagian. Pertama membantu saya untuk
memahami Refleksi filosofis Aristoteles tentang arti dan makna hukum dalam
hidup bersama lebuh khusus dalam kehidupan bernegara. Kedua, membuat
evaluasi kritis ( pandangan ) dalam uraian para ahli tentang makna dan arti hukum
menurut Aristoteles. Dan ketiga yaitu setelah membuat perbandingan uraianuraian para ahli tentang topik ini maka saya akan mencoba menemukan
pemahaman baru dalam kaitannya dengan hukum itu sendiri.
4. Informasi Yang Tersedia
Aristoteles adalah seorang filsuf yang berasal dari Yunani. Ia banyak memberikan
pandangan-pandangan filosofisnya berdasarkan pengalaman hidupnya. Banyak
dimensi kehidupan yang telah disentuh oleh Aristoteles pada zamannya itu.
Bahkan ia mendirikan satu sekolah sendiri yang dinamakannya lykeiun.
[3] Aristoteles juga membentuk suatu perpustakan yang mengumpulkan semua
benda yang menarik perhatian banyak orang. Menurut seorang sejarawan yunaniromawistrabo itulah perpustakaan pertama dalam sejarah manusia.[4]
Walaupun sudah dikatakan bahwa telah banyak dari dimensi-dimensi kehidupan
yang disentuh pada zamannya tetapi Aristoteles tidak panjang lebar menyentuh
hukum secara luas. Pembicaraannya mengenai hukum bisa kita ketahui lewat
kumpulan berbagai macam undang-undang yang dikumpulkan oleh Aristoteles.
Selain itu, Aristoteles membahas juga dialog yang ditulis oleh Plato
mengenai nomoi yang merupakan buah pena Plato yang terakhir menjelang
kematian Plato.[5]Refleksi filosofis Aristoteles tentang hukum ini dibicarkan juga
pada pembahasannya tentang politik dalam kehidupan satu negara.
Perlu diinformasikan bahwa tulisan-tulisan Aristoteles yang kami ambil sebagai
sumber hanyalah tulisan-tulisan yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa
inggris dan bahasa indonesia. Tulisan-tulisan inilah yang akan menjadi sumber
primer kami. Selain sumber primer, saya juga menggunkan sumber-sumber
sekunder yang menurut hemat saya, akan membantu penelitinan ini. Sumbersumber sekunder ini dapt berupa tulisan orang lain tentang buah-buah pikiran
Aristoteles tetapi juga tulisan orang lain yang ada hubungan dengan tema
penelitian ini. Menegenai sumber-sumber primer apa dan sekunder apa yang
dipakai untuk penelitian ini dapat dilihat pada daftar kepustakaan.
5. Hipotesis
Negara kita merupakan negara yang berdasrkan hukum. Oleh karena berdasrakan
hukum maka semua yang berada dalam negara ini mau tidak mau tetap diatur
sesuai dengan peran dan fungsinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Segala aspek kehidupan yang ada telah diatur dengan hukum demi membantu
setiap orang untuk mengejar kesibukan-kesibukan pribadinya. Namun dalam
mengejar setiap kesibukan itu orang atau kelompok tertentu tidak lagi mematuhi
hukum bahkan menjadikan dirinya atau kelompoknya sebagai pengganti hukum.
Tindakan kekeliruan terhadap hukum ini telah terjadi sekian lama, bahkan pada
zaman kita inipun praktek-praktek seperti itu masih terdengar. Ada yang
menempatkan diri atau kelompok tertentu sebagai hukum. Ada yang menjunjung

tinggi lembaga-lembaga tertentu sebagai pembuat hukum. Gejala-gejala seperti


inilah yang mendatangkan bagi kita berbagai permaslahan seputar hukum. Kini
pertanyaan bagi kita, yakni: apa arti dan makna hukum itu sendiri?
Konteks pembicaraan Aristoteles mengenai hukum ditempatkan dalam refleksi
filosofisnya tentang kehidupan politik dalam negara. Bagi Aristoteles sumber
kekuasaan ialah hukum. Ia menegaskan bahwa hanya apabila hukum yang
menjadi sumber kekuasaan, barulah pemerintahan para penguasa akan terarah
bagi kepentingan, kebaikan dan kesejahteraan umum.[6] Jika hukum yang
menjadi sumber kekuasaan bagi para penguasa negara barulah dapat dijamin
bertumbuhnya moralitas yang terpuji dan keadaban yang tinggi yang sangup
mencegah para penguasa dari kesewenag-wenangan. Degan begitu kita bisa
katakan bahwa hanya hukumlah yang harus memiliki kedaulatan yang tertinggi
dan bukan manusia. Dalam artian itu, saya akan mencoba menempatkan refleksi
Aristoteles tentang hukum, di mana Aristoteles menyamakan hukum dengan akal
atau kecerdasan sehingga barang siapa yang memberi tempat bagi hukum untuk
memerintah berarti ia telah memberi tempat bagi akal serta kecerdasan untuk
memerintah. Sebaliknya barang siapa yang memberi tampat bagi manusia untuk
memerintah, berarti ia memberi tempat bagi binatang buas, karena menurut
Aristoteles bagaimanapun bijaksananya manusia ia tetap memiliki keinginan dan
nafsu untuk bertindak sesuai dengan keinginannya. Oleh sebab itu, hanya
hukumlah yang patut memiliki kedaulatan tertinggi dan hanya hukumlah yang
layak menjadi sumber kekuasaan, karena hukum adalah akal atau kecerdasan yang
tak dapat dipengaruhi oleh keinginan dan nafsu.[7]
Sehubungan dengan pendapat-pendapat Aristoteles di atas, kita dapat bertanya
bagaiman relevansinya dengan permasalahan-permasalahan yang sudah
dikemukakan di atas? Menurut hemat saya, praktek sewenang-wenang terhadap
hukum dan tidak adanya penghargaan terhadap hukum sudah ada sejak berdirinya
republik ini hingga saat kita sekarang. Mengapa demikian? Semua itu terjadi
karena kurang adanya pengertian yang mendalam dari kita dan lebih khusus dalam
hal ini para penguasa kita terhadap arti hukum yang sebenarnya. Kita dan para
penguasa seringkali mengidentikkan hukum sebagi sesuatu yang merupakan
bagian terkecil dalam hidup kita. Kita juga sering menempatkan hukum hanya
sebagai sarana untuk mencapai apa yang menjadi tujuan kita atau tujuan negara.
Padahal kita lupa bahwa makna dan arti hukum bukan sedemikian. Kebanyakan
lembaga-lembaga pemerintahan di negeri ini cenderung menempatkan hukum
hanya sebagai sarana demi mencapai suatu tujuan. Dengan kata lain kita bisa
mengatakan bahwa kedudukan hukum dalam konteks kehidupan berbangsa dan
bernegara sering salah ditafsirkan oleh kita sebagai rakyat dan juga oleh para
penguasa.
Menurut saya, permasalahan-permasalahan seputar hukum ini dapat ditinjau dari
pelbagai segi. Sesuai dengan permasalahan yang diangkat, saya sependapat
dengan Aristoteles bahwa hukum itu disamakan dengan akal atau kecerdasan
manusia.[8]Oleh karena itu, hukumlah yang patut memiliki kedaulatan tertinggi
dan hanya hukumlah yang layak menjadi sumer kekuasaan yang tak dapat
dipengaruhi oleh keinginan dan nafsu.

Dalam kaitan dengan hipotesis yang sifatnya sementara ini, saya berpendapat
bahwa hukum itu dipandang dari dua sisi. Pertama, segi internal hukum itu
sendiri. Segi ini bagi saya berhubungan langsung dengan pendapat Aristoteles
bahwa hukumlah yang memiliki kedaulatan tertingi dan hanya hukumlah yang
menjadi sumber kekuasaan.[9] Kedua, segi eksternal hukum. Saya berpendapat
bahwa selain ada kekuasaan tertinggi yang ada pada hukum, ada juga kekuasaan
yang dimiliki oleh para penguasa untuk bertindak atas hukum itu. Namun, ada
kemungkinan para penguasa akan melakukan penyimpangan-penyimpangan
terhadap hukum. Singkatnya, saya boleh katakan bahwa hukum menjadi berarti
dan bermakna tergantung manusia. Kebijaksanaan manusialah yang dituntut untuk
memberi arti bagi hukum, namun tetap diakui bahwa bagaimanapun juga manusia
mempunyai kekeliruan dalam hidup ini.
6. Metodologi Penelitian
Dalam menyelesaikan tugas ini, metode yang saya gunakan adalah metode
penelitian kepustakaan dan interpretasi serta deskripsi aplikatif. Artinya, saya akan
berusaha untuk menyelami pemikiran Aristoteles kemudian mengdeskripsikannya
dan selanjutnya mengapliksikannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
sebagai suatu sumbangan.

You might also like