You are on page 1of 12

Bidang Kajian

Jenis Artikel

: Pendidikan Matematika
: Hasil Kajian

Pembelajaran Matematika MEA Pendekatan Open Ended dan


Asesmen Otentik Untuk Meningkatkan Komunikasi Matematis
dan Kemandirian
Aditya Pranawestu1), Masrukan2), Isti Hidayah3)
1)2)3)

Program Studi Pendidikan Matematika, Program Pascasarjana, Universitas Negeri Semarang


Bendan Ngisor, Semarang
1)
prana_west@yahoo.co.id
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah: (1) perangkat pembelajaran
matematika MEA dengan pendekatan open ended dan asesmen otentik untuk
meningkatkan komunikasi matematis dan kemandirian siswa SMP valid, (2)
penerapan perangkat pembelajaran matematika MEA dengan pendekatan open
ended dan asesmen otentik untuk meningkatkan komunikasi matematis dan
kemandirian siswa SMP praktis, dan (3) pembelajaran matematika MEA dengan
pendekatan open ended dan asesmen otentik untuk meningkatkan komunikasi
matematis dan kemandirian siswa SMP efektif. Salah satu model pembelajaran yang
mengambangkan kemampuan komunikasi matematis adalah Model Eliciting
Activities (MEA). MEA adalah model pembelajaran matematika untuk memahami,
menjelaskan, dan mengomunikasikan konsep-konsep matematika yang terkandung
dalam suatu sajian permasalahan melalui proses pemodelan matematika.
Pembelajaran MEA diawali dengan penyajian suatu masalah untuk menghasilkan
model matematika yang digunakan untuk menyelesaikan masalah matematika,
dimana siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil selama proses pembelajaran.
MEA diterapkan dalam beberapa langkah, yaitu: (1) guru membaca sebuah lembar
permasalahan yang mengembangkan konteks siswa, (2) siswa siap siaga terhadap
pertanyaan berdasarkan lembar permasalahan tersebut, (3) guru membacakan
permasalahan bersama siswa dan memastikan bahwa setiap kelompok mengerti apa
yang sedang ditanyakan, (4) siswa berusaha untuk menyelesaikan masalah, dan (5)
siswa mempresentasikan model matematika mereka setelah membahas dan meninjau
ulang solusi. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut sehingga dapat mengetahui
seberapa valid pengembangan perangkat pembelajaran yang dibuat, seberapa praktis
yang dibuat, dan seberapa efektif pembelajaran yang dirancang.
Kata Kunci: MEA, Open Ended, Asesmen Otentik, Komunikasi, Kemandirian

A. Pendahuluan
Belajar merupakan suatu proses aktif dalam memperoleh pengalaman
atau pengetahuan baru sehingga menyababkan perubahan tingkah laku
(Hudojo, 2003: 83). Menurut Gagne, sebagaimana dikutip oleh Anni dkk
(2008: 4-5) belajar merupakan sebuah sistem yang di dalamnya terdapat
berbagai unsur yang saling berkaitan sehingga menghasilkan perubahan
perilaku. Pembelajaran adalah upaya penataan lingkungan yang memberi
nuansa agar program balajar tumbuh dan berkembang secara optimal
(Suherman, 2003: 7). Bruner sebagaimana dikutip oleh Suherman (2003:
43), menyatakan bahwa belajar matematika akan lebih berhasil jika proses
pengajaran diarahkan kepada konsep-konsep dan struktur-struktur yang
terdapat dalam materi yang dipelajari serta mencari hubungan antara

konsep-konsep dan struktur-struktur tersebut. Keabstrakan matematika


berkenaan dengan konsep-konsep abstrak. Konsep abstrak tersebut tersusun
secara hirarkis serta penalarannya deduktif, konsisten, dan logis. Objekobjek matematika berupa fakta, konsep, operasi dan prinsip. Objek-objek
tersebut menggunakan simbol-simbol yang kosong dari arti (Hudojo, 2003:
41). Suherman (2003: 68-69) menyatakan bahwa pembelajaran matematika
di sekolah tidak bisa terlepas dari sifat-sifat matematika yang abstrak. Oleh
karena itu, perlu memperhatikan beberapa sifat atau karakteristik
pembelajaran matematika di sekolah. Matematika merupakan disiplin ilmu
yang bersifat abstrak. Keabstrakan matematika berkenaan dengan konsepkonsep abstrak. Konsep abstrak matematika tersusun secara hirarkis serta
penalarannya deduktif, konsisten, dan logis. Objek-objek matematika
berupa fakta, konsep, operasi dan prinsip. Objek-objek tersebut
menggunakan simbol-simbol yang kosong dari arti (Hudojo, 2003: 41).
Sumarmo (2006: 2) mengemukakan lima kemampuan dasar yang
harus dimiliki siswa setelah belajar matematika, yaitu: kemampuan
pemahaman matematis, peyelesaian masalah matematis, penalaran
matematis, koneksi matematis, dan komunikasi matematis. Permasalahan
yang akan diteliti adalah kemampuan siswa dalam komunikasi matematis.
Kemampuan komunikasi sebagai salah satu tujuan pembelajaran
matematika berguna bagi siswa saat mendalami matematika maupun dalam
kehidupan sehari-hari. Salah satu peran dan tugas guru dalam rangka
memaksimalkan kesempatan belajar siswa adalah memberikan kebebasan
berkomunikasi kepada siswa untuk menjelaskan idenya dan mendengarkan
ide temannya.
Siswa dapat mengemukakan ide dengan cara mengkomunikasikan
pengetahuan matematika yang dimilikinya baik secara lisan maupun
tulisan. Ada dua alasan penting menjadikan komunikasi dalam matematika
perlu menjadi fokus perhatian, yaitu matematika tidak hanya sekedar alat
bantu berpikir, alat untuk mengemukakan pola-pola atau menyelesaikan
masalah, tetapi matematika jiga merupakan alat yang tidak terhingga
nilainya untuk mengkomunikasikan berbagai ide dengan jelas, tepat, dan
cermat serta matematika sebagai aktivitas sosial dalam pembelajaran
matematika, interaksi antar siswa seperti juga komunikasi antar guru dan
siswa yang merupakan bagian penting untuk memelihara dan
mengembangkan potensi matematika siswa.
Kemampuan komunikasi matematis sangat diperlukan agar proses
belajar mengajar di dalam kelas menjadi lebih bermakna. Salah satu
keberhasilan dalam belajar mengajar diantaranya bergantung pada bentuk
komunikasi yang digunakan oleh guru pada saat ia berinteraksi dengan
siswa. Melihat pentingnya komunikasi matematis maka diharapkan ketika
guru mengajarkan matematika maka bersamaan dengan itu diharapkan
mereka mengajarkan siswanya untuk bebas berkomunikasi.
Komunikasi melibatkan kemampuan membaca dan menulis
matematika dan untuk menginterpretasikan maksud dan ide. Komunikasi
yang dilakukan oleh manusia memiliki berbagai tipe sebagai berikut. (1)

Komunikasi diri sendiri (personal communication), yaitu komunikasi yang


terjadi pada individu. (2) Komunikasi antar pribadi (interpersonal
communication), yaitu proses komunikasi yang berlangsung anatara dua
orang atau lebih yang salaing tatap muka. (3) Komunikasi poblik (public
communication), yaitu bahwa kominikasi yang berlangsung secara tatap
muka namun dengan orang banyak. (4) Komunikasi masa (massa
communication), yaitu komunikasi dengan menggunakan media (Cangara,
2003: 29). Pada proses kegiatan belajar mengajar di kelas, komunikasi yang
terjadi merupakan komunikasi publik.
Menurut Walk (2010), menyimpulkan bahwa kemampuan komunikasi
matematika merupakan kemampuan yang dapat menyertakan dan memuat
berbagai kesempatan untuk berkomunikasi dalam bentuk sebagai berikut.
(1) Merefleksikan benda-benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam ide
matematika. (2) Membuat model situasi atau persoalan menggunakan
metode lisan, tertulis, konkrit, grafik, dan aljabar. (3) Menyatakan peristiwa
sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika. (4) Mendengarkan,
berdiskusi, dan menulis tentang matematika. (5) Membaca dengan
memahami suatu presentasi matematika tertulis. (6) Membuat konjektur,
menyusun argumen, merumuskan definisi, dan generalisasi. (7) Menjelaskan
dan membuat pertanyaan tentang matematika yang telah dipelajari.
Barody (1993) mengemukakan lima aspek komunikasi, kelima aspek
tersebut adalah: (1) representasi (representing), membuat representasi berarti
membuat bentuk yang lain dari ide atau permasalahan, misalkan suatu
bentuk tabel direpresentasikan ke dalam bentuk diagram atau sebaliknya; (2)
mendengar (listening), kemampuan dalam mendengarkan topik-topik yang
sedang didiskusikan akan berpengaruh kepada kemampuan siswa dalam
memberikan pendapat atau komentar; (3) membaca (reading), proses
membaca merupakan kegiatan yang kompleks, karena di dalamnya terkait
aspek mengingat, memahami, membandingkan, menganalisis, serta
mengorganisasikan apa yan terkandung dalam bacaan; (4) diskusi
(discussing), di dalam diskusi siswa dapat mengungkapkan dan
merefleksikan pikiran-pikiran berkaitan dengan materi yang sedang
dipelajari; (5) menulis (writing), menulis merupakan kegiatan yang
dilakukan dengan sadar untuk mengungkapkan dan merefleksikan pikiran,
yang dituangkan dalam media, baik kertas, komputer , maupun media
lainnya.
Salah satu model pembelajaran yang mengambangkan kemampuan
komunikasi matematis adalah Model Eliciting Activities (MEA). MEA
adalah model pembelajaran matematika untuk memahami, menjelaskan, dan
mengomunikasikan konsep-konsep matematika yang terkandung dalam
suatu sajian permasalahan melalui proses pemodelan matematika. Dalam
pembelajaran MEA, kegiatan pembelajaran diawali dengan penyajian suatu
masalah untuk menghasilkan model matematika yang digunakan untuk
menyelesaikan masalah matematika, dimana siswa bekerja dalam
kelompok-kelompok kecil selama proses pembelajaran. MEA diterapkan
dalam beberapa langkah, yaitu: (1) guru membaca sebuah lembar

permasalahan yang mengembangkan konteks siswa, (2) siswa siap siaga


terhadap pertanyaan berdasarkan lembar permasalahan tersebut, (3) guru
membacakan permasalahan bersama siswa dan memastikan bahwa setiap
kelompok mengerti apa yang sedang ditanyakan, (4) siswa berusaha untuk
menyelesaikan masalah, dan (5) siswa mempresentasikan model matematika
mereka setelah membahas dan meninjau ulang solusi.
Pemecahan masalah merupakan salah satu dari lima standar proses
yang dikemukakan the National Council of Teachers of
Mathematics (NCTM), selain komunikasi, penalaran dan bukti, koneksi, dan
representasi matematik. Menurut Gagne (Ruseffendi, 2006: 166) pemecahan
masalah merupakan tipe belajar yang paling kompleks dan merupakan
fokus sentral dari kurikulum matematika. Ausubel mendefinisikan
pemecahan masalah sebagai suatu bentuk pembelajaran penemuan yang
menjembatani kesenjangan antara pengetahuan yang ada pada siswa dengan
solusi dari masalah tersebut.
Proses pemecahan masalah matematik terbentuk juga kemampuan
matematika lainnya seperti penalaran, koneksi matematik, komunikasi
matematik, dan representasi matematik. Hal ini dapat diketahui ketika siswa
menyelesaikan soal non rutin, misalnya dalam bentuk soal cerita. Untuk
dapat menyelesaikan soal ini, siswa terlebih dahulu harus dapat memahami
masalah yang ditunjukkan dengan menyusun persamaan atau model
matematika (representasi dan komunikasi matematik). Model ideal yang
terbentuk kemudian diselesaikan dengan menggunakan prosedur
matematika dan mengaitkan antar konsep matematika yang ada (koneksi
matematik).
Karakter kemandirian merupakan sikap dan perilaku yang tidak
mudah tergantung kepada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas
tertentu. Selain itu karakter kemandirian juga merupakan kemampuan untuk
berdiri sendiri, melakukan tugas dan tanggung jawab yang diembankan
kepadanya. Karakter kemandirian disini tidaklah diartikan sebagai orang
yang tidak suka bekerja sama dalam tim. Karena di dalam tim itu juga harus
fokus kepada peran setiap anggota tim. Anggota tim yang memiliki karakter
kemandirian akan mampu memberikan konstribusi yang baik dalam kerja
sama tim. Gambaran tersebut dapat disimpulkan bahwa siswa yang
memiliki karakter kemandirian akan senantiasa belajar dengan baik,
menyelesaikan soal-soal dalam pembelajaran dengan cermat tidak
bergantung pada siswa yang lain atau bahkan kepada guru, serta akan
bertanggung jawab pada diri sendiri sebagai pribadi maupun sebagai
anggota dalam kelompok.
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. (1) Apakah perangkat
pembelajaran matematika MEA dengan pendekatan open ended dan
asesmen otentik untuk meningkatkan komunikasi matematis dan
kemandirian siswa SMP valid? (2) Apakah penerapan perangkat
pembelajaran matematika MEA dengan pendekatan open ended dan
asesmen otentik untuk meningkatkan komunikasi matematis dan

kemandirian siswa SMP praktis? (3) Apakah pembelajaran matematika


MEA dengan pendekatan open ended dan asesmen otentik untuk
meningkatkan komunikasi matematis dan kemandirian siswa SMP efektif?
Berdasarkan rumusan masalah yang sudah dijelaskan di atas, maka
tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. (1) Mendapatkan perangkat
pembelajaran matematika MEA dengan pendekatan open ended dan
asesmen otentik untuk meningkatkan komunikasi matematis dan
kemandirian siswa SMP valid. (2) Menguji kepraktisan hasil pengembangan
perangkat pembelajaran matematika MEA dengan pendekatan open ended
dan asesmen otentik untuk meningkatkan komunikasi matematis dan
kemandirian siswa SMP. (3) Menguji keefektifan pembelajaran matematika
MEA dengan pendekatan open ended dan asesmen otentik untuk
meningkatkan komunikasi matematis dan kemandirian siswa SMP.
B. Pembahasan
Pembelajaran dengan model eliciting activities didasarkan pada situasi
kehidupan nyata siswa, bekerja dalam kelompok kecil, dan menyajikan
sebuah model matematis sebagai solusi. MEA disusun untuk membantu
siswa membangun pemecahan masalah dunia nyata mereka ke arah
peningkatan konstruksi mateamtika dan terbentuk karena adanya kebutuhan
untuk membuat siswa menerapkan prosedur matematis yang telah dipelajari
sehingga dapat membentuk model matematis. Pengunaan MEA di kelas
matematika untuk memberikan kesempatan bagi siswa untuk
menggambarkan,
menjelaskan,
menafsirkan,
membangun
dan
mengkomunikasikan hubungan, menguji hipotesis mereka, dan
memverifikasi solusinya (Eraslan, 2011: 2).
MEA terbentuk pada pertengahan tahun 1970-an untuk memenuhi
kebutuhan pengguna kurikulum. MEA dibuat oleh pendidik matematika,
professor, dan lulusan di Amerika dan Australia, untuk digunakan oleh guru
matematika. Mereka mengharapkan siswa dapat membentuk sebuah model
matematis berupa sistem konseptual yang membuat siswa merasakan
beragam pengalaman matematis tertentu. Jadi, siswa tidak hanya sekedar
menghasilkan model matematis tetapi juga diharapkan mengerti konsepkonsep yang digunakan dalam pembentukan model matematis dari
permasalahan yang diberikan serta dapat memberikan mekanisme untuk
pemahaman proses berpikir siswa. Mereka menggunakan MEA untuk
mengemati kemajuan kemampuan pemecahan masalah dan pertumbuhan
pemahaman matematika siswa (Besterfield, 2010: 4).
Lesh dan Diefes-Dux, et al., (Chamberlin dan Moon, 2005)
menyatakan enam prinsip desain MEA, yaitu The personal meaningfulness
principle, the model construction principle, the self evaluation principle, the
model documentation principle, the simple prototype principle, and the
model generalisation principle.
Setiap kegiatan MEA terdiri atas empat bagian. Bagian pertama adalah
mempersiapkan konteks permasalahan, menyajikan masalah, dan
membacakan teks. Teks ini berupa halaman simulasi artikel koran yang

ditulis untuk membangkitkan diskusi dan minat siswa tentang permasalahan.


Bagian kedua adalah bagian pertanyaan siap siaga. Pertanyaan-pertanyaan
pada bgian ini ditujuakn untuk memperoleh jawaban siswa tentang artikel
yang telah diberikan pada bagian pertama. Tujuan bagian ini adalah untuk
memastikan bahwa siswa telah memiliki pengetahuan dasar yang mereka
perlukan untuk menyelesakan permasalahan. Bagian ketiga adalah bagian
data. Pada bagian ini dapat digunakan berbagai bentuk diagram, grafik, peta,
dan tabel. Bagian ini sering kali mengacu pada bagian pertanyaan siap
siaga. Bagaian keempat adalah tugas pemecahan masalah. Pada bagian ini
siswa diminta untuk menyelesaikan permasalahan yang kompleks. Salah
satu karakteristik unik dari MEA adalah bahwa siswa menyelesaikan
masalah yang diberikan kepada mereka dan menggeneralisasi model yang
mereka buat untuk situasi serupa.
Camberlin (2004: 3) menyatakan bahwa MEA diterapkan dalam
berbagai lengkah yaitu: (1) guru membaca sebuah simulasi artikel koran
yang mengambangkan konteks siswa; (2) siswa siap siaga terhadap
pertanyaan berdasarkan artikel tersebut; (3) guru membacakan pertanyaan
masalah bersama siswa dan memastikan bahwa setiap kelompok mengerti
apa yang sedang ditanyakan; (4) siswa berusaha untuk menyelesaikan
masalah tersebut; dan (5) siswa mempresentasikan model matematis mereka
setelah membahas dan meninjau ulang solusi.
Menurut Cangara (2003: 19) komunikasi adalah suatu proses dimana
dua orang atau lebih membentuk dan melakukan pertukaran informasi
dengan satu sama lainnya, yang pada gilirannya tiba pada saling pengertian
mendalam.
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan
kemampuan komunikasi adalah suatu kecakapan seseorang dalam
melakukan pengalihan pesan, sehingga pesan yang dimaksud dapat
dipahami orang lain.
Cookroft dalam Shadiq (2004: 3) menyatakan bahwa matematika
merupakan alat komunikasi yang kuat, teliti, dan tidak membingungkan.
Suriasumantri dalam Shadiq (2004: 20) menyatakan bahwa matematika
adalah bahasa yang melambangakan serangkaian makna dari pernyataan
yang ingin kita sampaikan. Lambang-lambang matematika bersifat artifisial
yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan padanya.
Irianto (2003) menelaah kemampuan komunikasi dari dua aspek yaitu
komunikasi lisan (talking) dan komunikasi tulisan (writing). Komunikasi
lisan diungkap melalui intensitas keterlibatan siswa dalam kelompok kecil
selama berlangsungnya proses pembelajaran. Sementara yang dimaksud
dengan komunikasi matematika tulisan (writing) adalah kemampuan dan
keterampilan siswa menggunakan kosa kata, notasi dan struktur matematika
untuk menyatakan hubungan dan gagasan serta memahaminya dalam
memecahkan masalah.
Barody (1993) mengemukakan lima aspek komunikasi, kelima aspek
tersebut adalah: (1) representasi (representing), membuat representasi berarti
membuat bentuk yang lain dari ide atau permasalahan, misalkan suatu

bentuk tabel direpresentasikan ke dalam bentuk diagram atau sebaliknya; (2)


mendengar (listening), kemampuan dalam mendengarkan topik-topik yang
sedang didiskusikan akan berpengaruh kepada kemampuan siswa dalam
memberikan pendapat atau komentar; (3) membaca (reading), proses
membaca merupakan kegiatan yang kompleks, karena di dalamnya terkait
aspek mengingat, memahami, membandingkan, menganalisis, serta
mengorganisasikan apa yan terkandung dalam bacaan; (4) diskusi
(discussing), di dalam diskusi siswa dapat mengungkapkan dan
merefleksikan pikiran-pikiran berkaitan dengan materi yang sedang
dipelajari; (5) menulis (writing), menulis merupakan kegiatan yang
dilakukan dengan sadar untuk mengungkapkan dan merefleksikan pikiran,
yang dituangkan dalam media, baik kertas, komputer , maupun media
lainnya.
Open ended problem adalah masalah yang memiliki banyak jawaban
benar atau banyak cara untuk memperoleh jawaban benar. Pendekaran open
ended berawal pada tahu 1970 di Jepang oleh Shimada, sejak saat itu guru
matematika di Jepang mulai banyak menyusun masalah dan soal-soal open
ended serta rencana pembelajaran dengan menggunakan masalah open
ended. Pehkonen (2006) menyatakan bahwa suatu permasalahan dikatakan
open ended jika dalam permasalahan tersebut ada suatu kondisi yang
sengaja tidak diberikan sehingga siswa bebas dalam menyelesaikan
permasalahan tersebut. Penerapan open ended dalam pembelajaran dapat
memberi
kesempatan
pada
siswa
untuk
memperoleh
pengetahuan/pengalaman menemukan, mengenali, dan memecahkan
masalah dengan beberapa teknik.
Ide penggunaan open ended menurut Foong (2000) adalah untuk
memperbaiki dan meningkatkan kualitas pembelajaran matematika serta
sebagai metode dalam mengajarkan pemecahan masalah. Tujuan
pembelajaran open ended menurut Mc.Intosh & Jarret (2000) adalah untuk
membantu mengambangkan kegiatan kreatif dan pola pikir matematika
siswa melalui pemecahan masalah secara simultan. Inti dari pembalajaran
berbasis open ended adalah pembalajaran yang membangun kegiatan
interaksi antara matematika dan siswa sehingga mengundang siswa untuk
menjawab permasalahan melalui berbagai cara atau strategi. Ketika soal
diberikan dalam bentuk open ended maka peserta didik memiliki
kesempatan untuk melakukan eksplorasi kemungkinan solusi dengan
menggunakan pengetahuan dan keterampilan matematika yang mereka
miliki.
Pembelajaran dengan pendekatan open ended diawali dengan
memberikan masalah terbuka kepada siswa dan dalam pelaksanaannya harus
mampu mengarahkan dan membawa siswa untuk menjawab masalah
dengan banyak cara atau banyak jawaban benar. Hal ini dimaksudkan untuk
merangsang kemampuan intelektual siswa dan pengalaman siswa dalam
proses menemukan suatu yang baru serta bertujuan agar kegiatan-kegiatan
kreatif siswa dapat terkomunikasi melalui proses pembalajaran.

Menurut Nurhadi (dalam Masrukan, 2013), asesmen otentik adalah


proses pengumpulan informasi oleh guru tentang perkembangan dan
pencapaian pembalajaran yang dilakukan oleh siswa melalui berbagai teknik
yang mampu mengungkapkan, membuktikan atau menunjukkan secara tepat
bahwa tujuan pembelajaran telah benar-benar dikuasai dan dicapai.
Keunggulan dari penilaian kompetensi sikap antar siswa adalah
sebagai berikut (Kunandar, 2014: 144-145). (1) Melatih siswa untuk berlaku
objektif, karena dengan penilaian antar siswa mereka dituntut objektif
terhadap apa yang dilihat dan dirasakan berkaitan dengan sikap dan perilaku
temannya. (2) Melatih siswa untuk memiliki keterampilan dan kecermatan
dalam melakukan penilaian terhadap suatu objek. Hal ini akan bermanfaat
bagi siswa dalam memberikan bekal tentang kemampuan melakukan
pengamatan yang akan dibutuhkan dalam kehidupan mendatang. (3) Melatih
siswa untuk memiliki rasa tanggung jawab dengan diberikan kepercayaan
untuk menilai sikap temannya.
Penilaian antar siswa yang dilakukan dalm penelitian ini adalah
penilaian terhadap kompetensi sikap kemandirian. Penilaian antar siswa
merupakan teknik penilaian yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat
pencapaian kompetensi sikap, baik sikap spiritual, maupun sosial dengan
cara meminta siswa untuk saling menilai satu sama lain. Instrumen yang
digunakan bisa berupa lembar penilaian antar siswa dalam bentuk angket
atau kuesioner. Penilaian antar siswa menuntut keobjektifan dan rasa
tanggung jawab dari siswa sehingga menghasilkan data yang akurat
(Kunandar, 2014: 144).
Menurut Wardhani (2010:17) pemecahan masalah adalah proses
menerapkan pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya ke dalam situasi
baru yang belum dikenal. Suatu pertanyaan akan menjadi masalah hanya
jika pertanyaan itu menunjukkan adanya suatu tantangan (challenge) yang
tidak perlu dipecahkan oleh suatu prosedur rutin (routine procedure) yang
sudah diketahui siswa (Shadiq, 2009:4). Lenchner dalam (Wardhani,
2010:15) mengemukakan setiap penugasan dalam belajar matematika untuk
siswa dapat digolongkan menjadi dua hal yaitu exercise (latihan) dan
problem (masalah). Latihan merupakan tugas yang langkah penyelesaiannya
sudah diketahui siswa dan latihan diselesaikan dengan menerapkan secara
langsung satu atau lebih algoritma (Wardhani, 2010:15). Masalah lebih
kompleks dari pada latihan karena strategi untuk menyelesaikannya tidak
langsung tampak.
Polya (1973:5) mengemukakan terdapat empat tahap yang harus
dikerjakan dalam pemecahan suatu masalah, yaitu memahami masalah
(understanding the problem), merencanakan penyelesaian (devising a plan),
menyelesaikan masalah sesuai rencana (carrying out the plan), memeriksa
kembali (looking back).
Pendidikan karakter disebutkan sebagai pendidikan nilai, pendidikan
budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan
mengembangkan kemampuan siswa untuk memberikan keputusan baikburuk, memelihara apa yang baik dan mewujudkan kebaikan itu dalam

kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati (Pusat Kurikulum dan


Perbukuan Balitbang Kemdiknas, 2011: 1). Nilai-nilai utama yang
dikembangkan dalam mata pelajaran matematika adalah berpikir logis,
kritis, jujur, kerja keras, ingin tahu, mandiri, dan percaya diri (Kemdiknas,
2010: 37).
Aktivitas belajar adalah apa yang dilakukan oleh siswa dengan input
belajar untuk mencapai tuntas belajar. Aktivitas belajar yang dapat
membantu siswa menginternalisasi nilai-nilai adalah aktivitas-aktivitas yang
antara lain mendorong terjadinya autonomous learning dan learner-centered.
Pembelajaran yang memfasilitasi autonomous learning dan perpusat pada
siswa secara otomatis akan membantu siswa memperoleh banyak nilai.
Aktivitas belajar yang dimaksud antara lain diskusi, eksperimen,
pengamatan, debat, presentasi, dan mengerjakan proyek (Kemdiknas, 2010:
49).
Pada penelitian ini nilai-nilai utama yang dikembangkan adalah
kemandirian. Mandiri adalah sikap dan perilaku yang tidak mudah
tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas (Pusat
Kurikulum Balitbang Kemdiknas, 2010: 9-10).
Pembelajaran matematika dengan Model Eliciting Activities (MEA)
mengembangkan kemampuan komunikasi matematis siswa. MEA adalah
model pembelajaran matematika untuk memahami, menjelaskan, dan
mengomunikasikan konsep-konsep matematika yang terkandung dalam
suatu sajian permasalahan melalui proses pemodelan matematika. Salah satu
karakteristik dari pembelajaran MEA adalah penciptaan model matematika
yang membutuhkan suatu konsep yang kuat tentang pemahaman masalah
sehingga dapat membantu siswa mengungkapkan pemikiran mereka.
Kemampuan komunikasi adalah suatu kecakapan seseorang dalam
melakukan pengalihan pesan, sehingga pesan yang dimaksud dapat
dipahami orang lain. Persoalan ataupun informasi yang disampaikan dengan
bahasa matematika misalnya penyajian persoalan atau masalah ke dalam
model matematika yang dapat berupa diagram, persamaan matematika,
grafik, ataupun tabel. Mengkomunikasikan dengan bahasa matematika lebih
praktis, sistematis, dan efisien.
Open ended problem adalah masalah yang memiliki banyak jawaban
benar atau banyak cara untuk memperoleh jawaban benar. Penerapan open
ended dalam pembelajaran dapat memberi kesempatan pada siswa untuk
memperoleh pengetahuan/pengalaman menemukan, mengenali, dan
memecahkan masalah dengan beberapa teknik. Permasalahan yang disajikan
sebaiknya realistis, permasalahan yang realistis lebih memungkinkan
kreativitas dan kualitas solusi dari siswa. Siswa diberikan kebebasan dalam
mengkomunikasikan gagasannya melalui bahasa matematika sehingga apa
yang ingin disampaikan siswa bisa dipahami oleh orang lain baik guru
maupun siswa yang lain. Siswa memiliki kesempatan untuk melakukan
eksplorasi kemungkinan solusi dengan menggunakan pengetahuan dan
keterampilan matematika yang mereka miliki. Diharapkan melalui

permasalahan open ended siswa terlatih kemampuan komunikasinya melalui


penyapaian penyelesaian yang dilakukan siswa.
Kemandirian adalah sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung
pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. Dengan dilakukannya
penilaian antar siswa, siswa dilath kemandirian serta tanggung jawabnya
dalam belajar maupun dalam melaksanakan penilaian antar siswa.dengan
pendekatan open ended diharapkan siswa dapat secara mandiri
menyampaikan gagasan penyelesaian dari suatu permasalah dengan
berbagai cara yang berbeda. Salah satu karakteristik MEA adalah siswa
mampu mengukur kelayakan kegunaan solusi tanpa bantuan guru. Hal ini
mendukung pengembangan karakter kemandirian siswa yang tidak
tergantung pada orang lain yaitu gurunya serta siswa mengevaluasi
kemajuan dirinya sendiri.
C. Simpulan dan Saran
Simpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dijabarkan diperoleh simpulan
sebagai berikut. (1) Hasil pengembangan perangkat pembelajaran
matematika MEA dengan pendekatan open ended dan asesmen otentik
untuk meningkatkan komunikasi matematis dan kemandirian siswa SMP
valid. (2) Penerapan perangkat pembelajaran matematika MEA dengan
pendekatan open ended dan asesmen otentik untuk meningkatkan
komunikasi matematis dan kemandirian siswa SMP praktis. (3)
Pembelajaran matematika MEA dengan pendekatan open ended dan
asesmen otentik untuk meningkatkan komunikasi matematis dan
kemandirian siswa SMP efektif.
Saran
Berdasarkan simpulan tersebut perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
sehingga dapat mengetahui seberapa valid pengembangan perangkat
pembelajaran yang dibuat, seberapa praktis yang dibuat, dan seberapa
efektif pembelajaran yang dirancang.
D. Daftar Pustaka
[1] Anni, C. T., A. Rifai. R. C., E. Purwanto, & D. Purnomo. 2006.
Psikologi Belajar. Semarang: UPT MKK UNNES.
[2] Besterfield, M. et al. 2010. Model Eliciting Activities: Assesing
Enginering Student Problem Solving and Skill Integration Processes.
International Journal Engunering Education. Vol 26. No 4. Pp 831845. University of Pittsburgh.
[3] Camberlin, S. A. & Moon, S. 2005. Model Eliciting Activities: An
Introduction to Gifted Education. Journal of Secondary Gifted
Education. 17, 37-47.
[4] Camberlin, M. 2004. Design Principles for Teacher Investigation of
Student Work. International Journal for Mathematic Teacher
Education and Development. Vol 6, 52-62. Unversity of Northern
Collorado.

[5] Cangara, H. 2003. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT Raja


grafindo Persada.
[6] Eraslan, A. 2011. Prospective Elementery Mathematics Teacher
Perseptions on Model Eliciting Activities and Their Effect on
Mathematics Learning. The Journal of Elemnentary Education. 10 (1),
364-377. Ondokuzmayis University.
[7] Foong, P. Y. 2000. Open Ended Problem for Higher Order Thinking in
Mathematics. Teacing and Learning. Vol 20 No 2. Hal. 49-57.
Tersedia di repository.nie.edu.sg.
[8] Hudojo, H. 2003. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran
Matematika. Malang: Universitas Negeri Malang.
[9] Irianto, B. 2003. Menumbuhkembangakan Kemampuan Pemahaman
dan Komunikasi Matematika Siswa SMU Melalui Strategi Think Talk
Write. Makalah. National Seminar on Science and Mathematics
FMIPA UPI in cooperation with JICA. Jakarta.
[10] Istianah, E. 2011. Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan
Kreatif Matematik dengan Pendekatan Model Eliciting Activities
(MEAs) pada Siswa SMA. Thesis. Universitas Pendidikan Indonesia.
[11] Kemdiknas. 2010. Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah
Pertama. Jakarta: Kemdiknas.
[12] Kunandar. 2014. Penilaian Autentik (Penilaian Hasil Belajar
Peserta Didik Berdasarkan Kurikulum 2013). Rajawali Press.
[13] Masrukan. 2013. Asesmen Otentik Pembelajaran Matematika,
Mencakup Asesmen Afektif dan Karakter. Semarang: FMIPA Unnes.
[14] Mc.Intosh, R. & Jarret, D. 2000. Teaching Mathematical Problem
Solving: Implementing The Vision. A Literature Review. Tersedia di
cimm.ucr.ac.cr.
[15] Pehkonen, E. 2006. Open Ended Problems: A Methods for An
Educational Change. Tersedia di clab.edc.uoc.gr.
[16] Permana, Y. 2010. Menembangkan Kemampuan Pemahaman,
Komunikasi, dan Disposisi Matematis Siswa Sekolah Menengah Atas
Melalui Model Eliciting Activities. Disertasi. Bandung: Universitas
Pendidikan Indonesia.
[17] Polya, G. 1973. How To Solve It A New Aspect Of Mathematical
Method Second Edition. USA: Princeton Univesity Press.
[18] Pusat Kurikulum Balitbang Kemdiknas. 2010. Pengembangan
Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta: Pusat Kurikulum
Balitbang Kemdiknas.
[19] Pusat Kurikulum dan Perbukuan Balitbang Kemdiknas. 2011.
Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter. Jakarta: Pusat
Kurikulum dan Perbukuan Balitbang Kemdiknas.
[20] Ruseffendi, E. T. 2006. Pengantar kepada Membantu Guru
Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika
untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

[21] Shadiq, F. 2009. Kemahiran Matematika. Disampaikan pada Diklat


Instruktur Pengembangan Matematika SMA Jenjang Lanjut. PPPG
Yogyakarta.
[22] Shadiq, F. 2004. Pemecahan Masalah, Penalaran dan Komunikasi.
Tersedia di robina.weblog.com.
[23] Suherman, E., Turmudi, D. Suryadi, T. Herman, Suhendra, S.
Prabawanto, Nurjanah, & A. Rohayati. 2003. Strategi Pembelajaran
Matematika Kontemporer. Bandung: JICA-Universitas Pendidikan
Indonesia.
[24] Sumarmo, U. 2006. Pembelajaran Keterempilan Membaca
Matematika pada Siswa Sekolah Menengah. Makalah disajikan dalam
Seminar Pendidikan Matematika di UPI Bandung. Universitas
Pendidikan Indonesia.
[25] Walk, G. & Bansho. 2010. Commucication in The Mathematics
Classroom. Tersedia di edu.gov.on.ca.
[26]
Wardhani, S. 2010. Implikasi Karakteristik
Matematika dalam Pencapaian Tujuan Mata Pelajaran Matematika di
SMP/MTs. Yogyakarta: Departemen Pendidikan Nasional PPPPTK.

You might also like