Professional Documents
Culture Documents
Pendahuluan
Istilah digital divide atau dalam bahasa
indonesia dapat diartikan kesenjangan digital
mengacu pada fakta bahwa beberapa kelompok
orang (si kaya) dapat menikmati akses dan
menggunakan berbagai bentuk teknologi informasi
modern secara teratur, sementara yang lain (si
miskin) tidak dapat melakukannya. Fokus dari
diskusi tentang kesenjangan digital telah bergeser
dari waktu ke waktu. Pada era tahun 1990-an,
Gbr 1. Gambaran tentang Digital Divide (dahulu) fokusnya adalah pada akses terhadap komputer dan
Sumber: Eubanks (2007)
internet untuk masyarakat miskin, masyarakat di
daerah pedesaan, dan kelompok-kelompok pada demografis tertentu di Amerika Serikat serta
negara-negara maju lainnya. Karena semakin banyak orang memperoleh teknologi digital dan
akses internet, fokusnya bergeser dan membagi di antara mereka yang memiliki broadband
dan mereka yang tidak. Ada juga lebih fokus sekarang pada kesenjangan digital antara negara
maju dan negara-negara miskin (Baase, 2013).
Menurut Inpres No.3 Tahun 2003, disebutkan bahwa digital divide adalah keterisolasian
dari perkembangan global karena tidak mampu memanfaatkan informasi. Di Indonesia masih
banyak dijumpai permasalahan kesenjangan digital ini di lingkup pemerintahan, khususnya
pada saat implementasi e-government, sehingga hal tersebut secara tidak langsung
menghambat pencapaian tujuan dari penerapan e-government di Indonesia.
Dibandingkan dengan negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia, misalnya, tampak
sekali bahwa aplikasi e-government Indonesia masih tertinggal. Ada banyak faktor yang
mempengaruhi keterlambatan ini, dan tentu saja yang paling menentukan adalah kurang
adanya komitmen untuk memperkecil kesenjangan digital kita dengan negara-negara maju
disamping faktor infrastruktur dan kondisi geografis yang menyulitkan (Kumorotomo, 2009)
Selain itu, pada Inpres No.3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional
Pengembangan e-government menyebutkan bahwa tuntutan perubahan merupakan motivasi
e-government. E-government sendiri merupakan pemanfaatan teknologi komunikasi dan
informasi dalam proses pemerintahan (e-government) yang akan meningkatkan efisiensi,
efektifitas, transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan.
Pembahasan
Pada awalnya kesenjangan digital didefinisikan
sebagai perbedaan akses terhadap teknologi informasi dan
komunikasi (TIK), namun seiring perkembangannya,
kesenjangan digital mulai mengalami pergeseran
pengertian. Kesenjangan digital tidak lagi hanya
merupakan kesenjangan antara mereka yang memiliki
akses terhadap TIK dengan yang tidak. Kesenjangan
digital juga merupakan kesenjangan antara mereka yang
memiliki akses dan dapat memiliki kemampuan untuk
menggunakan TIK dengan mereka yang tidak memiliki
kemampuan untuk menggunakannya (Hargittai, 2003).
Dengan hadirnya e-government secara utuh
diharapkan dapat mempermudah, memperlancar, dan
Gbr 2. Gambaran tentang Digital Divide (kini) menjadikan pelayanan kepada masyarakat menjadi efektif
Sumber: Eubanks (2007)
dan efisien. Disamping itu diharapkan juga Indonesia
mampu mengikuti perubahan ke arah globalisasi saat ini. Perubahan-perubahan dalam tubuh
Indonesia terjadi seiring dengan transformasi menuju era masyarakat informasi pada dunia.
Hal ini sebagai akibat dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin
pesat sebagai dampak dari globalisasi. Penggunaan media elektronik sesungguhnya sangat
dibutuhkan dalam masyarakat informasi. Oleh karena itu, Indonesia harus mampu
menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan global tersebut sehingga masyarakat
informasi dapat terwujud. Tapi jika Indonesia tidak mampu menyesuaikan diri dikhawatirkan
adanya kesenjangan digital yang semakin melebar (Marlina, 2010).
bisa berbahasa asing. Inilah yang menimbulkan ketidaktahuan banyak orang ketika mereka
mengakses internet. Mereka ingin mengakses informasi, tetapi tidak tahu caranya, tidak
memahami isinya dikarenakan tidak samanya bahasa yang digunakan. Memang sudah ada
konten dalam bahasa Indonesia, tetapi konten-konten tersebut belum beragam dan
kebanyakan masih bersifat berita.
Seluruh website Pemerintah Kota sudah masuk ke tahap interaktif, tetapi untuk Pemda
Kabupaten masih kurang dari separuh (40%) yang sampai ke tahap ini. Sekali lagi, ini
menunjukkan adanya fenomena digital divide bahkan di tingkat wilayah yang sama, bahwa
teknologi informasi memang lebih bias perkotaan (urban bias) karena ketimpangan
infrastruktur yang menunjang penggunaan teknologi digital (Kumorotomo, 2009)
Dalam kasus UPIK di Pemerintah Kota Jogja, misalnya, kesenjangan yang menjadi
persoalan sebenarnya bukan teknologinya melainkan unsur tujuan dan nilai-nilai (objectives
and values) yang hendak dicapai dari aplikasi e-government yang diciptakan. Teknologi
mungkin membantu dalam membuat interaksi antara warga dan para pejabat Pemda. Tetapi
jika tujuan dari interaksi tersebut tidak diperhatikan, dalam hal ini tersalurkannya aspirasi
warga dan adanya tindakan yang nyata dari aparat untuk melakukan perbaikan, maka
kemanfaatan e-government juga akan dipertanyakan oleh banyak warga. Dalam kasus eprocurement di Pemerintah Kota Surabaya, kesenjangan yang menjadi persoalan adalah
dimensi proses dan juga sistem manajemen serta struktur organisasi (management systems
and structures). Betapapun canggihnya teknologi yang digunakan, jika tidak didukung
dengan perubahan sistem manajemen dan struktur organisasi, proses yang lebih cocok dengan
penggunaan TIK yang memungkinkan transfer informasi secara lebih cepat, maka egovernment akan gagal mencapai tujuannya. Dalam hal ini tampak juga pentingnya unsur
budaya dalam birokrasi pemerintah. Tanpa disertai perubahan dalam budaya birokrasi yang
cenderung melanggengkan KKN, maka peran TIK mungkin hanya akan membuat cara-cara
korupsi dan kolusi itu semakin cepat dan semakin rapi sehingga sulit dideteksi oleh orang
awam.
Menurut Camacho (2005) dalam kesenjangan digital, terdapat tiga aspek utama yang
saling berhubungan dan merupakan fokus yang perlu diperhatikan, sebagai berikut:
1. Akses/infrastruktur (access/ infrastructure): Perbedaan kemampuan antar individu dalam
perolehan akses atau infrastruktur TIK yang menyebabkan perbedaan distribusi informasi.
2. Kemampuan (skill & training): Perbedaan kemampuan antar individu dalam
memanfaatkan atau menggunakan akses dan infrastruktur yang telah diperoleh.
Selanjutnya adalah perbedaan antar individu dalam upaya pencapaian kemampuan TIK
yang dibutuhkan untuk dapat memanfaatkan akses dan infrastruktur TIK.
3. Isi informasi (content/ resource): Perbedaan antar individu dalam memanfaatkan
informasi yang tersedia setelah seseorang dapat mengakses dan menggunakan teknologi
tersebut sesuai dengan kebutuhannya.
Berdasarkan penjelasan diatas maka penyebab terjadiya digital divide terdiri dari
beberapa hal sebagai berikut:
1. Infrastruktur
Infrastruktur merupakan sebuah fasilitas pendukung, seperti infrastruktur listrik,
internet, komputer dan lain. Contoh gampang mengenai kesenjangan infrastruktur ini,
orang yang punya akses ke komputer bisa bekerja dengan cepat. Ia bisa menulis lebih
cepat ketimbang mereka yang masih menggunakan mesin ketik manual.
2. Kemampuan SDM (Skill & Training)
Sumber daya manusia sangat berpengaruh dalam dunia ilmu teknologi dan informasi
karena SDM ini menentukan biasa tidaknya seorang mengoperasikan atau mengakses
sebuah informasi.
3. Kekurangan isi (konten) materi bahasa indonesia
Konten berbahasa Indonesia menentukan bisa tidaknya seorang dapat mengerti
mengakses Internet, di Indonesia terutama di perkotaan tingkat pendidikan sudah lebih
tinggi. Jadi, sedikit banyak sudah mengerti bahasa Inggris. Sedangkan yang di desa,
seperti petani-petani, mereka masih sangat kurang dalam menggunakan bahasa asing
(Inggris).
4. Kurangnya pemanfaatan akan internet itu sendiri.
Berbicara mengenai kesenjangan digital, bukanlah semata-mata persoalan
infrastruktur. Banyak orang memiliki komputer, bahkan setiap hari, setiap jam bisa
mengakses Internet tetapi "tidak menghasilkan apapun".
itu sendiri. Sebagai negara berkembang, tantangan bagi aplikasi e-government memiliki dua
sisi. Di satu pihak, kampanye untuk aplikasi e-government dengan peningkatan e-literacy
adalah sangat penting guna mengejar ketertinggalan dan memperkecil digital divide yang
terjadi antara Indonesia dengan negara-negara maju. Di pihak yang lain para perumus
kebijakan dan pimpinan organisasi publik yang telah menyediakan koneksi Internet dengan
teknologi broadband harus waspada dengan kemungkinan kegiatan yang tidak produktif
dengan Internet seperti yang sekarang ini sudah banyak terjadi diantara para pegawai di
negara-negara maju (Marlina, 2010).
Berdasarkan studi literatur dan paparan diatas maka beberapa fokus yang perlu
diperhatikan sebagai solusi untuk mengurangi kesenjangan digital ini antara lain:
1. Mempersiapkan masyarakat untuk bisa menangani, menerima, menilai, memutuskan dan
memilih informasi yang tersedia. Penyiapan kondisi psikologis bagi masyarakat untuk
menerima, menilai, memutuskan dan memilih informasi bagi diri mereka sendiri akan
lebih efektif dan mendewasakan masyarakat untuk bisa mengelola informasi dengan baik.
2. Pembangunan fasilitas telekomunikasi antara kota dan desa, sehingga setiap masyarakat
yang ingin mengakses informasi dapat tercapai dengan tersedianya fasilitas
telekomunikasi yang memadai. Layanan Internet memainkan peranan penting dalam
mengurangi digital divide.
Secara singkat beberapa solusi yang dapat digunakan untuk mengurangi kesenjangan
digital, sebagai berikut:
a. Penyediaan infrastruktur yang memadai;
b. Peningkatan kemampuan TIK dengan pelatihan secara berkala;
c. Memberikan penyuluhan (sosialisasi) tentang kemajuan teknologi informasi;
d. Pembangunan fasilitas telekomunikasi antara kota dan desa.
Kesimpulan
Di era globalisasi saat ini, dimana kebutuhan akan teknologi dan jaringan komunikasi
meningkat pesat mengharuskan setiap negara (termasuk Indonesia) untuk dapat memberikan
pelayanan yang berbasis elektronik kepada masyarakat dengan tujuan untuk mengefektif dan
mengefisienkan pelayanan kepada masyarakat. Untuk itu dibutuhkanlah e-government.
Namun dalam pelaksanaannya ternyata masih banyak kendala, terutama terbatasnya
ketersediaan infrastruktur yang justru mengakibatkan digital divide. Digital divide
mempunyai arti sebagai kesenjangan (gap) antara individu, rumah tangga, bisnis, (atau
kelompok masyarakat) dan area geografis pada tingkat sosial ekonomi yang berbeda dalam
hal kesempatan atas akses teknologi informasi dan komunikasi/TIK (information and
communication technologies/ ICT) atau telematika dan penggunaan internet untuk beragam
aktivitas. Jadi, digital divide atau kesenjangan digital sebenarnya mencerminkan beragam
kesenjangan dalam pemanfaatan telematika dan akibat perbedaan pemanfaatannya dalam
suatu negara dan/atau antar negara.
Referensi
Baase, Sara. 2013. A Gift Of Fire : Social, Legal and Ethical Issues for Computing Technology
fourth edition. Prentice Hall, New Jersey.
Marlina. 2010. Digital divide. Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Banten.
Eubanks, Virginia E. 2007. Trapped in the Digital divide: The Distributive Paradigm in Community
Informatics.
Desember 2013.
Kumorotomo,Wahyudi. 2009. Kegagalan Penerapan e-government dan Kegiatan Tidak Produktif
Dengan
Internet.
http://kumoro.staff.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2009/01/kegagalan-
Eszter.
2003.
The
Digital
divide
and
What
www.princeton.edu/~eszter/research/pubs/hargittai-digitaldivide.pdf
To
Do
About
It.
tanggal
akses
15
Desember 2013
Camacho, K. 2005. Digital divide, Multicultural Perspectives on Information Societies, C & F
Editions.
FDWXUVWXG
LR
'LJLWDOO\VLJQHGE\FDWXUVWXGLR
'1FQ FDWXUVWXGLRR %3.5,
H VHWLDZDQFDWXU#JPDLOFRP
5HDVRQ,DPWKHDXWKRURIWKLV
GRFXPHQW
/RFDWLRQ
'DWH