You are on page 1of 18

Tugas

MAKALAH AGAMA ISLAM


O
L
E
H
Kelompok 5
Nama :
HARI S MAKALALAG
MARYAM K. KAKU
YULINAR
RABINA TANE

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS SASTRA DAN BUDAYA
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2016

DAFTAR ISI
Kata Pengantar ...............................................................................

Daftar Isi ..........................................................................................

ii

BAB I. PEMBAHASAN
1.1 Pandangan Islam Tentang Seni .......................................
A. Pengertian Seni Secara Umum...................................
B. Problematika Seni Dalam Islam ................................
C. Aliran Filsafat Seni ...................................................
1.2 Seni Untuk Sesuatu .........................................................
A. Definisi ......................................................................
B. Konsep Sional Seni ...................................................
C. Muhamadiyah Seni ...................................................

1
1
1
2
4
4
8
12

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................

14

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah pandangan islam
tentang seni.
Makalah pandangan islam tentang seni ini telah kami susun dengan maksimal dan
mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.
Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah
pandangan islam tentang seni ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah pandangan islam tentang seni ini dapat
memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
Gorontalo, 14 September 2016

Penyusun

Bab I Pembahasan
3

PANDANGAN ISLAM TENTANG SENI


Standard Kompetensi
Setelah membaca bab ini peserta didik atau mahasiswa diharapkan mampu
1. Menjelaskan pengertian seni secara umum
2. Menjelaskan problematika seni dalam Islam
3. Menjelaskan Aliran filsafat dalam seni
4. Menjelaskan perspektif Muhammadiyah terhadap seni
A. Pengertian Seni Secara Umum
Secara umum kata atau term seni berarti halus(dalam rabaan) kecil dan halus, tipis dan
halus, lembut dan enak (didengar), mungil dan elok(tubuh), sifat halus. Secara etimologis
seni dapat didefinisikan sebagai kesanggupan akal untuk menciptakan sesuatu yang bermutu
tinggi (Kamus, 1990 : 816). Ukuran tinggi itu jika orang lain bisa mengatakan indah, kagum,
atau luar biasa terhadap ciptaan tersebut.
Kata seni sering dirangkai dengan kata lain umpama budaya sehingga menjadi seni budaya,
gelar seni budaya. Pengertian ini sebenarnya rancu karena seni itu sebenarnya merupakan satu
unsur dari budaya. Dalam kajian budaya, unsurnya yang mesti ada mencakup tujuh hal, yaitu:
sosial, politik, bahasa, agama, ekonomi, seni, dan eistetika. Seni budaya sebenarnya hanya seni
itu sendiri atau bagian dari seni, dan biasanya secaara praktis terbatas pada seni tari, seni suara,
seni panggung, atau gabungan dari ketiga seni itu seperti kalau kita mendengar sebuah
pernyataan Saputra dan kawan-kawannya menjadi duta seni budaya Indonesia ke berbagai
manca negara. Apa yang mereka lakukan di luar negeri atas nama bangsa Indonesia hanya
menggelar seni dalam panggung di hadapan pemirsa.
B. Problematika Seni Dalam Islam
Mengkaji Seni Islam selalu tertumbuk pada jalan buntu ketika hendak memasuki wilayah kajian
seni Islam. Di kalangan Islam terdapat pro dan kontra.
1. Hingga kini belumn ada lembaga apapun juga yang secara formal dan sistematis
melakukan kajian seni secara komrehensif, filosofis (eistetika atau filsafat seni Islam,
yang merumuskan batasan nilai keindahan sesuai dengan ajaran Islam), teoritik (sejarah,
struktur, dan klasifikasi: apakah ada seni Islam ataukah hanya ada seni muslim), praktik
(kajian tentang teknik-teknik perbidang), dan apresiatif (kritik seni yang mengkaji
perkembangan seni Islam dalam hubungannya dengan perkembangan masyarakat
muslim) yang mengatasnamakan lembaga seni Islam. Inti pendirian kelompok ini
menyatakan bahwa Seni Islam itu tidak ada, dan yang ada adalah orang Islam bersseni.
2. Sebagian umat Islam atau bisa disebut seniman muslim bersemangat menunjukkan
berbagai dalil aqliyah (rasional) bahwa Alquran sendiri mengandung nilai seni yang
amat tinggi dan demonstratif bahwa musabaqah tilawatil quran digelar di mana-mana,
demikian juga seni kaligrafi Islam-Arab, maupun naqliyah (teks yang bersumber dari
4

Alquran maupun as-Sunnah; Alfaruqi, 1999: v-vi) menjelaskan tentang keindahan


sebagai buah karya seni. Inti pendirian kelompok ini adalah seni merupakan salah satu
dari kandungan atau jangkauan Islam. Dalam bab ini tentu dinyatakan bahwa seni Islam
itu ada.
C. Aliran Filsafat Seni
Sekurang-kurangnya terdapat dua aliran besar dalam seni, yaitu seni untuk seni (the art
for the art) dan seni untuk sesuatu (the art for the others).
1. 1.

Seni untuk Seni

Pada awal abad 19 ditengarai munculnya gerakan seni untuk seni (the art for the art) . Di
Perancis gerakan ini didukung oleh Flaubert, Gauthier, dan Baudelaire. Di rusia oleh Pushkein.
Di Inggris oleh Walter Patter Oscar Wilde. Di Amerika oleh sastrawan Allan Poe. Aliran ini
berakar dari Romantisime Romawi yang dapat ditemukan akar-akarnya pada Friedrich Schlegel
dan Henrich Heine (Syarif, 1984 : 114).
Mereka meyakini slogan Seni Untuk Seni. Dengan slogan ini dimaksudkan bahwa keindahan
sebagai produk seni, adalah kualitas seni yang khusus. Ia adalah nilai dasar yang absolut,
menyeluruh dan tertinggi. Nilai-nilai lain seperti kebenaran dan kebaikan berada di bawahnya
atau malah sama sekali tidak relefan. Di dalam panggung kehidupan, seni memiliki daerahnya
sendiri, mempunyai tujuannya sendiri, tidak mempunyai misi yang harus dipenuhi kecuali
membangkitkan jiwa sang kontemprator untuk menciptakan sensasi-sensasi keindahan tertinggi.
Moralitas, instruksi, uang, dan populalaritas tidak boleh menjadi tujuan seni, tetapi malah
merendahkan nilai artistik sesuatu seni (Syarif, l984 : 115). Buat mereka, seni adalah otonom
tidak bergantung pada yang di luar seni.
Gauthier, utamanya, ia mengatakan bahwa seni bukan suatu cara, tetapi tujuan. Seorang seniman
yang mengejar tujuan lain di luar keindahan adalah bukan seniman (Syarif, l984 : 115).
Sementara itu, Orcar Wilde memisahkan secara penuh antara lingkungan etika dan seni( Syarif,
l984 : 1). Sebuah patung naturalis telanjang bulat yang dipasang di pusat keramaian, jia ini
dipandang indah, tentu dilakukan dengan tanpa mermpertimbankan nilai etis. Jika peristiwa ini
benar-benar ada, pasti menjadi heboh. Tokoh agama dan kaum moralis lainnya pasti
memprotesnya, karena dipandang bertentangan dengan nilai moral. Beberapa tahun yang lalu,
kasus pembuatan gambar-gambar bugil Dewi Sukarno Putri pada suatu majalah menjadi heboh.
Tabloid yang pernah muncul penaka kecambah, beberapa diantaranya mengintrodusir gambargambar bugil atau hampir bugil atau secara umum seronok pada halaman sampulnya mendapat
reaksi keras dari tokoh maupun lembaga-lembaga penjunjung tinggi moralitas. Goyang ngebor
Inul Daratista, goyang patah-patah Anisa bahar, Goyang gergaji dari Dewi perssik dalam seni
panggung menjadi heboh dan mendapat protes keras dari pendukung kaum moralis yang anti
pornografi dan pornoaks atau sekurang-kurang erotisme. Karya Taman Eden yang
menampilkan pose bugil Anjasmoro dan kawan-kawannya tidak luput dari hujatan keras dari
kaum pendukung seni untuk sesuatu di luar seni. Mulai Maret 2008 Pemerintah Republik
tercinta ini (Indonesia), demi menjaga supaya generasi mudatidak rusak parah moralitasnya
menutup situs pornografi maupun pornoaksi dalam dunia internet, adalah sikap dan gerak nyata
anti seboyan seni untuk seni
Seni untuk seni yang produksi seninya dinilai seronok oleh masyarakat tidak akan menjadi
masalah manakala semua orang mendukung paham itu. Mungkinkah ini bisa terjadi ? rasanya
5

tidak mungkin atau malah pasti tidak mungkin. Manusia tidak bisa diseragamkan dalam paham
seni. Justru kebanyakan manusia tidak sadar akan dunia seni atau malah tidak menyadarkan diri
akan dunia seni. Bagi mereka, sebagian berpendirian bahwa yang penting tuntutan ekonomi
dasar (pangan, sandang, papan). Seni bagi kebanyakan orang adalah komoditas mewah. Orangorang semacam ini biasanya dalam penghayatan agama juga terbatas pada aturan-aturan pokok
kehidupan agama seperti pelaksanaan ritus dalam Islam. Agama, dalam kasus Islam dilihat
melalui tolok ukur wajib-haram, sunnah-makruh, dosa-memperoleh pahala, ketika melihat
patung naturalis bugil di pusat keramaian, tidak dipandang sebagai karya seni yang indah,
melainkan dihukumi haram, dosa, dan membinatangkan manusia.
Jadi, sebenarnya doktrin seni untuk seni bukanlah sesuatu yang ideal, justru ditentukan oleh
persoalan-persoalan eksternal non seni, seperti etika jika harus dihadapkan dengan etika sebagai
lawan seni. Seni menjadi sesuatu yang menentang kodrat Ilahi. Tujuan utama keutusan para
Nabi dan Rasul sepanjang sejarah manusia justru mengenai etika. Nabi dan Rasul terakhir Islam
adalah Muhammad saw (570:622) mengaku bahwa tugas pokoknya sebagaimana ia katakan
adalah sebagai berikut: . . . ( ( ) Aku diutus hanyalah
utuk menyempurnakan kebaikan akhlak. H.R. al-Laisi dari Malik bin Anas). Seni menjadi
bagian integral dalam risalah kenabian Muhammadsaw.
Suatu hal lain menjadi kelemahan doktrin seni untuk seni adalah menyaksikan alam semesta,
yang menurut pandangan iman adalah refleksi karya Agung Sang Maha Pencipta, dipandang
sebagai sesuatu yang statis dan tidak bermakna karena lepas dari sensasi-sensai keindahan dari
sang seniman. Flaubert si pendukung mazhab ini amat membenci kenyataan. Keindahan
pegunungan Alpen tidak menimbulkan daya tarik baginya. Baudelaire menatap alam dalam
penampakan keaslinya, ia pandang sebagai sesuatu yang monoton dan menjemukan.
Menurutnya, seni harus berhubungan nilai absolut dan tertingi yaitu dipakai untuk menggantikan
filsafat dan agama (Syarif, l984 : 116). Kalau sudah sampai tahap begini, seniman tidak bisa
menjadi filosof dan agamawan, demikian sebaliknya. Tidak pula ia menjadi seniman yang
berdoktrin Seni untuk seni secara setengah-setengah dan menjadi agamawan atau filosof
setengah-setengah. Menjadi agamawan setengah-setengah adalah fasiq yang secara praktis
adalah rusak. Bahkan, arti fasiq semula adalah sesuatu yang keluar dari kulitnya atau keluar dari
perlindungan. Fasiq dalam arti agama berarti keluar dari ketaatannya pada Aallah (Anis,II :
687). Kalau agama seniman yang menjunjung tinggi doktrin seni untuk seni dan ia amat kuat
dukungannya, sementara ia adalah seorang agamawan, boleh jadi ia kurang kesadarannya
terhadap agamanya. Dalam kasus Islam, agama ini menuntut kepada pemeluknya supaya masuk
ke dalam Islam secara total dan menyheluruh. Demikian seruan Alquran:

(Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya, dan janganlah
kamu turuti langkah-langkah syetan. Sesungguhnya syetan itu musuh yang nyata bagimu. Q.S.
al-Baqarah/2 : 228)
Dalam ayat ini, dapat dipahami bahwa ketika seseorang memeluk agama Islam secara tidak
totalitas, sisanya adalah pengikut langkah syetan. Dengan demikian seniman yang menjunjung
tinggi doktrin seni untuk seni hingga tahap menepikan filsafat dan agama menurut pandangan
Islam seni itu adalah seni syetan. Karen itu sebagai seorang agamawan masih dalam taraf
awam, dan belum mencapai tingkatan ulama saya menghimbau kalau di tanah air ini ada
seniman yang bermazhab secara berat seni untuk seni dan mereka ini memeluk agama,

khususnya Islam, hendaklah anda bertaubat dan pindah kepada paham seni yang fungsionalisreligius.
Seandainya harus dicari manfaatnya dari doktrin seni untuk seni sebenarnya masih ada, tetapi
amat terbatas dan sifatnya terapiutik yang dalam hasanah Froedian termasuk orang-orang gila
yang asyik dengan dunianya sendiri dan tidak hirau dengan dunia sekelingnya. Segi positif yang
lain adalah karya ciptaannya selalu fres, orisinal, dan kreatif karena anti naturalisme. .
1. 2.

Seni Untuk Sesuatu (Seni Fungsionalsme)

Islam sebagai salah satu agama besar dunia dan yang paling belakangan menyatakan bahwa
Alquran diturunkan untuk menjelaskan segala sesuatu. Dalam hal ini Allah berfirman:
( Dan Kami turunkan kepadamu sebuah Kitab untuk menjelaskan segala
sesuatu, Q.S. 16 : 138). Sudah barang tentu bukan dalam arti penjelasan teknis dan detail yang
diberikan oleh Alquran, melainkan hanya prinsip-prinsip dasarnya. Keluasan jangkauan Islam ini
diakui juga oleh Orientalis seperti H.A.R. Gibb dengan pernyataannya: Islam is much more
than system of theology. It is a complite civilization. Noor Cholish Madjid menyatakan Islam
sebagai agama doktrin dan peradaban. Point yang diperoleh dari premis ini adalah Islam
mengandung soal seni. Kandungan ini amat kecil barangkali sehingga amat samar dan akibatnya
sulit memotret secara jelas apa itu seni Islam, bagaimana umat Islam mengapresiasi kesenian
yang semuanya menjadi wacana yang hangat yang secara keseluruhan atau sekurang-kurangnya
secara mayor mencurigai seni.
Bolehlah dikatakan bahwa Islam ya terhadap seni, tetapi seperti apa ? Jawaban pertanyaan ini
dapat dijelaskan dalam dua level, operasional dan konsepsional tentang seni.
1. a.

Devinisi

Inti ajaran Islam dalam rumusan verbal dan perbandingan antar agama-agama adalah tauhid.
Essensi tauhid adalah meng-Esa-kan Tuhan, bukan hanya dalam level keyakinan, melainkan
total kehidupan. Karena itu, fenomena apa pun yang berlabel Islam pasti dan harus berasal,
beroperasional, dan bermuara pada tauhid. Islam yang sumber ajaran pokoknya Alquran dan asSunnah, dan kandungannya menyediakan pembentukan kebudayaan lengkap. Semuanya
terbawahkan oleh posisi tauhid. Tauhid berada di puncak piramida sesuatu yang disebut Islam.
Atas dasar alur pikir ini mendevinisikan seni Islam kiranya dapat dipahami.
Seni Islam dapat didevinisikan sebagai segala produk historis yang memiliki nilai eistetis yang
telah dihasilkan oleh orang-orang Islam dan dalam kurun sejarah Islam, berdasarkan pandangan
eistetika tauhid dan selaras dengan semangat keseluruhan peradaban Islam, dengan enam ciri
yang diambilkan dari ideal Alquran: abstraksi, struktur modular, kombinasi suksesif, repetisi,
dinamis, dan rumit (Alfaruqi, l999 : vii-viii). Pertama-tama yang harus disadari dalam devinisi
ini adalah sifatnya yang aplikatif dalam arti mengabstraksi prestasi seni yang telah dicapai,
meskipun dapat juga dikenakan sebagai kerangka paradigmatik. Penjelasan keenam ciri tersebut
adalah sebagai berikut:
1). Abstraksi
Yang dimaksuds ciri abstraksi dalam seni Islam adalah pengingkaran naturalisme dan
pencegahan menghadirkan fenomena natural dalam karya seni, khususnya adala seni patung.
Kalau pun harus akan mencipta karya-karya figuratif alami harus diupayakan denaturalisasi
7

(Alfaruki, 1999 : 8). Demikian inilah diagnosa pengamat seni Islam. Iqbal yang filosof dan
seniman (Syarif, 1973 : 99) menyarankan bahwa seni yang benar adalah seni yang bebas dari
belenggu alam (Darb-I Kalim : 115). Seni yang meniru alam dianggap pengemis di depan pintu
alam. Dalam idea Insan Kamil, Iqbal menggubah syair yang potongannya sebagai berikut:

Thou dist Create night and I made the lamp

Thou dist Create cly and I made the cup

Thou dist Create desert, mountains, and forrests

I produce the orchards, gardens, and grocests

It is I who turneth stone intoa mirror

And it is I who turneth possion into an antitode

(Audah, 1981: xvi, Danusiri, 1996 : 139, mengutip dari Iqbal)


Dalam bait tersebut nampak jelas bahwa hasil karya yang dikehendaki adalah sama sekali baru
dan orisinal, tidak dublikatif, tidak pula meniru dari yang sudah ada.
Secara kebetulan banyak teks hadis Nabi Muhammad yang mencela seniman yang berkarya
secara naturalis mu;lai tingkat rendah hingga amat berat, padahal sabda-sabda tersebut diyakini
kebenarannya secara mutlak oleh umat Islam karena memang itu juga wahyu. Diantara teks-teks
yang dimaksud adalah:
(1) Allah melaknat seniman naturalisme: Laana . . . almus}awwir (Allah melaknat . . .
pematung/naturalis H.R. al-Bukhari dari Ibnu Juh}aifah).
(2) Malaikat menjauh dari rumah yang di dalamnya ada patung naturalis. Demikian sabda
Rasulullah:
( ) :
Artinya:
Sesungguhnya malaikat tidak akan masuk pada rumah yang di dalamnya ada patung naturalis;
H.R. al-Bukhari dari Ibnu Abbas). Hadis ini tercatat hingga 49 kali.
(3) pembuat patung naturalis akan disiksa

(dan sesungguhnya orang yang membuat patung (naturalis) akan disiksa besok pada hari
kiyamat; H.R. al-Bukhari dan Muslim)
(4) Siksaan, pada nomor tiga di atas amat pedih:

.
(Sesungguhnya diantara yang amat berat siksaannya adalah orang yang memahat menyerupai
atau menyamai ciptaan Allah; H.R. al-Bukhari dan Muslim).
(5) Pematung naturalis memang menjadi penghuni neraka:
.
(Sesungguhnya sebagian penduduk neraka besok pada hari kiyamat untuk mendapat siksa yang
amat berat adalah para seniman naturalis; H.R. Muslim).
(6). Pematung naturalis dituntut untuk memberi nyawa atau menghidupkan hasil karyanya:
). ) (
(.
(Barang siapa membuat patung naturalis di dunia, ia dituntut untuk meniupkan roh di dalamnya
besok pada hari kiyamat, padahal ia tidak bisa meniupnya, H.R. Muslim dari Ibnu Abbas; atau
beliau bersabda: Hidupkanlah! H.R. al-Bukhari).
Dalam memahami ancaman tersebut hendaklah mempetimbangkan dua keadaan: pertama, Nabi
amat sensitif terhadap patung. Islam, ketika pertama kali menguasai kota Makkah (fath} alMakkah) benar-benar tegas dalam melakukan pemberantasan terhadap patung (al-asna>m). Di
sekeliling kabah tidak kurang dari 360 buah, belum lagi di tempat-tempat lain. Patung-patung
ini menjadi sarana atau objek penyembahan dan poengorbanan kepada para dewa (ilah).
Sementara Islam memperkenalkan tauhid. Jadi, penghancuran ini dilakukan supaya orang tidak
musyrik. Jika karya patung naturalis tidak dalam konteks sebagai sarana penyembahan,
pengorbanan, atau sebagai ruitus-ritus keagamaan, tentunya lain ceritanya. Penjelasan demikian:
Seandainya berkarya seni patung naturalisme harus ditetapkan putusan hukumnya, haram itulah
penetapannya karena (1) Allah dan Rasulullah melaknat, (2) Allah dan Rasulullah memberi
ancaman siksaan besok di hari akhir, (3) Rasulullah sama sekali tidak pernah melakukannya.
Sesuatu diharamkan itu karena mengandung mad}arat bagi pelaku yang diputusi haram. Jika
tidak pernah melakukannya justru memperoleh manfaat, sekalipun bersifat janji-janji
eskatologis. Tetapi, di dalam proses penetapan hukum dalam Islam itu berlaku kaidah bahwa,
Hukum itu tergantung pada illat ; sebab, konteks, alasannya: ( Zahra, 1958 :
224,250). Jika patung naturalis dibuat tidak dalam konteks sarana atau dalam penyembahan dan
pengorbanan, atau secara umum ritus-ritus sakral, alasan menetapkan hukum haram pada
patung naturalis tidak cukup. Kedua, alam dengan segala isinya natural adalah ciptaaan dan
hak paten Allah swt. Wajar jika orisinalitas ciptaannya ditiru orang yang itu adalah juga
makhluk-Nya. Dalam dunia manusia saja, karya yang telah ada hak patennya, tidak boleh
dijiplak atau dibajak, kecuali telah mendapat ijin pengarang atau pembuat aslinya. Ini
sebenarnya mengandung ajaran supaya seorang seniman senantiasa berkarya kreatif dan orisinal.
Meskipun deminian, masih ada peluang bagi orang Islam untuk membuat karya patung bukan
yang bernyawa. Dalam hal ini Rasulullah bersabda:
( Beliau bersabda: jika kamu terpaksa harus membuat
patung naturalis, maka buatlah pohon atau sesuatu lain yang tidak bernyawa; H.R. Muslim dari
Ibnu Abbas).
9

2). Struktur modular


Karya seni Islam tersusun atas berbagai bagian atau modul yang dikombinasikan untuk
membangun rancangan atau kesatuan yang lebih besar. Masing-masing modul ini adalah sebuah
entitas yang memiliki keutuhan dan kesempurnaan diri, yang memungkinkan mereka untuk
diamati sebagai sebuah unit ekspresif dan mandiri dalam dirinya sendiri maupun sebagai bagian
penting dari kompleksitas yang lebih besar.
Ciri ini bisa dipadatkan dalam term ekspresionisme. Hanya saja, kadang-kadang seorang
seniman tidak bisa mengontrol karya seninya secara utuh. Kalimuddin menulis demikian:
An artist may not know anything about the nature of art. The process of cration is often
incomprehensible to the artist. He created, and be creates in a particular manner, but very often
he can not explain why he work in a certain way and not other. He knows he is right; he feels it
in his hones that a thing should be just so that the least alternation would spoil it, but for the life
of him he can not give any clear and convincing reasons wich would be obvious to critic
(Kalim, 1973 : 249).
Dalam kasus seperti ini sang seniman hanya menyadari bahwa tindakannya benar dan hasil
karyanya indah. Secara etis memang tidak ada masalah dengan hukum, artinya tidak haram
sepanjang ciri-ciri naturalisme tidak ada.
3). Kombinasi Suksesif
Pola-pola infinit seni Islam menunjukkan adanya kombinasi berkelanjutan (suksesif) dari
modular dasar penyusunannya. Elemen-elemen tersebut disusun untuk membangun sebuah
desain lebih besar, utuh, dan independen. Kombinasi tersebut dapat diulang, divariasi, dan
digabung dengn entitas lain yang lebih besar dan lebih kompleks untuk membentuk kombinasi
yang lebih kompleks lagi. Dengan demikian dalam pola infinit tidak hanya ada satu fokus
perhatian eistetis, melainkan terdapat sejumlah penglihatan yang harus dialami ketika
mengamati modul, entitas, atau motif-motif yang lebih kecil. Tidak ada desain yang hanya
memiliki satu titik tolak eistetik, atau perkembangan progesif yang mengarah kepada poinvokal
yang kulminatif atau konklusif. Desain Islam selalu memiliki titik pusat yang tak terhitung
jumlahnya, dan sebuah gaya persepsi internal yang menghilangkan adanya permualaan maupun
akhir yang konklusif (Alfaruqi, l999 : 9).
4). Repetisi
Ciri ke empat yang diperlukan dalam rangka menciptakan infinitas dalam sebuah objek seni
adalah pengulangan dalam intesitas yang cukup tinggi. Kombinasi aditif (pertambahan) dalam
seni Islam melakukan berbagai pengulangan motif, modul, struktural maupun kombinasi
suksesif mereka yang nampak terus berlanjut. Kesan abstrak diperkuat dengan pengekangan
individuasi bagi bagian-bagian penyusunannya. Ia juga mencegah modul manapun dalam desain
tersebut untuk lebih menonjol dibanding yang lain.
5). Dinamisme
Seni Islam amat dinamis atas dasar ruang dan waktu. Kombinasi antara keduanya, satu dengan
yang lain lebih mendominasi bisa saja terjadi sepanjang menghasilkan eistetita di bawah siraman
Islam.
10

6). Rumit
Detail yang rumit merupakan ciri ke enam sebuah karya seni Islam. Kerumitan memperkuat
kemampuan suatu pola Arabeks untuk menarik perhatian pengamat dan mendorong konsentrasi
kepada entitas struktural yang diprersentasikannya. Sebuah garis atau figur, selembut apa pun
diolah, tidak akan pernah menjadi satu-satunya ikon dalam rancangan seni Islam. Hanya dengan
multiplikasi elemen-elemen internal serta peningkatan kerumitan penataan dan kombinasi, akan
dapat dihasilkan dinamisme dan momentum pola infinit.
Ke enam ciri tersebut harus selalu ada dalam sebuah karya seni Islam, sifatnya situasional
tergantung macam apa sebuah karya seni hendak dicipta. Dan, ciri-ciri tersebut secara umum
kiranya, dalam tampilan praktis, bukan monopoli seni Islam. Ke enam ciri ini akan lebih
menjadi ciri-ciri yang benar-benar hakiki jika indahnya sebuah karya seni muncul dari
pandangan tauhid atau keindahan yang dapat membawa kesadaran transendensi ilahiah
(Alfaruqi, l999 : vii).
1. b.

Konsepsional Seni

1). Tuhan sebagai Pencipta


Alquran menjelaskan Allah itu adalah wujud yang Transenden, tak ada pandangan dapat
melihatnya, dan di atas segala perbandingan. Dalam hal ini Allah berfirman:

(Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang dia adapat melihat segala yang kelihatan;
Dan Daialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui Q.S. al-Anam/6: 103).
Tidak ada sesuatu apapun seperti Dia. Dia berfirman:

(Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia; dan Dialah Yang Mah Mendengar lagi Maha
Melihat, Q.S. asy-Syuara/42 : 11).
Ia berada di luar jangkauan penjelasan apa pun dan tidfak mungkin dipresentasikan melalui
gambaran (image) antropomorfis, zoomorfis, maupun simbul figural alam (Alfaruqi, 1999: 3).
Ajaran yang terkandung di balik kualitas-kualitas Tuhan seperti dalam dunia seni adalah
pelarangan mengubah karya seni itu dalam berbagai aliran: abstraksionisme, ekspresionisme,
maupun naturalisme tentang Tuhan. Tetapi kualitas Dia adalah pencipta segala sesuatu:
( Dia yang menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara
segala sesuatu, Q.S. az-Zumar/39 : 62).
Kegiatan penciptaan terkadang mencipta dari ketiadaan menjadi ada sesuatu dengan kualitas
mengadakan sesuatu tanpa alat, bahan, waktu, dan ruang (al-Asfahani, l992 : 111), creatio ex
nihillo. Contoh pemakainnya dalam Alquran adalah: ( Dia yang menciptakan
langit-langit dan bumi . . . Q.S. al-Baqarah/2 : 117), atau mencipta sesuatu dari sesuatu yang
sudah ada (al-Asfahani, l992 : 292), transforming matter. Contohnya adalah pernyataan Alquran:

11

( Dia mencipta kamu dari diri yang satu, Q.S. an-Nisa>/4 : 1). Dan:
( Dia mencipta mencipta manusia dari air mani, Q.S. an-Nahl/16 : 4).
Akan tetapi dalam kualitas seperti itu, Dia memperkenalkan diri dalam banyak atribut, antara
lain: (1) Sebagai al-Khaliq dan al-Mus}awwir . Dalam hal ini Allah berfirman:
( Dia adalah Allah yang Maha Mencipta yang Mengadakan, yang
Membentuk rupa, yang Mempunyai nama-nama yang baik, Q.S. al-H}asyr/59 : 4).
Salah satu tajalli (refleksi) al-Mus}awwir adalah membentuk rupa manusia. Dalam hal ini Allah
berfirman:( Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam
bentuk sebaik-baiknya, Q.S. ath-Thin/95 : 4).
Arti general s}awwara dan ensiklopedis adalah jaala lahu s}u>ratan mujassimatan
(menjadikan sesuatu dalam bentuk yang fisikal). Manusia dibentuk secara matrial dalam kelas
yang disebut manusia secara fisika;l, demikian pula aneka jenis mineral, tetumbuhan, binataang,
maupun benda-benda angkasa. Semuanya dalam bentuknya yang khas, spesifik, dan tidak ada
bentuk yang benar-benar kembar. Secara pragmatis dan logis masing-masing bentuk fisik yang
serumpun disaebut spisies.
Dalam penampakan ke-wujud-an terjadi tidak secara bim salabim, melainkan secara evolusional
atau sekurang-kurang prosessual, betatapun pelaku s}awwara/mus}awwir (pemberi bentuk) itu
adalah Tuhan. Arti term ini adalah intaqala min h}a>l ila al-ukhra (pindah dari suatu kualitas
kepada yang lain, Anis,I, 531). Contoh pemakaian makna term ini adalah:
. . . ( Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu(Adam), lalu Kami
bentuk tubuhmu, lalu Kami katakan kepada para malaikat:Bersujudlah kamu kapada Adam. . .,
Q.S. al-Araf/7 : 11).
Jika konsep s}awwara diterapkan ke dalam dunia aliran seni, tindak penciptaan dan
pembentukan oleh Tuhan adalah berpola non naturalisme, meskipun hasil jadi ciptaan dan
bentukan Tuhan yang mewujud dalam bentuk alam semesta dengan segala isinya oleh manusia
disebut natura. Tindak Tuhan mencipta dan membentuk disebut non naturalisme karena memang
tidak mencontoh barang yang telah ada.
2). Dia Sebagai Yang Indah
Secara tekstual Nabi saw mengatakan: ( Sesungguhnya Allah Yang
Maha Tinggi dan Maha Agung adalah Indah dan Dia menyukai keindahan, H.R. Ahmad dari
Uqbah bin Amir). Ia (Ahmad) meriwayatkan hadis ini tiga kali dan Muslim satu kali. Itulah
sebabnya indah dalam pandangan Islam berlaku manakala sebuah karya seni dapat membawa
kesadaran pencipta seni maupun penaggapnya kepada idea transendensi ilahiah.
Kalau Nabi saw mengatakan demikian, maka diyakini kebenrannya oleh umat Islam. Dalam
sejarah Islam, para sufi dan sastrawan menghayati dan mencintai Tuhan dalam taraf cinta asketik
dan mengungkapkannya Tuhan sebagai Yang Maha Indah.
Jauh hari sebelum Muhammad saw lahir, Plato telah mengatakan Tuhan sebagai Keindahan
Yang Abadi atau Keindahan Mutlak, good absolut (Syarif, 100; Runes, 1976 : 97), Keindahan
Yang Tertingi, Summum Bonum (Syarif, l984 : 91). Dalam semua wewujudan Tuhan
menampakkan Diri. Demian Syarif menulis:

12

Tuhan sebagai Keindahan Abadi, Yang Ada tanpa tergantung pada dan mendahului segala
sesuatu, dan karena itu menampakkan diri dalam semuanya itu. Dia menyatakan Dirinya di
langit dan di bumi, di matahari dan di bulan, pada kerlip bintang-bintang, dan jatuhnya embun,
di tanah dan di laut, di api dan nyalanya, di batu-batu dan pepohonan, pada burung-burung dan
binatang buas, di wewangian dan nyanyian; tetapi di mana pun Ia menunjukkan Diri, tidak lebih
dari pada yang nampak di mata Salimah, bahkan sebagai Dante; di mana pun, Dia menampakkan
Diri, Dia tidak lebih dari pada yang tampak pada Beatrice. Seperti halnya besi ditarik oleh
magnet, demikian pula segala sesuatu ditarik oleh Tuhan.
Dalam kutipan tersebut tampak jelas pengertiannya bahwa segala ciptaan Allah indah karena
keluar dari Yang maha Indah. Semua ciptaan dan bentukan Allah adalah Master Piece (karya
agung) sehingga Ia tidak malu-malu membuat nyamuk atau yang lebih rendah dari itu (Q.S. alBaqarah/2 : 26) sebagai hasil karya yang lebih bermanfaat dibanding berhala/patung sebagai
sesembahan yang tidak mampu memberi perlindungan apa pun laksana sarang laba-laba (Depag,
l971 : 13).
Hanya saja dalam bahasa dan akal diskursif manusia, sesuatu atau segala sesuatu dalam kajian
seni dibagi secara dikhotomis menjadi indah dan jelek, baik dan buruk, , , dst, orang akan
mengatakan :
Seorang wanita berkulit putih bersih, hidungnya mancung, bermata biru, rambutnya pirang,
atau hitam berkilau, tinggi/langsing akan dikatakan cantik atau indah; semerntara yang berkulit
hitam, hidungnya pesek, bibirnya tebal, rambutnya keriting, tubuhnya besar dan pendek, dan
perutnya buncit tentu akan dikatakan jelek.
Padahal, orang ini juga termasuk Master Piece (karya agung) Tuhan. Itulah sebabnya dalam
aspek moral Nabi Muhammad saw mengatakan demikian:
.
( Sesungguhnya Allah tidak melihat tubuh dan paras rupamu, tetapi
Ahmad, Muslim, dan Ibnu Majah).

melihat hatimu, H.R.

3). Manusia Sebagai Wakil Tuhan


Tuhan menyatakan bahwa makhluk yang bernama manusia dilantik oleh Tuhan
menjadi khalifah fi al-ard}, wakil-Nya di bumi ini (Q.S al-Baqarah/2 : 30-38). Di bumi ini,
manusia merupakan puncak evolusi dari semua makhluk hidup, baik dari segi fisik, intelektual,
maupun spiritual.
Sebagai khalifah di bumi, manusia diberi tugas oleh Allah swt untuk memakmurkan bumi:
. . . (Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan
kamu pemakmurnya (Q.S. Hud/11 : 61) dalam arti manusia diberi kuasa penuh oleh Allah
terhadap bumi ini supaya menjadi makmur.
Supaya bisa melaksanakan tugasnya, manusia diberi akal. Dengan akal manusia bisa
mengembangkan diri jauh melampaui binatang. Selain itu manusia diberi kebebasan, tetapi
dimintai pertanggungjawaban atas kebebasannya (Q.S. al-Kahfi/18 : 29). Kenyataannya, tidak
semua manusia mampu memerankan diri sebagai wakil Tuhan. Mereka malah merusak (Q.S. al-

13

Maidah/5 : 32) atau turun derajatnya bagaikan binatang ternak atau lebih rendah dari itu (Q.S.
al-F\urqan/25 : 44), yaitu serendah-rendahnya barang rendah (Q.S. ath-Thin/95 : 5).
Dehumanisasi terjadi karena manusia tidak bisa menjadi wakil Tuhan yang baik. Untuk menjadi
khalifah yang baik, manusia harus menjadi insan kamil (the perfect man). Salah satu kualitas
insan kamil adalah kerja kreatif dan orisinal. jangan hinakan pribadimu dengan tiruan/jagalah
padanya laksana pribadimu intan tak ternilai/setiap orangyang tak kuasa mencipta/ia orang
yang beriman dan zindiq (Iqbal, l979 : 5-6). Dalam bahasa yang amat meledak-ledak, Iqbal
membayangkan bahwa Insan kamil adalah manusia yang dilengkapi Tuhan dengan berbagai
daya tangkap: serapan indra, rasio, dan intuisi dalam kadar yang amat tinggi (Bahrum, l976 :
181). Teman kerja Tuhan di bumi.Be man of God/bear mysteries within/(Jadilah manusia
Tuhan/kandunglah rahasia dalammu; Iqbal, l976 : 58). Iradah atau kehendak manusia utama
adalah se-iradah Tuhan: In his will that which God wills becomes lost (Dalam
kemauannya/iradah Tuhan hilang di dalamnya; Iqbal, 1976 : 69).
Kalau kualitas Tuhan adalah mencipta, maka demikian pula kualitas Insan kamil, dan predikat
Insan kamil oleh siapa saja asal ia melalui jalan yang benar untuk itu, termasuk oleh para
seniman. Seniman yang sejati adalah mencipta karya seni yang bebas dari belenggu alam (Iqbal,
Kalim, 115) dan karyanya bukan seni demi seni, melainkan seni yang fungsionalis
Kalau tujuan Islam turun di muka bumi ini sebagai rahmat dan berkah bagi alam semesta:
( Dan tidak Aku utus engkau (Muhammad), kecuali untuk rahmat bagi
alam semesta: Q.S. al-Anbiya/22 : 107), maka seni, sebagai bagian integral dari Islam., harus
juga sinergi dengan tujuan risalah ini. Itulah yang dimaksud seni dalam pandangan Islam adalah
seni yang fungsionalis. Dalam hal ini Allah berfirman:

Arttinya: Katakanlah :Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah
dikeluarkannya untuk hamba-hamba-Nya (siapa pula yang mengharamkan) rezeki yang baik ?
katakanlah semua itu bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk
mereka saja) di hari kiyamat; Q.S. al-Araf/7 : 32).
Yang dimaksud perhiasan adalah segala sesuatu yang mendatangkan keindahan. Perhiasan
dengan demikian adalah karya seni, dan seni sebagaimana diisyaratkan dalam ayat itu adalah
fungsionalisme, bukan hanya bagi atribut kehidupan orang beriman di dunia, melainkan hingga
ke akhirat kelak.
Akar dari paham fungsionalisme adalah Plato. Menurutnya seni harus mengandung tujuan etis
dan instruksional. Daya magis seni harus digunakan untuk menghasilkan warga yang baik
(Syarif, 1984 : 126). Di Barat, fungsionalisme seni didukung oleh antara lain: Ruskin, Guyau,
Tolstoy, Ibsen, dan Shaw. Mereka menghendaki fungsi seni sebagai perubahan. Dalam Islam,
Iqbal adalah pendukung fungsionalisme yang amat berat. Seni, katamya, adalah sarana ayang
berharga bagi prestasi kehidupan ( Iqbal, Asrar: 42). Menurutnya, menentang apa yang ada
dilandasi keinginan untuk mencipta apa yang seharusnya adalah sikap hidup yang baik ( Syarif,
1984 : 130), dan teman sekerja Tuhan adalah seniman yang menjadi rahmat bagi kemanusiaan
(Syarif, l984 : 1209). Jadi, seniman sejati dalam pandangan Islam adalah seniman yang berkarya
dengan dilandasi kesadaran bertuhan; tangannya digerakkan oleh Tuhan karena pribadinya telah
menyatu dengan Tuhan dan hasil karyanya, tidak hanya menyenangkan karena ini hanya efek
karya seni, melainkan untuk rahmat bagi kemanusiaan. Seniman yang egois dan tidak peka
14

terhadap persoalan kemanusiaan adalah menyalahi kodrat dirinya sebagai wakil Tuhan di muka
bumi ini, yaitu memakmurkannya.
Sekarang ini, dapat disaksikan bahwa penganut fungsionalisme seni dari orang Islam adalah
Noor Mustakim salah satu galery seninya terletak di lereng gunung Muria Kabupaten Kudus
Jawa tengah, dan yang lainnya terletak di Jakarta maupun Yogyakarta. Sebagai seniman, ia
mengaku dalam berkarya selalu berangkat dari kesadaran iman. Tuhan lah yang menggerakkan
tangannya. Pikiran seolah-olah kosong. Dalam beberapa kesempatan dialog dengan saya, ia
berkata:
Setelah tangan memegang kanfas dan instrumen-instrumen lainnya tersedia, tiba-tiba leerr, , ,
leerr, , leerr, , , Dalam keadaan itu, terkadang dalam hati protes, dengan coret-coret sembarang
supaya hasilnya tak karuan. Tetapi hasilnya, ternyata dinilai oleh pengamat dan penghayat seni
amat indah.
Atas dasar pemikiran seperti ini, dan ini biasa terulang, katanya, maka ketika ditanya mana
karyanya yang dianggap sebagai Master Piece, ia mnenjawab bahwa semua karyanya adalah
Master Piece karena ia bekerja atas dorongan iman. Untuk itulah ia berkata: Sesederhana
apapun, ciptaan Tuhan itu indah, dan setiap sentuhan tanganku dalam bentuk apapun adalah
seni yang merupakan karunia-Nya. Inilah barangkali rahasianya, ia tidak menganut paham seni
untuk seni, melainkan seni untuk sesuatu karena datangnya dari Allah. Sementara Allah
mengamanatkan pada manausia supaya menebarkan kemakmuran di bumi.Untuk itu, perlu ada
keterpaduan antara seniman, pengusaha, dan pencinta seni, kata Panoet Harsono, orang yang
pernah menjadi orang nomor satu di Bank Penbangunan Daerah Jawa Tengah.
Sebagai bukti pilihannya yang fungsionalistik, ia berobsesi mendirikan sebuah universitas di
lereng gunung Muria Kudus pantura Jawa Tengah, dengan modal perguruan yang berbasis pada
alam, lalu diolah atas dasar seni dan ditujukan bagi kesejahteraan manusia. Khusunya fakultas
seni bebas dengan berbagai juruasannya akan dibuka pada tahun 2002 2003. hanya saja, obsesi
itu telah menjadi kenyataan atau belum adalah persoalan lain, setidak-tidaknya idea mendirikan
lembaga seni secara legal sebagaimana dipertanyakan Alfaruqi telah direspon, justru di kota
kecil di Jawa Tengah, yaitu di Kudus.
D. Muhammadiyah dan Seni
Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan yang memiliki misi: (1)
Menegakkan keyakinan tauhid yang murni; (2) Menyebarluaskan ajaran Islam yang bersumber
kepada Alquran dan as-Sunnah dan (3) Mewujudkan amal Islami dalam kehidupan pribadi
keluarga, dan masyarakat (Sukaca, 2008 : 4), menghindarkan penyakit TBC+S [tahayyul, bidah,
khurafat, dan syirik) menimbulkan efek pemiskinan kebudayaan, termasuk di dalamnya seni
sehingga secara luas Muhammadiyah kurang diminati oleh masyarakat awam luas.
Muhammadiyah akan mendapat respon di kalangan masyarakat luas jika mampu mencipta karya
seni apa saja, khususnya seni musik yang merakyat, namun tidak bertentangan dengan syariat.
Kawan-kawan di NU mampu berbuat itu. Mereka sangat adabtatif, mampu menggunakan
instrumen yang mestinya bukan alirannya, namun diaransemen demikian apik. Instrumennya
campursari tetapi gubahan iramanya padang pasir. Instrumen karawitan dikolaborasi dengan
samrah atau sebaliknya dapat mencipta karya seni yang dapat dinikmati orang awam. Hanya
saja karena saking luwesnya, aspek akidah kurang menjadi pertimbangan penting sehingga

15

sebuah karya seni sering dikritik oleh mereka yang berasal dari Muhammadiyah sebagai sesuatu
yang berbau syirik.
Dalam Muhammadiyah juga terjadi distorsi. Mereka sering mengritik seni dari segi akidah,
sementara tidak bisa memberikan alternatif, malah sekalian terjun bebas ke dalam musik Barat,
dalam arti instrumen musik yang digunakan sebagai ekspresi seni terbatas pada band. Musisi
Muhammadiyah kurang bisa beradabtatif dengan nuansa musik lokal atau daerah.
Untuk memperoleh efektifitas dakwah amar maruf nahi munkar, Muhammadiyah perlu
menguasai musik-musik lokal di mana mereka berada sehingga, untuk langkah pertama
berdialog dengan masyarakat sekurang-kurangnya tidak mengundang kecurigaan.

16

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Al-Quran al-Karim

Agus Sukaca, Gerakan Pengajian Muhammadiyah, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah,


2008.

M.M. Syarif,(terj.) Iqbal Tentang Tuhan dan Keindahan, Bandung:Mizan, 1984. Ismail
Raji al-Faruqi, (terj.), Seni Tauhid: Esensi dan Ekspresi Estetika Islam, Yogyakarta:
Yayasan Bentang Budaya, 1999.

Abdul Wahhab Azzam, Filsafat dan Puisi Iqbal, Bandung: Pustaka, 1985.

Abi Abdullah Muhammad bin Ismail, Matn al-Bukhari fi H}asyiyat as-Sindhi. Bandung:
Syarikah al-Maarif li ath-Thabb wa an-Nasyr.

Abi Husain bin H}ajjaj al-Kusyairi an-Naisaburi, S}ah}i>h al-Muslim. Indonesia:


Maktabah Dahlan.

Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Ima>m bin Hanbal. Beirut: al-Maktab al-Islami,[t.th].

Muhammad Ashraf, Iqbal as The Thinker. Lahora: Kashmiri Bazar, 1973.

Danusiri, Epistemologi Dalam Tasawwuf Iqbal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

Ibrahim Anis, (et.all.), al-Mujam al-Wasith. Beirut: Dar al-Fikr, l994.

Al-Isfahani, Mufradat Alfa>f al-Qura>an al-Kari>m. Beirut: Dar al-Fikr, l992

Muhammad Abu Zahra, Us}u>l al-Fiqh. Beirut: Dar al-Fikr, l958.

Anas bin Malik, al-Muwaththa. Beirut: Dar al-Fikr, l985.

17

18

You might also like