You are on page 1of 23

MAKALAH EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR

PENYAKIT YANG DAPAT DICEGAH DENGAN IMUNISASI (PD3I)

Dosen Pengampu: dr. Fauziah Elyta M.Si

Oleh :
Kelompok 10
Imraatul Hasni

(1511212001)

Igel Purnama Sari

(1511212002)

Qasmawati Nayli

(1511212036)

Rafida Meilisa

(1511212037)

Meisy Atul Khadijah

(1511212068)

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS ANDALAS
2016

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan nikmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan makalah ini
dengan judul Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunsasi.
Selanjutnya shalawat beserta salam kami sampaikan kepada junjungan umat
muslim sedunia, yakni Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umatnya dari
zaman jahiliyah hingga zaman berilmu yang dapat kita rasakan seperti saat sekarang ini.
Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh Dosen mata
kuliah dari ibu dr. Fauziah Elyta M.Si. Dalam penulisan makalah ini, kami banyak
mengalami rintangan, tantangan, dan hambatan. Namun hal itu dapat dilalui berkat
petunjuk dari Allah SWT serta pihak lain yang ikut membantu. Oleh karena itu, pada
kesempatan kali ini kami mengucapkan terima kasih kepada ibu dr. Fauziah Elyta M.Si
dan semua rekan kelompok 10 yang telah bekerja keras untuk menyelesaikan makalah
ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu,
saran dan kritikan pembaca terhadap makalah ini kami harapkan untuk perbaikan di
masa yang akan dating.

Padang, April 2016

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1
1.1

Latar Belakang.............................................................................................................1

1.2

Rumusan Masalah.......................................................................................................1

1.3

Tujuan..........................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................2
2.1

Pengertian Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi......................................2

2.2

Jenis Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi...............................................2

2.2.1

Difteria.................................................................................................................2

2.2.2

Pertusis.................................................................................................................5

2.2.3

Tetanus Neonatarum.............................................................................................7

2.2.4

Campak..............................................................................................................10

2.2.5

Polio...................................................................................................................12

2.2.6

Hepatitis B..........................................................................................................15

Kelompok yang rentan terhadap infeksi VHB..................................................................16


Pencegahan.......................................................................................................................16
BAB III PENUTUP.................................................................................................................19
3.1

Kesimpulan................................................................................................................19

3.2

Saran..........................................................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................20

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Imunisasi diperkirakan dapat mencegah 2,5 juta kasus kematian anak per tahun di
seluruh dunia dapat dicegah dengan imunisasi (WHO, UNICEF, & World Bank, 2009).
Di Indonesia, imunisasi merupakan kebijakan nasional melalui program imunisasi.
Imunisasi masih sangat diperlukan untuk melakukan pengendalian Penyakit yang Dapat
Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I), seperti Tuberkulosis (TB), dipteri, pertusis (penyakit
pernapasan), campak, tetanus, polio dan hepatitis B.
Program imunisasi sangat penting agar tercapai kekebalan masyarakat (population
immunity). Program Imunisasi di Indonesia dimulai pada tahun 1956 dan pada tahun
1990, Indonesia telah mencapai status Universal Child Immunization (UCI), yang
merupakan suatu tahap dimana cakupan imunisasi di suatu tingkat administrasi telah
mencapai 80% atau lebih. Saat ini Indonesia masih memiliki tantangan mewujudkan
100% UCI Desa/Kelurahan pada tahun 2014 (Pusat Komunikasi Publik, 2011). Kasus
polio sudah tidak ditemukan lagi di Indonesia sepanjang lima tahun terakhir ini. Tetapi
upaya eradikasi polio masih harus dilanjutkan untuk mewujudkan Indonesia Bebas Polio,
sebagai bagian dari upaya eradikasi polio regional dan global. Untuk kasus tetanus
maternal dan neonatal telah dinyatakan mencapai tahap eliminasi oleh Organisasi
Kesehatan Dunia atau WHO di sebagian wilayah Indonesia. Selain itu, langkah-langkah
mewujudkan reduksi dan eliminasi campak di Indonesia masih harus dilaksanakan.

1.2

Rumusan Masalah
1. Apa itu PD3I ?
2. Peyakit-penyakit apa saja yang dapat dicegah dengan imunisasi ?
3. Bagaimana penanggulangan penyakit tersebut ?

1.3

Tujuan
1. Dapat mengetahui apa itu PD3I.
2. Dapat mengetahui peyakit-penyakit apa saja yang dapat dicegah dengan imunisasi.
3. Dapat mengetahui cara penanggulangan penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi

BAB II
PEMBAHASAN
2.1

Pengertian Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi


Imunisasi adalah suatu cara untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan
seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila kelak ia terpapar dengan
penyakit tersebut tidak akan sakit atau sakit ringan. (Depkes RI, 2005). Imunisasi adalah
suatu tindakan untuk memberikan kekebalan dengan cara memasukkan vaksin ke dalam
tubuh manusia, untuk mencegah penyakit. (Depkes-Kessos RI, 2000).
Kegiatan imunisasi di Indonesia di mulai di Pulau Jawa dengan vaksin cacar pada
tahun 1956. Pada tahun 1972, Indonesia telah berhasil membasmi penyakit cacar. Pada
tahun 1974, Indonesia resmi dinyatakan bebas cacar oleh WHO, yang selanjutnya
dikembangkan vaksinasi lainnya. Pada tahun 1972 juga dilakukan studi pencegahan
terhadap Tetanus Neonatorum dengan memberikan suntikan Tetanus Toxoid (TT) pada
wanita dewasa di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sehingga pada tahun 1975 vaksinasi TT
sudah dapat dilaksanakan di seluruh Indonesia. (Depkes RI, 2005).

2.2

Jenis Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi

2.2.1

Difteria
Difteria adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil, faring,

laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang
konjungtiva atau vagina. Timbulnya lesi yang khas disebabkaan oleh Cytotoxin spesifik
yang dilepas oleh bakteri. Lesi nampak sebagai suatu membran asimetrik keabu-abuan
yang dikelilingi dengan daerah inflamasi. Tenggorokan sakit sekalipun pada difteria
faucial atau pada Difteria faringotonsiler, diikuti dengan kelenjar limfe yang membesar
dan melunak. Pada kasus-kasus yang sedang sedang dan berat ditandai dengan
pembengkakan dan oedema di leher dengan pembentukan membran pada trakea secara
ekstensi dan dapat terjadi obstruksi jalan nafas. Difteri disebabkan oleh dua jenis bakteri,
yaitu Corynebacterium diphtheriae dan Corynebacterium ulcerans. Masa inkubasi (saat
bakteri masuk ke tubuh sampai gejala muncul) penyakit ini umumnya dua hingga lima
hari. Gejala-gejala yang mengindikasikan penyakit ini meliputi:
a. Terbentuknya membran abu-abu yang menutupi tenggorokan dan amandel.
b. Demam dan menggigil.
c. Sakit tenggorokan dan suara serak.
d. Sulit bernapas atau napas yang cepat.
2

e. Pembengkakan kelenjar limfa pada leher.


f. Lemas dan lelah.
g. Hidung beringus. Awalnya cair, tapi lama-kelamaan menjadi kental dan terkadang
berdarah.
Distribusi
Penyakit ini muncul terutama pada bulan-bulan dimana temperatur lebih dingin di
negara subtropis dan terutama menyerang anak-anak berumur di bawah 15 tahun yang
belum diimunisasi. Di negara tropis vaariasi musim kurang jelas, yang sering terjadi
adlah infeksi subklinis.
Di Amerika serikat pada tahun 2980 hingga 1998, kejadian difteria dilaporkan ratarata 4 kasus setiap tahunnya; dua pertiga dari orang yang terinfeksi kebanyakan berusia
20 tahun atau lebih. KLB yang sampai lus terjadi di Federasi Rusia pada tahun 1990 dan
kemudian menyebar ke negara-negara yang lain dahulu bergabung dalam Uni Soviet dan
Mngolia.
Faktor resiko yang mendasari terjadinya difteri dikalangan orang dewasa adalah
menurunnya imunitas yang didapat karena imunisasi pada waktu bayi, tindak lengkapnya
jadwa imunisasi oleh karena kontraindikasi yang tidak jelas adanya gerakan menentang
imunisasi serta menurunnya tingkat sosial ekonomi masyarakat.
Di Indonesia,dari data 5 rumah sakit di Jakarta, Makassar, Semarang dan
Palembang, selama 1991 1996,dari 473 pasien difteria, terdapat 45% usia balita, 27% <
1 tahun, 24%usia 5 9 tahun dan 40 % usia di atas 10 tahun, berdasarkan suatu KLB di
kota Semarang.
Penularan
Cara penularan adalah melalui kontak dengan penderita atau Carrier, jarang sekali
penularan melalui peralatan yang tercemar oleh Discharge dari lesi penderita difteria.
Susu yang tidak di pasteurisasi dapat berperan sebagai media penularan.Penularan
penyakit terjadi melalui dropet saat penderita (karier) batuk, bersin, dan berbicara. Akan
tetapi, debu atau muntahan juga bisa menjadi media penularan. Kuman difteria masuk ke
dalam tubuh manusia melalui mukosa atau selaput lender. Kuman akan menempel dan
berkembang biak pada mukosa saluran napas atas. Selanjutnya akan memproduksi toksin

yang merembes dan menyebar ke daerah sekitar dan keseluruh tubuh dengan melalui
pembuluh darah dan limfe. Masa inkubasinya adalah 2-5 hari.
Pengobatan
Pasien harus dirawat di ruang isolasi rumah sakit untuk menghindari penularan
pasien lainnya. Pengobatan ditujukan untuk memulihkan pasien akibat peradangan dan
toksin bakteri itu sendiri, yang terdiri dari :
a. Diptheriae Anti Toxin (DAT/Anti Difteri Serum ADS) merupakan anti toxin yang
bisa di produksi dari serum kuda dan akan mengikat toksin dalam darah namun tidak
dalam jaringan. DAT diberikan pada pasien tanpa menunggu konfirmasi hasil
laboratorium.

b. Antibiotik Eritromisin atau Penisilin diberikan untuk terapi forilaksis. Pengobatan


tersangka Difteria bertujuan untuk menekan penularan penyakit.
c. Kortikosteroid, untuk mencegah dan mengurangi peradangan.
Pencegahan Dan Pemberantasan
a. Pencegahan

Kegiatan penyuluhan kepada masyarakat terutama kepada orang tua tentang


bahaya dari difteria dan perlunya imunisasi aktif diberikan kepada bayi dan anakanak

Tindakan pemberantasan yang efektif adalah dengan melakukan imunisasi aktif


secara luas dengan Diphtheria toxoid (DT). Imunisasi dilakukan pada waktu bayi
dengan vaksin yang mengandung Diphtheria toxoid.

Setiap bayi (0-1 tahun) perlu diberi vaksin DPT sebanyak tiga kali yang dimulai
dan diulangi lagi setelah anak berumur 6-7 tahun melalui program BIASA (Bulan
Imunisasi Anak Sekolah) di sekolah dasar

b. Penanggulangan
4

Imunisasi sebaiknya dilakukan seluas mungkin terhadap kelompok yang berisiko


terkena difteria akan emberikan perlindungan bagi bayi dan anak-anak
prasekolah. Jika wabah terjadi pada orang dewasa, imunisasi dilakukan terhadap
orang yang paling berisiko terkena difteria. Ulangi imunisasi sebulan kemudian
untuk memperoleh sekuarng-kurangnya 2 dosis.

Lakukan identifikasi terhadap mereka yang kontak dengan penderita dan mencari
orang-orang yang berisiko. Di lokasi yang terkena wabah dan fasilitasnya
memadai, lakukan penyelidikan epidemiologi terhadap kasus yang dilaporkan
untuk menetapkan diagnosis dari kasus-kasus tersebut dan untuk mengetahui
biotipe dan toksisitas dari C.diphtheriae.

c. Pencegahan dengan Vaksinasi


Langkah pencegahan paling efektif untuk penyakit ini adalah dengan vaksin.
Pencegahan difteri tergabung dalam vaksin DPT. Vaksin ini meliputi difteri, tetanus, dan
pertusis atau batuk rejan.
Vaksin DPT adalah salah satu dari lima imunisasi wajib bagi anak-anak di
Indonesia. Pemberian vaksin ini dilakukan lima kali pada saat anak berusia dua bulan,
empat bulan, enam bulan, 1,5-2 tahun, dan lima tahun.
Perlindungan tersebut umumnya dapat melindungi anak terhadap difteri seumur
hidupnya. Tetapi vaksinasi ini dapat diberikan kembali pada saat anak memasuki masa
remaja atau tepatnya saat berusia 11-18 tahun untuk memaksimalisasi keefektifannya.
Penderita difteri yang sudah sembuh juga disarankan untuk menerima vaksin karena
tetap memiliki risiko untuk kembali tertular penyakit yang sama.
2.2.2 Pertusis
Pertusis adalah penyakit infeksi saluran nafas akut yang terutama menyerang anak
atau pertusis adalah batuk yang intensif, sehingga penyakit itu sering disebut batu
rejan/whoping coug/tusin/quinta/violent cough/ batuk 100 hari karena sifat batuknya
yang lama dan khas. Penyakit ini sudah ditemukan sejak tahun 1578, meskipun kuman
penyakitnya sendiri baru diketahui tahun 1908 oleh Bordet dan Geogou.

Etiologi.
5

Penyebab

pertusis

adalah

Bordetella

pertusis

atau

Hemopilus

pertusis.

Bordetella pertusis adalah suatu kuman yang kecil ukuran 0,5-1 um dengan diameter 0,20,3 um , ovoid kokobasil, tidak bergerak, gram negative , tidak berspora, berkapsul
dapat dimatikan pada pemanasan 50C tetapi bertahan pada suhu tendah 0- 10C dan bisa
didapatkan dengan melakukan swab pada daerah nasofaring penderita pertusis yang
kemudian ditanam pada media agar Bordet-Gengou.
Epidemiologi
Tersebar diseluruh dunia . ditempat tempat yang padat penduduknya dan dapat
berupa endemic pada anak. Merupakan penyakit paling menular dengan attack rate 80100 % pada penduduk yang rentan. Bersifat endemic dengan siklus 3-4 tahun antara juli
sampai oktober sesudah akumulasi kelompok rentan, Menyerang semua golongan umur
yang terbanyak anak umur , 1tahun, perempuan lebih sering dari laki laki, makin muda
yang terkena pertusis makin berbahaya. Insiden puncak antara 1-5 tahun, dengan
persentase kurang dari satu tahun : 44%, 1-4 tahun : 21%, 5-9 tahun : 11%, 12 tahun
lebih: 24% ( Amerika tahun 1993).
Masa Inkubasi
Masa inkubasinya 6 20 hari dengan rata-rata 7 hari. Manusia merupakan satusatunya penjamu organisme ini.
Penularan
B.pertusis sangat menular, disebarkan dari individu ke indvidu lewat udara yang
terinfeksi saluran pernafasan pasien, dan mengendap di 70-100% alat rumah tangga yang
berada di sekitar pasien. Masa inkubasinya sekitar 6-20 hari. Umunya 14 hari. Infeksi ini
ditularkan sangat tinggi di awal tahap lendir sebelum batuk rejan dimulai. Setelah itu,
infeksi menurun dan hilang sendiri 3 minggu kemudian. Jika diobati dengan antibiotik
makrolid, periode ketidak-aktifn ini bisa bertahan 5 hari atau kurang setelah diobati.
Antibodi maternal (ibu) tidak melindungi bayi yang abru lahir dari infeksi. Serangan
berat dialami bayi di bawah usia 6 bulan kemudian anak-anak di bawah usia 5 tahun,
sementara di usia lebih dari itu serangan tidak terlalu berat. Kekebalan seumur hidup
tidak terjamin meski pasien baru saja sembuh dari penyakit, sementara vaksin hanya bisa
menutupi serangan sampai 70-80% saja.
6

Pengobatan
Pengobatan untuk penghentian adalah :
a. Antibiotik : Eritrimisin atau Penislin
b. Suportif pengencer dahak, oksigen, bila perlu
c. Simtomatik lainnya
Penanggulangan
a. Memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang bahaya batuk rejan dan
keuntungan dari memberikan imunisasi di usia bayi 2 bulan dan mengikuti jadwal
imunisasi (DTPa di usia 2, 4, dan 6, laluidi usia 4 dan 1 tahun). Imunisasi boleh
ditunda karena serangan infeksi lain atau keterlibatan gangguan neorologis yang
lain. Infeksi pernafasan minor bukan kontra-indikasi bagi imunisasi.
b. Ibu hamil dilarang dekat dengan penderita batuk apapun, khususnya batuk rejan
karena bisa menulari ibu dan janinnya. Jauhkan anak bayi usia di bawah usia 12
bulan dari setiap orang dewasa yang batuk.
c. Waspadai anak yang dititipkan di pusat kegiatan anak atau di sekolah. Jika ada
gejala pertusis, segera periksakan ke dokter.
2.2.3 Tetanus Neonatarum
Tetanus adalah penyakit kekakuan otot (spasme) yang disebabkan oleh oksitosin
(tetanospamin) dari organisme penyebab penyakit tetanus dan bukan oleh organismenya
sendiri. Tetanus neonatorum merupakan masalah kesehatan di berbagai neara
berkembang, terutama negara dengan pelayanan ibu hamil dan imunisasi yang masih
terbatas. Sebagian besar kasus bayi dengan tetanus neonatorum terjadi karena persalinan
di luar rumah sakit dan ditolong oleh dukun bayi tradisional.
Distribusi
Tetanus neonatorum merupakan masalah kesehatan disebagian besar negara
berkembang dimana cakupan pelayanan kesehatan antenatal dan imunisasi TT kepad ibu
hamil masih rendah. Selam lima tahun terakhir insiden Tetanus neonatorum di negaranegara berkembang menurun dengan drastis karena pemberian imunisasi TT kepada ibu
7

hamil walupun telah terjadi penurunan drastis, namun WHO masih mencatat 500.000
kematian tetanum neonatorum terjadi setiap tahun di negara-negara berkembang.
Sebagian besar bayi yang terkena tetanus biasnya lahir dari ibu yang tidak pernah
mendapatkan imunisasi TT dan ditolong oleh dukun beranak di luar rumah sakit.
Penyakit tetanus muncul biasanya disebabkan oleh masuknya spora tetanus melalui
puntung tali pusat yang dipotong dengan alat yang tidak steril atau karena diberi ramuanramuan yang terkontaminasi oleh spora tetanus. Di negara berkembang tali pusar
seringkali dipotong dengan pisau dapur ata sembilu dan pemberian ramu-ramuan seperti
kunyit dan abu dapur sering merupakan bagian dari ritual pada masyarakat tertentu
ditujukan untuk bayi yang baru lahir. Gejala utama pada tetauns neonatorum bayi tidak
bisa minum susu.
Penyakit tetanus menyerang seluruh dunia dengan angka kematian yang masih
tinggi terutama negara berkembang. Di Indonesia, angka insidensi tetanus di daerah
perkotaan sekitar 6 7/1000 kelahiran hidup, sedangkan di daerah oedesaan angkanya
lebih tinggi sekitar 2-3 kalinya yaitu 11 23/1000 kelahiran hidup dengan jumlah
kematian kira-kira 60.000 bayi setiap tahunnya. Alasan yang paling mungkin ialah
adanya perbedaan kemudahan menjangkau fasilitas pelayanan kesehatab, tingkat
pengetahuam, dan kesadaran, masyarakat untuk ceat merujuk anak kepuskesmas, serta
kesulitan geografis antar perkotaan dan pedesaan.
Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Clostridium tetani, yang merupakan bakteri
gram-positif berbentuk batang dengan spora pada sisi ujungnya. Bakteri tetanus bersifat
Obligat Aneorob, yaitu berbentuk vegetative pada lingkungan tanpa oksisgen dan rentan
terhadap panas serta disinfektan. Pada bentuk vegetatif bakteri dapat bergerak aktif
dengan flagela serta menghasilkan eksotosin. Pada lingkungan yang tidak kondusif
bakteri akan membentuk spora yang tahan pada panas termasuk perebusan, kekeringan,
serta berbagai disinfektan. Spora dapat bertahan hidup bertahun-tahun dan berbeda
dimana saja seperti tanah, debu, serbuk, antiseptic, bahkan pada peralatan operasi.

Penularan

Tetanus tidak ditularkan antar manusia dan bukan lewat rute feses-oral. Spora
tetanus baru masuk jika ada luka di ulit atau ada benda tajam berkarat atau tidak steril
yang masuk menembus kulit dan sampai di pembuluh darah. Benda berkarat
menunjukkan kondisi kelembaban dan suhu udara yang cocok bagi pertumbuhan spora
tetanus. Khusunya jika besi berkarat itu tergeletak di tanah, maka kemungkinan infeksi
jauh lebih besar jika kita tanpa sengaja menginjaknya. Spora tetanus bisa terus
menginfeksi selama bertahun-tahun di tanah gembur yang terkontaminasi feses manusia
dan hewan yang terinfeksi.
Setiap manusia bisa terserang tetanus, tapi yang sudah mendapat imunisasi DPT
tidak lagi terjadi penularan. Meskipun begitu, imunisasi hanya memberikan perlindungan
aktif selama 10 tahun, setelah itu perlindungan pasif lewat antibodi tubuh. Kesembuhan
setelah infeksi tidak menjamin kekebalan tubuh, karena itu setelah sembuh pasien tetanus
tetap harus divaksin untuk menambah kemampuan tubuh melawan reinfeksi.
Penanggulangan
a. Meminta imunisasi dan vaksin DPT bagi balita, usia remaja 15-17 tahun dan di usia 50
tahun.
b. Segera mengeringkan dan menutup luka dikulit, kalau hendak mengolah tanah gembur
sebaiknya memakai sarung tangan dan sepatu
Pengobatan
Merumahsakitkan pasien agar mendapatkan penanganan intensif, karena tingkat
kematian penyakit iini mencapai 90%. Obat biasanya digunakan untuk mengatasi tetanus
adalah :
-

Memberikan TIG (tetanus imunoglobin) lewat suntik

IV penisilin dosis besar selama 10-14 hari. Memberikan metronidazole lewat suntik
jika pasien alergi terhadap penisilin

Merawat luka secepatnya

Menjaga saluran pernafasan tetap normal dan mulai meredakan kram-kram ototnya

Memberikan vaksin DPT setelah pasien sembuh.


9

2.2.4 Campak
Campak adalah suatu penyakit akut yang sangat menular dan disebabkan oleh
virus. Campak disebut juga Rubella, Morbilli atau Measles. Penyakit ini ditandai dengan
gejala awal demam, batuk, pilek dan konjungtivis yang kemudian diikuti dengan bercak
kemerahan pada kulit. Campak biasanya menyerang anak-anak dengan derajat ringan
sampai sedang. Penyakit ini dapat meninggalkan gejala sisa kerusakan neurologis akibat
peradangan otak.
Distribusi
Campak merupakan penyakit endemik di banyak negara terutama di negara
berkembang. Angka kesakitan di seluruh dunia mencapai 5 10 kasus per 10.000 dengan
jumlah kematian 1 3 kasus per 1000 orang. Campak masih ditemukan di negara maju.
Sebelum ditemukan vaksin pada tahun 1963 di Amerika Serikat, terdapat lebih dari 1,5
juta kasus campak setiap tahun. Mulai tahun 1963 kasus campak menurun drastis dan
hanya ditemukan kurang dari 100 kasus pada tahun 1998.
Di Indonesia camak masih menempati urutan ke-5 dari 10 penyakit utama ada bayi
dan anak balita berdasarkan laporan SKRT. Angka kesakitan campak tercatat 30.000
pertahun yang dilaporkan, meskipun pada kenyataannya hampir semua anak setelah usia
balita pernah terserang campak. Pada zaman dahulu ada anggapan bahwa seorang anak
harus terkena campak sehingga tidak perlu diobati. Masyarakat akan berpendapat bahwa
penyakit ini akan sembuh sendiri bila ruam merah pada kulit sudah timbl, yang berakibat
ada usaha-usaha untuk mempercepat timbulnya ruam.
Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh virus campak, dari Family paramyxo Virus Genus
morbili virus. Virus ini adalah virus RNA yang dikenal hanya mempunyai sat antigen
struktur virus ini mirip dengan virus penyebab parotis epidemis dan parainfluenxa
setelah timbulnya ruam kulit, virus aktif dapat ditemukan pada Secret Nasofaring, darah,
air kencing dalam waktu sekitar 34 jam pada suhu kamar.

Virus campak dapat bertahan selama beberapa hari pada temperatur 0o dan selama
15 minggu pada sediaan beku. Di luar tubuh manusia biasanya virus ini mati. Pada suhu
10

kamar sekalipun virus ini akan kehilangan infektivitasnya sekitar 60% selama 3 5 hari.
Virus ini mudah hancur oleh sinar ultraviolet.
Penularan
Virus campak mudah enukarkan penyakit. Virulensinya sangat tinggi terutama pada
anak yang rentan dengan kontrak keluarga, sehingga hampir 90% anak rentan akan
tertular. Campak dikeluarkan melalui droplet di udara oleh penderita sejak 1 hari
sebelum timbulnya gejala klinis sampai 4 hari sesudah munculnya ruam.
Ibu yang pernah menderita campak akan menurunkan kekeblannya kepada janin
yang dikandung melalui plasenta, dan kekebalan ini bisa bertahan sampai bayinya
berusia 4 6 bulan. Pada usia 9 bulan bayi diharapkan dapat membentuk antibodinya
sendiri secara aktif setelah menerima vaksinasi campak. Dalam waktu 12 hari setelah
infeksi campak sampai puncaka titer sekitar 21 hari, IgM akan terbentuk dan akan cepat
menghilang untuk kemudian digantikan oleh IgG. Adanya karir campaksampai saat
sekarang tidak terbukti.
Masa Inkubasi
Masa inkubasinya antara 10 12 hari.
Pengobatan
Pengobatan campak berupa pengobatan umum seperti pemberian cairan dan kalori
yang cukup. Obat simptomatik yang perlu diberikan antara lain :
1.
2.
3.
4.

Antidemam
Antibatuk
Vitamin A
Antibiotik diberikan bila ada indikasi, misalnya jika campak disertai dengan
komplikasi
Pasien campak perlumelakukan rawat inap di puskesmas.
Pencegahan
Imunisasi campak yang diberikan pada bayi yang berusia 9 bulan merupakan

pencegahan yang paling efektif. Vaksin campak berasal dari virus hidup yang

11

dilemahkan. Pemberian vaksin dengan cara intrakutan dan intramuscular dengan dosis
0,5 cc.
Pemberian imunisasi cmpak satu kali akan memberikan kekebalan selama 14
tahun, sedangkan untuk pengendalian penyakit diperlukan cakupan imunisasi paling
sedikit 80% per wilayah secara merata selama bertahun-tahun.
2.2.5 Polio
Infeksi viral yang sering dikenal dengan nama Flaccid paralysis akut. Sebelum
program vaksinasi diberikan, polio adalah penyakit yng berbahaya di seluruh dunia.
Sejak program Global Polio Eradication diluncurkan WHO di tahun 1988, 3 wilayah
sudah dinyatakan bebas polio: AS tahun 1994, Pasifik Barat tahun 2000, dan Eropa tahun
2002. Kasus polio turun drastis dari 350.000 kasus di 125 negara pada tahun 1988,
menjadi 500 kasus di 10 negara yang endemi polio di tahun 2001. Pada tahun 2003, 6
negara masih melaporkan kasus polio baru : India, Etiopia, Pakistan, Afganistan, Mesir
dan Nigeria. Di wilayah-wilayah endemik, kasus polio muncul secara sporadis maupun
sekaligus secara endemik. Di wilayah beriklim sedang polio menyerang di akhir musim
panas dan awal musim gugur. Sedangkan di wilayah tropis, tidak ada serangan puncak
selain mengikuti musim, biasanya dipertengahan musim hujan. Meskipun kasusnya
banyak berkurang, polio tetap ancaman terbesar anak dibawah usia 5 tahun,
karenakasusnya mencapai 80-90% dari total kasus polio yang dilaporkan.
Infeksi virus polio terjadi didalam saluran pencernaan yang menyebar ke kelenjar
limfe regional sebagian kecil menyebar ke sistem saraf. Flaccid paralysis terjadi kurang
dari 1% dari infeksi poliovirus. Lebih dari 90% infeksi tanpa gejala atau dengan demam
tidak spesifik.meningitis aseptik muncul sekitar 1% dari infeksi. Gejala klinis minor
berupa demam, sakit kepala, mual dan muntah. Apabila penyakit berlanjut ke gejala
mayor, timbul nyeri otot berat dan kaku kuduk dan punggung dapat terjadi flaccid
paralysis. Karakteristik paralisis pada poliomyelitis adalah asimetris dengan demam
terjadi pada awal serangan.
Tingkat kelumpuhan yang maksimum dicapai dalam waktu relatif pendek, biasanya
dalam waktu 3-4 hari. Lokasi kelumpuhan tergantung lokasi kerusakaan sel saraf pada
sumsum tulang belakang atau batang otak. Kaki lebih sering terkkena dibandingkan
lengan. Paralisis dari otot pernapasan atau otot menelan akan membahayakan jiwa.

12

Perbaikan paralisis dapat ditemui pada periode penyembuhan, namun apabila paralisis
tetap ada setelah 60 hari kemungkinan paralisis akan menetap.
Disribusi
Sebelum program imunisasi polio diberikan secara luas, polio ditemukan tersebar
di seluruh dunia. Sebagai hasil dari Program Pengembahan Imunisasi yang dilaksanakan
di seluruh dunia ditambah dengan inisiatif WHO untuk melakukan eradikasi polio di
seluruh dunia, jumlah polio yang dilaporkan disebabkan oleh virus liar indigeneous di
belahan bumi bagian barat adalah di peru pada bulan Agusus tahun 1991. Polio sudah
sangat dekat memasuki tahap eradikasi.
Pisiko penularan polio saat ini masih ditemukan di anak beua India, Afrika Tengah
dan Afrika bagian barat. Negara-negara Afrika yang tercabik-cabik oleh perang dimana
infrastruktur pelayanan kesehatan hancur mempunyai risiko terjadinya wabah polio.
WHO menetapkan tahun 2000 sebagai tahun tercapainya eradikasi polio global.
Namun para ahli berpendapat bahwa diperlukan beberapa taun lagi setelah tahun 2000
untuk mencapai eredikasi polio secara gobal. Walaupun transmisi virus polio liar di
negara-negara maju sudah menurun secara drastis namun ancaman terjadinya KLB polio
masih tetap ada.

Etiologi
Virus polio termasuk Genus Enterivirus. Terdapt tiga tipe yaitu tipe 1,2 dan 3.
Ketiga tipe virus tersebut bisa menyebabkan kelumpuhan. Tipe 1 adalah tipe yang paling
mudah diisolasi, diikuti tipe 3, sedangkan tipe 2 palinh jarang diisolasi. Tipe yang sering
menyebabkan wabah adalah tipe 1. Sedangkan kasus yang dihubungkan dengan vaksin
disebabkan oleh tipe 2 dan tipe 3.
Di alam bebas, virus polio dapat bertahan hingga 48 jam pada musim kemarau dan
dua minggu pada musim hujan. Di dalam usus manusia, virus dapat bertahan hidup
sampai dua bulan. Virus polio tahan terhadap sabun, detergen alkohol, eter dan
kloroform, tetapi virus ini akan mati dengan pemberian formadehida 0,3% klorin,
pemanasan, dan sinar ultraviolet.

13

Masa Inkubasi
Umumnya 7 14 hari untuk kasus paralitik, dengan rentang waktu antara 3 35
hari.
Penularan
Poliovirus disebarkan lewat feses dan kelenjar ludah, lewat rute feses-oral, tersebar
luas di lingkungan yang sanitasinya buruk. Virus ini masih hidup di feses sampai 6
minggu dan bisa menginfeksi siapapun yang tidak terlindungi. Penularan terbesar terjadi
pada 7-10 hari sebelum dan sesudah simtom muncul. Virus akan terus tinggal di saluran
pernafasan sampai seminggu dan difeses selama 6 minggu, bahkan lebih lama pada
pasien yang sistem kekebalannya rusak seperti para penderita HIV/AIDS.
Semua orang yang tidak divaksin polio saat masih kecil rentan terserang infeksi.
Setelah sembuh dari polio, tubuh memiliki kekebalan abadi, namun sudah terlambat,
karena kaki sudah lumpuh. Reinfeksi tidak terjadi, kecuali diserang poliovirus dari tipe
yang berbeda. Kedua jenis vaksin polio, OPV dan IPV memiliki efektivitas sampai 95%
dan bisa melindungi manusia dari berbagai tipe poliovirus. Bayi yang lahir dari ibu yang
kebal terhadp polio memiliki kekebalan pasif, jadi anak harus divaksin agar memilikik
kekebalan polio aktif.
Penanggulangan
Meminta vaksin polio. Lewat suntik (IPV) atau lewat oral (OPV). Berdasarkan
standar WHO, OPV diberikan dua tetes lewat mulut di usia bayi 2, 4, dan 6 bulan.
Kemudian diperkuat di usia anak 4 tahun. IPV diberikan pada individu yang sistem
kekebalan tubuhnya rusak, atau sedang menjalani kemoterapi atau merawat anggota
keluarga yang terkena polio
Orang tua mengajarkan dan mengawasi anak-anak dan dirinya agar selalu mencuci
tangan sebelum menyentuh makanan atau mengolah makanan, karena virus ini masih
hidup di feses sampai 9 minggu dan bisa menginfeksi siapapun yang tidak terlindungi
OPV dan IPV sama-sama memberikan perlindungan bagi seluruh cairan dan organ
saraf tubuh, meskipun IPV menghasilkan tingkat perlindungan saluran cerna yang lebih
rendahdibandingkan OPV. Namun di negara maju, muncul kecenderungan mengganti
OPV dengan IPV. IPV itu sendiri sudah dipadukan dengan VAPP yang langsung bisa
14

mencegah serangan kelumpuhan. Sedangkan negara berkembang masih menggunakan


OPV karena harganya murah, mudah diberikan, dan bisa mnecegah poliovirus ganas
yang menyebabkan kelumpuhan langsung.

2.2.6 Hepatitis B
Infeksi hepatitis (VHB) menyebabkan sedikitnya satu juta kematian/tahun. Saat ini
diseluruh dunia terdapat 30 juta penderita kronis dengan 4 juta kasus baru/tahun. Infeksi
pada anak umumnya asimtomatis tetapi 80%-95% akan menjadi kronis dan dalam 10-20
tahun akan sirosis dan/atau karsinoma hepatoselular (KHS). Di Negara endemis, 80%
KHS disebabkan oleh VHB. Risiko KHS ini sangat tinggi bila infeksi terjadi pada usia
dini. Di lain pihak, terapi antivirus belum memuaskan, terlebih pada pengidap yang
terinfeksi secara vertical atau pada usia dini.
Di kawasan yang prevalens infeki VHB tinggi, infeksi terjadi pada awal masa
kanak-kanank baik secara vertical atau horizontal. Oleh karena itu, kebijakan uama tata
laksana VHB adalah memotong jalur transmisi sedini mungkin. Vaksinisasi universal
bayi baru lahir merupakan upaya yang paling efektif dalam menurunkan prevalenss VHB
dan KHS.
Epidemiologi
Indonesia termasuk daerah endemis sedang-tinggi. Prevalens HBsAg pada donor
(1994) adalah 94% (2,50%-36,17%), dan pada ibu hamil (3,6%-6,7%). Penularan semua
orang yang engandung HbsAg positif potensial infeksius. Transmisi terjadi melalui
kontak perkutaneus, dan melalui hubungan seksual. Transmisi antar anak merupakan
modusyang sering terjadi di Negara endemis VHB. VHB dapat melekat dan bertahan di
permukaan suatu benda selama kurang lebih 1 minggu tanpa kehilangan daya tular.
Darah bersifat infeksius beberapa minggu sebelum awitan, menetap selama fase akut
berlangsung. Daya tular pasien VHB kronis bervariasi, sangat infeksius bila HBeAg
positif.

15

Kelompok yang rentan terhadap infeksi VHB


Pada dasarnya, individu yang belum pernah imunisasi hepatitis B atau yang tidak
memiliki antibody anti-HBs, potensial terinfeksi VHB. Risiko kronisitas dialami oleh
90% bayi yang akan terinfeksi saat lahiir, 25%-50% anak yang terinfeksi usia 1-5 tahun,
dan 1-5% anak besar dan orang dewasa. Infeksi VHBjuga umumnya akan menjadi kronis
bila mengenai individu dengan defisiensi imun, baik konenital maupun didapat (infeksi
HIV, terapi imunosupresi hemodialisis).
Pencegahan
Pencegahan merupakan upaya penting karena paling cost-effective. Secara garis
besar, upaya pencegahan terdiri dari preventif umum dan khusus yaitu imunisasi VHB
pasif dan aktif.
Pencegahan umum.
Selain uji tapis donor darah, upaya pencegahan umum mencakup sterilisasi
instrument kesehatan, alat dialysis individual, membuang jarum disposable ke tempat
khusus, dan pemakaian sarung tangan oleh tenaga medis. Mencakup juga penyuluhan
perihal safe sex, penggunaan jarum suntik disposable, mencegah kontak mikrolesi
(pemakaian sikat gigi, sisir), menutup luka. Selain itu, idealnya skrining ibu hamil
(trimester-1 dan trimester ke-3, terutama ibu risiko tinggi) dan skrining populasi tinggi
(lahir di daerah hiperendemis dan belum pernah imunisasi, hormonhetteroseksual,
pasangan seks ganda, tenaga medis, pasien dialysis, keluarga pasiens VHB, kontak
seksual dengan pasien VHB).
Pencegahan khusus.
Program imunisasi universal bayi baru lahir berhasil menurunnkan prevalens
infeksi VHB dan KHS di Taiwan, Gambia, Alaska, Polynesia.
a.

Imunisasi Pasif
Hepatiitis immune globulin (HBIg)Idalam waktu singkat segera memberikan proteksi
meskipun hanya untuk jangka pendek (3-6 bulan). HBIg hanya diberikan pada kondisi
pasca paparan (needle stick injury, konntak seksual, bayi dari ibu, terciprat darah ke

16

mukosa atau ke mata). Sebaiknya HBIg diberikan bersama vaksin VHB sehingga
proteksinya berlangsung lama.
Tabel.1 kebijakan imunisasi pada reedle stick injury

Kotak yang terpapar

Tatalaksana bila sumber penularan


HbsAg
HBIg dan vaksin atau periksa

Imunisasi (-)

anti HBs bila tergolong risiko


tinggi*

Imunisasi (+) responder

Imunisasi (+) Non Responder

Tidak perlu profilaksis


HBIg (jarak 1 bulan) atau
HBIg & vaksin

HbaAg
Vaksin atau periksa abti HBs
bila tergolong risiko tinggi.
Tidak perlu profilaksis
Bila sumber penularan risiko
tinggi

VHB,

perlakuan

seperti HBsAg+*

Keterangan : HBIg (0,06 ml/kg; maksimum 5 ml) dalam 48 jam pertama setelah
kontak.
Bila sumber penularan needle stick injury HBsAg-HBeAg positif maka 22 %-31%
kontak berisiko mengalami hepatitis akut dan 37%-61% mengalami sero-evidence
infeksi Tidak perlu profilaksisVHB (table 1.). kebijakan penanganan kontak seksual
tergantung kondisi sumber penularan (table 2.)
Tabel. 2 kebijakan imunisasi pada kontak seksual
Kontak yang terpapar

Sumber penularan VHB akut

Sumber penularan Carrier

Imunisasi (-) atau anti HBs

HBIg 0,06 ml/kg atau HBIg HBIg dan vaksin atau periksa
vaksin atau periksa anti HBs anti

HBIs

bila

tergolong

bila risiko tinggi.

risiko tinggi.

Imunisasi (+)

Tidak perlu profilaksis

Tidak perlu pprofilaksis

Lupa: periksa anti HBs

Anti HBs (-): HBIg &vaksin

Anti HBs(-): HBIg & vaksin

Keterangan : HBig 0,06 ml/kg; maksimum 5 ml) dalam waktu < 14 hari sesudah kontak
terakhir.

17

Pada bayi dan ibu VHB, HBIg (0,05 ml) diberikan bersama vaksin di sisi
tubuh berbeda, dlam waktu 122 jam setelah lahir. Efektivias proteksinya (85%-95%)
dalam mencegah infeksi VHB dan kronisitas. Bila yang diberikan hanya vaksin VHB,
tingkat efektifitasnya 75%.
b.

Imunisasi Aktif

Vaksin HB yang tersedia adalah vaksin rekombinan. Pemberian ketiga dosis vaksin
dan dengan yang sesuai rekomendasi, akan menyebabkan terbentuknya respons
proteektif (anti HBs10mIU/ml) pada >90% dewasa, bayi, anak, dan remaja.
Vaksin diberikan secara intramuscular dalam. Pada neonates dan bayi diberikan di
anterolateral paha, sedangkan pada anak besar dan dewasa diberikan di region deltoid.
Yang harus mendapat imunisasi Hepatitis B adalah:
1. Semua bayi baru lahir tanpa memandang status VHB ibu.
2. Individu yang karena pekerjaannya berisiko tertular VHB
3. Karyawan dilembaga perawatan cacat mental
4. Pasien homodialisis
5. Pasien koagulopati ynag membutuhkan transfuse berulang
6. Individu yang serumah dengan pengidah VHB atau kontak akibat hubungan seks.
7. Drug users
8. Homoseksual,bisexual, heterosexual

18

BAB III
PENUTUP
3.1

Kesimpulan
Imunisasi adalah suatu cara untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan
seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila kelak ia terpapar dengan
penyakit tersebut tidak akan sakit atau sakit ringan. Imunisasi masih sangat diperlukan
untuk melakukan pengendalian Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I),
seperti Tuberkulosis (TB), dipteri, pertusis (penyakit pernapasan), campak, tetanus, polio
dan hepatitis B. Dengan pemberian imunisasi pada usia dapat mencegah berbagai
penyakit yang dapat membahayakan kesehatan.

3.2

Saran

Diharapkan kepada pemakalah selanjutnya untuk membahas lebih detail tentang penyakitpenyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.

19

DAFTAR PUSTAKA
Kunoli, Firdaus J. 2013. Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta; CV.Trans Info
Media
Heath, Kelly dkk. 2009. Pengenalan, Pencegahan, dan Penyembukan PenyakitPenyakiy yang Disebabkan oleh Bakteri dan Virus. Yogyakarta; Palmall Yogyakarta
http://fk.uns.ac.id/static/filebagian/Imunisasi.pdf
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16935/4/Chapter%20II.pdf

20

You might also like