Professional Documents
Culture Documents
menonjol
kearah
kavum
timpani,
yang
disebut
pada kavum timpani dengan vestibulum, dan ditutupi oleh telapak kaki
stapes dan diperkuat oleh ligamentum anularis. Foramen ovale berukuran
3,25 mm x 1,75 mm. Diatas fenestra vestibuli, sebagai tempat jalannya
nervus fasialis. Kanalis ini didalam kavum timpani tipis sekali atau tidak
ada tulang sama sekali (dehisensi).
Fenestra koklea atau foramen rotundum (round windows), ditutupi oleh
suatu membran yang tipis yaitu membran timpani sekunder, terletak
dibelakang bawah. Foramen rotundum ini berukuran 1,5 mm x 1,3 mm
pada bagian anterior dan posterior 1,6 mm.
Kedua lekukan dari foramen ovale dan rotundum berhubungan satu
sama lain pada batas posterior mesotimpanum melalui suatu fosa yang
dalam yaitu sinus timpanikus. Suatu ruang secara klinis sangat penting
ialah sinus posterior atau resesus fasial yang didapat disebelah lateral
kanalis fasial dan prosesus piramidal.
Dibatasi sebelah lateral oleh anulus timpanikus posterosuperior,
sebelah superior oleh prosesus brevis inkus yang melekat kefosa inkudis.
Lebar resesus fasialis 4,01 mm dan tidak bertambah semenjak lahir.
Resesus fasialis penting karena sebagai pembatas antara kavum timpani
dengan kavum mastoid sehingga bila aditus asantrum tertutup karena
suatu sebab maka resesus fasialis bisa dibuka untuk menghubungkan
kavum timpani dengan kavum mastoid.
Kavum timpani dibagi menjadi 3 bagian yaitu :
a. Epitimpanum
Berada dibagian atas membran timpani. Merupakan bagian
superior kavum timpani, disebut juga atik karena terletak diatas membran
timpani. Sebagian besar atik diisi oleh maleus inkus. Dibagian superior
epitimpanum dibatasi oleh suatu penonjolan tipis os posterior. Dinding
medial atik dibentuk oleh kapsul atik yang ditandai oleh penonjolan kanalis
semisirkularis lateral.
Pada bagian anterior terdapat ampula kanalis superior, dan lebih
anterior ada ganglion genikulatum, yang merupakan tanda ujung anterior
ruang atik. Dinding anterior terpisah dari maleus oleh suatu ruang yang
sempit, disini dapat dijumpai muara sel-sel udara yang membuat
pneumatisasi pangkal tulang pipi (zygoma). Dinding lateral atik dibentuk
oleh os skuama yang berlanjut kearah lateral sebagai dinding liang telinga
luar bagian tulang sebelah atas. Diposterior, atik menyempit menjadi jalan
masuk ke antrum mastoid, yaitu aditus ad antrum.
b. Mesotimpanum
Terletak kearah medial dari membran timpani. Disebelah medial
dibatasi oleh kapsul otik, yang terletaknya lebih rendah dari pada nervus
fasialis pars timpani. Dinding anterior mesotimpani terdapat orifisium
timpani tuba eustachius pada bagian superior dan membentuk bagian
tulang dinding saluran karotis asendens pada bagian inferior. Dinding ini
biasanya mengalami pneumatisasi yang baik dan dapat dijumpai bagianbagian tulang lemah.
c. Hipotimpanum atau resesus hipotimpanikus
Terletak dibawah membrana timpani, berhubungan dengan bulbus
jugulare.
Kavum timpani terdiri dari (isi kavum timpani) :
a. Tulang-tulang pendengaran
Malleus (hammer/martil)
Malleus adalah tulang yang paling besar diantara semua tulang-
Inkus (anvil/landasan)
Inkus terdiri dari badan inkus (korpus) dan 2 kaki yaitu : prosesus
Stapes (stirrup/pelana)
Merupakan tulang pendengaran yang teringan, bentuknya seperti
sanggurdi. Stapes terdiri dari kepala, leher, krura anterior dan posterior
dan telapak kaki (foot plate), yang melekat pada foramen ovale dengan
perantara ligamentum anulare.
berjalan
melalui
foramen
ovale
dengan
nervus
mandibula dan arteri meningeal assesori sampai ganglion otik. Kadangkadang saraf ini tidak berjalan pada foramen ovale tetapi melalui foramen
yang kecil sampai foramen spinosum. Serabut post ganglion dari ganglion
otik menyuplai serabut-serabut sekremotor pada kelenjar parotis melalui
nervus aurikulotemporalis.
Saraf fasial:
Meninggalkan fosa kranii posterior dan memasuki tulang temporal
melalui meatus akustikus internus bersamaan dengan N. VIII. Saraf fasial
terutama terdiri dari dua komponen yang berbeda, yaitu :
Saraf motorik untuk otot-otot yang berasal dari lengkung brankial kedua
(faringeal) yaitu otot ekspresi wajah, stilohioid, posterior belly m. digastrik
dan m. stapedius.
Saraf intermedius yang terdiri dari saraf sensori dan sekretomotor
parasimpatetis preganglionik yang menuju ke semua glandula wajah
kecuali parotis.
Saraf kranial VII mencapai dinding medial kavum timpani melalui
auditori meatus diatas vestibula labirin tulang. Kemudian membelok
kearah posterior dalam tulang diatas feromen ovale terus ke dinding
posterior kavum timpani. Belokan kedua terjadi dinding posterior
mengarah ke tulang petrosa melewati kanal fasial keluar dari dasar
tengkorak melewati foramen stilomastoidea.
Pada belokan pertama di dinding medial dari kavum timpani
terdapat ganglion genikulatum, yang mengandung sel unipolar palsu. Sel
ini adalah bagian dari jaringan perasa dari 2/3 lidah dan palatum. Saraf
petrosa superfisial yang besar bercabang dari saraf cranial VII pada
ganglion genikulatum, masuk ke dinding anterior kavum timpani, terus ke
fosa kranial tengah. Saraf ini mengandung jaringan perasa dari palatum
dan jaringan sekremotor dari glandula atap rongga mulut, kavum nasi dan
orbita.
Bagian lain dari saraf kranial VII membentuk percabangan motor ke
otot stapedius dan korda timpani. Korda timpani keluar ke fosa intra
temporal melalui handle malleus, bergerak secara vertikal ke inkus dan
terus ke fisura petrotimpanik. Korda timpani mengandung jaringan perasa
dari 2/3 anterior lidah dan jaringan sekretorimotor dari ganglion
submandibula. Sel jaringan perasanya terdapat di ganglion genikulatum.
yang
merupakan
cabang
dari
a.
mastoidea
yaitu
a.
eustachius
disebut
juga
tuba
auditory
atau
tuba
Bagian tulang terdapat pada bagian belakang dan pendek (1/3 bagian).
Bagian tulang rawan terdapat pada bagian depan dan panjang (2/3
bagian).
Bagian tulang sebelah lateral berasal dari dinding depan kavum
timpani, dan bagian tulang rawan medial masuk ke nasofaring. Bagian
tulang rawan ini berjalan kearah posterior, superior dan medial sepanjang
2/3 bagian keseluruhan panjang tuba (4 cm), kemudian bersatu dengan
bagian tulang atau timpani.
Tempat pertemuan itu merupakan bagian yang sempit yang disebut
ismus. Bagian tulang tetap terbuka, sedangkan bagian tulang rawan selalu
tertutup dan berakhir pada dinding lateral nasofaring. Pada orang dewasa
muara tuba pada bagian timpani terletak kira-kira 2-2,5 cm, lebih tinggi
dibanding dengan ujungnya nasofaring. Pada anak-anak, tuba pendek,
lebar dan letaknya mendatar maka infeksi mudah menjalar dari nasofaring
ke telinga tengah. Tuba dilapisi oleh mukosa saluran nafas yang berisi selsel goblet dan kelenjar mucus dan memiliki lapisan epitel bersilia
didasarnya. Epitel tuba terdiri dari epitel selinder berlapis dengan sel
selinder. Disini terdapat silia dengan pergerakannya ke arah faring. Sekitar
ostium tuba terdapat jaringan limfosit yang dinamakan tonsil tuba.
Otot yang berhubungan dengan tuba eustachius yaitu:
Fungsi
tuba
eustachius
sebagai
ventilasi
telinga
yaitu
sel.
Prosesus Mastoideus Spongiosa, dimana terdapat sel-sel kecil saja.
Prosesus Mastoideus dengan pneumatisasi yang luas, dimana sel-sel
disini besar.
2. Mastoiditis
2.1 Pendahuluan
Mastoiditis adalah proses peradangan yang melibatkan sel-sel
mastoid
pada
tulang
temporal.
Mastoiditis
umumnya
merupakan
komplikasi dari otitis media. Hal ini dikarenakan karena adanya hubungan
antara telinga tengah dan sel-sel udara mastoid, inflamasi pada telinga
tengah juga dapat mempengaruhi mastoid. Kedua peradangan ini dapat
di anggap aktif atau inaktif. Aktif merujuk pada adanya infeksi dengen
pengeluaran sekresi telinga atau otorrhea akibat perubahan patologi dasar
seperti kolesteatoma atau jaringan granulasi. Inaktif merujuk pada sekuele
dari infeksi aktif terdahulu, dengan begitu tidak ada otorrhea.5,6
Insidensi tertinggi mastoiditis terjadi pada negara berkembang dan
pada anak kecil. Kebanyakan pasien berumur < 2 tahun, dengan umur
rata-rata yaitu 12 bulan. Namun, mastoiditis dapat terjadi pada umur
berapun. Menurut penelitian insidensi mastoiditis pada anak meningkat
dikarenakan kurangnya atau tidak efektifnya terapi antibiotik pada saat
episode otitis media akut. Namun, insidensi berkurang setelah era
antibiotik mulai berkembang.5,7
pneumonia
28,5%,
Staphylococcus
aureus
16
%,
dan
dengan
kolesteatoma.
Komplikasi
mastoiditis
dapat
ruang abses
sekitarnya.
2. Mastoiditis subkronik, yaitu infeksi mastoid dan telinga low grade yang
menetap yang menyebabkan dekstruksi septa tulang.
3. Mastoiditis kronik, merupakan infeksi supuratif sel-sel udara mastoid
yang berlangsung selama hitungan bulan hingga tahun. Mastoiditis kronik
umumnya berhubungan dengan otitis media supuratif kronik dan,
khususnya denga pembentukan kolesteatoma.
2.6 Patofisiologi
Mastoiditis akut umumnya merupakan komplikasi dari otitis media.
Hal ini dikarenakan karena adanya hubungan antara telinga tengah dan
sel-sel udara mastoid, inflamasi pada telinga tengah juga dapat
mempengaruhi mastoid. Jika infeksi pada telinga tengah berlanjut, pada
mastoid akan terjadi akumulasi purulen.5,9
Penyumbatan antrum oleh inflamasi mukosa menimbulkan infeksi
dari sel-sel udara dengan cara menghambat aliran dan dengan
menghalangi aliran udara kembali dari sisi telinga tengah. Mastoiditis
berdekatan.
Infeksi akut yang menetap pada sel udara mastoid dapat meluas
melalui venous channels, yang menyebabkan inflamasi pada periosteum /
osteotis, yang akan merusak trabekula tulang yang membentuk sel-sel
mastoid, pada kondisi ini disebut mastoiditis koalesen. Mastoiditis
koalesen pada dasarnya merupakan suatu empiema pada tulang
temporal. Pus yang dihasilkan mungkin mengalir melalui rute : (1)
penyaluran
melalui
antrum
secara
alami
yang
menghasilkan
2.8 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
maupun pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis ditemukan adanya
keluhan seperti keluarnya cairan dari telinga, demam, nyeri pada telinga,
hilangnya
pendengaran.
Pada
pemeriksaan
belakang
fisik
daun
ditemukan
telinga, dan
abnormalitas dari membrane timpani. Pada anak lebih dari 2 tahun, pinna
pemeriksaan
otosmikroskopik
dilakukukan
untuk
Biopsi
dilakukan
jika
terdapat
kecurigaan
10
Gambar 2.2. MRI pada Mastoiditis dextra. Akumulasi cairan pada mastoid
kanan (panah putih). Sebaliknya, pada mastoid kiri normal terisi udara
(panah merah)
2.9 Diagnosis banding
a. Anak : 5,12
1. Rabdomiosarkoma.
2. Histiositis X.
3. Leukemia.
4.Kawasaki syndrome.
b.Dewasa :5,12
1. Otitis Eksterna Fulminan.
2. Histiositis X.
3. Metastatic disease.
2.10 Terapi
1.
a.
-
Terapi Medikamentosa13
Indikasi :
Tidak adanya gambaran keterlibatan intracranial.
Tidak adanya fluktuasi postaurikular.
Tidak adanya tanda pada CT-scan yang menunjukkan desktruksi dari sel
udara mastoid.
Otitis media supuratif tipe jinak dan tanpa kolesteatoma.
b. Metode :
- Pemberian antibiotik parenteral berdasarkan hasil kultur dan sensitivitas.
Pemerikasaan gram dapat menentukan terapi empirik
antimikroba.
Terapi operasi13
Indikasi :
Komplikasi intrakranial.
Adanya fluktuasi postauricular dan abses subperiosteal.
Mastoiditis akut koalesen.
Kegagalan terapi medikamentosa dengan antibiotik adekuat selama 48
-72 jam.
Otorrhea yang menetap lebih dari 2 minggu walaupun dengan antibiotik
yang adekuat.
Kolesteatoma.
b.
Metode :
Prosedur invasive minimal :
Insisi dan drainase dari abses mastoid.
Miringiotomi.
2.11 Komplikasi
Komplikasi dari mastoiditis, yaitu :5,6,8
Hilangnya pendengaran
Facial nerve palsy
Cranial nerve involvement
Osteomielitis
Petrositis
Labirinitis
Gradenigo syndrome - Otitis media, nyeri retro-orbital , dan kelumpuhan
nervus abdusen
empiema subdural
Trombosis sinus sigmoid
Terbentuknya abses :
Citelli abscess: abses yang meluas ke tulang oksipital.
Abses subperiosteal : abses antara periosteum dab tulang mastoid, yang
DAFTAR PUSTAKA
5. Devan
PP,
et
al.
2013.
Mastoiditis.
Available
from
http://emedicine.medscape.com/article/2056657overview#aw2aa
b6b2b4.
6. Adams G, et al.2012. Boeis : Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal107-115.
7. Beito B, Perez G. 2006. Acute mastoiditis: Increase of incidence
and controversies in
antibiotic treatment.
Available from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17235402.
8. Brook Itzhak, et al. 2014. Pediatric mastoiditis. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/966099-overview#a0104.
9. Ellen R. Wald and James H. Conway. 2012. Mastoiditis in
Principles and Practice of Pediatric Infectious Diseases Fourth
Edition. Chapter 31, P 222-227.
10. James A. Pfaff and Gregory P. Moore. 2014. Mastoiditis in
Rosen's Emergency Medicine , Eighth Edition. Chapter 72.
11. Ivan P, et al. 2014. Magnetic Resonance Imaging In Acute
Mastoiditis. Acta Radiologis Short Report 3(2) 1-5.
12. Gleen
G.
Mastoiditis
Basic
Information.
Available
from
https://www.clinicalkey.com/topics/otolaryngology/mastoiditis.html
#424626.
13. Raouf AM, Ashour B, Gawad AA. 2012.Updated management