You are on page 1of 28

TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi Telinga Tengah1,2,3,4

Gambar 1.1 Anatomi telinga

Telinga tengah terdiri dari : membran timpani, kavum timpani,


prosesus mastoideus, dan tuba eustachius.

Gambar 1.2 Anatomi telinga tengah

1.1 Membran timpani


Yaitu membran fibrosa tipis yang berwarna kelabu mutiara.
Berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang telinga dan
terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga.

Gambar 1.3 Anatomi membran timpani

Letak membrana timpani tidak tegak lurus terhadap liang telinga


akan tetapi miring yang arahnya dari belakang luar kemuka dalam dan
membuat sudut 450 dari dataran sagital dan horizontal. Membrana timpani
merupakan kerucut, dimana bagian puncak dari kerucut menonjol kearah
kavum timpani, puncak ini dinamakan umbo. Dari umbo kemuka bawah
tampak refleks cahaya (cone of light).
Membran timpani dibagi atas 2 bagian yaitu bagian atas disebut
pars flasida (membrane sharpnell) dimana lapisan luar merupakan
lanjutan epitel kulit liang telinga sedangkan lapisan dalam dilapisi oleh sel
kubus bersilia, dan pars tensa merupakan bagian yang tegang dan
memiliki satu lapis lagi ditengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat
kolagen dan sedikit serat elastin.

Gambar 1.4 Anatomi membran timpani-2


Permukaan luar dari membrana timpani disarafi oleh cabang n.
aurikulotemporalis dari nervus mandibula dan nervus vagus. Permukaan
dalam disarafi oleh n. timpani cabang dari nervus glosofaringeal.
Aliran darah membrana timpani berasal dari permukaan luar dan
dalam. Pembuluh-pembuluh epidermal berasal dari aurikula yang dalam
cabang dari arteri maksilaris interna. Permukaan mukosa telinga tengah
didarahi oleh timpani anterior cabang dari arteri maksilaris interna dan
oleh stylomastoid cabang dari arteri aurikula posterior.
1.2 Kavum timpani
Telinga tengah berbentuk kubus dengan batas-batas :
a. Batas anterior : tuba eustachius dan arteri karotis interna.
b. Batas posterior : aditus ad antrum.
c. Batas superior : tegmen timpani.
d. Batas inferior : bulbus vena jugularis.
e. Batas lateral
: membran timpani.
f. Batas medial
: berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semi
sirkularis horizontal, kanalis fasialis, tingkap lonjong (oval window), tingkap
bundar (round window), dan promontorium.

Gambar 1.5 Bangunan pada kavum timpani

Gambar 1.6 Skema kubus pada kavum timpani


a. Batas anterior

Dinding anterior kavum timpani agak sempit tempat bertemunya


dinding medial dan dinding lateral kavum timpani. Dinding anterior bawah
adalah lebih besar dari bagian atas dan terdiri dari lempeng tulang yang
tipis menutupi arteri karotis pada saat memasuki tulang tengkorak dan
sebelum berbelok ke anterior.
Dinding ini ditembus oleh saraf timpani karotis superior dan inferior
yang membawa serabut-serabut saraf simpatis kepleksus timpanikus dan
oleh satu atau lebih cabang timpani dari arteri karotis interna.
Dinding anterior ini terutama berperan sebagai muara tuba
eustachius. Tuba ini berhubungan dengan nasofaring dan mempunyai dua
fungsi. Pertama menyeimbangkan tekanan membran timpani pada sisi
sebelah dalam, kedua sebagai drainase sekresi dari telinga tengah,
termasuk sel-sel udara mastoid. Diatas tuba terdapat sebeuah saluran
yang berisi otot tensor timpani. Dibawah tuba, dinding anterior biasanya
tipis dimana ini merupakan dinding posterior dari saluran karotis.
b. Batas posterior
Dinding posterior dekat ke atap, mempunyai satu saluran disebut
aditus, yang menghubungkan kavum timpani dengan atrum mastoid
melalui epitimpanum. Dibawah aditus terdapat lekukan kecil yang disebut
fosa inkudis yang merupakan suatu tempat prosesus brevis dari inkus dan
melekat pada serat-serat ligamen. Dibawah fosa inkudis dan dimedial dari
korda timpani adalah piramid, tempat terdapatnya tendon muskulus
stapedius, tendon yang berjalan keatas dan masuk ke dalam stapes.
Diantara piramid dan anulus timpanikus adalah resesus fasialis.
Dibelakang dinding posterior kavum timpani adalah fosa kranii
posterior dan sinus sigmoid. Disebelah dalam dari piramid dan nervus
fasialis merupakan perluasan kearah posterior dari mesotimpani adalah
sinus timpani. Perluasan sel-sel udara kearah dinding posterior dapat
meluas seperti yang dilaporkan Anson dan Donaldson (1981), bahwa
apabila diukur dari ujung piramid, sinus dapat meluas sepanjang 9 mm
kearah tulang mastoid. Dinding medial dari sinus timpani kemudian

berlanjut ke bagian posterior dari dinding medial kavum timpani dimana


berhubungan dengan dua fenestra dan promontorium.
c. Batas superior
Dibentuk oleh lempengan tulang yang tipis disebut tegmen timpani.
Tegmen timpani memisahkan telinga tengah dari fosa kranial dan lobus
temporalis dari otak. Bagian ini juga dibentuk oleh pars petrosa tulang
temporal dan sebagian lagi oleh skuama dan garis sutura petroskuama.
Dinding ini hanya dibatasi oleh tulang yang tipis atau ada kalanya tidak
ada tulang sama sekali (dehisensi).
Pada anak-anak, penulangan dari sutura petroskuamosa belum
terbentuk pada daerah tegmen timpani, sehingga memungkinkan
terjadinya penyebaran infeksi dari kavum timpani ke meningen dari fosa
kranial media. Pada orang dewasa bahkan vena-vena dari telinga tengah
menembus sutura ini dan berakhir pada sinus petroskuamosa dan sinus
petrosal superior dimana hal ini dapat menyebabkan penyebaran infeksi
dari telinga tengah secara langsung ke sinus-sinus venosus kranial.
d. Batas inferior
Dibentuk oleh tulang yang tipis memisahkan lantai kavum timpani
dari bulbus jugularis, atau tidak ada tulang sama sekali hingga infeksi dari
kavum timpani mudah merembet ke bulbus vena jugularis.
e. Batas lateral
Dinding lateral kavum timpani adalah bagian tulang dan membran.
Bagian tulang berada diatas dan bawah membran timpani.
f. Batas medial
Dinding medial ini memisahkan kavum timpani dari telinga dalam,
ini juga merupakan dinding lateral dari telinga dalam. Dinding ini pada
mesotimpanum

menonjol

kearah

kavum

timpani,

yang

disebut

promontorium Tonjolan ini oleh karena didalamnya terdapat koklea.


Didalam promontorium terdapat beberapa saluran-saluran yang berisi
saraf-saraf yang membentuk pleksus timpanikus.
Dibelakang dan atas promontorium terdapat fenestra vestibuli atau
foramen ovale (oval windows), bentuknya seperti ginjal dan berhubungan

pada kavum timpani dengan vestibulum, dan ditutupi oleh telapak kaki
stapes dan diperkuat oleh ligamentum anularis. Foramen ovale berukuran
3,25 mm x 1,75 mm. Diatas fenestra vestibuli, sebagai tempat jalannya
nervus fasialis. Kanalis ini didalam kavum timpani tipis sekali atau tidak
ada tulang sama sekali (dehisensi).
Fenestra koklea atau foramen rotundum (round windows), ditutupi oleh
suatu membran yang tipis yaitu membran timpani sekunder, terletak
dibelakang bawah. Foramen rotundum ini berukuran 1,5 mm x 1,3 mm
pada bagian anterior dan posterior 1,6 mm.
Kedua lekukan dari foramen ovale dan rotundum berhubungan satu
sama lain pada batas posterior mesotimpanum melalui suatu fosa yang
dalam yaitu sinus timpanikus. Suatu ruang secara klinis sangat penting
ialah sinus posterior atau resesus fasial yang didapat disebelah lateral
kanalis fasial dan prosesus piramidal.
Dibatasi sebelah lateral oleh anulus timpanikus posterosuperior,
sebelah superior oleh prosesus brevis inkus yang melekat kefosa inkudis.
Lebar resesus fasialis 4,01 mm dan tidak bertambah semenjak lahir.
Resesus fasialis penting karena sebagai pembatas antara kavum timpani
dengan kavum mastoid sehingga bila aditus asantrum tertutup karena
suatu sebab maka resesus fasialis bisa dibuka untuk menghubungkan
kavum timpani dengan kavum mastoid.
Kavum timpani dibagi menjadi 3 bagian yaitu :
a. Epitimpanum
Berada dibagian atas membran timpani. Merupakan bagian
superior kavum timpani, disebut juga atik karena terletak diatas membran
timpani. Sebagian besar atik diisi oleh maleus inkus. Dibagian superior
epitimpanum dibatasi oleh suatu penonjolan tipis os posterior. Dinding
medial atik dibentuk oleh kapsul atik yang ditandai oleh penonjolan kanalis
semisirkularis lateral.
Pada bagian anterior terdapat ampula kanalis superior, dan lebih
anterior ada ganglion genikulatum, yang merupakan tanda ujung anterior

ruang atik. Dinding anterior terpisah dari maleus oleh suatu ruang yang
sempit, disini dapat dijumpai muara sel-sel udara yang membuat
pneumatisasi pangkal tulang pipi (zygoma). Dinding lateral atik dibentuk
oleh os skuama yang berlanjut kearah lateral sebagai dinding liang telinga
luar bagian tulang sebelah atas. Diposterior, atik menyempit menjadi jalan
masuk ke antrum mastoid, yaitu aditus ad antrum.
b. Mesotimpanum
Terletak kearah medial dari membran timpani. Disebelah medial
dibatasi oleh kapsul otik, yang terletaknya lebih rendah dari pada nervus
fasialis pars timpani. Dinding anterior mesotimpani terdapat orifisium
timpani tuba eustachius pada bagian superior dan membentuk bagian
tulang dinding saluran karotis asendens pada bagian inferior. Dinding ini
biasanya mengalami pneumatisasi yang baik dan dapat dijumpai bagianbagian tulang lemah.
c. Hipotimpanum atau resesus hipotimpanikus
Terletak dibawah membrana timpani, berhubungan dengan bulbus
jugulare.
Kavum timpani terdiri dari (isi kavum timpani) :
a. Tulang-tulang pendengaran

Gambar 1.7 Tulang tulang pendengaran

Malleus (hammer/martil)
Malleus adalah tulang yang paling besar diantara semua tulang-

tulang pendengaran dan terletak paling lateral.

Gambar 1.8 Os malleus

Inkus (anvil/landasan)
Inkus terdiri dari badan inkus (korpus) dan 2 kaki yaitu : prosesus

brevis dan prosesus longus.

Gambar 1.9 Os inkus

Stapes (stirrup/pelana)
Merupakan tulang pendengaran yang teringan, bentuknya seperti

sanggurdi. Stapes terdiri dari kepala, leher, krura anterior dan posterior
dan telapak kaki (foot plate), yang melekat pada foramen ovale dengan
perantara ligamentum anulare.

Gambar 1.10 Os stapes


b. Dua otot
Terdiri dari : otot tensor timpani (muskulus tensor timpani) dan otot
stapedius (muskulus stapedius).
Otot tensor timpani adalah otot kecil panjang yang berada 12 mm
diatas tuba eustachius. Muskulus tensor timpani disarafi oleh cabang saraf
kranial ke 5. kerja otot ini menyebabkan membran timpani tertarik kearah
dalam sehingga menjadi lebih tegang dan meningkatkan frekuensi
resonansi sistem penghantar suara serta melemahkan suara dengan
freksuensi rendah.
Otot stapedius adalah otot yang relatif pendek. M. Stapedius
disarafi oleh salah satu cabang saraf kranial ke 7 yang timbul ketika saraf
tersebut melewati m. stapedius tersebut pada perputarannya yang kedua.
Kerja m.stapedius menarik stapes ke posterior mengelilingi suatu pasak
pada tepi posterior basis stapes. Keadaan ini stapes kaku, memperlemah
transmisi suara dan meningkatkan frekuensi resonansi tulang-tulang
pendengaran.

Gambar 1.11 Penampang otot pada telinga tengah


c. Saraf korda timpani
Merupakan cabang dari nervus fasialis masuk ke kavum timpani
dari kanalikulus posterior yang menghubungkan dinding lateral dan
posterior. Korda timpani memasuki telinga tengah bawah pinggir
posterosuperior sulkus timpani dan berjalan keatas depan lateral
keprosesus longus dari inkus dan kemudian ke bagian bawah leher
maleus tepatnya diperlekatan tendon tensor timpani. Setelah berjalan
kearah medial menuju ligamentum maleus anterior, saraf ini keluar melalui
fisura petrotimpani.

Korda timpani juga mengandung jaringan sekresi parasimpatetik


yang berhubungan dengan kelenjar ludah sublingual dan submandibula
melalui ganglion submandibular. Korda timpani memberikan serabut
perasa pada 2/3 depan lidah bagian anterior.
d. Saraf pleksus timpanikus
Adalah berasal dari n. timpani cabang dari nervus glosofaringeus
dan dengan nervus karotikotimpani yang berasal dari pleksus simpatetik
disekitar arteri karotis interna. Saraf dari pleksus ini dan kemudian
berlanjut pada :

Cabang-cabang pada membrana mukosa yamg melapisi kavum timpani,

tuba eustachius, antrum mastiod dan sel-sel mastoid.


Sebuah cabang yang berhubungan dengan nervus petrosus superfisial
mayor.
Pada nervus petrosus superfisial minor, yang mengandung serabutserabut parasimpatis dari N. IX. Saraf ini meninggalkan telinga tengah
melalui suatu saluran yang kecil dibawah m. tensor timpani kemudian
menerima serabut saraf parasimpatik dari N. VII dengan melalui cabang
dari ganglion genikulatum. Secara sempurna saraf berjalan melalui tulang
temporal, dilateral sampai nervus petrosus superfisial mayor, diatas dasar
fosa kranial media, diluar durameter.
Kemudian

berjalan

melalui

foramen

ovale

dengan

nervus

mandibula dan arteri meningeal assesori sampai ganglion otik. Kadangkadang saraf ini tidak berjalan pada foramen ovale tetapi melalui foramen
yang kecil sampai foramen spinosum. Serabut post ganglion dari ganglion
otik menyuplai serabut-serabut sekremotor pada kelenjar parotis melalui
nervus aurikulotemporalis.
Saraf fasial:
Meninggalkan fosa kranii posterior dan memasuki tulang temporal
melalui meatus akustikus internus bersamaan dengan N. VIII. Saraf fasial
terutama terdiri dari dua komponen yang berbeda, yaitu :

Saraf motorik untuk otot-otot yang berasal dari lengkung brankial kedua
(faringeal) yaitu otot ekspresi wajah, stilohioid, posterior belly m. digastrik

dan m. stapedius.
Saraf intermedius yang terdiri dari saraf sensori dan sekretomotor
parasimpatetis preganglionik yang menuju ke semua glandula wajah
kecuali parotis.
Saraf kranial VII mencapai dinding medial kavum timpani melalui
auditori meatus diatas vestibula labirin tulang. Kemudian membelok
kearah posterior dalam tulang diatas feromen ovale terus ke dinding
posterior kavum timpani. Belokan kedua terjadi dinding posterior
mengarah ke tulang petrosa melewati kanal fasial keluar dari dasar
tengkorak melewati foramen stilomastoidea.
Pada belokan pertama di dinding medial dari kavum timpani
terdapat ganglion genikulatum, yang mengandung sel unipolar palsu. Sel
ini adalah bagian dari jaringan perasa dari 2/3 lidah dan palatum. Saraf
petrosa superfisial yang besar bercabang dari saraf cranial VII pada
ganglion genikulatum, masuk ke dinding anterior kavum timpani, terus ke
fosa kranial tengah. Saraf ini mengandung jaringan perasa dari palatum
dan jaringan sekremotor dari glandula atap rongga mulut, kavum nasi dan
orbita.
Bagian lain dari saraf kranial VII membentuk percabangan motor ke
otot stapedius dan korda timpani. Korda timpani keluar ke fosa intra
temporal melalui handle malleus, bergerak secara vertikal ke inkus dan
terus ke fisura petrotimpanik. Korda timpani mengandung jaringan perasa
dari 2/3 anterior lidah dan jaringan sekretorimotor dari ganglion
submandibula. Sel jaringan perasanya terdapat di ganglion genikulatum.

Gambar 1.12 Saraf facialis


Perdarahan kavum timpani:
Pembuluh-pembuluh darah yang memberikan vaskularis kavum
timpani adalah arteri-arteri kecil yang melewati tulang yang tebal.
Sebagian besar pembuluh darah yang menuju kavum timpani berasal dari
cabang arteri karotis eksterna.
Pada daerah anterior mendapat vaskularisasi dari a. timpanika
anterior, yang merupakan cabang dari a. maksilaris interna yang masuk ke
telinga tengah melalui fisura petrotimpanika.

Pada daerah posterior mendapat vaskularisasi dari a. timpanika


psoterior,

yang

merupakan

cabang

dari

a.

mastoidea

yaitu

a.

stilomastoidea. Pada daerah superior mendapat perdarahan dari cabang


a. meningea media juga a. petrosa superior, a. timpanika superior dan
ramus inkudomalei.
Pembuluh vena kavum timpani berjalan bersama-sama dengan
pembuluh arteri menuju pleksus venosus pterigoid atau sinus petrosus
superior.
Pembuluh getah bening kavum timpani masuk ke dalam pembuluh
getah bening retrofaring atau ke nodulus limfatikus parotis.
1.3 Tuba eustachius
Tuba

eustachius

disebut

juga

tuba

auditory

atau

tuba

faringotimpani. bentuknya seperti huruf S. Tuba ini merupakan saluran


yang menghubungkan kavum timpani dengan nasofaring. Pada orang
dewasa panjang tuba sekitar 36 mm berjalan ke bawah, depan dan medial
dari telinga tengah 13 dan pada anak dibawah 9 bulan adalah 17,5 mm.

Gambar 1.13 Tuba auditori pada bayi dan dewasa


Tuba terdiri dari 2 bagian yaitu :

Bagian tulang terdapat pada bagian belakang dan pendek (1/3 bagian).

Bagian tulang rawan terdapat pada bagian depan dan panjang (2/3
bagian).
Bagian tulang sebelah lateral berasal dari dinding depan kavum
timpani, dan bagian tulang rawan medial masuk ke nasofaring. Bagian
tulang rawan ini berjalan kearah posterior, superior dan medial sepanjang
2/3 bagian keseluruhan panjang tuba (4 cm), kemudian bersatu dengan
bagian tulang atau timpani.
Tempat pertemuan itu merupakan bagian yang sempit yang disebut
ismus. Bagian tulang tetap terbuka, sedangkan bagian tulang rawan selalu
tertutup dan berakhir pada dinding lateral nasofaring. Pada orang dewasa
muara tuba pada bagian timpani terletak kira-kira 2-2,5 cm, lebih tinggi
dibanding dengan ujungnya nasofaring. Pada anak-anak, tuba pendek,
lebar dan letaknya mendatar maka infeksi mudah menjalar dari nasofaring
ke telinga tengah. Tuba dilapisi oleh mukosa saluran nafas yang berisi selsel goblet dan kelenjar mucus dan memiliki lapisan epitel bersilia
didasarnya. Epitel tuba terdiri dari epitel selinder berlapis dengan sel
selinder. Disini terdapat silia dengan pergerakannya ke arah faring. Sekitar
ostium tuba terdapat jaringan limfosit yang dinamakan tonsil tuba.
Otot yang berhubungan dengan tuba eustachius yaitu:

M. tensor veli palatini


M. elevator veli palatini
M. tensor timpani
M. salpingofaringeus

Fungsi

tuba

eustachius

sebagai

ventilasi

telinga

yaitu

mempertahankan keseimbangan tekanan udara didalam kavum timpani


dengan tekanan udara luar, drenase sekret dari kavum timpani ke
nasofaring dan menghalangi masuknya sekret dari nasofaring ke kavum
timpani.
1.4. Tulang mastoid
Tulang mastoid dibentuk oleh pars squamosa dan pars petrosa.
Terdapat sinus (rongga) yang berisi udara didalam pars petrosa tulang
temporal yang disebut dengan antrum mastoid. Berhubungan dengan

telinga tengah melalui aditus ad antrum dan mempunyai sel-sel udara


mastoid yang berasal dari dinding-dindingnya.

Gambar 1.14 Mastoid


Dinding anterior antrum memiliki aditus pada bagian atas,
sedangkan bagian bawah dilalui n.fasialis dalam perjalanan menuju ke
foramen stilomastoid.
Prosesus mastoid sangat penting untuk sistem pneumatisasi
telinga. Pneumatisasi didefinisikan sebagai suatu proses pembentukan
atau perkembangan rongga-rongga udara didalam tulang temporal, dan
sel-sel udara yang terdapat didalam mastoid adalah sebagian dari sistem
pneumatisasi yang meliputi banyak bagian dari tulang temporal. Sel-sel
prosesus mastoid yang mengandung udara berhubungan dengan udara
didalam telinga tengah. Bila prosesus mastoid tetap berisi tulang-tulang
kompakta dikatakan sebagai pneumatisasi jelek dan sel-sel yang
berpneumatisasi terbatas pada daerah sekitar antrum. Prosesus mastoid
berkembang setelah lahir sebagai tuberositas kecil yang berpneumatisasi
secara sinkron dengan pertumbuhan antrum mastoid. Pada tahun
pertama kehidupan prosesus ini terdiri dari tulang-tulang seperti spon
sehingga mastoiditis murni tidak dapat terjadi. Diantara usia 2 dan 5 tahun
pada saat terjadi pneumatisasi prosesus terdiri atas campuran tulang-

tulang spon dan pneumatik. Pneumatisasi sempurna terjadi antara usia 6


12 tahun.
Menurut derajatnya, pneumatisasi prosesus mastoideus ini dapat
dibagi atas :

Proesesus Mastoideus Kompakta (sklerotik), diomana tidak ditemui sel-

sel.
Prosesus Mastoideus Spongiosa, dimana terdapat sel-sel kecil saja.
Prosesus Mastoideus dengan pneumatisasi yang luas, dimana sel-sel
disini besar.

2. Mastoiditis
2.1 Pendahuluan
Mastoiditis adalah proses peradangan yang melibatkan sel-sel
mastoid

pada

tulang

temporal.

Mastoiditis

umumnya

merupakan

komplikasi dari otitis media. Hal ini dikarenakan karena adanya hubungan
antara telinga tengah dan sel-sel udara mastoid, inflamasi pada telinga
tengah juga dapat mempengaruhi mastoid. Kedua peradangan ini dapat
di anggap aktif atau inaktif. Aktif merujuk pada adanya infeksi dengen
pengeluaran sekresi telinga atau otorrhea akibat perubahan patologi dasar
seperti kolesteatoma atau jaringan granulasi. Inaktif merujuk pada sekuele
dari infeksi aktif terdahulu, dengan begitu tidak ada otorrhea.5,6
Insidensi tertinggi mastoiditis terjadi pada negara berkembang dan
pada anak kecil. Kebanyakan pasien berumur < 2 tahun, dengan umur
rata-rata yaitu 12 bulan. Namun, mastoiditis dapat terjadi pada umur
berapun. Menurut penelitian insidensi mastoiditis pada anak meningkat
dikarenakan kurangnya atau tidak efektifnya terapi antibiotik pada saat
episode otitis media akut. Namun, insidensi berkurang setelah era
antibiotik mulai berkembang.5,7

Patogen yang paling sering menyebabkan mastoiditis yaitu


Streptococcus

pneumonia

28,5%,

Staphylococcus

aureus

16

Haemophilus influenza 16 %, Streptococcus pyogenes 14%,

%,
dan

Pseudomonas aeruginosa 14 %. Tingginya level resistensi dan lebih


aggresifnya patogen merupakan hasil dari banyaknya kegagalan dari
terapi antibiotik konvensional.8
Mastoiditis bisa akut maupun kronik. Mastoiditis akut biasanya
merupakan komplikasi otitis media akut, sedangkan mastoiditis kronik
dihubungkan

dengan

kolesteatoma.

Komplikasi

mastoiditis

dapat

melibatkan langsung struktur disekitarnya, seperti telinga dalam, nervus


fasialis, bagian lain tulang temporal, maupun otak. Komplikasi tersebut
dapat meningkatkan morbiditas pasien.5,8
2.2 Definisi
Mastoiditis adalah proses peradangan yang melibatkan sel-sel
mastoid pada tulang temporal. Mastoiditis pada umumnya merupakan
komplikasi dari otitis media.5
2.3 Etiologi
Proses infeksi biasanya dipengaruhi oleh faktor host dan faktor
mikrobiologi.5
a. Faktor Host :
- Umumnya mastoiditis bila pada anak ditemukan pada umur < 2 tahun

dengan riwayat otitis media.


Berkaitan dengan sistem imun penderita yang menurun.
b. Faktor Mikrobiologi :
Patogen yang sering ditemukan pada mastoiditis, yaitu :
Streptococcus pneumonia, merupakan patogen yang paling sering

ditemukan pada mastoiditis akut dengan prevalensi 25%.


Group A beta-hemolytic streptococci.
Staphylococcus aureus.
Streptococcus pyogenes.
Moraxella catarrhalis.
Haemophilus influenzae.
Pseudomonas aeruginosa.
Mycobacterium species.

Aspergillus fumigates, dan jamur lainnya.


Nocardia asteroides.
2.4 Epidemiologi
Insidensi tertinggi mastoiditis terjadi pada negara berkembang dan
pada anak kecil. Kebanyakan pasien berumur < 2 tahun, dengan umur
rata-rata yaitu 12 bulan. Namun, mastoiditis dapat terjadi pada umur
berapun. 5,8
2.5 Klasifikasi
Mastoiditis terbagi atas akut, sub akut dan kronik, yakni : 5,8

1. Mastoiditis akut , terbagi atas :


a. Mastoiditis akut dengan periosteitis ( mastoiditis insipient), dengan
karakteristik purulen pada rongga mastoid.
b. Mastoiditis koalesen (Mastoiditis akut osteotis), dengan karakteristik
hilangnya septa tulang antara sel-sel udara mastoid. Keadaan ini dapat
menyebabkan terbentuknya

ruang abses

dan diseksi pus kedaerah

sekitarnya.
2. Mastoiditis subkronik, yaitu infeksi mastoid dan telinga low grade yang
menetap yang menyebabkan dekstruksi septa tulang.
3. Mastoiditis kronik, merupakan infeksi supuratif sel-sel udara mastoid
yang berlangsung selama hitungan bulan hingga tahun. Mastoiditis kronik
umumnya berhubungan dengan otitis media supuratif kronik dan,
khususnya denga pembentukan kolesteatoma.
2.6 Patofisiologi
Mastoiditis akut umumnya merupakan komplikasi dari otitis media.
Hal ini dikarenakan karena adanya hubungan antara telinga tengah dan
sel-sel udara mastoid, inflamasi pada telinga tengah juga dapat
mempengaruhi mastoid. Jika infeksi pada telinga tengah berlanjut, pada
mastoid akan terjadi akumulasi purulen.5,9
Penyumbatan antrum oleh inflamasi mukosa menimbulkan infeksi
dari sel-sel udara dengan cara menghambat aliran dan dengan
menghalangi aliran udara kembali dari sisi telinga tengah. Mastoiditis

dapat menembus antrum dan meluas kestruktur sekitarnya seperti


meningens, sinus sigmoid, otot sternokleidomastoid, arteri karotis interna,
vena jugular, dan otak. Hal tersebutlah yang menyebabkan tingginya
morbiditas mastoiditis dan menjadi penyakit yang dapat mengancam
nyawa.8,10
Berdasarkan progresivitasnya, mastoiditis terbagi menjadi 5 tahap
yaitu :14
Tahap 1 - Hiperemis pada lapisan mukosa sel-sel udara mastoid.
Tahap 2 - Transudasi dan eksudasi cairan dan / atau nanah dalam
sel.
Tahap 3 - Nekrosis tulang yang disebabkan oleh hilangnya
vaskularisasi dari septa.
Tahap 4 - Hilangnya dinding sel dengan peleburan ke dalam rongga
abses.
Tahap

5 - Perpanjangan proses inflamasi ke daerah-daerah

berdekatan.
Infeksi akut yang menetap pada sel udara mastoid dapat meluas
melalui venous channels, yang menyebabkan inflamasi pada periosteum /
osteotis, yang akan merusak trabekula tulang yang membentuk sel-sel
mastoid, pada kondisi ini disebut mastoiditis koalesen. Mastoiditis
koalesen pada dasarnya merupakan suatu empiema pada tulang
temporal. Pus yang dihasilkan mungkin mengalir melalui rute : (1)
penyaluran

melalui

antrum

secara

alami

yang

menghasilkan

penyembuhan spontan, (2) ke lateral hingga ke permukaan prosesus


mastoideus, yang menyebabkan abses subperiosteal, (3) secara anterior,
membentuk abses di belakang daun telinga atau diantara otot
sternokleidomastoid dari leher, yang menghasilkan abses Bezold , (4)
secara medial ke sel udara petrous pada tulang temporal, yamg disebut
petrositis, dan (5) posterior ke tulang oksipital , yang menyebabkan
osteomielitis dari kalvaria atau abses Citelli. 10
Mastoiditis kronik umunya merupakan komplikasi dari otitis media
kronik atau inadekuat terapi dari mastoiditis akut. Membran timpani yang

nonintak akan menyebabkan spesies mikroba di meatus akustikus


eksternal menuju telinga tengah, dan pada akhirnya mastoid. Organisme
ini menyebabkan inflamasi yang menetap yang biasanya tidak dapat
diatasi agen terapeutik konvensional pada otitis media akut. 9
Seperti kebanyakan infeksi, baik faktor host maupun faktor
mikrobiologi mempengaruhi perkembangan dari mastoiditis. Faktor host
termasuk imunitas mukosa, anatomi tulang temporal, imunitas sitemik.
Sedangkan faktor mikrobiologi yaitu resistensi antimikroba, kemampuan
patogen menembus jaringan atau pembuluh lokal, dan mekanisme
perlindungan diri mikroba.5,8
2.7 Gejala klinis
Gejala klinis bervariasi tergantung umur dan tahap infeksi. Riwayat
Otorrhea yang menetap lebih dari 3 minggu biasanya merupakan
pertanda proses keterlibatan mastoid. Umumnya otorrhea bersifat purulen
atau mukoid.5,6
Demam biasanya tinggi, berhubungan dengan otitis media
akut.Nyeri pada telinga yang biasanya memberat saat malam hari. Nyeri
yang menetap merupakan pertanda dari penyakit mastoid. Hal ini sangat
sulit dinilai pada pasien yang masih sangat muda. Nyeri juga dirasakan
pasien pada kepala. Hilangnya pendengaran biasanya terjadi pada semua
proses yang melibatkan telinga tengah. 5
Pada bayi, perhatikan setiap riwayat nonspesifik dari infeksi yang
konsisten, seperti tidak mau makan, demam, iritabilitas, atau diare.

2.8 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
maupun pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis ditemukan adanya
keluhan seperti keluarnya cairan dari telinga, demam, nyeri pada telinga,
hilangnya

pendengaran.

Pada

pemeriksaan

eritema/kemerahan dan lunak pada

belakang

fisik
daun

ditemukan
telinga, dan

abnormalitas dari membrane timpani. Pada anak lebih dari 2 tahun, pinna

biasanya deviasi upward dan outward, dikarenakan oleh proses inflamasi


yang biasanya berkumpul pada prosesus mastoideus. 5,9
Pada pemeriksaan otoskopi membran timpani biasanya merah,
menonjol, dan berkurangnya mobilitas, tetapi bias normal pada 10 %
kasus. Pada mastoiditis kronik, membrane timpani perforasi, kemerahan,
edema, dan sensitive pada retroaurikular. 9,10
Pada

pemeriksaan

otosmikroskopik

dilakukukan

untuk

mengevaluasi dari otorrhea yang kronik. Prosedur ini membutuhkan


anestesi umum, dengan keuntungan mendeteksi kolesteatoma, retraction
pocket, jaringan granulasi, polip, atau benda asing. Sebuah spesimen dari
telinga tengah tanpa adanya kontaminasi dari meatus akustikus eksterna
akan dilakukan pemeriksaan gram, pewarnaan tahan asam, kultur
aerob/anaerob.

Biopsi

dilakukan

jika

terdapat

kecurigaan

rabdomiosarkoma , neuroblastoma yang dapat bermanifestasi seperti


otitis media supuratif kronik atau mastoiditis kronik, yang biasanya
berhubungan dengan lumpuhnya saraf kranial.

10

Pemeriksaan radiologi Ct-Scan dilakukan untuk menilai perluasan


dari mastoiditis. Magnetic Resonance Imaging ( MRI) bagus dalam menilai
jaringan lunak dan mastoid serta komplikasinya. 11

Gambar 2.1.Desktruksi tulang pada CT koronal

Gambar 2.2. MRI pada Mastoiditis dextra. Akumulasi cairan pada mastoid
kanan (panah putih). Sebaliknya, pada mastoid kiri normal terisi udara
(panah merah)
2.9 Diagnosis banding
a. Anak : 5,12
1. Rabdomiosarkoma.
2. Histiositis X.
3. Leukemia.
4.Kawasaki syndrome.
b.Dewasa :5,12
1. Otitis Eksterna Fulminan.
2. Histiositis X.
3. Metastatic disease.
2.10 Terapi
1.
a.
-

Terapi Medikamentosa13
Indikasi :
Tidak adanya gambaran keterlibatan intracranial.
Tidak adanya fluktuasi postaurikular.
Tidak adanya tanda pada CT-scan yang menunjukkan desktruksi dari sel

udara mastoid.
Otitis media supuratif tipe jinak dan tanpa kolesteatoma.

b. Metode :
- Pemberian antibiotik parenteral berdasarkan hasil kultur dan sensitivitas.
Pemerikasaan gram dapat menentukan terapi empirik

antimikroba.

Antibiotiknya yaitu Sefalosforin generasi III ( contoh cefotaxime) dan


metronidazol. Antibiotik diberikan secara intravena 1gr12 jam pada
dewasa dan setengahnya pada anak-anak.
2.
a.
-

Terapi operasi13
Indikasi :
Komplikasi intrakranial.
Adanya fluktuasi postauricular dan abses subperiosteal.
Mastoiditis akut koalesen.
Kegagalan terapi medikamentosa dengan antibiotik adekuat selama 48

-72 jam.
Otorrhea yang menetap lebih dari 2 minggu walaupun dengan antibiotik

yang adekuat.
Kolesteatoma.

b.

Metode :
Prosedur invasive minimal :
Insisi dan drainase dari abses mastoid.
Miringiotomi.

Operasi defenitif : Open mastoidektomy (terdapat kolesteatoma), cortical


mastoidektomy (tidak terdapat kolesteatoma).

Gambar 2.3 Strategi Pengobatan Mastoiditis

2.11 Komplikasi
Komplikasi dari mastoiditis, yaitu :5,6,8

Hilangnya pendengaran
Facial nerve palsy
Cranial nerve involvement
Osteomielitis
Petrositis
Labirinitis
Gradenigo syndrome - Otitis media, nyeri retro-orbital , dan kelumpuhan
nervus abdusen

Intracranial extension - Meningitis, abses serebral, abses epidural,

empiema subdural
Trombosis sinus sigmoid
Terbentuknya abses :
Citelli abscess: abses yang meluas ke tulang oksipital.
Abses subperiosteal : abses antara periosteum dab tulang mastoid, yang

menghasilkan gambaran khas telinga yang menonjol/protrude.


Bezold's abscess : abses jaringan lunak sepanjang sternomastoid sheath;
Bezold abscesses merupakan komplkasi yang sangat jarang dan
biasanya ditemukan pada orang dewasa dengan well-pneumatized
mastoid tip.

Gambar 2.4 Mastoiditis dengan abses subperiosteal


2.12 Prognosis
Perkiraan banyak pasien dengan acute surgical mastoiditis dapat
kembali sempurna jika tidak terdapat keterlibatan nervus fasialis,
vestibulum, dan struktur intracranial tidak terlibat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi E, dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,


Tenggorok, Kepala & Leher. Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.
2. Ballenger. 1997. Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, dan leher.
Jakarta: Bina Rupa Aksara.
3. Graaff, v D. 2001. Van De Graaff Human Anatomy 6th Ed. The
McGrawHill Companies, New York.
4. Netter, F. Interactive Atlas Of Human Anatomy. England :
Novahte. 2004.

5. Devan

PP,

et

al.

2013.

Mastoiditis.

Available

from

http://emedicine.medscape.com/article/2056657overview#aw2aa
b6b2b4.
6. Adams G, et al.2012. Boeis : Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal107-115.
7. Beito B, Perez G. 2006. Acute mastoiditis: Increase of incidence
and controversies in

antibiotic treatment.

Available from

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17235402.
8. Brook Itzhak, et al. 2014. Pediatric mastoiditis. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/966099-overview#a0104.
9. Ellen R. Wald and James H. Conway. 2012. Mastoiditis in
Principles and Practice of Pediatric Infectious Diseases Fourth
Edition. Chapter 31, P 222-227.
10. James A. Pfaff and Gregory P. Moore. 2014. Mastoiditis in
Rosen's Emergency Medicine , Eighth Edition. Chapter 72.
11. Ivan P, et al. 2014. Magnetic Resonance Imaging In Acute
Mastoiditis. Acta Radiologis Short Report 3(2) 1-5.
12. Gleen

G.

Mastoiditis

Basic

Information.

Available

from

https://www.clinicalkey.com/topics/otolaryngology/mastoiditis.html
#424626.
13. Raouf AM, Ashour B, Gawad AA. 2012.Updated management

strategies for mastoiditisand mastoid abscess. Egyptian Journal


of Ear, Nose, Throat and Allied Sciences (2012) 13, 4348.

You might also like