You are on page 1of 18

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
HIV adalah penyakit yang menyerang sistem kekebalan tubuh,dan AIDS adalah kumpulan
gejala akibat kekurangan atau kelemahan sistem kekebalan tubuh yang dibentuk setelah lahir.
AIDS merupakan singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome.Acquired artinya
didapat, jadi bukan merupakan penyakit turunan, immuno berarti sistem kekeblan
tubuh,Deficiency artinya kekurangan, sedangkan syndrome adalah kumpulan gejala.AIDS adalah
penyakit yang disebabkan oleh virus yang merusak kekebalan tubuh, sehingga mudah diserang
oleh penyakit-penyakit lain yang berakibat fatal.Padahal penyakit-penyakit tersebut misalnya
berbagai virus,cacing,jamur,protozoa,dan basil tidak menyebabkan gangguan yang berarti pada
orang yang sistem kekebalannya normal.Selain penyakit infeksi,penderita AIDS juga mudah
terkena kanker.Dengan demikian gejala AIDS amat bervariasi.Virus yang menyebabkan penyakit
ini adalah virus HIV (Humman Immuno-deficiency Virus).
HIV dapat ditularkan dari ibu hamil positif HIV kepada anaknya pada saat kehamilan,
persalinan, atau menyusui. Pada kebanyakan kasus, HIV paling banyak ditularkan pada trimester
ketiga kehamilan atau pada saat proses kelahiran.1-3 Transmisi vertikal sering terjadi pada
kelahiran prematur yang dihubungkan dengan ketuban pecah prematur.3

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan

BAB II
PEMBAHASAN
2.1KEHAMILAN DENGAN HIV/AIDS
HIV dapat ditularkan dari ibu hamil positif HIV kepada anaknya pada saat kehamilan,
persalinan, atau menyusui. Pada kebanyakan kasus, HIV paling banyak ditularkan pada trimester
ketiga kehamilan atau pada saat proses kelahiran. Transmisi vertikal sering terjadi pada kelahiran
prematur yang dihubungkan dengan ketuban pecah prematur.3
AIDS atau Acquired Immune Deficiency Sindrome merupakan kumpulan gejala penyakit
akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh virus yang disebut HIV. Dalam bahasa
Indonesia sebagai Sindrome Cacat Kekebalan Tubuh Dapatan.
Acquired : Didapat, bukan penyakit keturunan
Immune : Sistem kekebalan tubuh
Deficiency : Kekurangan
Syndrome : Kumpulan gejala-gejala penyakit.
AIDS diartikan sebagai bentuk paling erat dari keadaan sakit terus menerus yang
berkaitan dengan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV). (Suzane C. Smetzler dan
Brenda G.Bare).
AIDS adalah suatu penyakit retrovirus epidemik menular, yang disebabkan oleh infeksi
HIV, yang pada kasus berat bermanifestasi sebagai depresi berat imunitas seluler, dan mengenai
kelompok risiko tertentu, termasuk pria homoseksual atau biseksual, penyalahgunaan obat
intravena, penderita hemofilia, dan penerima transfusi darah lainnya, hubungan seksual dari
individu yang terinfeksi virus tersebut. (Kamus kedokteran Dorlan, 2002).
AIDS merupakan bentuk paling hebat dari infeksi HIV, mulai dari kelainan ringan dalam
respon imun tanpa tanda dan gejala yang nyata hingga keadaan imunosupresi dan berkaitan
dengan berbagai infeksi yang dapat membawa kematian dan dengan kelainan malignitas yang
jarang terjadi. (Menurut Center for Disease Control and Prevention).
2.2 ETIOLOGI
Penularan virus HIV/AIDS terjadi karena beberapa hal, di antaranya ;
1.
2.
3.
4.

Penularan melalui darah, penularan melalui hubungan seks (pelecehan seksual).


Hubungan seksual yang berganti-ganti pasangan.
Perempuan yang menggunakan obat bius injeksi dan bergantian memakai alat suntik.
Individu yang terpajan ke semen atau cairan vagina sewaktu berhubungan kelamin
dengan orang yang terinfeksi HIV.

5. Orang yang melakukuan transfusi darah dengan orang yang terinfeksi HIV, berarti setiap
orang yang terpajan darah yang tercemar melalui transfusi atau jarum suntik yang
terkontaminasi. (WHO, 2003)
2.3 MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis yang tampak dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Manifestasi Klinis Mayor
a. Demam berkepanjangan lebih dari 3 bulan
b. Diare kronis lebih dari satu bulan berulang maupun terus-menerus.
c. Penurunan berat badan lebih dari 10% dalam 3 tiga bulan
2. Manifestasi Klinis Minor
a. Batuk kronis
b. Infeksi pada mulut dan jamur disebabkan karena jamur Candida Albicans
c. Pembengkakan kelenjar getah bening yang menetap di seluruh tubuh
d. Munculnya Herpes zoster berulang dan bercak-bercak gatal di seluruh tubuh
2.4 PATOFISIOLOGI
HIV AIDS Pada Ibu hamil
Etiologi : Infeksi Virus
Faktor Resiko :
1.
2.
3.
4.
5.

Seks Bebas
Berganti-ganti pasangan
Pengguna Narkoba suntik
Penerima transfusi darah
Tenaga medis

Ibu hamil-bayi
Penularan melalui :
1. Antepartum / in utero
2. Inpartum
3. Postpartum / melalui ASI
Cara Penularan HIV / AIDS dari Ibu ke Anak
Penularan HIV dari ibu ke anak terjadi karena wanita yang menderita HIV / AIDS
sebagian besar masih berusia subur, sehingga terdapat resiko penularan infeksi yang terjadi pada
saat kehamilan (Richard, et al., 1997). Selain itu juga karena terinfeksi dari suami atau pasangan
yang sudah terinfeksi HIV / AIDS karena sering berganti-ganti pasangan dan gaya hidup.
Penularan ini dapat terjadi dalam 3 periode:
1. Periode kehamilan

Selama kehamilan, kemungkinan bayi tertular HIV sangat kecil. Hal ini disebabkan karena
terdapatnya plasenta yang tidak dapat ditembus oleh virus itu sendiri. Oksigen, makanan,
antibodi dan obat-obatan memang dapat menembus plasenta, tetapi tidak oleh HIV. Plasenta
justru melindungi janin dari infeksi HIV. Perlindungan menjadi tidak efektif apabila ibu :
a. Mengalami infeksi viral, bakterial, dan parasit (terutama malaria) pada plasenta selama
kehamilan.
b. Terinfeksi HIV selama kehamilan, membuat meningkatnya muatan virus pada saat itu.
c. Mempunyai daya tahan tubuh yang menurun.
d. Mengalami malnutrisi selama kehamilan yang secara tidak langsung berkontribusi untuk
terjadinya penularan dari ibu ke anak.
2.4 PENCEGAHAN PENULARAN HIV/AIDS DARI IBU KE BAYI
a. Pencegahan HIV dari ibu ke bayi dengan cara :
Perode antenatal

: Penggunaan antiretroviral selama kehamilan, agar vital load rendah shg jml
virus yg ada dlm darah dan cairan tbh kurang efektif utk menularkan HIV.

Saat melahirkan : Penggunaan ARV saat persalinan dan BBL, persalinan sebaiknya SC (terbukti
mengurangi risiko penularan 80%)
Setelah persalinan

: Informasi yg lengkap pd ibu ttg risiko ASI.

Wanita hamil dg HIV akan memproduksi antibodi IgG

IgG menembus plasenta ke janin

Darah tali pusat memberi hsl positif saat test ELISA (enzime linked
immunosorbent assay).

Ibu HIV positif dapat mengurangi resiko bayinya tertular dengan mengkonsumsi obat anti
retroviral (ARV), menjaga proses kelahiran agar tetap singkat waktunya,hindari menyusui pada
saat penggunaan ARV,dan syarat diet pada orang dengan HIV : kebutuhan zat gizi dihitung
sesuai dengan kebutuhan individu,menghindari rokok,kafein,dan alcohol.
2.5 TIPS MEMBANTU PERSALINAN PADA IBU DENGAN HIV/AIDS

Saat membantu persalinan pada seorang ibu yang terinfeksi HIV/AIDS, sebaiknya
menggunakan pencegahan infeksi terhadap perlindungan diri sendiri, sebab jika tubuh kita
sedang dalam keadaan lemah dan terdapat luka,besar kemungkinan kita akan tertular, oleh sebab
itu pada saat membantu persalinan pada pasien dengan riwayat HIV/AIDS ini, Gunakanlah
pencegah infeksi yang aman bagi tubuh kita sendiri karena darah yang akan keluar setelah ibu
melahirkan dapat menular pada tubuh kita yang sistem kekebalan tubuhnya sedang melemah.
Biasanya pasien dengan riwayat HIV/AIDS ini harus ditolong dengan cara section
caesaria (SC) /operasi cesar, karena apabila bayi lahir melalui vagina ibu ditakutkan bayi akan
tertular HIV/AIDS, sebab darah yang keluar dari vagina akan segera menyerang tubuh bayi yang
belum mendapatkan sistem kekebalan tubuh.
Bayi yang lahir dari seorang riwayat HIV/AIDS tidak boleh menyusui bayinya, sebab
besar kemungkinan bayi akan tertular HIV/AIDS dari ibunya karena cairan yang dihisap bayi
(ASI) akan langsung mengalir keseluruh tubuh bayi. Untuk menjaga agar bayi tidak tertular
sebaiknya diberikan susu formula untuk menjaga bayi agar tidak tertular HIV/ADIS sehingga
nutrisi bayi juga terpenuhi.
2.6 Situasi HIV/ AIDS di Indonesia
Sejak tahun 1987 kasus HIV/AIDS di Indonesia menunjukkan perkembangan yang
mengkhawatirkan bila dilihat dari segi jumlah dan cara penularan.
Kasus AIDS di Indonesia pertama kali ditemukan dan diidentifikasi pada seorang
laki-laki asing di Bali yang kemudian meninggal pada April 1987. Pada Juni 1988 di tempat yang
sama juga ditemukan orang Indonesia pertama yang meninggal karena AIDS. Kasus ini
kemudian mulai menjadi perhatian terutama oleh kalangan tenaga kesehatan.
Dari hasil pemeriksaan darah yang dilakukan pada sekitar tahun 1990 di berbagai ibukota
propinsi di Indonesia menunjukkan bahwa infeksi HIV telah menyebar ke berbagai propinsi
meskipun prevalensinya masih rendah. Pemeriksaan sekitar 10.500 darah donor yang diperiksa
hasilnya ternyata negatif. Gejala-gejala meningkatnya infeksi HIV di Indonesia mulai nyata
ketika pemeriksaan darah donor pada tahun 1992/1993 menunjukkan HIV positif pada 2 diantara
100.000 donor darah yang kemudian meningkat menjadi 3 per 100.000 donor darah pada tahun
1994/1995.

Perubahan epidemi HIV AIDS terjadi pada tahun 2000 dimana kasus meningkat secara nyata
diantara pekerja seks dan bervariasi dari satu daerah ke daerah lain. Di Tanjung Balai Karimun,
Propinsi Riau hanya ditemukan 1 % pada 1995/1996 kemudian meningkat menjadi lebih dari
8,38%, pada tahun 2000. Prevalensi HIV pada pekerja seks di Irian Jaya (Merauke) sebesar
26,5%, di DKI Jakarta (Jakarta Utara) sebesar 3,36% dan di Jawa Barat sebesar 5,5%. Pada
tahun yang sama, hampir semua propinsi di Indonesia telah melaporkan infeksi HIV. Meskipun
prevalensi HIV secara umum masih rendah, tetapi Indonesia digolongkan sebagai negara dengan
tingkat epidemi yang terkonsentrasi (concentrated level epidemic) karena terdapatnya kantongkantong epidemi dengan prevalensi yang lebih dari 5% dari sub-populasi tertentu.
Pada tahun 1999 terjadi fenomena baru dalam penularan HIV/AIDS yaitu infeksi HIV mulai
terlihat pada penyalahguna Napza suntik. Penularan HIV diantara penyalahguna Napza suntik
terjadi sangat cepat karena penggunaan jarum suntik bersama. Pada tahun 1999, 18% dari para
penyalahguna Napza yang dirawat di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta yang
terinfeksi HIV dan meningkat menjadi 40% pada tahun 2000 dan 48% pada tahun 2001.
Sedangkan pada tahun 2000 di Kampung Bali di Jakarta 90% dari penyalahguna Napza suntik
terinfeksi HIV.
Secara umum dapat dikatakan bahwa sejak tahun 1996 sampai dengan tahun 2002 terjadi
peningkatan kasus hampir 17,5%. Pada tahun 1996 hanya 2,5 % dari kasus AIDS melalui Napza
suntik, dan pada tahun 2002 sudah hampir 20 %.
Dalam 16 tahun terakhir sampai dengan akhir tahun 2002 telah dilaporkan sebanyak 1.016
kasus AIDS. Jumlah yang tercatat tersebut sebenarnya jauh lebih kecil dari prevalensi yang
sesungguhnya, karena adanya fenomena gunung es. Pada tahun 2002 diperkirakan jumlah orang
yang terinfeksi HIV berkisar antara 90.000-130.000 orang. (Stratanas Penanggulangan
HIV/AIDS 2003-2007).
Sedangkan data terbaru yang diperoleh dari laporan Ditjen PP dan PL Kemerdekaan RI,
jumlah kumulatif kasus AIDS di Indonesia menurut jenis kelamin sampai dengan akhir Juni 2011
sebanyak 26.483 kasus dimana kasus ini paling banyak ditemukan dan pada jenis kelamin lakilaki (19.139 kasus) dan pada kelompok umur 20-49 tahun (23.225 kasus). Hal ini tentu menjadi
hal yang memprihatinkan mengingat kelompok umur ini merupakan usia produktif.
2.7

Tinjauan tentang Aspek Hukum HIV/ AIDS

Sejak ditemukannya kasus AIDS yang pertama di Bali pada tahun 1987, pemerintah
Indonesia sudah menyadari bahwa aspek hukum menjadi urgen dalam upaya pencegahan dan
penanggulangan HIV/ AIDS. Akan tetapi legalisasi untuk mendapatkan suatu peraturan
perudangan membutuhkan proses yang panjang dan tidak sederhana.
Sejalan dengan perkembangan epidemi HIV/ AIDS baik skala global maupun skala nasional,
maka sejak tahun 1994, Pemerintah Republik Indonesia telah menerbitkan Keputusan Presiden
(Keppres) Nomor 36 Tahun 1994 tanggal 30 Mei 1994 tentang Komisi Penanggulangan AIDS.
Berdasarkan Keppres tersebut, dibentuklah Komisi Penanggulangan

AIDS (KPA) yang

bertujuan untuk:
1. Melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan AIDS berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau strategi global pencegahan dan
penanggulangan AIDS yang dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa;
2. Meningkatkan kewaspadaan masyarakat terhadap bahaya AIDS dan meningkatkan
pencegahan dan/atau penanggulangan AIDS secara lintas sektor, menyeluruh, terpadu dan
terkoordinasi.
3. Untuk mengejawantahkan tujuan Keppres 36 Tahun 1994 maka Menteri Koordinator
Bidang Kesejahteraan Rakyat yang ditunjuk sebagai Ketua Komisi Penanggulangan
AIDS, menerbitkan Keputusan Nomor: 9/KEP/MENKO/KESRA/VI/1994 tanggal 16
Juni 1994 tentang Strategi Nasional (STRANAS) Penanggulangan AIDS di Indonesia.
Adapun tujuan yang diusung STRANAS dalam penanggulangan HIV dan AIDS adalah:
4. Mencegah penularan virus HIV dan AIDS.
5. Mengurangi sebanyak mungkin penderitaan perorangan serta dampak sosial dan
ekonomis dari HIV dan AIDS di seluruh Indonesia.
6. Menghimpun dan menyatukan upaya-upaya nasional untuk penanggulangan HIV dan
AIDS.
Seiring pergerakan dan kecendrungan epidemi HIV dan AIDS maka pada tahun 2003,
Komisi Penanggulangan AIDS menerbitkan STRANAS Pencegahan dan Penanggulangan HIV
tahun 2003-2007 yang dirancang untuk sedapat mungkin mengakomodir seluruh perkembangan
yang ada di dunia, terutama perkembangan dalam pertemuan Sidang Umum PBB, dikenal
dengan Unitetd Nation General Assembly Special Session (UNGASS) yaitu satu pertemuan
negara-negara anggota PBB dalam rangka membahas upaya global pencegahan dan
penanggulangan HIV dan AIDS, tanggal 25-27 Juni tahun 2001. Hasil dari pertemuan tersebut

didokumentasikan sebagai Deklarasi Komitmen Sidang Umum PBB tentang HIV dan AIDS dan
Pemerintah Indonesia ikut menandatanganinya.
Segera setelah itu, pada bulan Maret tahun 2002, dilaksanakan Rapat Kabinet yang khusus
membahas laju perkembangan epidemi HIV dan AIDS di dunia umumnya dan di Indonesia
khususnya sekaligus merekomendasikan langkah-langkah strategis yang harus dilaksanakan
dalam rangka menekan laju epidemi global ini. Langkah-langkah strategis sebagaimana
dimaksud di atas, dituangkan dalam STRANAS 2003-2007.
Strategi Nasional 2003-2007 disusun dengan memperhatikan kecenderungan epidemi HIV
dan AIDS, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tentang pengobatan, dan perubahan
sistem pemerintahan ke arah desentralisasi. Secara umum Strategi Nasional yang baru telah
menggambarkan secara komprehensif segala hal yang diperlukan demi suksesnya upaya
pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia. Hal ini terlihat jelas dalam
penetapan area prioritas yang meliputi: (1) Pencegahan HIV dan AIDS, (2) Perawatan,
Pengobatan dan Dukungan terhadap ODHA, (3) Surveilans HIV dan AIDS dan IMS, (4)
Penelitian, (5) Lingkungan Kondusif, (6) Koordinasi Multipihak dan (7) Kesinambungan
Penanggulangan (Simplexius Asa, dkk, 2009).
2.8

Perlindungan Hukum dan HAM terhadap Pengidap HIV/AIDS


Upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS tidak dapat dipisahkan dari aspek

hukum dan hak Asasi manusia (HAM). Permasalahan pokok yang menyangkut hukum berkaitan
dengan maraknya kasus HIV/ AIDS adalah bagaimana menyeimbangkan antara perlindungan
kepentingan masyarakat dan kepentingan individu pengidap HIV dan penderita AIDS (Indar,
2010).
Aspek hukum dan HAM merupakan dua komponen yang sangat penting dan ikut
berpengaruh terhadap berhasil tidaknya program penanggulangan yang dilaksanakan. Telah
diketahui bahwa salah satu sifat utama dari fenomena HIV & AIDS terletak pada keunikan dalam
penularan dan pencegahannya. Berbeda dengan beberapa penyakit menular lainnya yang
penularannya dibantu serta dipengaruhi oleh alam sekitar, pada HIV & AIDS justeru penularan
dan pencegahannya berhubungan dengan dan atau tergantung pada perilaku manusia.

Perilaku manusia selalu bersentuhan dengan hukum dan HAM. Hukum adalah suatu alat
dengan dua fungsi utama, yakni sebagai social control dan social engineering. Sebagai social
control, hukum dipakai sebagai alat untuk mengontrol perilaku tertentu dalam masyarakat
sehingga perilaku tersebut tidak merugikan diri sendiri dan anggota masyarakat lainnya.
Sebagai social engineering, hukum dijadikan sebagai alat yang dapat merekayasa sebuah
masyarakat sesuai keinginan dan cita-cita hukum (Asa, Simplexius, 2009).
Terdapat dua hak asasi fundamental yang berkaitan dengan epidemi HIV/ AIDS yaitu : hak
terhadap kesehatan dan hak untuk bebas dari diskriminasi. Dibandingkan dengan hak terhadap
kesehatan, jalan keluar dari masalah diskriminasi terhadap penderita HIV/AIDS ini jauh lebih
kompleks dan sulit.
Pada banyak kasus, penderita akhirnya bisa berdamai dengan kenyataan bahwa mereka
memang mengidap HIV dan mungkin akan meninggal dengan dan karena AIDS. Akan tetapi
penderitaan yang lebih parah justru dialami karena adanya stereotype yang dikenakan kepada
mereka. Orang terinfeksi acap kali dihubungkan dengan orang terkutuk (amoral) karena
perilakunya yang menyimpang dan memang harus menanggung penderitaan sebagai karma atas
dosa-dosanya. Tidak hanya dalam bentuk stereotip tetapi di banyak tempat ditemukan pula
berbagai pelanggaran HAM berupa stigmatisasi dan diskriminasi, bahkan juga penganiayaan dan
penyiksaan. Pelbagai pelanggaran HAM dan hukum sebagai yang tergambar di atas pada
akhirnya merupakan fakta sosial yang menjadi bagian dari penderitaan orang terinfeksi bahkan
merupakan penyebab sekunder/non medis bagi kematian mereka.
Dalam pasal 4 UU Kesehatan No. 36/2009 dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas
kesehatan. Permasalahan HIV dan AIDS sangat terkait dengan hak atas kesehatan. Hak atas
kesehatan adalah aset utama keberadaan umat manusia karena terkait dengan kepastian akan
adanya pemenuhan atas hak yang lain, seperti pendidikan dan pekerjaan. Secara garis besar di
dalam UU Kesehatan perlindungan hukum terhadap penderita HIV/ AIDS diatur mengenai :
a. Hak atas pelayanan kesehatan
Undang-Undang Kesehatan mewajibkan perawatan diberlakukan kepada seluruh
masyarakat tanpa kecuali termasuk penderita HIV AIDS. Dalam Pasal 5 UU Kesehatan
dinyatakan bahwa terdapat kesamaan hak tiap orang dalam mendapatkan akses atas sumber
daya

kesehatan,

memperoleh

pelayanan

kesehatan

yang

aman,

bermutu

dan

terjangkau.Tugas pemerintah dalam hal ini untuk menyediakan tenaga medis, paramedik dan

tenaga kesehatan lainnya yang cukup dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi
penderita HIV/AIDS dan menjamin ketersediaan segala bentuk upaya kesehatan sehingga
tercapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Penyediaan obat dan perbekalan kesehatan serta jaminan ketersediaan obat dan alat
kesehatan diatur dalam UU Kesehatan dan berlaku juga bagi penderita HIV/AIDS.
b. Hak atas informasi
Pasal 7 UU Kesehatan secara tegas mengatakan bahwa setiap orang berhak
mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan serta informasi tentang data
kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan atas dirinya pada pasal 8.
Peningkatan pendidikan untuk menangani HIV dan AIDS termasuk metode
pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS serta peningkatan pemahaman masyarakat
mengenai pentingnya pencegahan dan penyebaran HIV dan AIDS, misalnya melalui
penyuluhan

dan

sosialisasi

merupakan

upaya

dalam

memberikan

informasi

mengenaiHIV/AIDS.
c. Hak atas kerahasiaan
Hak atas kerahasiaan dalam UU Kesehatan diatur dalam Pasal 57 dimana setiap
orang berhak atas rahasia kondisi kesehatannya. Selain itu UUPK No. 29/2004 juga
mengatur mengenai rahasia medis dan rekam medis ini pada paragraph 3 dan 4 tentang
rekam medis dan rahasia kedokteran.
Rahasia Medis itu bersifat pribadi, hubungannya hanya antara dokter - pasien. Ini
berarti seorang dokter tidak boleh mengungkapkan tentang rahasia penyakit pasien yang
dipercayakannya kepada orang lain, tanpa seizin si pasien. Masalah HIV / AIDS banyak
sangkut pautnya dengan Rahasia Medis sehingga kita harus berhati hati dalam
menanganinya.
Dalam mengadakan peraturan hukum, selalu terdapat dilema antara kepentingan
masyarakat dan kepentingan perseorangan. Seringkali harus dipertimbangkan kepentingan
mana yang dirasakan lebih berat. Dalam sistim Demokrasi, hak asasi seseorang harus
diindahkan, namun hak asasi ini tidaklah berarti bersifat mutlak. Pembatasan dari hak asasi
seseorang adalah hak asasi orang lain didalam masyarakat itu. Jika ada pertentangan
kepentingan, maka hak perorangan harus mengalah terhadap kepentingan masyarakat
banyak.
d. Hak atas persetujuan tindakan medis

Dalam pasal 56 UU Kesehatan diatur tentang persetujuan tindakan medis atau


informed consent. Masalah AIDS juga ada erat kaitannya dengan Informed Consent.
Merupakan tugas dan kewajiban seorang dokter untuk memberikan informasi tentang
penyakit-penyakit yang diderita pasien dan tindakan apa yang hendak dilakukan, disamping
wajib merahasiakannya. Pada pihak lain kepentingan masyarakat juga harus dilindungi.
Semua tes HIV harus mendapatkan informed consent dari pasien setelah pasien
diberikan informasi yang cukup tentang tes, tujuan tes,implikasi hasil tes positif ataupun
negatif yang berupa konseling prates.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran

2.2 CONTOH KASUS :


Seorang wanita hamil aterm G7P5A1 berusia 38 tahun datang ke RSUD dr. TC
Hillers atas rujukan dari RSUD Larantuka dengan HIV positif pada hari Sabtu, 8 Januari
2011. Penderita mengaku hari pertama haid terakhirnya pada 13 April 2010 sehingga
taksiran persalinannya pada 20 Januari 2011.
Ketika datang, penderita mengaku tidak ada keluhan. Hanya, pada riwayat
persalinan terdahulu, anak ke-5 meninggal, 3 Januari 2011 pada usia 5,5 tahun akibat
infeksi paru dan gizi buruk. Ternyata, setelah diperiksa, anak tersebut mengalami HIV
positif, sedangkan anak ke-6 mengalami abortus pada umur kehamilan 8 minggu 10 hari.
Selama ini, pederita mengaku tidak pernah sakit parah seperti diare berkepanjangan
ataupun infeksi paru.
Penderita pernah menikah 3 kali. Dari pernikahan pertama, dikaruniai 3 orang
anak. Saat ini, baik suami maupun anak hidup dengan sehat. Setelah bercerai dengan
suami pertama, penderita menikah lagi, dan dikaruniai 3 orang anak. Penderita
merupakan istri ke-6 dari suami ke-2 ini. Penderita mengaku bahwa suami ke-2 ini sering
berganti pasangan selain dengan para istri yang telah dinikahinya. Anak ke-1 dari suami
ke-2 sekarang sedang menjalani pemeriksaan HIV. Suami ke-3 pergi ketika mengetahui
penderita hamil. Ketiga suami penderita belum melakukan pemeriksaan HIV. Penderita
bukanlah pengguna obat-obatan terlarang.
Ketika datang, penderita belum inpartum, dengan umur kehamilan 37 minggu.
Tekanan darah 120/60 mmHg, nadi 84 X/menit, suhu 36C, his tidak didapatkan, pada
palpasi ditemukan fundus uteri setinggi ? pusat ke processus xypoideus. Bagian terendah
adalah kepala, punggung janin di kanan ibu, belum masuk pintu atas panggul. Denyut
jantung janin 140 X/menit. Pemeriksaan dalam tidak dilakukan. Pada hasil USG
didapatkan gravid tunggal, hidup, letak kepala, cairan amnion cukup, dan keruh (gambar

1). Hasil laboratorium: HIV positif, malaria tidak didapatkan, hemoglobin 9,3 gr%,
Leukosit 6300/mm3, trombosit 267.000/mm3, % granulosit 75%, % limfosit 19%, %
monosit 6%, clotting time 730, dan bleeding time 130. Penderita didiagnosis G7P5A1 37
minggu/janin hidup/ tunggal/letak kepala/intrauterin/HIV positif.
Terhadap penderita dilakukan rawat bersama dengan bagian interna. Penderita
mendapat obat antiretroviral duviral 2 x 1 tablet (zidovudin 300 mg dan lamivudin 150
mg), neviral 1 x 200 mg, dan cefotaxim 3 x 1 gr. Pada Senin, 10 Januari 2011, penderita
dilakukan seksio sesaria dan tubektomi. Bayi laki-laki lahir dengan berat 3400 gram,
panjang 50 cm, skor apgar 9/10. Setelah operasi, keadaan umum penderita baik, tekanan
darah 90/50 mmHg, suhu 37,4C, nadi 72 X/mnt, pada dower kateter keluar urin 300 cc/8
jam. Penderita diberi cefotaxim 1 gram iv, infuse RL dengan drip oksitosin 2 ampul
ditambah D5% drip analgetik.
Pada 11 Januari 2011, dilakukan pemeriksaan darah, Hb setelah operasi 10,7 gr%,
leukosit 12.500/mm3. Pada 13 Januari 2011, keadaan penderita membaik, tekanan darah
110/80 mmHg, nadi 78 x/menit, dan suhu 36,5C. Penderita diperbolehkan untuk pulang.
Untuk bayi penderita diberikan obat antiretroviral nevirapin 1 x 7 mg selama 1 hari,
zidovudin 2 x 7 mg selama 1 bulan, vit K 1 mg, abdeliyn drop 1 x 0,25 ml, PASI 8 x 25
cc (hari I), 8 x 30 cc (hari II), 8 x 35 cc (hari III), pemberian PASI dilanjutkan di
Larantuka. Pada pemeriksaan darah bayi penderita tidak didapatkan malaria; hemoglobin
16,9 gr/dl; leukosit 15.400/mm3; trombosit 156.000/mm3; granulosit 10 x 103 mm3;
monosit 0,8 x 103 mm3; limfosit 4,4 x 103 mm3.
2.3 PEMBAHASAN KASUS
WHO memperkirakan jumlah ODHA (Orang Dengan HIV-AIDS) yang masih
hidup di seluruh dunia hingga akhir 2009 adalah 33,3 juta orang. Lebih dari 85%
penduduk dunia yang terinfeksi HIV adalah wanita hamil yang tinggal di sub-saharan
Afrika.8 Di Indonesia, hingga Desember 2010 diperkirakan terdapat 24.131 kasus.
Sebanyak 4.158 kasus di antaranya merupakan kasus baru. Jumlah itu masih sangat jauh
dari jumlah sebenarnya.9

Di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), hingga Desember 2010, HIV-AIDS


dilaporkan sebanyak 1.335 kasus dari 17 kabupaten/kota. Sedangkan 4 kabupaten lainnya
belum melaporkan adanya kasus AIDS, yaitu Kabupaten Rote Ndao, Sumba Tengah,
Manggarai Timur, dan Sabu Raijua. Di Sikka, kejadian HIV-AIDS hingga akhir 2010
sebanyak 203 kasus. Cara penularan terbesar karena heteroseksual 93,45% dan IDU
(Intravenous Drug User) 6,55%.
Penularan HIV/AIDS dapat terjadi melalui cairan tubuh yang mengandung virus
HIV, dapat melalui hubungan seksual, baik homoseksual maupun heteroseksual, jarum
suntik pada pengguna narkotika, transfuse komponen darah, dan dari ibu yang terinfeksi
HIV ke bayi yang dilahirkannya.3
Pada kasus ini, penderita terinfeksi HIV mungkin dari suami, karena penderita
tidak pernah berganti pasangan, atau pengguna obat-obatan terlarang dengan injeksi.
Suami ke-2 memiliki faktor risiko tinggi terkena HIV karena suka berganti pasangan.
Selain penderita yang sedang hamil, janin yang dikandung juga beresiko terinfeksi HIV.
Di negara maju, risiko penularan HIV dari ibu ke anak sebesar 2%. Hal ini karena
sudah tersedianya layanan yang memadai untuk mencegah penularan.1,2 Angka ini bisa
dicapai bila antiretroviral diberikan pada saat kehamilan, persalinan, dan pada bayi baru
lahir setelah proses kelahiran melalui seksio sesaria.10 Bila pengobatan antiretroviral baru
dimulai pada saat proses persalinan maka angkanya dapat mencapai 10%. 11 Tetapi, di
negara berkembang, tanpa adanya akses intervensi, risikonya meningkat.1,2
Saat ini, upaya intervensi untuk mengurangi risiko penularan HIV ke bayi dari ibu
yang diketahui HIV positif sudah semakin maju. Tidak hanya terfokus pada perempuan
hamil yang telah terinfeksi HIV, melainkan dilakukan pula upaya-upaya sebelum itu.
Seperti, strategi untuk mencegah perempuan agar tidak terinfeksi HIV ataupun strategi
mengurangi risiko penularan HIV ke bayi jika terdapat perempuan yang tidak mengetahui
dirinya terinfeksi HIV.1,2 Pencegahan HIV perinatal sudah terbukti mengurangi angka
penularan ibu ke bayi.12

Menurut WHO, terdapat 4 (empat) prong yang perlu diupayakan untuk mencegah
terjadinya penularan HIV dari ibu ke bayi. Prong tersebut yaitu (1) Mencegah terjadinya
penularan HIV pada perempuan usia reproduksi, (1) Mencegah kehamilan yang tidak
direncanakan pada ibu HIV positif, (3) Mencegah penularan HIV dari ibu HIV positif ke
bayi yang dikandungnya, (4) Memberikan dukungan psikologis, sosial, dan perawatan
kepada ibu HIV positif beserta bayi dan keluarganya. Prong keempat ini adalah lanjutan
dari tiga prong sebelumnya.1,2
Kasus ini termasuk dalam prong 3, karena ibu mengetahui dirinya terinfeksi HIV
menjelang persalinan. Hal ini disebabkan diagnosis yang terlambat sehingga intervensi
yang dapat dilakukan meliputi: (1) pelayanan kesehatan ibu dan anak yang komprehensif,
(2) layanan konseling dan tes HIV secara sukarela, (3) pemberian antiretroviral untuk
mencegah penularan dari ibu ke janin (gambar 2 dan 3, tabel 1), (4) konseling tentang
HIV dan makanan bayi serta pemberian makanan bayi, (5) persalinan seksio sesaria
karena dapat menurunkan transmisi ke janin hingga 87%, bila diberikan bersama
ARV.1,3,13
Tata laksana terhadap ibu dan anak ini sudah sesuai dengan strategi WHO, sesuai
algoritma di atas berupa pemberian ARV duviral 2 x 1 tablet selama 7 hari, neviral 1 x
200 mg dosis tunggal terhadap ibu, dan persalinan seksio sesaria yang dilanjutkan dengan
tubektomi. Hal ini mengingat usia ibu yang sudah 38 tahun dan anak yang dikandung
merupakan anak ke-7 dan risiko penularan terhadap anak apabila ibu ini melahirkan
kembali. Pada penderita diberikan ARV profilaksis duviral dan neviral, karena penderita
masih berada dalam stadium 1. Hasil limfositnya 1197/mm 3 sedangkan pada anaknya
diberikan ARV nevirapin 1 x 7 mg dosis tunggal dan zidovudin 2 x 7 mg selama 1 bulan,
karena ibu penderita sebelumnya tidak mendapat ARV antepartum.
Kasus ini dapat dicegah agar tidak masuk dalam prong 3, apabila sebelumnya
dilakukan konseling dan tes HIV. Sebelumnya banyak orang mengkhawatirkan adanya
pelanggaran hak asasi manusia jika konseling dan tes HIV dilakukan secara rutin. Akibat
dampak negatif yang ditimbulkan yaitu perasaan terisolasi, depresi, ancaman bocornya

rahasia, diskriminasi, maupun kekerasan, baik di tempat kerja atau bahkan keluarga.14,15,16,17
Namun, pada 1999, The Institute of Medicine ( IOM ) telah merekomendasikan
pemeriksaan HIV untuk semua perempuan hamil sepengetahuan perempuan tersebut,
disertai hak pasien untuk menolak. Rekomendasi ini juga telah diadopsi oleh American
Academy of Pediatrics, American College of Obstetrician and Gynecologist, serta United
States Public Health Services (USPHS).18,19,20
Saat ini, di seluruh dunia digalakkan sebuah program bernama PICT. PICT adalah
program yang didesain untuk memutus mata rantai penularan virus HIV. Program ini
menggabungkan antara tawaran untuk konseling dan tes HIV ke dalam layanan klinik
seperti pemeriksaan tuberkulosis, sexual transmitted disease, maupun perencanaan
keluarga. Seorang wanita dapat menerima atau menolak ketika ditawarkan untuk
menjalani tes (gambar 4)7 PICT, sebaiknya ditawarkan pada pemeriksaan antenatal oleh
petugas kesehatan.7,21
Seseorang yang ingin menjalani tes HIV untuk keperluan diagnosis harus
mendapatkan konseling prates, agar orang tersebut mendapat informasi yang sejelasjelasnya. Dengan demikian, dia lebih bisa menerima keadaan dirinya dan memutuskan
yang terbaik buat dirinya. Setelah diberi tahu hasil tes, baik positif maupun negatif, orang
tersebut juga memerlukan konseling pasca-tes. Pada konseling pasca-tes, jika hasil
positif, akan diberitahu informasi mengenai pengobatan dan cara mencegah penularan.
Untuk yang hasil tesnya negatif, diberitahukan agar mempertahankan perilaku tidak
berisiko.21,22
Keuntungan PICT adalah (1) membuat konseling maupun tes HIV bisa lebih
diterima di antara populasi yang berisiko sehingga meningkatkan cakupan orang yang
diperiksa; (2) membantu mengidentifikasi orang-orang yang memenuhi syarat mendapat
obat antiretroviral; (3) layanan terapi dan perawatan lebih efisien.7

Dengan adanya PICT, ibu ini sebenarnya tidak perlu dirujuk, terutama bila telah
tersedia obat ARV, tenaga, dan sarana penunjang yang memadai, kecuali bila ada stigma
ataupun diskriminasi terhadap ibu ini.
Untuk ke depannya, diharapkan agar PICT menjadi sebuah program yang
dijalankan secara rutin, terutama di daerah dengan populasi penduduk berisiko tinggi
terkena HIV khususnya NTT, sehingga semakin banyak orang dengan HIV dapat
dideteksi dan ditangani lebih dini. Hal ini secara tidak langsung juga membantu menekan
risiko penularan virus HIV kepada orang lain. Selain itu, yang tidak kalah penting adalah
penelusuran penularan virus HIV dari suami ke-2 dari penderita kepada kelima istri yang
lain dari suami ke-2 ini, dan anak-anaknya.

DAFTAR PUSTAKA
1. Pratomo H, Djauzi S, Naing AM, et al. Pedoman Nasional Pencegahan Penularan
HIVdari Ibu ke Bayi. Departemen Kesehatan RI 2006.
2. Soewahjudi, Simatupang B, Yosep R. Pedoman Tatalaksana Klinis Infeksi HIV di Sarana
Pelayanan Kesehatan. Departemen Kesehatan RI 2001.

3. Kelly M. Natural History of HIV Infection. In: Hoy J, Lewin S, editors. HIV
Management in Australasia. ASHM Inc 2003: 41-6.
4. Anonymous. Strategi Penanggulangan AIDS Nasional 2007-2010. Available at
http://www.scribd.com/mobile/documents/15440493.Accesed February 3, 2011.
5. Anonymous. HIV Counselling and Testing. 2010. Available at
http://www.usaid.gov/our_work/global_health/aids/TechAreas/prevention/counseling_test
ing.html.Accesed February 3, 2011.
6. Anonymous. Statistik kasus AIDS di Indonesia sd Desember 2010. Available at
http://health.groups.yahoo.com/ group/wartaaids/message/3365.Accesed March 22, 2011.
7. CDC. HIV/AIDS Surveillance Report, 2005. CDC 2007: 154. Available at
http://www.cdc.gov/hiv/topics/surveillance/resources/reports/2005report.Accessed March
22, 2011.
8. WHO. Antiretroviral drugs for treating pregnant women and preventing HIV infection in
infants in resourcelimited settings: towards universal access. 2006 [cited 2011 22 March];
Available from: http://www.who.int/hiv/pub/guidelines/ pmtct/en/index.html.
9. S, Behets F. Desperately seeking targets: the ethics of routine HIV testing in low income

countries. Bulletin of the WHO. 2006;84:52-57

You might also like