You are on page 1of 31

KATA PENGANTAR

Puji syukur pada Tuhan Yang Maha Esa atas berkah dan rahmatNya kami
dapat menyelesaikan penulisan referat Ilmu Penyakit Mata ini yang berjudul
Xeroftalmia.
Penulisan referat ini merupakan salah satu tugas wajib dalam menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik di bagian Penyakit Mata RS Haji Surabaya. Kami
mengucapkan banyak terima kasih kepada dr. Aminoe, Sp.M yang telah
memberikan waktu luang untuk membimbing kami, serta semua pihak yang telah
membantu dalam menyelesaikan referat ini.
Semoga referat ini bermanfaat dalam menambah pengetahuan bagi para
pembaca dan kami sebagai penulis. Kami menyadari bahwa referat ini jauh dari
sempurna, untuk itu kami mengharapkan saran dan kritik membangun, sehingga
referat ini lebih bermanfaat bagi kita semua

DAFTAR ISI
Kata Pengantar...............................................................................................1
Daftar Isi........................................................................................................2
BAB I Pendahuluan.......................................................................................3
BAB II Tinjauan Pustaka...5
2.1. Anatomi dan Fisiologi Mata...5
2.2. Vitamin A..11
2.3. Xeroftalmia....11
2.3.1. Definisi....11
2.3.2. Etiologi........................................................................................13
2.3.3. Epidemiologi...............................................................................14
2.3.4. Patofisiologi................................................................................14
2.3.5. Diagnosis.....................................................................................19
2.3.6. Klasifikasi....................................................................................21
2.3.7. Terapi...........................................................................................22
2.3.8. Komplikasi...................................................................................23
2.3.9. Pencegahan..................................................................................24
BAB III Komplikasi.....................................................................................26
Daftar Pustaka...............................................................................................27
Gambar..........................................................................................................28

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Xeroftalmia masih merupakan masalah penting di negara-negara yang

berkembang dan ditemukan terutama pada balita. Sering xeroftalmia ditemukan


pada anak-anak dengan PCM (Protein Calorie Malnutrition). Faktor-faktor yang
menunjang terjadinya xeroftalmia adalah:

Keadaan sosio-ekonomi yang buruk


Tak berpengetahuan atau kebodohan
Kurang pendidikan kesehatan
Takhyul
Angka penyakit infeksi tinggi:

bronkitis,

TBC

paru,

morbili,

gastroenteritis.(1)
Sejak 10 tahun terakhir kasus xeroftalmia di Indonesia sudah jarang
ditemukan, sehingga ketika muncul kembali kasus-kasus xeroftalmia di berbagai
daerah, tidak dapat segera terdeteksi karena keterbatasan kemampuan para tenaga
kesehatan. Berdasarkan hasil kunjungan di beberapa provinsi, menunjukkan
munculnya kasus xeroftalmia pada penderita gizi buruk. (1)
Berdasarkan hasil kunjungan di beberapa propinsi, menunjukkan
munculnya kasus xeroftalmia pada penderita gizi buruk. Kasus xeroftalmia
ditemukan mulai dari tingkat ringan sampai berat. Mengingat kasus gizi buruk
masih terdapat hampir di seluruh propinsi, di khawatirkan akan terjadi ledakan
kasus xeroftalmia di Indonesia. (1)
Di Indonesia Kurang Vitamin A (KVA) masih merupakan masalah gizi
utama. Sejak sepuluh tahun terakhir, kasus- kasus kurang vitamin A tingkat berat
3

(xeroftalmia) sudah jarang ditemui, sehingga ketika muncul kembali kasus-kasus


xeroftalmia di berbagai daerah, tidak dapat segera terdeteksi karena keterbatasan
kemampuan para tenaga kesehatan. (1)
Fungsi vitamin A bagi mata terutama pada proses penglihatan dimana
vitamin A berperan dalam membantu proses adaptasi dari tempat yang terang ke
tempat yang gelap. Kekurangan vitamin A dapat mengakibatkan kelainan pada
sel-sel epitel termasuk sel-sel epitel pada selaput lendir mata. Kelainan tersebut
karena terjadinya proses metaplasi sel-sel epitel, sehingga kelenjar tidak
memproduksi cairan yang dapat menyebabkan terjadinya kekeringan pada mata,
disebut xerosis konjungtiva. Bila kondisi ini berlanjut akan terjadi yang disebut
bercak Bitot. Selain itu, xeroftalmia juga dapat menyebabkan keratomalasia dan
kebutaan. Maka dari itu, penting untuk mendeteksi dini para pasien xeroftamia
agar kebutaan dapat dicegah.(2)
1.2.

Tujuan
1. Mengetahui etiologi, patofisiologi dan gejala klinis dari xeroftalmia agar
dapat dilakukan deteksi dini pasien xeroftalmia.
2. Mengetahui penatalaksanaan, komplikasi dan prognosis xeroftalmia agar
dapat dilakukan tindak lanjut yang tepat untuk pasien xeroftalmia.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Anatomi dan Fisiologi Mata


Bola mata berbentuk bulat dengan panjang maksimal 24 mm. bola mata

dibagian depan (kornea) mempunyai kelengkungan yang lebih tajam sehingga


terdapat bentukan dengan dua kelengkungan yang berbeda. Mata mempunyai
reseptor khusus untuk mengenali perubahan sinar dan warna. Secara keseluruhan
struktur mata terdiri dari bola mata.3
Bola mata di bungkus oleh tiga lapisan jaringan, yaitu:3
1. Sklera merupakan jaringan ikat kenyal memberikan bentuk pada mata, dan
bagian luar yang melindungi bola mata. Bagian depan disebut kornea yang
memudahkan sinar masuk ke dalam bola mata.
2. Jaringan uvea merupakan jaringan vaskuler. Jaringan sklera dan uvea
dibatasi oleh ruang yang mudah dimasuki darah bila terjadi perdarahan
pada ruda paksa disebut juga perdarahan suprakoroid. Jaringan uvea terdiri
atas iris, badan silier dan koroid
3. Lapis ketiga bola mata adalah retina, yang mempunyai susunan 10 lapis.
Retina dapat terlepas dari koroid yang disebut ablasi retina

Gambar penampang mata

2.1.1. Kornea

Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus
cahaya, merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata sebelah depan terdiri
atas lapis:3
1. Epitel
Tebalnya 50 m, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang

saling tumpang tindih, yaitu sel basal, sel poligonal, sel gepeng
Sel basal sering terlihat mitosis sel
Sel basal berikatan erat dengan sel basal disampingnya dan sel
poligonal didepannya melalui dermosom dan makula okluden,
ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit dan glukosa yang

merupakan barier.
Sel basal menghasilkan membrane basal yang melekat erat. Bial

terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren


Epitel berasal dari ektoderm permukaan
2. Membran Bowman
Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan
kolagen yang tersusun tak teratur seperti stroma dan berasal dari
bagian stroma
Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi

3. Stroma
Terdiri atas lamela yang merupakan susunan kolagen. Pada permukaan
terlihat seperti anyaman yang teratur. Keratosit merupakan sel stroma
kornea yang merupakan fibroblast
4. Membran descemet
Merupakan membrane aseluler dan merupakan batas belakang
stroma kornea yang dihasilkan sel endotel dan merupakan

membrae basalnya.
Bersifat sangat elastic dan berkembang terus seumur hidup.

5. Endotel
Berasal dari mesotelium, melekat pada membrane descement melalui
hemidesmososm dan zonula okluden.
Sumber-sumber nutrisi untuk kornea adalah pembuluh-pembuluh darah
limbus, humor aqueus dan air mata. Kornea superfisial juga mendapatkan oksigen
sebagian besar dari atmosfer. Saraf-saraf sensorik kornea didapat dari

percabangan pertama (oftalmika) dari nervus kranialis V (trigeminus).


Transparansi kornea disebabkan oleh strukturnya yang seragam, avaskularitasnya
dan deturgensinya.3
2.1.2. Uvea
Uvea terdiri dari iris, korpus silier dan khoroid. Bagian ini adalah lapisan
vaskular tengah mata dan dilindungi oleh kornea dan sklera.3
2.1.3. Iris
Merupakan lanjutan dari badan silier kedepan dan merupakan diafragma
yang membagi bola mata menjadi dua segmen yaitu segmen anterior dan segment
posterior. Berbentuk sirkular yang ditengah-tengahnya berlubang disebut pupil.3
Secara histologis iris terdiri dari stroma yang jarang dan diantaranya
terdapat lekukan-lekukan yang berjalan radier yang disebut kripta. Di dalam
stroma terdapat sel pigmen yang bercabang, banyak pembuluh darah dan serat
saraf. Dipermukaan anterior ditutup oleh endotel terkecuali kripta, dimana
pembuluh darah dalam stoma dapat berhubungan langsung dengan camera okuli
anterior, yang memungkinkan cepatnya terjadi pengaliran nutrisi ke camera okuli
anterior dan sebaliknya.
Di bagian posterior dilapisi oleh dua epitel yang merupakan lanjutan dari
epitel pigmen retina. Permukaan depan iris warnanya sangat bervariasi tergantung
pada sel pigmen yang bercabang yang terdapat di dalam stroma.
Jaringan otot iris tersusun longgar dengan otot polos yang melingkar pupil
(m. sfingter pupil) terletak di dalam stroma dekat pupil dan di atur oleh saraf
parasimpatik (N. III) dan yang berjalan radial dari akar iris ke pupil (m. dilatator
pupillae) terletak di bagian posterior stroma dan diatur oleh saraf simpatis
Iris menipis didekat perlekatannya di badan silier dan menebal di dekat
pupil. Pembuluh darah disekitar pupil disebut sirkulus minor dan yang berada
dekat badan siliar disebut sirkulus mayor. Iris dipersarafi oleh nervus nasosiliar
cabang dari saraf cranialis III yang bersifat simpatis untuk midriasis dan
parasimpatis untuk miosis
Pupil bekerja sebagai apertura di dalam kamera. Dalam keadaan radang,
didapatkan iris menebal dan pupil mengecil. Dalam keadaan normal pupil sentral

bulat, isokor, reaksi cahaya langsung dan tidak langsung positif. Reaksi pupil ada
tiga, yaitu reaksi cahaya langsung dan tidak langsung, reaksi terhadap titik dekat
dan terhadap obat-obatan.3
2.1.4. Korpus silier
Berbentuk segitiga terdiri dari dua bagian, yaitu
Pars korona, pada bagian anterior bergerigi panjangnya kira-kira 2 mm
Pars plana, yang posterior tidak bergerigi, panjangnya 4 mm
Badan siliar dimulai dari pangkal iris ke belakang samapai koroid terdiri
atas otot siliar dan processus siliar. Otot siliar berfungsi untuk akomodasi. Jika
otot ini berkontraksi menarik prosesus siliar dan koroid kedepan dan ke dalam,
mengendorkan zonula zinii sehingga lensa menjadi cembung.
Radang pada badan siliar akan mengakibatkan melebarnya pembuluh
darah di daerah limbus yang akan mengakibatkan mata merah yang merupakan
gambaran khas peradangan intraokular.
Prosesus siliar menghasilkan cairan mata yaitu, akueous humor yang
mengisi bilik mata depan. Yang berfungsi memberi nutrisi untuk kornea dan lensa.
Pada peradangan akibat hipermi yang aktif, maka pembentukan cairan mata
bertambah sehingga dapat menyebabkan tekanan intra okluler meninggi dan
timbullah glukoma sekunder. Bila peradangan hebat dan merusak sebagian badan
siliar maka produksi akueous humor berkurang, tekanan berkurang dan berakhir
sebagai atrofi bulbi okuli
2.1.5. Khoroid
koroid merupakan suatu membran yang berwarna coklat tua, yang terletak
diantara sklera dengan retina terbentang dari ora serata sampai papil saraf optik.
Koroid terdiri dari beberapa lapis yaitu :

lapisan epitel pigmen


membran bruch (lamina vitrea)
koriokapiler
pembuluh darah sedang dan besar
supra koroid
lapisan supra koroid terdiri dari lapisan protropoblas yang mengandung

nukleus. Membran bruch merupakan membran yang tidak berstruktur. Pembuluh


8

darah besar kebanyakan terdiri dari dari pembuluh darah balik yang kemudian
bergabung menjadi empat vena vortikosa, yang keluar dari tiap kuadran posterior
bola mata yang menembus sklera
pembuluh darah arteri berasal dari arteri siliaris brevis yang mengandung
serat elastis dan khromatofor. Koroid melekat erat pada pinggir N. II dan berakhir
di ora serata.3
2.1.6. Lensa
lensa adalah struktur bikonveks, avaskular tak berwarna dan hampir
transparan sempurna. Tebalnya 4 mm dan diameternya 9 mm. lensa digantung
oleh zonula, yang menghubungkan dengan korpus siliar. Dibagian anterior lensa
terdapat humor aqueus, disebelah posteriornya vitreus. Kapsul lensa adalah suatu
membran yang semipermiabel (sedikit lebih permiabel daripada dinding kapiler)
yang akan memperoleh air dan elektrolit
lensa ditahan ditempatnya oleh ligamentum yang dikenal sebagai zonula
zinnii, yang tersusun dari banyak fibril dari permukaan korpus siliare dan
menyisip ke dalam ekuator lensa.
Secara fisiologik lensa mempunyai sifat tertentu, yaitu:

lentur karena memegang peranan penting dalam akomodasi


transparan karena diperlukan sebagai media penglihatan
terletak ditempatnya
keadaan patologik lensa ini dapat berupa :
tidak lentur pada orang dewasa tua yang mengakibatkan presbiopia
keruh atau yang disebut katarak
tidak berada pada tempatnya yang disebut subluksasi atau dislokasi

2.1.7. Retina
retina adalah selapis lembar tipis jaringan saraf yang semi transparan.
Retina merupakan reseptor yang menerima rangsang cahaya. Retina berbatas
dengan koroid dan sel pigmen epitel reetina, dan terdiri atas 10 lapis, yaitu : (dari
dalam ke luar)

membrana limitans interna


lapisan saraf yang mengandung akson-akson sel ganglion yang berjalan
menuju nervus opticus
9

lapisan sel ganglion


lapisan leksiformis dalam, yang mengandung sambungan-sambungan sel

ganglion dengan sel amakrin dan sel bipolar


lapisan inti dalam badan sel bipolar, amakrin dan sel horizontal
lapisan pleksiformis luar, yang mengandung sambungan-sambungan sel

bipolar dan sel horizontal dengan fotoreseptor


membran limitans eksterna
lapisan fotoreseptor segmen dalam dan luar batang dan kerucut
epitelium pigmen retina
warna retina biasanya jingga dan kadang-kadang pucat pada anemia dan
iskemia dan merah pada hiperemia
pembuluh darah di dalam retina merupakan percabangan arteri oftalmika,
arteri retina sentral masuk retina melalui papil saraf optik yang akan
memberikan nutrisi pada retina dalam. Lapisan luar retian atau sel kerucut
dan batang mendapat nutrisi dari koroid.

2.2.Vitamin A
Vitamin A adalah substansi larut lemak yang dapat ditemukan hati ikan
laut, pada kuning telur dan produk ternak lainnya, sayur-sayuran, dan buah-buahan
kuning. Absorbsi vitamin A normal ditentukan oleh absorbsi normal dari lemak.
Gangguan absorbsi lemak yang disebabkan oleh gangguan sistem empedu
akan menyebabkan menyebabkan gangguan absorbsi vitamin A. setelah diabsorbsi,
vitamin A dibawa ke hepar dalam bentuk kilomikron dan disimpan di hepar atau
dalam jaringan lemak. Dalam darah, vitamin larut lemak diangkut oleh lipoprotein
atau protein pengikat spesifik, dan karena tidak larut air, maka ekskresinya lewat
empedu, yang dikeluarkan bersama feses.
Tumbuh-tumbuhan tidak mensintesis vitamin A, akan tetapi manusia dan
hewan mempunyai enzim di dalam mukosa usus yang sanggup mengubah
karotenoid provitamin A menjadi vitamin A.
Vitamin A penting untuk pertumbuhan, karena merupakan senyawa penting
yang menciptakan tubuh tahan terhadap infeksi dan memelihara jaringan epitel

10

berfungsi normal. Jaringan epitel yang dimaksud adalah terutama pada mata, alat
pernapasan, alat pencernaan, alat reproduksi, syaraf dan system pembuangan urine.
Hubungan antara vitamin A dengan fungsi mata yang normal perlu
mendapat khusus. Vitamin A diperlukan untuk mensintesis rhodopsin, yang selalu
pecah atau dirusak oleh proses fotokimiawi sebagai salah satu proses fisiologis
dalam system melihat. Apabila vitamin A pada suatu saat kurang dalam tubuuh,
maka sintesis visual purpleakan terganggu, sehingga terjadi kelainan-kelainan
penglihatan seperti Xeroftalmia.8
2.3. Xeroftalmia

2.3.1. Definisi
Xeroftalmia adalah kelainan mata akibat kekurang vitamin A(1,2,3). Tidak
hanya pada struktur dari konjungtiva, kornea atau retina tetapi termasuk juga
kerusakan fungsi dari sel batang dan kerucut.4
Sebelum terdeteksi menderita xeropthalmia, biasanya penderita akan
mengalami buta senja. Gejala xeropthalmia terlihat pada kekeringan pada selaput
lendir (konjungtiva) dan selaput bening (kornea) mata. Kekeringan berlarut-larut
menyebabkan konjungtiva menebal, berlipat-lipat, dan berkerut. Selanjutnya pada
konjungtiva akan tampak bercak putih seperti busa sabun (bercak Bitot).
Selanjutnya, kornea akan melunak dan terjadi luka (tukak kornea). Jika kornea
telah putih atau bola mata mengempis terjadi kebutaan permanen yang tidak bisa
dipulihkan kembali.1
Ulkus kornea tipikal pada avitaminosis A terletak di pusat dan bilateral,
berwarna kelabu dan indolen, disertai kehilangan kilau kornea di daerah
sekitarnya. Kornea melunak dan nekrotik (karenanya disebut keratomalacia),
dan sering timbul perforasi. Epitel konjungtiva berlapis keratin, yang terlihat di
bintik Bitot. Bintik Bitot adalah daerah berbentuk baji pada konungtiva, biasanya
pada tepi temporal, dengan limbus dan apeksnya melebar ke arah canthus lateral.
Di dalam segitiga ini, konjungtiva berlipat-lipat konsentris terhadap limbus, dan
materi kering bersisik dapat rontok dari daerah ini ke dalam cul-de-sac inferior.
Kerokan konjungtiva dari bintik Bitot, setelah dipulas menampakkan banyak basil
11

xerosis saprofitik (corynebacterium xerosis; batang-batang berlengkung pendek)


dan sel-sel epitel berkeratin.
Ulserasi kornea akibat avitaminosis A terjadi akibat kekurangan vitamin A
dari makanan atau gangguan absorpsi di saluran cerna dan gangguan pemanfaatan
oleh tubuh. Ulkus dapat terjadi pada bayi yang mempunyai masalah makan; pada
orang dewasa dengan diet ketat atau tidak adekuat; atau pada orang dengan
obstruksi bilier, karena empedu dalam saluran cerna diperlukan untuk penyerapan
vitamin A. kekurangan vitamin A menyebabkan keratinisasi umum pada epitel di
seluruh tubuh. Perubahan pada konjungtiva dan kornea bersama-sama dikenal
sebagai xerophthalmia. Karena epitel jalan nafas juga terkena, banyak pasien bila
tidak diobati akan meninggal karena pneumonia. Avitaminosis A juga
menghambat pertumbuhan tulang. Ini terutama penting pada bayi; misalnya jika
tulang-tulang tengkorak tidak tumbuh dan otak tumbuh terus, timbullah
peningkatan tekanan intrakranial dan papil edema.1
2.3.2. Etiologi
Xeroftalmia disebabkan oleh kekurangan vitamin A yang dipicu oleh
kondisi gizi kurang atau buruk. Kerap terjadi pada bayi lahir berat badan rendah,
gangguan akibat kurang yodium (GAKY) serta anemia gizi ibu hamil. Kelompok
rentan xeroftalmia adalah anak dari keluarga miskin, anak dipengungsian, anak di
daerah yang pangan sumber vitamin A kurang, anak kurang gizi atau lahir dengan
berat badan rendah, anak yang sering menderita penyakit infeksi (campak, diare,
tuberkulosis, pneumonia) serta cacingan serta anak yang tidak mendapat imunisasi
serta kapsul vitamin A dosis tinggi.
Defisiensi vitamin A awalnya merupakan ancaman yang tidak kelihatan,
yang apabila tidak ditangani dapat menyebabkan hilangnya penglihatan seseorang
terutama pada anak-anak. Dampak selanjutnya adalah ketika mereka tidak lagi bisa
melihat pada cahaya yang suram dan akan menderita penyakit yang disebut night
blindness (buta senja) atau xerophthalmia.

12

Apabila penderitaan terus berlanjut konjungtiva dan cornea mata menjadi


kuning, kemudian muncul bercorak pada kornea dan selanjutnya berakibat pada
kebutaan yang permanen.
Penyebab utama kekurangan vitamin A adalah asupan zat gizi vitamin A
(preformed retinol) atau prekursor vitamin A yang tidak mencakupi peningkatan
kebutuhan vitamin A pada kondisi fisiologis dan patologis tertentu, penyerapan
yang kurang kehilangan karena diare sering merupakan penyebab kekurangan
vitamin A.
Faktor yang menjadi penyebab tingginya kasus Xeroftalmia di Indonesia adalah:
a. Konsumsi makanan yang kurang / tidak mengandung cukup Vitamin A atau pro
vitamin A untuk jangka waktu lama
b. Bayi tidak mendapatkan ASI Eksklusif
c. Gangguan penyerapan vitamin
d. Tingginya angka infeksi pada anak (gastroenteritis/diare)

2.3.3. Epidemiologi
Banyak survei prevalensi yang telah dilakukan di berbagai negara selama
lebih 25 tahun belakangan menunjukkan bahwa 5 10 juga anak menderita
xeroftalmia setiap tahun dan dari jumlah tersebut 500.000 di antaranya mengalami
kebutaan. Estimasi pada awal tahun 1920-an, prevalensi kekurangan vitamin A
subklinis pada anak berkisar 125 juta, di mana 1 1,25 juta di antaranya
meninggal per tahun. Angka yang mencengangkan ini berlawanan dengan fakta
bahwa prevalensi xeroftalmia subklinis jelas mengalami penurunan di banyak
negara.
Hal ini nampak jelas di Indonesia, di mana prevalensi kelainan pada mata
turun sebanyak 75% antara tahun 1977 hingga 1992. Seberapa besar penurunan
angka ini disebabkan oleh program pengendalian kekurangan vitamin A masih
belum jelas, namun sebagian besar fakta menunjukkan kalau aktivitas program
pengendalian ikut andil di berbagai negara. Program pemberian suplemen telah

13

banyak dijalankan di berbagai negara di dunia, sehingga bisa dianggap bahwa


prevalensi defisiensi subklinis, dan risiko mortalitas juga mengalami penurunan.
Sebagai contoh, program pengendalian kekurangan vitamin A di Nepal telah
diperluas di seluruh wilayah pada tahun 2001, dengan tingkat cakupan di atas
90%. Upaya ini telah menyelamatkan lebih dari 39.000 nyawa per tahun di negara
Asia selatan ini. (3)
2.3.4. Patofisiologi
Terjadinya defisiensi vitamin A berkaitan dengan berbagai faktor dalam
hubungan yang komplek seperti halnya dengan masalah KKP. Makanan yang
rendah dalam vitamin A biasanya juga rendah dalam protein, lemak dan
hubungannya antar hal-hal ini merupakan faktor penting dalam terjadinya
defisiensi vitamin A.
Vitamin A merupakan body regulators dan berhubungan erat dengan
proses-proses metabolisme. Secara umum fungsi tersebut dapat dibagi dua
(i) Yang berhubungan dengan penglihatan dan
(ii) Yang tidak berhubungan dengan penglihatan.
Fungsi yang berhubungan dengan penglihatan dijelaskan melalui
mekanisme Rods yang ada di retina yang sensitif terhadap cahaya dengan
intensitas yang rendah, sedang Cones untuk cahaya dengan intensitas yang tinggi
dan untuk menangkap cahaya berwarna. Pigment yang sensitif terhadap cahaya
dari Rods disebut sebagai Rhodopsin, yang merupakan kombinasi dari Retinal dan
protein opsin.
Ada dua macam sel reseptor pada retina, yaitu sel kerucut (sel konus) dan
sel batang (sel basilus). Sel konus berisi pigmen lembayung dan sel batang berisi
pigmen ungu. Kedua macam pigmen akan terurai bila terkena sinar, terutama
pigmen ungu yang terdapat pada sel batang. Oleh karena itu, pigmen pada sel
basilus berfungsi untuk situasi kurang terang, sedangkan pigmen dari sel konus
berfungsi lebih pada suasana terang yaitu untuk membedakan warna, makin ke
tengah maka jumlah sel batang makin berkurang sehingga di daerah bintik kuning
hanya ada sel konus saja.
14

Pigmen ungu yang terdapat pada sel basilus disebut rodopsin, yaitu suatu
senyawa protein dan vitamin A. Apabila terkena sinar, misalnya sinar matahari,
maka rodopsin akan terurai menjadi protein dan vitamin A.
Pembentukan kembali pigmen terjadi dalam keadaan gelap. Untuk
pembentukan kembali memerlukan waktu yang disebut adaptasi gelap (disebut
juga adaptasi rodopsin). Pada waktu adaptasi, mata sulit untuk melihat.
Pigmen lembayung dari sel konus merupakan senyawa iodopsin yang
merupakan gabungan antara retinin dan opsin. Ada tiga macam sel konus, yaitu sel
yang peka terhadap warna merah, hijau, dan biru. Dengan ketiga macam sel konus
tersebut mata dapat menangkap spektrum warna. Kerusakan salah satu sel konus
akan menyebabkan buta warna

Gambar Peranan Vitamin A pada Proses Penglihatan

Perubahan dari rhodopsin ke retinene terjadi pada proses penglihatan.


Disini mungkin rhodopsin hanya salah satu dari struktur protein yang akan menjadi
stabil setelah dikombinasi dengan vitamin A.
Efek lain dari vitamin A pada penglihatan yang berpengaruh secara tidak
15

langsung ialah pada epitel kornea dan konjungtiva. Pada keadaan defisiensi, epitel
menjadi kering dan terjadi keratinisasi seperti tampak pada gambaran
Xerophthalmia.
Xeroftalmia merupakan mata kering yang terjadi pada selaput lender
(konjungtiva) dan kornea (selaput bening) mata. Xeroftalmia yang tidak segera
diobati dapat menyebabkan kebutaan. Xeroftalmia terjadi akibat kurangnya
konsumsi vitamin A pada bayi, anak-anak, ibu hamil, dan menyusui.
Patogenesis xeroftalmia terjadi secara bertahap:(5)
1. Buta senja (XN)
Disebut juga rabun senja. Tidak terjadi kelainan pada mata (mata terlihat
normal), namun pengelihatan menjadi menurun saat senja tiba, atau tidak dapat
melihat di dalam lingkungan yang kurang cahaya. Untuk mengetahui keadaan ini,
penderita sering membentur atau menabrak benda yang berada di depannya. Jika
penderita adalah anak yang belum dapat berjalan, agak susah mendeteksinya.
Biasanya anak akan diam memojok dan tidak melihat benda di depannya. Dengan
pemberian kapsul vitamin A maka pengelihatan akan dapat membaik selama 2
hingga 4 hari. Namun jika dibiarkan, maka akan berkembang ke tahap selanjutnya.
2. Xerosis konjungtiva (X1A)
Selaput lendir atau bagian putih bola mata tampak kering, keriput, dan
berpigmentasi pada permukaan sehingga terlihat kasar dan kusam. Mata
akantampak kering atau berubah menjadi kecoklatan.

3. Xerosis konjungtiva dan bercak bitot (X1B)

16

X1B

merupakan

ditambah

dengan

tanda-tanda
bercak

X1A
seperti

busasabun atau keju, terutama di daerah


celah mata sisi luar. Mata penderita
umumnya tampak bersisik atau timbul
busa.

Dalam

keadaan

berat,

tampakkekeringan meliputi seluruh permukaan konjungtiva (bagian putih mata),


konjungtiva tampak menebal, berlipat-lipat, dan berkerut. Dengan pemberian
vitamin A yang baik dan pengobatan yang benar, bercak akan membaik selama 2
hingga 3 hari, dan kelainan mata akan menghilang dalam waktu 2 minggu.

4. Xerosis kornea (X2)


Kekeringan pada konjungtiva berlanjut hingga kornea (bagian hitammata)
sehingga tampak kering dan suram, serta permukaan kornea tampak kasar.
Umumnya terjadi pada anak yang bergizi buruk, menderita penyakit campak,
ISPA, diare, dan sebagainya. Pemberian vitamin A yang benar akan membuat
kornea membaik setelah 2 hingga 5 hari, dan kelainan mata akan sembuh selama 2
hingga 3 minggu.

17

5. Keratomalasia dan ulserasi kornea (X3A/ X3B)


Kornea melunak seperti bubur dan terjadi ulkus kornea atau perlukaan.
Tahap X3A bila kelainan mengenai kurang dari 1/3 permukaan kornea. Tahap X3B
bila kelainan mengenai sama atau lebih dari 1/3 permukaan kornea. Keadaan
umum penderita sangatlah buruk. Pada tahap ini dapat terjadi perforasi kornea
(pecahnya kornea). Bila penderita telah ditemukan pada tahap ini maka akan
terjadi kebutaan yang tidak dapat disembuhkan.

6. Xeroftalmia Scars (XS)


Disebut juga jaringan kornea. Kornea mata tampak memutih atau bola mata
tampak mengempis. Jika penderita ditemukan pada tahap ini, maka kebutaan tidk
dapat disembuhkan.

7. Xeroftalmia Fundus (XF)


Dengan menggunakan funduskopi kita bisa melihat bagian belakang bola
mata

18

2.3.5. Diagnosis
Keadaan mata yang kering seperti pada penderita xeroftalmia sering
mengeluhkan adanya sensasi gatal atau rasa mata berpasir (sensasi benda asing).
Gejala umum lain adalah mata sakit, merah, sensasi terbakar, sekresi mukus
berlebihan, tidak mampu menghasilkan air mata, fotosensitif, dan sulit
menggerakkan palpebra.
Ciri histopatologik pada xeroftalmia termasuk timbulnya bintik-bintik
kering pada kornea dan epitel konjungtiva, pembentukan filamen, hilangnya sel
goblet konjungtiva, pembesaran abnormal sel epitel nongoblet, peningkatan
stratifikasi sel dan penambahan keratinisasi.
Ciri paling khas pada pemeriksaan mata pada xeroftalmia dengan slitlamp
adalah terputusnya meniskus air mata di tepian palpebra inferior. Benang-benang
mukus

kental

kekuning-kuningan

kadang-kadang

terlihat

dalam

forniks

konjungtiva inferior. Pada konjungtiva bulbi tidak tampak kilauan yang normal dan
mungkin menebal, edema dan hiperemik. Epitel kornea terlihat bertitik halus pada
fissura interpalpebra. Sel-sel epitel konjungtiva dan kornea yang rusak terpulas
dengan Rose Bengal 1%, dan defek epitel kornea terpulas dengan fluorescein. Pada
tahap lanjut akan terlihat satu ujung pada setiap filament melekat pada epitel
kornea dan ujung lain bergerak bebas. Diagnosis penderita xeroftalmia dapat
diperoleh dengan memakai cara diagnostik, seperti:
1. Tes Schirmer
Tes ini dilakukan dengan mengeringkan lapisan air mata dan memasukkan
strip Schirmer (kertas saring Whartman No. 41) ke dalam cul de sac
konjungtiva inferior pada batas sepertiga tengah dan temporal dari palpebra
inferior. Bagian basah yang terpapar diukur lima menit setelah dimasukkan.
Panjang bagian basah kurang dari 10 mm tanpa anestesi dianggap
abnormal.
19

2. Tes Break-up Time


Tes ini berguna untuk menilai stabilitas air mata dan komponen lipid dalam
cairan air mata; diukur dengan meletakkan secarik kertas berfluorescein di
konjungtiva bulbi dan meminta penderita untuk berkedip. Lapisan air mata
kemudian diperiksa dengan bantuan filter cobalt pada slitlamp, sementara
penderita diminta tidak berkedip. Selang waktu sampai munculnya titiktitik kering yang pertama dalam lapis fluorescein kornea adalah break-up
time. Biasanya lebih dari 15 detik. Selang waktu akan memendek pada
mata dengan defisiensi lipid pada air mata.
3. Tes Ferning Mata
Sebuah tes sederhana dan murah untuk meneliti komponen musin air mata ;
dilakukan dengan mengeringkan kerokan lapisan air mata di atas kaca
obyek bersih.
4. Sitologi Impresi
Adalah cara menghitung densitas sel Goblet pada permukaan konjungtiva.
Pada orang normal, populasi sel Goblet paling tinggi di kuadran infra nasal.
5. Pemulasan Fluorescein
Dilakukan dengan secarik kertas kering fluorescein untuk melihat derajat
basahnya air mata dan melihat meniskus air mata. Fluorescein akan
memulas daerah yang tidak tertutup oleh epitel selain defek mikroskopik
pada epitel kornea.
6. Pemulasan Rose Bengal
Rose Bengal lebih sensitif daripada fluorescein. Pewarna ini akan memulas
semua sel epitel yang tidak tertutup oleh lapisan musin yang mengering
dari kornea dan konjungtiva.
7. Pengujian kadar lisozim air mata
Air mata ditampung pada kertas Schirmer dan diuji kadarnya dengan cara
spektrofotometri.
8. Osmolalitas air mata
Hiperosmolalitas air mata telah dilaporkan pada keratokonjungtivitis sicca
20

dan pemakai lensa kontak; diduga sebagai akibat berkurangnya sensitifitas


kornea. Laporan-laporan penelitian menyebutkan bahwa hiperosmolalitas
adalah tes yang paling spesifik bagi kerato- konjungtivitis sicca, karena
dapat ditemukan pada pasien dengan tes Schirmer normal dan pemulasan
Rose Bengal normal.
9. Laktoferin
Laktoferin dalam cairan air mata akan rendah pada pasien dengan
hiposekresi kelenjar lakrimal.
2.3.6. Klasifikasi
Klasifikasi xeroftalmia berdasarkan WHO :2
Tanda primer:

Tanda sekunder:

X1A

xerosis konjungtiva

X1B

xerosis konjungtiva + bercak Bitot

X2

xerosis kornea

X3A

xerosis kornea + ulkus

X3B

keratomalasi

XN

night blindness, nyctalopia, buta senja

XF

xeroftalmia fundus

XS

sikatrik kornea

2.3.7. Terapi 6
1. Pemberian vitamin A
Defisiensi vitamin A ringan harus di terapi. Pada orang dewasa dengan
dosis 30.000 unit/ hari selama 1 minggu. Kasus-kasus berat mula-mula
memerlukan dosis yang jauh lebih tinggi (20.000 unit/ KgBB/ hari). Salep
sulfonamida atau antibiotika dapat digunakan secara lokal pada mata untuk
mencegah infeksi bakteri sekunder. Rata-rata keperluan harian vitamin A adalah
1500-5000 IU untuk anak-anak, menurut usia, dan 5000 IU untuk dewasa.1
Gejala
XN (buta senja),atauXIA

Hari 1
Hari 2
Beri kapsul vitamin -

(Xerosis A

dengan

Hari ke 15
-

dosis

21

konjungtiva)

tanpa sesuai umur

pernah sakit campak 3


bulan terakhir
Ada salah satu gejala
-

XIB

Bitotnanah/

Beri kapsul vitamin Beri kapsul vitamin Beri kapsul vitamin

(bercak A

dengan

radang- sesuai umur

dosis A

dengan

sesuai umur

dosis A

dengan

sesuai umur

kornea keruh- ulkus


kornea pernah sakit
campak dalam 3 bulan
terakhir
Umur

Dosis

< 6 bulan
6 -11 bulan
1 5 tahun

3 x 50.000 SI (1/2 kapsul biru)


100.000 SI (1kapsul biru)
200.000 SI (1 kapsul merah)

Jadwal dan Dosis Pemberian Kapsul Vitamin A pada anak penderita Xeroftalmia

2. Pemberian Obat Mata :


Pada bercak Bitot tidak memerlukan obat tetes mata, kecuali ada infeksi
yang menyertainya. Obat tetes/salep mata antibiotik tanpa kortikosteroid
(Tetrasiklin 1%, Khloramfenikol 0.25-1% dan Gentamisin 0.3%)diberikan pada
penderita X2, X3A, X3B dengan dosis 4 x 1 tetes/hari dan berikan juga tetes mata
atropin 1 % 3 x 1 tetes/hari.
Pengobatan dilakukan sekurang-kurangnya 7 hari sampai semua gejala
pada mata menghilang. Mata yang terganggu harus ditutup dengan kasa selama 35 hari hingga peradangan dan iritasi mereda. Gunakan kasa yang telah dicelupkan
kedalam larutan Nacl 0,26 dan gantilah kasa setiap kali dilakukan pengobatan.
Lakukan tindakan pemeriksaan dan pengobatan dengan sangat berhati-hati. Selalu
mencuci tangan pada saat mengobati mata untuk menghindari infeksi sekunder,
Segera rujuk ke dokter spesialis mata untuk mendapat pengobatan lebih lanjut.
2.3.8. Komplikasi (1)

22

dosis

Xeroftalmia disebabkan oleh hipovitaminosis A. Secara klinis, terjadi


Xerosis konjungtiva dengan bercak Bitot yang khas dan perlunakan kornea
(Keratomalasia), yang nantinya dapat menyebabkan perforasi dari kornea.
Malnutrisi protein menyebabkan eksaserbasi penyakit dan menjadikannya
refrakter terhadap pengobatan dan sering mengakibatkan kebutaan.
Bayi yang terkena sering tidak dapat bertahan sampai dewasa, dan
meninggal akibat:
1. Malnutrisi.
2. Pneumonia yang dikarenakan epitel jalan nafas juga terkena
3. Diare karena epitel gastro intestinal terkena
Avitaminosis A juga menghambat pertumbuhan tulang. Jika tulang
tengkorak tidak tumbuh sedangkan otak tumbuh terus, timbul peningkatan
intrakranial dan papil edema.
2.3.9 Pencegahan
Prinsip dasar untuk mencegah dan menanggulangi masalah Kurang
Vitamin A dan Xeroftalmia adalah menyediakan vitamin A yang cukup untuk
tubuh. Selain itu perbaikan kesehatan secara umum turut pula memegang
peranan.2
Dalam upaya menyediakan vitamin A yang cukup untuk tubuh, ditempuh
kebijaksanan sebagai berikut:

Meningkatkan konsumsi sumber vitamin A alami melalui penyuluhan

Menambahkan vitamin A pada bahan makanan yang dimakan oleh


golongan

sasaran secara luas (fortifikasi)

Distribusi kapsul vitamin A dosis tinggi secara berkala(2)

Ketiga pendekatan ini bukan merupakan upaya yang masing-masing berdiri


sendiri, namun pada sebagian besar progam menerapkan berbagai kombiasi dari
strategi tersebut. Pendekatan yang paling banyak diterapkan dalam program
pengendalian kurang vitamin A adalah pemberian suplemen vitamin A dosis tinggi
secara berkala. Pada pendekatan ini diberikan kapsul berbasis minyak 200.000 UI

23

setiap 4 6 bulan sekali pada anak berusia di atas 12 bulan dan separo dosis bagi
anak berusia 6 12 bulan. (7)
Penambahan vitamin A ke dalam makanan yang dikonsumsi merupakan
strategi sentral yang digunakan di banyak negara untuk meningkatkan status
vitamin A. Contohnya di negara Barat, di mana susu dan margarin adalah contoh
dua makanan yang biasa ditambah dengan vitamin A.

(3)

Upaya meningkatkan

konsumsi bahan makanan sumber vitamin A ini dapat melalui proses komunikasiinformasi-edukasi (KIE) merupakan upaya yang paling baik. Namun, agar efektif
harus dipilih bahan makanan yang tepat. (2) Bahan makanan ini harus dikonsumsi
dalam jumlah yang cukup oleh populasi target (biasanya segmen populasi miskin),
harus diproses secara sentral sehingga upaya kendali mutu relatif mudah
diterapkan, dan penambahan vitamin A jangan sampai mengubah rasa, warna, atau
kualitas organoleptik produk makanan maupun meningkatkan biaya hingga level
yang tidak dapat dicapai oleh konsumen. Pendekatan ini telah dicoba di sejumlah
negara berkembang, dan sekarang telah tersedia berbagai produk yang telah
diperkaya dengan vitamin A. Namun, penambahan vitamin A belum menjadi
komponen sentral dalam program pengendalian kekurangan vitamin A di banyak
negara, terutama disebabkan oleh belum adanya produk makanan yang dibeli oleh
kelompok ekonomi lemah dalam jumlah besar dan belum ada kriteria teknis yang
memuaskan untuk upaya penambahan vitamin A ini. Perlu disadari pula bahwa
penyuluhan tidak akan segera memberikan dampak nyata. (7)
Selain itu kegiatan fortifikasi dengan vitamin A masih bersifat rintisan.
Peningkatan asupan preformed retinol atau beta-carotene dalam diet, yang akan
diubah menjadi retinol di dalam tubuh, merupakan pendekatan jangka panjang
terpilih dan dapat bertahan dalam waktu lama untuk mengendalikan kekurangan
vitamin A. Namun, berbagai penghalang untuk merubah perilaku diet terbukti
sulit diatasi. Di antaranya perspektif budaya tentang makanan yang tepat bagi
anak kecil, fakta bahwa sumber preformed retinol di dalam diet harganya mahal
dan di luar jangkauan mereka yang berisiko tinggi, dan kurangnya ketersediaan
makanan kaya vitamin A pada musim tertentu. Meski pendekatan ini tetap
merupakan tujuan dari berbagai program yang tengah dikembangkan, namun
24

semakin banyak pihak menerima bahwa pemberian suplemen vitamin A akan


menjadi strategi pengendalian primer di masa depan. Oleh sebab itu
penanggulangan KVA saat ini masih bertumpu pada pemberian kapsul vitamin A
dosis tinggi. (7)

BAB III
KESIMPULAN
1. Xeroftalmia disebabkan oleh defisiensi vitamin A yang dipicu oleh gizi
yang buruk. Kekurangan vitamin A menyebabkan keratinisasi dan
perubahan pada konjungtiva dan kornea sehingga didapati gejala seperti
mata sakit, merah, sensasi terbakar, sekresi mukus berlebihan, dry eye
syndrome, fotosensitif dan sulit menggerakkan palpebra.
2. Penatalaksanaan untuk pasien xeroftalmia adalah dengan pemberian
vitamin A. Untuk mencegah infeksi bakteri sekunder, diberikan salep
sulfonamida atau antibiotika. Jika tidak segera ditangani, maka akan
menimbulkan komplikasi berupa bercak bitot, ataupun perlunakan kornea
yang nantinya dapat menyebabkan perforasi dari kornea hingga kebutaan.
Bayi yang terkena xeroftalmia sering tidak dapat bertahan sampai dewasa
dan meninggal akibat malnutrisi, pneumonia yang disebabkan oleh
keratinisasi epitel jalan nafas dan diare karena keratinisasi epitel GI track.

25

DAFTAR PUSTAKA

1. Cornelia,SKM, MSc et all.2002.Deteksi Dini Xeroftalmia.Departemen


Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat ,Direktorat
Gizi Masyarakat dengan Helen Keller Indonesia Jakarta. 2002
http:// www.hki-indo.org/vitamina/downloads/xero.pdf
2. Ani kurniawan et all. Deteksi Dini dan Tatalaksana Kasus Xeroftalmia. Jakarta:
departemen kesehatan. 2014
3. Vaugn, Daniel et all.2012.Kornea.Oftalmologi umum. Jakarta.Penerbit Widya
medika, pp : 141, 426
4. Sutphin, John E et all. Nutritional and Physiologic Disorders. External
Disease and Cornea. AAO. USA.2006.pp : 82-84
5. Semba, Richard D, MD, MPH. Nutrition and Ophthalmology. New jersey:
Humana press. 2007 ; Page 21-34
6. Departemen Kesehatan RI, 2010. Pedoman Pemberian Kapsul Vitamin A
www.gizi.netpedoman-gizidownload KG
7. VanNewKirk, Mylan et all. Vitamin A Deficiency Disorders. International
Ophthalmology.AAO.USA.2005.pp: 99-108
8. Rahayu, Imbang Dwi, 2011, Klasifikasi, Fungsi dan Metabolisme Vitamin,
Jurusan

Peternakan,

Fakultas

pertanian-peternakan,

Universitas

Muhammadiyah Malang.

26

GAMBAR

Gambar 1. Xeroftalmia Scars (XS)

Gambar 2. Xerosis konjungtiva (X1A)

27

Gambar 3. A: Xerosis Konjungtiva dan Bercak Bitot (X1B); B : Xerosis Kornea


(X2); C : Xerosis Kornea (X2); D : Xeroftalmia Scars (XS)

28

Gambar 4. 1 : Xerosis Kornea (X2); 2 : Xerosis Konjungtiva (X1A); 3 : Xerosis


Konjungtiva (X1A); Keratomalasia (X3A)

Gambar 5. Xerosis Konjungtiva (X1A)

Gambar 6. Xerosis Kornea (X2)

29

REFERAT SMF MATA RSU HAJI SURABAYA

XEROFTALMIA

Disusun oleh :
S. Khansa Zatalini
Firman A. Islami
30

Universitas Muhammadiyah Malang


Fakultas Kedokteran
2016

31

You might also like