Professional Documents
Culture Documents
TESIS
AMILA
0906505086
UNIVERSITAS INDONESIA
TESIS
AMILA
0906505086
PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya saya
sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun yang
dirujuk telah saya nyatakan dengan benar
Nama
: Amila
NPM
: 0906505086
Tanda Tangan
Tanggal
: 20 Januari 2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat
dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini
dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan
tahap akademik pada program Pasca Sarjana Kekhususan Keperawatan
Medikal Communication
Bedah dengan AC)
judul Pengaruh Pemberian Augmentative and Alternative
(A
gan
terhadap Kemampuan Fungsional Komunikasi dan Depresi Pasien Stroke
Den
han
Afasia Motorik di RSUD Garut, Tasikmalaya dan
Banjar.
ima
Dalam penyusunan tesis ini tidak lepas dari bantuan dan bimbingan serta ara
dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini saya mengucapkanang
ter kasih yang tidak terhingga kepada :
1.
lam
2.
lam
3.
Ibu Dewi Irawaty, MA., PhD, selaku Dekan Fakultas Ilmujana
Keperaw
Universitas Indonesia;
4.
Ibu
Pascasar
6.
Ketua Program
an
Studi
lalu
Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas
segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga tesis ini membawa
manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu keperawatan.
ini
saya
buat
dengan
Dibuat di
: Depok
Pada tanggal : 20 Januari 2012
Yang menyatakan
( Amila)
ABSTRAK
Nama
Program
Studi
Judul
:
:
:
Amila
Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia
Pengaruh Pemberian Augmentative and Augmentative and
Alternative Comunication (AAC) terhadap Kemampuan
Fungsional Komunikasi dan Depresi pada Pasien Stroke
dengan Afasia Motorik di RSUD Garut, Tasikmalaya
dan
Banjar
ABSTRACT
Name
Study Program
Indonesia
Title
: Amila
: Post Graduate Nursing Faculty of Nursing University of
: The Influence of Conducting Augmentative and Alternative
Communication
(AAC) to
the Communication
Functional Ability and Depression for Stroke Patients with
Motor Aphasia in Garut, Tasikmalaya and Banjar Hospital
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN
PERNYATAAN ORISINALITAS ..
KATA PENGANTAR ..
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS.
ABSTRAK
ABSTRACT .
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ........................
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR SKEMA ...
DAFTAR LAMPIRAN ....
i
ii
iii
ivi
vi
vii
viii
ix
xi
xii
xiii
xiv
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ...
1.2 Rumusan Masalah ..
1.3 Tujuan Penelitian ....
1.4 Manfaat Penelitian ..
1
13
14
14
16
29
39
42
52
61
70
71
73
74
77
78
82
83
83
110
115
BAB 6 PEMBAHASAN
6.1 Interpretasi dan Diskusi Hasil Penelitian .. 122
6.2 Keterbatasan Penelitian . 150
6.3 Implikasi Hasil Penelitian . 151
BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan 150
7.2 Saran .. 151
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN - LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Hal
3.1
4.1
74
108
109
109
109
111
114
116
116
117
118
118
119
120
121
DAFTAR GAMBAR
Hal
20
26
46
DAFTAR SKEMA
2.2
3.1
4.1
4.2
Halaman
70
73
77
106
DAFTAR LAMPIRAN
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Masalah
Belakang
baha
neurologis ini dapat terjadi secara mendadak dan harus ditangani secara cepat
n
tepat (Black & Hawks, 2009). Stroke dibagi dalam dua kategori mayor
han
y stroke iskemik dan hemoragik. Stroke iskemik disebabkan oleh
dan
trombus embolus, dengan jumlah pasien stroke iskemik adalah 87%,
aitu
sedangkan st hemoragik terjadi akibat pecahnya pembuluh darah
atau
yang menyebab perdarahan intraserebral atau ruang subarachnoid, dengan
roke
jumlah 13% yang te dari 10% perdarahan intraserebral dan 3% perdarahan
kan
subarakhnoid (AHA, 2
rdiri
Black & Hawks, 2009). Data ini menunjukkan insiden stroke iskhemik
010;
l banyak dibandingkan dengan stroke hemoragik.
ebih
Stroke merupakan gangguan serebrovaskular utama di Amerika Serikat
berbagai negara di dunia. Upaya pencegahan telah membawa penurunan
dan
lam
penye utama kematian ketiga setelah penyakit jantung dan kanker. Menurut
WHO tahun 2007, sekitar 15 juta orang menderita stroke di seluruh
dunia se tahunnya. Dari jumlah tersebut, 5 juta meninggal dan 5 juta lagi
bab
pada
tiap
acat
650.000 terjadi se tahunnya (World Health Report, 2007), sedangkan
tiap
ikat
ang
setiap tahun. Total pasien stroke di Amerika Serikat tahun 2008 sekitar 65,5 juta
orang (Bornstein, 2009), dengan peningkatan 700.000 pasien stroke baru setiap
tahunnya (Black & Hawks, 2009).
Stroke tidak hanya terjadi di negara maju, tetapi juga terjadi di
negara berkembang, termasuk Indonesia. Di Indonesia prevalensi stroke dari
tahun ke
aten
Kabup Garut merupakan beberapa rumah sakit pemerintah yang terdapat di arat.
Jawa B Kasus stroke di RSUD Kota Tasikmalaya dari tahun ke tahun
erus
jumlahnya t meningkat dan menempati urutan pertama dari seluruh kasus afan
sistem persyar yang ada di RSUD Kota Tasikmalaya. Pada tahun 2010
roke
kan
425
pati
RSUD kota Banjar pun selalu menem urutan pertama dari seluruh kasus mlah
system persyarafan yang ada dengan ju
533
asia
Af sensoris terjadi akibat gangguan yang melibatkan pada girus temporal rior,
supe yang ditandai oleh ketidakmampuan memahami bahasa lisan dan bila ia wab
menja iapun tidak mampu mengetahui apakah jawabannya salah. Pada
orik
afasia mot terjadi akibat lesi pada area Broca pada lobus frontal yang gan
ditandai den kesulitan dalam mengkoordinasikan pikiran, perasaan dan jadi
kemauan men simbol bermakna dan dimengerti oleh orang lain dalam
dan
bentuk ekspresi verbal tulisan. Sedangkan afasia Global disebabkan oleh usak
lesi yang luas yang mer sebagian besar atau semua daerah bahasa yang
lagi
ditandai dengan tidak adanya bahasa spontan dan menjadi beberapa patah itu
kata yang berulang ulang (itu saja) disertai ketidakmampuan memahami
yang diucapkan.
kira
Di
Amerika
Serikat
700.000
stroke
terjadi
setiap tahundengan
dan kirastroke.
170.000
kasus
barulebih
daridari
afasia
setiap
tahun
berhubungan
Diperkirakan
sekitar
sampai 1,5
juta
orang
dewasa
di Amerika
mengalami afasia. (Kirshner, 2009; Smeltzer & Bare, 2002). Jumlah pasien
afasia akan terus bertambah karena lebih banyak pasien stroke yang dapat
bertahan hidup (Smeltzer
& Bare, 2002).
Data tentang afasia akibat stroke di berbagai rumah sakit di Indonesia melalui
rekam medik, jurnal dan situs sangat terbatas. Hal ini dapat disebabkan karena
dalam rekam medik hanya mengklasifikasikan data berdasarkan diagnosa
medis dan adanya keterbatasan dalam mendeteksi/ mengidentifikasi afasia,
sehingga jumlah afasia tidak diketahui dengan pasti. Walaupun data afasia tidak
diketahui dengan pasti, tetapi afasia mempunyai dampak negatif terhadap pasien
dan orang disekitar pasien.
Afasia memiliki dampak negatif terhadap kesejahteraan pasien,
ian,
kemandir partisipasi sosial dan kualitas hidup karena komunikasi yang kuat
tidak ade (Kirshner, 2009). Selain itu pasien afasia mempunyai mortalitas nggi
yang lebih ti dan kemampuan fungsional yang lebih rendah dibandingkan asia
pasien tanpa af (Kirshner, 2009). Kondisi ini dapat terjadi karena
mpu
aan
nya
itu
(Mulyatsih & Ahmad, 2010). Selain pasien afasia mempunyai mortalitas onal
yang lebih tinggi dan kemampuan fungsi yang rendah daripada pasien tanpa
afasia (Kirshner, 2009).
tiap
Depresi paska stroke (DPS) merupakan gangguan mood yang dapat terjadi ada
se waktu pada fase akut atau satu tahun paska stroke dengan puncaknya
lam
terjadi p bulan pertama (Dahlin et al, 2008). Sedangkan menurut Sit et al jam
(2007) da penelitiannya terhadap 95 pasien stroke menemukan kejadian
8%.
depresi pada 48 setelah masuk rumah sakit sebesar 69% dan 6 bulan
hun
setelahnya
sebesarstroke
4
pertama paska
dan puncaknya diperkirakan pada 6 bulan paska
stroke
(Schub
2010).
Afasia
&
Caple,
merupakan
masalah
fungsional akibat
stroke
yang
dapat
et al, 2007). Menurut Amir (2005), frekuensi depresi lebih tinggi pada
pasien afasia motorik daripada afasia global (71%:44%). Tingginya frekuensi
depresi pada pasien afasia motorik disebabkan oleh tingginya kesadaran pasien
akan ketidakmampuan yang dialami pasien dan selain itu,
lesi yang
oleh
ukti
neurologis (Lee, T Tsoi, Fong & Yu, 2009). Sedangkan menurut Schub &
rro,
ang
intelektual, riwayat pribadi keluarga depresi atau tinggal sendirian menjadi ang,
faktor penyebab terjadinya dep paska stroke.
atan
atau
gan
s &
oleh
tara
itian
upa
juga
merupakan faktor yang mempengaruhi depresi dan pemulihan bicara pada afasia.
Peningkatan
dukungan
keluarga
yang
tersedia
dapat
menjadi strategi
penting dalam mengurangi atau mencegah tekanan jiwa dan depresi paska stroke
(Salter, Foley & Teasell, 2010).
Depresi paska stroke memiliki efek negatif terhadap pemulihan fungsi kognitif,
aktivitas hidup sehari hari dan dapat meningkatkan kematian (Caiero, Ferro,
Santos & Luis, 2006). Pasien
akan
sosial,
menjadi rendah diri dan rehabilitasi yang tidak optimal. Selain itu depresi dapat
berdampak pada orang yang merawat pasien dan menghambat komunikasi
diantara perawat dan pasien (Meifi & Agus, 2009; Finke, Light & Kitko, 2008).
Peran seorang perawat sebagai bagian dari tim pelayanan kesehatan,
kan
cara
asuhan
keperawatan
kepada pasien
stroke se komprehensif dan terorganisir sejak fase hiperakut hingga fase agar
pemulihan dapat mempengaruhi outcome pasien paska stroke (Rasyid &
07).
Soertidewi, 20
agai
lain
mengekspresikan
emosi,
kebutuhan
rasa
takut
dan
mengemukakan pendapat.
nuhi
ikan
Peranan perawat pada pasien stroke setelah melewati fase akut adalah memeang
kebutuhan
sehari
berbahasa,kan
Selain
(Mulyatsih, dalam
berkomunikasi dengan
pasien
pada
afasia
& Soertidewi,
menjadi role
model untuk
Rasyid
masalah
(Poslawsky,
keperawatan
Schuurmans,
dan intervensi
Lindeman
&
Hafstensdottir,
2010). Deteksi dini dan latihan wicara pada pasien afasia tidak hanya
dapat mempengaruhi pola penyembuhan otak, tetapi juga dapat meningkatkan
keterampilan berkomunikasi, sehingga dapat mengurangi isolasi pada pasien dan
meningkatkan partisipasi dalam rehabilitasi (Salter, Jutai, Foley, Hellings
&
Teasell, 2006). Sekitar 79% pasien stroke afasia dari ringan berat tidak dapat
terdeteksi,
karena
tidak
adanya
deteksi
afasia.
Deteksi
dini
afasia
dan
lam
ung
dan
deteksi dini afasia, lat wicara bahasa dapat dimulai sesegera mungkinihan
(Poslawsky, Schuurm Lindeman & Hafstensdottir, 2010). Hasil pengkajian ans,
yang ditemukan juga d menentukan diagnosa dan intervensi keperawatan
apat
pada pasien dengan gangg komunikasi (McCloskey & Bulechek, 2000, uan
dalam Powlasky, Schuurm Lindeman & Hafstensdottir, 2010).
ans,
Diagnosa keperawatan dan masalah kolaboratif pada fase akut stroke yang
d ditemukan pasien afasia dalam NANDA (2011) adalah gangguan komuniapat
verbal; menurun, tertunda atau tidak ada kemampuan untuk menerkasi
memproses dan menggunakan simbol simbol. Walaupun intervensi afasia ima,
t
sepenuhnya terintegrasi ke dalam aktivitas keperawatan, tetapi hasilidak
tem
uan
lam
metode
yang
tepat
untuk
meningkatkan
kemampuan
berbicara yang jelas dalam kalimat yang pendek, berikan waktu untuk
memahami pertanyaan, menggunakan papan gambar atau alat bantu bila perlu
(Ackley & Ladwig, 2011; Bulecheck & McCloskey, 2002). Selain itu upaya
untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi pasien afasia dapat dilakukan
dengan latihan komunikasi.
Hasil sistematik review oleh Poslawsky Schuurmans, Lindeman &
Hafs
komunikasi/wi secara intensif yang dimulai pada fase akut paska stroke tens
menunjukkan h rehabilitasi yang terbaik terhadap fungsi berbahasa
dotti
r
cara
anggota keluarga terdekat perawat. Menurut Burton (2000, dalam Rowat, asil
Lawrencen, Horsburgh, Leg Smith (2009), dalam rehabilitasi stroke, perawat gga
dapat berperan sebagai careg fasilitator dalam penyembuhan pasien dan
rena
dan
iver,
wat,
keluarga
yang dapat
diberikan pada pasien stroke dengan afasia adalah dalam bentuk empat
dimensi seperti dimensi informasi, emosional, instrumental dan penghargaan.
Fase rehabilitasi dapat dimulai pada hari pertama pasien mengalami stroke,
namun proses ini ditekankan selama fase pemulihan dan memerlukan
upaya dan kerjasama dari berbagai tim kesehatan, termasuk keluarga. Menurut
Lewis, Heitkemper & Dirksen (2000) setelah pasien stroke stabil selama 12
-24 jam perawatan kolaboratif dilakukan untuk mengurangi kecacatan dan
meningkatkan fungsi optimal. Sasaran utama program rehabilitasi adalah
perbaikan mobilitas, menghindari
nyeri,
pencapaian
perawatan
diri,
komunikasi dan
pencapaian
beberapa
tidak adanya
bentuk komplikasi (Smeltzer, Bare, Hinke, Cheeve,
201
0)
Latihan komunikasi merupakan tindakan yang diberikan kepada individu
ang
y mengalami gangguan komunikasi, gangguan berbahasa, bicara dan
uan
gangg menelan (hsdc, 2005). Didalamnya meliputi bagaimana membuat
dan
suara bahasa, termasuk pengertian dan pemilihan kata yang digunakan.
nya
Tujuan secara spesifik adalah meliputi kejelasan dalam ucapan,
ntuk
kemampuan u mengerti kata kata sederhana, kemampuan membuat
uan
pengertian, kemamp mengeluarkan kata- kata yang solid/jelas dan dapat
dimengerti (Aini, 2006).
erta
Berbagai cara digunakan untuk memfasilitasi komunikasi pada pasien afasia
angi
s mendorong pasien berkomunikasi, bahkan yang kecil sekalipun untuk
ini
mengur frustasi, depresi dan isolasi sosial (Mulyatsih & Ahmad, 2010).
wig,
Pendapat sesuai dengan pendapat Happ, Roesch & Kagan (2005 dalam
idak
Ackley & Lad
apat
2011), bahwa penggunaan alat bantu komunikasi diperlukan ketika pasien t
gkat
mampu berkomunikasi secara verbal. Beberapa alat bantu komunikasi yang d
han
dilakukan pada pasien afasia menurut NIC adalah penggunaan peran
erisi
elektronik, papan alfabet, papan gambar/ flash card yang berisi gambar
11);
Ackley & Swan (2008); Dochterman & Bulecheck (2004); Smeltzer, Bare,
Hinkle
& Cheever (2010). Bila dilihat intervensi keperawatan masalah komunikasi
di atas, intervensi tersebut merupakan bagian dari AAC.
Menurut Mustonen et al (1991, dalam Johnson, Hough, King Vos Paul &
Jeffs,
2008), AAC
pengganti
merupakan
penggunaan
perangkat
pendukung
atau
kemampuan
komunikasi
verbal
seseorang.
Beberapa
kondisi
dengan
dia,
multime misalnya laptop yang menyatu dengan hasil bicara/ speech output.
Walaupun keduanya efektif digunakan dalam memfasilitasi komunikasi
bal,
ver namun pada aplikasinya selama ini di beberapa rumah sakit Indonesia
aan
alah
dengan mas komunikasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Fried Oken lam
et al (1991 da Finke,
technology
Light
&
Kitko,
2008),
bahwa
AAC
low npa
tulis
papan alfabet, a lat merupakan AAC yang paling sering digunakan dirumah gan
sakit pada pasien den masalah komunikasi. Hal ini dapat disebabkan karena logy
penggunaan low techno lebih familiar, mudah didapat dan dilakukan
ung
alah
kan
idak
enu
ugas
kan
komponen utama efektifnya dilakukan latihan wicara (Greener & Grant dalam
Powlasky, Schuurmans, Lindeman & Hafsteinsdottir,
2010).
Berbagai hasil penelitian telah sukses menggunakan AAC dalam berkomunikasi
pada pasien
afasia,
ketika
merupakan
suatu
ini
&
dini
dap
.002
hley
artu
a 55
asil
meningkatkan h positif kira kira 1.83 kali pada individu yang menerima
ang
oleh
sia,
asia
ang
nya
mengalami afasia hanya berfokus penanganan fisik saja. Pemberian alat idak
bantu komunikasi pada pasien afasia ha diberikan isyarat atau alat tulis
dan
idak
pasien
untuk
memfasilitasi
mendukung
nya
afasia, selama
sehinggadi latihan
komunikasi
terlambat/tidak
dilakukan.
pasien
rumah sakit.
Bahkan perawat
t mengetahui
kalauKeadaan
pasien ini
tentunya akan menimbulkan berbagai dampak negatif seperti memperlambat pola
penyembuhan dan pasien akan mengalami depresi karena ketidakmampuan
dalam berkomunikasi.
Melihat berbagai dampak pada pasien afasia akibat stroke dan keuntungan
yang diperoleh dengan penggunaan AAC berdasarkan fenomena dan hasil
penelitian
penelitian
tentang
ang
komuni oleh karena proses penyakitnya. Proses deteksi yang akurat dalam
kasi
asia
epat
mengurangi frustasi, dep dan isolasi sosial pada afasia. Salah satu
resi
gan
wat
rbal
dan
perkembangan
hubungan
sosial.
Berdasarkan
fakta
umum
dalam
penelitian
ini
adalah
diketahuinya
pengaruh
sia,
gan
ntrol
tara
pada
kelom intervensi.
pok
mlah
dap
orik
mlah
dap
i.
diberikan
alat
bantu
komunikasi untuk
memfasilitasi
kaya
bagi
atau
pemberian
AAC
antara
(low
onal
bagi
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Stroke
2.1.1 Definisi
Stroke atau cedera serebrovaskuler adalah kehilangan fungsi otak yang
diakibatkan oleh berhentinya suplay darah ke bagian otak. Seringkali ini alah
ad kulminasi penyakit serebrovaskuler selama bertahun-tahun
are,
n &
otak
09),
Sedangkan Black and Hawks (20 mendefinisikan bahwa stroke adalah ntuk
suatu kondisi yang digunakan u menjelaskan perubahan neurologik
lam
cius
atau
perdarahan
ke
ruang
subarakhnoid
yang
disebut
stroke
hemoragik
terjadi
akibat
ruptur
aneurisma
atau
arteriovenous
melitus,
hipertensi
dan
penyakit
rice
kan
osis.
di
kan
ada
p arteri serebral menyebabkan stroke embolik, lebih sering terjadi pada
trial
a fibrilasi kronik (Price & Wilson, 2006). Emboli dapat berasal dari
mor,
tu lemak, bakteri, udara, endokarditis bakterial dan nonbakterial atau
nya
kedua (Black & Hawks, 2009), atrium fibrilasi dan infark miokard yang
jadi
(Ginsberg, 2007).
c. Hemoragik
Sebagian besar hemoragik intraserebral disebabkan oleh ruptur karena
arteriosklerosis. Hemoragik intraserebral lebih sering terjadi pada usia > 50
tahun karena hipertensi. Penyebab lain karena aneurisma. Meskipun
aneurisma biasanya kecil dengan diameter 2-6 mm, tetapi dapat mengalami
ruptur dan
baik
pun
yang jar terjadi diantaranya penekanan pembuluh darah serebral karena ang
tumor, bek darah yang besar, edema jaringan otak dan abses otak (Black uan
& Hawks, 2
009;
Ginsberg, 2007).
2.1.4 Anatomi Fisiologi berbahasa
Semua stimulus auditif (pendengaran) dihantar dari perifer melalui sistem ditif
au ke area auditif primer di girus Hisch, pada kedua lobus temporalis. Di isfer
hem dominan, informasi diteruskan dari area auditif primer langsung ke
iasi
area asos auditif di bagian posterior lobus temporalis superior. Informasi dari ang
hemisfer y non dominan dihantar melalui korpus kollosum ke area asosiasi isfer
auditif dihem yang dominan. Area asosiasi auditif ini dapat dianggap sebagaikasi
pusat identifi kata dan dikenal sebagai area Wernicke.
Setelah suara identifikasi sebagai simbol bahasa, informasi ini diteruskan
area
isfer
oleh
penyampaian
informasi ke area
ditegakkan antara area identifikasi kata dengan area enkoding motor melalui
serabut asosiasi yang menghubungkan bagian posterior girus temporal superior
dengan area operkuler pada lobus frontal.
Area enkoding motorik (area Broca) bertanggung jawab untuk
konversi preeliminer simbol bahasa ke aktivitas motor. Informasi dari area
motor jadi
disampaikan ke area motor primer pada hemisfer untukenkoding
dikonversi
men gerakan motorik yang dibutuhkan yang memproduksi bicara (speech). aktu
Pada w yang bersamaan, terdapat komunikasi antara area broca dengan orik
area mot suplementer yang terletak dibagian medial girus frontal
tnya
area
g ke
yang dominan berjalan langsun area identifikasi kata. Pada jalur kedua,
ang
informasi dari area asosiasi visual y non dominan menyilang ke hemisfer um.
yang dominan melalui korpus kolos Informasi yang berhubungan denganarea
penamaan objek datang dari kedua asosiasi visual ke area pengenalan kata ini
hemisfer yang dominan. Pada waktu area pengenalan impuls yang
berhubungan dengan penamaan objek mema
suki
ogik
Gangguan pembuluh darah otak (stroke) merupakan suatu gangguan neurol
ding
fokal yang dapat timbul sekunder dari adanya trombosis, embolus, ruptur din
nya
pembuluh darah. Akibat adanya sumbatan tersebut mengakibatkan
, sel
pecah pembuluh darah, sehingga aliran darah ke daerah distal mengalami
Bila
gangguan mengalami kekurangan oksigen sehingga mengakibatkan
alis,
terjadinya infark. lesi tersebut terjadi pada daerah hemisfer dominan
rang
tepatnya lobus front dimana dilobus ini terdapat area Broca, maka akan
mpu
mengakibatkan seseo tidak mungkin mampu mengucapkan seluruh
ami
kata-kata (hanya ma mengucapkan kata-kata sederhana) atau dengan
ntuk
kata lain mampu memah bahasa, tetapi kemampuannya mengekspresikan
tulisan atau bahasa lisan akan terganggu, hal ini disebut afasia
ekspresif. Bila lesi terjadi di lobus temporalis kiri, dimana terdapat area
Wernicke, maka klien mampu mengekspresikan bahasa secara utuh, tetapi
pemahaman terhadap kata-kata yang diucapkan atau tertulis terganggu hal ini
disebut afasia reseptif. Hal ini bisa terjadi karena didalam girus temporalis
superior di hemisfer dominan yang dinamakan area Wernicke berfungsi untuk
pendengaran dan penglihatan. Informasi dari area Wernicke tersebut akan
disampaikan ke area
son,
2006) adalah :
1) Umur
gan
nggi
makin
lipat
ti kemungkinan mendapat stroke. Dalam statistik, faktor ini menjadi 2
t
.
kali setelah usia 55 ahun
den bertambahnya usia,
sehingga
makin
bertambah
usia
2) Jenis Kelamin
uali
Hal
pan
esia
usia
dibanding
Eropa
Amerika.
Pada
penelitian
penyakit
2011). Jika pada tahun 1990 stroke masih di urutan ketiga setelah penyakit
jantung dan kanker, tahun 2010 menjadi urutan pertama penyebab kematian
di Indonesia (Pdpersi, 2010).
4) Faktor Keturunan
Adanya riwayat stroke pada orang tua, meningkatkan faktor risiko terjadinya
stroke. Hal ini diperkirakan melalui beberapa mekanisme antara lain a)
faktor genetik; b) faktor
interaksi
faktor genetik
antaradan lingkungan.
b. Faktor risiko yang dapat diubah
Stroke pada prinsipnya dapat dicegah. Sebuah penelitian menunjukkan
ba
50% kematian akibat stroke pada pasien yang berusia di bawah 70 tahun
d dicegah dengan menerapkan pengetahuan yang ada (Hudak & Gallo,
hwa
apat
96).
19
Faktor risiko yang dapat diubah antara lain :
1) Hipertensi
baik
ensi
arah
gara
2) Merokok
enis
Merokok merupakan masalah kesehatan yang utama di banyak ne
ruhi
berkembang termasuk Indonesia. Rokok mengandung lebih dari 4000 j
ktor
bahan kimia yang di antaranya bersifat karsinogenik atau mempenga
ang
sistem vaskular. Penelitian menunjukkan bahwa merokok merupakan fa
oral.
karena
terjadinya
arterosklerosis.
Merokok
12% - 14% kematian akibat stroke (AHA/ASA, 2006). Menurut WHO dalam
World Health Statistics (2007), total jumlah kematian akibat tembakau
(merokok) diproyeksikan naik dari 5,4 juta pada tahun 2005 menjadi 6,4 juta
pada tahun 2015 dan 8,3 juta pada tahun 2030.
ilasi
5) Dislipidemia
Meningkatnya kadar kolesterol total dan Low Density Lipoprotein
(L berkaitan erat dengan terjadinya aterosklerosis. Kolesterol LDL
DL)
nggi
ada
25%
6) Latihan fisik
Pasien stroke direkomendasikan melakukan latihan fisik (olah raga)
se teratur
hari
ihan
tkan
roke
(AHA/ASA, 2006).
7) Kegemukan
Kegemukan biasanya berhubungan dengan pola makan, DM tipe 2,
peningkatan kadar kolesterol dan peningkatan tekanan darah. Penghitungan
kegemukan berdasarkan BMI (Body Mass I ndex) yaitu underweight <
18,5, normal 18,5 24,9, overweight 25 29,9, obesitas I 30 34,5, obesitas
II 35
39,9 dan extreme obesity > 40. Central obesitas/gemuk perut dihitung jika
lingkar pinggang (waist
102 cm
kejadian
stroke
dihubungkan
dengan
peningkatan
tekanan
(AHA/ASA,
darah
2006).
9) Konsumsi alkohol
Konsumsi alkohol berlebihan merupakan faktor utama terjadinya
hipert dan penyakit yang berhubungan dengan hipertensi adalah strokeensi
(AHA/A
SA,
w up
ebih
roke
meningkatkan insiden st sebesar 22% dan risiko kematian 30% lebih ohol
tinggi dari non pemakai alk (Bazzano, 2000).
10) Drug Abuse/narkoba
Pemakaian obat-obatan seperti cocain, amphetamine, heroin dan sebagainya
meningkatkan terjadinya stroke. Obat-obat ini dapat mempengaruhi tekanan
darah secara tiba-tiba dan menyebabkan terjadinya emboli (AHA/ASA, 2006).
11) Pemakaian obat kontrasepsi oral
Risiko stroke meningkat jika memakai obat kontrasepsi oral denganosis
d tinggi. Umumnya risiko stroke terjadi jika pemakaian ini dikombinasigan
den adanya usia lebih dari 35 tahun, perokok, hipertensi, dan diabeteshey,
(Hers
Gangguan
istilah
sleep
disordered
2.1.7 Manifestasi
Silbernagl & Lang (2007) menyebutkan, manifestasi klinis stroke ditentukanoleh
tempat perfusi yang terganggu, yakni daerah yang disuplai oleh pembuluh arah
d tersebut. Arteri yang paling sering mengalami gangguan adalah arteri ebri
ser media. Berikut ini tanda dan gejala stroke berdasarkan arteri yang terkena
:
a. Arteri Serebri Media
han
Oklusi pada arteri serebri media yang sering terjadi menyebabkan kelemairus
otot dan spastisitas kontralateral, serta defisit sensorik akibat kerusakan gular
lateral presentralis dan postsentralis. Akibat selanjutnya adalah deviasi okcara
akibat kerusakan area motorik penglihatan, hemianopsia, gangguan bian),
motorik dan sensorik (area bicara Broca dan Wernicke dari hemisferbus
domin gangguan persepsi spasial, apraksia dan hemineglect jika mengenai
lo parietalis (Silbernagl & Lang, 2007).
b. Arteri Serebri Anterior
orik
2007),
gangguan
kognitif
dan
arteri
komunikans
posterior
di
talamus
terutama
akanada
dula
2.1.8 Penatalaksanaan
Menurut Black & Hawks (2009) manajemen medik pada pasien stroke
adalah sebagai berikut :
a. Identifikasi stroke secara dini
Faktor utama dalam intervensi dan tindakan awal pada pasien stroke
adalah ketepatan
dalam
mengidentifikasi manifestasi
klinis
yang
d. Pencegahan komplikasi
lami
enar
yaitu
mengadengan elevasi kepala 30 untuk meningkatkan perfusi serebral dan
aliran balik
vena.
Resiko
aspirasi pneumonia
merupakan
resiko
komplikasi yang cukup tinggi pada pasien stroke. Aspirasi lebih sering
terjadi di awal dan dikaitkan dengan hilangnya sensasi faringeal, hilangnya
kontrol orofaringeal dan penurunan kesadaran. Pada klien stroke untuk
mencegah terjadinya aspirasi
han,
usak
Ada tujuan dari rehabilitasi ini adalah untuk melatih sel-sel yang
tidak r mengantikan sel-sel yang telah rusak.
idup
Pentingnya intervensi dini pada stroke akut sangat menentukan kualitas roke
h pasien dan bahkan mencegah kematian, sehingga motto penatalaksanaanoleh
st adalah Time is Brain. Intervensi ini dilakukan secara
araf,
oke,
n di
dengan faktor risiko str fisioterapi, terapi okupasi, terapi bicara, pekerja (1-4
sosial, ahli gizi yang dilakuka unit stroke. Komponen utama
perawatannya adalah penyelamatan jiwa minggu setelah stroke) dan
ewi,
kan
merupa tempat kemampuan berbahasa diatur (Kirshner, 2009; Aini, 2006). rnya
Pada dasa kerusakan otak yang menimbulkan afasia disebabkan oleh
otak
oleh
inya
ncul
(Barthier, 2005). Afasia dapat mu perlahan seperti pada kasus tumor otak ftar
(Kirshner, 2009). Afasia juga terda sebagai efek samping yang langka ntuk
dari fentanyl, yiatu suatu opioid u penanganan nyeri kronis ( Aini, 2006).
2.2.3 Klasifikasi dan Gejala Klinik
Menurut Lumbantobing (2011) ada banyak klasifikasi afasia yang dibuat oleh
para peneliti atau pakar yang masing masing membuat untuk keperluan
disiplin ilmu mereka. Dasar untuk mengklasifikasikan afasia beragam,
diantaranya ada yang mendasarkan kepada manifestasi klinis, distribusi anatomi
dari lesi yang bertanggung jawab bagi defek dan berdasarkan kasifikasi yang
merujuk pada linguistik.
tak
uku
baca
tkan
meliba operkulum frontal (area Brodman 45 dan 44) dan massa alba lam
frontal da (tidak melibatkan korteks motorik bawah dan massa alba ular
paraventrik (tengah). Kelainan ini ditandai dengan kesulitan dalam
atau
ring
dek-
pendek dan monoton. Pasien sering atau paling banyak mengucapkan kata
kata benda dan kata kerja. Bicaranya bergaya telegram atau tanpa tata
bahasa (tanpa grammar). Contoh : Saya sembuh rumah kontrol
ya .. kon
..trol. Periksa
banyak.
lagi
makan
yang
diterimanya,
hanya
untuk
mengekspresikannya
berup untuk tidak gagal, bagaimana rencana anda untuk maksud ini.
c. Afasia global
Merupakan bentuk afasia yang paling berat. Afasia global disebabkan olehluas
yang merusak sebagian besar atau semua daerah bahasa. Penyebab lesi ang
y paling sering ialah oklusi arteri karotis interna atau arteri serebri
ada
rapa
menjadi bebe patah kata yang diucapkan secara stereotip ( itu itu saja,
ya :
berulang), misaln iiya, iiya, iiya, atau : baaah, baaaah, baaah, atau :ang,
amaaang, amaa amaaaang. Komprehensi menghilang atau sangat
nya
terbatas, misalnya ha mengenal namanya saja atau satu atau dua patah
erat
ggu
Membaca dan menulis juga tergan berat. Afasia global hampir selalu
ang
Pemeriksaan Afasia
Menurut Lezak (1983 dalam Browndyke, 2002), untuk melihat fungsi berbahasa
dan wicara pada pasien afasia dapat dilakukan pemeriksaan aspek perilaku
verbal, seperti bicara spontan, pengulangan kata, frase, kalimat, pemahaman
bicara, penamaan, membaca dan menulis.
2.2.5
Afasia
Pengkajian/Tes
kasi
diidentifi sebagai pusat aktivitas. Menurut Bulechek & McClockey (2000), jian
hasil pengka dan identifikasi yang ditemukan dapat digunakan dalam
ensi
n &
oleh
ning
dan
Ullevaal Scree Test/ UAS. Dalam literatur penelitian stroke, FAST lebihkan
sering dipakai merupakan instrumen skrining pada afasia. FAST lebihley,
sering diguna dibandingkan dengan instrumen pengkajian afasia lainnya
(Salter, Jutai, Fo Hellings & Teasell, 2006, Enderby & Crowby, 1996).
FAST terdiri 18 item yang mengkaji empat aspek bahasa (pemahaman, ekspresi
verbal, membaca dan menulis) dengan skor 0 30 (Enderby et al, 1987 dalam
Lightbody et al, 2007). Dikatakan afasia ialah bila skor < 27 pada usia diatas 60
tahun atau bila skor <25 pada usia dibawah 60 tahun.
2. Tes ini sederhana, metodenya singkat dan cepat hanya memerlukan waktu
3 10 menit, sehingga dapat digunakan pada pasien yang tidak toleransi
dalam waktu yang lama dalam mengkaji pasien afasia.
3. Instrumen ini dapat dipakai selama fase akut dan paska akut
stroke.
man,
mah,
iliki
6. FAST menunjukkan validitas yang baik (r <`0.73 0.91), mem
gan
sensitivitas yang tertinggi 87% dan spesifitas 80% dibandingkan
AST
den instrumen UAS. UAS dikembangkan berdasarkan FAST.
gan
Validitas F terhadap Functional Communication Profile (FCP)
sien
adalah baik den korelasi koefisien 0.87 (P<0.001), dan
reliabilitas dengan koefi Kendalls adalah 0.97.
b. Kekurangan :
Penilaian FAST menjadi kurang baik dapat dipengaruhi oleh beberapa
tor,
tian,
memerlukan waktu paling cepat sekitar 20 menit dan paling lama sekitar 3 jam,
tentunya dapat sulit dilakukan
pada pasien
Penatalaksanaan
lam
Rehabilitasi afasia saat ini berfokus pada status fungsional pasien afasia da
asia
melaksanakan aktivitas sehari hari (Sundin & Jansson, 2003). Rehabilitasi
ktif
af dapat memperbaiki pasien dengan gangguan berbahasa agar menjadi
utro,
produ atau memperbaiki kualitas hidupnya (Goldstein, 1987, dalam
alah
Kusumop
10).
1992). Penanganan yang paling efektif saat ini untuk mengobati afasia ad
ikan
dengan melakukan latihan wicara (Kirshner, 2009, Media Indonesia,
puti
20
aik.
Menurut Aini (2006), tujuan utama dari latihan wicara adalah
tian
mengembal
lam
kemampuan dalam berkomunikasi yang akurat. Dalam hal ini meli
buat
percakapan, membaca atau menulis, mengkoreksi angka/kata lebih b
apat
Didalamnya meliputi bagaimana membuat suara dan bahasa, termasuk
penger dan pemilihan kata yang digunakan. Tujuan spesifik meliputi :
kejelasan da ucapan, kemampuan dalam mengerti kata kata sederhana,
rti:
kemampuan mem perhatian dan kemampuan mengeluarkan kata kata yang
jika
solid/jelas dan d dimengerti.
b. Efektifitas terapi afasia akan meningkat jika terapi menggunakan
bentuk stimulus audio dalam bentuk musik dan stimulus visual dalam
bentuk gambar
gambar serta lukisan. Jenis stimulus ini sebaiknya digunakan secara
rutin selama mengikuti sesi terapi afasia.
b)
meningkatkan
kemampuan
komunikasi
c)
meningkatkand)stimulasi
pendengaran
membantu koping keluarga.
Menurut Tarigan (2009), beberapa bentuk terapi afasia yang paling
se digunakan, adalah :
ring
toh,
ikan
juga
seperti kata kata gemb Latihan seperti ini akan membantu pasienira.
mempraktekkan kemamp komprehensif sementara tetap fokus pada
uan
dari
b. Program Stimulus
Jenis terapi ini menggunakan berbagai modalitas sensori, Termasuk gamb
gambar dan musik. Program ini diperkenalkan dengan tingkat kesukaranar
y meningkat dari tingkat yang mudah ke tingkat yang sulit.
ang
nan
alah
peningkatan
kemampuan
lainnya. Hal ini bisa juga dilakukan dengan anggota keluarga. Efeknya akan
sama sekaligus juga mempererat komunikasi pasien
dengan orang
Metode ini terutama dipergunakan untuk pasien dengan curah verbal kan
y sangat kurang yang disebabkan oleh kelainan dihemisfer kiri,
ulus
ahui
perti
ktor
Menurut Prins dan Maas (1993 dalam Kusumoputro, 1992), bahwa faktor
fa yang mempengaruhi pemulihan wicara bahasa pada afasia adalah :
a. Luas cedera
Pada
hakekatnya
inan
luasnya
kerusakan
berhubungan
erat
denganbila
baik
mengenai
pemulihan
karena
pembentukan
edema
dan
mum
ang
Selain itu den bertambah tuanya seseorang, terdapat kemungkinan lebih gan
besar untuk ter berbagai penyakit dan cacat tubuh (penyakit jantung kena
dan pembuluh da penyakit gula) yang dapat mempengaruhi proses
rah,
pemulihan afasia.
e. Intelegensi dan Pendidikan
Ada dugaan bahwa tingkat inteligensi dan pendidikan yang lebih tinggi
merupakan faktor positif bagi pemulihan afasia, tetapi hal ini tidak
ung
diduk oleh bukti. Tingkat inteligensi dan pendidikan yang tinggi diiringi gkat
oleh tin aspirasi yang lebih tinggi pula dengan segala frustasinya. Ada inan
kemungk bahwa tingkat inteligensi yang lebih tinggi memacu pemulihan asia
gangguan af yang lebih besar, tetapi hal ini tidak dapat dihubungkan
gan
berbahasa
dilakukan secara tidak formal, dapat memilih waktu yang tepat, saat pasien
dalam keadaan bermotivasi dan anggota keluarga cukup tahu mengenal
hal ikhwal keadaan pasien (Prins & Maas, 1993, Kusumoputro, 1992).
Hal yang harus dipahami oleh keluarga adalah bahwa pasien afasia
tetap membutuhkan kesempatan mendengar pembicaraan orang lain secara
normal. Bila keluarga mengabaikan pasien stroke yang mengalami afasia,
mendiamkan atau menganggap seolah olah pasien tidakmisalnya
memahami
pembicaraan keluarga, pasien akan merasa frustasi dan sakit hatih &
(Mulyatsi Ahmad, 2008).
Anggota keluarga dapat dianjurkan
:
dan
bila
dan
juk,
kan
8.
Memberikan waktu untuk memahami
pembicaraan.
Menurut Salter, Foley & Teasell, 2010, peningkatan dukungan keluarga
yang tersedia dapat menjadi strategi penting dalam mengurangi atau mencegah
tekanan jiwa dan
diberikan
kan
aik,
saat
ung,
Dukungan yang bersifat nyata, dimana dukungan ini berupa bantuan langsatau
seperti bantuan mengerjakan tugas tertentu pada saat mengalami stress suk
penyediaan sarana untuk mempermudah atau menolong orang lain,
terma didalamnya selalu memberikan peluang waktu.dan dalam bentuk
uang.
d. Dimensi penghargaan
Dimensi ini terjadi melalui ekspresi berupa sambutan yang positif
gan
ide
gan
etisi
jadi
lami
terjadi pertuk ide ide atau pemikiran (Berman, Snyder, Kozier & Erb, gga
2008). Sedang menurut Sundin & Jonson (2003), melalui
kan
aran
kan
dan
ling
sehin menyebabkan klien merasa diisolasi, tidak utuh, tidak berdaya. Jika
gga
idak
dapat berinteraksi dengan orang lain karena penyakit, keterbatasan fisik,
gangguan karena terapi atau alasan emosi, maka perawat harus mendorong
pasien untuk meningkatkan kemampuan komunikasinya (Potter & Perry, 2005).
Hal ini karena peran seorang perawat sebagai bagian dari tim pelayanan
kesehatan, diharapkan mampu memberikan asuhan keperawatan kepada pasien
stroke secara komprehensif dan terorganisir sejak fase hiperakut hingga fase
pemulihan agar dapat mempengaruhi outcome pasien paska stroke (Rasyid &
Soertidewi, 2007).
lain
untuk mengekspresikan
emosi,
kebutuhan
mengemukakan pendapat.
Salah satu upaya untuk meningkatkan kemampuan komunikasi pada pasien
adalah dengan meningkatkan keterampilan berkomunikasi. Keteramp
afasi
mendengar dan juga berbicara ditekankan pada program rehabilitasi. Pasien d a
dibantu dengan menyediakan papan komunikasi. Papan komunikasi ini bilan
gambar, kata kata, huruf atau simbol aktivitas kegiatan harian pasienapat
se dengan kegiatan yang diminta atau diungkapkan. Yang perlu diingaterisi
adalah ba papan komunikasi ini sebagai media komunikasi untuksuai
mengantisipasi keing pasien dan mencegah pasien frustasi. Pasien harushwa
dianjurkan u mengungkapkan kebutuhan pribadi dan menggunakan papaninan
tulis bila t mampu mengekspresikan kebutuhan.(Smeltzer & Bare, 2002;ntuk
Mulyatsih Ahmad, 2008; Potter & Perry, 2005).
idak
&
2.4 Augmentative
(AAC)
&
Alternative
Communication
oleh
kasi
Schlosser (20 intervensi AAC mampu memfasilitasi produksi suara. Hal
AAC
ini didukung sistematik review Finke, Light & Kitko (2008), tentang
ntuk
efektivitas komuni perawat pada pasien dengan masalah komunikasi
kan
pada pengunaan menunjukkan bahwa strategi ini dapat membantu
ang
perawat dan pasien u berkomunikasi dengan lebih baik satu sama lain,
mengalami keterbatasan, sehingga banyak pasien yang tidak mampu untuk
berpartisipasi secara verbal dalam interaksi komunikasi pada saat latihan wicara
(Beukelman et al., 2007).
pada pasien
gan
lsy,
atic
elah
bal,
kasi
lam
kedipan mata dan kepala yang dianggukkan (Finke, Light & Kitko, 2008;
Wikipedia, 2011). Sedangkan metode komunikasi yang menggunakan perangkat
mencakup penggunaan kertas dan pensil, gambar, papan alfabet, buku
komunikasi sampai menggunakan komputer laptop dengan sintesis wicara.
Sistem komunikasi yang menggunakan alat diklasifikasikan menjadi
AAC teknologi sederhana/low technology yaitu tanpa menggunakan elektronik
mulai oleh
dari kartu bergambar, buku komunikasi dengan kata kata yang ditampilkan
gambar dan simbol yang dapat ditunjukkan oleh pasien, papan komunikasi ang
y sederhana, papan alfabet, alat tulis, majalah/surat kabar. .
Sedangkan AAC yang berteknologi tinggi/high technology menggunakan
sis komputer/elektronik
dengan
kemampuan
multimedia.
tem
Teknologinggi
ikan
ang
008;
er et
La Ponte, 2005 dalam Wikipedia, 2011). Hal ini didukung oleh penelitian
asa.
kan
percobaan p tiga pasien dengan anomia, seperti afasia ringan, gangguan atan
dalam menemu kata setelah menggunakan terapi komputer, ditemukan
terjadi peningk kemampuan bahasa.
Sedangkan menurut NIC, intervensi keperawatan pada pasien gangguan
komunikasi verbal bertujuan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi pada
pasien afasia. Menurut Dochterman & Bulecheck (2004) peningkatan
komunikasi merupakan bantuan dalam menerima dan mempelajari metode
alternatif pada pasien dengan masalah komunikasi.
Beberapa alat bantu komunikasi yang dapat diberikan pada pasien afasia
menurut NIC dalam (Ackley & Ladwig, 2011; Ackley & Swan, 2008;
Dochterman & Bulecheck, 2004; Smeltzer, Bare, Hinkle & Cheever, 2010),
adalah penggunaan papan alfabet, papan gambar atau flash card yang berisi
gambar, isyarat/gerak tangan, stimulus visual, objek, alat tulis, menggunakan
kata kata yang sederhana, bahan bahan yang berisi tulisan yang dapat
ditunjuk oleh pasien.
Bila dilihat intervensi keperawatan di atas, intervensi tersebut merupakan bagian
dari AAC. Hanya pada AAC, alat bantu komunikasinya mempunyai
yak
ban variasi dibandingkan dengan jenis AAC yang terdapat dalam NIC,erti
sep pantomim, tanda bahasa, komputer dengan kemampuan multimedia.
kan
low
jenis AAC technology yang dapat menggunakan alat /tanpa alat. Menurut et al
Fried Oken (1991 dalam Finke, Light & Kitko, 2008), metode
npa
pan
mah
paling sering digunakan diru sakit pada pasien dengan masalah komunikasi. kan
Hal ini mungkin dapat disebab karena penggunaan AAC yang sederhana dan
lebih familiar, mudah diakses dilakukan untuk memfasilitasi/mendukung
komunikasi pada pasien.
apat
Penggunaan komputer yang merupakan AAC modern (high technology) ds &
diberikan pada pasien afasia sebagai alat bantu komunikasi afasia (Ignatavickan
iu Workman, 2010). Tetapi penggunaan komputer ini perlu mempertimbangruh
kemampuan pasien dan perawat. Hal ini dapat disebabkan karena tidak seluapat
pasien stroke familiar dengan menu menu yang ada dikomputer sehingga uter.
d
Kemampuan dan kondisi pasien merupakan komponen utama efektifnya
dilakukan latihan wicara (Greener & Grant dalam Powlasky, Schuurmans,
Lindeman & Hafsteinsdottir, 2010).
Pada umumnya berbagai terapi modalitas pada gangguan komunikasi ini dapat
menggabungkan
tidak
metode
komunikasi
yang
menggunakan
alat
atau
yang dipilih
dan
keahlian pengguna (Wikipedia, 2011). Selain itu penggunaan AAC juga perlu
mempertimbangkan faktor faktor, seperti kemampuan pemahaman pasien,
karakteristik yang berhubungan
dengan
aspek sosial,
kekuatan
dan
sitas
edia
yang
dimulai
sedini
mungkin
selama
12
minggu,
con
aint
kan
a 10
a 4
Dari beberapa hasil penelitian tersebut, menunjukkan variasi tentang intenang
dan durasi dalam latihan wicara, tetapi yang terpenting latihan harus
dim sedini mungkin setelah fase akut dan pasien stabil. Latihan secara
intensif d meningkatkan neural plasticity, reorganisasi peta kortikal dansitas
meningka fungsi motorik. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan ulai
oleh Xerry, (1998), setelah melakukan percobaan pada binatang dengan
apat
tkan
(Bakheit et al., 20
et al
Penelitian
itu
didukung oleh
hasil penelitian
akut
Robey (1998) dengan
melaku metanalisis pada 55 artikel tentang terapi afasia, bahwa terapi dapat07).
meningka hasil positif kira kira 1.83 kali pada individu yang menerimakan
tkan
ada
Kusumoputro,
1992),
bahwa
terapi yang
intensif
akan
suatu manfaat pemulihan nyata pada pasien apabila diberikan pada waktu terjadi
pemulihan spontan dan hasil maksimal akan didapatkan apabila terapi
dimulai awal dan berlanjut untuk periode beberapa bulan.
2.4.6 Hasil/outcome AAC
Hasil yang dicapai pada pemberian AAC adalah kualitas hidup. Hal ini
dapat terjadi karena pasien yang menggunakan AAC pada umumnya memiliki
dalam hubungan dengan keluarga, teman dan aktivitas hidup yang kepuasan kan.
menyenang Masalah yang berhubungan dengan ketidakpuasan adalah dan
pelayanan dukungan AAC yang menyebabkan hambatan dalam
mm
et al
& Mirenda, 2000, dalam Wikipedia, 2011). Didukung oleh penelitian Johstonuan
tkan
Vos
asi,
& Jeffs (2008); Costello, Patak & Pritchard (2010) yang telah
dimodifik prosedur pemberian AAC adalah :
dap
a. Pra Kegiatan
1.
2.
ngsi
Sebelum memulai pelaksanaan perawat harus melakukan pengkajian
sien
terha tanda tanda vital, kesadaran pasien komposmentis dan stabil, fu
apat
pendengaran, fungsi penglihatan/visual, status emosi pasien, apakah
oses
pa buta huruf atau tidak untuk memberikan alat bantu komunikasi.
Pasien d menggunakan alat bantu dengar, gigi palsu dan kaca mata
Pastikan lingkungan sekitar pasien kondusif, seperti menghindari
dapat
melibatkan
keluarga
untuk
mendampingi
pasien,
4.
Sebelum
pengkajian
pemahaman,
menulis
menggunakan
format
FAST.
Dari
dan
dan
arga
dan
berbicara
dengan
saat
suara
yang
keras/berteriak
pada
ebih
ang
pan
Berikan papan komunikasi yang berisi gambar dan tulisan. Pa
ang
komunikasi yang berisi gambar dapat menjadi pilihan bagi pasien y
ang
tidak dapat membaca (buta huruf). Posisikan papan komunikasi
nyaman bagi pasien dan dapat dibaca. Tampilan papan komunikasi berisi
simbol
simbol/gambar
mbol
ngin
antu
mbar
lien
dan
oleh pasien jelaskan nama objek tersebut. Bila pasien tidak mampu kata
menyebutkan tersebut, bantu pasien menyebutkan suku pertama atau
kata tersebut dengan menggunakan kalimat penuntun. Misalnya : apat
pensil. Kita d membantu dengan suku kata pen atau dengan
ulis
uara
c) Alat tulis
Pasien dapat diinformasikan dan dibantu untuk menggunakan pulpen dan
kertas untuk menyatakan keinginannya. Minta pasien untuk menulis setiap
keinginannya dikertas, seperti mau makan, minum, kemudian katakan
pada pasien untuk membaca tulisan yang ditulisnya dan perintahkan pada
pasien untuk mengulang kembali apa yang dibacanya. Minta juga
pasien untuk
d) mengeja
Strategi berkomunikasi
pasien bercakap ca
kata atau dengan
bagian mengajak
yang
ditulisnya.
misalnya acara televisi, apa yang dimakan pasien pada sarapan pagi,
kap,
ba di koran, dll. Upaya pendekatan ini adalah mengembangkan
caan
kemamp komunikasi.
uan
e) Mendengarkan musik/lagu lagu. Dengarkan sebuah lagu yang
disen pasien, kemudian pasien diajarkan untuk mengambil lagu
lagu terse kemudian diajarkan menyanyikan kalimat kalimat
pada melodi pasien diminta meniru menyanyi.
angi
ut,
dan
f) Foto foto keluarga. Menunjukkan foto foto anggota keluarga pas
5.
tasi,
frus marah, kehilangan harga diri dan emosi pasien menjadi labil. Keadaan ada
ini p akhirnya menyebabkan pasien menjadi depresi (Mulyatsih &
010;
Ahmad, 2
Smeltzer, Bare, Hinkle & Cheever, 2010).
asil
Meskipun penyebab pasti DPS belum diketahui, tetapi berdasarkan DPS
h penelitian yang dilakukan oleh Ross, et al (2010), bahwa faktor risiko
dan
terjadi pada pasien afasia adalah 1) faktor biologi, frekuensi serangan itian
stroke keparahan gangguan berbahasa 2) faktor psikososial, seperti
kan
kesepian. Penel lain yang dilakukan oleh Schub & Caple (2010), bahwa
nya
(c)
saan
DPS dapat diklasifikasikan dalam 3 bentuk, yaitu: (a) ringan, (b) sedang
ong
dan berat.
tuh,
Depresi
berat
dapat
menyebabkan
gangguan
berupa
2.5.2
Stroke
Gangguan mood dan ciri depresi biasa ditemukan, tapi seringkali tidak
mudah dikenali pada pasien paska stroke. Penelitian yang dilakukan Robinson
pada tahun
1997 melaporkan bahwa prevalensi DPS sangat bervariasi 20% 65%. (Suwantara, 2004). Sebagian besar sekitar 40% pasien akan mengalami
depresi dalam 1 2 bulan pertama setelah stroke dan sekitar 10% - 20%
pasien baru mengalami depresi beberapa waktu antara 2 bulan sampai dengan 2
tahun setelah
stroke (Suwantara, 2004). Berbeda dengan penelitian yang dilakukan
ole Sitet al
(2007) terhadap 95 pasien stroke menemukan kejadian depresi pada 48jam
setelah masuk rumah sakit sebesar 69% dan 6 bulan setelahnya sebesar8%.
4
aka,
53%
pust prevalensi DPS dapat terjadi sekitar 6 22% pada 2 minggu pertama,
22 setelah 3 4 bulan, 16- 47% pada tahun pertama.
obal
Frekuensi depresi lebih tinggi pada pasien afasia motorik daripada afasia
r et
gl (71%:44%) (Amir, 2005). Pendapat ini sejalan dengan hasil penelitian ebih
Signe al, (1989 dalam Amir, 2005) bahwa depresi pada pasien afasia
asia
atan
disebabkan
oleh
tingginya
kesadaran
merekajuga
kecac
fisit
Etiologi
Menurut Amir (2005); Andri & Susanto (2008); Meifi & Agus (2009),
penyebab pasti DPS
belum
terdapat
beberapa
a. Faktor biologi
Walaupun penyebab depresi paska stroke tidak diketahui, namun
beberapa penelitian mengatakan lokasi jejas otak memegang peranan otak.
Beberapa peneliti menyokong teori hubungan lateralisasi dengan DPS, tetapi
berdasarkan review yang dilakukan oleh Singh (1998) dan hasil
metaanalisis oleh Carson (2000), tidak menemukan bukti yang konsisten
antara lesi dengan terjadinya depresi (Caeiro, Ferro, Santos & Luisa, 2006).
Gejala
DPS
sebagai akibat lesi pada susunan saraf pusat
otak
dandapat
bisa ditimbulkan
juga akibat dari
gangguan penyesuaian karena ketidakmampuan fisik dan kognitif paska oke
str (Hawari, 2006; Storor & Byrne, 2006).
Depresi timbul sebagai akibat lesi pada daerah otak yang
menyebab terjadinya penurunan sintesis monoamin sehingga terjadi
kan
onin
dan
suasana hati, tidur nafsu makan (Schub & Caple, 2010). Gangguan
ikan
suasana hati dimanifestas dengan marah, frustasi, putus asa dan sering
tian
atas
disi
stroke (Andri & Susanto, 2008). Pada kon depresi dapat terjadi
dan
mik-
hidup dan
keputusasaan. Keadaan
ini selanjutnya
roke
ade
lesi
Beberapa lesi pada otak yang dianggap dapat menyebabkan DPS adalah:
1. Lesi Korteks dan Subkorteks
Penelitian yang dilakukan terhadap DPS didapatkan sekitar 44%
pa dengan lesi di korteks kiri mengalami depresi, sedangkan lesi disien
subkor kiri 39%. Depresi pada lesi korteks kanan 11% dan subkorteksteks
kanan 1
4%.
mel
nyai
ietal
Meskipun demikian terdapat pendapat beberapa ahli yang menen
lain
adanya korelasi dan tingkat depresi pada pasien stroke. Pendapat ters
dingkapkan oleh Berg, dkk (dalam Suwantara, 2004) yang
menyata bahwa pasien lesi hemisfer kiri yang memperlihatkan tang
gejala dep jumlahnya tidak bermakna lebih besar dibandingkan
ebut
dengan pasien lain DPS tidak dipengaruhi oleh lokasi dari lesi.
kan
resi
nya.
b. Afasia
dkk
ana
ang
dan
ada
asia
c. Umur
Menurut Amir (2005), depresi lebih sering terjadi pada usia muda dengan
umur rata rata awitan antara 20 40 tahun. Walaupun demikian, depresi
juga dapat terjadi pada anak anak dan lanjut usia. Sedangkan menurut
Glemcevski et al
(2002) menyatakan bahwa usia lanjut sebagai faktor risiko terjadinya depresi.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitiannya terhadap 80 pasien stroke dengan
umur rata rata 58 (SD 12.5) tahun. Depresi paska stroke di usia lanjut
mungkin
memiliki
hubungan
biologi
dasar
dengan
berkurangnya
neurotransmitter yang berkaitan dengan mood dan emosi. Peneliti lain, Farrel
(2004) menyatakan bahwa depresi cenderung lebih kronis di pasien yang
lebih
tua
dibandingkan
dengan
orang
dewasa
muda.
Sedangkan
berdasarkan
penelitian depresi
hasil paska stroke oleh Darussalam di rumah sakit Blitar
(20 faktor faktor seperti usia dan tingkat pendidikan bukan
11),
ktor
asil
gkat
terhadap keputusaan. Men Teori Depresi Beck (1967 dalam Dunn, 2005), urut
keputusasaan merupakan ge dari depresi.
jala
d. Jenis Kelamin
Jenis kelamin (gender) juga memegang peranan penting di dalam risiko u
ntuk
terjadinya stroke. Dilaporkan laki-laki memiliki risiko stroke lebih ti
dibandingkan perempuan, tetapi oleh karena usia rata-rata perempuan nggi
l
panjang maka pada suatu tingkat usia tertentu jumlah perempuan yebih
mengalami serangan stroke lebih banyak dari laki-laki.
ang
5%12%. Sekitar 15% penderita depresi melakukan usaha bunuh diri. Walau
pun
depresi lebih sering pada wanita, kejadian bunuh diri lebih sering pada
akil laki, terutama lelaki usia muda dan usia tua (Amir, 2005). Sedangkan
urut
men Storor & Byrne (2006) tidak ada hubungan yang signifikan yang
kan
diantara skor dimensi depresi dan karakteristik usia, jenis kelamin. Sedangkan
menurut penelitian Laska (2007); Thomas & Lincoln, 2008) bahwa faktor
faktor yang mempengaruhi prevalensi depresi adalah jenis kelamin, usia,
tingkat dukungan sosial, hidup sendiri dan riwayat gangguan mood. Hal ini
kemungkinan bahwa wanita lebih sering terpajan dengan stressor lingkungan
dan ambangnya terhadap stressor lebih rendah bila dibandingkan dengan
pria.
Defisit
motorik,
meliputi kerusakan
mobilitas,
fungsirasi,
tuan
seperti
rumah
sakit
dan
(Swierzewski, 20
pusat
rehabilitasiiliki
ang
g.
keluarga
Dukungan
Wills & Fegan (2001 dalam Sarafino, 2006) menyatakan bahwa
ada
tara
ngsi
disfu biogenik amin. Badan sel serotoninergik dan noradrenergik terletak di otak
batang dan ia mengirim proyeksinya melalui bundel forebrain media ke
ntal.
korteks fro Lesi yang mengganggu korteks prefrontal atau ganglia basalisusak
dapat mer serabut-serabut ini. Ada dugaan DPS disebabkan oleh
dan
lesi
Respons biokimia terhadap iskemik bersifat lateralisasi. Lesi hemisfer kiri enik
jala
serotonin
(karena
mekanisme
kompensasi)
yang
bersifat
ang
Hal yang penting bahwa depresi dapat menyebabkan kemampuan fungsional ma,
y jelek (Pohjasvaara et al, 2001 dalam Lightbody, 2007), lama rawat yang dan
la kualitas hidup yang rendah (Meifi, & Agus, 2009), penyembuhan
ang
fisik kognitif yang jelek (Moris, et al, 1992 dalam Dahlin, et al, 2007),
sien
rehabilitasi y lama dan meningkatkan kematian yang lebih tinggi (Salter, etsial
al, 2005). Pa afasia dan depresi juga akan mengalami keterbatasan
erat
05).
paska stroke sangat hubungannya dengan tingkat gangguan aktivitas hidup kan
sehari-hari (Amir, 20
mun
erta
menyebab aktivitas penderita stroke menjadi sangat terbatas pada tahun eran
pertama, na dukungan sosial dapat mengurangi dampak dari
ketidakmampuan fisik s depresi tersebut. Ketidakmampuan fisik yang
nsep
nya
(Suwantara, 2004).
perilaku seperti bangun awal, penolakan, menangis, makan atau terlibat dalam
kegiatan, yang dianggap mencerminkan adanya perasaan depresi. Tetapi hal ini
sulit pada
seseorang yang mengalami afasia yang tidak mampu untuk memahami atau
mengekspresikan kata atau ide, sehingga dikembangkan beberapa instrumen
untuk menilai depresi pada pasien stroke afasia.
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk meneliti depresi pada pasien
stroke dengan afasia dan masalah komunikasi dengan berbagai macam alat ukur,
seperti Sign of Depression Scale (SODS), Stroke Aphasic Depression
Questionnaire
Hospital (SADQH), Aphasic Depression Rating Scale (ADRS),
dan sual
Vi
Analog Mood Scale (VAMS) (Bennet & Lincoln, 2006).
kan
Instrumen penelitian Aphasic Depression Rating Scale (ADRS)
dan
dikembang oleh Benaim, Cailly, Perennou & Pelissier pada tahun 2004 untuk
DRS
mendeteksi mengkaji depresi berdasarkan observasi perilaku pada pasien
item
afasia. A digunakan pada pasien yang memiliki afasia karena strokedan
y &
terdiri dari 9 yang dipilih dari Hamilton Depression Rating Scale
ting
(HDRS), Montgomer Asperg Depression Rating Scale (MADRS) dan
eda
Salpetriere Ratardation Ra Scale (SRRR). Skor diberikan dengan
iliki
menambahkan setiap item yang berb pada setiap item, dengan jumlah total
sien
skor yang diperoleh 32. ADRS mem titik potong 9/32 yang dipakai untuk
akin
menentukan adanya depresi pada pa dengan afasia, dengan kesimpulan
semakin tinggi skor yang diperoleh sem menunjukkan gejala depresi.
2.6 Asuhan Keperawatan pada Pasien Stroke dengan Afasia
2.6.1 Pengkajian
Menurut Smeltzer & Bare (2008), setelah fase akut, perawat dapat
kan
Fungsi kandung
ini peran
perawat
sangatlah
penting,
walaupun
dalam
tim
rehabilitasi
secara
osisi
asa,
aca,
lien
visi,
lien.
atau
aan
objek
(anomia)
ketidakmampuan
atau
ketidakmampuan
untuk
suatu
menamakan
atau
ang
kan
bila
plek
suai
menulis.
Perintahkan
klien
untuk
aan
artu,
kan,
5.
Kaji
kemampuan
mengulang
dengan
cara
meminta
pasien
mengulang, mula mula kata yang sederhana (satu patah kata), kemudian
ditingkatkan menjadi banyak (satu kalimat). Jadi kita ucapkan kata
atau angka dan kemudian pasien diminta mengulangnya.
6. Kaji kemampuan menamai dan menemukan kata dengan cara :
a) Minta pasien menyebutkan nama objek, bagian dari objek,
bagian tubuh, warna dan bila perlu gambar geometrik, simbol
nama suatu tindakan.
matematik atau
kan,
Semua pengkajian itu akan lebih baik jika kita tambahkan dari hasil
obser pada klien dalam situasi komunikasi perawat klien sehari hari, vasi
tanpa k merasa sedang dikaji. Pengkajian ini penting dilakukan secara
mendetail u mengetahui jenis gangguan bicara yang terjadi serta
lien
ntuk
penyebab dari gangg tersebut, sehingga dapat diberikan intervensi yang uan
tepat. Selama pengka observasi kelemahan, nyeri dan frustasi (Hoeman, jian
1996). Oleh karena pa afasia tidak mampu mengungkapkan apa yang sien
mereka inginkan, sehin seringkali pasien menjadi frustasi, marah,
gga
kehilangan harga diri dan emosi pa menjadi labil. Keadaan ini pada
sien
akhirnya menyebabkan pasien menjadi dep (Mulyatsih & Ahmad, 2010). resi
Berdasarkan kondisi diatas, maka perawat p
erlu
a.
b.
pasien
pada
masa
sebelumnya
dalam
mengatasi
masalah
kehidupannya,
dan kaji kemungkinan terjadinya risiko menyakiti
diri.
c.
kaji
nutrisi dan berat badan, kaji kebutuhan spiritual, dan kaji keadeku
atan
hubungan dan dukungan sosial lain.
d. Isolasi sosial meliputi kaji pola interaksi antara pasien dan orang lain.
e.
f.
diri,
kaji rasa percaya diri pasien dalam penilaian diri, dan kaji
ensi
ini
gangguan
bahasa adalah
gangguan
suatu
pengalaman
individu
yang
oses
dalam
prntuk
kasi
uan
Intervensi
Definisi peningkatan
komunikasi menurut
Bulecheck
&
McCloskey
mengembalikan
peran
sosial,
memberikan
kesempatan lam
lam
ang
an
kan
ikan
pat,
erta,
ang
(2008); Barker (2002) (Bulecheck & McCloskey, 1999) Gulanick & Myers,
2009 ; Hickey, 2003).
b. Mendengarkan
listening)
secara
aktif
(active
Mendengarkan secara aktif memiliki arti dengan penuh perhatian terhadap apa
yang disampaikan oleh pasien secara verbal dan non verbal. Tindakan ini
dapat memfasilitasi komunikasi klien (Potter & Perry, 2005).
Tindakan keperawatan yang dilakukan adalah berbicara kepada pasien
kan
ata,
ara,
sedang berbic jangan menyelesaikan kata kata pasien, berikan waktu ntuk
pada pasien u menjawab, berikan musik atau stimulus visual yang
dan
oleh
Stroke hemorhagik dan non hemorhagik dapat menyebabkan lesi pada Lesi
lo frontal, parietal dan temporal yang diperdarahi oleh arteri serebri
jalur
ang
ami
lami
resi
wab
dengan AAC sebagai alat bantu komunikasi verbal. Kerangka teori penelitian
ini dapat dilihat pada skema 2.1 berikut ini :
Stroke Hemoragik
Penurunan suplai darah
ke otak
Lesi pada lobus frontal,
parietal dan temporal
Kerusakan pada area Broca,
Wernicke dan jalur
keduanya
F
1.
2.
3. aktor berpengaruh :
Umur
4. Jenis kelamin
Frekuensi serangan
fisik
stroke
5. Dukungan keluarga
Tidak mampu
mengungkapkan apa yang
diinginkan
Tidak
dapat
menjawab
pertanyan dan
berpartisipasi
dalam percakapan
Depresi
Nursing Intervention Clasification:
Peningkatan
kemampuan
komunikasi
Rehabilitasi Nursing
Augmentative and
alternative communication
therapy/AAC
g Outcome
iteria :
en
dapat
Nursingkomunika
Crn
tuhan
Pasi
rnya
men
dapat
sika en
ingkatkan
kebu
dasaampuan
Pasi
komunikasiny
men
Pasien`dapat
berkomunikasi
tanpa frustasi
dan marah
(Sumber: Ignatavicius & Workman, 2010; Lumbantobing, 2011; Silbernagl & Lang, 2007; Black
& Hawks, 2009; Potter & Perry, 2005; Gulanick/Myers, 2009)
BAB 3
KERANGKA KONSEP,
HIPOTESIS DAN DEFINISI
OPERASIONAL
stroke,
ketidakmampuan
fisik dangan
dukun keluarga.
a. Umur
Umur berhubungan dengan terjadinya depresi. DPS pada umurnjut
la mungkin memiliki hubungan biologi dasar dengan berkurangnya
neurotransmitter yang berkaitan dengan mood dan emosi. Selain itu
kecepatan pemulihan wicara-bahasa terhadap kemampuan fungsional
komunikasi dan penyembuhan secara umum pada orang dewasa
memiliki
prognosis
yang
buruk
oleh
karena
neuroplastisitas
otak/reorganisasi.
b. Jenis kelamin
Jenis kelamin berkorelasi dengan terjadinya depresi. Laki laki
lebih mudah berisiko terjadinya stroke dibandingkan dengan perempuan,
sehingga laki laki
yang
an
lam
depresi.
e.
utan
Dukungan keluarga
micu
Dukungan keluarga merupakan faktor yang mempengaruhi terjad
depresi. Selain itu lingkungan keluarga juga merupakan lingkungan
y cocok
untuk
menstimulasi
kemampuan
berbahasa
afasia
ang
ang
arga
atau
abel
onal
oleh
ada
Variabel bebas
Variabel terikat
Kemampuan
fungsional komunikasi
Depresi
Pemberian komunikasi
dengan
augmentative
KKom
& alternative
communication/AAC
Perancu :
Umur
Jenis kelamin
Frekuensi serangan
stroke
Ketidakmampuan fisik
Dukungan keluarga
ini
penelitian adalah :
3.2.1 Hipotesis mayor
Ada
pengaruh
pemberian
AAC
terhadap
kemampuan
onal
oke
terhadap
kemampuan
Depresi pada
pasien afasia
Definisi operasional
Cara ukur
Hasil ukur
Independent
Skala
Nominal
Pemberian
alat
bantu
komunikasi non verbal yang
diberikan oleh peneliti dengan
menggunakan
media
komunikasi
seperti
komunikasi
yang
Menggunakan
1 : kelompok
lembar
kontrol yang
observasi
diberikan
perawat yang
komunikasi
buku
berisi
non
berisikan pelaksanaan
sesuai standar
rumah sakit
2 = kelompok
intervensi
yang
Dinyatakan
dalam rentang
0 32
Interval
Kemampuan
fungsional
komunikasi
mur
U
Je
nis kelamin
ekuensi
Fr angan stroke
ser kali
kesedihan,
agitasi,
hipokondriasis
kelelahan
atau
kehilangan energi dan diukur
pada hari ke 11 sesudah
pemberian AAC
Kemampuan
dalam
mengekspresikan, memahami
dan berinteraksi dengan orang
lain, keluarga atau perawat
untuk mencapai aktivitas sehari
hari dan diukur pada hari ke
11 sesudah pemberian AAC
(ADRS)
Menggunakan
lembar
observasi Derby
Functional
Communication
Scale
Confounding
Jumlah tahun sejak lahir hingga Menggunakan
dalam ulang tahun terakhir
kuesioner
status pasien
Dinyatakan
dalam rentang
0 24
Umur
dan tahun
Interval
Interval
Nominal
Nominal
status pasien
Ketidakmampuan Kemampuan pasien`untuk
fisik
melakukan aktivitas sehari- hari
yang meliputi makan, mandi,
merawat diri, berpakaian,
buang air besar, buang air kecil,
menggunakan toilet, berpindah,
mobilitas dan menggunakan
tangga dengan menggunakan
kuesioner Barthel Index yang
dapat dinilai pada hari ke 11
sesudah melakukan intervensi
pada kelompok kontrol dan
intervensi
Du kungan
Bantuan yang diterima individu
kel
skor uarga
dari anggota keluarga dalam
merawat pasien stroke dengan
afasia motorik yang meliputi
empat dimensi dan diukur pada
hari ke 11 yaitu :
a. Dimensi emosional
Dukungan yang diberikan
keluarga kepada pasien
afasia yang melibatkan
ekspresi, empati dan
Menggunakan
kuesioner dan
status pasien
Interval
Dinyatakan
dalam rentang
0 100
Menggunakan
kuesioner
yang terdiri atas
15 item
pertanyaan
dengan alternatif
jawaban
menggunakan
skala Likert
untuk
pertanyaan
positif, yaitu :
1 : tidak pernah
Jumlah
jawaban
respon tentang
dukungan
keluarga
dibagi total
item
pertanyaan
yang
dinyatakan
dalam rentang
15 60
Interval
perhatian
b. Dimensi penghargaan
Dukungan melalui ekspresi
berupa sambutan yang
positif dari keluarga,
dorongan atau pernyataan
setuju terhadap perawatan
pasien stroke dengan afasia
motorik
2 : jarang
3 : sering
4 : selalu
Pernyataan
negatif, yaitu :
4: tidak pernah,
3 : jarang
2 : sering
1 : selalu.
c. Dimensi instrumental
Dukungan keluarga dalam
bantuan langsung
mengerjakan tugas tertentu
atau penyediaan sarana
terkait perawatan pasien
stroke dengan afasia
motorik
d. Dimensi informasi
Dukungan keluarga dalam
pemberian saran atau umpan
balik terkait perawatan
pasien stroke dengan afasia
mtorik
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, yang tujuannya untuk
menjawab pertanyaan penelitian atau menguji hipotesis penelitian (Beck &
Hungler,
ment
2001). Desain penelitian yang peneliti gunakan adalah desain
quasiPolit,
experi
dengan pendekatan post test non equivalent control group, dimana
kan
ntuk
uan
itian
Kesimpulan hasil penel didapat dengan cara membandingkan data post uan
test antara kelompok perlak dengan kelompok kontrol (Dharma, 2011). ini
Adapun skema penelitian digambarkan dalam skema sebagai berikut :
Skema 4.1
Rancangan Penelitian
Intervensi
Pengaruh
(O1)
Dibandingkan
O1 O2 = X1
Kontrol
Pengaruh
(O2)
Keterangan :
O1
Populasi
ruh
dan
Tasikmalaya Banjar.
4.2.2
Sampel
nya
karakteristik diukur oleh peneliti dan nantinya dipakai untuk menduga dari
karakteristik populasi (Sabri dan Hastono, 2006). Sesuai dengan desain
ilan
lam
subyek agar dapat ikut da penelitian (Sastroasmoro & Ismael, 2010). Kriteriaalah
inklusi sampel tersebut ad sebagai berikut :
a. Pasien yang didiagnosa stroke hemoragik dan non hemoragik yang mengalami
afasia motorik. Penentuan afasia motorik dibuat berdasarkan format
hay
Frenc
sien
sering
ucapannya tidak
dimengerti orang
lain.
ktil,
uji
d e apkan
aan)
gan
+Z
n1 = n 2
: Besar sampel
Keterangan :
X1 X2
Parameter yang berasal dari kepustakaan, adalah simpang baku (S), dan simpang
baku yang didapatkan dari peneliti sebelumnya yaitu berdasarkan hasil penelitian
tentang depression in acute stroke yang dilakukan oleh Caiero, Ferro, Santos &
Luisa (2006) memiliki rata-rata depresi pada pasien stroke 13.7, sedangkan
standar deviasi 6.9. Nilai rerata minimal yang dianggap bermakna oleh peneliti,
yaitu 5,7.
Adapun derajat kemaknaan 5% dan kekuatan uji 80%. Dengan demikian, aka
m besar sampel untuk penelitian ini adalah sebagai berikut :
Berdasarkan simpang baku diatas, dan nilai
pen
sebesar 5.7 maka didapatkan jumlah sampel :
=n
=2
=n
n=n
=2
=2
2.802
6.9
19.3
3
8
n = n = 2 ( 2.416)
n = n = 2 5.838
esar
maka
didapatkan jumlah sampel 13.3 (dibulatkan 13), sehingga jumlah sampel untuk
kelompok kontrol maupun kelompok intervensi masing-masing adalah 13
responden.
Selama penelitian di RSUD Kota Tasikmalaya, Kota Banjar dan Kabupaten
Garut peneliti mendapatkan jumlah sampel 21 orang yaitu 11 orang kelompok
kontrol
pada
l
.ada(ah 8 30 2) dengan SD2 1.16.
depresi kelompok intervensi) (n2=10
Menurut Dahlan (2006) untuk menghitung power menggunakan rumus
seb berikut:
(1 - 2) n/ 2
Z = ------------------ S
Keterangan :
Z = Kesalahan tipe II
Z = Kesalahan tipe I 5% ( dua arah = 1,96)
1 = rata - rata yang diamati satu
2 = rata - rata yang diamati dua
n = jumlah sampel per kelompok
S = standar deviasi gabungan masing-masing kelompok.
Menurut
Dahlan
(2006)
untuk
menghitung
standar
deviasi
agai
S1 (n1 1) + S2 (n2 1)
2
S = -------------------------------n1 + n2 -2
dengan
afasia
motorik.
Ruangan
yang
digunakan
di RSUD
Kabupaten Garut adalah Cempaka Atas dan Cempaka Bawah. Ruangan yang
digunakan di RSUD Kota Tasikmalaya adalah ruangan V, Batik, VIP dan
ruangan di RSUD Banjar adalah Flamboyan, Mawar, Anggrek dan Dahlia.
iberi
kah
elah
juan
iaan
mbar
ang
iaan
nya
kepentingan peneli Informasi yang dikumpulkan dijamin oleh peneliti
tian.
kerahasiaannya den memusnahkan data ketika datanya sudah selesai
gan
diambil dan diana lisa.
kegiatan
penelitian
bila
diberi
hak
untuk
menolak
melanjutkan
kembali
gan
ikan
pan
tulis
peneliti.
4.7. Informed Consent
Infomed consent merupakan persetujuan atau izin yang diberikan oleh
responden untuk
perlakuan.
4.8 Alat Pengumpul Data
Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian adalah :
4.8.1 Kuesioner karakteristik responden
den
yang meliputi antara lain umur, jenis kelamin, frekuensi serangan stroke,
ketidakmampuan fisik dan dukungan keluarga.
4.8.2 Lembar observasi skrining afasia dengan menggunakan FAST untuk
menilai apakah pasien mengalami afasia/tidak terhadap kemampuan
berbahasa, seperti
menulis. Instrumen
pemahaman,
mengungkapkan,
membaca
dan
FAST dikembangkan
oleh
Enderby
pada
tahun
1987.
FAST
dapat digunakan oleh non spesialis, seperti staf medical junior, perawat,
terapi okupasi dan lainnya untuk mengidentifikasi gangguan bahasa.
FAST terdiri
18 item dengan skor 0 30. Dikatakan afasia ialah bila skor < 27 pada
usia diatas 60 tahun atau bila skor <25 pada usia dibawah 60 tahun.
Pada pengujian validitas construct, berdasarkan hasil penelitian AlKhawaja, Wade & Collin (1995) pada 50 pasien yang mengalami
memiliki korelasi adekuat dengan Barthel Index (r =afasia,
0.59) FAST
dan FAST
memiliki korelasi yang sangat baik pada aspek kemampuan pemahaman
dengan Sheffield Screening Test for Acquired Language DisorderT) (r
(SS
= 0.74) dan
baik
(r =
pada aspek ekspresi memiliki korelasi yang sangat CP)
iliki
0.92). Validitas FAST terhadap Functional Communication Profile (F
an r
dan Minnesota Test untuk membedakan diagnosa afasia, FAST mem
lity,
korelasi yang sangat baik diantara kedua instrumen tersebut (r =`0.73
AST
d
kan
= 0.91). Pengujian reliabilitas test-retest dan inter-rater
inereliabi ditemukan FAST memiliki koefisien Kendall yang tinggi yaitu
0.97. F memiliki sensitivitas yang tertinggi 87% dan spesifitas 80%
dibanding dengan
instrumen
UAS.
klist
pok
RS).
aim,
4.8.3 Lembar observasi perawat tentang depresi berisi daftar penilaian atau
dan
ce untuk menilai depresi/mood pasien pada kelompok kontrol dan
DRS
kelom intervensi dengan menggunakan Aphasic Depression Rating
digunakan pada pasien yang memiliki afasia dengan stroke dan terdiri
dari
9 item yang dipilih dari Hamilton Depression Rating Scale (HDRS),
Montgomery & Asperg Depression Rating Scale (MADRS) dan
Salpetriere Ratardation Rating Scale (SRRR). Skor diberikan dengan
menambahkan setiap item yang berbeda pada setiap item, dengan jumlah
total skor yang diperoleh 32. ADRS memiliki titik potong 9/32 yang
dipakai untuk
menentukan
kesimpulan semakin
afasia, dengan
con
verg
ent
ik (r
reliabi dengan test retest, diantara item item dengan uji Kappa,
iliki
litas
item
lasi
jian
ngat
(SQ)
dan
Edinburgh
Speech
Functi Communication
kan
oleh
onal
a di
non
kan
perti
onal
dari
kala
semakin
menunjukkan
ian,
air
dan buang kecil. Nilai Barthel Index berada pada rentang 0 100.
Barthel I ndex sering digunakan di bagian neurologi, psikiatri dan
rehabilitasi pasien dengan gangguan neuromuskuler atau
letal
muskuloske dengan reliabilitas dan validitas yang sangat baik dan nya
penggunaan membutuhkan waktu 1 5 menit (Loretz, 2005).
roke
gan
ade,
itas
gan
1:
selalu.
Pertanyaan
positif
13
nomoryaitu
pertanyaan item
negatifyaitu
2 item
gan
arga
sia,
hasa
diadopsi dari jurnal berba Inggris. Kesemua instrumen itu dilakukan uji
10
kan
dan
dibidang
yang
diteliti.
Pakar
diminta
menelaah
menentukan apakah seluruh item pertanyaan telah mencakup isi dari suatu
konsep yang diteliti. Konsep yang diukur dari instrumen adalah isi yang
tepat, komprehensif, logis, konsisten dan dimengerti oleh responden
(Dharma,
2011).
Instrumen ini sudah melalui hasil konsultasi dan persetujuan
dosen pembimbing dan penguji pada sidang proposal tesis. Lembar
observasi kan
penilaian afasia, depresi, kemampuan fungsional komunikasi
merupa
aka
instrumen yang diadopsi dari bahasa Inggris kebahasa Indonesia,
ntuk
m peneliti telah melakukan validitas isi dengan meminta pakar
apat
bahasa u menterjemahkan instrumen tersebut kedalam bahasa
kan
Indonesia yang d dimengerti oleh responden, setelah itu meminta pakar
suai
keperawatan melaku validasi lagi apakah kesemua instrumen yang
men
diterjemahkan tadi sudah se dengan lingkup keperawatan yang ingin
arga
diteliti. Sedangkan untuk instru dukungan keluarga, peneliti juga
but,
menanyakan langsung kepada kelu tentang pemahaman keluarga
asan
terhadap pertanyaan dalam instrumen terse meliputi kejelasan dalam
pencetakan, ketepatan bahasa atau kalimat, kejel petunjuk dan kecukupan
waktu pengisian.
iliki
2. Construct Validity ( validitas konstruk)
Merupakan validitas yang menggambarkan seberapa jauh instrumen
mem item item pertanyaan yang dilandasi oleh konstruk tertentu.
Validitas menunjukkan bahwa instrumen disusun berdasarkan aspek
ini
kan
ini
mpel
truk
selanjutnya instrumen dikonsulkan kepada ahli. Setelah itu dilakukan uji
mampu membedakan nilai/hasil pengukuran antara satu individu dengan
lainnya (Darma, 2011)
Prosedur yang digunakan untuk menguji validitas alat ukur instrumen
dukungan keluarga adalah dengan teknik homogenitas item (internal
consistency) dengan menggunakan formulasi korelasi Pearson Product
Moment. Metode ini menghubungkan setiap skor item pertanyaan dengan
skor
totalnya. Menurut Nunnaly (1994 dalam Dharma, 2011), nilai korelasi antara
skor item dan skor total yang baik adalah r 0.3, sehingga dapat diharapkan
koefisien alpha menjadi lebih tinggi dan dikatakan valid. Pertanyaan
yang tidak valid akan dibuang atau dikeluarkan dari alat ukur.
Instrumen dukungan keluarga telah dilakukan uji validitas terhadap 10
orang responden yang ada di RSUD Tasikmalaya dan Banjar. Uji validitas
dukungan kan
keluarga tidak dilakukan lagi di RSUD Garut oleh karena peneliti
melaku
eliti
penelitian di RSUD Garut mulai minggu ketiga, sehingga pen
s di
menggunakan hasil uji validitas yang telah memenuhi kriteria
validita RSUD Tasikmalaya dan Banjar saja.
abel
Hasil uji validitas dan reabilitas dengan degree of freedom 10-2 =8 (r
idak
t
ebut
0.632). Pada kuesioner dukungan keluarga terdapat pertanyaan yang
item
t valid yaitu pertanyaan nomor 8, 9,10 dan 13, sehingga pertanyaan
arga
ters dikeluarkan dari instrumen. Selanjutnya pertanyaan yang valid
gan
adalah 15 dengan nilai validitas (r 0.724 0.863. Jumlah pertanyaan
aitu
dukungan kelu yang digunakan dalam penelitian ini adalah 15
pertanyaan den pertimbangan ke 15 pertanyaan tersebut telah
memenuhi 4 dimensi, y dimensi informasi, instrumental, emosional dan
penghargaan.
ran.
sten
kan
b. Reliabilitas (kehandalan) yaitu tingkat konsistensi dari suatu penguku
oleh
Reliabilitas menunjukkan apakah pengukuran menghasilkan data
. , ji
il i ri t r
t
. ,
i tr men
konsi jika instrumen digunakan kembali secara berulang. Prosedur yang
tersebut
reliable
(Dharma,
2011).
Uji reabilitas dilakukan dengan membandingkan nilai r hasil (nilai
alpha) dengan r tabel dengan ketentuan bila r alpha > r tabel, maka
pernyataan tersebut realiabel. Pada penelitiani ini ditemukan nilai alpha
cronbach yang ditemukan pada instrumen dukungan keluarga adalah nilai
reliabelnya > 0.90 (alpha cronbach 0.939).
Untuk
tetap
menjaga
reliabilitas,
reliab ilitas
ini
menggunakan
ang
a ini
rver
Hastono, 2007)
kan
uji
rang
ang
aan
4.9
Data
Prosedur
Langkah-langkah
berikut:
Pengumpulan
dalam
pengumpulan
data
sebagai
Tahap
aten
Tahap
pelatihan
ini
(1)
pengkajian/skrining
FAST
berdasarkan
aspek
kemampuan
pemahaman,
pengucapan,
(2)
menulis
dan
membaca
dan
fungsional
man
sten
erta
kepada
pasien
menggunakan
juga
penelitian
instrumen
keluarga.
Selanjutnya
dan
kelima inta
sien
t di
dirawa ruang neurologi RSUD kota Tasikmalaya, Banjar dan Kabupaten dan
Garut menentukan responden penelitian ini berdasarkan kriteria inklusi elah
yang t ditetapkan peneliti. Responden yang memenuhi kriteria inklusi
san
diberi penjela tentang prosedur penelitian, seperti tujuan, keuntungan serta ian.
kerugian penelit Jika responden bersedia, selanjutnya responden diberijuan
lembar persetu (informed concent) untuk ditandatangani.
4.9.4
Tahap Pelaksanan
ikan
maksud untuk melakukan penelitian ke RSUD Kota Tasikmalaya dan Banjar dan
Kabupaten Garut. Selanjutnya menentukan responden yang mengikuti penelitian
menjadi dua kelompok, yaitu kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Pada
saat pengumpulan data, kelompok yang peneliti ambil, yaitu kelompok kontrol,
setelah kelompok kontrol terpenuhi, maka peneliti melanjutkan mengambil data
pada kelompok intervensi.
onal
lusi
den
dan
suai
nilai
dalam
pelaksanaan
komunikasi
ini adalah
buku
pasien
dan
meminta
keluarga
mencoba
b) mendemonstrasikan
Peneliti memberikanseperti
AAC yang
yang diajarkan
dilakukanoleh
3x peneliti.
setiap hari dengan
w pagi hari jam 09.00, siang hari jam 13.00 dan sore hari padaaktu
jam 1 selama 10 hari dengan frekuensi waktu pelaksanaan setiap6.00
30 m berorientasi pada tugas menunjuk gambar, penamaan,enit
pengulan membaca, mengeja dan menulis.
gan,
ntuk
clist
dur,
mobilisasi dan la
in nit x
dengan
tugas
menunjuk
gambar,
menyebutkan,
peneliti setiap
hari untuk
ihan
kasi
ada
bel,
bagian/ la misalnya bila pasien mau mandi. Berikan waktu pada pasien ami
untuk memah informasi yang diberikan. Jelaskan hubungan antara
inya
lam
adanya
kesulitan
dalam
penamaan
objek
(anomia)
oleh
Pertemuan 2 :
a) Evaluasi kemampuan pasien dalam penggunaan gambar dengan meminta
pasien
menunjukkan
buku
komunikasi
yang berisi
gambar dan
anjurkan pasien untuk mengucapkan kata- kata dalam suara keras. Minta
pasien untuk menyebutkan nama nama benda yang ditunjukkan oleh
pasien dan jelaskan
nama objek tersebut. Bila pasien tidak mampu menyebutkan kata tersebut,
bantu pasien menyebutkan suku pertama kata tersebut atau dengan
menggunakan kalimat penuntun. Misalnya : pensil. Kita dapat membantu
keluarga.
dengan
suku kata pen Atau dengan kalimat : kita menulis dengan.
Instruksikan pasien untuk mengulang kata kata tersebut. Jikakan
memungkin gunakan ekspresi wajah, gerakan tubuh dan irama suaraapat
sehingga pasien d memahami pembicaraan.
b) Keluarga dianjurkan untuk selalu terlibat dalam aktivitas komunikasi
pada
hal
gigi
- hal rutin dilakukan pasien, misalnya pada saat pasien mau mandi, sikat
vitas
atau makan, dengan menanyakan hal hal yang berhubungan dengan
akti tersebut.
Pertemuan 3 :
ien.
pasien,
misalnya
piring,
gelasuruf
(menyebutkan h p, g).
Pertemuan 3 :
a) Minta pasien untuk membaca kartu, kalimat/paragraf yang pendek dioran
k dan kemudian minta pasien untuk membaca kembali apa yangbaca
di pasien dengan suara yang keras.
b) Peneliti meminta pasien untuk mengeja huruf yang ada dibuku
komunikasi/ koran/majalah.
c) Peneliti dapat meminta keluarga mendengarkan lagu lagu yang
dis
ukai
pasien.
Pertemuan 1 :
a) Pasien diminta untuk menunjukkan gambar pada buku komunikasi yang
disebutkan oleh keluarga dan meminta untuk menyebutkan gambar yang
ditunjuk.
b) Keluarga diminta untuk terlibat dalam aktivitas komunikasi pada hal - hal
rutin dilakukan pasien, misalnya pada saat pasien mau mandi, sikat
gigi atau makan.
c) Peneliti dapat menanyakan benda benda yang ada disekitar pasien,
seperti tunjukkan lampu, jendela, pintu, meja dan memerintahkan untuk
mengulangi kata kata tersebut.
Pertemuan 2 :
a)
sien
dan
keinginannya.
Minta
pasien
untuk
menulis
setiap
Mencatat
kesalahan
pengejaan,
tidak
dapat
membaca,
lam
hal
menanyakan
hal yang berhubungan dengan aktivitas tersebut.
Pertemuan 3 :
ugas
mbar
rga/
b) Keluarga diminta untuk terlibat dalam aktivitas komunikasi pada hal - hal
rutin dilakukan pasien, misalnya pada saat pasien mau mandi, sikat
gigi atau makan.
c) Peneliti dapat menanyakan benda benda yang ada disekitar pasien,
seperti tunjukkan lampu, jendela, pintu, meja dan meminta pasien untuk
mengulangi kata kata tersebut.
Pertemuan 2 :
a)
dan
gian
Pertemuan 2 :
a) Meminta pasien untuk menceritakan tentang team olahraga
favoritnya, acara favorit ditelevisi, pekerjaannya.
b) Minta pasien untuk mengeja kata, huruf pertama, sebagian kata, minta
pasien untuk menuliskannya dikertas.
Pertemuan 3 :
a) Meminta pasien menunjukkan pada buku komunikasi apa yangtkan
disebu peneliti, seperti saya memerlukan sepatu, saya lapar danan,
ingin mak saya capek , saya ingin tidur, diluar gelap, tolong
hidupkan lampu.
mari,
ien,
dan
kitar
ng.
bun,
Pertemuan 3:
a) Meminta pasien untuk menyebutkan nama hewan, nama teman
- temannya, nama perawat/istri yang merawatnya
b)
air
duk
gian
pertama/seba kata.
12. Hari IX :
Pertemuan 1 :
a) Meminta pasien untuk menunjuk nama anggota keluarganya yang ada
di hp atau foto, teman atau orang disekitarnya sesuai yang disebutkan
oleh peneliti, pasien diminta meniru ucapan dan memberi namanya
lagu
yang
disukai
pasien.
Minta
pasien
uama
kembali.
13. Hari X :
Pertemuan 1 :
han
ien,
Pertemuan 2 :
a) Dengarkan sebuah lagu yang disenangi pasien, peneliti bersama pa
bernyanyi bersama, minta pasien menyanyikan kata/kalimat padasien
l
agu,
Pertemuan 3:
a) Minta pasien menyebutkan nama perawat/istri/anak yang merawatnya
dan mengulang apa yang disebutkannya.
Langkah langkah pada penelitian ini dapat dilihat pada skema 4.2 berikut ini :
Skema 4.2
Prosedur Pelaksanaan Penelitian
Memastikan diagnosa pasien adalah
stroke hemoragik dan non hemoragik (melalui
status)
melibatka keluarga
Hari XI :
Penilaian kemampuan fungsional
fungsional komunikasi, depresi, ketidakmampuan
fisik dan dukungan keluarga
Hari XI :
Penilaian kemampuan
komunikasi, depresi,
ketidakmampuan fisik dan
dukungan keluarga
komunikasi,
depresi,
ketidakmampuan
fisik
dan
keluarga.
dukungan
b. Pemberian kode (Coding)
Koding merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi
berbentuk angka/bilangan. Kode ini meliputi : kelompok (kelompok
data
kontr
ol =
2),
perempuan kode frekuensi serangan stroke =1 kali =1 dan > 1 kali = 2).
c. Pemrosesan data (Entry)
Pada tahap ini dilakukan kegiatan memasukan data ke paket program
komputer sesuai dengan variabel masing-masing secara teliti untuk
meminimalkan kesalahan.
d. Pembersihan data (Cleaning)
Merupakan upaya untuk memastikan data yang dimasukkan saat
data
ebas
min,
dengan
prosentase
dari
mean,
median, standar deviasi, serta nilai minimal dan maksimal pada 95%
confidence interval (CI). Analisis univariat masing masing variabel dapat
dilihat pada tabel 4.1.
2.
No
Variabel
Kemampuan
Fungsional
Komunikasi
Numerik/Interval
Umur
4
5
6
Jenis Kelamin
Frekuensi serangan stroke
Ketidakmampuan fisik
Dukungan keluarga
Depresi
Deskripsi
Variabel Dependen
Numerik/Interval
b. Analisis Bivariat
Analisis bivariat bertujuan untuk mengetahui adakah pengaruh signifikan tara
an dua variabel. Untuk menentukan jenis uji yang digunakan terlebih
aka
tiap
iuji
Untuk data kategorik d dengan uji Chi-Square dan untuk data numerik
test.
digunakan uji Independent t- Apabila nilai p > 0.05, maka data disebut
mua
abel
semua data memiliki kesetaraan pada vari perancu, seperti umur, jenis
dan
abel
Sedangkan untuk uji normalitas data dilakukan pada vari numerik dengan
uji
data
terdistribusi dengan normal, sehingga uji statistik yang digunakan adalah uji
parametrik dengan tingkat kemaknaan 95% (alpha 0,05). Artinya jika p value
<
0.05, maka hasilnya bermakna yang berarti Ho ditolak atau ada pengaruh. Tetapi
jika p value > 0.05, maka hasilnya tidak bermakna yang berarti Ho diterima atau
tidak ada pengaruh. Analisis bivariat yang digunakan dapat dilihat dibawah ini:
Variabel
1
2
3
Umur (Numerik)
Jenis kelamin (Kategorik)
Frekuensi serangan stroke
(Kategorik)
]4
Ketidakmampuan
fisik
independ
(Numerik)
5
Dukungan keluarga (Numerik)
independet
Kelompok
Kontrol Intervensi
Kontrol Intervensi
Kontrol Intervensi
et
Kontrol - Intervensi
Kontrol - intervensi
T test
Variabel Penelitian
Uji Statistik
T test
nt
nt
T test
n
kelompok intervensi
tik
Tabel 4.4 Analisis Bivariat Variabel Confounding Dengan Variabel
Depende
No
5
Variabel
Dukungan keluarga (Numerik)
Kelompok
Intervensi
n
dent
dent
n
Jenis Uji
Korelasi Person
BAB 5
HASIL PENELITIAN
Pada bab ini akan disajikan data tentang pengaruh pemberian komunikasi
dengan ugmentative and alternative communication terhadap kemampuan
fungsional komunikasi dan depresi berupa analisis univariat dan bivariat.
Sebelum dilakukan analisis bivariat dilakukan uji normalitas data dan uji
kesetaraan
variabel abel
perancu. Pada analisa univariat akan disajikan hasil
distribusipada
frekuensi
vari
resi.
konfounding, dan variabel kemampuan fungsional komunikasi dan
rata
dep
dan
Sedangkan pada analisa bivariat akan disajikan analisis kesetaraan,
perbedaan
onal
beserta
hubungan
variabel
perancu
terhadap
oke,
erik
5.1.1
Mean
SD
Min. Mak.
95% CI
11
10
21
61.55
62.70
62.10
5.98
11.89
9.055
53 -70
42 76
42-76
57.52 65.57
54.19 71.21
57.97 66.22
11
10
21
25.00
26.00
25.48
8.062
6.58
7.229
10 - 40
15 - 40
10 - 40
19.58 30.42
21.29 30.71
22.19 28.77
11
10
21
45.73
47.30
46.48
3.524
2.31
3.043
39 - 53
44 - 50
39 - 53
43.36 48.09
45.65 48.9
45.09 7.86
11
10
21
10.64
11.10
10.86
1.74
1.66
1.682
8 - 14
8 - 13
8 - 14
11
10
21
9.64
8.30
9.00
1.28
1.16
1.378
8 - 13
7 - 10
7 - 13
1.81
9.46 12.29
9.91 1 1.62
10.09 1
0.50
8.77 1 .13
7.47 9.63
8.37 9
Umur
ntrol
Berdasarkan pada data tabel 5.1, didapatkan rata-rata umur pada kelompok
ko adalah 61.55 tahun (SD = 5.98) dengan umur termuda adalah 53 tahun
dan tertua 70 tahun. Dari hasil estimasi interval dapat disimpulkan
usia
95%
bahwa diyakini bahwa umur rata-rata antara 57.52 tahun sampai dengan
65.57 tahun.
D=
11.89) dengan umur termuda 42 tahun dan umur tertua 76 tahun. Dari
hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa umur ratarata antara 54.19 tahun sampai dengan 71.21 tahun.
Rata rata umur pada kelompok kontrol dan intervensi adalah 62.10 tahun (95%
CI : 57.97 66.22) dengan standar deviasi 9.055 tahun. Umur termuda 42 tahun
dan umur tertua 76 tahun, hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa
95%
diyakini rata rata umur pada kelompok kontrol dan intervensi adalah
diantara
57.97 tahun sampai dengan 66.22
tahun.
5.1.2
Ketidakmampuan fisik
5.1.3
Dukungan keluarga
ada
dah
Berdasarkan pada data tabel 5.1, didapatkan rata-rata dukungan keluarga
hwa
p kelompok kontrol adalah 45.73 (SD = 3.52) dengan dukungan keluarga
95% diyakini bahwa dukungan keluarga rata-rata antara 43.36 sampai
dengan
48.09.
Sedangkan rata-rata dukungan keluarga pada kelompok intervensi adalah 47.30
(SD = 2.31) dengan dukungan keluarga terendah adalah 44 dan tertinggi 50. Dari
hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa dukungan
keluarga rata-rata antara 45.65 sampai dengan 48.95.
Rata rata dukungan keluarga pada kelompok kontrol dan intervensi adalah
46.48 (95% CI : 45.09 47.86) dengan standar deviasi 3.043. Dukungan
keluarga terendah 39 dan tertinggi 53, hasil estimasi interval dapat disimpulkan
bahwa 95% diyakini rata rata dukungan keluarga pada kelompok kontrol
dan intervensi adalah diantara 45.09 sampai dengan 47.86.
5.1.4
Kemampuan
fungsional
komunikasi
Berdasarkan tabel 5.1, didapatkan rata-rata kemampuan fungsional komuni
kasi
pada kelompok kontrol adalah 10.64 (SD = 1.74) dengan kemampuan
kasi
komuni verbal terendah adalah 8 dan tertinggi 14. Dari hasil estimasi
apat
interval d disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa kemampuan fungsional
atakomunikasi r rata antara 9.46 sampai dengan 11.81.
Sedangkan rata-rata kemampuan fungsional komunikasi pada kelompok
ensi
interv adalah 11.10 (SD = 1.66) dengan kemampuan fungsional komunikasi
dah
teren adalah 8 dan tertinggi 13. Dari hasil estimasi interval dapat
hwa
disimpulkan ba
9.91
95% diyakini bahwa kemampuan fungsional komunikasi rata-rata
antara sampai dengan 12.29.
dan
Rata rata kemampuan fungsional komunikasi pada kelompok kontrol
682.
intervensi adalah 10.86 (95% CI : 10.09 11.62) dengan standar deviasi
masi
1. Kemampuan fungsional komunikasi terendah 8 dan tertinggi 14, hasil
onal
esti interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini rata rata kemampuan
mpai
fungsi komunikasi pada kelompok kontrol dan intervensi adalah diantara
10.09 sa dengan 11.62.
5.1.5 Depresi
Berdasarkan tabel 5.1, didapatkan rata-rata depresi
adalah
9.64 (SD = 1.28) dengan depresi terendah adalah 8 dan tertinggi 13. Dari hasil
estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa depresi rata-rata
antara 8.77 sampai dengan 10.50.
Sedangkan rata-rata depresi pada kelompok intervensi adalah 8.30 (SD = 1.16).
Depresi terendah adalah 7 dan tertinggi adalah 10. Dari hasil estimasi interval
dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa depresi rata-rata antara 7.47
sampai dengan 9.13.
Rata rata depresi pada kelompok kontrol dan intervensi adalah 9.00 (95% CI
:
8.37 9.63) dengan standar deviasi 1.378. Depresi terendah 7 dan tertinggi 13,
hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini rata rata
pada kelompok kontrol dan intervensi adalah diantara 8.37 sampai dengan
depresi
9.63
Variabel
Jenis ke lamin
Laki laki
Perempuan
Total
Frekuensi serangan stroke
1 kali
> 1 kali
Total
Kontrol
(n=11)
Intervensi
(n=10)
Total
7
4
11
63.6
36.4
100
6
4
10
60.00
40.00
100
13
8
21
61.90
38.10
100
6
5
11
54.5
45.5
100
5
5
10
50.00
50.00
100
11
10
21
52.38
47.62
100
orang (54.5%). Pada kelompok intervensi responden memiliki hasil yang sama
antara responden memiliki jumlah serangan stroke 1 kali dan > 1 kali yaitu
5 orang (50.0%).
5.2 Analisis Bivariat
Analisis bivariat diantaranya digunakan untuk mengetahui kesetaraan
variabel perancu antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi
melalui uji onal
homogenitas dan uji untuk membuktikan perbedaan kemampuan
fungsi komunikasi dan depresi pada kelompok kontrol dan intervensi.
5.2.1 Uji Normalitas dan Homogenitas
Pada bagian ini diuraikan tentang analisis kesetaraan variabel perancu, aitu
y umur, jenis kelamin, frekuensi serangan stroke, ketidakmampuan
dan
hwa
ibat
ntuk
dan
gan
ntuk
rga,
data
Umur
Kontrol
11
Intervensi
10
Ketidakmampuan Fisik
Kontrol
11
Intervensi
10
Dukungan Keluarga
Kontrol
11
Intervensi
10
Mean
SD
SE
p value
61.55
62.70
5.98
11.89
1.81
3.76
- 0.277
0.786
25.00
26.00
8.06
6.58
2.43
2.08
-0.309
0.760
45.73
47.30
3.52
2.31
1.06
0.73
-1.195
0.247
Kontrol
(n = 11)
%
Intervensi
(n = 10)
%
Jenis Kelamin
Laki laki
7
53.85
6
Perempuan
4
50.00
4
Total
11 52.38 10
Frekuensi Serangan Stroke
1>1kali
54.54 5
kali
56 50.00
Total
11 52.38 10
Total
OR
p value
95% CI
46.15
50.00
47.62
13
8
21
100
100
100
1.00
0.2101
1.167
0.200 6.805
45.45
50.00
47.62
11
10
21
100
100
0.1727
1.200
0.216
6.676
1.00
>
0.05.
Sedangkan
hasil analisis
kesetaraan
karakteristik
5.2.2
Analisis
Perbedaan rata-rata
Mean
SD
SE
0.527
-0.621
Intervensi
10
11.10
1.663
Mean Diff
95%
-0.464
-2.026 1.099
p value
0.542
0.526
onal
viasi
den
lisis
tidak
kasi
V
a
ri
a
b
el
Mean
SD
SE
Mean Diff
95%
p value
Depresi
Kontrol
0.388
11
9.64
1.1
Intervensi
10
8.30
1.160
1.336
0.367
2.491
0.213 2.459
*0.022
Berdasarkan hasil analisis tabel tabel 5.6 didapatkan rata-rata depresi pada
mpok
kelo kontrol adalah 9,64, sedangkan rata rata depresi kelompok intervensi adalah
Hasil
8.30. uji statistik didapatkan p = 0 022 pada = 0 05 A nya e dapa pe
.
. . rti
t r
t r
yang
bedaan bermakna rata-rata depresi antara kelompok kontrol dan intervensi.
5.2.3
Fungsi
onal
n
ika
Umur
r
-0.144
p value
0.691
Ketidakmampuan fisik
Dukungan Keluarga
-0.264
-0.124
0.461
0.732
Variabel
ua
Dari tabel 5.7 di atas diperoleh nilai r = - 0,144 dan nilai p = 0,691. Artinya
hubungan antara umur responden dengan kemampuan fungsional komunikasi
menunjukkan
hubungan
yang
lemah
dan
berpola
negatif.
Semakin
Hasil uji statistik diperoleh tidak ada hubungan yang signifikan antara
umur dengan kemampuan fungsional komunikasi (p = 0,691).
Sedangkan pada variabel ketidakmampuan fisik diperoleh nilai r = -0,264
dan nilai p = 0,461. Artinya hubungan antara ketidakmampuan fisik responden
dengan kemampuan fungsional komunikasi menunjukkan hubungan yang
sedang dan berpola negatif. Artinya semakin bertambah ketidakmampuan
fisikHasil
responden,
semakin menurun kemampuan fungsional komunikas inya.
uji istik
stat diperoleh tidak ada hubungan yang signifikan antara ketidakmampuan
gan
onal
kemampuan fungsi komunikasi. Hasil uji statistik diperoleh tidak ada ikan
hubungan yang signif antara dukungan keluarga dengan kemampuan
32).
Tabel 5.8 Hasil Analisis Pengaruh Jenis Kelamin dan Frekuensi Serangan
Stroke terhadap Kemampuan Fungsional Komunikasi pada Kelompok
Intervensi
di RSUD Garut, Tasikmalaya dan Banjar
November Desember 2011
Variabel
Mean
SD
SE
Jenis Kelamin
Frekuensi
Laki laki serangan stroke
1 kali
>1 kali
6
5
5
11.00
12.00
10.20
2.098
1.225
1.643
0.856
0.548
0.735
p value
0.085
Sesuai tabel 5.8 di atas menunjukkan tidak ada hubungan bermakna antara
jenis kelamin dengan kemampuan fungsional komunikasi dengan nilai p >
0.05 (p =
0.831). Sedangkan pada frekuensi serangan stroke menunjukkan tidak ada
r
-0.395
0.539
-0.493
p value
0.258
0.108
0.147
Dari tabel 5.9 di atas diperoleh nilai r = - 0,395 dan nilai p = 0,258. Artinya
hubungan antara umur responden dengan depresi menunjukkan hubungan ang
y sedang dan berpola negatif. Semakin bertambah umur responden,
akin
ang
komunikasi (p = 0,258)
nilai
Sedangkan pada variabel ketidakmampuan fisik diperoleh nilai r = 0,539 dangan
p = 0,108. Artinya hubungan antara ketidakmampuan fisik responden
akin
den depresi menunjukkan hubungan yang kuat dan berpola positif. nya.
Sem bertambah ketidakmampuan fisik responden, semakin bertambah
tara
kan
Art
hubungan
antara
dukungan
keluarganegatif.
responden
dengan
depresibertambah
hubungan
yang
sedang
dan berpola
Artinya
semakin
dukungan keluarga responden, semakin
statistik diperoleh tidak ada hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga
dengan depresinya (p = 0,147).
Tabel 5.10 Hasil Analisis Pengaruh Jenis Kelamin dan Frekuensi Serangan
Stroke terhadap Depresi pada Pasien Afasia Motorik pada Kelompok Intervensi
di RSUD Garut, Tasikmalaya dan Banjar November Desember 2011
Variabel
Mean
SD
SE
Jenis Kelamin
Laki laki
Perempuan
6
4
8.00
8.75
1.265
0.957
0.516
0.479
5
5
9.00
7.60
1.000
0.894
0.447
0.400
p value
0.346
0.048*
* Bermakna pada 0. 05
Sesuai tabel 5.10 di atas, menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna antara
jenis kelamin dengan depresi dengan nilai p > 0.05 ( p = 0,346). Sedangkanada
p frekuensi serangan stroke menunjukkan hubungan bermakna dengan depresi
dengan nilai p < 0.05 (p = 0.048).
BAB 6
PEMBAHASAN
Pada bab ini akan diuraikan dan dijelaskan makna hasil penelitian yang meliputi :
interpretasi dan diskusi hasil penelitian seperti yang telah dipaparkan pada
bab lima, keterbatasan penelitian yang telah dilakukan serta bagaimana implikasi
hasil
penelitian ini terhadap pelayanan keperawatan
dan pengembangan
penel berikutnya guna peningkatan kualitas asuhan keperawatan.
itian
alah
2.70
Secara konsep, faktor umur merupakan salah satu faktor risiko yang tidak
apat
diubah, menurut AHA/ASA (2006) menyatakan bahwa seseorang yang
sudah berumur diatas 55 tahun akan berisiko menderita stroke dua kali lipat
dibanding usia dibawah 55 tahun. Stroke pada usia ini diprediksi berkaitan
dengan masalah aterosklerosis yang banyak dialami oleh pasien-pasien usia
lanjut. Berdasarkan hasil wawancara selama penelitian, semua responden
memiliki faktor resiko hipertensi. Pada klien-klien dengan hipertensi, tekanan
darah yang tinggi secara
perlahan akan merusak dinding pembuluh darah dengan memperkeras arteri dan
mendorong terbentuknya bekuan darah dan aneurisma, inilah yang memicu
terjadinya stroke pada klien dengan hipertensi.Hal ini juga diperkuat oleh Feigin
(2004) bahwa risiko terkena stroke meningkat sejak umur 45 tahun, setelah
mencapai umur 50 tahun dan setiap penambahan umur tiga tahun meningkatkan
risiko stroke sebesar 11 20%.
Umur termuda responden pada kelompok intervensi adalah 42 tahun, ini tergolong
sebagai stroke umur muda. Menurut Pinzon (2009), definisi umum ang
y digunakan pada berbagai penelitian epidemiologi untuk stroke umur muda alah
ad stroke yang terjadi pada umur kurang dari 45 tahun. Menurut hasil
itian
yak
apat
/dl),
dah
alah
kompo sindroma metabolik yang paling teramati pada kasus stroke umur us).
muda ad kadar HDL yang rendah (65% kasus) dan peningkatan tekanan darahroke
(50% kas Hal ini sesuai dengan apa yang ditemukan pada responden
dua
kalinya. Faktor resiko yang dimiliki oleh responden ini diantaranya adalah
tingginya kadar kolesterol dan trigliserida serta riwayat hipertensi. Hipertensi
dan
hiperlipidemia
merupakan
dua
faktor
resiko
terjadinya
stroke.
proses arteroskeloris ditandai oleh plak berlemak pada lapisan intima arteri
besar. Bagian intima arteri serebri menjadi tipis berserabut, sedangkan sel-sel
ototnya menghilang. Lamina elastika interna robek dan berjumbai, sehingga
lumen pembuluh darah sebagian terisi oleh materi sklerotik tersebut. Kondisi
inilah yang memicu terjadinya penurunan sirkulasi darah ke otak yang
menyebabkan terjadinya stroke.
b. Jenis Kelamin
Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden memiliki jenis
min
kela laki laki sebanyak 13 orang (61.90%) dan 8 orang responden (38.10%)iliki
mem jenis kelamin perempuan. Proporsi jenis kelamin dalam penelitianebih
ini l banyak laki laki. Menurut Iskandar (2003), bahwa laki-laki lebih ung
cender lebih berisiko dibandingkan wanita dengan perbandingan 1.3 : 1, ada
kecuali p umur lanjut risiko stroke pada laki-laki dan wanita hampir sama. apat
Kondisi ini d dipengaruhi oleh faktor gaya hidup laki-laki antara lain sepertinum
: merokok, mi minuman beralkohol dan stress (baik dalam pekerjaan,
urut
keuangan, sosial). Men Feigin (2004) stres dalam jangka panjang dapat ang
memicu faktor-faktor y berhubungan dengan penyebab stroke.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti, sebagian besar
den
siko
sehari memiliki ri stroke dua kali lipat dibanding yang merokok lebih ama
sedikit. Semakin l seseorang merokok, semakin besar risiko mengalami
stroke.
Walaupun wanita jumlahnya sedikit dibandingkan responden laki laki dalam
penelitian ini, faktor risiko seperti wanita berumur lebih dari 35 tahun, merokok
dan
hipertensi serta
menggunakan
kontrasepsi
oral sangat
besar
kemungkinan terkena stroke (AHA/ASA, 2006; Price & Wilson, 2006). Pendapat
ini sesuai dengan yang ditemukan oleh peneliti selama wawancara dengan
responden bahwa sebagian besar wanita
dan terdapat 1 orang
responden wanita yang merokok sejak dari mudanya. Hasil penelitian ini sesuai
dengan pendapat Feigin (2004), bahwa sebagian besar kontrasepsi oral
mengandung estrogen dan progesteron. Pil ini dapat meningkatkan tekanan darah
serta menyebabkan darah menjadi kental dan lebih mudah membentuk bekuan.
Kontrasepsi oral kombinasi meningkatkan risiko stroke iskemik, terutama pada
wanita perokok yang berusia lebih dari 30 tahun.
c. Frekuensi Serangan Stroke
mlah
Hasil penelitian ini menunjukkan sebagian besar responden memiliki ju
serangan 1`kali sebanyak 11 orang (52.38%). Selain stroke yang 1 kali,kan
ditemu
10 orang responden (47.62%) mengalami stroke >1
kali.
oke
kan
Secara konsep sekitar sepertiga dari semua pasien stroke yang sembuh dari
onal
str akan mengalami serangan ulang dalam 5 tahun, 5-14% dari mereka a
sien
mengalami stroke ulang pada tahun pertama (Iskandar, 2003). Menurut Nati
tu 5
Stroke Association (2009), 3- 10% stroke ulang terjadi dalam 30 hr, 5-14%
pa stroke akan mengalami stroke ulang dalam 1 tahun, dan 25-40% dalam
gan
wak tahun.
u 5
Pasien yang terkena stroke memiliki risiko yang tinggi untuk mengalami
aktu
seran stroke ulang. Serangan stroke ulang berkisar antara 30%-43%
24dalam wakt tahun. Setelah serangan otak sepintas, 20% pasien mengalami
dan
stroke dalam w
)
roke
90 hari, dan 50% diantaranya mengalami serangan stroke ulang dalam
nggi
waktu
dibandingkan dengan stroke pertama, karena pada saat terjadi stroke ulang,
jaringan
otak
masih
belum
pulih
akibat
serangan
pertama
sehingga
dengan
kiri
lami
air
fungsional
yang
rendah
daripada
pasien
tanpa
afasia
e. Dukungan Keluarga
Hasil penelitian ini didapatkan bahwa sebagian besar dukungan keluarga adalah
46.48. Hasil penelitian ini juga menunjukkan tidak banyak perbedaan
yang didapatkan rata rata dukungan keluarga antara kelompok kontrol
(45.73) dan intervensi (47.30). Berdasarkan penilaian dukungan keluarga yang
dimodifikasi dari teori dukungan keluarga dan kuesioner dukungan keluarga
Yenni (2011), dukungan keluarga dalam penelitian ini memiliki rentang 15
Kesimpulan baik
yang dapat diperoleh adalah semakin tinggi nilai dukungan60.maka
semakin dukungan keluarga.
Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga
dap
lalu
memang se diberikan keluarga pada pasien stroke. Gangguan pada pasien ikan
stroke member efek sosial pada pasien dan keluarganya. Aktivitas sehari
sial
ggu
sehingga akan menggan keharmonisan keluarga (Sarafino, 2006). Hal ini 000)
sesuai dengan Mant et al (2 bahwa ada hubungan dukungan keluarga
dan
akan
mempengaruhi
pasien
dalam
rehabilitasi,
keluarganya. Selain
itu
dukungan
keluarga dapat
membantu
0).
uan
ntal
dan
ntuk
efek
pasien menjadi depresi (Mulyatsih & Ahmad, 2010; Smeltzer, Bare, Hinke
& Cheever, 2010).
Beberapa alat bantu komunikasi yang dapat dilakukan pada pasien afasia
menurut NIC adalah penggunaan perangkat elektronik, papan alfabet, papan
gambar/ flash card yang berisi gambar kebutuhan dasar, stimulus visual, alat
tulis, menggunakan kata kata yang sederhana, memberikan bahan bahan
yang
berisi(2011);
tulisan atau y &
gambar yang dapat ditunjuk oleh pasien (Ackley &
Ladwig
Ackle Swan (2008); Dochterman & Bulecheck (2004); Smeltzer, Bare, &
Hinkle Cheever (2010). Bila dilihat intervensi keperawatan komunikasi
ensi
&
kan
(mengguna kartu bergambar dalam latihan wicara, terdapat perbedaan yang tara
signifikan an kelompok yang menerima latihan 3 jam selama 10 hari
pok
uan
Test.
dengan tes wicara, seperti Token Selanjutnya penelitian case control yang man
dilakukan oleh Garret & Beukel (1995) pada pasien dengan trauma
ang
lam
yang menerima
latihan
wicara
selama
jam
ien.
pas Menurut pendapat Darley (1977 dalam Kusumoputro, 1992), terapi yangnsif
inte akan memberikan suatu manfaat pemulihan nyata pada pasien apabila ikan
diber pada waktu terjadi pemulihan spontan dan hasil maksimal akan
bila
didapatkan apa terapi dimulai awal dan berlanjut untuk periode beberapa
ihan
bulan. Lamanya lat dapat dihubungkan dengan lamanya pemulihan bicara hier
pasien. Menurut Bat (2005), penyembuhan spontan menunjukkan
a 2
pemulihan bicara tercepat selam atau 3 bulan dan puncaknya terjadi setelah ung
1 tahun. Hasil penelitian ini diduk oleh penelitian Laska (2007)
ulan
hwa
m 1
kap
setelah stroke tetapi sekitar 60% penyembuhan yang terjadi tidak leng
Faktor faktor yang mempengaruhi pemulihan
rena
dan
uatu
latihan berulang untuk s fungsi tertentu, pemberian alat bantu dan atau atau
ortosis, perubahan perilaku perubahan lingkungan (Wirawan, 2009).
Pada saat pelaksanaan latihan komunikasi dengan AAC, media yang
kan
saja
den
oleh
menin bila melibatkan keluarga, teman dalam rehabilitasi afasia. Hal ini
010)
hasil
Zettler, Foley, 2 bahwa latihan wicara dapat dilakukan oleh volunteer dan rang
terdekat
dengan pasien. Keluarga dapat berperan membantu latihan komunikasi
dapat
memberikan
tentang kegiatan pasien sehari hari yang selalu dilakukan, seperti setiap pasien
mau makan, minum, mandi, menggosok gigi, menyisir rambut, berpakaian,
BAB, BAK, penggunaan toilet, istirahat dan tidur, miring kanan/kiri, duduk
bersandar, minum obat, mobilisasi dan lain - lain merupakan suatu latihan dan
komunikasi dengan waktu 5 menit x 20 kegiatan sehari - hari ( total latihan
setiap hari = 100
jek,
ran,
kan
sell,
(1989 dalam Salter, Tea Bhogal, Zettler, Foley, 2010) terhadap latihan ntuk
wicara yang dirandom u mendapat latihan wicara oleh terapi wicara dan tkan
volunter tidak terlatih didapa tidak ada perbedaan signifikan diantara kedua cara
kelompok terhadap skor tes wi menggunakan Functional Profile
Communication (FCP).
idak
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian ini menjadi nya
t signifikan dapat disebabkan karena latihan komunikasi yang terlalu singkat aiki
ha
erat
afasia.
Faktor
lain
seperti
kemampuan kognitif, umur tua dan kehadiran beberapa anggota keluarga yang
mendampingi pasien berganti-ganti yang ditemukan pada hari ke 8 dan 9
(terdapat 2 keluarga) yang bergantian menunggu pasien, sehingga peneliti
harus memberikan latihan dan penjelasan yang berulang ulang kepada
keluarga. Semua faktor ini tentunya dapat mempengaruhi kemampuan fungsional
komunikasi pasien.
peningkatan
kemampuan
berkomunikasi,
responden
tersebut
ikan
ang
alau
uku
ikan
dan
tapi
kata
sien
ang
dapat terjadi setiap saat setelah stroke tapi biasanya dalam beberapa bulan
pertama. Depresi paska stroke mempengaruhi sekitar 20-50% pasien stroke
dalam tahun pertama setelah stroke, dan kejadian puncaknya diperkirakan pada 6
bulan poststroke. Sit et al (2004) dalam penelitiannya terhadap 95 pasien stroke
menemukan kejadian depresi pada 48 jam setelah masuk rumah sakit sebesar
69% dan 6 bulan setelahnya sebesar 48%.
Menurut Amir (2005) frekuensi depresi lebih tinggi pada pasien afasia motorik
daripada afasia global (71%:44%). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian
Signer et al, (1989 dalam Amir, 2005), menjelaskan bahwa depresi pada pasien
afasia motorik lebih tinggi daripada global (63% :16%). Tingginya frekuensi
depresi pada pasien afasia motorik disebabkan oleh tingginya kesadaran
mereka akan kecacatan/ketidakmampuan pasien (Amir, 2005).
Depresi dapat terjadi sebagai akibat langsung dari proses infark otak atau apat
d
oleh
terjadi sebagai reaksi akibat cacat atau ketidakberdayaan yang disebabkan
perti
stroke. Berbagai dampak stroke terjadi pada berbagai fungsi tubuh, se
uan
gangguan motorik, sensorik, bicara dan bahasa, penglihatan, afek dan
gga
gangg kognitif (Suwantara, 2004). Kondisi ini dianggap disability bagi
aan.
pasien, sehin menimbulkan perasaan tidak berguna, tidak ada gairah hidup
ang
dan keputusas Keadaan ini selanjutnya dapat mendorong penderita kedalam
hasil
gejala depresi y berdampak pada motivasi dan rasa percaya diri pasien. Hal
perti
ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ross, et al (2010), bahwa
sial,
faktor biologi se frekuensi serangan stroke, keparahan gangguan berbahasa
pada
dan faktor psikoso seperti kesepian merupakan faktor risiko yang signifikan
sia,
terjadinya depresi afasia. Selain itu menurut Schub & Caple (2010),
atau
meningkatnya derajat afa peningkatan keparahan stroke, penurunan
aruh
intelektual, riwayat pribadi keluarga depresi atau tinggal sendirian
merupakan faktor yang berpeng terjadinya depresi.
itif,
Depresi paska stroke memiliki efek negatif terhadap pemulihan fungsi kogn
rro,
aktivitas hidup sehari hari dan dapat meningkatkan kematian (Caiero, Fe
jadi
Santos & Luis, 2006). Pasien juga akan menarik diri dari kegiatan sosial,
pada
men rendah diri setelah stroke, hasil rehabilitasi yang jelek, serta
dan
berdampak
pasien (Meifi & Agus, 2009; Finke, Light & Kitko, 2008). Kondisi ini
menyebabkan pasien akan merasa frustasi dengan keadaannya. Hal ini akan
memiliki dampak negatif terhadap masa pemulihan dan hubungan sosial dengan
lingkungan sekitarnya. (Ginkel et al, 2010).
Pemulihan stroke membutuhkan waktu yang lama dan proses yang sulit.
Program rehabilitasi yang diikuti oleh pasien stroke kadang dirasakan tidak
memberikan
efek pada dirinya dan kurangnya bimbingan dari program rehabilitasi sebelum
mereka
meninggalkan
rumah
sakit
mengakibatkan
mereka
mulai
berfokus terhadap defisit yang terjadi pada dirinya. Akhirnya mereka merasa
hopelessness dan
tak
berdaya.
semakin
parah
depresinya (Sarafino,
2006).
Selama penelitian, beberapa alat bantu komunikasi non verbal digunakan
memfasilitasi pasien afasia, seperti foto, musik, gambar, buku komunikasi, untu
pa
k
alfabet dan alat tulis. Hal ini sesuai dengan pendapat Mulyatsih & Ah
pan
(2010), bahwa berbagai cara digunakan untuk memfasilitasi komunikasi
mad,
p pasien afasia serta mendorong pasien berkomunikasi, bahkan yang kecil
ada
sekal untuk mengurangi frustasi, depresi dan isolasi sosial. Pasien dapat
ipun
dibantu den menyediakan papan komunikasi. Papan komunikasi ini berisi
gan
gambar, kata k huruf atau simbol aktivitas kegiatan harian pasien sesuai
ata,
dengan kegiatan y diminta atau diungkapkan. Pasien dianjurkan untuk
ang
mengungkapkan kebutu pribadi dan menggunakan papan tulis bila
han
tidak mampu mengekspres kebutuhan
ikan
Penggunaan alat bantu visual seperti gambar, tulisan dengan beberapa kata
ku alat tulis dapat memfasilitasi pemahaman dan ekspresi pasien afasia
(Clark
nci,
son,
2010). Hal ini sejalan dengan pendapat Kusumoputro (1992) bahwa efekti
fitas
terapi afasia akan meningkat jika latihan menggunakan bentuk stimulus
udio
a dalam bentuk musik dan stimulus visual dalam bentuk gambar
erta
gambar s lukisan. Jenis stimulus ini sebaiknya digunakan secara rutin selama
sesi
mengikuti terapi afasia. Sedangkan mengajak pasien bercakap cakap
rapi
uan
komunikasi (Holland, 1982 dalam Kusumoputro,
1992).
Terapi intonasi lagu dapat digunakan pada pasien afasia dengan kemampuan
ekspresi
verbal
minim
(Kusumoputro,
1992;
Prins
&
Maas,
1993;
Wirawan,
2009). Pemberian stimulasi melalui lagu, menyanyikan dan menyuarakan
pasien
Penggunaan
media,
seperti
memberikan
musik
bermanfaat
untuk
araf
gga
alin
pun
hati
atan
uku
AC
lami
diperkuat oleh hasil penel Johston et al (2004 dalam Clarkson, 2010), itian
bahwa AAC dapat meningka
tkan
gan
meningkatkan
akan mempengaruhi
sepuluh hari. Nilai depresi pada kelompok kontrol adalah 9.64 dan nilai depresi
pada kelompok intervensi adalah 8.30. Menurut instrumen observasi depresi
(ADRS), dikatakan
9. Kesimpulan
yang
Hubungan
variabel
perancu
dengan
kemampuan
fungsional
komunikasi
a. Umur
Afasia tergolong gangguan komunikasi. Komunikasi merupakan bagian penting
dalam kehidupan manusia. Menurut Berman, Snyder, Kozier & Erb, (2008),
komunikasi merupakan proses pertukaran informasi diantara dua orang atau ebih
l
atau terjadi pertukaran ide ide atau pemikiran. Sedangkan menurut Sundin &
Jonson (2003), melalui komunikasi seseorang dapat mengekspresikanaan
peras dan integritas diri.
Beberapa hasil penelitian dan literatur menjelaskan bahwa faktor umur apat
d mempengaruhi efektifitas rehabilitasi afasia, antara lain kecepatan
ihan
ktor
kasi.
dan
roke
sial.
serangan, stroke berulang dan status so Pendapat ini didukung oleh hasil atan
penelitian Mc. Caffrey (2008), bahwa kecep
pada
kemudian. Berbeda dengan hasil penelitian oleh Culton (1971) dan Sarno (1981)
yang
menjelaskan
bahwa
faktor
umur
tidak
mempengaruhi
uan
gga
ini
pasca stroke. Hal didukung oleh hasil penelitian Smith (2001), menjelaskan ada
bahwa pemulihan p pasien stroke umur lanjut sangat terbatas, hal ini
daan
berhubungan dengan kea mental dan adaptasi. Biasanya pemulihan pada ebih
pasien stroke umur muda l cepat karena umur muda lebih cepat beradaptasi.
Selain itu faktor umur juga mempengaruhi kemampuan fungsional paska roke
st terhadap pelaksanan rehabilitasi. Pendapat ini didukung oleh
ang
dap
kan
uliha
n
idak
apat
siko
Adanya faktor selain umur, seperti keparahan afasia, luas/letak cedera oke
frekuensi serangan stroke, sehingga pada akhir penelitian kemampuan
05).
dan
onal
b. Jenis Kelamin
Jenis kelamin diketahui memiliki hubungan dengan pemulihan pasca
stroke. ini sesuai dengan penelitian tentang perbedaan jenis kelamin dalam
Hal
gkat
lkan
bahwa wanita stroke memiliki harapan hidup yang lebih panjang dibandingkan
dengan laki-laki, tetapi memiliki status fungsional pasca stroke yang lebih buruk
dibandingkan dengan laki-laki (Oh, Yu, Roh, & Lee, 2009). Dijelaskan bahwa
buruknya status fungsional pada pasien pasca stroke disebabkan karena wanita
lebih sering mengalami kardioemboli akibat fibrilasi atrium, memiliki umur
yang
lebih tua, saat serangan datang ke rumah sakit lebih lambat dan memiliki tingkat
keparahan stroke yang lebih berat (Oh, Yu, Roh, & Lee, 2009).
Walaupun menurut jumlah ada perbedaan antara responden laki-laki
dengan responden perempuan dalam kemampuan fungsional komunikasi,
akan tetapi dalam hasil penelitian ini tidak terdapat hubungan yang
bermakna antara jenis kelamin dengan kemampuan fungsional komunikasi
pasien stroke dengan afasia motorik.(p : 0.831). Hal ini dapat dilihat dengan
tidak adanya
perbedaan
kemampuan fungsional pada laki-laki dan perempuan
antara
kedua nilai pok,
kelom sehingga dapat disimpulkan terdapat faktor lain yang mempengaruhi uan
kemamp fungsional komunikasi, seperti kapan pasien mendapat penanganan gan
sejak seran stroke muncul. Waktu 3-6 jam (golden period) merupakan
ting
waktu yang pen untuk penanganan stroke, karena dalam waktu ini
lam
dap
ang
sien
tang
ang
dow
pasien yang datang diluar win period (setelah 12 jam) 75% mengalami
ini
serangan
arteri
disease
yang
diperberat
oleh
kurangnya
kesadaran
disebabkan
dalam
penelitian
ini jumlahpok
d. Ketidakmampuan fisik
gik.
Ketidakmampuan fisik dapat terjadi pada stroke hemoragik dan non hemorakan
Stroke menyebabkan penurunan perfusi serebral sehingga dapat terjadiuan
kerusa pada korteks motorik. Kerusakan pada area ini menyebabkanang,
terjadinya gangg transmisi impuls yang ditandai adanya paresis ataugian
paralisis
(Silbernagl
&L
besar responden
mengalami
hemiplegi dan ditunjukkan dengan nilai barthel
indek pada
kelompok
intervensi
sebesar
26.00,
sehingga
dapat
lemah dan berpola negatif (r = -0.264). Hal ini kemungkinan disebabkan karena
dalam penelitian ini jumlah responden kelompok intervensi yang sedikit (n =
10), sehingga tidak didapatkan perbedaan dalam kemampuan fungsional
komunikasi pada afasia motorik. Selain itu waktu penelitian yang relatif
singkat (10 hari) kemungkinan dapat mempengaruhi hasil terhadap kemampuan
fungsional komunikasi.
e. Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga merupakan faktor yang mempengaruhi pemulihan
cara
sien
tern
apat
hasa
92).
ebih
Dengan adanya pendampingan keluarga pasien merasa nyaman, tenang dan pak
l kuat menerima keadaan fisiknya, sehingga diharapkan akan memberi ikan
dam yang baik terhadap proses penyembuhan penyakitnya. Dukungan yangmasi,
diber dalam penelitian ini dapat mencakup empat dimensi, yaitu dukungan oke
infor emosional, penghargaan dan instrumental terkait dengan perawatan
pasien str dan pemberian komunikasi pada pasien afasia motorik.
ada
Namun berbeda dengan hasil penelitian, hasil uji statistik menunjukkan tidakuan
fungsional yang
komunikasi
(p : antara
0,732).dukungan
Hubungankeluarga
tersebutterhadap
lemah dan berpola
hubungan
bermakna
negatif
(r = -0.124). Hal ini kemungkinan dapat disebabkan berdasarkan variabel
dukungan keluarga, tidak adanya variasi nilai dukungan keluarga pada
kelompok intervensi, sehingga
dukungan
keluarga tidak
memberikan
variabel
perancu
dengan
a. Umur
Beberapa penelitian menjelaskan bahwa depresi paska stroke dapat terjadi ada
p umur tua. Menurut Glemcevski, et al (2002) bahwa umur lanjut sebagai ktor
fa risiko terjadinya depresi (p:0.034). Hasil penelitian ini didukung olehrrel
Fa (2004) menyatakan bahwa depresi cenderung lebih kronis di pasien yang tua
lebih dibandingkan dengan orang dewasa muda. Periode depresi pada
ebih
iliki
akin
Artinya sem
oleh
Tezel (2009) yang melaporkan tidak adanya hubungan umur dengan depresi dan
keputusasaan.
b. Jenis kelamin
Berdasarkan jenis kelamin, pada beberapa penelitian didapatkan bahwa
depresi paska stroke sedikit lebih banyak diantara wanita dibandingkan pria.
Menurut Amir (2005) pada umumnya wanita dapat terjadi depresi karena
wanita
lebih ebih
sering terpajan dengan stressor lingkungan dan ambang terhadap
stressornya
l rendah dibandingkan laki laki. Ketidakseimbangan hormon pada nita
wa menambah tingginya prevalensi depresi pada wanita, misalnya resi
dep premenstruasi, postpartum dan postmenopouse (Amir, 2005). Hal
alan
ini sej dengan peneltian Paradiso & Robinson, 1998 didapatkan bahwa
aska
depresi p stroke terjadi dua kali lebih banyak pada wanita dibandingkan pria gus,
(Meifi & A
hwa
2009). Sedangkan menurut penelitian Ghoge dkk (dalam Suwantara, 2004), n 5ba angka prevalensi depresi paska stroke adalah 10-25% untuk
i di
perempuan da
pria
pan
les
hemisfer kiri, gangguan fungsi psikiatrik sebelumnya. Sementara pada
beratnya depresi berkaitan dengan gangguan kemampuan melakukan
kehidu sehari hari dan gangguan fungsi sosial (Amir, 2005).
yak
enis
ariat
lebih
(p :
lami
penelitian ini j kelamin tidak memiliki hubungan dengan depresi. Hasil
pasien stroke yaitu kelemahan fisik memiliki dampak yang sama terhadap
ketidakmampuan dalam memenuhi aktivitas sehari hari, seperti makan, mandi,
merawat diri, berpindah dan lain lain. Ketidakmampuan fisik yang dialami
dapat menimbulkan berbagai respon psikologis seperti takut, sedih, marah,
depresi, kehilangan kontrol dan keputusasaan. Respon yang ditimbulkan dapat
berbeda beda tergantung kepribadian, pengalaman masa lalu dan mekanisme
koping (Gorman & Sultan, 2008). Hasil analisis bivariat ini juga sejalan dengan
penelitian
yang dilakukan oleh Arslan, Celebioglu dan Tezel (2009) yang melaporkan
bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan keputusasaan pada perempuan dan
laki laki. Lebih lanjut menurut Storor & Byrne (2006) bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan yang ditemukan diantara skor dimensi depresi dan
karakteristik usia dan jenis kelamin.
c.
Frekuensi
serangan
Stroke
Berdasarkan hasil analisis didapatkan rata- rata depresi pada frekuensi
seran stroke 1 kali lebih tinggi dibandingkan dengan rata rata depresi pada
frekuen
gan
si >
ebih
1 kali. Jumlah serangan stroke akan berpengaruh terhadap kerusakan otak l
apat
luas, sehingga dapat mempengaruhi wicara dan bahasa. Menurut pend
rkan
Silbernagl & Lang (2007) bahwa manifestasi klinis stroke ditentukan berdasa
kali,
area serebri yang terkena. Walaupun frekuensi serangan stroke terjadi 1
nan,
namun bila stroke mengenai lobus frontalis pada hemisfer kiri domi
urut
kemungkinan pasien akan mengalami afasia dan gangguan mood.
asa,
Men pendapat Price & Wilson (2002), lobus frontalis mengatur fungsi
soi,
berbah kemampuan motorik dan kepribadian. Menurut hasil penelitian Lee,
kan
Tang, T Fong & Yu, (2009) bahwa lesi pada hemisfer kiri lebih sering
bus
menyebab depresi daripada lesi hemisfer kanan dan lebih berat jika lesi
kan
mendekati lo frontal kiri. Jika lesi diotak bertambah karena mengalami
oleh
stroke berulang a melipatgandakan jenis serta beratnya defisit. Hasil
apat
penelitian ini didukung Amir (2005); Andri & Susanto (2008); Meifi &
ogik
Agus (2009), bahwa terd beberapa teori yang menjelaskan faktor
ada
penyebab DPS, yaitu faktor biol seperti lesi otak dan faktor psikososial.
gga
Depresi timbul sebagai akibat lesi p daerah otak yang menyebabkan
terjadi penurunan serotonin yang merupakan neurotransmitter untuk
mempertahankan keadaan emosi tetap stabil. Penurunan serotonin menyebabkan
gangguan suasana hati, tidur dan nafsu makan (Schub & Caple, 2010). Gangguan
suasana hati dimanifestasikan dengan marah, frustasi, putus asa dan sering
menyebabkan depresi.
den
respon kelompok intervensi yang dilakukan CT-Scan, didapatkan lesi pada kiri
hemisfer pada lobus frontalis. Walaupun prosedur ini sangat penting
kan,
untuk dilaku namun tidak seluruh pasien dilakukan pemeriksaan diagnostik. ang
Faktor biaya y harus dikeluarkan secara pribadi bagi pasien yang memilih
gga
jalur umum, sehin sering menolak pelaksanaan prosedur ini. Selain itu
CT-
ujuk
ngin
kali
ensi
ada
uan
gan
sedang den depresi, dimana pada 48 jam setelah masuk rumah sakit r:-0.473001.
dengan p:0. Penelitian Fatoye (2009) juga menyatakan ada hubungan antarangsi
gangguan fu motorik berupa paresis dengan
bisa
ada
ama
jadi
menyebabkan aktivitas penderita stroke men sangat terbatas pada tahun angi
pertama, namun dukungan sosial dapat mengur dampak dari
fisik
apat
gan
l ini
idak
0.108.
Ha dapat aktivitas
terjadi karena
besar pensiun.
merupakan
umur tua akan
mempengaruhi
bekerja sebagian
karena sudah
Permasalahan
timbul ketika responden masih berumur produktif yang menjadi tujuan proses
penyembuhan bukan hanya melakukan aktivitas sehari-hari, tetapi mampu
bekerja kembali secara normal. Ketidakmampuan responden bekerja kembali
menjadikan stressor yang tinggi untuk terjadinya depresi apalagi jika responden
merupakan pencari nafkah
satu-satunya dalam
keluarga dan
masih
mempunyai anak yang membutuhkan biaya sekolah. Selain itu tidak adanya
variasi nilai Barthel Index
e. Dukungan keluarga
Wills & Fegan (2001 dalam Sarafino, 2006) menyatakan bahwa
gan
atau
rgai
dicintai dan diha serta dapat menimbulkan efek positif bagi dirinya.
gan
ngat
lam
berha Selain itu proses penyembuhan dan rehabilitasi pada stroke dapat
ikan
lalu
Hal
yang terlihat
selama penelitian
semua
responden alat
mendapatkan
mendampingi
responden,
merawat dan
memberikan
bantu komunikasi.
Namun demikian hasil analisa hubungan dukungan keluarga dengan depresi
menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara dukungan keluarga
terhadap depresi (p : 0.147). Hal ini kemungkinan disebabkan dalam
penelitian ini, jumlah responden kelompok intervensi yang sedikit (n = 10),
sehingga tidak didapatkan pengaruh dukungan keluarga terhadap depresi pada
afasia motorik.
ang
Keterbatasan yang dirasakan selama penelitian adalah instrumen y
resi
digunakan untuk menilai kemampuan fungsional komunikasi dan dep
uran
dalam rentang nilai ini melibatkan asisten peneliti serta menggunakan uk
acuan kurang terstruktur/terarah.
Walaupun
sudah dilakukan
uji
interrater, tetapi pada instrumen
d.
Proses
penelitian
pelaksanaan
pemberian
komunikasi dengan
AAC (rehabilitasi),
yaitu
kehadiran beberapa anggota keluarga yang mendampingi pasien bergantiganti, sehingga peneliti harus memberikan latihan dan penjelasan yang
berulang ulang kepada keluarga. Selain itu pelaksanaan AAC diberikan
sama kepada semua afasia motorik tanpa mempertimbangkan keparahan
afasia,
sehingga kondisi
ini kemungkinan
dapat mempengaruhi outcome.
6.3
Implikasi
Keperawatan
dalam
Pelayanan
Pemberian komunikasi dengan AAC pada pasien stroke dengan afasia mot
orik
mempunyai dampak positif mampu mengkomunikasikan kebutuhannya me
lalui
pemberian buku komunikasi, majalah, foto, musik/lagu dan alat tulis, sehin
gga
dapat menurunkan depresi pada pasien afasia motorik. Komunikasi merupa
kan
salah satu kebutuhan dasar menurut Henderson untuk mengekspresikan piki
ran,
pendapat dan perasaan.
Meskipun dalam meningkatkan kemampuan komunikasi selama 10 hari
tidak hubungan yang bermakna, tetapi adanya pemberian AAC pada
ada
ama
peta
reorganisasi kortikal dan meningkatkan fungsi motorik pada hari selanjutnya
a 3sehingga pad
eksi
6 bulan selanjutnya pemulihan wicara bahasa menjadi optimal. Proses det
ejak
yang dini dan memberikan intervensi keperawatan yang tepat dan dimulai s
aska
dini terkait dengan afasia dan depresi dapat meningkatkan proses pemulihan
untuk
afasia. Selain
afasia tanpa
memperbaiki
itu
pemberian
kemampuan
media
fungsional
dilakukan
komunikasi pasien
kepada
seluruh
pasien
memfasilitasi
komunikasi
pasien afasia karena keterbatasannya dalam berkomunikasi
verbal,
meningkatkan
interaksi antara pasien dengan keluarga, petugas kesehatan dan membantu
perkembangan hubungan sosial sehingga akan mempengaruhi kualitas idup
h
pasien afasia. Pemberian AAC juga meningkatkan waktu sentuhan perawat
kepada pasien, sehingga perawat dapat menjadi teman dalam mengekspresikan
emosi. Sikap caring yang ditunjukkan perawat kepada pasien akan menimbulkan
efek positif untuk mengurangi kejadian depresi.
Penanganan pasien stroke yang mengalami afasia pada saat ini hanya
kus
berfo pada penanganan fisik saja. Pemberian alat bantu komunikasi pada
asia
pasien af hanya diberikan isyarat atau alat tulis tanpa diberikan stimulasi
gga
nya
ini
lam
dalam memberikan
asuhan
depresi.
keperawatan,
Selain
perawat,
BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
Kesimpulan dalam penelitian ini dapat dilihat sebagai berikut :
a. Karakteristik pasien stroke dengan afasia motorik di RSUD Garut, Banjar
dan Tasikmalaya adalah sebagian besar berumur 62.10 tahun, sebagian
besar ke 1
berjenis kelamin laki-laki, sebagian besar memiliki frekuensi serangan
stro kali, sebagian besar memiliki nilai ketidakmampuan fisik 25.48 dangian
seba besar memiliki nilai dukungan keluarga 46.48.
b. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna kemampuan fungsional komunikasi
pada pasien stroke dengan afasia motorik yang diberikan komunikasi dengan
AAC dengan yang tidak diberikan AAC.
c. Terdapat perbedaan yang bermakna nilai depresi
an
perti
rian
ama
vasi
gan
technologi), seperti alat tulis, gam musik, papan alfabet dan metode
bar,
modern (high technology), seperti komp atau penelitian dengan metode uter,
kualitatif seperti pengalaman pasien afasia y sudah mendapatkan
ang
ara-
lam
pasien afasia.
DAFTAR PUSTAKA
Abramson, L.Y., Metalsky, G. I., & Alloy, L.B. (1989). Hopelessness Depression
: A Theory-Based Subtype of Depression. Psychological Review, 96 (2), 358
-372.
Ackley, B. J. & Ladwig, G. B. (2011). Nursing diagnosis handbook: An
evidence based guide to planning care (9th ed.). USA: Mosby Elseiver.
Ackley, B.J., Swan, B.A., Ladwig, G.B & Tucker, S.J. (2008). Evidence ased
b
sby
nursing care guidelines medical surgical interventions. USA :
Mo
Elseiver.
oke.
987
AHA/ASA.
(2006).
Primary
prevention
of
ischemic
str
http://stroke.ahajournals.org/cgi/ content/full/37/6/ 1583#FIG
1173
diperoleh tanggal 14 Juni 2011.
apy.
American
Music
Association
(2005).
Music
Ther
http://www.mu sictherapy.org diperoleh tanggal 14 Desember 2011.
aka.
17
Andri., Susanto, M. (2008). Tatalaksana depresi pasca stroke. Tinjauan pust
Majalah Kedokteran Indonesia, 58(3):81-85, diperoleh pada tanggal
oke.
Oktober 2011.
f
Aini,
F.
(2006).
Speech
therapy
pada
klien
str
http://nardinurses.files.wordpress.com/2008/01/maka lah -speechtherapy.pd diperoleh pada tanggal 20 April 2011.
ana.
Amir, N. (2005). Depresi : Aspek Neurobiologi Diagnosis dan
Tatalaks
Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
ta:
gan
asca
Ardi,
Analisis
ketidakmampuan
fisik and
dan Hopelessness
kognitif den in
Arslan,M.S.,(2011).
Celebioglu,
A., hubungan
& Tezel, A.
(2009).`Depression
Turkish Patients with Cancer Undergoing Chemotherapy. Japan Journal of
Nursing Science,6, 105-110.
Arwani. (2003). Komunikasi dalam keperawatan. Jakarta : EGC.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (2008). Laporan nasional
riskesda 2007, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen
Kesehatan,
Republik
Indonesia.
Diakses
dari
http://www.litbang.depkes.go.id. Diperoleh pada tanggal 20 Juli 2011.
Bakheit., Shaw, S., Barret, L., Wood,J., Carrington, S., Griffith, S., Searle, K. ,
& Koutsi, F. (2007). A prospective, randomized, parallel group, controlled
study of the effect of intensity of speech and language therapy on early
recovery from post stroke aphasia. Clinical rehabilitation . 21: 885894.
Barker, E. (2002). Neuroscience nursing : A spectrum of care (2nd ed.).
Philadelphia: Mosby Incorporation.
Bazzano, L. (2000). High alcohol consumption increase stroke risk.
http://www.eureka lert.org/pub_releases/2007-08/tu-hac081707.php diperoleh
tanggal 5 Juni 2011.
Beery, A.T. (2007). Diseases & disorders : A Nursing therapeutic manual(3rd
ed.). Philadelphia : F.A Davis Company.
Beck, A.T., Weissman., Lester, D., & Trexler, L. (1974). The measurement of
pessimism : The hopelessness scale. Journal of Consulting andical
Clin Psychology, 42 (6), 861-865.
Benneth, H.E., Thomas, S.A., Austeen, R., Moris, A.M.S., & Lincoln, N.B.
(2006). Validation of screening measures for assessing mood in roke
st patients. British Journal of Clinical Psychology, 45 (Part 3), 367 376.
September 2006.
Benneth, H.E., & Lincoln, N.B. (2006). Potential screening measures for
depressions and anxiety after stroke. I nternational Journal of and
Therapy Rehabilitation. Vol.13(9). diperoleh pada tanggal 20 Juni
2011.
pts,
Berman., Snyder., Kozier., & Erb. (2008). Fundamentals of Nursing :
.
Conce
Process and Practice (8th ed.). New Jersey : Pearson International
Edition
uda.
Berthier, M.L. (2005). Post Stroke. Review Article.
Bethesda Stroke Centre. (2007). Faktor resiko stroke usia
rk :
m
008
http://www.strokebethesda.com. Diperoleh pada tanggal 20 Juni 2011.
Bhogal, S.K., Teasel., Foley., & Speechley. (2004). Lesion location and
poststroke depression: systematic review of the methodological limitations
in the literature. U.S. National Library of Medicine. Stroke. 2004
Mar;35(3):794802.
Black, J.M., & Jacob, E.M. (2005). Medical surgical nursing clinical
management for positive outcomes (7th ed.). St. Louis : Elsevier Saunders.
------------- (2009). Medical surgical nursing clinical management
positive outcomes (8th ed.). St. Louis : Elsevier Saunders.
for
tive
nce
Bullain, S.S., Chiki, L.S & Stern, T.A. (2007). Aphasia : Associatedage
disturba in affect. Behaviour and cognition in the setting of speech
and langu difficulties. Psychomatics, 48: 259-264. May June 2007.
cute
Caeiro, L., Ferro, J.M., Santos, C.O., & Luisa, F. (2006). Depression in
a stroke. Journal of Psychiatry Neuroscience, 31(6): 377- 383. Nov 2006.
able
Castello,J.M., Patak, L.,& Pritchard, J. (2010). Communication
and
vulner patients in the pediatric ICU: Enhancing care through
tion
augmentative alternative communication therapy. Journal of
Pediatric Rehabilita Medicine : An I nterdiciplinary Approach 3, 289
301.
.In
.
Cherney, L.R., Small, S.L., Stein, J., (2009). Aphasia, alexia and oral
reading
l 15
Stroke Recovery and Rehabilitation. Demos Medical Publishing. 155
181
eech
Cigna. (2010). Speech therapy. http://www.cigna.com diperoleh pada
27
tangga
April 2010.
Coffman, M.J. (2008). Effects of tangible social support and depression on
diabetes self-efficacy. Journal of Gerontological Nursing, 34 (40, 32 39.
Dahlan, M. S. (2008). Besar sampel dalam penelitian kedokteran dan kesehatan.
Jakarta : PT. Arkans.
Dahlin, F., Billing, E., Nasman, P., Martenson, B., Wreding, R., & Murray, V.
(2006). Post-stroke depression effect on the life situation of the significant
other. Scandinavian Journal of Caring Sciences , 20(4): 412-6 (34 ref).
Dahlin, A.F., Laska, A.C., Larson, J., Wredling., Billing, E., & Murray, F.
(2007).
Predictors of life situation among significant others of depresses or
aphasia stroke patients. Journal of Clinical Nursing, 17: 1574 1580.
September
2007.
Darussalam, M. (2011). Analisis faktor faktor yang berhubungan dengan
depresi dan Hopelessness pada pasien stroke di Blitar. Depok : Program
Studi Pasca Sarjana FIK UI. Tidak dipublikasikan.
Darma, K.K. (2011). Metodologi penelitian keperawatan. Panduan
dan menerapkan hasil penelitian. Edisi I. Jakarta : TIM.
mel
aks
ana
Enderby, P., Crow, F. (1996). Frenchay aphasia screening test: validity
comparability.
Disability
&
Rehabilitation.
18,
238 http://www.amazon.com/Frenchay -Aphasia-Screen ing-Pame lakan
Enderby/dp/1861564422 diperoleh pada tanggal 23 Mei 2011.
Farrell, C. (2004). Poststroke Depression in Elderly Patients. Journal of
Di
Critical Care Nursing, 23(O5):264-269.
Fatoye, F. O. (2009). Depressive symptoms and associated factors
follo cerebrovascular accident among Nigerians. Journal of Mental
Health,
2009; 18(3): 224232.
l Of
ed.).
and
240.
tion
ical
nces
den.
oleh
ical
l. 2
ical
Li, S. C, Wang, K. Y., & Lin, J. C. (2003). Depression and related factors
in elderly patients with occlusion stroke. Journal of Nursing Research .Vol
II. No. I.
Lipska, et al. (2007). Risk factor for acute ischaemic stroke in young adults in
south India. Diakses dari JNNP.com tanggal 8 Juli 2011.
arch
and
and
10).
Powlawsky, I.E., Schuurmans, M.J., Lindeman, E., & Hafsteinsdottir, T.B. asia.
(20
A systematic review of nursing rehabilitation of stroke patients with
oses
aph
ease
Journal of Clinical Nursing. 2010 Jan; 19 (1-2) : 17-32.
Price, S.A., & Wilson, L.M. (2006). Patofisiologi: Konsep klinis proses-pr
penyakit. Edisi 6. (Terj.dari Pathophysiologi Clinical Concepts ofwith
Dis Process, Brahm U. Penditetal.). Jakarta : EGC.
Purdy, M., & Diez, A. (2010). Factors influencing AAC usage by
cara
individuals aphasia. Speech Language Pathologi/ Audiology, 19 (3) : 8 itas
Rekam Medis RSUD Kota Tasikmalaya. (2011). Data Rekam Medis RSUD Kota
Tasikmalaya Tahun 2009-2010.
Rice, D.A. (2001). Life events and depressions. The plot thickens. American
Journal of Community Psychology.20 (2)`: 179 193.
Rowat, A., Lawrence, M., Horsburgh, D., Legg, L., & Smith L. (2009).
Stroke research questions : A nursing perspective. British Journal of
Nursing, 18(2),
99-105. Januari 2009.
Sabri, L., & Hastono, S.P. (2006). Statistik kesehatan. Edisi revisi. Jakarta:
FKM UI.
Salter, K., Jutai, J., Foley, N., Hellings, C., & Teasell, R. (2006). Identification
of aphasia poststroke : A review screening assesment tools. Brain injury,
20(6) :
559- 568. June 2006.
Sarafino, E. P. (2006). Health psychology : biopsychosocial interaction. (5th ed.).
Unites States of America : John willey & Sons, Inc.
Sastroasmoro, S & Ismael, S. (2010). Dasar dasar metodologi penelitian klinis.
(Ed.2). Jakarta : Sagung Seto.
Schlosser, R.W., & Wendt, O. (2008). Effect of augmentative andtive
alterna communication intervention on speech production in children with : A
autism systematic review. American Journal of Speech Language.17 ;
Pathology. Vol
212 230.
ion.
Schub, E., & Caple, C. (2010). Stroke complication : post stroke
depress
California: cinahl information system.
W.J.
Arch
Schulz, R., Beach, S.R., Ives, D.G., Martire, L.M., Ariyo, A.A., & Kop,
(2000). Association between depression and mortality in older adults.
Alih
Intern Med 2000; 160: 1761-8.
Silbernagl, S., & Lang, F. (2007). Teks dan atlas berwarna patofisiologi.
Bahasa Iwan Setiawan & Iqbal Mochtar . Cetakan I. Jakarta : EGC.
e in
mily
Sit, J.W.,Wong, T.K.S., Clinton.,Li,L.S.W., & Fong, Y.M. (2004). Stroke
car the home : The impact of social support on the general health
of fa caregivers. Journal of Clinical Nursing, 13: 816-824.
ong
rch;
-------------. (2007). Associated factors of post-stroke depression among
H Kong Chinese: A longitudinal study. Psychology, Health &
Medicine,Ma
dah
12(2): 117 125.
e 3.
Smeltzer , S.C., & Bare, B.G. (2002). Buku ajar keperawatan medikal
Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, J.L., & Cheever, K.H. (2008). Brunner &
Suddarths textbook of medical surgical nursing (11th ed.). Philadelphia
: Lippincott Williams & Wilkins.
--------------. (2010). Brunner & Suddarths textbook of medical surgical nursing
(12th ed.). Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins.
Storor, D.L., & Byrne, G.J.A. (2006). Premorbid personality and depression
following stroke. Australia.
30,
2
011.
Tarigan,
I.
(2009).
Terapi
afasia
perbaiki
gangguan
bah
http://www.mediaindonesia.com/mediahidupsehat/index.php/read/2009/0 asa.
/28/
4
l 20
1109/13/Terapi-Afasia-Perbaiki-Gangguan-Bahasa diperoleh pada
tangga
Juli 2011.
Hill
th
Taylor, S.E. (2006). Health psychology. 6
edition. New York:
McGraw- Companies, Inc.
fter
Feb
Thomas, S.A., & Lincoln, N.B. (2008). Predictors of emotional distress
a stroke. Journal of the American Heart Association, Vol.39, 1240
1245.
vaal
21 2008. Diperoleh pada tanggal 24 Juni 2011.
21,
Thommessen. (1999). Screening by nurses for aphasia in stroke the ulle
aphasia screening (UAS) test. Disability and Rehabilitation Journal. Vol.
apy.
No. 3, 110 115.
n
Wikipedia. (2011). Augmentative and alternative communication ther
http://en.wikipedia.org/w iki/Augmentative_and_alternative_communicat i
oleh
o diperoleh pada tanggal 15 April 2011.
Wikipedia. (2011). Anatomi otak. http://id.w ikipedia.org/w iki/Otak diper
NIC
pada tanggal 15 Oktober 2011.
Wirawan, R.P. (2009). Rehabilitasi stroke pada pelayanan kesehatan primer.
Majalah Kedokteran Indonesia. Vol (59), nomor 2 : 61 73.
World
Health
Report
(2007).
Stroke
statistics.
http://www.strokecenter.org/patients/stat.htm , diperoleh tanggal 14 Mei
2011.
No
Kegiatan'
Lampiran 1
PENJELASAN PENELITIAN
:
:
Amila
0906505086
edia
dan
aya
atau
diberikan s mengharapkan partisipasi Bapak/Ibu/Saudara/I untuk
jawaban dari pertanyaan yang diberikan. Peneliti akan menjamin
kerahasiaan identitas peserta penelitian dengan hanya akan mencantumkan
nomor sebagai
kode peserta penelitian.
Hormat Saya,
Amila
-hak
idak
aya
ngat
S mengerti keikutsertaan saya/anak/suami/istri/ayah/ibu dalam penelitian ini
sa besar manfaatnya bagi kemajuan dunia keperawatan.
Selanjutnya, saya bersedia secara sukarela dan tanpa ada paksaan dari
p manapun untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.
,...............................2011
Responden
(......................................)
Peneliti
(Amila)
ihak
KUISIONER PENELITIAN
Petunjuk Pengisian
Pengisian dilakukan oleh peneliti dengan mengisi titik-titik dan memberi
tanda ceklis ( ) pada kolom yang disediakan
Identitas responden
No. responden
Alamat
.
: .................................................................................
.........................................................................
. No Telp/HP
: ...............................................
......................... Keterangan
: kelompok kontrol/kelompok
intervensi
Karakteristik pasien
Umur
: tahun
Jenis kelamin
Perempuan
Laki-laki
Frekuensi serangan stroke
1 kali
>1 kali
Keluarga yang selama ini merawat :
Yang lain sebutkan .
Kode Responden
FORMAT PENGKAJIAN AFASIA
Frenchay Aphasia Screening Test (FAST)
Petunjuk Pengisian :
Mohon kesedian Bapak/Ibu/Saudara untuk mengisi lembar pengkajian
afasia sesuai dengan kondisi sebenarnya.FAST mengkaji kemampuan bahasa
dalam area utama, seperti pemahaman, ungkapan verbal, membaca dan
empat
menuli
s.
Persiapan Tes :
Pastikan pasien dapat mendengar kita dengan baik, suara harus jelas
Alat : kertas bergambar (kartu bergambar), pensil, kertas, stopwatch
No Aspek
Item Penilaian
Komunikasi
1.
2.
Pemahaman
Pengucapan
Skorin
g
2.
3.
4.
5.
6.
3.
Membaca
Afasia motorik
Afasia sensorik
Afasia global
Hasil penilaian, dikatakan afasia jika :
Usia sampai 60 tahun mempunyai nilai dibawah 27
Usia diatas 60 mempunyai nilai dibawah 25
Keterangan :
c. Afasia sensorik, yaitu jika pasien sering menyebutkan kata/kalimat yangidak
t sesuai dan
tidak
bermakna.
Pasien
kesulitan
dalam
pemahaman
(komprehensif). Hal ini ditandai dengan bahasa yang lancar tapi tidak sesuai
(nyambung) dengan pertanyaan, panjang kalimat normal, artikulasi baik.
d. Afasia
motorik
jika
pasien
dapat
mengerti
instruksi,
tapi sulit
l ini
Keadaan ini ditandai oleh tidak adanya lagi bahasa spontan atau berkurang
sekali dan menjadi beberapa patah kata yang diucapkan secara stereotip ( itu
itu saja, berulang), pemahaman menghilang atau sangat terbatas.
Membaca dan menulis juga terganggu berat.
Kode Responden
SKALA KOMUNIKASI FUNGSIONAL DERBY
Petunjuk Penggunaan :
1. Instrumen ini diisi oleh peneliti berdasarkan hasil observasi dengan responden.
2. Tujuan utama penilaian adalah untuk mengidentifikasi tingkat
kemampuan fungsional komunikasi pasien melalui tiga skala, yaitu
mengungkapkan, pemahaman dan interaksi
kemampuan
tapi
Pemahaman (P)
Inter
aksi (I)
0 Tidak mampu
Kurang atau tidak
Sedikit atau
t mengekspresikan kebutuhan
menunjukkan pemahaman.
interaksi.idak ada
(Ti dan tidak berusaha menarik
(Tidak menunjukkandak
merespon sal perhatian.
ekspresi muka apapun, tidakam, bisa
tertawa atau
tersenyum
ada respon atau memberikan dalam
yang tidak
situasi respon yang tidak sesuai)
pantas.)
danya
1 Tidak mampu
Menunjukkan tanda-tanda
Menyadari aang lain,
mengekspresikan kebutuhan, pemahaman bahwa orang
kehadiran orak mata dan
tetapi menunjukkan usaha
lain sedang berusaha untuk
melalui, tetapi tidak
kont pasien untuk berkomunikasi. mengkomunikasikan
posturteraksi secara
tubuh sesuatu, tetapi tidak dapat
mampu berinalnya melalui
memahami bahkan pilihan
spesifik (mis
sederhana ya/tidak.
salam).
lam dan
2 Menggunakan komunikasi
Memahami beberapa pilihan Merespon sayang
non-verbal (misalnya isyarat, sederhana dengan dukungan signal sosialmelalui
menunjuk dengan jari,
non-verbal (misalnyah (misalnya
cangkir, menunjuk
teh/kopi), tetapi tidak dapat
memahami kata-kata atau
simbol-simbol.
Memahami ekspresi
sederhana ya/tidak dan
dapat memahami beberapa
benda (misalnya
buku,
menggunakan kata-kata
dan/atau komunikasi nonverbal.
Dapat berinteraksi dengan
dua orang secara
konsisten dan
berpartisipasi
sebagaimana mestinya.
raksi dengan
5 Mengekspresikan ide-ide
Memahami ide-ide yang
Dapat
ng tetapi
berinte yang lebih rumit tetapi harus hanya bisa diekspresikan
n dukungan
beberapa ora didukung oleh komunikasi
secara lengkap melalui katatisipasi secara
membutuhka non-verbal (misalnya dapat
kata.
untuk berpar meminta supaya diberikan
efektif. minum nanti).
6 Mengekspresikan ide-ide
Memahami beberapa
Berinteraksi secara
an berapapun
abstrak yang memerlukan
percakapan yang rumit
mandiri
mlah orang,
deng kata-kata (misalnya ayah
(rangkaian kalimat),tetapi
bertahan
banyaknya ju saya kecewa).
sering kehilangan arah
dapat
tetapi hanya Dapat kehilangan kelancaran pembicaraan.
eberapa
sebentar dan bicara saat gelisah, lelah dll.
salnya giliran
mengalami b
kesulitan (mi
berbicara). ertahankan
7 Dapat mengekspresikan ide Benar-benar memahami
Dapat mempgan
ide dalam bentuk komunikasi komunikasi kompleks,
interaksinyaknya
den yang kompleks, tetapi
tetapi kadang-kadangdengan
berapapun ba kelancaran berbicaranya
mengalami kesulitan.anya sedikit
jumlah
orang
berkurang.
asalah dalam
mengalami h
al.
kesulitan.
8 Tidak ada masalah yang
Tidak ada masalah yang
terdeteksi.
terdeteksi.
di atas yang
di atas yang menggambarkan
sosi
menggambarkan tingkat
tingkat ekspresi paling
pemahaman paling akurat
akurat pasien dalam kondisi
pasien dalam kondisi
sekarang:
E=
sekarang:
P=
Kode
Responden
FORMAT OBSERVASI
DEPRESI
Aphasic Depression Rating Scale
(ADRS)
Tidak ada m
gka dari
interaksi
daftar di atas yang
menggambarkan tingkat
interaksi paling akurat
pasien dalam kondisi
sekarang:
I=
Petunjuk Penggunaan :
1. Instrumen ini diisi oleh peneliti berdasarkan hasil observasi dengan responden.
2. Tujuan utama penilaian adalah untuk mengidentifikasi terjadinya
gejala somatik,
de
pr
ya
BAGIAN
NILAI
0=
Insomnia Sedang
Pasien gelisah dan terganggu sepanjang 1=
kegelisah malam, bangun dimalam hari
/observasi
ad
a.
Tidak ada kesulitan
Pasien menunjukkan
wa
pada waktu malam
tidur
iha
Sering bangun pada waktu ma
dari tempat tidur (kecuali pergi n
0 = Tidak ada kesulitan Tegang
Kecemasan Fisik
va
dan mudah marah
1 = Tegang dan mudah marah
Mengkhawatirkan hal yang kecil/ 2 = Mengkhawatirkan hal yang
si
kec sederhana
3 = Sikap cemas tampak pada
wajah Menunjukkan sikap khawatir dan
pasien
gelisah
4= Ketakutan yang ditunjukkan (ek
Takut
verbal) secara jelas
0 = Tidak
Kecemasan Somatik
ada Gastrointestinal : Gangguan pencernaan 1 =
an dan gangguan
Ringan Kardiovaskuler : Palpitasi, nyeri kepala 2 =
gangguan pola
Sedang Respirasi, gangguan perkemihan dan 3 =
2=
2.
3.
lain-lain
4=
4.
5.
0 =
Gejala Somatik Gastrointestinal
Hilang
nafsu
makan,
perasaan 1 =
penuh/berat diabdomen, konstipasi
2=
Tidak ada
Hilang nafsu makan tetapi tetap makan,
perasaan penuh pada abdomen
Kesulitan makan (bukan karena paresis lengan)
memerlukan pengobatan untuk gangguan
pencernaan, misal karena konstipasi
0 = Tidak ada
Hipokondriasis
Keyakinan seseorang memiliki penyakit 1 = Khawatirkan pada penampilan diri (pada tubuh)
6.
7.
8.
9.
Kelelahan
0 = Tidak sedih
1 = Antara 0 dan 2
2 = Tampak tidak bersemangat, tetapi mudah menjadi
riang kembali
3 = Antara 2 dan 4
4=
Sering tampak sedih dan tidakbahagia
5 = Antara 4 dan 6
6 = Tampak menderita sepanjang waktu, sangat
murung
0= Kepala bergerak dengan bebas,fleksibilitas pada
tubuh dengan pandangan menatap ruangan atau
pandangan tetap pada pemeriksa atau minat
pada objek yang lain dengan ap yang sesuai
sik
rakan, tidak bisa
1 = Mungkin terjadi pengurangan
ge
ringan, menatap
dipastikan dengan mudah
monoton, masih
2 = Berkurangnya gerakan
tetapi ruangan, mimik,
iasanya menatap
walaupun
sa; pasien lambat
ekspresif
ah
3 = Tidak menggerakkan kepala, bgerak dan sulit
lantai, jarang menatap pemerik
tersenyum; ekspresi tidak berubjukkan
secara
4 = Muka benar-benar tidak
sung
ber berekspresi
secara spontan,
0
=
Kelelahan
tidak
idapatkan saat
ditun spontan/setelah
pertanyaan lang
kelelahan dalam
1 = Kelelahan tidak ditunjukkankan, berpakaian,
tetapi bukti kelelahan dbiasanya dapat
wawancara berlangsung
ipun mengalami
2 = Pasien mengalami distres karena
kehidupansangat
seharitampak,
- harinyasehingga
(ma
3 = Kelelahan
pasien harus
mengendalikan beberapa aktivitas (lesu)
4 = Pengurangan pada hampir semua aktivitas yang
disebabkan oleh kelelahan yang berlebihan
(lemas)
Total nila i
Kesimpulan : Dikatakan depresi bila skor pasien 9. Semakin tinggi nilai yang
diperoleh, semakin menunjukkan pasien depresi
Kode Responden
INSTRUMEN STATUS FUNGSIONAL
(The Barthel Index)
Instrumen status fungsional digunakan untuk menilai ketidakmampuan
fisik. Ketidakmampuan fisik merupakan ketidakmampuan dalam memenuhi
aktivitas
sehari-hari berupa makan, mandi, merawat diri, berpakaian, buang
airsar,
be buang air kecil, menggunakan toilet, berpindah, mobilitas dan menggunakan
tangga.
Petunjuk Penggunaan :
1. Instrumen ini diisi oleh peneliti berdasarkan hasil wawancara
gan
den responden.
2. Barthel I ndex digunakan untuk melaporkan apa yang pasien lakukan,kan
bu
melaporkan apa yang pasien mampu lakukan.
kan
3. Tujuan utama adalah untuk mengidentifikasi tingkat kebutuhan pasien a
ecil
bantuan dalam beraktivitas, baik berupa bantuan fisik maupun verbal, sek
apapun itu.
4. Jika dalam melakukan pasien masih membutuhkan pengawasan, berarti
pa belum mandiri.
5. Kemampuan pasien ditentukan berdasarkan bukti yang ada.
Menanya kepada pasien, teman/keluarga, dan perawat dapat
memberikan inform tetapi observasi langsung juga penting. Meskipun
sien
kan
asi,
idak
tapi
6. Pengamatan sebenarnya cukup dilakukan selama 24-48 jam, akan
kadang-kadang periode waktu yang lebih lama akan lebih relevan.
7. Skala menengah berarti pasien mampu melakukan 50% atau lebih dari aktivitas.
8. Pasien dianggap mandiri jika mampu melakukan sendiri
meskipun menggunakan alat bantu.
Aktivitas
Makan
0 = Tidak dapat makan
5 = Memerlukan bantuan, seperti memotong makanan, mengoleskan
mentega, atau memerlukan diet khusus
10 = Mandiri
Mandi
0 = Tidak mampu mandiri
5 = Mandiri
erawat diri
0 = Memerlukan bantuan dalam perawatan diri
5 = Mandiri untuk gosok gigi, membasuh wajah, menyisir rambut dan bercukur
Berpakaian
0 = Tidak mampu mandiri
5 = Butuh bantuan tapi dapat melakukan sebagian
10 = Mandiri (mampu mengancing baju, menutup resliting, merapikan pakaian)
Buang air besar
0 = Tidak dapat mengontrol (butuh enema)
5 = Kadang-kadang mengalami kesulitan
10 = Dapat mengontrol buang air besar
Buang air kecil
0 = Tidak dapat mengontrol, dikateter dan tidak bisa mengurus sendiri
5 = Kadang-kadang mengalami kesulitan
10 = Dapat mengontrol buang air kecil
Penggunaan toilet
0 = Tidak mampu mandiri
5 = Butuh beberapa bantuan, tapi tidak tergantung penuh
10 = Mandiri
Berpindah (dari tempat tidur ke kursi atau sebaliknya)
0 = Tidak mampu, tidak dapat duduk seimbang
5 = Butuh banyak bantuan (1 atau 2 orang) untuk bisa duduk
10 = Butuh bantuan minimal (hanya diarahkan)
15 = Mandiri
Mobilitas (berjalan pada permukaan yang rata)
0 = Tidak mampu atau berjalan < 50 meter
5 = Mandiri dengan kursi roda
10 = Berjalan > 50 meter dengan bantuan 1 orang
15 = Mandiri (tapi menggunakan alat bantu seperti tongkat)
Menggunakan tangga
0 = Tidak dapat menggunakan tangga
5 = Butuh bantuan (verbal, fisik, menggunakan alat bantu)
10 = Mandiri
TOTAL 0 100
Sumber : Loretz (2005)
Skor
Kode Responden
INSTRUMEN DUKUNGAN KELUARGA
Petunjuk Pengisian :
1. Bacalah setiap pertanyaan di bawah ini dengan seksama
sebelum bapak/ibu/saudara menentukan jawaban .
2. Berilah tanda ceklist (V) pada kolom yang sesuai dengan pilihan atau
disi
1.
2.
3.
4.
5.
6
.
7
.
8
.
9.
10.
11.
Pertanyaan
Tidak
pernah
Dimensi Informasi
Keluarga
memberikan
informasi
yang
pasien yang dibutuhkan terkait dengan masalah
stroke dan perawatannya
Keluarga
mengingatkan
pasien
pentingnya meminum obat secara teratur
Keluarga memberikan
informasi Amila,
kepada
Pengaruh pemberian...,
FIK UI, 2012
pasien tentang penggunaan alat bantu bila pasien
kesulitan berkomunikasi
Dimensi Instrumental
Keluarga membantu ketika pasien cemas
dengan gangguan bicara
Keluarga
menggunakan
kata
kata
sederhana dan kalimat pendek ketika bicara
dengan pasien
Keluarga mengajak pasien bercakap
cakap seperti menanyakan apa yang dimakan
pasien pada sarapan pagi, bagaimana tidurnya
Keluarga memberikan waktu
pada pasien
untuk menjawab pertanyaan atau memahami
informasi
bicaranya
Keluarga
membantu
pasien
membiayai
Dimensi Emosional
Keluarga menjaga dan merawat pasien
dengan penuh kasih sayang
Keluarga memberikan semangat ketika pasien
merasa frustasi dengan gangguan bicara dan
keterbatasannya
Keluarga menghentikan pembicaraan pasien
apabila pasien mengalami kesulitan atau
menyelesaikan percakapannya
Jarang
Sering
Setiap saat
12.
13.
14.
15.
Dimensi Penghargaan
Keluarga mengikutsertakan pasien dalam setiap
musyawarah keluarga
Keluarga menerima pasien apa adanya dengan
segala keterbatasannya
Keluarga mengkoreksi langsung kesalahan
bicara pasien ketika pasien sedang berbicara
Keluarga mendengarkan dengan penuh perhatian
jika pasien berusaha berbicara
Variabel Penelitian
Dimensi
Dukungan keluarga
Informasi
Instrumental
Dukungan Keluarga Emosional
Penghargaan
Jumlah pertanyaan
3 pernyataan
5 pernyataan
3 pernyataan
4 pernyataan
No
No. RM
Nama pasien
Jenis Kelamin
Diagnosa
Tanggal Mulai
Pelaksanan
No
1.
2.
3.
4.
5.
Orientasi
Tugas
10
6.
7.
8.
gigi.
k) Keluarga mendemonstrasikan seperti yang dicontohkan oleh peneliti
l) Peneliti memberikan masukan terkait dengan demonstrasi
dilakukan oleh keluar yang
m) Keluarga mempraktekga
kan langsung gambar gambar kepada
n) Mencatat adanya ke
pasien. mampuan penggunaan gambar,
penamaan objek (an
nama suatu objek, ju kesulitan dalam omia) atau ketidakmampuan
untuk memberi
Pertemuan 2 :
mlah kata yang diucapkan
c) Evaluasi kemampuan
meminta pasien menu
dan anjurkan pasien pasien dalam penggunaan gambar dengan
keras sehingga dapatnjukkan buku komunikasi yang berisi gambar
Minta klien untuk untuk mengucapkan kata- kata dalam suara
ditunjukkan oleh pa melatih diotot otot wicara dan vokalisasi.
pasien tidak mamp menyebutkan nama nama benda yang
sien dan jelaskan nama objek tersebut. Bila
menyebutkan suku pe
u menyebutkan kata tersebut, bantu
kalimat penuntun. Mi
pasien rtama kata tersebut atau dengan
suku kata pen Ata
menggunakan salnya : pensil. Kita dapat
Instruksikan pasien
membantu dengan
memungkinkan guna
suara sehingga pasienu dengan kalimat : kita menulis
d) Keluarga dianjurkan dengan.
pada hal - hal rutin diuntuk mengulang kata kata tersebut. Jika
mandi, sikat gigi atakan ekspresi wajah, gerakan tubuh dan irama
berhubungan dengan dapat memahami pembicaraan.
untuk
selalu
terlibat dalam aktivitas
komunikasi
9.
Pertemuan 3 :
c) Peneliti bercakap cakap kepada pasien tentang pekerjaan/
pasien. Catat irama bikeluarga
cara, berhenti atau kalimat monoton,
suara.
d) Peneliti meminta pasieproduksi
jendela, pintu, lampu,
n menunjukkan objek disekitar ruangan,
Hari II :
seperti meja, kursi yang disebutkan oleh
Pertemuan 1 :
peneliti.
c) Peneliti memperkenal
Mengeja
dan keluarga.
Pengulangan
d) Peneliti mengajarkan
pengkajian terhadap akan penggunaan papan alfabet kepada pasien Membaca
menggunakan papan
mengeja abjad ABC penggunaan papan alfabet. Peneliti melakukan
mengeja abjad tersebutbjad ABC dan vokal yang diucapkan, sebelum
e) Keluarga mendemonstalfabet. Instruksikan kepada pasien untuk
f) Peneliti memberikan dan bantu pasien untuk mengulang kembali
dilakukan oleh keluargdengan suara yang keras.
g) Keluarga mempraktek rasikan seperti yang dicontohkan oleh peneliti
h) Mencatat adanya kem masukan
terkait dengan demonstrasi
dalam menyebutkan hu yang
a
Pertemuan 2 :
kan langsung terhadap kepada
c) Peneliti mengevaluas
pasien.
dengan meminta pasampuan
penggunaan
papan
alfabet,
menyebutkannya secakesulitan
d) Peneliti meminta pa ruf dan
jumlah huruf yang
suatu benda yang diucapkan.
i penggunaan papan alfabet kepada pasien
Hari III :
Menunjukkan
Pertemuan 1 :
Menyebutkan
c) Pasien diminta untuk
menunjukkan
gambar
pada
buku
komunikasi
yang disebutkan oleh
gambar yang ditunjuk. keluarga dan meminta untuk menyebutkan
d) Keluarga diminta untu
hal rutin dilakukan pk terlibat dalam aktivitas komunikasi pada hal
sikat gigi atau makan. - asien, misalnya pada saat pasien mau
e) Peneliti dapat menanymandi,
seperti tunjukkan lam
untuk mengulangi kataakan benda benda yang ada disekitar pasien,
Pertemuan 2 :
pu,
jendela,
pintu,
meja
dan
d) Peneliti mengevaluasimemerintahkan
dengan meminta pasi kata tersebut.
menyebutkannya secar
e) Peneliti meminta pasie penggunaan papan alfabet kepada pasien
benda yang ada dideken untuk menunjukkan huruf dan meminta
a berulang ulang.
huruf m, p).
n untuk menyebutkan huruf pertama dari suatu
at
pasien,
misalnya
meja,
pintu
11.
Pertemuan 2 :
a) Keluarga dapat me
tugas tugas m
membaca, mengejamberikan komunikasi dengan AAC pada
kegiatan sehari haengungkapkan, penamaan, pengulangan,
komunikasi atau yadan menulis yang berhubungan dengan
Mencatat perkembanri, menunjukkan gambar yang ada dibuku
ng ada disekitar pasien, keluarga/ hobi.
Hari V
gan komunikasi setiap hari.
Pertemuan 1 :
Menunjukkan
d) Pasien diminta untuk
Menyebutkan
yang disebutkan ole
menunjukkan gambar pada buku komunikasi gambar
gambar yang ditunjuk
h
keluarga
dan
meminta
untuk
e) Keluarga diminta unt
menyebutkan
- hal rutin dilakukan
.
sikat gigi atau makan.
uk terlibat dalam aktivitas komunikasi pada
f) Peneliti dapat menan
hal pasien, misalnya pada saat pasien mau
seperti tunjukkan la
mandi,
Menyebutkan
Hari VI
Mengeja
Pertemuan 1 :
c) Pasien diinformasikan menggunakan alat tulis untuk menyatakan Menulis
keinginannya. Instruksikan pasien untuk menulis setiap
keinginannya dikertas atau secara spontan apa yang difikirkan
bentuk kalimat, seper dalam
bantu pasien dengan ti pasien mau minum. Jika pasien tidak bisa
yang berhubungan dememberikan tuntunan, seperti tulislah kalimat
d) Katakan pada pasienngan makan pagi hari ini.
untuk membaca tulisan yang ditulisnya
dan
Pertemuan 2 :
menceritakan tentang team
Meminta pasien ntuk
u
favoritnya, acara favoolahraga rit ditelevisi, pekerjaannya.
Minta pasien untuk mengeja kata, huruf pertama, minta pasien
menuliskannya dikertuntuk as.
Pertemuan 3 :
c) Meminta klien menunjukkan pada buku komunikasi
menggunakan isyardan at Bagaimana anda mengatakan
memerlukan sepatu,saya saya lapar dan ingin makan, saya
saya ingin tidur, dilcapek , uar gelap, tolong hidupkan lampu.
Minta pasien untuk menunjukkan benda disekitar pasien, seperti
lemari, meja, roti, sandal, obat. Kemudian minta pasien untuk
menyebutkan benda yang ditunjukkan tersebut dan mengulangnya
kembali.
Menunjukkan
Hari VII
Pengulangan
Pertemuan 1 :
c) Meminta keluarga mendengarkan musik/ lagu kesenangan pasien Mengeja
dan mendorong pasien untuk menyenandungkan lagu tersebut.
menunjukkan benda benda yang ada
d) Meminta klien untuk
pasien, seperti tutup disekitar pintu, sisir, gelas, sendok,
selimut, bantal,
guling.
Pertemuan 2 :
c) Minta pasien untuk
kata/kalimat yang dimencari dibuku komunikasi dan
menunjukkan sebutkan peneliti, seperti :
c)
13.
14.
ditunjukkannya
untuk
menuliskannya di kertas
atau
15.
Hari IX
Menunjukkan
Pengulangan
Pertemuan 1 :
menunjuk nama anggota keluarganya yang ada
a) Meminta pasien untukPenamaan/menye
atau orang disekitarnya sesuai yang disebutkan
di hp atau foto, temanbutkan
Membaca
oleh peneliti, pasien diminta meniru ucapan dan memberi namanya
b) Kemudian minta p
Menulis
16.
atau
Pertemuan 2 :
b) Bercakap cakap den an.
hari, seperti mandi,
bercerita tentang tempgan pasien dalam melakukan kegiatan sehari
kepada pasien tentangmengenakan pakaian. Keluarga/peneliti dapat
at tinggal atau hobi. Kita dapat menanyakan
Pertemuan 3 :
b) Membacakan sesuatu keluarganya atau bidang minatnya.
mendengarkan lagu
menyebutkan yang dis (dari koran, misalnya), atau bersama sama
yang disukai pasien. Minta pasien untuk
Hari X
ebutkan peneliti dan mengulangnya kembali.
Pertemuan 1 :
c) Tunjukkan buku kom
Isyarat
gambar gambar ya
Meniru
makan, minum, istirahunikasi dan minta pasien untuk menyebutkan
d) Minta pasien menyebuPengulangan ng ada dibuku komunikasi, seperti kebutuhan
seperti bantal, selimut, at dan tidur.
tkan benda benda yang ada disekitar
Pertemuan 2 :
a) Dengarkan sebuah lapasien,
diajarkan untuk mengalemari.
menyanyikan kalimat
diminta meniru menyagu yang disenangi pasien, kemudian pasien
mbil lagu lagu tersebut, kemudian
diajarkan
17.
18.
19.
Pertemuan 3 :
b) Minta pasien menyebutkan nama perawat/istri/anak yang merawatnya
dan mengulang apa yang disebutkannya
Berikan pujian atas setiap keberhasilan yang dilakukan, bila pasien
belum menunjukkan kemajuan, berikan motivasi kepada pasien dan
keluarga untuk tetap melanjutkan latihan.
Catat setiap simbol simbol yang diucapkan untuk menilai kemajuan
pasien dan jelaskan kepada
pasien
setiap
perubahan
yang
Pengaruh
pemberian...,
Amila, FIK UI, 2012
dihasilkan
pasien.
Jika terlihat pasien mera
dihentikan sementara dansa tidak mood atau kelelahan, latihan dapat
pasien dan keluarga untuk perawat dapat kontrak waktu kembali kepada
melanjutkan latihan.
CHECKLIST PEMBERIAN
KOMUNIKASI
DENGAN
AUGMENTATIVE
AND ALTERNATIVE
COMMUNICATION
: .............................................................................
Nama
: ............................................................................
: ..............................................................................
Waktu
Pagi
Siang
Sore
H1
H2
H3
H4
H5
H8
H6
H7
H9
Peneliti,
...)
(...........................................
H10
Kode responden
FORMAT OBSERVASI PELAKSANAAN PEMBERIAN KOMUNIKASI DENGAN
AUGMENTATIVE AND ALTERNATIVE COMMUNICATION OLEH KELUARGA
Petunjuk Pengisian :
1. Mohon kesedian Bapak/Ibu/Saudara untuk mengisi lembar observasi pelaksanaan pemberian komunikasiesuai pedoman observasi
2. Berikan tandatangan dan s tanggal setiap kegiatan pemberian komunikasi dengan pasien pada kolom yangisediakan
3. Tulislah setiap perkembangd an yang didapatkan pasien dalam setiap pelaksanaan komunikasi.
No
1.
2.
K egiatan Keluarga
Tugas
Membantu memfasilitasi g
ambar
yang
ada
dibuku
komunikasi
Berbicara/ Bercakap cMenunjukkan
kegiatan sehari hari :
Menyebutkan
a. Makan
akap dengan pasien berhubungan dengan
b. Piring
Menunjukkan
c. Minum
Menyebutkan
d. Gelas
Pengulangan
e. Sendok
Membaca
Mengeja
f. Garpu
Menulis
g. Sabun
h. Mandi
i. Handuk
4
1
10
j. Sikat gigi
k. shampo
l. Celana
m. Baju
n. Sisir
o. Pispot
p. Toilet
q. Tidur
r. Miring kanan/kiri
s. Bantal
t. Duduk
u. Selimut
v Buku
w. Pena
x. Lain lain, Sebutkan dan tuliskan
UNIVERSITAS INDONESIA
Komite Etik Penelitian, Fakultas IImu Keperawatan Universitas Indonesia dalam upaya
melindungi hak azasi dan kesejahteraan subyek penelitian keperawatan,
telah mengkaji
Kemampuan
Fungsional
Komunikasi
dan Depresi
::::::::I::::.::Si::I:rik
KolaTasikmadlaaynBa~
Nama institusi
di
pada Pasien
Stroke
RSUD
Ketua,
l~
Dewi Irawaty, MA, PhD
UNIVERSITAS INDONESIA
: ?flIt; IH2.F12.D/PDP.04.00/2011
2 November 2011
Yth. Direktur
RSUD Kota Tasikmalaya
Jawa Barat
Dalam rangka pelaksanaan kegiatan Tesis rnahasiswa Program Pendidikan
Magister Fakultas IImu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK-UI) dengan
Peminatan Keperawatan Medikal Bedah atas nama:
Sdri. Amila
0906505086
akan mengadakan penelitian dengan judul "Pengarun Pemberian Komunikasi
dengan .Augmentative and Alternative Communicatien terhadap Depresi
pada Pasien Streke dengan Afasia Motorik di RSUD Kota Tasikmalaya dan
Kota 8anjar".
Sehubungan dengan hal tersebut, bersama ini kami mohon dengan hormat
kesediaan Saudara mengijinkan yang bersangkutan untuk mengadakan
penelitian di RSUD kota Tasikmalaya.
Atas perhatian Saudara dan kerjasarna yang baik, disampaikan terima
kasih
Tembusan Yth. :
1. Wakil Dekan FIK-UI
2. Sekretaris FIK-UI
3. Kepala Bidang Diklat RSUD Kota Tasikmalaya
4. Kepala Ruangan Neurologi RSUD Kota Tasikmalaya
5. Manajer Pendidikan dan Riset FIK-UI
6. Ketua Program Magister dan Spesialis FIK-UI
7. Koordinator M.A.Tesis FIK-UI
8. Pertinggal
UNIVERSITAS INDONESIA
:381S-/H2.F12.D/PDP.04.00/2011
Perihal
2 November 201i
Yth. Direktur
RSUD Kota Banjar
Jawa Barat
0906505086
akan mengadakan penelitian dengan judul "Pengaruh Pernberian Komunikasi
dengan ,Augmentative
and. Alternative Communication
terhadap Depresi
pada Pasien Stroke dengan Afasia Motorik di RSUD Kofa Tasikmalaya dan
Kota Bar.jar".
Sehubungan dengan hal tersebut, bersarna ini karni mohon dengan hormat
kesediaan Saudara mengijinkan
yang bersangkutan
untuk mengadakan
penelitian di RSUD kota Tasikmalaya.
Tembusan Yth. :
1. Wakil Dekan FIK-UI
2. Sekretaris FIK-UI
3. Kepala Bidang Diklat RSUD Kota Banjar
4. Kepala Ruangan Neurologi RSUD Kota Banjar
5. Manajer Pendidikan dan Riset FIK-UI
6. Ketua Program Magister dan Spesialis FIK-UI
7. Koordinator M.A.Tesis FIK-UI
8. Pertinggal
UNIVERSITAS INDONESIA .
FAKULTAS ILMU
KEPERAWATAN
: 4'"1ca-/H2.F12.D/PDP.04.00/2011
25 November 2011
Yth
.
Dir
ekt
ur
RS
UD
.
Kot
a
Ga
rut
Ja
wa
Bar
at
Dalam rangka pelaksanaan kegiatan Tesis mahasiswa Program
Pendidikan Magister Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia (FIK-UI) dengan Peminatan Keperawatan Medikal
Bedah atas nama:
S
d
r
i
.
A
m
i
l
a
NP
M
09
06
50
50
86
akan mengadakan penelitian dengan judul "Pengaruh
Pemberian Komunikasi Dengan. AugmeRtative
and
Alternative
Cemmunication
terhadap Kemampuan
Fungsional Komunikasi dan Depresi pada pasien Stroke
dengan Afasia Motorik"
Sehubungan dengan hal tersebut, bersama ini kami mohon
dengan hormat kesediaan
Saudara
mengijinkan
yang
bersangkutan untuk mengadakan penelitian di RSUD. Kota
Garut.
Atas perhatian Saudara
disampaikan terima kasih
T
e
m
b
u
s
a
n
Y
th
.
:
1. Dekan (sebagai laporan)
dan
kerjasama
yang
baik,
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Sekretaris FIK-UI
Kepala Diklit RSUD Kota Garut
Kepala Ruang Neurologi RSUD Kota Garut
Ketua Program Magister dan Spesialis FIK-UI
Manajer Pendidikan dan Riset FIK-UI
Koordinator M.A.Tesis FIK-UI
Pertinggal
PEMERINTAHKOTA
TASIKMALAYA
Nomor
Lampiran
Perihal
420/~r;IRSUDIX1I2011
Ijia Penelitian
Kepada Yth :
Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia (FIK-UI)
di
Depok
Menindaklanjuti
AMILA
NIM
0906505086
"Pengaruh Pemberian Komunikasi dengan
Augmentative and Alternative Communication
terhadap Depresi pada Pasien Stroke dengan A/asia
Motorik di RSUD Kota Tasikmalaya dan Kota
Banjar"
PEMERINTAH KOTA
B4NJAR
. ftlinJar, 9 November
Nomor
Lampiran
Perihal
: OfO.~
2011
13;3QIRSU
: ljin Penelitian
Kepada Yth,
Ketua Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia
Di
Tempat
Menindaklanjuti surat Saudara Nomor, 39151H2.F.12,DIPDP.04.0012011
tanggal 2 November 2011, perihal Permohonan Ijin Penelitian mahasiswa
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, xang akan dilaksanakan
oleh:
Nama
NIM
Jurusan
Institusi
Judul
:
:
:
:
AMILA
0906505086
S-2 Keperawatan Peminatan Medikal Bedah
Universitas Indonesia Fakultas Tlmu Keperawatan
Tanggal
ag Sekertariat
urn Daefah Kota Banjar
100
Boo_
200
K_
nIJ;1!Qt! IXm!!lim
201
23S
210
Din:ktur
- -XA:oanIl"
204
r.rawallln
211
IPSRS
ill
Anggr<l:
218
RBdioiogi
CM
232
l"
..... gDokta'
20'
WadirPdayuan
m
222
'-;WU
PI'!.
216
WijayaKmm
1DI.1_
247
OpoIoI:R".iln
PoIayaJoaD
209
22'
.........1
230
T..-U
...
Waroh
223
Rmh. T8nB88
PoIlkIinik
K.MoyM
238
24$
PM!
217
_ Sco
213
Dohlla
206
Umwn
WadirUmum
21<
202
107
ztz
KJRS
Md,,11
ApoId<
Kciek_
203
208
SupcrviII
226
Gizi
227
219
ICU
220
2J3
2..
!PAL
100
234
242
Tulip
............
221
_IGD
236
ASKES
243
Kcoaoao
237
,, 9
2 3 1
PEMERINTAH
: Jt.
Rumah Sakit No. 12 Telp. ( 0262 ) 232720 Garut 44151
Rekening : Bank Jabar Garut, Kelas : B Non Penelidikan, Status: Unit Swadana
: 800/~
/ RSUIXIII2011
: 1 (satu) lembar
: Izin Penelitlan
Kepada :
Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan
UNTVERSIT AS INDONESIA
di
Tempat
Yth.
Menindak lanj uti surat dari Kepala Kesbang, Politik dan Perlindungan
Masyarakat Kab. Garut
Linmas/2011perihal
: Rckomendasi
Research/Survey,
pada prinsipnya
kami tidak
: AmBa
NPM
: 0906505086
Untuk melaksanakan
Penelitian
catatan harus mentaati segala peraturan dan ketentuan yang berlaku, izin ini berlaku
sesuai dengan permintaan yaitu dari tanggal29 November s/d 29 Desember 2011.
Demikian agar menjadi maklum dan atas kepercayaan dan perhatiannya
kami ucapkan terima kasih.
..
Tembusan Disampaikan Kepada Yth:
1. Direktur RSU dr. Slamet Garut ( Sebegai laporan )
2. Wadir Pelayanan
3. Wadir Keuangan
4. Ka. Bidang Keperawatan
PEMERINTAH
GARUT
KABUPATEN
"
PENGARUH
PEMBERIAN
KOMUNIKASI
DENGAN
AUGMENTATIVE AND ALTERNATIVE COMMUNICATION TERHADAP
KEMAMPUAN FUNGSIONAL KOMUNIKASI DAN DEPRESI PADA
PASIEN STROKE DENGAN AFASIA MOTORIK"
Dengan mengambil Lokasi di
:
RSUD Kabupaten Garut
Waktu dari tanggal
: 29 November
29 Desember 2011
sid
NPM
1.
AWlILA
0906505086
Nama
Ke
ter
an
ga
n
Mahasiswi
Universitas
Fakultas Ilmu Keperawatan
Indonesia
Pada prinsipnya kami tidak keberatan yang bersangkutan tersebut di atas untuk
melaksanakan Kegiatan tersebut dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
masyarakat;
4. Melaporkan lebih dulu kepada pejabat setempat untuk mendapatkan petunjuk
pengamanannya;
5. Mengirimkan hasil kegiatan penelitaian, rangkap 1 (satuj.kepada kami.
Surat Rekomendasi ini dianggap batal apabila tidak mentaati ketentuan tersebut
di atas.
Garut, 29 November
2011
Nama
: Amila
Tempat/Tanggal Lahir : NAD, 21 Januari 1976
Alamat Rumah
: Perum BKP BKP Blok P No. 53 RT/RW 004/004
Kelurahan
Kemiling Permai Kecamatan Kemiling
Bandarlampung 35153
Alamat Kantor
: Universitas Malahayati
Jl.Pramuka No. 27 Kemiling Bandarlampung
Email
: mila_difa@yahoo.co.id
arta,
Riwayat Pendidikan
: 1. S2 Keperawatan Medikal Bedah FIK-UI
Jak angkatan 2009
2. S1 Keperawatan FIK-UNPAD, lulus tahun
2000
997
3. DIII Keperawatan Poltekkes NAD, lulus tahun 1
1
hun
4. Akta Mengajar III UT Bandung, lulus tahun
200
5. SMA YKPP Pertamina Rantau (NAD), lulus hun
ta
1994
6. SMP Negeri Rantau (NAD), lulus tahun 1991 03
7. SD YKPP Pertamina Rantau (NAD), lulus
ta
1988
Riwayat Pekerjaan
: 1. RSU Zaenal Abidin (NAD) tahun 1997 1998
2. Akper Bhakti Kencana Bandung, tahun 200120
3. Universitas Malahayati, tahun 2003- 2010