You are on page 1of 237

UNIVERSITAS INDONESIA

PENGARUH PEMBERIAN AUGMENTATIVE AND


ALTERNATIVE COMMUNICATION (AAC)
TERHADAP KEMAMPUAN FUNGSIONAL
KOMUNIKASI
DAN DEPRESI PASIEN STROKE DENGAN
AFASIA MOTORIK DI RSUD
GARUT, TASIKMALAYA DAN
BANJAR

TESIS

AMILA
0906505086

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM


PASCA SARJANA ILMU KEPERAWATAN
KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
JANUARI 2012

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012

UNIVERSITAS INDONESIA

PENGARUH PEMBERIAN AUGMENTATIVE AND


ALTERNATIVE COMMUNICATION (AAC)
TERHADAP KEMAMPUAN FUNGSIONAL
KOMUNIKASI
DAN DEPRESI PASIEN STROKE DENGAN
AFASIA MOTORIK DI RSUD
GARUT, TASIKMALAYA DAN
BANJAR

TESIS

AMILA
0906505086

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM


PASCA SARJANA ILMU KEPERAWATAN
KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
JANUARI 2012
]

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012

PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya saya
sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun yang
dirujuk telah saya nyatakan dengan benar

Nama

: Amila

NPM

: 0906505086

Tanda Tangan

Tanggal

: 20 Januari 2012

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat
dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini
dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan
tahap akademik pada program Pasca Sarjana Kekhususan Keperawatan
Medikal Communication
Bedah dengan AC)
judul Pengaruh Pemberian Augmentative and Alternative
(A
gan
terhadap Kemampuan Fungsional Komunikasi dan Depresi Pasien Stroke
Den
han
Afasia Motorik di RSUD Garut, Tasikmalaya dan
Banjar.

ima

Dalam penyusunan tesis ini tidak lepas dari bantuan dan bimbingan serta ara
dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini saya mengucapkanang
ter kasih yang tidak terhingga kepada :
1.

lam

Ibu DR. Ratna Sitorus, S.Kp., M.App.Sc selaku pembimbing utama


y telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan sayaelah
da penyusunan tesis ini;

2.

lam

Ibu Tuti Herawati, S.Kp., MN selaku pembimbing pendamping yang t


menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan saya da tan
penyusunan tesis ini;

3.
Ibu Dewi Irawaty, MA., PhD, selaku Dekan Fakultas Ilmujana
Keperaw
Universitas Indonesia;
4.
Ibu
Pascasar
6.

Astuti Yuni Nursasi, MN selaku

Ketua Program

an
Studi
lalu

Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia;


Seluruh sahabat yang telah banyak membantu saya dalam menyelesaikan
tesis ini.

Selanjutnya peneliti sangat mengharapkan masukan, saran serta kritik demi


perbaikan tesis ini sehingga dapat digunakan untuk pengembangan ilmu dan
pelayanan keperawatan.

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012

Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas
segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga tesis ini membawa
manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu keperawatan.

Depok, 20 Januari 2012


Penulis

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI


TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di


bawah ini :
Nama
: Amila
NPM
: 0906505086
Program Studi
: Pasca Sarjana Ilmu
keperawatan Peminatan
: Keperawatan
Medikal Bedah Fakultas
: Ilmu
Keperawatan
Jenis Karya
: Tesis
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneklusif (Non-exclusive
Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :
Pengaruh Pemberian Augmentative and Alternative Communication (AAC)
Terhadap Kemampuan Fungsional Komunikasi dan Depresi Pasien Stroke
Dengan Afasia Motorik di RSUD Garut, Tasikmalaya dan Banjar.
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas
Royalti
Noneklusif
ini
Universitas
Indonesia
berhak
menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan
nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan
sebenarnya.

ini

saya

buat

dengan

Dibuat di
: Depok
Pada tanggal : 20 Januari 2012
Yang menyatakan

( Amila)

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012

ABSTRAK

Nama
Program
Studi
Judul

:
:
:

Amila
Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia
Pengaruh Pemberian Augmentative and Augmentative and
Alternative Comunication (AAC) terhadap Kemampuan
Fungsional Komunikasi dan Depresi pada Pasien Stroke
dengan Afasia Motorik di RSUD Garut, Tasikmalaya
dan
Banjar

Afasia motorik adalah kesulitan dalam mengkoordinasikan pikiran, perasaan


kemauan menjadi simbol bermakna dan dimengerti oleh orang lain dalam bedan
ekspresi verbal dan tulisan. Tujuan penelitian ini adalah diketahuinya pengntuk
pemberian komunikasi dengan AAC terhadap kemampuan fungsionalaruh
komuni dan depresi pada pasien stroke dengan afasia motorik. Desainkasi
penelitian y digunakan adalah quasi experiment dengan pendekatan post testang
non equiva control group pada 21 responden yang terbagi menjadi 11lent
orang kelom kontrol dan 10 orang kelompok intervensi. Hasil penelitianpok
menunjukkan t terdapat perbedaan yang bermakna rata-rata kemampuanidak
fungsional komuni antara kelompok kontrol dengan intervensi dengan nilai pkasi
> 0.05 (p = 0.542 p = 0 05 , tetapi terdapat perbedaan yang bermaknaada
. )depresi an kelompok kontrol dan intervensi dengan nilai p< 0.05 (tara
rata-rata
.
.05).
p = 0 022 pada = 0
Berdasarkan gambaran hasil penelitian ini, maka pemberian komunikasigan
ntuk
den
AAC dapat dijadikan sebagai salah satu intervensi keperawatan uroke
memfasilitasi komunikasi sehingga dapat menurunkan depresi pada pasien
st dengan afasia motorik.
oca,
Kata kunci : Augmentative and alternative communication, stroke, afasia
Br
afasia motorik, depresi

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012

ABSTRACT

Name
Study Program
Indonesia
Title

: Amila
: Post Graduate Nursing Faculty of Nursing University of
: The Influence of Conducting Augmentative and Alternative
Communication
(AAC) to
the Communication
Functional Ability and Depression for Stroke Patients with
Motor Aphasia in Garut, Tasikmalaya and Banjar Hospital

Motor aphasia is difficulty in coordinating the thoughts, feelings and


into
desires meaningful symbols and understand in form of verbal expression and The
n by
writing. purpose of this study was to know the influence of conducting
communicatio AAC to the communication functional ability and depressionents
for stroke pati with motor aphasia. The study design used is quasi
hing
experiment by approac post test non equivalent control group for 21
e of
t no
respondents consist of 11 peopl control group and 10 people of the
the
intervention group. The results showed tha significant difference in the
tr l communication
r
i t r functional
ti
r ability
it between
l
average
con. o ( g oup. and tn e ven.05),
on g oup w h p va ues > 0 05 p = 0 542 a = 0 but there were significant ntrol
i t r between
ti
r the it
. ( of co. and nt e ven. on). g oup w the
differences
averagel depression
sing
h p va ues < 0 05 p = 0 022 a = 0 05 Based on results of study, the
giving of communication by AAC could be one of the nur intervention for the
facilitating communication that will decrease depression to stroke patient
with motor aphasia.
cas
Key words : Augmentative and alternative communication, stroke,
Bro aphasia, motor aphasia, depression

DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN
PERNYATAAN ORISINALITAS ..
KATA PENGANTAR ..
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS.
ABSTRAK
ABSTRACT .
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ........................
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR SKEMA ...
DAFTAR LAMPIRAN ....

i
ii
iii
ivi
vi
vii
viii
ix
xi
xii
xiii
xiv

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ...
1.2 Rumusan Masalah ..
1.3 Tujuan Penelitian ....
1.4 Manfaat Penelitian ..

1
13
14
14

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Konsep Stroke ...
2.2 Konsep Afasia ...
2.3 Komunikasi Pasien Afasia
2.4 Konsep AAC .
2.5 Konsep Depresi Pada Afasia .
2.6 Asuhan Keperawatan Pada Afasia ...
2.7 Kerangka Teori ..

16
29
39
42
52
61
70

BAB 3 KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI


OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep Penelitian .
3.2 Hipotesis Penelitian ...
3.3 Definisi Operasional ..

71
73
74

BAB 4 METODE PENELITIAN


4.1 Desain Penelitian ...
4.2 Populasi dan Sampel .
4.3 Teknik Pengambilan Sampel .
4.4 Tempat Penelitian ..
4.5 Waktu Penelitian ...

77
78
82
83
83

4.6 Etika Penelitian . 83


4.7 I nformed consent .. 85
4.8 Alat Pengumpul Data 85
4.9 Prosedur Pengumpulan Data . 92
4.10 Pengolahan dan Analisis Data .. 105
BAB 5 HASIL PENELITIAN
5.1 Hasil Analisis Univariat
5.2 Hasil Analisis Bivariat ..

110
115

BAB 6 PEMBAHASAN
6.1 Interpretasi dan Diskusi Hasil Penelitian .. 122
6.2 Keterbatasan Penelitian . 150
6.3 Implikasi Hasil Penelitian . 151
BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan 150
7.2 Saran .. 151
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN - LAMPIRAN

DAFTAR TABEL

Hal
3.1
4.1

Definisi Operasional, Cara Ukur, Hasil Ukur dan Skala Ukur


Analisis Univariat Variabel Independen, Variabel Dependen dan
Karakteristik Responden
4.2 Analisis Homogenitas Kelompok Kontrol, Intervensi dan Variabel
Konfounding
4.3 Analisis Bivariat antara Kelompok Intervensi dan kelompok Kontrol
4.4 Analisis Bivariat Variabel Perancu dengan Variabel Dependen
5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Usia, Ketidakmampuan Fisik,
Dukungan Keluarga, Kemampuan Fungsional Komunikasi dan
Depresi pada Pasien Afasia Motorik di RSUD Tasikmalaya, Garut
dan Banjar November Desember 2011
5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dan Frekuensi
Serangan Stroke pada Pasien Afasia Motorik di RSUD
Tasikmalaya, Garut dan Banjar November Desember 2011
5.3
Hasil Analisis Kesetaraan Umur, Ketidakmampuan Fisik,
Dukungan Keluarga Antara kelompok Kontrol dan Intervensi
pada Pasien Afasia Motorik di RSUD Tasikmalaya, Garut dan
Banjar November
Desember 2011
5.4
Hasil Analisis Kesetaraan Berdasarkan Jenis Kelamin dan
Frekuensi Serangan Stroke Antara kelompok Kontrol dan
Intervensi pada Pasien Afasia Motorik di RSUD Tasikmalaya,
Garut dan Banjar November Desember 2011
5.5 Hasil Analisis Perbedaan Kemampuan Fungsional Komunikasi
Antara kelompok Kontrol dan Intervensi pada Pasien Afasia
Motorik di RSUD Tasikmalaya, Garut dan Banjar November
Desember
2011
5.6
Hasil Analisis Perbedaan Depresi Antara kelompok Kontrol
dan Intervensi pada Pasien Afasia Motorik di RSUD Tasikmalaya,
Garut dan Banjar November Desember 2011
5.7 Hasil Analisis Pengaruh Umur, Ketidakmampuan Fisik dan
Dukungan Keluarga terhadap Kemampuan Fungsional Komunikasi
Tasikmalaya, Garut dan Banjar November Desember 2011
5.8 Hasil Analisis Pengaruh Jenis Kelamin dan Frekuensi Serangan
Stroke terhadap Kemampuan Fungsional Komunikasi Pada
Kelompok Intervensi pada Pasien Afasia Motorik di RSUD
Tasikmalaya, Garut dan Banjar November Desember 2011
5.9 Hasil Analisis Pengaruh Umur, Ketidakmampuan Fisik dan
Dukungan Keluarga terhadap Depresi pada Kelompok Intervensi
pada Pasien Afasia Motorik di RSUD Tasikmalaya, Garut dan
Banjar November Desember 2011
5.10 Hasil Analisis Pengaruh Jenis Kelamin dan Frekuensi Serangan

74
108
109
109
109
111

114
116

116

117

118
118

119

120

121

Stroke Terhadap Depresi Pada Kelompok Intervensi pada Pasien


Afasia Motorik di RSUD Tasikmalaya, Garut dan Banjar November
Desember 2011

DAFTAR GAMBAR

2.1 Anatomi Wicara Bahasa


2.2 Anatomi Arteri Otak
2.3 Low Technology & High Technology

Hal
20
26
46

DAFTAR SKEMA

2.2
3.1
4.1
4.2

Kerangka Teori Penelitian


Kerangka Konsep Penelitian
Rancangan Penelitian
Prosedur Pelaksanaan Penelitian

Halaman
70
73
77
106

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Jadual Kegiatan Penelitian


Lampiran 2 : Penjelasan Peneliti
Lampiran 3 : Lembar Persetujuan Penelitian
Lampiran 4 : Kuesioner karakteristik
responden Lampiran 5 : Format skrining afasia
(FAST)
Lampiran 6 : Lembar penilaian kemampuan fungsional komunikasi (DFCS)
Lampiran 7 : Lembar observasi penilaian depresi (ADRS)
Lampiran 8 : Lembar penilaian ketidakmampuan fisik (Barthel I ndex)
Lampiran 9 : Kuesioner penelitian dukungan keluarga
Lampiran 10 : Lembar observasi pelaksanaan AAC oleh perawat
Lampiran 11 : Checklist pelaksanaan komunikasi dengan AAC
Lampiran 12 : Lembar oservasi pelaksanaan AAC oleh
keluarga Lampiran 13 : Gambar untuk mendukung skrining
afasia
Lampiran 14 : Gambar augmentative and alternative communication
Lampiran 15 : Keterangan Lolos Kaji Etik
Lampiran 16 : Surat Izin Penelitian
Lampiran 17 : Surat Keterangan
Penelitian Lampiran 18 : Daftar Riwayat
Hidup

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1
Latar
Masalah

Belakang

Stroke merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan


peru

neurologis yang terjadi akibat gangguan aliran darah pada otak.


Peruba

baha
neurologis ini dapat terjadi secara mendadak dan harus ditangani secara cepat
n
tepat (Black & Hawks, 2009). Stroke dibagi dalam dua kategori mayor
han
y stroke iskemik dan hemoragik. Stroke iskemik disebabkan oleh
dan
trombus embolus, dengan jumlah pasien stroke iskemik adalah 87%,
aitu
sedangkan st hemoragik terjadi akibat pecahnya pembuluh darah
atau
yang menyebab perdarahan intraserebral atau ruang subarachnoid, dengan
roke
jumlah 13% yang te dari 10% perdarahan intraserebral dan 3% perdarahan
kan
subarakhnoid (AHA, 2
rdiri
Black & Hawks, 2009). Data ini menunjukkan insiden stroke iskhemik
010;
l banyak dibandingkan dengan stroke hemoragik.
ebih
Stroke merupakan gangguan serebrovaskular utama di Amerika Serikat
berbagai negara di dunia. Upaya pencegahan telah membawa penurunan

dan

da angka kejadian selama beberapa tahun terakhir, stroke masih merupakan

lam

penye utama kematian ketiga setelah penyakit jantung dan kanker. Menurut
WHO tahun 2007, sekitar 15 juta orang menderita stroke di seluruh
dunia se tahunnya. Dari jumlah tersebut, 5 juta meninggal dan 5 juta lagi

bab

pada
tiap

mengalami c permanen. Kematian stroke di Eropa rata-rata sekitar

acat
650.000 terjadi se tahunnya (World Health Report, 2007), sedangkan
tiap
ikat
ang
setiap tahun. Total pasien stroke di Amerika Serikat tahun 2008 sekitar 65,5 juta
orang (Bornstein, 2009), dengan peningkatan 700.000 pasien stroke baru setiap
tahunnya (Black & Hawks, 2009).
Stroke tidak hanya terjadi di negara maju, tetapi juga terjadi di
negara berkembang, termasuk Indonesia. Di Indonesia prevalensi stroke dari

tahun ke

tahun meningkat tajam. Setiap tahun di Indonesia diperkirakan sekitar 500.000


penduduk terkena serangan stroke dan sekitar 25% atau 125.000 orang
meninggal dan sisanya mengalami cacat ringan atau berat. (Yastroki, 2011).
Jawa Barat sebagai salah satu provinsi di Indonesia, merupakan salah
satu provinsi yang mempunyai prevalensi stroke diatas prevalensi nasional,
selain Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Kepulauan Riau, DKI
Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Jakarta,
SulawesiNusa
Tengah,
Gorontalo, dan Papua Barat. Prevalensi stroke di Jawa Barat adalah 9,3 per 1000
penduduk (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2008).
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Tasikmalaya, Banjar dan

aten

Kabup Garut merupakan beberapa rumah sakit pemerintah yang terdapat di arat.
Jawa B Kasus stroke di RSUD Kota Tasikmalaya dari tahun ke tahun

erus

jumlahnya t meningkat dan menempati urutan pertama dari seluruh kasus afan
sistem persyar yang ada di RSUD Kota Tasikmalaya. Pada tahun 2010

roke

jumlah penderita st sebanyak 754 orang (Rekam Medis RSUD Kota

kan

Tasikmalaya, 2010). Sedang dalam 6 bulan terakhir (Maret Agustus)

425

tahun 2011 di temukan sebanyak orang pasien stroke. Kasus stroke di

pati

RSUD kota Banjar pun selalu menem urutan pertama dari seluruh kasus mlah
system persyarafan yang ada dengan ju

533

405 orang. Sedangkan kasus stroke di RSUD Kabupaten Garut


sebanyak orang dalam 6 bulan terakhir.
ada
Masalah kesehatan yang timbul akibat stroke sangat bervariasi tergantung ini
kep luasnya daerah otak yang mengalami infark dan lokasi yang terkena.hwa
manifestasi klinis stroke ditentukan berdasarkan tempat perfusi yang terganggu,
yakni daerah yang disuplai oleh pembuluh darah tersebut, seperti arteri serebri
media, arteri serebri posterior, arteri serebri anterior, arteri karotis atau basillar.
Arteri yang palimg sering terkena adalah arteri serebri media. Bila stroke
mengenai arteri serebri media, maka pasien dapat mengalami afasia.

Afasia merupakan kehilangan atau gangguan interpretasi dan formulasi


simbol bahasa yang disebabkan oleh kerusakan otak yang dapat mempengaruhi
distribusi kerja struktur sub kortikal dan kortikal pada hemisfer
(Berthier, 2005). Diperkirakan sekitar 21% - 38% pasien stroke akut dapat
mengalami afasia (Salter, Jutai, Foley, Hellings & Teasell, 2006). Afasia
terjadi akibat cedera otak atau proses patologik stroke, perdarahan otak dan
dapat muncul perlahan seperti pada kasus tumor otak pada lobus frontal,
kemampuan berbahasa yaitu area Broca,
temporalarea
atau Wernicke
parietal yang
danmengatur
jalur yang
menghubungkan antara keduanya. Kedua area ini biasanya terletakkiri
dihemisfer otak dan pada umumnya bagian hemisfer kiri merupakanuan
tempat kemamp berbahasa (Kirshner, 2009; Price & Wilson, 2006).
Beberapa bentuk afasia mayor menurut Smeltzer & Bare (2008); Lumbantobing
(2011) adalah afasia sensoris (Wernicke) motorik (Broca) dan Global.

asia

Af sensoris terjadi akibat gangguan yang melibatkan pada girus temporal rior,
supe yang ditandai oleh ketidakmampuan memahami bahasa lisan dan bila ia wab
menja iapun tidak mampu mengetahui apakah jawabannya salah. Pada

orik

afasia mot terjadi akibat lesi pada area Broca pada lobus frontal yang gan
ditandai den kesulitan dalam mengkoordinasikan pikiran, perasaan dan jadi
kemauan men simbol bermakna dan dimengerti oleh orang lain dalam

dan

bentuk ekspresi verbal tulisan. Sedangkan afasia Global disebabkan oleh usak
lesi yang luas yang mer sebagian besar atau semua daerah bahasa yang

lagi

ditandai dengan tidak adanya bahasa spontan dan menjadi beberapa patah itu
kata yang berulang ulang (itu saja) disertai ketidakmampuan memahami
yang diucapkan.
kira
Di
Amerika
Serikat
700.000
stroke
terjadi
setiap tahundengan
dan kirastroke.

170.000
kasus
barulebih
daridari
afasia
setiap
tahun
berhubungan
Diperkirakan

sekitar

sampai 1,5

juta

orang

dewasa

di Amerika

mengalami afasia. (Kirshner, 2009; Smeltzer & Bare, 2002). Jumlah pasien
afasia akan terus bertambah karena lebih banyak pasien stroke yang dapat
bertahan hidup (Smeltzer
& Bare, 2002).

Data tentang afasia akibat stroke di berbagai rumah sakit di Indonesia melalui
rekam medik, jurnal dan situs sangat terbatas. Hal ini dapat disebabkan karena
dalam rekam medik hanya mengklasifikasikan data berdasarkan diagnosa
medis dan adanya keterbatasan dalam mendeteksi/ mengidentifikasi afasia,
sehingga jumlah afasia tidak diketahui dengan pasti. Walaupun data afasia tidak
diketahui dengan pasti, tetapi afasia mempunyai dampak negatif terhadap pasien
dan orang disekitar pasien.
Afasia memiliki dampak negatif terhadap kesejahteraan pasien,

ian,

kemandir partisipasi sosial dan kualitas hidup karena komunikasi yang kuat
tidak ade (Kirshner, 2009). Selain itu pasien afasia mempunyai mortalitas nggi
yang lebih ti dan kemampuan fungsional yang lebih rendah dibandingkan asia
pasien tanpa af (Kirshner, 2009). Kondisi ini dapat terjadi karena

mpu

pasien tidak ma mengungkapkan apa yang mereka inginkan, tidak

aan

mampu menjawab pertany atau berpartisipasi dalam percakapan, sehingga rah,


pasien menjadi frustasi, ma kehilangan harga diri dan emosi pasien

nya

menjadi labil. Keadaan ini akhir menyebabkan pasien menjadi depresi

itu

(Mulyatsih & Ahmad, 2010). Selain pasien afasia mempunyai mortalitas onal
yang lebih tinggi dan kemampuan fungsi yang rendah daripada pasien tanpa
afasia (Kirshner, 2009).
tiap
Depresi paska stroke (DPS) merupakan gangguan mood yang dapat terjadi ada
se waktu pada fase akut atau satu tahun paska stroke dengan puncaknya

lam

terjadi p bulan pertama (Dahlin et al, 2008). Sedangkan menurut Sit et al jam
(2007) da penelitiannya terhadap 95 pasien stroke menemukan kejadian

8%.

depresi pada 48 setelah masuk rumah sakit sebesar 69% dan 6 bulan

hun

setelahnya
sebesarstroke
4
pertama paska
dan puncaknya diperkirakan pada 6 bulan paska
stroke
(Schub
2010).
Afasia

&

Caple,

merupakan

masalah

fungsional akibat

stroke

yang

dapat

menyebabkan depresi dan sekitar 53% pasien afasia mengalami depresi


(Thomas & Lincoln,
2008). Afasia dan depresi merupakan dua gejala yang terjadi pada stroke
(Dahlin

et al, 2007). Menurut Amir (2005), frekuensi depresi lebih tinggi pada
pasien afasia motorik daripada afasia global (71%:44%). Tingginya frekuensi
depresi pada pasien afasia motorik disebabkan oleh tingginya kesadaran pasien
akan ketidakmampuan yang dialami pasien dan selain itu,

lesi yang

menimbulkan afasia motorik juga menimbulkan depresi.


Meskipun penyebab pasti DPS belum diketahui, sejumlah peneliti
bahwa lokasi lesi di otak memegang peranan penting. Berdasarkan review men
Singh (1998) dan hasil metaanalisis oleh Carson (2000), tidak menemukan yata
b yang konsisten antara karakteristik lesi dengan terjadinya depresi (Caeiro, kan
Fe Santos & Luis, 2006). Adanya lesi otak yang bertambah karena

oleh

stroke y berulang akan melipatgandakan jenis serta beratnya defisit

ukti

neurologis (Lee, T Tsoi, Fong & Yu, 2009). Sedangkan menurut Schub &

rro,

Caple (2010) peningk keparahan afasia, keparahan stroke, penurunan

ang

intelektual, riwayat pribadi keluarga depresi atau tinggal sendirian menjadi ang,
faktor penyebab terjadinya dep paska stroke.

atan
atau

Lebih lanjut, berdasarkan penelitian epidemiologi, faktor faktor resi


y mempengaruhi prevalensi depresi adalah jenis kelamin, usia, tingkat
dukun sosial, hidup sendiri dan riwayat gangguan mood (Laska, 2007;
Thoma Lincoln, 2008). Gangguan aktivitas sehari hari pada pasien ang
stroke berkorelasi terhadap terjadinya depresi. Hal ini diperkuat oleh
penelitian Dahlin et al (2006) menyatakan bahwa ada hubungan yang

gan
s &

signifikan an tingkat depresi dengan gangguan aktivitas sehari hari (p juga


: 0.04). Penel Fatoye (2009) juga menyatakan ada hubungan gangguan

oleh

fungsi motorik ber

tara
itian
upa
juga

merupakan faktor yang mempengaruhi depresi dan pemulihan bicara pada afasia.
Peningkatan

dukungan

keluarga

yang

tersedia

dapat

menjadi strategi

penting dalam mengurangi atau mencegah tekanan jiwa dan depresi paska stroke
(Salter, Foley & Teasell, 2010).

Depresi paska stroke memiliki efek negatif terhadap pemulihan fungsi kognitif,
aktivitas hidup sehari hari dan dapat meningkatkan kematian (Caiero, Ferro,
Santos & Luis, 2006). Pasien

akan

menarik diri dari kegiatan

sosial,

menjadi rendah diri dan rehabilitasi yang tidak optimal. Selain itu depresi dapat
berdampak pada orang yang merawat pasien dan menghambat komunikasi
diantara perawat dan pasien (Meifi & Agus, 2009; Finke, Light & Kitko, 2008).
Peran seorang perawat sebagai bagian dari tim pelayanan kesehatan,

kan

diharap mampu memberikan

cara

asuhan

keperawatan

kepada pasien

stroke se komprehensif dan terorganisir sejak fase hiperakut hingga fase agar
pemulihan dapat mempengaruhi outcome pasien paska stroke (Rasyid &

07).

Soertidewi, 20

agai

Henderson (dalam Tomey & Aligood, 2006) mendefinisikan keperawatandan


seb upaya membantu individu untuk mendapatkan kebebasan dalamasar
beraktivitas berkontribusi dalam mencapai aktivitas yang mandiri. Salah satuntuk
kebutuhan d manusia menurut Henderson adalah berkomunikasi dengan
orang

lain

mengekspresikan

emosi,

kebutuhan

rasa

takut

dan

mengemukakan pendapat.

nuhi
ikan

Peranan perawat pada pasien stroke setelah melewati fase akut adalah memeang
kebutuhan

sehari

hari, mengkaji fungsi bicara dan

berbahasa,kan

menyesua teknik berkomunikasi dengan kemampuan pasien : bicara pelanwat


dengan suara y normal, menjadi pendengar yang baik, menjelaskan setiapang
prosedur yang a dilakukan
2007).

Selain

(Mulyatsih, dalam

itu, pera dapat berperan

berkomunikasi dengan

pasien

pada

afasia

& Soertidewi,

menjadi role

model untuk

y mengalami afasia (Lewis, Heitkemper,atau

deteksi afasia untuk menegakkan


keperawatan

Rasyid

masalah

(Poslawsky,

keperawatan
Schuurmans,

dan intervensi
Lindeman

&

Hafstensdottir,
2010). Deteksi dini dan latihan wicara pada pasien afasia tidak hanya
dapat mempengaruhi pola penyembuhan otak, tetapi juga dapat meningkatkan
keterampilan berkomunikasi, sehingga dapat mengurangi isolasi pada pasien dan
meningkatkan partisipasi dalam rehabilitasi (Salter, Jutai, Foley, Hellings
&

Teasell, 2006). Sekitar 79% pasien stroke afasia dari ringan berat tidak dapat
terdeteksi,

karena

tidak

adanya

deteksi

afasia.

Deteksi

dini

afasia

ditemukan relevan dalam mendukung program rehabilitasi pasien stroke


(Enderby et al, 1987 dalam Lightbody et al, 2007). Dua instrumen untuk
mendeteksi afasia yang dapat digunakan oleh perawat adalah Frenchay Aphasia
Screening Test/FAST dan Ullevaal Aphasia Screening/ UAS (Enderby & Crow,
1996).
Menurut Salter, Jutai, Foley, Hellings & Teasell (2006) dalam literatur penel
stroke, FAST merupakan instrumen yang lebih sering digunakan kaitian
sederhana, membutuhkan waktu 3 10 menit untuk pasien afasia fase akutrena
paska akut stroke serta memiliki sensitivitas 87% dan spesifitas 80%

dan

da mendeteksi afasia. Skrining perawat dan hasil observasi dapat

lam

menduk langsung pemeriksaan lebih lanjut dan diagnosa oleh

ung

neuropsychologist speech therapy (Clarkson, 2010). Selain itu dengan

dan

deteksi dini afasia, lat wicara bahasa dapat dimulai sesegera mungkinihan
(Poslawsky, Schuurm Lindeman & Hafstensdottir, 2010). Hasil pengkajian ans,
yang ditemukan juga d menentukan diagnosa dan intervensi keperawatan

apat

pada pasien dengan gangg komunikasi (McCloskey & Bulechek, 2000, uan
dalam Powlasky, Schuurm Lindeman & Hafstensdottir, 2010).

ans,

Diagnosa keperawatan dan masalah kolaboratif pada fase akut stroke yang
d ditemukan pasien afasia dalam NANDA (2011) adalah gangguan komuniapat
verbal; menurun, tertunda atau tidak ada kemampuan untuk menerkasi
memproses dan menggunakan simbol simbol. Walaupun intervensi afasia ima,
t
sepenuhnya terintegrasi ke dalam aktivitas keperawatan, tetapi hasilidak
tem

uan
lam

keperawatan (Poslawsky, Schuurmans, Lindeman & Hafstensdottir,


2010).

Intervensi keperawatan menurut NIC yang dapat diberikan pada pasien


gangguan komunikasi adalah mengkaji gangguan komunikasi yang ada dan
mengembangkan

metode

yang

tepat

untuk

meningkatkan

kemampuan

berkomunikasi, seperti menganjurkan pasien untuk mengulangi suara alfabet


dan

berbicara yang jelas dalam kalimat yang pendek, berikan waktu untuk
memahami pertanyaan, menggunakan papan gambar atau alat bantu bila perlu
(Ackley & Ladwig, 2011; Bulecheck & McCloskey, 2002). Selain itu upaya
untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi pasien afasia dapat dilakukan
dengan latihan komunikasi.
Hasil sistematik review oleh Poslawsky Schuurmans, Lindeman &
Hafs

(2010), menjelaskan tentang kontribusi perawat dalam lat ihan

komunikasi/wi secara intensif yang dimulai pada fase akut paska stroke tens
menunjukkan h rehabilitasi yang terbaik terhadap fungsi berbahasa

dotti
r

pasien afasia, sehin perawat mempunyai implikasi klinis untuk melakukan


latihan ini. Hal ini ka dalam fase akut, afasia sering ditemukan oleh

cara

anggota keluarga terdekat perawat. Menurut Burton (2000, dalam Rowat, asil
Lawrencen, Horsburgh, Leg Smith (2009), dalam rehabilitasi stroke, perawat gga
dapat berperan sebagai careg fasilitator dalam penyembuhan pasien dan

rena

manajer perawatan. Selain pera keterlibatan keluarga juga merupakan

dan

salah satu bentuk dukungan y diperlukan dalam pelaksanaan latihan g &


komunikasi, baik selama di rumah s ataupun di rumah.

iver,
wat,

Pemulihan bahasa pasien sangat terbantu, jika keluarga memainkan peranang


tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Prins dan Maas (1993 daakit
Kusumoputro, 1992), bahwa faktor faktor yang mempengaruhi pemul
wicara bahasa pada afasia adalah luas cedera, letak cedera, keparahan afa
inteligensi dan pendidikan dan keterlibatan keluarga. Keluarga merupanya
lingkungan yang cocok untuk menstimulasi kemampuan berbahasa afasia, kalam
stimulasi tersebut dapat dilakukan secara tidak formal, dapat memilih waktu ihan
y
sia,
kan
rena
ang
tepat, saat pasien dalam keadaan bermotivasi dan anggota keluarga cukup tahu
mengenal hal ikhwal keadaan pasien. Selain itu menurut Bullan, Chiki and Stern
(2007), bahwa keterlibatan anggota keluarga dan teman dalam latihan dapat
meningkatkan

efektifitas rehabilitasi. Dukungan

keluarga

yang dapat

diberikan pada pasien stroke dengan afasia adalah dalam bentuk empat
dimensi seperti dimensi informasi, emosional, instrumental dan penghargaan.

Fase rehabilitasi dapat dimulai pada hari pertama pasien mengalami stroke,
namun proses ini ditekankan selama fase pemulihan dan memerlukan
upaya dan kerjasama dari berbagai tim kesehatan, termasuk keluarga. Menurut
Lewis, Heitkemper & Dirksen (2000) setelah pasien stroke stabil selama 12
-24 jam perawatan kolaboratif dilakukan untuk mengurangi kecacatan dan
meningkatkan fungsi optimal. Sasaran utama program rehabilitasi adalah
perbaikan mobilitas, menghindari

nyeri,

pencapaian

perawatan

diri,

komunikasi dan
pencapaian
beberapa
tidak adanya
bentuk komplikasi (Smeltzer, Bare, Hinke, Cheeve,
201
0)
Latihan komunikasi merupakan tindakan yang diberikan kepada individu
ang
y mengalami gangguan komunikasi, gangguan berbahasa, bicara dan
uan
gangg menelan (hsdc, 2005). Didalamnya meliputi bagaimana membuat
dan
suara bahasa, termasuk pengertian dan pemilihan kata yang digunakan.
nya
Tujuan secara spesifik adalah meliputi kejelasan dalam ucapan,
ntuk
kemampuan u mengerti kata kata sederhana, kemampuan membuat
uan
pengertian, kemamp mengeluarkan kata- kata yang solid/jelas dan dapat
dimengerti (Aini, 2006).
erta
Berbagai cara digunakan untuk memfasilitasi komunikasi pada pasien afasia
angi
s mendorong pasien berkomunikasi, bahkan yang kecil sekalipun untuk
ini
mengur frustasi, depresi dan isolasi sosial (Mulyatsih & Ahmad, 2010).
wig,
Pendapat sesuai dengan pendapat Happ, Roesch & Kagan (2005 dalam
idak
Ackley & Lad
apat
2011), bahwa penggunaan alat bantu komunikasi diperlukan ketika pasien t
gkat
mampu berkomunikasi secara verbal. Beberapa alat bantu komunikasi yang d
han
dilakukan pada pasien afasia menurut NIC adalah penggunaan peran
erisi
elektronik, papan alfabet, papan gambar/ flash card yang berisi gambar
11);
Ackley & Swan (2008); Dochterman & Bulecheck (2004); Smeltzer, Bare,
Hinkle
& Cheever (2010). Bila dilihat intervensi keperawatan masalah komunikasi
di atas, intervensi tersebut merupakan bagian dari AAC.
Menurut Mustonen et al (1991, dalam Johnson, Hough, King Vos Paul &
Jeffs,
2008), AAC
pengganti

merupakan

penggunaan

perangkat

pendukung

atau

kemampuan

komunikasi

verbal

seseorang.

Beberapa

kondisi

dengan

gangguan komunikasi verbal yang memerlukan AAC adalah cerebral palsy,


gangguan intelektual, autisme, dyspraxia, afasia, stroke batang otak, amyotropic
lateral sclerosis, penyakit parkinsosn, multiple sclerosis, dimensia, traumatic
brain injury (Wikipedia, 2011).
AAC terdiri dari alat bantu komunikasi low technology, yaitu tanpa
menggunakan elektronik, seperti papan komunikasi yang berisi gambar/
dan tulisan
berisi gambar. Sedangkan AAC yang menggunakan simbol
elektronik
adalah high
technology, seperti penggunan komputer dengan kemampuan

dia,

multime misalnya laptop yang menyatu dengan hasil bicara/ speech output.
Walaupun keduanya efektif digunakan dalam memfasilitasi komunikasi

bal,

ver namun pada aplikasinya selama ini di beberapa rumah sakit Indonesia

aan

penggun AAC low technology lebih sering digunakan pada pasien

alah

dengan mas komunikasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Fried Oken lam
et al (1991 da Finke,
technology

Light

&

Kitko,

2008),

bahwa

AAC

low npa

ta perangkat/menggunakan perangkat, seperti papan gambar,

tulis

papan alfabet, a lat merupakan AAC yang paling sering digunakan dirumah gan
sakit pada pasien den masalah komunikasi. Hal ini dapat disebabkan karena logy
penggunaan low techno lebih familiar, mudah didapat dan dilakukan

ung

untuk memfasilitasi/menduk komunikasi dibandingkan dengan high

alah

technology pada pasien dengan mas komunikasi. Penggunaan AAC

kan

high technology perlu mempertimbang kemampuan pasien dan

idak

perawat. Kondisi masyarakat Indonesia yang t seluruhnya dapat

enu

menggunakan komputer, tidak mengenal dengan menu m yang ada


dikomputer sehingga dapat menghambat untuk melakukan tugas t

ugas
kan

komponen utama efektifnya dilakukan latihan wicara (Greener & Grant dalam
Powlasky, Schuurmans, Lindeman & Hafsteinsdottir,
2010).
Berbagai hasil penelitian telah sukses menggunakan AAC dalam berkomunikasi
pada pasien

afasia,

ketika

komunikasi verbal bukan

merupakan

suatu

pilihan. Karakteristik pasien afasia yang memiliki keterbatasan kognitif,


motivasi dan situasi sosial, sehingga AAC dapat memberikan keuntungan
terhadap kemampuan

bahasa dan kemampuan berkomunikasi (Van de Standt Koenderman,


2004 dalam Clarkson, 2010). Hal ini didukung oleh penelitian Johston et al (2004
dalam Clarkson, 2010), bahwa AAC dapat meningkatkan kemampuan
komunikasi pasien, memperbaiki kehidupan seseorang dengan meningkatkan
kemandirian dan perkembangan hubungan sosial, sehingga akan
mempengaruhi kualitas hidup. Keadaan ini dapat terjadi karena pasien yang
menggunakan AAC pada umumnya memiliki kepuasan dalam hubungan
yang menyenangkan (Wikipedia,
dengan
2011).keluarga,
Selain itu
teman
komunikasi
dan aktivitas
denganhidup
AACjuga
dapat membantu perawat berkomunikasi pada pasien yang mengalami
keterbatasan komunikasi verbal (Finke, Light & Kitko, 2008). Hasil

ini

penelitian didukung oleh sistematik review Poslawsky Schuurmans,

&

Lindeman Hafstensdottir (2010) yang menjelaskan bahwa AAC merupakan cara


intervensi wi
- bahasa yang dapat digunakan oleh perawat dalam praktis klinis.
sitas
Berbagai hasil penelitian bervariasi menjelaskan tentang durasi dan inten007)
latihan wicara. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Bakheit et al (2ihan
membandingkan 2 kelompok yang menggunakan media gambar sebagai latdan
wicara (orientasi tugas menyeleksi gambar, penamaan objek, menjelaskan eda
mengenalkan hubungan antara kedua item) dengan durasi yang

dini

berb (kelompok intensif = 5 jam dan kelompok standar = 2 jam) yang

dap

dimulai se mungkin selama 12 minggu, menunjukkan perbedaan yang

.002

signifikan terha kemampuan berbahasa pada kelompok standar dengan


waktu 2 jam (p = 0 dibandingkan dengan kelompok intensif dengan waktu 5
jam (p > 0.05).

hley
artu

bergambar) dalam latihan wicara, terdapat perbedaan yang signifikan antara


kelompok yang menerima latihan 3 jam selama 10 hari dibandingkan kelompok
standar yang menerima latihan 1 jam selama 4 minggu menunjukkan
kemampuan penamaan dan pemahaman berbahasa yang dievaluasi dengan tes
wicara, seperti Token Test. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rappaport et
al (1999 dalam Powlasky, Schuurmans, Lindeman & Hafsteindottir, 2010)
melakukan penelitian

dengan memberikan latihan wicara menggunakan media gambar yang dilakukan


setiap hari selama 5 tahun dengan lama terapi 3 jam/minggu, sebagian
menunjukkan kemampuan berbahasa, sedangkan sebagian lagi menunjukkan
sedikit atau tidak ada perbaikan.
Dari beberapa hasil penelitian tersebut, menunjukkan berbagai variasi
tentang intensitas dan durasi latihan komunikasi, tetapi yang terpenting
latihan
harusstabil.
dimulai sedini mungkin setelah melewati fase akut dan dalam
kondisi
Berdasarkan hasil penelitian Robey (1998) dengan melakukan metanalisis

a 55

pad artikel tentang latihan wicara, bahwa dengan latihan dapat

asil

meningkatkan h positif kira kira 1.83 kali pada individu yang menerima

ang

intervensi daripada y tidak menerima intervensi (Clarkson, 2010).

oleh

Penelitian ini didukung penelitian Bakheit et al (2007), latihan secaratkan


intensif dapat meningka neuroplastisitas, reorganisasi peta kortikal dan
meningkatkan fungsi motorik.
logi
Studi pendahuluan yang telah dilakukan selama 4 minggu di Ruang

sia,

Neuro (Ruang V) RSUD Kota Tasikmalaya ditemukan 9 orang

asia

mengalami afa diantaranya 7 orang mengalami afasia motorik dan 2

ang

orang mengalami af sensorik. Ruang Neurologi yang terdapat di RSUD kotaama


pada

Tasikmalaya adalah ru V,VIP dan Batik. Berdasarkan hasil wawancara

nya

dengan perawat ruangan, sel ini penanganan pasien stroke yang

mengalami afasia hanya berfokus penanganan fisik saja. Pemberian alat idak
bantu komunikasi pada pasien afasia ha diberikan isyarat atau alat tulis

dan

tanpa diberikan stimulasi latihan, sehingga t sepenuhnya

idak

pasien

untuk

memfasilitasi

mendukung

komunikasi meningkatkan komunikasi

nya

afasia, selama
sehinggadi latihan
komunikasi
terlambat/tidak
dilakukan.
pasien
rumah sakit.
Bahkan perawat
t mengetahui
kalauKeadaan
pasien ini
tentunya akan menimbulkan berbagai dampak negatif seperti memperlambat pola
penyembuhan dan pasien akan mengalami depresi karena ketidakmampuan
dalam berkomunikasi.
Melihat berbagai dampak pada pasien afasia akibat stroke dan keuntungan
yang diperoleh dengan penggunaan AAC berdasarkan fenomena dan hasil
penelitian

yang ada, maka penulis tertarik untuk melakukan

penelitian

tentang

pengaruh pemberian komunikasi dengan AAC terhadap kemampuan fungsional


komunikasi dan depresi pada pasien stroke dengan afasia motorik.
1.2 Rumusan Masalah
Stroke merupakan penyebab umum afasia dan diperkirakan sekitar 25% pasien stroke berkembang menjadi afasia. Afasia merupakan kehilangan fu40%
kemampuan berbicara, meliputi gangguan dalam menulis, berbicara, membngsi
mendengar dan mengerti bahasa. Dampak negatif yang dapat terjadi akibat afaca,
adalah kesejahteraan klien, kemandirian, partisipasi sosial dan kualitas hiasia
Kondisi ini akhirnya dapat menimbulkan dampak psikologis, seperti depdup.
sehingga akan mempengaruhi masa pemulihan dan hubungan sosial denresi
lingkungan sekitarnya, bahkan dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas.gan
Perawat adalah seseorang yang memberikan pelayanan secara langsung ke
pasien dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia. Komunikasi merupakan pada
s
kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi. Pada pasien dengan stroke uatu
y mengalami afasia dapat mengalami gangguan pemenuhan kebutuhan

ang

komuni oleh karena proses penyakitnya. Proses deteksi yang akurat dalam

kasi

mengkaji af maupun depresi akan menunjukkan pilihan intervensi

asia

keperawatan yang t terkait dengan gangguan komunikasi verbal untuk

epat

mengurangi frustasi, dep dan isolasi sosial pada afasia. Salah satu

resi

intervensi yang bisa dilakukan u mengatasi masalah gangguan komunikasintuk


adalah pemberian komunikasi den AAC yang merupakan salah satu

gan

intervensi yang dapat digunakan oleh pera

wat
rbal

seseorang pada pasien yang mengalami keterbatasan komunikasi verbal, seperti


afasia. Berbagai keuntungan yang dapat diperoleh melalui AAC, seperti
meningkatkan kemampuan bahasa dan kekuatan komunikasi, meningkatkan
kemandirian

dan

perkembangan

hubungan

sosial.

Berdasarkan

fakta

tersebut, perlu diteliti apakah ada pengaruh pemberian AAC terhadap


kemampuan fungsional komunikasi dan depresi pada pasien stroke dengan afasia
motorik ?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan

umum

dalam

penelitian

ini

adalah

diketahuinya

pengaruh

pemberian AAC terhadap kemampuan fungsional komunikasi dan depresi pada


pasien stroke dengan afasia motorik di RSUD Kabupaten Garut, Kota
Tasikmalaya dan Banjar.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :
a. Mengidentifikasi gambaran karakteristik responden yang terdiri dari:
u jenis kelamin, jumlah serangan stroke, ketidakmampuan fisik dan

sia,

dukun keluarga pada pasien stroke dengan afasia motorik antara

gan

kelompok ko dan intervensi.

ntrol

b. Mengidentifikasi perbedaan rata-rata kemampuan fungsional komuni


sesudah diberikan AAC pada pasien stroke dengan afasia motorik ankasi
kelompok kontrol dan kelompok intervensi.

tara

c. Mengidentifikasi perbedaan rata-rata depresi sesudah diberikan AAC


pasien stroke dengan afasia motorik antara kelompok kontrol dan

pada

kelom intervensi.

pok

d. Mengidentifikasi hubungan variabel perancu umur, jenis kelamin, ju


serangan stroke, ketidakmampuan fisik dan dukungan keluarga

mlah

terha kemampuan fungsional komunikasi pada pasien stroke dengan

dap

afasia mot pada kelompok intervensi.

orik

e. Mengidentifikasi hubungan variabel perancu umur, jenis kelamin, ju


serangan stroke, ketidakmampuan fisik dan dukungan keluarga
terha

mlah
dap
i.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Bagi pelayanan keperawatan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap intervensi
keperawatan pada pasien afasia, seperti deteksi dini afasia, sehingga dapat
segera

diberikan

alat

bantu

komunikasi untuk

memfasilitasi

komunikasi pasien afasia, seperti papan gambar/buku komunikasi,


majalah, foto,
musik/lagu dan alat tulis untuk menurunkan depresi.
1.4.2 Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan mampu menambah dan

kaya

memper khasanah keilmuan keperawatan, serta dapat digunakan

bagi

sebagai dasar penelitian selanjutnya yang berfokus pada

atau

penelitian kualitatif membandingkan


metode

pemberian

AAC

antara

sederhana technology) dan modern (high technology)

(low
onal

terhadap kemampuan fungsi komunikasi pasien stroke dengan afasia


motorik.
1.4.3 Pendidikan dan ilmu keperawatan

bagi

Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan sebagai pedoman ang


pendidikan keperawatan untuk memberikan pembelajaran terutama han
y berkaitan dengan pemberian AAC sebagai penatalaksanaan inya
asu keperawatan pasien stroke dengan afasia dalam mencegah
terjad depresi karena tidak mampu dalam berkomunikasi verbal.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Stroke
2.1.1 Definisi
Stroke atau cedera serebrovaskuler adalah kehilangan fungsi otak yang
diakibatkan oleh berhentinya suplay darah ke bagian otak. Seringkali ini alah
ad kulminasi penyakit serebrovaskuler selama bertahun-tahun

are,

(Smeltzer, B Hinkle & Cheever, 2008). Menurut Lewis, Heitkemper,

n &

Dirksen, OBrie Bucher (2007), stroke adalah gangguan yang

otak

mempengaruhi aliran darah ke dan mengakibatkan defisit neurologik.

09),

Sedangkan Black and Hawks (20 mendefinisikan bahwa stroke adalah ntuk
suatu kondisi yang digunakan u menjelaskan perubahan neurologik

lam

yang disebabkan oleh gangguan da sirkulasi darah ke bagian otak.


Dari pengertian-pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa stroke adalah suatu
gangguan pembuluh darah otak yang disebabkan oleh terhentinya suplaih ke
dara bagian otak, sehingga mengakibatkan defisit neurologis.

2.1.2 Jenis Stroke


Jenis stroke dibagi menjadi dua yaitu stroke iskemik dan hemoragik
(Ignatavi

cius

& Workman, 2010). Hal tersebut dapat dilihat sebagai berikut :


a. Stroke Iskemik

atau

Stroke iskemik disebabkan oleh oklusi arteri serebral oleh


embolus. Trombus menyebabkan stroke trombotik oleh karena aterosklerosis
yang terjadi sebagai proses yang kompleks termasuk merubah fungsi lapisan
dalam pembuluh darah arteri, inflamas i dan peningkatan pertumbuhan sel
otot polos pembuluh darah (Ignatavicius & Workman, 2010).
b. Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik terjadi karena ruptur pembuluh darah yang
menyebabkan perdarahan ke dalam jaringan otak yang disebut stroke
intraserebral atau

perdarahan

ke

ruang

subarakhnoid

yang

disebut

stroke

hemoragik

subarakhnoid atau disingkat subarachnoid hemorrhage (SAH). Umumnya


perdarahan

terjadi

akibat

ruptur

aneurisma

atau

arteriovenous

malformation oleh karena hipertensi berat (Hickey, 2003). Kejadian stroke


dapat didahului oleh banyak faktor dan seringkali berhubungan dengan
penyakit kronis seperti diabetes

melitus,

hipertensi

dan

penyakit

cardiovaskular, stress, serta gaya hidup yang dapat menyebabkan masalah


vaskular.
2.1.3 Etiologi
Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan stroke (Black & Hawks, 2009;
P

rice

& Wilson, 2006) adalah :


a. Trombosis
Trombosis merupakan proses pembentukan trombus dimulai dengan
kerusa dinding endotelial pembuluh darah, paling sering karena
ateroskler Aterosklerosis menyebabkan penumpukan lemak dan
membentuk plak dinding pembuluh darah. Pembentukan plak yang

kan
osis.
di
kan

terus menerus a menyebabkan obstruksi yang dapat terbentuk di dalam


arah
suatu pembuluh d otak atau pembuluh organ distal. Pada trombus
apat
vaskular distal, bekuan d terlepas dan dibawa melalui sistem arteri otak
k&
sebagai suatu embolus (Blac Hawks, 2009).
b. Embolisme
Embolus yang terlepas akan ikut dalam sirkulasi dan terjadi sumbatan

ada
p arteri serebral menyebabkan stroke embolik, lebih sering terjadi pada
trial
a fibrilasi kronik (Price & Wilson, 2006). Emboli dapat berasal dari
mor,
tu lemak, bakteri, udara, endokarditis bakterial dan nonbakterial atau
nya
kedua (Black & Hawks, 2009), atrium fibrilasi dan infark miokard yang
jadi
(Ginsberg, 2007).
c. Hemoragik
Sebagian besar hemoragik intraserebral disebabkan oleh ruptur karena
arteriosklerosis. Hemoragik intraserebral lebih sering terjadi pada usia > 50
tahun karena hipertensi. Penyebab lain karena aneurisma. Meskipun
aneurisma biasanya kecil dengan diameter 2-6 mm, tetapi dapat mengalami
ruptur dan

diperkirakan 6% dari seluruh stroke disebabkan oleh ruptur aneurisma (Black


& Hawks, 2009). Kematian karena hemoragik intraserebral dalam 30
hari pertama antara 35-50%, lebih dari setengah kematian terjadi dalam 2
hari pertama setelah serangan dan 6% pasien meninggal sebelum tiba di rumah
sakit (Hickey, 2003).
d. Penyebab lain
Stroke dapat disebabkan oleh hiperkoagulasi termasuk defisiensi protein C
S serta gangguan pembekuan yang menyebabkan trombosis dan stroke iskedan
Penyebab tersering stroke adalah penyakit degeneratif arterial, mik.
aterosklerosis pada pembuluh darah besar (dengan tromboemboli)

baik

mau penyakit pembuluh darah kecil (lipohialinosis). Penyebab lain

pun

yang jar terjadi diantaranya penekanan pembuluh darah serebral karena ang
tumor, bek darah yang besar, edema jaringan otak dan abses otak (Black uan
& Hawks, 2

009;

Ginsberg, 2007).
2.1.4 Anatomi Fisiologi berbahasa
Semua stimulus auditif (pendengaran) dihantar dari perifer melalui sistem ditif
au ke area auditif primer di girus Hisch, pada kedua lobus temporalis. Di isfer
hem dominan, informasi diteruskan dari area auditif primer langsung ke

iasi

area asos auditif di bagian posterior lobus temporalis superior. Informasi dari ang
hemisfer y non dominan dihantar melalui korpus kollosum ke area asosiasi isfer
auditif dihem yang dominan. Area asosiasi auditif ini dapat dianggap sebagaikasi
pusat identifi kata dan dikenal sebagai area Wernicke.
Setelah suara identifikasi sebagai simbol bahasa, informasi ini diteruskan

area
isfer

yang dominan. Pengenalan simbol bahasa didasarkan atas pengalaman


masa silam. Fungsi area pengenalan bahasa bukan saja mengenali simbol
bahasa, namun mengenai hubungan satu simbol dengan yang lainnya. Bila fungsi
ini telah dilaksanakan, informasi ini disampaikan kembali ke atau melalui area
Wernicke ke area area diotak yang berkaitan dengan enkoding atau berespon
pada bahasa. Memproduksi bahasa mungkin dimediasi melalui area pengenalan
bahasa, diikuti

oleh

penyampaian

informasi ke area

identifikasi kata. Komunikasi

ditegakkan antara area identifikasi kata dengan area enkoding motor melalui
serabut asosiasi yang menghubungkan bagian posterior girus temporal superior
dengan area operkuler pada lobus frontal.
Area enkoding motorik (area Broca) bertanggung jawab untuk
konversi preeliminer simbol bahasa ke aktivitas motor. Informasi dari area
motor jadi
disampaikan ke area motor primer pada hemisfer untukenkoding
dikonversi
men gerakan motorik yang dibutuhkan yang memproduksi bicara (speech). aktu
Pada w yang bersamaan, terdapat komunikasi antara area broca dengan orik
area mot suplementer yang terletak dibagian medial girus frontal

tnya

superior. Selanju terjadi komunikasi dari area motorik suplementer ke mer.


area motorik pri Lengkung reflek dari area Broca melalui area motorikarea
suplementer ke motorik primer tampaknya bertanggung jawab terhadap ersi
kemulusan konv informasi di area motorik primer menjadi impuls yangcara
memproduksi bi (speech). Simbol bahasa visual diterima sebagai impuls sual
visual dipusat vi primer dilobus oksipital kedua hemisfer. Informasi

area

kemudian diteruskan ke asosiasi visual, tempat terjadinya pengenalan dan Dari


identifikasi simbol bahasa. area asosiasi visual yang menangani bahasa, alur
terdapat dua jalur. Pada j pertama, informasi dari area asosiasi visual

g ke

yang dominan berjalan langsun area identifikasi kata. Pada jalur kedua,

ang

informasi dari area asosiasi visual y non dominan menyilang ke hemisfer um.
yang dominan melalui korpus kolos Informasi yang berhubungan denganarea
penamaan objek datang dari kedua asosiasi visual ke area pengenalan kata ini
hemisfer yang dominan. Pada waktu area pengenalan impuls yang
berhubungan dengan penamaan objek mema

suki

Gambar 2.1 Anatomi wicara bahasa


Sumber :
http:// id.w ikipedia .org/w iki/Ota k
2.1.5 Patofisiologi Gangguan Berbicara pada Stroke

ogik
Gangguan pembuluh darah otak (stroke) merupakan suatu gangguan neurol
ding
fokal yang dapat timbul sekunder dari adanya trombosis, embolus, ruptur din
nya
pembuluh darah. Akibat adanya sumbatan tersebut mengakibatkan
, sel
pecah pembuluh darah, sehingga aliran darah ke daerah distal mengalami
Bila
gangguan mengalami kekurangan oksigen sehingga mengakibatkan
alis,
terjadinya infark. lesi tersebut terjadi pada daerah hemisfer dominan
rang
tepatnya lobus front dimana dilobus ini terdapat area Broca, maka akan
mpu
mengakibatkan seseo tidak mungkin mampu mengucapkan seluruh
ami
kata-kata (hanya ma mengucapkan kata-kata sederhana) atau dengan
ntuk
kata lain mampu memah bahasa, tetapi kemampuannya mengekspresikan
tulisan atau bahasa lisan akan terganggu, hal ini disebut afasia
ekspresif. Bila lesi terjadi di lobus temporalis kiri, dimana terdapat area
Wernicke, maka klien mampu mengekspresikan bahasa secara utuh, tetapi
pemahaman terhadap kata-kata yang diucapkan atau tertulis terganggu hal ini
disebut afasia reseptif. Hal ini bisa terjadi karena didalam girus temporalis
superior di hemisfer dominan yang dinamakan area Wernicke berfungsi untuk
pendengaran dan penglihatan. Informasi dari area Wernicke tersebut akan
disampaikan ke area

Broca melalui fasikulus arkuatus, kemudia diproses menjadi gambaran yang


mendetail dan tersusun untuk bicara, kemudian berproyeksi ke kortek
motorik yang menimbulkan gerakan lidah, bibir dan larinx yang sesuai
untuk menghasilkan suara. Girus angularis dibelakang area Wernicke akan
memproses informasi dari kata-kata yang dibaca sehingga menjadi kata-kata
bentuk auditorik pada area Wernicke (Ganong, 1998 ; Price & Wilson, 2006).
2.1.6 Faktor Risiko
Faktor risiko adalah kelainan atau kondisi yang membuat seseorang rentan
terhadap serangan stroke. Penggolongan faktor risiko stroke didasarkan ada
p dapat atau tidaknya risiko tersebut ditanggulangi atau diubah.
a. Faktor risiko yang tidak dapat diubah (AHA/ASA, 2006; Price &
Wil

son,

2006) adalah :
1) Umur

gan

Penurunan fungsi sistem pembuluh darah akan meningkat seiring

nggi
makin
lipat
ti kemungkinan mendapat stroke. Dalam statistik, faktor ini menjadi 2
t
.
kali setelah usia 55 ahun
den bertambahnya usia,

sehingga

makin

bertambah

usia

2) Jenis Kelamin

uali

Stroke diketahui lebih banyak diderita lakilaki dibanding perempuan.


Kec umur 35 44 tahun dan diatas 85 tahun, lebih banyak diderita
perempuan. ini diperkirakan karena pemakaian obat kontrasepsi oral
dan usia hara hidup perempuan yang lebih tinggi dibanding lakilaki.
Perempuan Indon mempunyai usia harapan hidup tiga sampai empat

Hal
pan
esia
usia

tahun lebih tinggi dari harapan hidup laki-laki.


3) Ras
Penduduk Afrika Amerika dan Hispanic Amerika berpotensi stroke lebih
tinggi

dibanding

Eropa

Amerika.

Pada

penelitian

penyakit

arterosklerosis terlihat bahwa penduduk kulit hitam mendapat serangan


stroke 38% lebih tinggi dibanding kulit putih. Setiap tahun di Indonesia
diperkirakan sekitar
500.000 penduduk terkena serangan stroke dan sekitar 25% atau
125.000 orang meninggal dan sisanya mengalami cacat ringan atau berat
(Yastroki,

2011). Jika pada tahun 1990 stroke masih di urutan ketiga setelah penyakit
jantung dan kanker, tahun 2010 menjadi urutan pertama penyebab kematian
di Indonesia (Pdpersi, 2010).
4) Faktor Keturunan
Adanya riwayat stroke pada orang tua, meningkatkan faktor risiko terjadinya
stroke. Hal ini diperkirakan melalui beberapa mekanisme antara lain a)
faktor genetik; b) faktor

kultur atau lingkungan dan life style; c)

interaksi
faktor genetik
antaradan lingkungan.
b. Faktor risiko yang dapat diubah
Stroke pada prinsipnya dapat dicegah. Sebuah penelitian menunjukkan
ba
50% kematian akibat stroke pada pasien yang berusia di bawah 70 tahun
d dicegah dengan menerapkan pengetahuan yang ada (Hudak & Gallo,

hwa
apat
96).

19
Faktor risiko yang dapat diubah antara lain :
1) Hipertensi

baik

Makin tinggi tekanan darah, makin tinggi kemungkinan terjadinya

ensi

stroke, perdarahan maupun iskemik. Faktor risiko stroke terbanyak

arah

adalah hipert dengan 71% dari 3723 kasus (Misbach, 1999).


Pengendalian tekanan d dapat mengurangi 38% insiden stroke (Black
& Hawks, 2005).

gara

2) Merokok

enis
Merokok merupakan masalah kesehatan yang utama di banyak ne
ruhi
berkembang termasuk Indonesia. Rokok mengandung lebih dari 4000 j
ktor
bahan kimia yang di antaranya bersifat karsinogenik atau mempenga
ang
sistem vaskular. Penelitian menunjukkan bahwa merokok merupakan fa
oral.

Hal ini juga ditunjukkan pada perokok pasif. Merokok meningkatkan


terjadinya
trombus,
berkontribusi

karena

terjadinya

arterosklerosis.

Merokok

12% - 14% kematian akibat stroke (AHA/ASA, 2006). Menurut WHO dalam
World Health Statistics (2007), total jumlah kematian akibat tembakau
(merokok) diproyeksikan naik dari 5,4 juta pada tahun 2005 menjadi 6,4 juta
pada tahun 2015 dan 8,3 juta pada tahun 2030.

3) Diabetes Melitus (DM)


DM merupakan penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya.
Faktor risiko stroke akibat DM sebanyak 17,3% (Misbach, 1999). Pasien DM
cenderung menderita arterosklerosis dan meningkatkan terjadinya hipertensi,
kegemukan dan kenaikan kadar kolesterol. Kombinasi hipertensi dan
diabetes sangat menaikkan komplikasi diabetes termasuk stroke (AHA/ASA,
4) 2006).
Kelainan Jantung
Kelainan jantung merupakan sumber emboli untuk terjadinya stroke.
Y tersering adalah atrium fibrilasi. Setiap tahun, 4% dari pasien atriumang
fibr mengalami stroke (AHA/ASA, 2006).

ilasi

5) Dislipidemia
Meningkatnya kadar kolesterol total dan Low Density Lipoprotein
(L berkaitan erat dengan terjadinya aterosklerosis. Kolesterol LDL

DL)

yang ti merupakan risiko terjadinya stroke iskemik. Kejadian stroke

nggi

meningkat p pasien dengan kadar kolesterol total di atas 240 mg/dL.

ada

Setiap kenaikan k kolesterol total 38,7 mg/dL meningkatkan risiko adar


stroke sebanyak (AHA/ASA, 2006).

25%

6) Latihan fisik
Pasien stroke direkomendasikan melakukan latihan fisik (olah raga)
se teratur

3 7 hari per minggu dengan durasi 20 60 menit cara

per (AHA/ASA, 2006). Ahli bedah umum Amerika

hari

merekomendasikan u melakukan latihan fisik secara teratur setiap harintuk


selama 30 menit. Lat fisik secara teratur membantu mengurangi

ihan

timbulnya penyakit jantung stroke. Ketidakaktifan, kegemukan atau dan


keduanya berisiko meningka

tkan
roke

(AHA/ASA, 2006).
7) Kegemukan
Kegemukan biasanya berhubungan dengan pola makan, DM tipe 2,
peningkatan kadar kolesterol dan peningkatan tekanan darah. Penghitungan
kegemukan berdasarkan BMI (Body Mass I ndex) yaitu underweight <
18,5, normal 18,5 24,9, overweight 25 29,9, obesitas I 30 34,5, obesitas
II 35

39,9 dan extreme obesity > 40. Central obesitas/gemuk perut dihitung jika
lingkar pinggang (waist

circumference) pada laki-laki >

102 cm

dan perempuan > 88 cm (National Heart Lung and Blood Institute/NHLBI,


2007).
8) Pola diit
Aspek diit yang dihubungkan dengan risiko terjadinya stroke adalah intake
sodium yang tinggi dan nutrisi tinggi lemak. Efek potensial sodium dan
lemak terhadap

kejadian

stroke

dihubungkan

dengan

peningkatan

tekanan
(AHA/ASA,
darah
2006).
9) Konsumsi alkohol
Konsumsi alkohol berlebihan merupakan faktor utama terjadinya
hipert dan penyakit yang berhubungan dengan hipertensi adalah strokeensi
(AHA/A

SA,

2006). Penelitian yang dilakukan di Cina pada 1991 dan dilakukan

w up

follo tahun 1999 dan 2000 menunjukkan pemakaian alkohol yang

ebih

berlebihan (l dari 1750 mL per minggu) secara signifikan

roke

meningkatkan insiden st sebesar 22% dan risiko kematian 30% lebih ohol
tinggi dari non pemakai alk (Bazzano, 2000).
10) Drug Abuse/narkoba
Pemakaian obat-obatan seperti cocain, amphetamine, heroin dan sebagainya
meningkatkan terjadinya stroke. Obat-obat ini dapat mempengaruhi tekanan
darah secara tiba-tiba dan menyebabkan terjadinya emboli (AHA/ASA, 2006).
11) Pemakaian obat kontrasepsi oral
Risiko stroke meningkat jika memakai obat kontrasepsi oral denganosis
d tinggi. Umumnya risiko stroke terjadi jika pemakaian ini dikombinasigan
den adanya usia lebih dari 35 tahun, perokok, hipertensi, dan diabeteshey,
(Hers
Gangguan

pola tidur ini dikenal dengan

istilah

sleep

disordered

breathing (SDB). Penelitian membuktikan bahwa tidur mendengkur


meningkatkan terjadinya stroke. Pola tidur mendengkur sering disertai apneu
(henti nafas), tidak hanya berpotensi menyebabkan stroke tapi juga
gangguan jantung. Hal ini disebabkan penurunan aliran darah ke otak. SDB
lebih sering terjadi pada

laki-laki dari pada perempuan dengan perbandingan 2 : 1, dan terjadi


mulai usia pertengahan (AHA/ASA, 2006).
13) Kenaikan lipoprotein (a)/ Lp (a)
Lipid protein kompleks yang meningkat merupakan risiko terjadinya
penyakit jantung dan stroke. Lp (a) merupakan partikel dari LDL dan
peningkatannya akan meningkatkan terjadinya trombosis dengan
mekanisme menghambat plasminogen aktivator. Dibanding dengan
faktor risiko penyakit
stroke yang lain DM)
(hipertensi, hiperkolesterolemia, hipertrigliserid,
jantung, (AHA/ASA, 2006).

2.1.7 Manifestasi
Silbernagl & Lang (2007) menyebutkan, manifestasi klinis stroke ditentukanoleh
tempat perfusi yang terganggu, yakni daerah yang disuplai oleh pembuluh arah
d tersebut. Arteri yang paling sering mengalami gangguan adalah arteri ebri
ser media. Berikut ini tanda dan gejala stroke berdasarkan arteri yang terkena
:
a. Arteri Serebri Media

han

Oklusi pada arteri serebri media yang sering terjadi menyebabkan kelemairus
otot dan spastisitas kontralateral, serta defisit sensorik akibat kerusakan gular
lateral presentralis dan postsentralis. Akibat selanjutnya adalah deviasi okcara
akibat kerusakan area motorik penglihatan, hemianopsia, gangguan bian),
motorik dan sensorik (area bicara Broca dan Wernicke dari hemisferbus
domin gangguan persepsi spasial, apraksia dan hemineglect jika mengenai
lo parietalis (Silbernagl & Lang, 2007).
b. Arteri Serebri Anterior

orik

Oklusi arteri akibat


serebrikehilangan
anterior menyebabkan
hemiparesis
dan defisit
kontralateral
girus presentralis
dan postsentralis
bagian
medial, kesulitan bicara serta apraksia pada lengan kiri jika korpus kalosum
anterior dan hubungan dari hemisfer dominan ke korteks motorik kanan
terganggu

(Silbernagl & Lang,

2007),

gangguan

kognitif

dan

inkontinensia urine (Hickey, 2003). Penyumbatan bilateral pada arteri serebri


anterior menyebabkan apatis karena kerusakan dari sistem limbik (Silbernagl
& Lang,
2007).

c. Arteri Serebri Posterior


Oklusi arteri serebri posterior menyebabkan hemianopsia kontralateral parsial
(korteks visual primer). Manifestasi klinis bervariasi tergantung area oklusi.
Oklusi pada area perifer menyebabkan hemianopsia homonimus, defisit
memori dan gangguan penglihatan berat. Oklusi pada area sentral, khususnya
pada talamus menyebabkan kehilangan sensorik, nyeri spontan, tremor
dan hemiparesis ringan. Jika oklusi terjadi di batang otak menyebabkan
nistagmus,
abnormalitas pupil, ataksia dan tremor postural (Hickey,
2003). d. Arteri Karotis atau Basilaris
Penyumbatan arteri karotis atau basilaris dapat menyebabkan defisit di da
yang disuplai oleh arteri serebri media dan anterior. Jika arteri koroid anteerah
tersumbat menyebabkan hipokinesia, hemiparesis, hemianopsia. Oklusi prior
cabang

arteri

komunikans

posterior

di

talamus

terutama

akanada

menyebab defisit sensorik. Oklusi total arteri basilaris menyebabkankan


tetraparese, para otot-otot mata serta koma. Oklusi pada cabang arterilisis
basilaris d menyebabkan infark pada serebelum, mesensefalon, ponsapat
dan me oblongata (Silbernagl & Lang, 2007).

Gambar 2.2 Anatomi Arteri Otak


(Sumber : Smeltzer, Bare, Hinkle & Cheever,
2008)

dula

2.1.8 Penatalaksanaan
Menurut Black & Hawks (2009) manajemen medik pada pasien stroke
adalah sebagai berikut :
a. Identifikasi stroke secara dini
Faktor utama dalam intervensi dan tindakan awal pada pasien stroke
adalah ketepatan

dalam

mengidentifikasi manifestasi

klinis

yang

bervariasi berdasarkan lokasi dan ukuran infark. Pengkajian awal dan


riwayat pada
yang lien
lengkap dari pasien merupakan data penting yang harus di dapatkan
k untuk memberikan intervensi yang tepat.
b. Mempertahankan oksigenasi serebral
Tindakan utama yang dilakukan adalah mempertahankan kepatenan jalanafas
n dengan cara memiringkan kepala pasien untuk mencegah terjadinyairasi
asp dari air liur pasien yang keluar tanpa bisa dikontrol. Elevasi kepalakan,
dilaku hindari posisi hiperekstensi, dan pertahankan pemberian oksigenuat.
yang adek
dan

c. Memperbaiki aliran darah serebral

Pemberian tromboembolik dilakukan untuk rekanalisasi pembuluh darahang


reperfusi jaringan otak yang mengalami iskemik. Agen trombolotik apat
y diberikan biasanya berupa exogenous plasminogen activators yang
d mencegah trombus atau embolus yang menutupi aliran darah.
bral,

d. Pencegahan komplikasi

Komplikasi yang mungkin muncul bisa berupa perdarahan, edema sereroke


aspirasi dan komplikasi lainnya. Perdarahan bisa terjadi pada pasien stoleh
setelah pemberian rt-PA (Recombinant Tissue Plasminogen Activator),nya
karena itu pasien harus dimonitor ketat terhadap tanda-tanda

lami

ada perdarahan. Edema serebral biasanya terjadi pada pasien yang

enar

yaitu
mengadengan elevasi kepala 30 untuk meningkatkan perfusi serebral dan
aliran balik

vena.

Resiko

aspirasi pneumonia

merupakan

resiko

komplikasi yang cukup tinggi pada pasien stroke. Aspirasi lebih sering
terjadi di awal dan dikaitkan dengan hilangnya sensasi faringeal, hilangnya
kontrol orofaringeal dan penurunan kesadaran. Pada klien stroke untuk
mencegah terjadinya aspirasi

pneumonia, maka pemberian cairan oral ditunda dulu dalam 24-48


jam pertama.
Fase rehabilitasi dapat dimulai sesegera mungkin pada pasien yang
mengalami stroke, namun proses ini ditekankan selama fase konvalesen dan
memerlukan upaya tim koordinasi. Menurut Lewis, Heitkemper & Dirksen
(2000) setelah pasien stroke stabil selama 12 -24 jam perawatan kolaboratif
dilakukan
untuk
mengurangi kecacatan dan meningkatkan fungsi optimal. Sasaran
utama
program
rehabilitasi adalah perbaikan mobilitas, menghindari nyeri bahu, pencapaian
perawatan diri, mendapatkan kontrol kandung kemih, perbaikan proses fikir,
pencapaian beberapa bentuk komunikasi, pemeliharaan integritas kulit, perbaikan
fungsi keluarga dan tidak adanya komplikasi (Smeltzer, Bare, Hinkle &ver,
Chee

han,

2008). Rehabilitasi secara dini akan mempercepat proses penyembupun


rehabilitasi ini harus rutin sehingga otak mampu untuk mengingatnya.

usak

Ada tujuan dari rehabilitasi ini adalah untuk melatih sel-sel yang
tidak r mengantikan sel-sel yang telah rusak.
idup
Pentingnya intervensi dini pada stroke akut sangat menentukan kualitas roke
h pasien dan bahkan mencegah kematian, sehingga motto penatalaksanaanoleh
st adalah Time is Brain. Intervensi ini dilakukan secara

araf,

komprehensif multidisiplin unit stroke, yang tim strokenya terdiri dari

oke,

dokter spesialis sy perawat mahir stroke, dokter spesialis terkait

n di

dengan faktor risiko str fisioterapi, terapi okupasi, terapi bicara, pekerja (1-4
sosial, ahli gizi yang dilakuka unit stroke. Komponen utama
perawatannya adalah penyelamatan jiwa minggu setelah stroke) dan

ewi,

2.2 Konsep Afasia


2.2.1 Definisi
Afasia merupakan kehilangan atau gangguan interpretasi dan formulasi
simbol bahasa yang disebabkan oleh kerusakan otak yang didapat yang
mempengaruhi distribusi kerja struktur sub kortikal dan kortikal pada hemisfer
(Berthier, 2005). Sedangkan menurut Lumbantobing (2011) afasia merupakan
gangguan
berbahasa. man,
Dalam hal ini pasien menunjukkan gangguan dalam bicara
spontan,
pemaha menamai, repetisi (mengulang), membaca dan menulis.
2.2.2 Etiologi
Afasia adalah suatu tanda klinis dan bukan penyakit. Afasia dapat timbul ibat
ak cedera otak atau proses patologik pada area lobus frontal, temporal atau ietal
par yang mengatur kemampuan berbahasa yaitu area Broca, area Wernicke jalur
dan yang menghubungkan antara keduanya. Kedua area ini biasanya etak
terl dihemisfer kiri otak dan pada kebanyakan orang bagian hemisfer kiri

kan

merupa tempat kemampuan berbahasa diatur (Kirshner, 2009; Aini, 2006). rnya
Pada dasa kerusakan otak yang menimbulkan afasia disebabkan oleh

otak

stroke, cedera traumatik, perdarahan otak dan sebagainya. Sekitar 80%

oleh

afasia disebabkan infark iskemik, sedangkan hemoragik frekuensinya

inya

jarang terjadi dan lokas tidak dibatasi oleh kerusakan vaskularisasi

ncul

(Barthier, 2005). Afasia dapat mu perlahan seperti pada kasus tumor otak ftar
(Kirshner, 2009). Afasia juga terda sebagai efek samping yang langka ntuk
dari fentanyl, yiatu suatu opioid u penanganan nyeri kronis ( Aini, 2006).
2.2.3 Klasifikasi dan Gejala Klinik
Menurut Lumbantobing (2011) ada banyak klasifikasi afasia yang dibuat oleh
para peneliti atau pakar yang masing masing membuat untuk keperluan
disiplin ilmu mereka. Dasar untuk mengklasifikasikan afasia beragam,
diantaranya ada yang mendasarkan kepada manifestasi klinis, distribusi anatomi
dari lesi yang bertanggung jawab bagi defek dan berdasarkan kasifikasi yang
merujuk pada linguistik.

Beberapa bentuk afasia menurut Smeltzer & Bare (2008); Rasyid


(2007), Lumbantobing (2011) adalah :
a. Afasia sensoris (Wernicke/reseptive)
Afasia Wernickes dapat terjadi gangguan yang melibatkan pada girus
temporal superior. Di klinik, pasien afasia Wernicke ditandai oleh
ketidakmampuan memahami bahasa lisan dan bila ia menjawab iapun tidak
mampu mengetahui apakah jawabannya salah. Ia tidak mampu memahami
kata yang diucapkannya,
dan tidak mampu mengetahui kata yang diucapkannya,
apakah benar atau
salah. Maka terjadilah kalimat yang isinya kosong, berisi parafasia dan
neologisme. Misalnya menjawab pertanyaan : bagaimana keadaan ibu
sekarang? Pasien mengkin menjawab : Anal saya lalu sana sakit
tanding berabir. Seorang aphasia dewasa akan kesulitan untuk

tak
uku

menyebutkan kata b walau di hadapannya ditunjukan benda buku. Klienebut


dengan susah meny busa....bulu......... bubu. (klien nampak susah dan gan
putus asa. Pengulan (repetisi) terganggu berat. Menamai (naming)

baca

umumnya parafasik. Mem dan menulis juga terganggu berat.


b. Afasia Motorik
Lesi yang menyebabkan afasia Broca mencakup daerah Brodman 44 dan
sekitarnya. Lesi yang mengakibatkan afasia Broca biasanya

tkan

meliba operkulum frontal (area Brodman 45 dan 44) dan massa alba lam
frontal da (tidak melibatkan korteks motorik bawah dan massa alba ular
paraventrik (tengah). Kelainan ini ditandai dengan kesulitan dalam

atau

mengkoordinasikan menyusun fikiran, perasaan dan kemauan menjadi dan


simbol yang bermakna dimengerti oleh orang lain. Bicara lisan tidak

ring

lancar, terputus-putus dan se

dek-

pendek dan monoton. Pasien sering atau paling banyak mengucapkan kata
kata benda dan kata kerja. Bicaranya bergaya telegram atau tanpa tata
bahasa (tanpa grammar). Contoh : Saya sembuh rumah kontrol
ya .. kon
..trol. Periksa
banyak.

lagi

makan

Seorang dengan kelainan ini mengerti dan dapat menginterpretasikan


rangsangan

yang

diterimanya,

hanya

untuk

mengekspresikannya

mengalami kesulitan. Seorang afasia dewasa berumur 59 tahun, kesulitan


menjawab, rumah bapak dimana?, maka dengan menunjuk ke arah barat, dan
dengan kesal karena tidak ada kemampuan dalam ucapannya. Jenis afasia ini
juga dialami dalam menuangkan ke bentuk tulisan. Jenis ini disebut
dengan disgraphia
(agraphia).
Mengulang (repetisi) dan membaca kuat kuat sama terganggunya se
perti
berbicara spontan. Pemahaman auditif dari pemahaman membaca tampak idak
t
terganggu, namun pemahaman kalimat dengan tatabahasa yang kompleks
sering terganggu

(misalnya memahami kalimat. Seandainya andaaya

berup untuk tidak gagal, bagaimana rencana anda untuk maksud ini.
c. Afasia global
Merupakan bentuk afasia yang paling berat. Afasia global disebabkan olehluas
yang merusak sebagian besar atau semua daerah bahasa. Penyebab lesi ang
y paling sering ialah oklusi arteri karotis interna atau arteri serebri

ada

media p pangkalnya. Kemungkinan pulihnya ialah buruk. Keadaan ini oleh


ditandai tidak adanya lagi bahasa spontan atau berkurang sekali dan

rapa

menjadi bebe patah kata yang diucapkan secara stereotip ( itu itu saja,

ya :

berulang), misaln iiya, iiya, iiya, atau : baaah, baaaah, baaah, atau :ang,
amaaang, amaa amaaaang. Komprehensi menghilang atau sangat

nya

terbatas, misalnya ha mengenal namanya saja atau satu atau dua patah

erat

kata. Repetisi juga sama b gangguannya seperti bicara spontan.

ggu

Membaca dan menulis juga tergan berat. Afasia global hampir selalu

ang

disertai hemiparese atau hemiplegia y


2.2.4

Pemeriksaan Afasia

Menurut Lezak (1983 dalam Browndyke, 2002), untuk melihat fungsi berbahasa
dan wicara pada pasien afasia dapat dilakukan pemeriksaan aspek perilaku
verbal, seperti bicara spontan, pengulangan kata, frase, kalimat, pemahaman
bicara, penamaan, membaca dan menulis.

2.2.5
Afasia

Pengkajian/Tes

Berbagai macam tes afasia dapat dipergunakan sebagai pengkajian. Penggunaan


macam tes ini tergantung pada kebutuhan. Observasi klinis tanpa penggunaan
alat pengkajian ditemukan tidak adekuat untuk mengidentifikasi afasia selama
fase akut. Penggunaan instrumen skrining dilakukan untuk mengidentifikasi
afasia secara signifikan (Edwards et al, 2006).
Perawat merupakan salah satu profesional kesehatan yang bertanggung jawab
terhadap afasia, karena perawat setiap hari kontak dengan klien. Dalam fase kut,
a afasia sering ditemukan oleh anggota keluarga terdekat dan perawat. lam
Da rehabilitasi keperawatan, observasi, pengkajian dan interpretasi

kasi

diidentifi sebagai pusat aktivitas. Menurut Bulechek & McClockey (2000), jian
hasil pengka dan identifikasi yang ditemukan dapat digunakan dalam

ensi

klasifikasi interv keperawatan pada defisit komunikasi (Poslawsky,

n &

Schuurmans, Lindema Hafsteindottir, 2010). Skrining perawat dan hasil ung


observasi dapat menduk langsung pemeriksaan lebih lanjut dan diagnosa perti
oleh profesional khusus, se neuropsychologist dan speech therapy (Clarkson,
2010).
sell
Berdasarkan hasil review yang dilakukan Salter, Jutai, Foley, Hellings &

oleh

Tea (2006), terdapat dua instrumen untuk menskrining afasia yang

ning

digunakan perawat adalah Frenchay Aphasia Screening Test/FAST dan

dan

Ullevaal Scree Test/ UAS. Dalam literatur penelitian stroke, FAST lebihkan
sering dipakai merupakan instrumen skrining pada afasia. FAST lebihley,
sering diguna dibandingkan dengan instrumen pengkajian afasia lainnya
(Salter, Jutai, Fo Hellings & Teasell, 2006, Enderby & Crowby, 1996).
FAST terdiri 18 item yang mengkaji empat aspek bahasa (pemahaman, ekspresi
verbal, membaca dan menulis) dengan skor 0 30 (Enderby et al, 1987 dalam
Lightbody et al, 2007). Dikatakan afasia ialah bila skor < 27 pada usia diatas 60
tahun atau bila skor <25 pada usia dibawah 60 tahun.

Menurut Salter (2006), FAST mempunyai kelebihan dan kekurangan, seperti :


a. Kelebihan
1.

FAST dikembangkan dan digunakan oleh non spesialis, seperti


staf medical junior, perawat, terapi okupasi dan lainnya untuk
mengidentifikasi gangguan bahasa.

2. Tes ini sederhana, metodenya singkat dan cepat hanya memerlukan waktu
3 10 menit, sehingga dapat digunakan pada pasien yang tidak toleransi
dalam waktu yang lama dalam mengkaji pasien afasia.
3. Instrumen ini dapat dipakai selama fase akut dan paska akut
stroke.

man,

4. FAST mengkaji aspek bahasa ke dalam empat area, seperti


pemaha ekspresi verbal, membaca dan menulis.

mah,

5. Instrumen ini dapat dipakai diruangan yang sibuk dan situasi


ru mempunyai validitas yang baik ketika dipakai oleh non spesialis.

iliki
6. FAST menunjukkan validitas yang baik (r <`0.73 0.91), mem
gan
sensitivitas yang tertinggi 87% dan spesifitas 80% dibandingkan
AST
den instrumen UAS. UAS dikembangkan berdasarkan FAST.
gan
Validitas F terhadap Functional Communication Profile (FCP)
sien
adalah baik den korelasi koefisien 0.87 (P<0.001), dan
reliabilitas dengan koefi Kendalls adalah 0.97.
b. Kekurangan :
Penilaian FAST menjadi kurang baik dapat dipengaruhi oleh beberapa

tor,
tian,

fak seperti gangguan lapang pandang, gangguan visual, tidak ada


perha konsentrasi yang menurun atau pasien bingung.
m tes
afasia diklinik, seperti Token Test /TT dengan 21 tugas (20 30 menit), Boston
Diagnostic Aphasia Examination/BDAE dengan 27 sub tes (1 3 jam),
Minnesota Test for Differential Diagnosis of Aphasia/MTTDDA (3 jam),
Functional Communication Profile/FCP dengan 45 fungsi (20 30 menit),
Communicative Abilities in Daily Living/CADL dengan 10 kategori perilaku (23 jam) (Browndyke, 2002; Kusumoputro, 1992). Dari hasil beberapa penelitian
tentang

instrumen tersebut, tidak ada satupun evaluasi pengukuran yang membahas


seperti validitas dan relibilitas sebagai dasar dalam mengkaji afasia (Poslawsky,
Schuurmans, Lindeman & Hafsteindottir, 2010).

Rata rata tes tersebut

memerlukan waktu paling cepat sekitar 20 menit dan paling lama sekitar 3 jam,
tentunya dapat sulit dilakukan

pada pasien

yang tidak toleransi dengan

waktu yang lama.


2.2.6
Afasia

Penatalaksanaan

lam
Rehabilitasi afasia saat ini berfokus pada status fungsional pasien afasia da
asia
melaksanakan aktivitas sehari hari (Sundin & Jansson, 2003). Rehabilitasi
ktif
af dapat memperbaiki pasien dengan gangguan berbahasa agar menjadi
utro,
produ atau memperbaiki kualitas hidupnya (Goldstein, 1987, dalam
alah
Kusumop
10).
1992). Penanganan yang paling efektif saat ini untuk mengobati afasia ad
ikan
dengan melakukan latihan wicara (Kirshner, 2009, Media Indonesia,
puti
20
aik.
Menurut Aini (2006), tujuan utama dari latihan wicara adalah
tian
mengembal
lam
kemampuan dalam berkomunikasi yang akurat. Dalam hal ini meli
buat
percakapan, membaca atau menulis, mengkoreksi angka/kata lebih b
apat
Didalamnya meliputi bagaimana membuat suara dan bahasa, termasuk
penger dan pemilihan kata yang digunakan. Tujuan spesifik meliputi :
kejelasan da ucapan, kemampuan dalam mengerti kata kata sederhana,
rti:
kemampuan mem perhatian dan kemampuan mengeluarkan kata kata yang
jika
solid/jelas dan d dimengerti.
b. Efektifitas terapi afasia akan meningkat jika terapi menggunakan
bentuk stimulus audio dalam bentuk musik dan stimulus visual dalam
bentuk gambar
gambar serta lukisan. Jenis stimulus ini sebaiknya digunakan secara
rutin selama mengikuti sesi terapi afasia.

c. Terapi dengan pendekatan strategi komunikasi. Upaya pendekatan ini adalah


mengembangkan kemampuan komunikasi meskipun pasien masih tetap
mengalami afasia (Holland, 1982 dalam Kusumoputro, 1992).
Menurut Smeltzer & Bare (2002), pada dasarnya terdapat minimal empat hal
yang harus dilakukan perawat pada klien afasia yaitu : a) meningkatkan
harga diri positif

b)

meningkatkan

kemampuan

komunikasi

c)

meningkatkand)stimulasi
pendengaran
membantu koping keluarga.
Menurut Tarigan (2009), beberapa bentuk terapi afasia yang paling
se digunakan, adalah :

ring

a. Terapi kognitif linguistik


Bentuk terapi menekankan pada komponen emosional bahasa. Sebagai
con beberapa latihan akan mengharuskan pasien untuk

toh,

menginterpretas karakteristik dari suara dengan nada emosi yang

ikan

berbeda beda. Ada yang meminta pasien mendeskripsikan arti kata

juga

seperti kata kata gemb Latihan seperti ini akan membantu pasienira.
mempraktekkan kemamp komprehensif sementara tetap fokus pada

uan

pemahaman komponen emosi berbahasa.

dari

b. Program Stimulus
Jenis terapi ini menggunakan berbagai modalitas sensori, Termasuk gamb
gambar dan musik. Program ini diperkenalkan dengan tingkat kesukaranar
y meningkat dari tingkat yang mudah ke tingkat yang sulit.

ang

c. Stimulation Fascilitaion Therapy


Jenis terapi afasia ini lebih fokus pada semantik (arti) dan sintaksis
(susu kalimat) dari bahasa. Stimulus utama yang digunakan selama

nan
alah

stimulus audio. Prinsip

terapi ini yaitu

peningkatan

kemampuan

berbahasa akan lebih baik jika dilakukan dengan pengulangan.


d.
Terapi kelompok (group
therapy)
Dalam terapi ini pasien disediakan konteks sosiak untuk mempraktekkan
kemampuan komunikasi yang telah mereka pelajari selama sesi pribadi.
Selain itu mereka juga akan mendapatkan umpan balik dari para terapis
dan pasien

lainnya. Hal ini bisa juga dilakukan dengan anggota keluarga. Efeknya akan
sama sekaligus juga mempererat komunikasi pasien

dengan orang

orang tercinta mereka.


e. PACE (Promoting Aphasics Communicative Effectiveness)
Ini merupakan bentuk terapi pragmatik yang paling terkenal. Jenis terapi
ini bertujuan meningkatkan kemampuan berkomunikasi dengan
menggunakan percakapan sebagai alatnya. Dalam terapi pasien akan
terlibat jenis
percakapan ini
dengan terapis. Untuk menstimulasi komunikasi spontan,
terapi menggunakan lukisan lukisan, gambar serta benda benda
visual.
ang

f. Terapi Intonasi Melodi

Metode ini terutama dipergunakan untuk pasien dengan curah verbal kan
y sangat kurang yang disebabkan oleh kelainan dihemisfer kiri,

ulus

sedang hemisfer kanan masih utuh. Dasar metode ini adalah

ahui

menyalurkan stim melodik dari hemisfer kiri ke arah hemisfer kanan.

perti

Hemisfer kanan diket mempunyai fungsi untuk membuat interpretasi teks


proses non verbal se musik atau melodi dan diketahui ada hubungan jadi
transkalosal antara kor auditorik asosiasi pada hemisfer kiri dan kanan,
sehingga diharapkan ter curah verbal yang bersifat melodik.
2.2.7 Pemulihan Wicara-Bahasa Pada Afasia

ktor

Menurut Prins dan Maas (1993 dalam Kusumoputro, 1992), bahwa faktor
fa yang mempengaruhi pemulihan wicara bahasa pada afasia adalah :
a. Luas cedera
Pada

hakekatnya

inan
luasnya

kerusakan

berhubungan

erat

denganbila

kemungk adanya gangguan tambahan. Gangguan visual, gangguanngat


motoris
(terutama
berkaitan
dengan
proses berbicara),
auditif
dan
gangguan
emosional
akibat
kerusakan
otak dapat gangguan
sangat menghambat
pemulihan.
b. Letak cedera
Afasia akibat kerusakan transkortikal mempunyai prognosis yang lebih baik
daripada afasia akibat kerusakan perisilvis. Tersumbatnya arteria cerebri
posterior pada mulanya dapat mengakibatkan afasia, tetapi ini hanya
bersifat

sementara. Sebaliknya afasia thalamis ternyata tidak pulih secepat dan


menyeluruh seperti yang dulu diperkirakan.
c. Keparahan Afasia
Parahnya afasia pada periode awal biasanya bukan merupakan faktor peramal
yang

baik

mengenai

pemulihan

karena

pembentukan

edema

dan

berkurangnya persediaan darah dapat membuat afasia tambah lebih parah


daripada yang ternyata kemudian. Semakin parah afasia yang diderita
semakin
kurang
kemungkinan
terjadinya pemulihan
menyeluruh. d. Umur
Tidak ada petunjuk bahwa umur berkaitan dengan pemulihan. Disisi lain,
t mustahil bahwa umur berperan. Kecepatan proses penyembuhan secara idak
u pada usia dewasa lebih lambat dibanding pada usia anak-anak,

mum

khususnya stroke, kecepatan penyembuhan pada orang dewasa memilikipada


prognosis y buruk oleh karena neural plasticity (Mc. Caffrey, 2008).

ang

Selain itu den bertambah tuanya seseorang, terdapat kemungkinan lebih gan
besar untuk ter berbagai penyakit dan cacat tubuh (penyakit jantung kena
dan pembuluh da penyakit gula) yang dapat mempengaruhi proses

rah,

pemulihan afasia.
e. Intelegensi dan Pendidikan
Ada dugaan bahwa tingkat inteligensi dan pendidikan yang lebih tinggi
merupakan faktor positif bagi pemulihan afasia, tetapi hal ini tidak

ung

diduk oleh bukti. Tingkat inteligensi dan pendidikan yang tinggi diiringi gkat
oleh tin aspirasi yang lebih tinggi pula dengan segala frustasinya. Ada inan
kemungk bahwa tingkat inteligensi yang lebih tinggi memacu pemulihan asia
gangguan af yang lebih besar, tetapi hal ini tidak dapat dihubungkan

gan

dengan keuntun komunikatif yang lebih besar.


Penanganan terpadu antara terapis dengan anggota keluarga pasien merupakan
faktor yang cukup penting dan kunci keberhasilan dalam proses penanganan
afasia. Menurut Bullan, Chiki and Stern (2007), keterlibatan anggota keluarga
dan teman dalam latihan dapat meningkatkan efektifitas rehabilitasi. Selain itu
lingkungan keluarga juga merupakan lingkungan yang cocok untuk
menstimulasi kemampuan
dapat

berbahasa

afasia, karena stimulasi tersebut

dilakukan secara tidak formal, dapat memilih waktu yang tepat, saat pasien
dalam keadaan bermotivasi dan anggota keluarga cukup tahu mengenal
hal ikhwal keadaan pasien (Prins & Maas, 1993, Kusumoputro, 1992).
Hal yang harus dipahami oleh keluarga adalah bahwa pasien afasia
tetap membutuhkan kesempatan mendengar pembicaraan orang lain secara
normal. Bila keluarga mengabaikan pasien stroke yang mengalami afasia,
mendiamkan atau menganggap seolah olah pasien tidakmisalnya
memahami
pembicaraan keluarga, pasien akan merasa frustasi dan sakit hatih &
(Mulyatsi Ahmad, 2008).
Anggota keluarga dapat dianjurkan
:

dan

1. Mengucapkan bahasa yang sederhana dengan kata kata


pendek kalimat yang sederhana.
2. Mengulang isi kata atau menulis kata kunci untuk menjelaskan
arti.
3.
Mempertahankan percakapan seperti pada orang
dewasa.
4. Mengurangi distraksi seperti bunyi radio atau televisi yang

bila
dan

keras, memungkinkan saat berkomunikasi.


5. Melibatkan pasien afasia dalam percakapan dengan

juk,

menanyakan meminta pendapat pasien.


6. Menganjurkan beberapa jenis komunikasi, seperti bicara,
menun gambar.
7.
Hindari mengkoreksi ketika pasien
bicara.

kan

8.
Memberikan waktu untuk memahami
pembicaraan.
Menurut Salter, Foley & Teasell, 2010, peningkatan dukungan keluarga
yang tersedia dapat menjadi strategi penting dalam mengurangi atau mencegah
tekanan jiwa dan
diberikan

depresi paska stroke. Dukungan keluarga yang dapat

pada pasien stroke dengan afasia adalah

dalam bentuk empat

dimensi seperti dimensi informasi, emosional, instrumental dan penghargaan.

Dimensi dukungan keluarga menurut Sarafino (2004), Friedman (2010) adalah :


a. Dimensi informasi
Dukungan ini berupa pemberian saran percakapan atau umpan balik tentang
bagaimana seseorang melakukan sesuatu. Aspek-aspek dalam dukungan ini
adalah nasehat, saran, petunjuk dan pemberian informasi.
b. Dimensi emosional
Dukungan ini melibatkan ekspresi, rasa empati dan perhatian terhadap
seseorang, adanya kepercayaan, perhatian dan mendengarkan atau

kan

didengar saat mengeluarkan perasaanya sehingga membuat pasien

aik,

merasa lebih b memperoleh kembali keyakinannya, merasa dimiliki

saat

dan dicintai pada stress. Dimensi ini memperlihatkan adanya dukungannya


dari keluarga, ada pengertian dari anggota yang lain terhadap anggota
keluarga dengan afasia.
c. Dimensi instrumental

ung,

Dukungan yang bersifat nyata, dimana dukungan ini berupa bantuan langsatau
seperti bantuan mengerjakan tugas tertentu pada saat mengalami stress suk
penyediaan sarana untuk mempermudah atau menolong orang lain,
terma didalamnya selalu memberikan peluang waktu.dan dalam bentuk
uang.
d. Dimensi penghargaan
Dimensi ini terjadi melalui ekspresi berupa sambutan yang positif

gan
ide
gan

den orang orang disekitarnya, dorongan atau pernyataan yang setuju


terhadap
ide atau perasaan individu. Keluarga bertindak sebagai sebuah
bimbin umpan balik, membimbing dan menengahi pemecahan masalah.
Afasia tergolong gangguan komunikasi dan komunikasi merupakan bagian
penting dalam kehidupan manusia. Komunikasi verbal meliputi kata kata yang
diucapkan maupun yang ditulis (Potter & Perry, 2005). Seseorang yang
berkomunikasi akan menggunakan sederetan fungsi seperti simbolisasi, respirasi,
resonansi, fonasi, artikulasi, lafal, prosodi dan kemampuan komunikasi
(Kusumoputro, 1992). Gangguan wicara bahasa keduanya merupakan
gangguan

komunikasi. Gangguan berbicara secara praktis disebut sebagai disartria


yang terdiri dari gangguan artikulasi, fonasi dan fluensi yang dapat disebabkan
lesi pada sistem neuromuskular untuk wicara, sedangkan afasia merupakan
gangguan berbahasa yang disebabkan oleh lesi pada hemisfer kiri (dominan)
(Kusumoputro,
1992; Prins & Maas, 1993; Lumbantobing,
2011).
Bahasa merupakan instrumen dasar bagi komunikasi manusia dan
dasar dan tulang punggung bagi kemampuan kognitif. Dalam berbahasa tercamer
berbagai kemampuan yaitu bicara spontan, pemahaman, menamai, repupa
(mengulang), membaca dan menulis (Lumbantobing, 2011). Bahasa akankan
men efektif hanya jika setiap

orang yang berkomunikasi memahamikup

pesan ters dengan jelas (Potter & Perry, 2005).

etisi
jadi

Gangguan komunikasi verbal akibat afasia menyebabkan klien mengaebut


hambatan dalam melaksanakan aktivitas hidup sehari hari,
sehin menyebabkan distres pada pasien. Hal ini terjadi karena komunikasi
merupa proses pertukaran informasi diantara dua orang atau lebih atau

lami

terjadi pertuk ide ide atau pemikiran (Berman, Snyder, Kozier & Erb, gga
2008). Sedang menurut Sundin & Jonson (2003), melalui

kan

komunikasi seseorang d mengekspresikan perasaan dan integritas diri.

aran

Lebih lanjut menurut Arwani (2 komunikasi mempunyai kegunaan 1)

kan

membantu perkembangan intelektual sosial 2) identitas diri 3) membantu apat


memahami kenyataan yang ada disekeli kita 4) sarana pembentuk kesehatan003)
mental
Pada pasien afasia karena keterbatasan dalam berkomunikasi verbal,

dan
ling

sehin menyebabkan klien merasa diisolasi, tidak utuh, tidak berdaya. Jika
gga
idak
dapat berinteraksi dengan orang lain karena penyakit, keterbatasan fisik,
gangguan karena terapi atau alasan emosi, maka perawat harus mendorong
pasien untuk meningkatkan kemampuan komunikasinya (Potter & Perry, 2005).
Hal ini karena peran seorang perawat sebagai bagian dari tim pelayanan
kesehatan, diharapkan mampu memberikan asuhan keperawatan kepada pasien
stroke secara komprehensif dan terorganisir sejak fase hiperakut hingga fase

pemulihan agar dapat mempengaruhi outcome pasien paska stroke (Rasyid &
Soertidewi, 2007).

Henderson mendefinisikan keperawatan sebagai upaya membantu individu


untuk mendapatkan kebebasan dalam beraktivitas dan berkontribusi dalam
mencapai aktivitas yang mandiri. Salah satu kebutuhan dasar manusia menurut
Hend erson (dalam Tomey & Aligood, 2006) adalah berkomunikasi dengan
orang

lain

untuk mengekspresikan

emosi,

kebutuhan

rasa takut dan

mengemukakan pendapat.
Salah satu upaya untuk meningkatkan kemampuan komunikasi pada pasien
adalah dengan meningkatkan keterampilan berkomunikasi. Keteramp
afasi
mendengar dan juga berbicara ditekankan pada program rehabilitasi. Pasien d a
dibantu dengan menyediakan papan komunikasi. Papan komunikasi ini bilan
gambar, kata kata, huruf atau simbol aktivitas kegiatan harian pasienapat
se dengan kegiatan yang diminta atau diungkapkan. Yang perlu diingaterisi
adalah ba papan komunikasi ini sebagai media komunikasi untuksuai
mengantisipasi keing pasien dan mencegah pasien frustasi. Pasien harushwa
dianjurkan u mengungkapkan kebutuhan pribadi dan menggunakan papaninan
tulis bila t mampu mengekspresikan kebutuhan.(Smeltzer & Bare, 2002;ntuk
Mulyatsih Ahmad, 2008; Potter & Perry, 2005).

idak
&

2.3.2 Pengkajian Kemampuan Fungsional Komunikasi


Kemampuan fungsional komunikasi dapat dinilai dengan Derby
Functi
Communication Scale. Instrumen ini dikembangkan oleh Derby et al, pada
onal
ta
hun
1997 untuk pengkajian observasi fungsional komunikasi pada pasien
gan
den gangguan komunikasi didapat selama di rumah sakit dan unit
tasi.
rehabili Instrumen ini dapat digunakan oleh non speech and language
ugas
dan pet kesehatan. DFCS menunjukkan hubungan yang signifikan dengan
uran
urgh
Functional Communication Profile (EFCP). DFCS terdiri dari tiga skala
yaitu Ekspresi (E), Pemahaman (U) dan Interaksi (I). Setiap skala terdiri dari 8
pertanyaan dengan rentang terendah 0 dan tertinggi 8. Nilai 0 berarti pasien tidak
mampu mengekspresikan kebutuhan, tidak ada pemahaman atau tidak ada
interaksi pada skala E, U dan I dan nilai 8 = tidak menunjukkan gangguan pada
skala E, U dan I. Kesimpulan yang diperoleh semakin tinggi nilai yang
diperoleh,

maka akan menunjukkan kemampuan fungsional komunikasi yang lebih baik


pada skala E, U dan I. Skor dari ketiga penilaian ekspresi, pemahaman dan
interaksi adalah 0 24.

2.4 Augmentative
(AAC)

&

Alternative

Communication

2.4.1 Konsep Dasar


Menurut Mustonen et al (1991, dalam Johnson, Hough, King Vos Paul & effs,
J
uan
2008), AAC merupakan perangkat pendukung atau pengganti
kan
kemamp komunikasi verbal seseorang. Menurut Garret (2003) intervensi
kasi.
AAC merupa multimodal secara alami, seperti isyarat, tanda dan bantuan
AC
strategi komuni Menurut Poslawsky, Schuurmans, Lindeman &
kat,
Hafsteindottir (2010) A merupakan komunikasi non verbal, seperti isyarat,
ebut
atau menggunakan perang seperti papan alfabet, menu menu bergambar.
kasi
Dari ketiga pernyataan ters dapat disimpulkan bahwa AAC merupakan
alat bantu pengganti komuni verbal, seperti papan alfabet, isyarat dan menu
menu bergambar.
ram
08),
AAC merupakan salah satu media latihan wicara yang efektif sebagai

oleh

prog rehabilitasi pada pasien stroke dengan afasia. Menurut

kasi
Schlosser (20 intervensi AAC mampu memfasilitasi produksi suara. Hal
AAC
ini didukung sistematik review Finke, Light & Kitko (2008), tentang
ntuk
efektivitas komuni perawat pada pasien dengan masalah komunikasi
kan
pada pengunaan menunjukkan bahwa strategi ini dapat membantu
ang
perawat dan pasien u berkomunikasi dengan lebih baik satu sama lain,
mengalami keterbatasan, sehingga banyak pasien yang tidak mampu untuk
berpartisipasi secara verbal dalam interaksi komunikasi pada saat latihan wicara
(Beukelman et al., 2007).

2.4.2 Tujuan AAC


Tujuan utama penggunaan AAC adalah agar pasien dapat terlibat secara efektif
dalam interaksi dengan keluarga, teman, perawat dan petugas kesehatan lainnya
untuk mengatasi gangguan berkomunikasi (Beukelman et al, 2007 dalam Finke,
Light & Kitko (2008).
2.4.3 Kelompok pengguna AAC
AAC digunakan sebagai pendukung dan pelengkap

pada pasien

den keterbatasan komunikasi verbal. Beberapa kondisi seperti

gan
lsy,

cerebral pa gangguan intelektual, autisme, dyspraxia, afasia, stroke batangopic


otak, amyotr lateral sclerosis, penyakit parkinsosn, multiple skelerosis,

atic

dimensia, traum brain injury memerlukan AAC (Wikipedia, 2011).

elah

Berbagai hasil penelitian t sukses menggunakan AAC sebagai alat bantu

bal,

dalam berkomunikasi non ver ketika komunikasi verbal bukan merupakansien


suatu pilihan. Karakteristik pa afasia yang memiliki keterbatasan kognitif, gga
motivasi dan situasi sosial, sehin AAC memberikan keuntungan pada

kasi

kemampuan bahasa dan kekuatan komuni (Van de Standt Koenderman, gan


2004 dalam Clarkson, 2010). Pasien den gangguan komunikasi berat dan nya
kebutuhan komunikasi yang komplek, umum memerlukan perangkat AACkasi
dan strategi untuk memfasilitasi komuni (Beukelman & Mirenda, 2005juga
dalam Finke, Light & Kitko, 2008). AAC efektif diberikan pada pasien

lam

dengan afasia berat (Diener & Rosario, 2004, da Poslawsky, Schuurmans,


Lindeman & Hafsteindottir, 2010).
tion
2.4.4 Klasifikasi AAC dan Keterkaitan dengan NIC (Nursing
Interven
AAC diklasifikasikan menjadi tanpa menggunakan perangkat/ unaided atau
menggunakan perangkat/aided (Leonard La Ponte, 2005 dalam Wikipedia,
2011). Metode komunikasi tanpa menggunakan perangkat fokusnya pada
penggunaan tubuh (users body) untuk menyampaikan pesan yang komunikatif.
Strategi ini meliputi komunikasi melalui vokalisasi, tangan, wajah dan/kaki dan
tanda manual (bahasa isyarat Amerika, pantomim, isyarat, ekspresi wajah,
pantomim, sistem

kedipan mata dan kepala yang dianggukkan (Finke, Light & Kitko, 2008;
Wikipedia, 2011). Sedangkan metode komunikasi yang menggunakan perangkat
mencakup penggunaan kertas dan pensil, gambar, papan alfabet, buku
komunikasi sampai menggunakan komputer laptop dengan sintesis wicara.
Sistem komunikasi yang menggunakan alat diklasifikasikan menjadi
AAC teknologi sederhana/low technology yaitu tanpa menggunakan elektronik
mulai oleh
dari kartu bergambar, buku komunikasi dengan kata kata yang ditampilkan
gambar dan simbol yang dapat ditunjukkan oleh pasien, papan komunikasi ang
y sederhana, papan alfabet, alat tulis, majalah/surat kabar. .
Sedangkan AAC yang berteknologi tinggi/high technology menggunakan
sis komputer/elektronik

dengan

kemampuan

multimedia.

tem

Teknologinggi

ti mengandung mikrokomputer yang dapat menyimpan dan memperoleh bali


kem informasi pesan/hasil wicara serta dapat dicetak. Software komputer apat
ini d menampilkan kata atau gambar, mengucapkan kata dengan

ikan

menamp kecepatan bicara, mencatat bicara pasien dan mengulang

ang

kembali apa y diucapkan pasien, sehingga cocok pada kondisi hemiplegi AC


atau paraplegi. A dapat meningkatkan kemampuan komunikasi pasien

008;

(Finke, Light & Kitko, 2

er et

La Ponte, 2005 dalam Wikipedia, 2011). Hal ini didukung oleh penelitian

asa.

Salt al (2005), terapi komputer dapat meningkatkan kemampuan wicara ada


bah Hasil penelitian oleh Pederson et al (2001), dengan melakukan

kan

percobaan p tiga pasien dengan anomia, seperti afasia ringan, gangguan atan
dalam menemu kata setelah menggunakan terapi komputer, ditemukan
terjadi peningk kemampuan bahasa.
Sedangkan menurut NIC, intervensi keperawatan pada pasien gangguan
komunikasi verbal bertujuan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi pada
pasien afasia. Menurut Dochterman & Bulecheck (2004) peningkatan
komunikasi merupakan bantuan dalam menerima dan mempelajari metode
alternatif pada pasien dengan masalah komunikasi.

Beberapa alat bantu komunikasi yang dapat diberikan pada pasien afasia
menurut NIC dalam (Ackley & Ladwig, 2011; Ackley & Swan, 2008;
Dochterman & Bulecheck, 2004; Smeltzer, Bare, Hinkle & Cheever, 2010),
adalah penggunaan papan alfabet, papan gambar atau flash card yang berisi
gambar, isyarat/gerak tangan, stimulus visual, objek, alat tulis, menggunakan
kata kata yang sederhana, bahan bahan yang berisi tulisan yang dapat
ditunjuk oleh pasien.
Bila dilihat intervensi keperawatan di atas, intervensi tersebut merupakan bagian
dari AAC. Hanya pada AAC, alat bantu komunikasinya mempunyai

yak

ban variasi dibandingkan dengan jenis AAC yang terdapat dalam NIC,erti
sep pantomim, tanda bahasa, komputer dengan kemampuan multimedia.

kan

Berdasar klasifikasi AAC, intervensi keperawatan tersebut merupakan

low

jenis AAC technology yang dapat menggunakan alat /tanpa alat. Menurut et al
Fried Oken (1991 dalam Finke, Light & Kitko, 2008), metode

npa

komunikasi ta menggunakan perangkat dan menggunakan perangkat

pan

sederhana (gambar, pa alfabet, kertas dan pensil merupakan AAC yang

mah

paling sering digunakan diru sakit pada pasien dengan masalah komunikasi. kan
Hal ini mungkin dapat disebab karena penggunaan AAC yang sederhana dan
lebih familiar, mudah diakses dilakukan untuk memfasilitasi/mendukung
komunikasi pada pasien.
apat
Penggunaan komputer yang merupakan AAC modern (high technology) ds &
diberikan pada pasien afasia sebagai alat bantu komunikasi afasia (Ignatavickan
iu Workman, 2010). Tetapi penggunaan komputer ini perlu mempertimbangruh
kemampuan pasien dan perawat. Hal ini dapat disebabkan karena tidak seluapat
pasien stroke familiar dengan menu menu yang ada dikomputer sehingga uter.
d
Kemampuan dan kondisi pasien merupakan komponen utama efektifnya
dilakukan latihan wicara (Greener & Grant dalam Powlasky, Schuurmans,
Lindeman & Hafsteinsdottir, 2010).
Pada umumnya berbagai terapi modalitas pada gangguan komunikasi ini dapat
menggabungkan
tidak

metode

komunikasi

yang

menggunakan

alat

atau

menggunakan perangkat (Leonard La Ponte, 2005 dalam Wikipedia, 2011).


Metode akses spesifik

yang dipilih

tergantung pada kemampuan

dan

keahlian pengguna (Wikipedia, 2011). Selain itu penggunaan AAC juga perlu
mempertimbangkan faktor faktor, seperti kemampuan pemahaman pasien,
karakteristik yang berhubungan

dengan

aspek sosial,

kekuatan

dan

kelemahan pembelajaran dan kemampuan intelektual.

Gambar 2.3 Low Technology dan High


Technology
(Sumber : www. wikipedia.org/wiki, 2011)
2.4.5 Durasi dan intensitas latihan wicara

sitas

Berbagai hasil penelitian bervariasi menjelaskan tentang durasi dan


inten latihan berkomunikasi, yaitu :

edia

a. Bakheit et al (2007) membandingkan 2 kelompok yang menggunakan


gambar sebagai latihan wicara (orientasi tugas menyeleksi gambar, penamaan
objek, menjelaskan dan mengenalkan hubungan antara kedua item) dengan
durasi yang berbeda (kelompok intensif = 5 jam dan kelompok standar = 2
jam)

yang

dimulai

sedini

mungkin

selama

12

minggu,

menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap kemampuan berbahasa


pada kelompok standar dengan waktu 2 jam (p = 0.002 dibandingkan
dengan kelompok intensif dengan waktu 5 jam (p > 0.05).

b. Rappaport et al (1999 dalam Powlasky, Schuurmans, Lindeman &


Hafsteindottir, 2010) melakukan penelitian dengan menggunakan media
gambar sebagai latihaan wicara yang diberikan setiap hari selama 5
tahun dengan lama latihan 3 jam/minggu, sebagian menunjukkan kemampuan
berbahasa, sedangkan sebagian lagi menunjukkan sedikit atau tidak ada
perbaikan.
c. Bhogal, Teasell, Foley & Speechley (2003) yang menggunakan
induced therapi ( menggunakan kartu berisi gambar) sebagai latihan

con

wic membandingkan kelompok yang menerima terapi 3 jam selama 10 str


hari kelompok standar yang menerima 1 jam selama 4 minggu,

aint

menunjuk perbedaan signifikan pada kelompok terapi yang menerima 3 ara,


jam selam hari dibandingan dengan kelompok standar yang menerima dan
1 jam selam minggu menunjukkan kemampuan penamaan dan

kan
a 10

pemahaman bahasa y dinilai dengan tes wicara (Token Test).

a 4
Dari beberapa hasil penelitian tersebut, menunjukkan variasi tentang intenang
dan durasi dalam latihan wicara, tetapi yang terpenting latihan harus
dim sedini mungkin setelah fase akut dan pasien stabil. Latihan secara
intensif d meningkatkan neural plasticity, reorganisasi peta kortikal dansitas
meningka fungsi motorik. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan ulai
oleh Xerry, (1998), setelah melakukan percobaan pada binatang dengan

apat

lesi otak fokal dengan memberikan latihan perilaku secara intensif

tkan

(Bakheit et al., 20

et al

Penelitian

itu

didukung oleh

hasil penelitian

akut
Robey (1998) dengan

melaku metanalisis pada 55 artikel tentang terapi afasia, bahwa terapi dapat07).
meningka hasil positif kira kira 1.83 kali pada individu yang menerimakan
tkan
ada

Penelitian tentang penyembuhan spontan kemampuan bicara menunjukkan


pemulihan tercepat selama 2 atau 3 bulan dan puncaknya terjadi setelah 1 tahun
(Bathier, 2005). Didukung oleh penelitian Laska (2007) bahwa penyembuhan
bicara tercepat terjadi dalam bulan pertama setelah paska stroke. Menurut Darley
(1977 dalam
memberikan

Kusumoputro,

1992),

bahwa

terapi yang

intensif

akan

suatu manfaat pemulihan nyata pada pasien apabila diberikan pada waktu terjadi
pemulihan spontan dan hasil maksimal akan didapatkan apabila terapi
dimulai awal dan berlanjut untuk periode beberapa bulan.
2.4.6 Hasil/outcome AAC
Hasil yang dicapai pada pemberian AAC adalah kualitas hidup. Hal ini
dapat terjadi karena pasien yang menggunakan AAC pada umumnya memiliki
dalam hubungan dengan keluarga, teman dan aktivitas hidup yang kepuasan kan.
menyenang Masalah yang berhubungan dengan ketidakpuasan adalah dan
pelayanan dukungan AAC yang menyebabkan hambatan dalam

mm

penggunaan AAC (Ha

et al

& Mirenda, 2000, dalam Wikipedia, 2011). Didukung oleh penelitian Johstonuan
tkan

(2004 dalam Clarkson, 2010), bahwa AAC dapat meningkatkan


kemamp komunikasi pasien, memperbaiki kehidupan seseorang dengan
meningka kemandirian dan perkembangan hubungan sosial.
2.4.7 Prosedur Pemberian Latihan Komunikasi dengan AAC

Vos

Menurut Bourgeois, Dijkstra, Burgio & Burge (2001); Johnson, Hough,


King,

asi,

& Jeffs (2008); Costello, Patak & Pritchard (2010) yang telah
dimodifik prosedur pemberian AAC adalah :

dap

a. Pra Kegiatan
1.

2.

ngsi
Sebelum memulai pelaksanaan perawat harus melakukan pengkajian
sien
terha tanda tanda vital, kesadaran pasien komposmentis dan stabil, fu
apat
pendengaran, fungsi penglihatan/visual, status emosi pasien, apakah
oses
pa buta huruf atau tidak untuk memberikan alat bantu komunikasi.
Pasien d menggunakan alat bantu dengar, gigi palsu dan kaca mata
Pastikan lingkungan sekitar pasien kondusif, seperti menghindari

kebisingan dengan membawa pasien ke ruangan khusus, untuk memudahkan


pasien berkonsentrasi dalam pelaksanaan kegiatan.
3. Perawat

dapat

melibatkan

mengobservasi pelaksanaan dan


pasien afasia.

keluarga

untuk

mendampingi

pasien,

membantu dalam berkomunikasi dengan

4.

Sebelum

memulai kegiatan, perawat dapat melakukan

pengkajian

terhadap kemampuan wicara bahasa, seperti kemampuan ekspresi verbal,


membaca,

pemahaman,

menulis

menggunakan

format

FAST.

Dari

pemeriksaan FAST dapat diketahui apakah pasien termasuk afasia motorik,


sensorik atau afasia global.
5. Dalam berkomunikasi, perawat tetap memperhatikan pedoman dalam
berkomunikasi dengan pasien afasia.
6. Pasien dapat diberikan berbagai alat bantu komunikasi, tergantung

dan

kondisi kemampuan pasien.


b. Pelaksanaan
Pelaksanaan pemberian AAC pada pasien afasia motorik adalah :
1. Perawat duduk berhadapan dengan pasien/di samping tempat

dan

tidur pertahankan kontak mata.


2. Perawat memperkenalkan diri dan menjelaskan kepada pasien dan
kelu

arga
dan

maksud dan tujuan dilakukan latihan komunikasi dengan suara yang


jelas dapat dipahami oleh pasien.
3. Hindarkan

berbicara

dengan

saat
suara

yang

keras/berteriak

pada

ebih

berkomunikasi dengan pasien karena dapat membuat pasien merasa


l frustasi dengan keterbatasannya.

ang

4. Perawat dapat mulai berkomunikasi dengan memberikan AAC sederhana


y menggunakan bantuan dan tanpa bantuan, seperti :
a) Papan komunikasi/buku komunikasi

pan
Berikan papan komunikasi yang berisi gambar dan tulisan. Pa
ang
komunikasi yang berisi gambar dapat menjadi pilihan bagi pasien y
ang
tidak dapat membaca (buta huruf). Posisikan papan komunikasi
nyaman bagi pasien dan dapat dibaca. Tampilan papan komunikasi berisi
simbol

simbol/gambar

dapat berhubungan dengan nyeri/rasa

nyaman, emosi, posisi, kebutuhan aktivitas rutin sehari hari yang


familiar dengan pasien, seperti mandi, makan dan minum, BAB/BAK
dan istirahat. Ajarkan pasien bagaimana menggunakan alat komunikasi
tersebut. Pasien dan keluarga dapat diperkenalkan penggunaan papan
komunikasi yang

berisi tampilan gambar. Ajarkan setiap simbol/ gambar yang ada


pada papan komunikasi. Bantu pasien untuk menunjukkan setiap
bagian, misalnya bila pasien sedang marah/sedih, pasien dapat
menunjukkan bagian gambar emosi sedih/marah, bagian tubuh yang
menunjukkan pasien merasa tidak nyaman. Berikan waktu pada
pasien untuk memahami informasi yang diberikan. Jika pasien tidak
mampu mengidentifikasi simbol simbol gambar tersebut, ganti simbol
familiar, jelaskan hubungan antara simbol
gambar
dengan
menjadi
artinya
yang
dalam
lebih ntuk
be kalimat dan instruksikan pasien untuk mengulangnya dalam

mbol

bentuk si lain. Misalnya simbol piring + sendok yang

ngin

mengidentifikasi saya i makan. Bila pasien tidak dapat

antu

mengidentifikasi, perawat dapat memb dengan menunjukkan

mbar

gambar, kemudian perawat menanyakan ga apakah ini?


Tunjukkan buku komunikasi yang berisi gambar secara berulang ulang
dan anjurkan pasien untuk mengucapkan kata- kata dalam suara eras
k sehingga dapat melatih diotot otot wicara dan vokalisasi.

lien

Minta k untuk menyebutkan nama nama benda yang ditunjukkan

dan

oleh pasien jelaskan nama objek tersebut. Bila pasien tidak mampu kata
menyebutkan tersebut, bantu pasien menyebutkan suku pertama atau
kata tersebut dengan menggunakan kalimat penuntun. Misalnya : apat
pensil. Kita d membantu dengan suku kata pen atau dengan

ulis

kalimat : kita men dengan. Instruksikan pasien untuk mengulangJika


kata kata tersebut. memungkinkan gunakan ekspresi wajah,

uara

gerakan tubuh dan irama s sehingga pasien dapat memahami


pembicaraan.
Papan alfabet dapat digunakan pada pasien yang tidak buta huruf. Akses
ini dapat memungkinkan pasien untuk mengatakan apa yang mereka
inginkan. Lakukan pengkajian abjad ABC dan vokal yang diucapkan
sebelum menggunakan papan alfabet. Minta pasien untuk mengeja abjad
ABC dan bantu pasien untuk mengulang kembali mengeja abjad
tersebut dengan suara yang keras.

c) Alat tulis
Pasien dapat diinformasikan dan dibantu untuk menggunakan pulpen dan
kertas untuk menyatakan keinginannya. Minta pasien untuk menulis setiap
keinginannya dikertas, seperti mau makan, minum, kemudian katakan
pada pasien untuk membaca tulisan yang ditulisnya dan perintahkan pada
pasien untuk mengulang kembali apa yang dibacanya. Minta juga
pasien untuk
d) mengeja
Strategi berkomunikasi
pasien bercakap ca
kata atau dengan
bagian mengajak
yang
ditulisnya.
misalnya acara televisi, apa yang dimakan pasien pada sarapan pagi,
kap,
ba di koran, dll. Upaya pendekatan ini adalah mengembangkan
caan
kemamp komunikasi.
uan
e) Mendengarkan musik/lagu lagu. Dengarkan sebuah lagu yang
disen pasien, kemudian pasien diajarkan untuk mengambil lagu
lagu terse kemudian diajarkan menyanyikan kalimat kalimat
pada melodi pasien diminta meniru menyanyi.

angi
ut,

dan
f) Foto foto keluarga. Menunjukkan foto foto anggota keluarga pas

5.

kemudian pasien diminta menunjukkan dan menyebutkan nama


ien,
ang keluarganya, meminta mengulanginya kembali.
gota
Berikan pujian atas setiap keberhasilan yang dilakukan, bila pasien

be menunjukkan kemajuan, berikan motivasi kepada pasien dan keluarga


lum
u tetap melanjutkan latihan.
ntuk
6. Gunakan perangkat lain, seperti rekaman recorder untuk menilai kema
wicara bahasa/komunikasi pasien. Perawat dapat memutar kembali
juan
h rekaman tentang perkembangan wicara-bahasa dan tunjukkan kepada
asil
pasie Catat setiap simbol simbol yang diucapkan untuk menilai
n.
kemajuan pa
sien
7.

Jika terlihat pasien merasa tidak mood atau mengalami kelelahan,


latihan dapat dihentikan sementara dan perawat dapat kontrak waktu kembali
kepada pasien dan keluarga untuk melanjutkan latihan.

2.5 Depresi pada Pasien Stroke dengan


Afasia
2.5.1 Konsep Dasar
Afasia dan depresi merupakan dua gejala sequalae yang terjadi pada
stroke (Dahlin et al, 2008). Menurut Kneebone & Dunmore (2000); Thomas &
Lincoln (2006) diperkirakan prevalensi depresi paska stroke berkisar sekitar
25-79%. Pasien afasia tidak mampu mengungkapkan apa yang mereka
inginkan,
tidak atau
mampu berbicara melalui telepon, tidak mampu menjawab
pertanyaan,
berpartisipasi dalam percakapan, sehingga membuat pasien menjadi

tasi,

frus marah, kehilangan harga diri dan emosi pasien menjadi labil. Keadaan ada
ini p akhirnya menyebabkan pasien menjadi depresi (Mulyatsih &

010;

Ahmad, 2
Smeltzer, Bare, Hinkle & Cheever, 2010).
asil
Meskipun penyebab pasti DPS belum diketahui, tetapi berdasarkan DPS
h penelitian yang dilakukan oleh Ross, et al (2010), bahwa faktor risiko

dan

terjadi pada pasien afasia adalah 1) faktor biologi, frekuensi serangan itian
stroke keparahan gangguan berbahasa 2) faktor psikososial, seperti

kan

kesepian. Penel lain yang dilakukan oleh Schub & Caple (2010), bahwa

nya

DPS dapat disebab oleh meningkatnya derajat afasia, meningkatnya

keparahan stroke, menurun intelektual, riwayat pribadi atau keluarga dengan


depresi atau tingga l sendirian

(c)
saan

DPS dapat diklasifikasikan dalam 3 bentuk, yaitu: (a) ringan, (b) sedang

ong

dan berat.

tuh,

Depresi

berat

dapat

menyebabkan

gangguan

berupa

pera ketidakberdayaan yang berkepanjangan dan berlebih-lebihan sehingga gan


orang lain terhadap cacat dirinya dapat menyebabkan pasien stroke membatasi
diri untuk tidak keluar dari lingkungannya. Keadaan ini selanjutnya dapat
mendorong penderita kedalam gejala depresi yang berdampak pada motivasi dan
rasa percaya dirinya (Hill, Payne, & Ward, 2000).

2.5.2
Stroke

Prevalensi Depresi Paska

Gangguan mood dan ciri depresi biasa ditemukan, tapi seringkali tidak
mudah dikenali pada pasien paska stroke. Penelitian yang dilakukan Robinson
pada tahun
1997 melaporkan bahwa prevalensi DPS sangat bervariasi 20% 65%. (Suwantara, 2004). Sebagian besar sekitar 40% pasien akan mengalami
depresi dalam 1 2 bulan pertama setelah stroke dan sekitar 10% - 20%
pasien baru mengalami depresi beberapa waktu antara 2 bulan sampai dengan 2
tahun setelah
stroke (Suwantara, 2004). Berbeda dengan penelitian yang dilakukan
ole Sitet al
(2007) terhadap 95 pasien stroke menemukan kejadian depresi pada 48jam
setelah masuk rumah sakit sebesar 69% dan 6 bulan setelahnya sebesar8%.
4

aka,

Sementara menurut Meifi & Agus (2009), dalam sejumlah besar

53%

pust prevalensi DPS dapat terjadi sekitar 6 22% pada 2 minggu pertama,
22 setelah 3 4 bulan, 16- 47% pada tahun pertama.
obal
Frekuensi depresi lebih tinggi pada pasien afasia motorik daripada afasia

r et

gl (71%:44%) (Amir, 2005). Pendapat ini sejalan dengan hasil penelitian ebih
Signe al, (1989 dalam Amir, 2005) bahwa depresi pada pasien afasia

asia

motorik l tinggi daripada global (63%:16%). Tingginya frekuensi depresi

atan

pada pasien af motorik


akan

disebabkan

oleh

tingginya

kesadaran

merekajuga

kecac

fisit

/ketidakmampuan pasien. Selain itu, lesi yang menimbulkan afasia motoriklaku


menimbulkan depresi. Menegakkan diagnosis depresi pada pasien dengan atau
de pemahaman yang berat agak sulit. Diagnosis dapat dibuat berdasarkan aitu
peri yang dapat diobservasi seperti kurang tidur, menolak makan, gelisah,
agitasi, retardasi dan adanya pemeriksaan Dexamethason Serum Test (DST)
2.5.3
Depresi

Etiologi

Menurut Amir (2005); Andri & Susanto (2008); Meifi & Agus (2009),
penyebab pasti DPS

belum

diketahui pasti, namun

teori yang menjelaskan faktor penyebab DPS, yaitu :

terdapat

beberapa

a. Faktor biologi
Walaupun penyebab depresi paska stroke tidak diketahui, namun
beberapa penelitian mengatakan lokasi jejas otak memegang peranan otak.
Beberapa peneliti menyokong teori hubungan lateralisasi dengan DPS, tetapi
berdasarkan review yang dilakukan oleh Singh (1998) dan hasil
metaanalisis oleh Carson (2000), tidak menemukan bukti yang konsisten
antara lesi dengan terjadinya depresi (Caeiro, Ferro, Santos & Luisa, 2006).
Gejala
DPS
sebagai akibat lesi pada susunan saraf pusat
otak
dandapat
bisa ditimbulkan
juga akibat dari
gangguan penyesuaian karena ketidakmampuan fisik dan kognitif paska oke
str (Hawari, 2006; Storor & Byrne, 2006).
Depresi timbul sebagai akibat lesi pada daerah otak yang
menyebab terjadinya penurunan sintesis monoamin sehingga terjadi

kan
onin

penurunan serot yang merupakan neurotransmitter untuk mempertahankanetap


keadaan emosi t stabil. Penurunan serotonin menyebabkan gangguan

dan

suasana hati, tidur nafsu makan (Schub & Caple, 2010). Gangguan

ikan

suasana hati dimanifestas dengan marah, frustasi, putus asa dan sering

tian

menyebabkan depresi. Peneli melaporkan sebuah hasil yang signifikan otak


tergantung pada lokasi lesi dengan kejadian depresi paska stroke dilesiebut
hemisfer kiri. Penelitian ters juga menunjukkan adanya tingkat

atas

keparahan depresi dengan jauhnya b anterior lobus frontalis walaupun kiri


demikian tidak semua lesi pada hemisfer menyebabkan depresi paska

disi

stroke (Andri & Susanto, 2008). Pada kon depresi dapat terjadi

dan

disregulasi biogenik-amin, seperti serotonin norepinephrin dan

mik-

disregulasi neuroendokrin seperti aksis hipotala pituitary-adrenal.


c. Faktor Psikososial
Faktor psikososial yang terdapat pada pasien akibat dampak serangan stroke
memiliki hubungan dengan terjadinya DPS. Stroke dapat berdampak pada
berbagai fungsi tubuh, seperti gangguan motorik, sensorik, bicara dan bahasa,
penglihatan, afek dan gangguan kognitif (Suwantara, 2004). Kondisi ini
dianggap disability bagi pasien, sehingga menimbulkan perasaan tidak
berguna,

tidak ada gairah

hidup dan

keputusasaan. Keadaan

ini selanjutnya

akhirnya dapat mendorong penderita kedalam gejala depresi yang berdampak


pada motivasi dan rasa percaya diri pasien. Pada pasien afasia mengalami
depresi akibat ketidakmampuan bercakap cakap dengan orang lain. Klien
juga tidak dapat berbicara melalui telepon, menjawab pertanyaan atau
terlibat melalui percakapan, sehingga menyebabkan klien marah, frustasi,
takut tentang masa depan dan perasaan hilangnya harapan (Smeltzer & Bare,
2002).
2.5.4 Faktor faktor yang Berhubungan dengan Depresi
Secara umum, faktor faktor yang berhubungan dengan depresi paska
st adalah :

roke

a. Lokasi lesi di otak.


Meskipun penyebab pasti DPS belum diketahui, sejumlah peneliti
menyata bahwa lokasi lesi di otak memegang peranan penting. Dalamkan
dua dek terakhir ini, para peneliti mencoba menemukan korelasi

ade

antara lokasi anatomis dan depresi paska stroke.

lesi

Beberapa lesi pada otak yang dianggap dapat menyebabkan DPS adalah:
1. Lesi Korteks dan Subkorteks
Penelitian yang dilakukan terhadap DPS didapatkan sekitar 44%
pa dengan lesi di korteks kiri mengalami depresi, sedangkan lesi disien
subkor kiri 39%. Depresi pada lesi korteks kanan 11% dan subkorteksteks
kanan 1

4%.

Tidak terdapat perbedaan yang bermakna mengenai kejadian depresitara


an lesi korteks dan sub korteks. Perbedaan yang signifikan yaitu lesi
terdapat di hemisfer kiri dengan lesi hemisfer kanan, prevalensinggi
DPS lebih ti pada lesi di hemisfer kiri. Bila dilihat lebih jauh, pasienteks
frontal kiri anterior mengalami depresi lebih sering bila dibandingkan
dengan lesi di korteks kiri posterior. Lesi pada korteks frontal dorsal
lateral dan lesi basal ganglia kiri menimbulkan depresi mayor lebih berat
(Amir,2005)
2.
Lesi sirkulasi serebri media dan
posterior
Suatu penelitian yang dilakukan terhadap 37 pasien dengan lesi
sirkulasi serebri posterior dibandingkan dengan 42 pasien dengan
lesi sirkulasi

serebri media. Mekanisme depresi akibat lesi di arteri serebri media


berbeda dengan lesi di batang otak atau serebellum. Hal ini disebabkan
karena lesi batang otak biasanya ukurannya dan tidak begitu merusak jaras
biogenik amin. Jaras biogenik amin berperan penting dalam memodulasi
emosi (Amir, 2005).
3. Lesi hemisfer kiri
Suatu penelitian yang dilakukan terhadap 54 pasien stroke
bahwa 66% dengan depresi mayor, 63% dengan depresi minor

mel

mempu lobus parietalis. Lesi pada massa putih (white matter)apor


di par menyebabkan terjadinya depresi lebih tinggi dibandingkan kan
tempat (Amir, 2005).

nyai

ietal
Meskipun demikian terdapat pendapat beberapa ahli yang menen
lain
adanya korelasi dan tingkat depresi pada pasien stroke. Pendapat ters
dingkapkan oleh Berg, dkk (dalam Suwantara, 2004) yang
menyata bahwa pasien lesi hemisfer kiri yang memperlihatkan tang
gejala dep jumlahnya tidak bermakna lebih besar dibandingkan

ebut

dengan pasien lain DPS tidak dipengaruhi oleh lokasi dari lesi.

kan

Berdasarkan hal ini Berg, menganjurkan supaya berhati hati dalam

resi

melihat hubungan tersebut.

nya.

b. Afasia

dkk

Afasia adalah gangguan kemampuan berbahasa yang didapat


dim sebelumnya pasien normal. Afasia merupakan salah satu akibat
stroke y sering terjadi, dialami sekitar 1/3 pasien pada fase akut.

ana

Meskipun secara j gangguan kemampuan berkomunikasi sangat

ang

berperan terhadap berat berkepanjangannya depresi, evaluasi psikiatrik elas


terhadap dampak afasia p

dan
ada
asia

sering mengalami kriteria eklusi (Meifi & Agus, 2009).

c. Umur
Menurut Amir (2005), depresi lebih sering terjadi pada usia muda dengan
umur rata rata awitan antara 20 40 tahun. Walaupun demikian, depresi
juga dapat terjadi pada anak anak dan lanjut usia. Sedangkan menurut

Glemcevski et al

(2002) menyatakan bahwa usia lanjut sebagai faktor risiko terjadinya depresi.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitiannya terhadap 80 pasien stroke dengan
umur rata rata 58 (SD 12.5) tahun. Depresi paska stroke di usia lanjut
mungkin

memiliki

hubungan

biologi

dasar

dengan

berkurangnya

neurotransmitter yang berkaitan dengan mood dan emosi. Peneliti lain, Farrel
(2004) menyatakan bahwa depresi cenderung lebih kronis di pasien yang
lebih

tua

dibandingkan

dengan

orang

dewasa

muda.

Sedangkan

berdasarkan
penelitian depresi
hasil paska stroke oleh Darussalam di rumah sakit Blitar
(20 faktor faktor seperti usia dan tingkat pendidikan bukan

11),

merupakan fa yang berpengaruh secara signifikan terhadap depresi

ktor

paska stroke. H penelitian oleh Ardi (2011) menjelaskan bahwa usia,

asil

jenis kelamin dan tin pendidikan tidak berpengaruh secara signifikan

gkat

terhadap keputusaan. Men Teori Depresi Beck (1967 dalam Dunn, 2005), urut
keputusasaan merupakan ge dari depresi.

jala

d. Jenis Kelamin
Jenis kelamin (gender) juga memegang peranan penting di dalam risiko u
ntuk
terjadinya stroke. Dilaporkan laki-laki memiliki risiko stroke lebih ti
dibandingkan perempuan, tetapi oleh karena usia rata-rata perempuan nggi
l
panjang maka pada suatu tingkat usia tertentu jumlah perempuan yebih
mengalami serangan stroke lebih banyak dari laki-laki.

ang

Prevalensi selama kehidupan, pada wanita 10%-25% dan pada lakilaki

5%12%. Sekitar 15% penderita depresi melakukan usaha bunuh diri. Walau
pun
depresi lebih sering pada wanita, kejadian bunuh diri lebih sering pada
akil laki, terutama lelaki usia muda dan usia tua (Amir, 2005). Sedangkan
urut
men Storor & Byrne (2006) tidak ada hubungan yang signifikan yang
kan
diantara skor dimensi depresi dan karakteristik usia, jenis kelamin. Sedangkan
menurut penelitian Laska (2007); Thomas & Lincoln, 2008) bahwa faktor
faktor yang mempengaruhi prevalensi depresi adalah jenis kelamin, usia,
tingkat dukungan sosial, hidup sendiri dan riwayat gangguan mood. Hal ini
kemungkinan bahwa wanita lebih sering terpajan dengan stressor lingkungan
dan ambangnya terhadap stressor lebih rendah bila dibandingkan dengan
pria.

Selain itu ketidakseimbangan hormon pada wanita menambah tingginya


prevalensi depresi pada wanita, misalnya depresi premenstruasi, postpartum,
postmenopouse (Amir, 2005).
e. Frekuensi serangan stroke
Faktor bio-anatomi merupakan faktor diluar kendali kita dan merupakan
hasil dari struktur biologis termasuk stroke hemisfer kiri atau kanan, area
kortikal
atau subkortikal dan lesi sistem arteri serebral. Lesi pada hemisfer
kiri lebih
sering menyebabkan depresi daripada lesi hemisfer kanan dan lebih berat jika
lesi mendekati lobus frontal kiri. Jika lesi diotak bertambah karena mengalami
stroke berulang akan melipatgandakan jenis serta beratnya defisit (Lee, Tang,
Tsoi, Fong & Yu, 2009).
f. Kemampuan fungsional
Kerusakan kemampuan fungsional merupakan efek stroke yang palingelas
j terlihat.

Defisit

motorik,

meliputi kerusakan

mobilitas,

fungsirasi,

respi menelan dan berbicara, reflek gag dan kemampuan melakukanhari


aktivitas se

tuan

hari (Lewis, 2007). Lebih dari 30% pasien stroke membutuhkanlitas


ban dalam aktivitas sehari hari dan sekitar 15% membutuhkan bantuan10).
di fasi pelayanan

seperti

rumah

sakit

dan

(Swierzewski, 20

pusat

rehabilitasiiliki
ang

Ketidakmampuan fisik menyebabkan hilangnya peran hidup yang dimnya


pasien, sehingga dapat menyebabkan gangguan persepsi akan konsep diri06),
y bersangkutan dan dengan sendirinya mengurangi kualitas hidupgan
(Suwantara, 2004). Hal ini didukung oleh hasil penelitian Dahlin et al (20
009)
ada hubungan
yang antara
signifikan
antara
tingkat
depresi
menyatakan bahwa
ada hubungan
gangguan
fungsi
motorik
berupa
paresis dengan depresi paska stroke ( p: 0.002). Penelitian Darussalam (2011)
juga menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kemampuan fungsional
dengan depresi responden (p: 0.014). Sedangkan menurut hasil penelitian Ardi
(2011), terdapat hubungan yang signifikan antara ketidakmampuan fisik
dengan keputusasaan pada pasien stroke (p : 0.007).

g.
keluarga

Dukungan
Wills & Fegan (2001 dalam Sarafino, 2006) menyatakan bahwa

dukungan keluarga mengacu pada bantuan yang diterima individu dari


orang lain atau kelompok sekitar yang membuat penerima merasa
nyaman, dicintai dan dihargai serta dapat menimbulkan efek positif
bagi dirinya. Peningkatan dukungan keluarga yang tersedia dapat
menjadi strategi penting dalam mengurangi atau mencegah tekanan jiwa
dan menangkal
paska
(Salter, Foley & Teasell, 2010). Berdasarkan
hasil depresi
penelitian
olehstroke
Mantet al
(2000) menyatakan bahwa ada hubungan keluarga dengan peningkatan
aktivitas sosial dan kualitas hidup pasien stroke. Selain itu dukungan keluarga
dapat membantu perawat dalam perencanaan program penyembuhan stroke,
pendidikan pasien, keefektifan dan efisiensi penggunaan sumber aya
d perawatan kesehatan (Huang et al, 2010). Sedangkan berdasarkan asil
h penelitian yang dilakukan oleh Darussalam (2011), didapatkan

ada

tidak perbedaan yang signifikan (p = 0.681) rata rata dukungan

tara

keluarga an tidak depresi dengan depresi.


2.5.5 Mekanisme terjadinya depresi
Penyebab pasti belum diketahui. Ada dugaan DPS disebabkan oleh

ngsi

disfu biogenik amin. Badan sel serotoninergik dan noradrenergik terletak di otak
batang dan ia mengirim proyeksinya melalui bundel forebrain media ke

ntal.

korteks fro Lesi yang mengganggu korteks prefrontal atau ganglia basalisusak
dapat mer serabut-serabut ini. Ada dugaan DPS disebabkan oleh

dan

deplesi serotonin norepinefrin akibat lesi frontal dan ganglia basalis.

lesi

Respons biokimia terhadap iskemik bersifat lateralisasi. Lesi hemisfer kiri enik
jala

menyebabkan penurunan biog

depresi dapat muncul. Sebaliknya lesi hemisfer kanan menyebabkan peninggian


regulasi

serotonin

(karena

mekanisme

protektif terhadap depresi (Amir, 2005).

kompensasi)

yang

bersifat

2.5.6 Gejala Depresi


Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM)-IV
merupakan salah satu instrumen yang digunakan untuk menegakkan
diagnosis depresi Menurut Diagnostic and Statistik Manual of Mental
Disorders (DSM-IV), gejala depresi utama termasuk mood depresi hampir
sepanjang hari, tidak tertarik d alam beraktivitas, perubahan berat badan,
nafsu makan menurun, tingkat energi menurun, gangguan pola tidur,
fungsilekas
psikomotorik,
kesulitan ntak
berkonsentrasi, perasaan negatifgangguan
tentang dirinya,
marah, menghindari
ko mata dan berpikiran tentang kematian atau bunuh diri (Schub & Caple, ; Li,
2010
Wang, & Lin, 2003).
2.5.7 Dampak Depresi

ang

Hal yang penting bahwa depresi dapat menyebabkan kemampuan fungsional ma,
y jelek (Pohjasvaara et al, 2001 dalam Lightbody, 2007), lama rawat yang dan
la kualitas hidup yang rendah (Meifi, & Agus, 2009), penyembuhan

ang

fisik kognitif yang jelek (Moris, et al, 1992 dalam Dahlin, et al, 2007),

sien

rehabilitasi y lama dan meningkatkan kematian yang lebih tinggi (Salter, etsial
al, 2005). Pa afasia dan depresi juga akan mengalami keterbatasan

erat

dalam aktivitas so (Dahlin, et al, 2008). Selain itu, beratnya depresi

05).

paska stroke sangat hubungannya dengan tingkat gangguan aktivitas hidup kan
sehari-hari (Amir, 20

mun

Ketidakmampuan fisik bersama-sama dengan gejala depresi dapat

erta

menyebab aktivitas penderita stroke menjadi sangat terbatas pada tahun eran
pertama, na dukungan sosial dapat mengurangi dampak dari
ketidakmampuan fisik s depresi tersebut. Ketidakmampuan fisik yang

nsep
nya

(Suwantara, 2004).

2.5.8 Pengkajian Depresi


Pada umumnya diagnosis depresi didasarkan

pada observasi informal

perilaku seperti bangun awal, penolakan, menangis, makan atau terlibat dalam
kegiatan, yang dianggap mencerminkan adanya perasaan depresi. Tetapi hal ini
sulit pada

seseorang yang mengalami afasia yang tidak mampu untuk memahami atau
mengekspresikan kata atau ide, sehingga dikembangkan beberapa instrumen
untuk menilai depresi pada pasien stroke afasia.
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk meneliti depresi pada pasien
stroke dengan afasia dan masalah komunikasi dengan berbagai macam alat ukur,
seperti Sign of Depression Scale (SODS), Stroke Aphasic Depression
Questionnaire
Hospital (SADQH), Aphasic Depression Rating Scale (ADRS),
dan sual
Vi
Analog Mood Scale (VAMS) (Bennet & Lincoln, 2006).
kan
Instrumen penelitian Aphasic Depression Rating Scale (ADRS)

dan
dikembang oleh Benaim, Cailly, Perennou & Pelissier pada tahun 2004 untuk
DRS
mendeteksi mengkaji depresi berdasarkan observasi perilaku pada pasien
item
afasia. A digunakan pada pasien yang memiliki afasia karena strokedan
y &
terdiri dari 9 yang dipilih dari Hamilton Depression Rating Scale
ting
(HDRS), Montgomer Asperg Depression Rating Scale (MADRS) dan
eda
Salpetriere Ratardation Ra Scale (SRRR). Skor diberikan dengan
iliki
menambahkan setiap item yang berb pada setiap item, dengan jumlah total
sien
skor yang diperoleh 32. ADRS mem titik potong 9/32 yang dipakai untuk
akin
menentukan adanya depresi pada pa dengan afasia, dengan kesimpulan
semakin tinggi skor yang diperoleh sem menunjukkan gejala depresi.
2.6 Asuhan Keperawatan pada Pasien Stroke dengan Afasia
2.6.1 Pengkajian
Menurut Smeltzer & Bare (2008), setelah fase akut, perawat dapat

kan

melaku pengkajian pada fungsi-fungsi sebagai berikut :


a. Status mental (memori, lapang perhatian, persepsi, orientasi,
afek,
bahasa/bicara)
b. Sensasi/persepsi (biasanya pasien mengalami penurunan kesadaran
terhadap nyeri dan suhu)
c.
Kontrol motorik (gerakan ekstremitas atas dan
bawah)
d.
kemih

Fungsi kandung

Sebelum memberikan latihan wicara pada pasien, penting dalam melakukan


pengkajian dan menentukan jenis/macam gangguan wicara. Dalam proses
pengkajian

ini peran

perawat

sangatlah

penting,

walaupun

dalam

pelaksanaan terapi wicara merupakan tindakan kolaborasi, perawat tetap dituntut


dapat melakukan pengkajian yang tepat, cepat dan cermat, sehingga dapat
didentifikasi jenis gangguan wicara dengan tepat. Identifikasi yang cepat dan
tepat memungkinkan pasien untuk dilakukan latihan wicara bahasa segera
intensif
secara
oleh
multidisiplin.

tim

rehabilitasi

secara

Pengkajian keperawatan terhadap bahasa wicara dan kemampuan komuni


kasi
pada pasien stroke menurut Bronstein (1991); Hoeman (1996); Bulechek &
Mc
Closkey (1999) adalah :
a. Kaji riwayat kesehatan klien terutama yang berhubungan dengan

osisi

predisp dan presipitasi terjadinya gangguan wicara.


b.
Kaji tingkat perkembangan klien terhadap kemampuan kognitif,
uan
kemamp
berkomunikasi.
c. Evaluasi secara komprehensif fungsi dari komunikasi, seperti

asa,

bah kesadaran, pragmatis dan berbicara.


d. Kaji kemampuan berbahasa, seperti berbicara spontan, pemahaman,

aca,

memb menulis, mengulang dan menamai


1. Kemampuan mengucapkan (bicara spontan)
Untuk menilai kemampuan mengucapkan, berikan pertanyaan pada
k atau bercakap cakap dengan klien. Tanyakan tentang program
tele apa yang dimakan pasien pada sarapan pagi, apakah warna
mata k Tunjukkan benda benda yang mudah dikenal, seperti

lien
visi,
lien.
atau
aan

objek

(anomia)

ketidakmampuan

atau

ketidakmampuan

untuk memberi nama

untuk
suatu

menamakan

atau

objek tapi mampu

untuk menjelaskannya (circumlocation). Evaluasi irama bicara, berhenti


atau kalimat monoton. Anjurkan pasien untuk mengulang kata, frase dan
kemudian kalimat. Catat bila respon klien tidak tepat, lambat, adanya
kesulitan dalam menemukan kata kata. Nilai kuantitas verbal
yang

dihasilkan, penurunan produksi bicara (penurunan menjawab pertanyaan


dengan satu atau dua kata). Dengarkan adanya paraphrasia verbal
(mengganti bunyi pisau dengan sendok). Dengarkan adanya neologisme
atau membuat kalimat baru atau kata- kata tidak sesuai.
2. Kaji kemampuan pemahaman
Pemahaman suara harus dinilai dalam beberapa tingkatan.
Pertama cobalah perintah sederhana yang memerlukan respon motorik
verbal, seperti keluarkan lidahmu atau tekan jarimu, duduk, daripada
berdiri, inta
m klien untuk menunjuk sesuatu dengan tangan sesuai perintah, ntoh
co tunjuk pintu, jendela, lantai, dan lain lain. Setelah itu coba

ang

perintah y lebih komplek, seperti ambil sisir dan sisirlah

kan

rambutmu. Tanya pertanyaan Ya atau tidak, seperti apakah anda it?


berada di rumah sak dan apakah anda berada digereja? Hindarkan bila
menggunakan isyarat mungkin, karena pasien akan memberikan

bila

respon non verbal. Catat adanya pasien tidak mampu mengikuti

plek

perintah sederhana atau kom atau adanya ketidak konsistenan

suai

dalam memberikan respon se pertanyaan.


3. Kaji kemampuan membaca
Kemampuan membaca klien perlu dinilai sebelum melakukan
pemeriks pemahaman
membaca

menulis.

Perintahkan

klien

untuk

aan
artu,

k kalimat/paragraf yang pendek di koran dan kemudian ntuk

anjurkan klien u membaca kembali apa yang dibaca klien dengan


suara yang keras.
4. Kaji kemampuan menulis

kan,

Karena kemampuan menulis sama dengan kemampuan mengungkapesi),


sehingga bila pasien mengalami gangguan mengungkapkan (eksprulis
(bukan hemiplegi) anjurkan pasien untuk menulis nama dan alamatnya,
apakah pasien sudah sarapan pagi, dan lain lain. Catat kesalahan
pengejaan, tidak dapat membaca, ketidakmampuan menulis atau menulis
tidak sesuai. Contoh sederhana lain adalah dengan menganjurkan
klien untuk menulis nama- nama objek yang ada diruangan pada
selembar kertas. Minta klien untuk menulis sesuai dengan perintah.

5.

Kaji

kemampuan

mengulang

dengan

cara

meminta

pasien

mengulang, mula mula kata yang sederhana (satu patah kata), kemudian
ditingkatkan menjadi banyak (satu kalimat). Jadi kita ucapkan kata
atau angka dan kemudian pasien diminta mengulangnya.
6. Kaji kemampuan menamai dan menemukan kata dengan cara :
a) Minta pasien menyebutkan nama objek, bagian dari objek,
bagian tubuh, warna dan bila perlu gambar geometrik, simbol
nama suatu tindakan.

matematik atau

b) Bila pasien tidak mampu atau sulit menamai, ia dapat dibantu


den memberikan suku kata pertama atau dengan menggunakan gan
kal penuntun, misalnya : pisau. Kita dapat membantu dengan imat
suku pi atau dengan kalimat kita memotong daging dengan kata
.. Y penting kita nilai ialah sampainya pasien pada kata yang ang
dibutuh kemampuannya memberi nama objek.

kan,

Semua pengkajian itu akan lebih baik jika kita tambahkan dari hasil
obser pada klien dalam situasi komunikasi perawat klien sehari hari, vasi
tanpa k merasa sedang dikaji. Pengkajian ini penting dilakukan secara
mendetail u mengetahui jenis gangguan bicara yang terjadi serta

lien
ntuk

penyebab dari gangg tersebut, sehingga dapat diberikan intervensi yang uan
tepat. Selama pengka observasi kelemahan, nyeri dan frustasi (Hoeman, jian
1996). Oleh karena pa afasia tidak mampu mengungkapkan apa yang sien
mereka inginkan, sehin seringkali pasien menjadi frustasi, marah,

gga

kehilangan harga diri dan emosi pa menjadi labil. Keadaan ini pada

sien

akhirnya menyebabkan pasien menjadi dep (Mulyatsih & Ahmad, 2010). resi
Berdasarkan kondisi diatas, maka perawat p

erlu

melakukan pengkajian psikososial pada pasien afasia untuk memberikan


intervensi yang tepat.
Pengkajian terkait gangguan psikososial pasien stroke berdasarkan NOC dan
NIC (Ackley & Ladwig, 2011; Ignatavacius & Workman, 2010; Wilkinson,
2007) yaitu :

a.

Reaksi pasien terhadap penyakit, seperti perubahan gambaran diri, konsep


diri dan kemampuan melakukan ADL, identifikasi beberapa masalah yang
berhubungan dengan koping atau perubahan kepribadian

b.

Mekanisme koping meliputi pantau perilaku agresif, nilai dampak dari


situasi kehidupan pasien terhadap peran dan hubungannya dengan orang
lain, kaji kemampuan pasien dalam membuat keputusan, kaji eksplorasi
metode yang digunakan

pasien

pada

masa

sebelumnya

dalam

mengatasi
masalah
kehidupannya,
dan kaji kemungkinan terjadinya risiko menyakiti
diri.
c.

Keputusasaan meliputi kaji afek dan kemampuan membuat keputusan,

kaji
nutrisi dan berat badan, kaji kebutuhan spiritual, dan kaji keadeku
atan
hubungan dan dukungan sosial lain.

d. Isolasi sosial meliputi kaji pola interaksi antara pasien dan orang lain.
e.

Kecemasan meliputi kaji dan dokumentasikan tingkat kecemasan pasien,


kaji
dukungan yang disediakan oleh orang yang penting bagi pasien,
kan
tentu sumber ansietas.

f.

Harga diri rendah meliputi kaji pernyataan pasien tentang penghargaan

diri,

kaji rasa percaya diri pasien dalam penilaian diri, dan kaji

ensi

frekw pengungkapan diri yang negatif.


g.

Tanyakan tentang status finansial dan pekerjaan, karena

ini

aspek berhubungan dengan sisa defisit neurologis akibat stroke.


h.

Kaji emosional pasien yang labil, khususnya jika lobus frontal


ena.
terk Dalam beberapa kasus pasien tertawa dan kemudian menangis
asan
dengan al yang tidak tepat.

2.6.2 Diagnosa keperawatan


009)
mengidentifikasi diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien stroke terkait
dengan

gangguan

fungsi komunikasi dan

bahasa adalah

gangguan

komunikasi verbal berhubungan dengan penurunan sirkulasi dalam otak.


Diagnosa gangguan komunikasi verbal didefinisikan oleh Johnson et al
(2001); Wilkinson (2005) sebagai
menurun atau tidak ada dalam

suatu

pengalaman

individu

yang

kemampuan menerima, memproses, mentransfer dan menggunakan simbol


simbol (Potter & Perry, 2005; Berman, Snyder, Kozier & Erb,
2008).
Masalah gangguan komunikasi verbal oleh karena adanya kesulitan
dalam mengekspresikan diri atau perubahan pola komunikasi ini dapat
berkontribusi pada diagnosa keperawatan

lainnya : seperti risiko

injuri, perubahan persepsi/sensori, defisit perawatan diri, kecemasan,


perubahan
tidak efektifnya koping, koping keluarga tidak
efektif, proses keluarga, dan
ketidakberdayaan gangguan interaksi sosial (Potter & Perry, 2005; Berman, Erb,
Snyder, Kozier &
2008).

2.6.3 Rencana keperawatan


Rencana keperawatan memiliki dampak yang signifikan

oses
dalam

prntuk

penyembuhan pasien. Pasien dan keluarga dapat ikut disertakan uang


menentukan tujuan rencana keperawatan bersama dengan perawat. Tujuan urut
y ingin dicapai berdasarkan NOC pada klien dengan gangguan komunikasi wks
men Ignatavicius & Workman (2010); Gulanick & Myers (2009); Black
& Ha (2009) adalah :
a. Pasien dapat mengkomunikasi kebutuhan dasarnya
b. Pasien dapat meningkatkan kemampuan
komunikasinya c. Dapat berkomunikasi tanpa frustasi
dan marah

kasi
uan

d. Pasien dan keluarga dapat mengungkapkan pemahaman gangguan komuni


e. Pasien dan keluarga terlibat dalam upaya untuk meningkatkan
kemamp
2.6.4
Keperawatan

Intervensi

Intervensi keperawatan berdasarkan gangguan komunikasi pada pasien stroke


menurut NIC (Ignatavicius & Workman, 2010; Gulanick/Myers, 2009; Black &
Hawks, 2009) adalah :
a. Peningkatan Komunikasi

Definisi peningkatan

komunikasi menurut

Bulecheck

&

McCloskey

(1999) adalah bantuan dalam menerima dan mempelajari metode alternatif


dengan gangguan bicara.
Tujuan intervensi peningkatan komunikasi menurut Bulecheck &
McCloskey (1999) adalah membantu klien mencapai komunikasi optimal,
membantu klien dalam mencapai arti fungsional dalam berkomunikasi,
membantu
mencapai
lingkungan yang mendukung komunikasi, mencegah
cedera,
membantu
meningkatkan harga diri klien, meningkatkan interaksi sosial, membantu lien
k dalam

mengembalikan

peran

sosial,

memberikan

kesempatan lam

da berkomunikasi, menginformasikan kepada klien dan keluarga tang


ten gangguan dalam berkomunikasi dan membantu klien dan

lam

keluarga da mencapai dukungan yang efektif (Boss & Lewis Abney,


1996).
asa,
Tindakan keperawatan yang dilakukan adalah : kaji fungsi bicara

ang

bah seperti bicara spontan, pemahaman dalam mendengar, pemahaman

an

bahasa y ditulis, kemampuan menulis, kemampuan membaca, hindarkanring


pertanya ya dan tidak untuk pasien dengan afasia ekspressif karena arga
pasien se memberikan respon otomatis yang tidak tepat, berikan

kan

dukungan kelu dalam memahami bicara pasien, dengarkan dengan penuhiak,


perhatian, guna kata kata sederhana dan kalimat pendek dengan

ikan

tepat, hindari berter berkomunikasi dengan pasien harus pelan,

pat,

kalimat sederhana dan ber waktu untuk memahami informasi, gunakanntuk


papan komunikasi dengan te tunjukkan nama nama objek yang
ditulis dan anjurkan pasien u mengulang nama objek tersebut, buat

erta,
ang

jadual yang jangan


konsistenmemaksakan
dan rutin s terus berkomunikasi jika pasien lelah
berkaitan),
instruksikan pasien dan keluarga untuk menggunakan bantuan wicara, seperti
tracheal esophageal prosthesis dan artificial larynx, lakukan percakapan
satu arah (one way conversation) dengan tepat, lakukan follow up dengan
patologis bicara setelah pulang (Ignatavicius & Workman (2010); Brunner
& Suddarth

(2008); Barker (2002) (Bulecheck & McCloskey, 1999) Gulanick & Myers,
2009 ; Hickey, 2003).
b. Mendengarkan
listening)

secara

aktif

(active

Mendengarkan secara aktif memiliki arti dengan penuh perhatian terhadap apa
yang disampaikan oleh pasien secara verbal dan non verbal. Tindakan ini
dapat memfasilitasi komunikasi klien (Potter & Perry, 2005).
Tindakan keperawatan yang dilakukan adalah berbicara kepada pasien

kan

bu kepada pengunjung, berhadapan dengan pasien, pertahankan

ata,

kontak m berbicara pelan dan jelas, jangan menghentikan ketika pasien

ara,

sedang berbic jangan menyelesaikan kata kata pasien, berikan waktu ntuk
pada pasien u menjawab, berikan musik atau stimulus visual yang

dan

bermakna pada pasien membantu pasien untuk beradaptasi pada

oleh

keterbatasan yang disebabkan masalah komunikasi (Ignatavicius &


Workman, 2010).
bus

2.7 Kerangka Teori

Stroke hemorhagik dan non hemorhagik dapat menyebabkan lesi pada Lesi
lo frontal, parietal dan temporal yang diperdarahi oleh arteri serebri

jalur

media. tersebut dapat menyebabkan kerusakan pada area Broca,

ang

Wernicke dan keduanya sehingga menyebabkan gangguan berbahasa.

ami

Gangguan berbahasa y dapat dialami pasien stroke adalah afasia yang

lami

merupakan gangguan memah kata yang diucapkan, berbicara, membaca raan


dan menulis. Afasia yang dia pasien stroke memiliki dampak negatif

resi

yang signifikan terhadap kesejahte klien, kemandirian, partisipasi sosial

wab

pertanyaan atau berpartisipasi dalam percakapan, dan merasa tidak ada


seorangpun yang dapat berkomunikasi dengannya, sehingga pasien marah,
frustasi, takut dan tidak berdaya.
Oleh karena itu untuk mengurangi terjadinya depresi dan masalah
psikososial tersebut adalah dengan memfasilitasi komunikasi pasien pasien
afasia motorik

dengan AAC sebagai alat bantu komunikasi verbal. Kerangka teori penelitian
ini dapat dilihat pada skema 2.1 berikut ini :

2.1 Kerangka Teori Penelitian


Stroke
Stroke Non Hemoragik

Stroke Hemoragik
Penurunan suplai darah
ke otak
Lesi pada lobus frontal,
parietal dan temporal
Kerusakan pada area Broca,
Wernicke dan jalur
keduanya

Ekspresi kata kata bermakna


dan pemahaman secara lisan
atau tulisan terganggu
Gangguan komunikasi verbal

F
1.
2.
3. aktor berpengaruh :
Umur
4. Jenis kelamin
Frekuensi serangan
fisik
stroke
5. Dukungan keluarga

Tidak mampu
mengungkapkan apa yang
diinginkan
Tidak
dapat
menjawab
pertanyan dan
berpartisipasi
dalam percakapan

Depresi
Nursing Intervention Clasification:
Peningkatan
kemampuan
komunikasi
Rehabilitasi Nursing
Augmentative and
alternative communication
therapy/AAC

g Outcome
iteria :
en
dapat
Nursingkomunika
Crn
tuhan
Pasi
rnya
men
dapat
sika en
ingkatkan
kebu
dasaampuan
Pasi
komunikasiny
men
Pasien`dapat
berkomunikasi
tanpa frustasi
dan marah

(Sumber: Ignatavicius & Workman, 2010; Lumbantobing, 2011; Silbernagl & Lang, 2007; Black
& Hawks, 2009; Potter & Perry, 2005; Gulanick/Myers, 2009)

BAB 3
KERANGKA KONSEP,
HIPOTESIS DAN DEFINISI
OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep


Berdasarkan penelusuran kepustakaan, variabel yang diukur dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut :
3.1.1 Variabel terikat (Dependent variable).
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kemampuan fungsional
komunikasi dan depresi pada pasien stroke dengan afasia motorik.
3.1.2 Variabel bebas (I ndependent variable).
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pemberian AAC yang dibagi
dalam 2 kelompok, yaitu kelompok kontrol yang diberikan terapi standar
rumah sakit, yaitu isyarat/alat tulis dan kelompok intervensi yangikan
diber terapi standar ditambah pemberian AAC yang dirancang olehi di
penelit RSUD Kabupaten Garut, Kota Tasikmalaya dan Banjar.
3.1.3 Variabel Perancu (Confounding variable)
Variabel perancu yang diteliti dalam penelitian ini adalah umur, enis
j
kelamin, frekuensi serangan

stroke,

ketidakmampuan

fisik dangan

dukun keluarga.
a. Umur
Umur berhubungan dengan terjadinya depresi. DPS pada umurnjut
la mungkin memiliki hubungan biologi dasar dengan berkurangnya
neurotransmitter yang berkaitan dengan mood dan emosi. Selain itu
kecepatan pemulihan wicara-bahasa terhadap kemampuan fungsional
komunikasi dan penyembuhan secara umum pada orang dewasa
memiliki

prognosis

yang

buruk

oleh

karena

neuroplastisitas

otak/reorganisasi.
b. Jenis kelamin
Jenis kelamin berkorelasi dengan terjadinya depresi. Laki laki
lebih mudah berisiko terjadinya stroke dibandingkan dengan perempuan,
sehingga laki laki
yang

lebih mudah terjadi depresi akibat disability

dimilikinya yang menyebabkan gangguan harga diri terkait


dengan perannya sebagai kepala keluarga.
c. Frekuensi serangan stroke
Jumlah serangan stroke akan berpengaruh terhadap kerusakan otak
lebih luas, sehingga dapat mempengaruhi wicara dan bahasa.
d. Ketidakmampuan fisik
Gangguan motorik akibat stroke dapat menyebabkan
fisik pada pasien, sehingga mempengaruhi kemampuan fungsional ketid
akma

da melakukan aktivitas hidup sehari - hari.

Ketidakmampuan menyebabkan hilangnya peran hidup yang dimilikimpu


pasien, sehingga d menyebabkan gangguan persepsi akan konsep

an

diri yang bersangk yang dapat mempengaruhi harga diri. Harga

lam

diri rendah dapat me terjadinya keputusasaan dan akhirnya menjadifisik


apat

depresi.
e.

utan

Dukungan keluarga

micu
Dukungan keluarga merupakan faktor yang mempengaruhi terjad
depresi. Selain itu lingkungan keluarga juga merupakan lingkungan
y cocok

untuk

menstimulasi

kemampuan

berbahasa

afasia

y mempengaruhi pemulihan wicara pada pasien afasia. Dukungan inya


kelu yang tersedia dapat menjadi strategi penting dalam

ang

mengurangi mencegah tekanan jiwa dan depresi paska stroke.

ang
arga

Hubungan kedua variabel ini bersifat hubungan satu arah, dimana

atau

vari independen memberi kontribusi pada variabel dependen. Kemampuan


fungsi komunikasi dan depresi pada pasien stroke dengan afasia motorik
ditentukan pemberian AAC. Hubungan antara kedua variabel tersebut

abel
onal
oleh
ada

Skema 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Variabel bebas

Variabel terikat
Kemampuan
fungsional komunikasi
Depresi

Pemberian komunikasi
dengan
augmentative
KKom
& alternative
communication/AAC

Perancu :
Umur
Jenis kelamin
Frekuensi serangan
stroke
Ketidakmampuan fisik
Dukungan keluarga

3.2 Hipotesis Penelitian


Berdasarkan tujuan dan rumusan masalah penelitian, maka hipotesis

ini

penelitian adalah :
3.2.1 Hipotesis mayor
Ada

pengaruh

pemberian

AAC

terhadap

kemampuan

onal

fungsi komunikasi dan depresi pada pasien stroke dengan afasia


motorik.
3.2.2 Hipotesis minor

oke

a. Ada perbedaan kemampuan fungsional komunikasi pada pasien


str dengan afasia motorik antara kelompok kontrol dan intervensi. tara
b. Ada perbedaan depresi pada pasien stroke dengan afasia motorik
kelompok
kontrol dan
intervensi.perancu
c. an
Ada
hubungan
variabel

terhadap

kemampuan

fungsional komunikasi pasien stroke dengan afasia motorik pada


kelompok intervensi.
d. Ada hubungan variabel perancu terhadap depresi pasien stroke dengan
afasia motorik pada kelompok intervensi.

3.3 Definisi Operasional


Definisi operasional merupakan batasan ruang lingkup suatu variabel yang
diamati atau diukur. Definisi operasional juga berguna untuk mengarahkan
kepada pengukuran atau pengamatan terhadap variabel -variabel yang
bersangkutan serta pengembangan instrumen. Definisi operasional variabelvariabel dalam penelitian ini dijelaskan dalam tabel 3.1
Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel
Penelitian
Variabel
Ko
de munikasi
aungan
altgmentative and
co ernative
(Ammunication/
prosedur
AC)
verbal

Depresi pada
pasien afasia

Definisi operasional

Cara ukur

Hasil ukur

Independent

Skala
Nominal

Pemberian
alat
bantu
komunikasi non verbal yang
diberikan oleh peneliti dengan
menggunakan
media
komunikasi
seperti
komunikasi

yang

Menggunakan
1 : kelompok
lembar
kontrol yang
observasi
diberikan
perawat yang
komunikasi
buku
berisi
non
berisikan pelaksanaan

kebutuhan aktivitas sehari latihan


hari, foto, majalah, musik/lagu
dan
alat
tulis
untuk
memfasilitasi
komunikasi
pasien disertai dengan latihan
sederhana
diberikan komunikasi
berorientasi
pada
kemampuan
komunikasi
gambar,
dengan AAC menunjukkan
sesuai menyebutkan/penamaan,
membaca,
pedoman yang pengulangan,
disusun oleh mengeja dan menulis yang
peneliti dilakukan sebanyak 3 kali
dalam sehari dengan frekuensi
waktu 30 menit setiap kali
pemberian selama 10 hari dan
pemberian komunikasi oleh
keluarga
menggunakan
pedoman kebutuhan aktivitas
sehari hari yang disusun oleh
menyebutkan/penamaan,
pengulangan,
membaca,
mengeja dan menulis dan
dilakukan selama 90 menit
Dependent
Gangguan emosional yang Menggunakan
terjadi setelah serangan stroke lembar
pada pasien afasia dengan tanda observasi
dan
gejala,
antara
lain Aphasic
insomnia, kecemasan, gejala Depression
somatik fisik/gastrointestinal, Rating Scale

sesuai standar
rumah sakit
2 = kelompok
intervensi
yang

Dinyatakan
dalam rentang
0 32

Interval

Kemampuan
fungsional
komunikasi

mur
U

Je

nis kelamin

ekuensi
Fr angan stroke
ser kali

kesedihan,
agitasi,
hipokondriasis
kelelahan
atau
kehilangan energi dan diukur
pada hari ke 11 sesudah
pemberian AAC
Kemampuan
dalam
mengekspresikan, memahami
dan berinteraksi dengan orang
lain, keluarga atau perawat
untuk mencapai aktivitas sehari
hari dan diukur pada hari ke
11 sesudah pemberian AAC

(ADRS)

Menggunakan
lembar
observasi Derby
Functional
Communication
Scale

Confounding
Jumlah tahun sejak lahir hingga Menggunakan
dalam ulang tahun terakhir
kuesioner
status pasien

Dinyatakan
dalam rentang
0 24

Umur
dan tahun

Gender yang dibawa sejak lahir Menggunakan


1 = Lakilaki pada
pasien
stroke
yang kuesioner
dan 2=
Prempuan dibedakan antara jenis kelamin status pasien
laki laki dan perempuan
Jumlah kejadian stroke yang
Menggunakan
1: 1 kali
pernah dialami oleh pasien
kuesioner dan
2: > 1

Interval

Interval

Nominal

Nominal

status pasien
Ketidakmampuan Kemampuan pasien`untuk
fisik
melakukan aktivitas sehari- hari
yang meliputi makan, mandi,
merawat diri, berpakaian,
buang air besar, buang air kecil,
menggunakan toilet, berpindah,
mobilitas dan menggunakan
tangga dengan menggunakan
kuesioner Barthel Index yang
dapat dinilai pada hari ke 11
sesudah melakukan intervensi
pada kelompok kontrol dan
intervensi
Du kungan
Bantuan yang diterima individu
kel
skor uarga
dari anggota keluarga dalam
merawat pasien stroke dengan
afasia motorik yang meliputi
empat dimensi dan diukur pada
hari ke 11 yaitu :
a. Dimensi emosional
Dukungan yang diberikan
keluarga kepada pasien
afasia yang melibatkan
ekspresi, empati dan

Menggunakan
kuesioner dan
status pasien

Interval
Dinyatakan
dalam rentang
0 100

Menggunakan
kuesioner
yang terdiri atas
15 item
pertanyaan
dengan alternatif
jawaban
menggunakan
skala Likert
untuk
pertanyaan
positif, yaitu :
1 : tidak pernah

Jumlah

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012

jawaban
respon tentang
dukungan
keluarga
dibagi total
item
pertanyaan
yang
dinyatakan
dalam rentang
15 60

Interval

perhatian
b. Dimensi penghargaan
Dukungan melalui ekspresi
berupa sambutan yang
positif dari keluarga,
dorongan atau pernyataan
setuju terhadap perawatan
pasien stroke dengan afasia
motorik

2 : jarang
3 : sering
4 : selalu
Pernyataan
negatif, yaitu :
4: tidak pernah,
3 : jarang
2 : sering
1 : selalu.

c. Dimensi instrumental
Dukungan keluarga dalam
bantuan langsung
mengerjakan tugas tertentu
atau penyediaan sarana
terkait perawatan pasien
stroke dengan afasia
motorik
d. Dimensi informasi
Dukungan keluarga dalam
pemberian saran atau umpan
balik terkait perawatan
pasien stroke dengan afasia
mtorik

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012

BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, yang tujuannya untuk
menjawab pertanyaan penelitian atau menguji hipotesis penelitian (Beck &
Hungler,
ment
2001). Desain penelitian yang peneliti gunakan adalah desain
quasiPolit,
experi
dengan pendekatan post test non equivalent control group, dimana

kan

dilaku pengukuran sebanyak 1 kali, yaitu sesudah eksperimen. Desain ini

ntuk

bertujuan u meneliti hubungan sebab akibat dengan cara memberikan

uan

intervensi (perlak kepada salah satu kelompok eksperimen, kemudian hasilensi


(akibat) dari interv tersebut dibandingkan dengan kelompok kontrol.

itian

Kesimpulan hasil penel didapat dengan cara membandingkan data post uan
test antara kelompok perlak dengan kelompok kontrol (Dharma, 2011). ini
Adapun skema penelitian digambarkan dalam skema sebagai berikut :
Skema 4.1
Rancangan Penelitian

Intervensi

Komunikasi dengan AAC

Pengaruh
(O1)

Dibandingkan
O1 O2 = X1

Kontrol

Perlakuan dari rumah sakit

Pengaruh
(O2)

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012

Keterangan :
O1

Kemampuan fungsional komunikasi dan depresi sesudah


diberikan komunikasi dengan AAC

O2= Kemampuan fungsional komunikasi dan depresi sesudah


diberikan komunikasi standar rumah sakit pada kelompok kontrol
O3 = Kemampuan fungsional komunikasi dan depresi antara kelompok
kontrol dan intervensi sesudah dilakukan intervensi.
4.2 Populasi dan Sampel
4.2.1

Populasi

Populasi adalah sejumlah besar subjek yang mempunyai karakteristik tertentu


(Sastroasmoro & Ismael, 2010). Populasi dalam penelitian ini adalah

ruh

selu pasien stroke yang dirawat di RSUD Kabupaten Garut, Kota

dan

Tasikmalaya Banjar.
4.2.2

Sampel

Sampel adalah subjek yaitu sebagian dari populasi yang dinilai

nya

karakteristik diukur oleh peneliti dan nantinya dipakai untuk menduga dari
karakteristik populasi (Sabri dan Hastono, 2006). Sesuai dengan desain

ilan

penelitian, pengamb sampel dilakukan secara terpilih sesuai dengan kriterialusi


inklusi. Kriteria ink adalah karakteristik umum yang harus dipenuhi oleh

lam

subyek agar dapat ikut da penelitian (Sastroasmoro & Ismael, 2010). Kriteriaalah
inklusi sampel tersebut ad sebagai berikut :
a. Pasien yang didiagnosa stroke hemoragik dan non hemoragik yang mengalami
afasia motorik. Penentuan afasia motorik dibuat berdasarkan format

hay

Frenc

sien

untuk mengkoordinasikan atau menyusun fikiran, perasaan dan kemauan


menjadi simbol yang bermakna dan dimengerti oleh orang lain, tetapi pasien
masih mempunyai pemahaman yang baik. Bicara lisan tidak lancar,
terputus- putus dan
Apabila

sering

ucapannya tidak

dimengerti orang

lain.

bertutur kalimatnya pendek-pendek dan monoton. Kemampuan

berbicara pasien afasia setara dengan kemampuan menulis.

c. Kesadaran komposmentis yang dapat dinilai secara kualitas pada saat


berinteraksi dengan pasien, seperti mampu mengikuti perintah dan ada
kontak mata dengan peneliti.
d. Pasien yang ditunggu oleh keluarganya dan terlibat dalam latihan komunikasi
e. Pasien dan keluarga bersedia menjadi responden
Kriteria ekslusi adalah keadaan yang menyebabkan subyek memenuhi
inklusi tidak dapat diikutsertakan dalam penelitian. Kriteria ekslusi krit
p
eria
penelitian ini adalah :
ada
a. Pasien dengan disartria.
b. Pasien yang mempunyai riwayat depresi sebelum
stroke c. Pasien yang mendapat terapi antidepresan
d. Mengalami peningkatan tekanan intrakranial (adanya muntah
proye pusing, tekanan darah tidak stabil, penurunan kesadaran).

ktil,

Untuk memperkirakan besar sampel dari dua kelompok independen


dengan hipotesis, diperlukan 4 informasi penting yaitu :

uji

a. Simpang baku kedua kelompok, s (dari pustaka)


b. Perbedaan klinis yang diinginkan, x 1 x2 (clinical judgement)
c. Kesa ahan pe

d e apkan

d. Kesa ahan pe ditetapkan)


l
ti I, ( it t
)
l
ti II, (
Besar sampel dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan estimasi (perkir
untuk menguji hipotesis beda rata-rata 2 kelompok tidak berpasangan
den rumus sebagai berikut (Sastroasmoro & Ismael, 2010):
Z

aan)
gan

+Z

n1 = n 2

: Besar sampel

Keterangan :

: Kesalahan Tipe I = 5 %, hipotesis dua arah, Z = 1.96

: Kesalahan Tipe II = 20 %, maka Z = 0.842

: Simpang baku gabungan = 6.9

X1 X2

: Selisih rerata minimal yang dianggap bermakna oleh peneliti

Parameter yang berasal dari kepustakaan, adalah simpang baku (S), dan simpang
baku yang didapatkan dari peneliti sebelumnya yaitu berdasarkan hasil penelitian
tentang depression in acute stroke yang dilakukan oleh Caiero, Ferro, Santos &
Luisa (2006) memiliki rata-rata depresi pada pasien stroke 13.7, sedangkan
standar deviasi 6.9. Nilai rerata minimal yang dianggap bermakna oleh peneliti,
yaitu 5,7.
Adapun derajat kemaknaan 5% dan kekuatan uji 80%. Dengan demikian, aka
m besar sampel untuk penelitian ini adalah sebagai berikut :
Berdasarkan simpang baku diatas, dan nilai

yang ditetapkan oleh eliti

pen
sebesar 5.7 maka didapatkan jumlah sampel :

=n

=2

(1.96 + 0.842) 6.9


13.7
5.7

=n

n=n

=2

=2

2.802
6.9

19.3
3

8
n = n = 2 ( 2.416)
n = n = 2 5.838

esar
maka

didapatkan jumlah sampel 13.3 (dibulatkan 13), sehingga jumlah sampel untuk
kelompok kontrol maupun kelompok intervensi masing-masing adalah 13
responden.
Selama penelitian di RSUD Kota Tasikmalaya, Kota Banjar dan Kabupaten
Garut peneliti mendapatkan jumlah sampel 21 orang yaitu 11 orang kelompok
kontrol

dan 10 orang kelompok intervensi. Pada saat penelitian, didapatkan 1 orang


responden pada kelompok kontrol drop out karena pindah ke rumah sakit
swasta di Bandung, 2 orang responden pada kelompok intervensi drop out
dengan rincian
1 orang responden pindah ke rumah sakit swasta di Bandung dan 1 orang
responden pulang paksa dan menolak dilanjutkan pemberian komunikasi dengan
AAC (hari ke 2) karena ingin pindah ke Rumah Sakit Cipto Dr.
Mangunkusumo (RSCM) Jakarta .
Dahlan (2006) menyatakan power penelitian perlu dihitung kembali karena besar
sampel yang diperoleh tidak sesuai dengan yang direncanakan. Dari asil
h pengolahan data dari depresi, diperoleh rata-rata depresi pada kelompok trol
kon (n1)=11 l ada ah
. 9( 64 1) dengan SD1 1.29. Sedangkan rata-rata

pada

l
.ada(ah 8 30 2) dengan SD2 1.16.
depresi kelompok intervensi) (n2=10
Menurut Dahlan (2006) untuk menghitung power menggunakan rumus
seb berikut:
(1 - 2) n/ 2
Z = ------------------ S

Keterangan :
Z = Kesalahan tipe II
Z = Kesalahan tipe I 5% ( dua arah = 1,96)
1 = rata - rata yang diamati satu
2 = rata - rata yang diamati dua
n = jumlah sampel per kelompok
S = standar deviasi gabungan masing-masing kelompok.

Menurut

Dahlan

(2006)

untuk

menghitung

gabungan menggunakan rumus sebagai berikut:

standar

deviasi

agai

S1 (n1 1) + S2 (n2 1)
2
S = -------------------------------n1 + n2 -2

Setelah nilai-nilai tersebut dimasukkan ke dalam formula diatas diperoleh


pada nilai Z (kesalahan tipe II) pada depresi adalah 1.57 yang apabila
dikonversi menjadi nilai power 90% - 95% (Dahlan, 2006). Hal ini
walaupun dalam penelitian ini jumlah responden menunjukkan
tidak sesuai bahwa
denganana
renc namun memiliki nilai power penelitian yang tinggi.
Selain itu menurut Roscoe (1982) dalam Sugiyono (2009), penentuan besar
sampel penelitian ekspremen sederhana adalah sebesar 10-20 sampel untuktiap
se kelompok, sehingga berdasarkan pertimbangan diatas, jumlah sampelgap
diang memenuhi untuk jenis penelitian eksperimen sederhana ini.
4.3 Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan tekniknon
probability sampling jenis consecutive sampling, dimana subjek yang tang
da untuk dilakukan rawat inap dan memenuhi kriteria inklusi dimasukkan lam
ke da penelitian sampai jumlah sampel terpenuhi (Sastroasmoro & Ismael,
2010).
njar

4.4 Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUD Kabupaten Garut, Kota Tasikmalaya danakit


Ba dengan pertimbangan ketiga rumah sakit tersebut merupakan rumah ssien
pemerintah (tipe B) yang dilengkapi dengan fasilitas ruang perawatanlum
pernah dilakukan penelitian tentang pengaruh pemberian komunikasi dengan
AAC terhadap kermampuan fungsional komunikasi dan depresi pada pasien
stroke

dengan

afasia

motorik.

Ruangan

yang

digunakan

di RSUD

Kabupaten Garut adalah Cempaka Atas dan Cempaka Bawah. Ruangan yang
digunakan di RSUD Kota Tasikmalaya adalah ruangan V, Batik, VIP dan
ruangan di RSUD Banjar adalah Flamboyan, Mawar, Anggrek dan Dahlia.

4.5 Waktu Penelitian


Waktu penelitian dilaksanakan selama empat minggu mulai tanggal 15
November sampai dengan 15 Desember 2011, setelah peneliti mendapatkan surat
ijin penelitian dari ketiga rumah sakit.
4.6 Etika Penelitian
Selama penelitian, responden dilindungi dengan memperhatikan aspek
self determination, privacy and anonymity, benefience, maleficience, justice aspe
(
k
& Beck, 2004). Penelitian dilakukan setelah mendapat persetujuan
Polit
den menekankan masalah etika sebagai berikut :
gan
4.6.1 Self determination
Prinsip self determination diterapkan dengan cara responden d
kebebasan oleh peneliti untuk menentukan keputusan sendiri,

iberi

apa bersedia ikut dalam penelitian atau tidak tanpa paksaan

kah

(sukarela). Set responden bersedia, selanjutnya peneliti menjelaskan


maksud dan tu serta manfaat penelitian, kemudian peneliti
menanyakan kesed responden, setelah setuju, responden diminta
untuk menandatangani le persetujuan menjadi subyek penelitian
atau informed consent y disediakan.

elah
juan
iaan

mbar
ang

4.6.2 Privacy and anonymity


Prinsip etik privacy dan anonymity yaitu prinsip menjaga
kerahas informasi responden dengan tidak mencantumkan nama,

iaan

tetapi ha menuliskan kode inisial dan hanya digunakan untuk

nya
kepentingan peneli Informasi yang dikumpulkan dijamin oleh peneliti
tian.
kerahasiaannya den memusnahkan data ketika datanya sudah selesai
gan
diambil dan diana lisa.

Beneficience merupakan prinsip etik yang mementingkan keuntungan,


baik bagi peneliti maupun responden sendiri. Dalam penelitian ini,
peneliti melakukan intervensi berupa pemberian AAC yang telah
melalui penelaahan terkait manfaat pemberian AAC dari berbagai hasil
penelitian sebelumnya dan konsep konsep terkait. Intervensi dalam
penelitian ini

memberikan efek terapeutik untuk memfasilitasi komunikasi, sehingga


mencegah terjadinya depresi pada pasien stroke dengan afasia motorik.
4.6.4 Maleficience
Peneliti memberikan kesempatan kepada responden untuk menyampaikan
ketidaknyamanan dan tidak melanjutkan

kegiatan

penelitian

bila

responden mengalami ketidaknyamanan atau penurunan kesehatan. Selain


itu responden

diberi

hak

untuk

menolak

melanjutkan

kembali

kegiatan jika dianggap membahayakan responden.


penelitian
4.6.5 Justice
Justice merupakan prinsip etik yang memandang keadilan
den memberikan keadilan bagi responden. Responden pada

gan

kelompok ko diberikan alat tulis/isyarat pada hari 1 10 dan pada ntrol


hari ke 11 diber AAC menggunakan buku komunikasi yang berisi

ikan

gambar, sedangkan p kelompok intervensi diberikan AAC berupa ada


buku komunikasi, pa alfabet, musik, majalah/ surat kabar, objek

pan

disekitar ruangan dan alat berdasarkan format yang dirancang oleh

tulis

peneliti.
4.7. Informed Consent
Infomed consent merupakan persetujuan atau izin yang diberikan oleh
responden untuk

memperbolehkan dilakukannya suatu tindakan atau

perlakuan.
4.8 Alat Pengumpul Data
Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian adalah :
4.8.1 Kuesioner karakteristik responden
den
yang meliputi antara lain umur, jenis kelamin, frekuensi serangan stroke,
ketidakmampuan fisik dan dukungan keluarga.
4.8.2 Lembar observasi skrining afasia dengan menggunakan FAST untuk
menilai apakah pasien mengalami afasia/tidak terhadap kemampuan
berbahasa, seperti
menulis. Instrumen

pemahaman,

mengungkapkan,

membaca

dan

FAST dikembangkan

oleh

Enderby

pada

tahun

1987.

FAST

dapat digunakan oleh non spesialis, seperti staf medical junior, perawat,
terapi okupasi dan lainnya untuk mengidentifikasi gangguan bahasa.
FAST terdiri
18 item dengan skor 0 30. Dikatakan afasia ialah bila skor < 27 pada
usia diatas 60 tahun atau bila skor <25 pada usia dibawah 60 tahun.
Pada pengujian validitas construct, berdasarkan hasil penelitian AlKhawaja, Wade & Collin (1995) pada 50 pasien yang mengalami
memiliki korelasi adekuat dengan Barthel Index (r =afasia,
0.59) FAST
dan FAST
memiliki korelasi yang sangat baik pada aspek kemampuan pemahaman
dengan Sheffield Screening Test for Acquired Language DisorderT) (r
(SS
= 0.74) dan
baik

(r =
pada aspek ekspresi memiliki korelasi yang sangat CP)

iliki
0.92). Validitas FAST terhadap Functional Communication Profile (F
an r
dan Minnesota Test untuk membedakan diagnosa afasia, FAST mem
lity,
korelasi yang sangat baik diantara kedua instrumen tersebut (r =`0.73
AST
d
kan
= 0.91). Pengujian reliabilitas test-retest dan inter-rater
inereliabi ditemukan FAST memiliki koefisien Kendall yang tinggi yaitu
0.97. F memiliki sensitivitas yang tertinggi 87% dan spesifitas 80%
dibanding dengan

instrumen

UAS.

(www.medic ine.mc.gill.ca/stroke eng asses/module_fast_psychoen.html.

klist
pok
RS).

aim,
4.8.3 Lembar observasi perawat tentang depresi berisi daftar penilaian atau
dan
ce untuk menilai depresi/mood pasien pada kelompok kontrol dan
DRS
kelom intervensi dengan menggunakan Aphasic Depression Rating
digunakan pada pasien yang memiliki afasia dengan stroke dan terdiri
dari
9 item yang dipilih dari Hamilton Depression Rating Scale (HDRS),
Montgomery & Asperg Depression Rating Scale (MADRS) dan
Salpetriere Ratardation Rating Scale (SRRR). Skor diberikan dengan
menambahkan setiap item yang berbeda pada setiap item, dengan jumlah
total skor yang diperoleh 32. ADRS memiliki titik potong 9/32 yang
dipakai untuk

menentukan

adanya depresi pada pasien dengan

kesimpulan semakin

afasia, dengan

tinggi skor yang diperoleh, maka semakin

menunjukkan gejala depresi.


ADRS telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Pengujian validitas
secara
concurrent dengan menggunakan nilai Wi lks, maka didapatkan nilai
untuk
7 item = 0.121 dan 0.116 untuk 8 item. Sedangkan pengujian
validity (construct) ditemukan korelasi ADRS dengan HDRS sangat
ba
= 0.60 dan 0.77) dan validitas

con
verg

kriteria (predictive validity)

ent

mem sensitivitas 0.89 dan spesifisitasnya adalah 0.71 Pada pengujian

ik (r

reliabi dengan test retest, diantara item item dengan uji Kappa,

iliki

ditemukan 9 memiliki Kappa yang cukup (0.58) (rentang Kappa 0.33


1.00). Kore item item ADRS umumnya sangat baik (r =
0.89). Pada pengu interrater reliability dengan uji statistik Kappa
menunjukkan 9 item sa baik (r = 0.69), skor ADRS secara umum
memiliki (r = 0.89).

litas

item
lasi
jian
ngat

4.8.4 Lembar kuesioner kemampuan fungsional komunikasi dengan


mengguna Derby Functional Communication Scale. Instrumen ini
dikembangkan Derby et al, pada tahun 1997 untuk pengkajian
observasi fungsi komunikasi pada pasien dengan gangguan
komunikasi didapat selam rumah sakit dan unit rehabilitasi.
Instrumen ini dapat digunakan oleh speech and language dan
petugas kesehatan. DFCS menunjuk hubungan yang signifikan
dengan pengukuran komunikasi lain, se FAST,
Questionnaire

(SQ)

dan

Edinburgh

Speech

Functi Communication

kan
oleh
onal
a di
non
kan
perti
onal
dari
kala

terdiri dari 8 pertanyaan dengan rentang terendah 0 dan tertinggi 8. Nilai 0


berarti pasien tidak mampu mengungkapkan kebutuhan, tidak ada
pemahaman atau tidak ada interaksi pada skala E, U dan I dan nilai 8
= tidak menunjukkan gangguan pada skala E, U dan I. Kesimpulan
yang diperoleh

semakin

tinggi nilai yang diperoleh, maka akan

menunjukkan

kemampuan fungsional komunikasi yang lebih baik pada skala E, U dan


I. Skor dari ketiga penilaian ekspresi, pemahaman dan interaksi adalah 0 24
4.8.5 Lembar kuesioner ketidakmampuan fisik dengan menggunakan
Barthel Index. Instrumen ini diperkenalkan oleh Mahoney FI dan Bathel
DW pada tahun 1965 untuk memeriksa status fungsional pada pasien
dewasa yang dirawat di rumah sakit dalam jangka waktu yang lama
dan rehabilitasi.
Instrumen ini didesain untuk memonitor perkembangan
mobilitas dan
perawatan diri serta mengkaji kebutuhan perawatan yang terdiri dari 10
item, meliputi makan, berpindah dari tempat tidur, perawatan diri,
penggunaan toilet, mandi, berjalan, naik/turun tangga,
berpaka kemampuan untuk mengontrol eliminasi buang air besar

ian,
air

dan buang kecil. Nilai Barthel Index berada pada rentang 0 100.
Barthel I ndex sering digunakan di bagian neurologi, psikiatri dan
rehabilitasi pasien dengan gangguan neuromuskuler atau

letal

muskuloske dengan reliabilitas dan validitas yang sangat baik dan nya
penggunaan membutuhkan waktu 1 5 menit (Loretz, 2005).

roke

Pada pasien st memiliki nilai test-retest reliabilitas 0.989 dan

gan

interreliabilitas 0.994 den Cronbach alpha 0.935 (Oveisgharan,

ade,

Shirani, Ghorbani, Soltanz Baghaei & Hossini, 2006). Sedangkan oper


menurut Shah, Vanclay & Co (1989 dalam Sit, 2007), barthel

itas

index sudah teruji secara valid konstruksi dimana alpha cronbach


sebesar 0.96.
nilai
4.8.5 Lembar kuesioner dukungan keluarga yang diisi oleh keluarga untuk

gan

me dukungan keluarga terhadap pasien afasia motorik. Kuesioner dan


modifikasi instrumen dari kuesioner Yenni (2011) tentang hubungan
dukungan keluarga dan karakteristik lansia dengan kejadian stroke
pada lansia hipertensi di wilayah kerja puskesmas perkotaan Bukittinggi.
Dukungan keluarga dinilai pada empat dimensi, yaitu dimensi informasi,
emosi, instrumental dan penghargaan. Dukungan keluarga dinilai pada
hari ke 11 sesudah pemberian komunikasi dengan AAC. Dukungan
keluarga

mencakup dimensi emosional terdiri dari 3 item (pertanyaan nomor


9,10,11), penghargaan 4 item (pertanyaan nomor 12,13,14,15), instrumental
5 item (pertanyaan nomor 4,5,6,7,8) dan informasi 3 item
(pertanyaan nomor 1,2,3). Dukungan keluarga menggunakan skala
Likert untuk pertanyaan positif, yaitu : 1 : tidak pernah 2 : jarang 3 :
sering 4 : selalu. Sedangkan untuk pernyataan negatif, yaitu : 4: tidak
pernah, 3 : jarang : 2 : sering,
1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,12,13,15 dan

1:

selalu.

Pertanyaan

positif

13

nomoryaitu
pertanyaan item
negatifyaitu
2 item

pertanyaan 11,14. Kesimpulan yang dapat diperoleh yaitu semakin tinggi


nilai dukungan, maka semakin baik dukungan keluarga.
4.8.5 Validitas dan
Reliabilitas a. Validitas
Validitas berarti sejauh mana ketepatan suatu alat ukur dalam mengukuruatu
s data (Hastono, 2007). Validitas menunjukkan ketepatan pengukuran suatu
instrumen, artinya instumen dikatakan valid bila instrumen tersebut apa
mengukur yang seharusnya diukur (Darma, 2011).
Penelitian ini menggunakan instrumen berupa kuesioner, seperti

gan

dukun keluarga yang dibuat oleh peneliti dengan memodifikasi teori

arga

dukungan kelu dan modifikasi dari Yenni (2011). Sedangkan lembar

sia,

observasi penilaian afa kemampuan fungsional komunikasi dan depresi

hasa

diadopsi dari jurnal berba Inggris. Kesemua instrumen itu dilakukan uji

10

validitas dan reliabilitas kepada orang responden. Validitas (kesahihan) ukur


yaitu seberapa mampu alat menyatakan apa yang seharusnya diukur.

kan

Terdapat 2 tipe validitas yang diguna


1. Content Validity (validitas isi)
Validitas isi menunjukkan kemampuan item pertanyaan dalam instrumen
mewakili semua unsur dimensi konsep yang sedang diteliti. Untuk
menentukan validitas isi suatu isntrumen dilakukan dengan meminta
pendapat pakar
instrumen

dan

dibidang

yang

diteliti.

Pakar

diminta

menelaah

menentukan apakah seluruh item pertanyaan telah mencakup isi dari suatu
konsep yang diteliti. Konsep yang diukur dari instrumen adalah isi yang
tepat, komprehensif, logis, konsisten dan dimengerti oleh responden
(Dharma,
2011).
Instrumen ini sudah melalui hasil konsultasi dan persetujuan
dosen pembimbing dan penguji pada sidang proposal tesis. Lembar
observasi kan
penilaian afasia, depresi, kemampuan fungsional komunikasi
merupa
aka
instrumen yang diadopsi dari bahasa Inggris kebahasa Indonesia,
ntuk
m peneliti telah melakukan validitas isi dengan meminta pakar
apat
bahasa u menterjemahkan instrumen tersebut kedalam bahasa
kan
Indonesia yang d dimengerti oleh responden, setelah itu meminta pakar
suai
keperawatan melaku validasi lagi apakah kesemua instrumen yang
men
diterjemahkan tadi sudah se dengan lingkup keperawatan yang ingin
arga
diteliti. Sedangkan untuk instru dukungan keluarga, peneliti juga
but,
menanyakan langsung kepada kelu tentang pemahaman keluarga
asan
terhadap pertanyaan dalam instrumen terse meliputi kejelasan dalam
pencetakan, ketepatan bahasa atau kalimat, kejel petunjuk dan kecukupan
waktu pengisian.
iliki
2. Construct Validity ( validitas konstruk)
Merupakan validitas yang menggambarkan seberapa jauh instrumen
mem item item pertanyaan yang dilandasi oleh konstruk tertentu.
Validitas menunjukkan bahwa instrumen disusun berdasarkan aspek

ini
kan
ini
mpel

aspek yang a diukur dengan berlandaskan teori tertentu,

truk
selanjutnya instrumen dikonsulkan kepada ahli. Setelah itu dilakukan uji
mampu membedakan nilai/hasil pengukuran antara satu individu dengan
lainnya (Darma, 2011)
Prosedur yang digunakan untuk menguji validitas alat ukur instrumen
dukungan keluarga adalah dengan teknik homogenitas item (internal
consistency) dengan menggunakan formulasi korelasi Pearson Product
Moment. Metode ini menghubungkan setiap skor item pertanyaan dengan
skor

totalnya. Menurut Nunnaly (1994 dalam Dharma, 2011), nilai korelasi antara
skor item dan skor total yang baik adalah r 0.3, sehingga dapat diharapkan
koefisien alpha menjadi lebih tinggi dan dikatakan valid. Pertanyaan
yang tidak valid akan dibuang atau dikeluarkan dari alat ukur.
Instrumen dukungan keluarga telah dilakukan uji validitas terhadap 10
orang responden yang ada di RSUD Tasikmalaya dan Banjar. Uji validitas
dukungan kan
keluarga tidak dilakukan lagi di RSUD Garut oleh karena peneliti
melaku
eliti
penelitian di RSUD Garut mulai minggu ketiga, sehingga pen
s di
menggunakan hasil uji validitas yang telah memenuhi kriteria
validita RSUD Tasikmalaya dan Banjar saja.
abel
Hasil uji validitas dan reabilitas dengan degree of freedom 10-2 =8 (r
idak
t
ebut
0.632). Pada kuesioner dukungan keluarga terdapat pertanyaan yang
item
t valid yaitu pertanyaan nomor 8, 9,10 dan 13, sehingga pertanyaan
arga
ters dikeluarkan dari instrumen. Selanjutnya pertanyaan yang valid
gan
adalah 15 dengan nilai validitas (r 0.724 0.863. Jumlah pertanyaan
aitu
dukungan kelu yang digunakan dalam penelitian ini adalah 15
pertanyaan den pertimbangan ke 15 pertanyaan tersebut telah
memenuhi 4 dimensi, y dimensi informasi, instrumental, emosional dan
penghargaan.

ran.
sten

kan
b. Reliabilitas (kehandalan) yaitu tingkat konsistensi dari suatu penguku
oleh
Reliabilitas menunjukkan apakah pengukuran menghasilkan data
. , ji
il i ri t r
t
. ,
i tr men
konsi jika instrumen digunakan kembali secara berulang. Prosedur yang
tersebut
reliable
(Dharma,
2011).
Uji reabilitas dilakukan dengan membandingkan nilai r hasil (nilai
alpha) dengan r tabel dengan ketentuan bila r alpha > r tabel, maka
pernyataan tersebut realiabel. Pada penelitiani ini ditemukan nilai alpha
cronbach yang ditemukan pada instrumen dukungan keluarga adalah nilai
reliabelnya > 0.90 (alpha cronbach 0.939).

Untuk

tetap

menjaga

reliabilitas,

reliab ilitas

ini

menggunakan

metode ekuivalen yang menunjukkan kesepakatan antar pengukur tentang


hasil suatu pengukuran. Penentuan ekuivalensi suatu alat ukur dilakukan
dengan metode interrater reliability yaitu uji reliabilitas untuk menyamakan
persepsi antara peneliti dengan asisten peneliti. Dalam melakukan penelitian
dengan metode observasi atau

quasi eksperimen, sering kali antara

peneliti dan numerator (pengumpul data) terjadi perbedaan persepsi terhadap


kejadian yang diamati.
Uji interrater dilakukan terhadap instrumen observasi/pengamatan. Alat
y digunakan untuk uji interrater adalah uji statistik Kappa. Cohens

ang

Kapp dilakukan dengan menilai kesepakatan antara dua orang atau

a ini

lebih obse terhadap suatu pengukuran yang dilakukan (Dharma, 2011;

rver

Hastono, 2007)

Instrumen afasia, depresi dan ketidakmampuan fisik kesemuanya

kan

merupa instrumen observasi dan pedoman pemberian AAC, maka

uji

dilakukan interrater diantara peneliti dan 5 orang as isten peneliti

rang

terhadap 13 o responden di RSUD Tasikmalaya, Banjar dan Garut.

ang

Asisten peneliti y diambil dalam penelitian ini merupakan perawat gkat


ruangan dengan tin pendidikan SI Keperawatan dengan masa kerja ang
dan pengalaman di ru neurologi minimal 5 tahun. Peneliti dan

aan

asisten peneliti secara bersam melakukan penilaian skrining afasia, kasi,


kemampuan fungsional komuni depresi dan ketidakmampuan fisik pada ik.
pasien stroke dengan afasia motor
sing
Hasil uji interrater diperoleh dengan nilai koefesien Kappa masing-maepsi
dan
ketidakmampuan fisik. Uji interrater juga dilakukan terhadap SOP
pemberian komunikasi dengan AAC antara peneliti dengan 5 orang asisten
secara manual dengan menggunakan list pemberian AAC. Hasil 85% - 100%
yang dipakai sebagai asisten peneliti. Kelima asisten peneliti tersebut
memenuhi kriteria tersebut.

4.9
Data

Prosedur

Langkah-langkah
berikut:

Pengumpulan
dalam

pengumpulan

data

sebagai

Sebagai langkah awal, peneliti melakukan prosedur administrasi yang terkait


dengan kegiatan sebelum penelitian dengan membina hubungan dengan instansi
rumah sakit yang dijadikan tempat penelitian. Adapun prosedur tersebut adalah :
4.9.1
Administratif

Tahap

Pelaksanaan penelitian dilaksanakan setelah mendapat izin penelitian tertulis


komite etik FIK UI, persetujuan dari pembimbing, Kepala bidang diklat RSdari
Kabupaten Garut, Kota Tasikmalaya dan Banjar. Peneliti kemudian melakuUD
koordinasi dengan berbagai pihak yang terkait untuk pelaksanaan penelitiankan
yaitu dengan penanggung jawab ruangan rawat inap neurologi RSUD Kabup ini
Garut, Kota Tasikmalaya dan Banjar untuk menjelaskan tujuan penelitian.
4.9.2
Teknis

aten

Tahap

Adapun prosedur pengumpulan data sebagai berikut


:
sten
Data penelitian dikumpulkan oleh peneliti dan dibantu oleh 5 orang asi
aten
peneliti yang terdiri dari 1 orang asisten peneliti berasal dari RSUD Kabup
rang
Garut, 2 orang asisten peneliti dari RS UD Kota Tasikmalaya dan dan 2
ikan
o asisten peneliti berasal dari RSUD Kota Banjar dengan latar belakang
.
pendid S1 keperawatan dan memiliki pengalaman di ruang neurologi
minimal 5 tahun
tara
kasi
Sebelum melakukan penelitian, maka dilakukan persamaan persepsi an
resi,
peneliti dan asisten peneliti dengan memberikan penjelasan terkait dan apli
ang
pengkajian afasia, kemampuan fungsional komunikasi, penilaian dep
a. Pelatihan ini diberikan kepada 5 orang perawat yang telah dipilih sebelumnya.
b. Materi

pelatihan

ini

(1)

pengkajian/skrining

FAST

berdasarkan

aspek
kemampuan

pemahaman,

memberikan skor penilaian

pengucapan,
(2)

menulis

dan

membaca

cara menilai kemampuan

dan

fungsional

komunikasi (3) penilaian depresi (4) penilaian ketidakmampuan fisik (5)


cara pemberian

komunikasi dengan AAC yang berorientasi pada tugas menunjuk


gambar, penamaan, mengulang, menulis, membaca dan mengeja huruf. .
c. Metode pelatihan

berupa ceramah, tanya jawab, demonstrasi dan

pengisian instrumen pengkajian afasia, kemampuan fungsional komunikasi,


depresi dan ketidakmampuan fisik. Evaluasi yang diharapkan dalam
pelatihan ini adalah
dengan cara tanya jawab, kemudian asisten peneliti diminta untuk
medemonstrasikan kembali cara melakukan penilaian afasia, kemampuan
fungsional komunikasi, depresi, ketidakmampuan fisik dan pengisian

man

pedo pemberian komunikasi dengan AAC. Setelah itu peneliti

sten

meminta asi mencoba

erta

kepada

pasien

menggunakan

juga

penelitian

s mengumpulkan data tentang skor FAST, DFCS,

ADRS, Barthel I ndex dukungan


asisten

instrumen

keluarga.

Selanjutnya

dan

kelima inta

dim mendemonstrasikan pemberian komunikasi

sien

dengan AAC terhadap pa stroke dengan afasia motorik.


4.9.3 Tahap Pemilihan Sampel
Pemilihan sampel dimulai dengan peneliti mencari responden yang

t di

dirawa ruang neurologi RSUD kota Tasikmalaya, Banjar dan Kabupaten dan
Garut menentukan responden penelitian ini berdasarkan kriteria inklusi elah
yang t ditetapkan peneliti. Responden yang memenuhi kriteria inklusi

san

diberi penjela tentang prosedur penelitian, seperti tujuan, keuntungan serta ian.
kerugian penelit Jika responden bersedia, selanjutnya responden diberijuan
lembar persetu (informed concent) untuk ditandatangani.
4.9.4

Tahap Pelaksanan

Setelah proses perijinan penelitian dilakukan, peneliti datang dan

ikan

maksud untuk melakukan penelitian ke RSUD Kota Tasikmalaya dan Banjar dan
Kabupaten Garut. Selanjutnya menentukan responden yang mengikuti penelitian
menjadi dua kelompok, yaitu kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Pada
saat pengumpulan data, kelompok yang peneliti ambil, yaitu kelompok kontrol,
setelah kelompok kontrol terpenuhi, maka peneliti melanjutkan mengambil data
pada kelompok intervensi.

Adapun tahap pelaksanaan pada kedua kelompok adalah :


a. Kelompok kontrol
1. Menentukan responden diruangan neurologi yang memenui kriteria
inklusi sesuai dengan teknik pengambilan sampel.
2. Pada hari ke I, peneliti dan asisten peneliti meminta kesediaan responden
untuk menjadi sampel dengan terlebih dahulu menjelaskan maksud dan
tujuan penelitian, meminta dengan sukarela kepada responden untuk
menandatangani lembar informed consent, mencatat data responden sesuai
dengan tujuan penelitian, melakukan skrining afasia untuk menilai
afasia/tidak, selanjutnya ditentukan afasia motorik menggunakan format
FAST.
3. Pada hari ke I- X, kelompok kontrol diberikan alat tulis/ isyarat ntuk
u memfasilitasi komunikasi pasien stroke dengan afasia motorik.
4. Pada hari ke XI peneliti melakukan pengukuran kemampuan

onal

fungsi komunikasi, depresi, ketidakmampuan fisik dan dukungan


keluarga.
b. Kelompok intervensi

lusi

1. Menentukan responden diruangan neurologi yang memenui kriteria


ink sesuai dengan teknik pengambilan sampel.

den

2. Pada hari ke I, peneliti dan asisten peneliti meminta kesediaan

dan

respon untuk menjadi sampel dengan terlebih dahulu menjelaskan ntuk


maksud tujuan penelitian, meminta dengan sukarela kepada

suai

responden u menandatangani lembar informed consent, mencatat

nilai

data responden se dengan tujuan penelitian, melakukan skrining mat


afasia untuk me afasia/tidak, selanjutnya ditentukan afasia
3. Pada hari ke I-X, kelompok intervensi diberikan AAC. Objek yang
digunakan

dalam

pelaksanaan

komunikasi

ini adalah

buku

komunikasi yang berisi kegiatan sehari hari, koran/majalah, foto


keluarga, kartu bergambar, alat tulis, papan alfabet dan lagu/musik.
4.

Pada kelompok intervensi, peneliti melibatkan peran serta keluarga


untuk mendampingi pasien, mengobservasi pelaksanaan dan melakukan
latihan

komunikasi dengan pasien afasia motorik. Latihan komunikasi


dilakukan oleh peneliti dan dibantu oleh keluarga dengan tugas, yaitu :
a) Peneliti mengajarkan penggunaan AAC kepada pasien dan keluarga
menggunakan metode ceramah, tanya jawab dan demonstrasi, terkait
penggunaan gambar yang ada dibuku komunikasi untuk memfasilitasi
komunikasi

pasien

dan

meminta

keluarga

mencoba
b) mendemonstrasikan
Peneliti memberikanseperti
AAC yang
yang diajarkan
dilakukanoleh
3x peneliti.
setiap hari dengan
w pagi hari jam 09.00, siang hari jam 13.00 dan sore hari padaaktu
jam 1 selama 10 hari dengan frekuensi waktu pelaksanaan setiap6.00
30 m berorientasi pada tugas menunjuk gambar, penamaan,enit
pengulan membaca, mengeja dan menulis.

gan,

c) Prosedur pemberian AAC dilakukan selama 10 hari berturut-t


Sebelum dan sesudah pelaksanaan latihan komunikasi, penurut.
mengukur tanda-tanda vital dan menilai keadaan umum pasien ueliti
memastikan bahwa pasien dalam keadaan stabil.

ntuk

d) Untuk memastikan bahwa program latihan dilaksanakan oleh pen


dengan baik dan teratur, dikontrol menggunakan lembar cheeliti
pemberian komunikasi.

clist

e) Latihan komunikasi yang dilakukan oleh keluarga kepada


pa adalah kegiatan pasien sehari hari yang selalu dilakukan,sien
se setiap pasien mau makan, minum, mandi, menggosok gigi, perti
men rambut, berpakaian, BAB, BAK, penggunaan toilet, istirahatyisir
dan ti miring kanan/kiri, duduk bersandar, minum obat,

dur,

mobilisasi dan la

in nit x

20 kegiatan sehari-hari (total latihan setiap hari = 100


menit).
f)

Keluarga dapat berperan secara mandiri melakukan latihan


komunikasi

dengan

tugas

menunjuk

gambar,

menyebutkan,

penamaan, pengulangan, membaca, mengeja dan menulis, tetapi


kegiatan ini tetap dievaluasi oleh

peneliti setiap

memonitor perkembangan dan pelaksanaan latihan.

hari untuk

c) Untuk memastikan bahwa program latihan mandiri dilaksanakan


keluarga dengan baik dan teratur, dikontrol menggunakan lembar
observasi dalam bentuk rapport.
5. Pada hari ke XI, peneliti melakukan penilaian kemampuan fungsional
komunikasi, depresi, ketidakmampuan fisik dan dukungan keluarga,
selanjutnya didokumentasikan pada lembar hasil pengukuran.
Tahapan hari I X yang dilakukan oleh peneliti dalam melakukan

ihan

lat komunikasi dijabarkan kedalam pertemuan sebagai berikut :


Pertemuan 1 : (Tugas pengenalan dan menyebutkan gambar)
a) Peneliti menjelaskan tujuan dan manfaat dilakukan AAC.
b) Peneliti memperkenalkan penggunaan gambar untuk memfasilitasi

kasi

komuni pasien afasia kepada pasien dan keluarga.


c) Peneliti mengajarkan gambar gambar yang ada dibuku komunikasi
Mengajarkan setiap simbol/ gambar yang ada pada buku komunikasi

ada

kep pasien dan keluarga. Bantu pasien untuk menunjukkan setiap

bel,

bagian/ la misalnya bila pasien mau mandi. Berikan waktu pada pasien ami
untuk memah informasi yang diberikan. Jelaskan hubungan antara

inya

simbol dengan art dalam bentuk kalimat dan instruksikan pasien

lam

untuk mengulangnya da bentuk gambar lain. Misalnya simbol piring + kasi


sendok yang mengidentifi saya ingin makan, seperti saya mau sikat ntuk
gigi, perintahkan pasien u menunjukkan pada gambar sikat gigi
sebagai simbol ingin sikat gigi.
d) Keluarga mendemonstrasikan seperti yang dicontohkan oleh peneliti
e) Peneliti memberikan masukan terkait dengan demonstrasi yang
f) Keluarga mempraktekkan langsung gambar gambar kepada pasien.
g) Mencatat

adanya

kesulitan

dalam

penamaan

objek

atau ketidakmampuan untuk memberi nama suatu objek. .

(anomia)

oleh

Pertemuan 2 :
a) Evaluasi kemampuan pasien dalam penggunaan gambar dengan meminta
pasien

menunjukkan

buku

komunikasi

yang berisi

gambar dan

anjurkan pasien untuk mengucapkan kata- kata dalam suara keras. Minta
pasien untuk menyebutkan nama nama benda yang ditunjukkan oleh
pasien dan jelaskan
nama objek tersebut. Bila pasien tidak mampu menyebutkan kata tersebut,
bantu pasien menyebutkan suku pertama kata tersebut atau dengan
menggunakan kalimat penuntun. Misalnya : pensil. Kita dapat membantu
keluarga.
dengan
suku kata pen Atau dengan kalimat : kita menulis dengan.
Instruksikan pasien untuk mengulang kata kata tersebut. Jikakan
memungkin gunakan ekspresi wajah, gerakan tubuh dan irama suaraapat
sehingga pasien d memahami pembicaraan.
b) Keluarga dianjurkan untuk selalu terlibat dalam aktivitas komunikasi
pada

hal

gigi
- hal rutin dilakukan pasien, misalnya pada saat pasien mau mandi, sikat
vitas
atau makan, dengan menanyakan hal hal yang berhubungan dengan
akti tersebut.
Pertemuan 3 :

ien.

a) Peneliti bercakap cakap kepada pasien tentang pekerjaan/ keluarga


pas
erti
Catat irama bicara, berhenti atau kalimat monoton, produksi
suara.
b) Peneliti meminta pasien menunjukkan objek disekitar ruangan,
sep jendela, pintu, lampu, meja, kursi yang disebutkan oleh peneliti.
dan
6. Hari II ( Tugas mengeja, pengulangan dan
(1) Peneliti mengajarkan penggunaan papan alfabet. Peneliti melakukan
pengkajian terhadap abjad ABC dan vokal yang diucapkan, sebelum
menggunakan papan alfabet. Instruksikan kepada pasien untuk
mengeja abjad ABC dan bantu pasien untuk mengulang kembali
mengeja abjad tersebut dengan suara yang keras.

(2) Keluarga mendemonstrasikan seperti yang dicontohkan oleh peneliti


(3) Peneliti memberikan masukan terkait dengan demonstrasi
yang dilakukan oleh keluarga
(4) Keluarga mempraktekkan langsung terhadap kepada pasien.
b) Mencatat adanya kemampuan penggunaan papan alfabet, kesulitan dalam
menyebutkan huruf dan jumlah huruf yang diucapkan.
Pertemuan 2 :
a)

Peneliti mengevaluasi penggunaan papan alfabet kepada pasiengan


den meminta pasien untuk menunjukkan huruf dan memintanya
menyebutkan secara berulang ulang.

b) Peneliti meminta pasien untuk menyebutkan huruf pertama dariuatu


s benda yang ada didekat

pasien,

misalnya

piring,

gelasuruf

(menyebutkan h p, g).
Pertemuan 3 :
a) Minta pasien untuk membaca kartu, kalimat/paragraf yang pendek dioran
k dan kemudian minta pasien untuk membaca kembali apa yangbaca
di pasien dengan suara yang keras.
b) Peneliti meminta pasien untuk mengeja huruf yang ada dibuku
komunikasi/ koran/majalah.
c) Peneliti dapat meminta keluarga mendengarkan lagu lagu yang
dis

ukai

pasien.

Pertemuan 1 :
a) Pasien diminta untuk menunjukkan gambar pada buku komunikasi yang
disebutkan oleh keluarga dan meminta untuk menyebutkan gambar yang
ditunjuk.

b) Keluarga diminta untuk terlibat dalam aktivitas komunikasi pada hal - hal
rutin dilakukan pasien, misalnya pada saat pasien mau mandi, sikat
gigi atau makan.
c) Peneliti dapat menanyakan benda benda yang ada disekitar pasien,
seperti tunjukkan lampu, jendela, pintu, meja dan memerintahkan untuk
mengulangi kata kata tersebut.
Pertemuan 2 :
a)

Peneliti mengevaluasi penggunaan papan alfabet kepada pasiengan


den meminta pasien untuk menunjukkan huruf dan memintanya
menyebutkan secara berulang ulang.

b) Peneliti meminta pasien untuk menyebutkan huruf pertama dariuatu


s benda yang ada didekat pasien, misalnya meja, pintu (menyebutkanuruf
h m, p).
c) Menunjukkan foto foto anggota keluarga pasien, kemudian pasien
diminta menunjukkan dan menyebutkan nama anggota keluarganya,
mengulanginya kembali.
Pertemuan 3 :
a) Meminta pasien menceritakan mengapa sampai dirawat di rumahakit,
s atau minta pasien menceritakan mengenai pekerjaannya atau hobinya.
Jangan memutuskan pembicaraan pasien, apabila pasien mengalami
kesulitan atau menyelesaikan percakapannya.
b) Meminta keluarga mendengarkan musik/ lagu kesenangan

sien

pa (mengingatkan memori pasien tentang kata kata dalam

dan

lagu mendorong pasien untuk menyenandungkan lagu tersebut).


Hari IV (mengekspresikan, menulis dan membaca)
: Pertemuan 1:
a) Pasien diinformasikan dan dibantu menggunakan alat tulis untuk
menyatakan

keinginannya.

Minta

pasien

untuk

menulis

setiap

keinginannya dikertas atau apa yang difikirkan, seperti nama dan


alamatnya, nama anak/keluarga, mau
tidak

makan, minum. Jika pasien

bisa bantu pasien dengan memberikan tuntunan, seperti tulislah


kalimat yang berhubungan dengan makan pagi hari ini.
b) Katakan pada pasien untuk membaca tulisan yang ditulisnya dan
perintahkan untuk mengulang kembali apa yang dibacanya. Instruksikan
juga kepada pasien untuk mengeja kata atau bagian yang ditulisnya.
c)

Mencatat

kesalahan

pengejaan,

tidak

dapat

membaca,

ketidakmampuan menulis atau menulis tidak sesuai.


Pertemuan 2 :
a) Mengajak pasien bercakap cakap, misalnya melalui pengalaman pasien
yang ada dibuku komunikasi, seperti acara televisi, apa yangkan
dima pasien pada sarapan pagi, bacaan di koran, dll.
b) Tunjukkan benda benda yang mudah dikenal, seperti pulpen, kunciatau
jam dan tanyakan nama benda tersebut. Catat adanya kesulitan

lam

da penamaan objek (anomia).


c) Keluarga dianjurkan untuk selalu terlibat dalam aktivitas komunikasi ada
p hal - hal rutin dilakukan pasien, misalnya pada saat pasien mau num
mi obat, buang air besar atau pada saat akan istirahat, dengan

hal

menanyakan
hal yang berhubungan dengan aktivitas tersebut.
Pertemuan 3 :

ugas

a) Keluarga memberikan komunikasi dengan AAC pada tugas t ulis


pengucapan, penamaan, pengulangan, membaca, mengeja dan
men yang berhubungan dengan kegiatan sehari hari,

mbar
rga/

menunjukkan ga yang ada dibuku komunikasi atau yang ada


8. Hari V (Tugas menunjukkan dan menyebutkan gambar)
: Pertemuan 1 :
a) Pasien diminta untuk menunjukkan gambar pada buku komunikasi yang
disebutkan oleh keluarga dan meminta untuk menyebutkan gambar yang
ditunjuk.

b) Keluarga diminta untuk terlibat dalam aktivitas komunikasi pada hal - hal
rutin dilakukan pasien, misalnya pada saat pasien mau mandi, sikat
gigi atau makan.
c) Peneliti dapat menanyakan benda benda yang ada disekitar pasien,
seperti tunjukkan lampu, jendela, pintu, meja dan meminta pasien untuk
mengulangi kata kata tersebut.
Pertemuan 2 :
a)

Peneliti mengevaluasi penggunaan papan alfabet kepada pasiengan


den meminta pasien untuk menunjukkan huruf dan memintanya
menyebutkan secara berulang ulang.

b) Peneliti meminta pasien untuk menyebutkan huruf pertama dariuatu


s benda yang ada didekat pasien, misalnya meja, pintu (menyebutkanuruf
h m, p).
c) Menunjukkan foto foto anggota keluarga pasien, kemudian pasien
diminta menunjukkan dan menyebutkan nama anggota keluarganya,
mengulanginya kembali kata yang diucapkannya.
Pertemuan 3 :
a) Mengajak pasien bercakap cakap, seperti apa yang dimakan pasienada
p sarapan pagi, bacaan di koran, dll.
b) Tunjukkan benda benda yang mudah dikenal, seperti

dan

pulpen meminta pasien untuk menyebutkannya.


9. Hari VI : (Tugas menyebutkan, menulis, mengeja huruf pertama,

gian

seba kata/kata lengkap)


Pertemuan 1 :
a) Pasien diinformasikan menggunakan alat tulis untuk menyatakan
keinginannya. Minta pasien untuk menulis setiap keinginannya dikertas
atau apa yang difikirkan dalam bentuk kalimat, seperti pasien mau
minum.
b) Katakan pada pasien untuk membaca tulisan yang ditulisnya dan
perintahkan untuk mengulang kembali apa yang dibacanya. Minta kepada
pasien untuk mengeja kata atau bagian yang ditulisnya.

Pertemuan 2 :
a) Meminta pasien untuk menceritakan tentang team olahraga
favoritnya, acara favorit ditelevisi, pekerjaannya.
b) Minta pasien untuk mengeja kata, huruf pertama, sebagian kata, minta
pasien untuk menuliskannya dikertas.
Pertemuan 3 :
a) Meminta pasien menunjukkan pada buku komunikasi apa yangtkan
disebu peneliti, seperti saya memerlukan sepatu, saya lapar danan,
ingin mak saya capek , saya ingin tidur, diluar gelap, tolong
hidupkan lampu.

mari,

b) Minta pasien untuk menunjukkan benda disekitar pasien, seperti le nda


meja, roti, sandal, obat. Kemudian minta pasien untuk menyebutkan
be yang ditunjukkan tersebut dan mengulangnya kembali.
10. Hari VII :
Pertemuan 1 :

ien,

a) Meminta keluarga mendengarkan musik/ lagu kesenangan

dan

pas kemudian pasien diajarkan untuk mengambil alih lagu anyi


lagu menyanyikan kalimat pada melodi, mula mula dengan turut
meny bersama asisten peneliti/keluarga lalu meniru menyanyi

kitar

b) Meminta pasien untuk menunjukkan benda benda yang ada

ng.

dise pasien, seperti tutup pintu, sisir, gelas, sendok, selimut,


bantal, guli
kan
Pertemuan 2 :
shampoo.
b) Minta pasien untuk mengulang apa yang ditunjukkannya
dengan menyebutkan suku pertama, sebagian kata.

bun,

Pertemuan 3:
a) Meminta pasien untuk menyebutkan nama hewan, nama teman
- temannya, nama perawat/istri yang merawatnya
b)

Minta pasien untuk mengulangnya, mengeja huruf


pertama/sebagian kata

11. Hari VIII :


Pertemuan 1 :
a) Menunjukkan majalah kepada pasien. Minta pasien untuk membaca isan
tul yang terdapat di majalah tersebut
b) Minta pasien untuk menulis dikertas tulisan yang dibacanya, minta sien
pa mengejanya
Pertemuan 2 :
a) Minta pasien untuk mencari kata yang diucapkan oleh peneliti, kemudian
mencari kata tersebut dalam buku komunikasi tersebut, seperti saya mau
menelepon, saya mau wudhu, cuaca diluar dingin, saya mau
buang kecil, buang air besar, saya memerlukan kacamata, saya

air
duk

ingin du bersandar, saya ingin miring ke kanan.


Pertemuan 3 :
a) Meminta pasien untuk menyebutkan nama teman - temannya, nama sien
pa disampingnya/anaknya
b)

Minta pasien untuk mengulangnya, mengeja huruf

gian

pertama/seba kata.
12. Hari IX :
Pertemuan 1 :
a) Meminta pasien untuk menunjuk nama anggota keluarganya yang ada
di hp atau foto, teman atau orang disekitarnya sesuai yang disebutkan
oleh peneliti, pasien diminta meniru ucapan dan memberi namanya

b) Kemudian minta pasien untuk menuliskannya di kertas atau papan yang


disediakan.
Pertemuan 2 :
a) Bercakap cakap dengan pasien dalam melakukan kegiatan sehari hari,
seperti mandi, mengenakan pakaian. Keluarga/peneliti dapat bercerita
tentang tempat tinggal atau hobi. Kita dapat menanyakan kepada
pasien keluarganya atau bidang minatnya.
tentang
Pertemuan 3 :
a)

Membacakan sesuatu (dari koran, misalnya), atau bersama s


mendengarkan

lagu

yang

disukai

pasien.

Minta

pasien

uama

menyebutkan yang disebutkan peneliti/keluarga dan mengulangntuk


nya

kembali.
13. Hari X :
Pertemuan 1 :

a) Tunjukkan buku komunikasi dan minta pasien untuk menyebu


gambar gambar

yang ada dibuku komunikasi, seperti kebututkan

makan, minum, istirahat dan tidur.

han

b) Minta pasien menyebutkan benda benda yang ada disekitar


pas seperti bantal, selimut, lemari.

ien,

Pertemuan 2 :
a) Dengarkan sebuah lagu yang disenangi pasien, peneliti bersama pa
bernyanyi bersama, minta pasien menyanyikan kata/kalimat padasien
l

agu,

dan meminta mencoba mengulangi


menyanyi.

Pertemuan 3:
a) Minta pasien menyebutkan nama perawat/istri/anak yang merawatnya
dan mengulang apa yang disebutkannya.

Langkah langkah pada penelitian ini dapat dilihat pada skema 4.2 berikut ini :
Skema 4.2
Prosedur Pelaksanaan Penelitian
Memastikan diagnosa pasien adalah
stroke hemoragik dan non hemoragik (melalui
status)

Sampel : Pasien stroke hemoragik dan non


hemoragik dengan afasia motorik yang dirawat di
RSUD Garut, Tasikmalaya dan Banjar
Sampling : Consecutive sampling
Sampel yang memenuhi kriteria inklusi

Pengumpulan data karakteristik pasien ( umur, jenis kelamin,


frekuensi serangan stroke, keluarga yang merawat)
Kelompok intervensi n = 10 orang

Kelompok kontrol n = 11 orang

Hari I-X: Pemberian bukui,


komunikas
papan alfabet, majalah/suratik
selama 10 hari (Hari I X)
kabar, mus alat tulis berdasarkan format yang
n
dirancang oleh peneliti dengan
Hari I-X : Pemberian isyarat/alat tulis

melibatka keluarga

Hari XI :
Penilaian kemampuan fungsional
fungsional komunikasi, depresi, ketidakmampuan
fisik dan dukungan keluarga

Hari XI :
Penilaian kemampuan
komunikasi, depresi,
ketidakmampuan fisik dan
dukungan keluarga

4.10 Pengolahan dan Analisis Data


4.10.1 Pengolahan Data
Setelah semua data terkumpul, maka data dianalisis melalui beberapa tahap, yaitu:
a. Pengecekan data (Editing)
Pada tahap ini dilakukan pemeriksaan kelengkapan, kejelasan dan kesesuaian
data, mulai dari karakteristik responden, skrining afasia, penilaian
kemampuan fungsional

komunikasi,

depresi,

ketidakmampuan

fisik

dan
keluarga.
dukungan
b. Pemberian kode (Coding)
Koding merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi
berbentuk angka/bilangan. Kode ini meliputi : kelompok (kelompok

data

kontr

ol =

1 dan intervensi = 2), kode jenis kelamin (laki laki 1 dan

2),

perempuan kode frekuensi serangan stroke =1 kali =1 dan > 1 kali = 2).
c. Pemrosesan data (Entry)
Pada tahap ini dilakukan kegiatan memasukan data ke paket program
komputer sesuai dengan variabel masing-masing secara teliti untuk
meminimalkan kesalahan.
d. Pembersihan data (Cleaning)
Merupakan upaya untuk memastikan data yang dimasukkan saat

data

entry telah seluruhnya dan tidak ada kesalahan.


4.10.2 Analisis Data
a. Analisis Univariat
Dilakukan untuk mendeskripsikan karakteristik masing masing variabel ang
y diteliti. Variabel yang dianalisis adalah karakteristik responden,

ebas
min,

frekuensi serangan stroke, ketidakmampuan fisik, dukungan keluarga,


kemampuan fungsional komunikasi dan depresi. Hasil dari analisis ini berupa
variabel kategorik

dengan

distribusi frekuensi dan

masing- masing variabel sedangkan

prosentase

variabel numerik dengan

dari
mean,

median, standar deviasi, serta nilai minimal dan maksimal pada 95%
confidence interval (CI). Analisis univariat masing masing variabel dapat
dilihat pada tabel 4.1.

Tabel 4.1 Analisis Univariat Variabel Dependen


dan Karakteristik Responden (Variabel
Perancu)

2.

No

Variabel

Kemampuan
Fungsional
Komunikasi
Numerik/Interval

Umur

4
5
6

Jenis Kelamin
Frekuensi serangan stroke
Ketidakmampuan fisik

Dukungan keluarga

Depresi

Jenis Data/ Skala Data

Deskripsi

Variabel Dependen
Numerik/Interval

Mean, Median, SD,


Min- Mak, 95% CI
Mean, Median, SD, MinMak, 95% CI
Variabel
Numerik/ Interval
Mean, Median, SD, MinConfounding
Mak, 95% CI
Kategorik/Nominal
Jumlah, Persentase (%)
Kategorik/Nominal
Jumlah, Persentase (%)
Numerik/ Interval
Mean, Median, D, MinS Mak, 95% CI
Numerik/Interval
Mean, Median, SD, MinMak, 95% CI

b. Analisis Bivariat
Analisis bivariat bertujuan untuk mengetahui adakah pengaruh signifikan tara
an dua variabel. Untuk menentukan jenis uji yang digunakan terlebih

aka

dahulu, m dilakukan uji homogenitas dan normalitas. Uji homogenitas

tiap

dilakukan pada se data antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi.

iuji

Untuk data kategorik d dengan uji Chi-Square dan untuk data numerik

test.

digunakan uji Independent t- Apabila nilai p > 0.05, maka data disebut

mua

homogen. Hasil yang didapatkan se data yang didapat homogen, artinya

abel

semua data memiliki kesetaraan pada vari perancu, seperti umur, jenis

dan

kelamin, frekuensi stroke, ketidakmampuan fisik dukungan keluarga.

abel

Sedangkan untuk uji normalitas data dilakukan pada vari numerik dengan

uji

membagi nilai skewness dengan standar error. Hasil normalitas untukisik,


variabel umur, dukungan keluarga, ketidakmampuan f

data

terdistribusi dengan normal, sehingga uji statistik yang digunakan adalah uji
parametrik dengan tingkat kemaknaan 95% (alpha 0,05). Artinya jika p value
<
0.05, maka hasilnya bermakna yang berarti Ho ditolak atau ada pengaruh. Tetapi
jika p value > 0.05, maka hasilnya tidak bermakna yang berarti Ho diterima atau
tidak ada pengaruh. Analisis bivariat yang digunakan dapat dilihat dibawah ini:

Tabel 4.2 Uji Statistik Ana lisis B ivariat Analisis


Homogenitas Kelompok Kontrol, lntervensi dan
Variabel Perancu
No

Variabel

1
2
3

Umur (Numerik)
Jenis kelamin (Kategorik)
Frekuensi serangan stroke
(Kategorik)
]4
Ketidakmampuan
fisik
independ
(Numerik)
5
Dukungan keluarga (Numerik)
independet

Kelompok
Kontrol Intervensi
Kontrol Intervensi
Kontrol Intervensi

Jenis Uji Statisitik


T test independent
Chi-Square
Chi-Square
T test

et

Kontrol - Intervensi
Kontrol - intervensi

T test

Tabel 4.3 Analisis Bivariat antara Kelompok


Kontrol
Dan Kelompok Intervensi
No.
1.

Variabel Penelitian

Uji Statistik

Perbedaan rata-rata kemampuan komunikasi verbal


sesudah diberikan komunikasi dengan AAC antara
independe

T test
nt

kelompok kontrol dan kelompok intervensi


2.

Perbedaan rata rata depresi sesudah diberikan


komunikasi dengan AAC antara kelompok kontrol dan
independe

nt

T test
n

kelompok intervensi
tik
Tabel 4.4 Analisis Bivariat Variabel Confounding Dengan Variabel
Depende
No
5

Variabel
Dukungan keluarga (Numerik)

Kelompok
Intervensi

n
dent
dent

n
Jenis Uji
Korelasi Person

BAB 5
HASIL PENELITIAN

Pada bab ini akan disajikan data tentang pengaruh pemberian komunikasi
dengan ugmentative and alternative communication terhadap kemampuan
fungsional komunikasi dan depresi berupa analisis univariat dan bivariat.
Sebelum dilakukan analisis bivariat dilakukan uji normalitas data dan uji
kesetaraan
variabel abel
perancu. Pada analisa univariat akan disajikan hasil
distribusipada
frekuensi
vari
resi.
konfounding, dan variabel kemampuan fungsional komunikasi dan
rata
dep
dan
Sedangkan pada analisa bivariat akan disajikan analisis kesetaraan,
perbedaan

onal

rata kemampuan fungsional komunikasi dan depresi pada kelompok


kontrol intervensi

beserta

hubungan

variabel

perancu

terhadap

kemampuan fungsi komunikasi dan depresi sesudah diberikan komunikasi


dengan AAC.
ang
5.1 Analisis univariat karakteristik responden

oke,
erik

Karakteristik responden yaitu pasien stroke dengan afasia motorik Data


y diidentifikasi berdasarkan umur, jenis kelamin, frekuensi serangan sing
str ketidakmampuan fisik dan dukungan keluarga. Data yang bersifat
num dianalisis sehingga didapatkan nilai rata rata, median dan standar
deviasi. kategorik dianalisis dan didapatkan hasil berupa persentase. Hasil
analisis ma
masing variabel ditunjukkan dalam tabel berikut.

Tabel 5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Umur, Ketidakmampuan


Fisik, Dukungan Keluarga, Kemampuan Fungsional Komunikasi dan
Depresi Pada Pasien Afasia Motorik di RSUD Garut, Tasikmalaya & Banjar
November - Desember 2011
Variabel
Umur
Kontrol
Intervensi
Gabungan
Ketidakmampuan Fisik
Kontrol
Intervensi
Gabungan
Dukungan keluarga
Kontrol
Intervensi
Gabungan
4
Kemampuan fungsional
komunikasi
Kontrol
Intervensi
Gabungan
Depresi
Kontrol
Intervensi
Gabungan

5.1.1

Mean

SD

Min. Mak.

95% CI

11
10
21

61.55
62.70
62.10

5.98
11.89
9.055

53 -70
42 76
42-76

57.52 65.57
54.19 71.21
57.97 66.22

11
10
21

25.00
26.00
25.48

8.062
6.58
7.229

10 - 40
15 - 40
10 - 40

19.58 30.42
21.29 30.71
22.19 28.77

11
10
21

45.73
47.30
46.48

3.524
2.31
3.043

39 - 53
44 - 50
39 - 53

43.36 48.09
45.65 48.9
45.09 7.86

11
10
21

10.64
11.10
10.86

1.74
1.66
1.682

8 - 14
8 - 13
8 - 14

11
10
21

9.64
8.30
9.00

1.28
1.16
1.378

8 - 13
7 - 10
7 - 13

1.81
9.46 12.29
9.91 1 1.62
10.09 1
0.50
8.77 1 .13
7.47 9.63
8.37 9

Umur
ntrol

Berdasarkan pada data tabel 5.1, didapatkan rata-rata umur pada kelompok
ko adalah 61.55 tahun (SD = 5.98) dengan umur termuda adalah 53 tahun
dan tertua 70 tahun. Dari hasil estimasi interval dapat disimpulkan

usia
95%

bahwa diyakini bahwa umur rata-rata antara 57.52 tahun sampai dengan
65.57 tahun.

D=

11.89) dengan umur termuda 42 tahun dan umur tertua 76 tahun. Dari
hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa umur ratarata antara 54.19 tahun sampai dengan 71.21 tahun.
Rata rata umur pada kelompok kontrol dan intervensi adalah 62.10 tahun (95%
CI : 57.97 66.22) dengan standar deviasi 9.055 tahun. Umur termuda 42 tahun
dan umur tertua 76 tahun, hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa
95%

diyakini rata rata umur pada kelompok kontrol dan intervensi adalah
diantara
57.97 tahun sampai dengan 66.22
tahun.
5.1.2

Ketidakmampuan fisik

Berdasarkan pada data tabel 5.1, didapatkan rata-rata ketidakmampuan fisik


pada kelompok kontrol adalah 25.00 (SD = 8.062) dengan
ketidakmampuan fisik terendah adalah 10 dan tertinggi 40. Dari hasil estimasi
interval
dapat
disimpulkan
bahwa 95% diyakini bahwa ketidakmampuan fisik
rata-rata
antara
19.58 sampai
dengan 30.42.
Sedangkan rata-rata ketidakmampuan fisik pada kelompok intervensi adalah6.00
2 (SD = 6.58) dengan ketidakmampuan fisik terendah adalah 15 dan 40.
tertinggi Dari hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakinihwa
ba ketidakmampuan fisik rata-rata antara 21.29 sampai dengan 30.71.
Rata rata ketidakmampuan fisik pada kelompok kontrol dan intervensialah
ad
uan
25.48 (95% CI : 22.19 28.77) dengan standar deviasi 7.229. Ketidakmamp
hwa
fisik terendah 10 dan tertinggi 40, hasil estimasi interval dapat disimpulkan
dan
ba
95% diyakini rata rata ketidakmampuan fisik pada kelompok kontrol
intervensi adalah diantara 22.19 sampai dengan 28.77.

5.1.3

Dukungan keluarga

ada

dah
Berdasarkan pada data tabel 5.1, didapatkan rata-rata dukungan keluarga
hwa
p kelompok kontrol adalah 45.73 (SD = 3.52) dengan dukungan keluarga
95% diyakini bahwa dukungan keluarga rata-rata antara 43.36 sampai
dengan
48.09.
Sedangkan rata-rata dukungan keluarga pada kelompok intervensi adalah 47.30
(SD = 2.31) dengan dukungan keluarga terendah adalah 44 dan tertinggi 50. Dari
hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa dukungan
keluarga rata-rata antara 45.65 sampai dengan 48.95.

Rata rata dukungan keluarga pada kelompok kontrol dan intervensi adalah
46.48 (95% CI : 45.09 47.86) dengan standar deviasi 3.043. Dukungan
keluarga terendah 39 dan tertinggi 53, hasil estimasi interval dapat disimpulkan
bahwa 95% diyakini rata rata dukungan keluarga pada kelompok kontrol
dan intervensi adalah diantara 45.09 sampai dengan 47.86.
5.1.4
Kemampuan
fungsional
komunikasi
Berdasarkan tabel 5.1, didapatkan rata-rata kemampuan fungsional komuni
kasi
pada kelompok kontrol adalah 10.64 (SD = 1.74) dengan kemampuan
kasi
komuni verbal terendah adalah 8 dan tertinggi 14. Dari hasil estimasi
apat
interval d disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa kemampuan fungsional
atakomunikasi r rata antara 9.46 sampai dengan 11.81.
Sedangkan rata-rata kemampuan fungsional komunikasi pada kelompok
ensi
interv adalah 11.10 (SD = 1.66) dengan kemampuan fungsional komunikasi
dah
teren adalah 8 dan tertinggi 13. Dari hasil estimasi interval dapat
hwa
disimpulkan ba
9.91
95% diyakini bahwa kemampuan fungsional komunikasi rata-rata
antara sampai dengan 12.29.
dan
Rata rata kemampuan fungsional komunikasi pada kelompok kontrol
682.
intervensi adalah 10.86 (95% CI : 10.09 11.62) dengan standar deviasi
masi
1. Kemampuan fungsional komunikasi terendah 8 dan tertinggi 14, hasil
onal
esti interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini rata rata kemampuan
mpai
fungsi komunikasi pada kelompok kontrol dan intervensi adalah diantara
10.09 sa dengan 11.62.
5.1.5 Depresi
Berdasarkan tabel 5.1, didapatkan rata-rata depresi
adalah

pada kelompok kontrol

9.64 (SD = 1.28) dengan depresi terendah adalah 8 dan tertinggi 13. Dari hasil
estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa depresi rata-rata
antara 8.77 sampai dengan 10.50.

Sedangkan rata-rata depresi pada kelompok intervensi adalah 8.30 (SD = 1.16).
Depresi terendah adalah 7 dan tertinggi adalah 10. Dari hasil estimasi interval
dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa depresi rata-rata antara 7.47
sampai dengan 9.13.
Rata rata depresi pada kelompok kontrol dan intervensi adalah 9.00 (95% CI
:
8.37 9.63) dengan standar deviasi 1.378. Depresi terendah 7 dan tertinggi 13,
hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini rata rata
pada kelompok kontrol dan intervensi adalah diantara 8.37 sampai dengan
depresi
9.63

Tabel 5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin


dan
Frekuensi Serangan Stroke Pada Pasien Afasia
Motorik di RSUD Garut, Tasikmalaya dan Banjar
November Desember 2011

Variabel
Jenis ke lamin
Laki laki
Perempuan
Total
Frekuensi serangan stroke
1 kali
> 1 kali
Total

Kontrol
(n=11)

Intervensi
(n=10)

Total

7
4
11

63.6
36.4
100

6
4
10

60.00
40.00
100

13
8
21

61.90
38.10
100

6
5
11

54.5
45.5
100

5
5
10

50.00
50.00
100

11
10
21

52.38
47.62
100

5.1.6 Jenis Kelamin


Berdasarkan hasil analisa tabel 5.2 didapatkan sebagian besar responden memiliki
jenis kelamin laki laki yaitu 13 orang (61.90%). Pada kelompok kontrol
sebagian besar memiliki jenis kelamin laki laki, yakni 7 orang (63.6%). Pada
kelompok intervensi jen is kelamin responden sebagian besar respondeniliki
jenis kelamin laki laki, yaitu 6 orang
(60%).

5.1.7 Frekuensi stroke


Distribusi karakteristik responden berdasarkan banyaknya jumlah serangan
stroke menunjukkan bahwa dari 21 orang responden, lebih banyak responden
memiliki jumlah serangan stroke 1 kali sebanyak 11 orang (52.38%). Pada
kelompok kontrol memiliki hampir merata memiliki jumlah serangan stroke 1
kali yaitu 6

orang (54.5%). Pada kelompok intervensi responden memiliki hasil yang sama
antara responden memiliki jumlah serangan stroke 1 kali dan > 1 kali yaitu
5 orang (50.0%).
5.2 Analisis Bivariat
Analisis bivariat diantaranya digunakan untuk mengetahui kesetaraan
variabel perancu antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi
melalui uji onal
homogenitas dan uji untuk membuktikan perbedaan kemampuan
fungsi komunikasi dan depresi pada kelompok kontrol dan intervensi.
5.2.1 Uji Normalitas dan Homogenitas
Pada bagian ini diuraikan tentang analisis kesetaraan variabel perancu, aitu
y umur, jenis kelamin, frekuensi serangan stroke, ketidakmampuan

dan

fisik dukungan keluarga. Adapun tujuan analisis ini adalah untuk

hwa

meyakinkan ba perbedaan kemampuan fungsional komunikasi dan depresiada


yang didapat p pengukuran akhir perlakuaan adalah merupakan efek

ibat

perlakuan dan bukan ak karakteristik responden. Uji yang digunakan

ntuk

adalah independent t test u mengetahui kesetaraan umur,

dan

ketidakmampuan fisik dan dukungan keluarga uji chi- square untuk

gan

mengetahui kesetaraan jenis kelamin dan frekuensi seran stroke pada

ntuk

kelompok kontrol dan intervensi. Uji normalitas dilakukan u variabel

rga,

numerik, seperti umur, ketidakmampuan fisik, dukungan kelua

data

kemampuan fungsional komunikasi dan depresi. Jika didapatkan distribusiitian


yang normal maka, syarat untuk dilakukan uji t terpenuhi. Hasil penelang
didapatkan semua data terdistribusi dengan normal, maka analisis bivariat
y digunakan dalam penelitian ini adalah uji t independen.

Tabel 5.3 Hasil Analisis Kesetaraan Umur, Ketidakmampuan Fisik


dan
Dukungan Keluarga antara Kelompok Kontrol dan
Intervensi
pada Pasien Afasia Motorik di RSUD Garut, Tasikmalaya dan
Banjar
November Desember 2011
Variabel

Umur
Kontrol
11
Intervensi
10
Ketidakmampuan Fisik
Kontrol
11
Intervensi
10
Dukungan Keluarga
Kontrol
11
Intervensi
10

Mean

SD

SE

p value

61.55
62.70

5.98
11.89

1.81
3.76

- 0.277

0.786

25.00
26.00

8.06
6.58

2.43
2.08

-0.309

0.760

45.73
47.30

3.52
2.31

1.06
0.73

-1.195

0.247

Berdasarkan hasil analisis tabel 5.3, didapatkan kesetaraan berdasarkan umur


antara kelompok kontrol dan intervensi dengan nilai p > 0.05. Ketidakmampuan
fisik responden didapatkan kesetaraan pada kelompok kontrol dan intervensi
dengan nilai p > 0.05. Sedangkan dukungan keluarga responden didapatkan
kesetaraan pada kelompok kontrol dan intervensi dengan nilai p > 0.05.
Tabel 5.4 Hasil Analisis kesetaraan Berdasarkan Jenis Kelamin
dan Frekuensi Serangan Stroke pada Pasien Afasia Motorik di
RSUD Garut, Tasikmalaya dan Banjar November Desember
2011
Variabel

Kontrol
(n = 11)
%

Intervensi
(n = 10)
%

Jenis Kelamin
Laki laki
7
53.85
6
Perempuan
4
50.00
4
Total
11 52.38 10
Frekuensi Serangan Stroke
1>1kali
54.54 5
kali
56 50.00
Total
11 52.38 10

Total

OR

p value

95% CI

46.15
50.00
47.62

13
8
21

100
100
100

1.00

0.2101

1.167
0.200 6.805

45.45
50.00
47.62

11
10
21

100
100

0.1727

1.200
0.216
6.676

1.00

Berdasarkan hasil analisis pada tabel 5.4 didapatkan kesetaraan karakteristik


responden berdasarkan jenis kelamin antara kelompok kontrol dan intervensi
dengan

>

0.05.

Sedangkan

hasil analisis

kesetaraan

karakteristik

responden berdasarkan frekuensi serangan stroke antara kelompok kontrol


dan intervensi didapatkan kesetaraan atau homogen dengan p > 0.05.

5.2.2

Analisis

Perbedaan rata-rata

kemampuan fungsional komunikasi

sesudah diberikan komunikasi dengan AAC antara kelompok kontrol dan


kelompok intervensi

Berikut ini akan disajikan perbedaan kemampuan fungsional komunikasi pada


pasien afasia motorik sesudah diberikan komunikasi dengan augmentative and
alternative communication antara kelompok kontrol dan intervensi
Tabel 5.5 Hasil Analisis Perbedaan Kemampuan Fungsional
Komunikasi antara Kelompok Kontrol dan Intervensi pada Pasien
Afasia Motorik
di RSUD Garut, Tasikmalaya dan Banjar
November Desember 2011
Variabel

Mean

SD

Kemampuan Fungsional Komunikasi


Kontrol
11
10.64
1.748

SE

0.527
-0.621

Intervensi

10

11.10

1.663

Mean Diff
95%
-0.464
-2.026 1.099

p value

0.542

0.526

Berdasarkan hasil analisis tabel 5.5 didapatkan rata-rata kemampuan


fungsi komunikasi responden kelompok kontrol adalah 10.64 dengan
standar de
1.748, sedangkan rata-rata kemampuan fungsional komunikasi
lrespon
i l j t
j
il i
. (
.
. ). rti
kelompok intervensi adalah 11.10 dengan standar deviasi 1.663. Hasil

onal
viasi
den
lisis
tidak
kasi

ana eb h an u menun ukkan n a p > 0 05 p = 0 542 pada = 0 05 A


nya terdapat perbedaan yang bermakna rata-rata kemampuan fungsional
komuni antara kelompok kontrol dengan intervensi.
ara
kelompok kontrol dan kelompok intervensi
Berikut ini akan disajikan perbedaan depresi pada pasien afasia motorik
setelah diberikan komunikasi dengan AAC antara kelompok kontrol dan
intervensi.
Tabel 5.6 Hasil Analisis Perbedaan Depresi antara Kelompok Kontrol
dan
Kelompok intervensi Pada Pasien Afasia
Motorik
di RSUD Garut, Tasikmalaya dan
Banjar
November Desember
2011

V
a
ri
a
b
el

Mean

SD

SE

Mean Diff

95%

p value
Depresi
Kontrol
0.388

11

9.64

1.1

Intervensi

10

8.30

1.160

1.336

0.367

2.491

0.213 2.459

*0.022

* Bermakna pada 0.05

Berdasarkan hasil analisis tabel tabel 5.6 didapatkan rata-rata depresi pada
mpok
kelo kontrol adalah 9,64, sedangkan rata rata depresi kelompok intervensi adalah
Hasil
8.30. uji statistik didapatkan p = 0 022 pada = 0 05 A nya e dapa pe
.
. . rti
t r
t r
yang
bedaan bermakna rata-rata depresi antara kelompok kontrol dan intervensi.

5.2.3

Analisis Variabel Perancu terhadap Kemampuan


Komunikasi dan Depresi pada Kelompok Intervensi

Fungsi
onal

Berikut ini akan disajikan pengaruh variabel perancu terhadap


kemamp fungsional komunikasi dan depresi pada pasien afasia motorik
setelah diber komunikasi dengan AAC pada kelompok intervensi.

n
ika

Tabel 5.7 Hasil Analisis Pengaruh Umur, Ketidakmampuan Fisik dan


Dukungan Keluarga terhadap Kemampuan Fungsional Komunikasi pada
Kelompok Intervensi pada Pasien Afasia Motorik
di RSUD Garut, Tasikmalaya dan Banjar
November Desember 2011

Umur

r
-0.144

p value
0.691

Ketidakmampuan fisik
Dukungan Keluarga

-0.264
-0.124

0.461
0.732

Variabel

ua

Dari tabel 5.7 di atas diperoleh nilai r = - 0,144 dan nilai p = 0,691. Artinya
hubungan antara umur responden dengan kemampuan fungsional komunikasi
menunjukkan

hubungan

yang

lemah

dan

berpola

negatif.

Semakin

bertambah umur responden, semakin berkurang kemampuan fungsional


komunikasinya .

Hasil uji statistik diperoleh tidak ada hubungan yang signifikan antara
umur dengan kemampuan fungsional komunikasi (p = 0,691).
Sedangkan pada variabel ketidakmampuan fisik diperoleh nilai r = -0,264
dan nilai p = 0,461. Artinya hubungan antara ketidakmampuan fisik responden
dengan kemampuan fungsional komunikasi menunjukkan hubungan yang
sedang dan berpola negatif. Artinya semakin bertambah ketidakmampuan
fisikHasil
responden,
semakin menurun kemampuan fungsional komunikas inya.
uji istik
stat diperoleh tidak ada hubungan yang signifikan antara ketidakmampuan

gan

fisk den kemampuan fungsional komunikasi (p = 0,461).


Variabel dukungan keluarga diperoleh nilai r = -0,124 dan nilai p = 0,732.
uan

Artinya hubungan antara dukungan keluarga responden dengan

kemamp fungsional komunikasi menunjukkan hubungan yang lemah dan gatif


berpola ne Dukungan

onal

keluarga berbanding terbalik dengan

kemampuan fungsi komunikasi. Hasil uji statistik diperoleh tidak ada ikan
hubungan yang signif antara dukungan keluarga dengan kemampuan

32).

fungsional komunikasi (p = 0,7

Tabel 5.8 Hasil Analisis Pengaruh Jenis Kelamin dan Frekuensi Serangan
Stroke terhadap Kemampuan Fungsional Komunikasi pada Kelompok
Intervensi
di RSUD Garut, Tasikmalaya dan Banjar
November Desember 2011
Variabel

Mean

SD

SE

Jenis Kelamin
Frekuensi
Laki laki serangan stroke
1 kali
>1 kali

6
5
5

11.00
12.00
10.20

2.098
1.225
1.643

0.856
0.548
0.735

p value

0.085

Sesuai tabel 5.8 di atas menunjukkan tidak ada hubungan bermakna antara
jenis kelamin dengan kemampuan fungsional komunikasi dengan nilai p >
0.05 (p =
0.831). Sedangkan pada frekuensi serangan stroke menunjukkan tidak ada

hubungan bermakna dengan kemampuan fungsional komunikasi dengan nilai p


>
0.05 (p = 0.085).
Tabel 5.9 Hasil Analisis Pengaruh Umur, Ketidakmampuan Fisik
dan Dukungan Keluarga Terhadap Depresi Pada Pasien Afasia
Motorik Pada Kelompok Intervensi di RSUD Garut, Tasikmalaya
dan Banjar November Desember 2011
Variabel
Umur
Ketidakmampuan fisik
Dukungan Keluarga

r
-0.395
0.539
-0.493

p value
0.258
0.108
0.147

Dari tabel 5.9 di atas diperoleh nilai r = - 0,395 dan nilai p = 0,258. Artinya
hubungan antara umur responden dengan depresi menunjukkan hubungan ang
y sedang dan berpola negatif. Semakin bertambah umur responden,

akin

sem menurun depresinya. Hasil uji statistik diperoleh tidak ada

ang

hubungan y signifikan antara umur dengan kemampuan fungsional

komunikasi (p = 0,258)
nilai
Sedangkan pada variabel ketidakmampuan fisik diperoleh nilai r = 0,539 dangan
p = 0,108. Artinya hubungan antara ketidakmampuan fisik responden

akin

den depresi menunjukkan hubungan yang kuat dan berpola positif. nya.
Sem bertambah ketidakmampuan fisik responden, semakin bertambah

tara

depresi Hasil uji statistik diperoleh tidak ada hubungan yang


signifikan an ketidakmampuan fisk dengan depresi (p = 0,108).
inya
Variabel dukungan keluarga diperoleh nilai r = -0,493 dan nilai p = 0,147.

kan

Art
hubungan
antara
dukungan
keluarganegatif.
responden
dengan
depresibertambah
hubungan
yang
sedang
dan berpola
Artinya
semakin
dukungan keluarga responden, semakin

menurun depresinya. Hasil uji

statistik diperoleh tidak ada hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga
dengan depresinya (p = 0,147).

Tabel 5.10 Hasil Analisis Pengaruh Jenis Kelamin dan Frekuensi Serangan
Stroke terhadap Depresi pada Pasien Afasia Motorik pada Kelompok Intervensi
di RSUD Garut, Tasikmalaya dan Banjar November Desember 2011
Variabel

Mean

SD

SE

Jenis Kelamin
Laki laki
Perempuan

6
4

8.00
8.75

1.265
0.957

0.516
0.479

Frekuensi serangan stroke


1 kali
>1 kali

5
5

9.00
7.60

1.000
0.894

0.447
0.400

p value

0.346
0.048*

* Bermakna pada 0. 05

Sesuai tabel 5.10 di atas, menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna antara
jenis kelamin dengan depresi dengan nilai p > 0.05 ( p = 0,346). Sedangkanada
p frekuensi serangan stroke menunjukkan hubungan bermakna dengan depresi
dengan nilai p < 0.05 (p = 0.048).

BAB 6
PEMBAHASAN

Pada bab ini akan diuraikan dan dijelaskan makna hasil penelitian yang meliputi :
interpretasi dan diskusi hasil penelitian seperti yang telah dipaparkan pada
bab lima, keterbatasan penelitian yang telah dilakukan serta bagaimana implikasi
hasil
penelitian ini terhadap pelayanan keperawatan
dan pengembangan
penel berikutnya guna peningkatan kualitas asuhan keperawatan.

itian

6.1 Interpretasi dan Diskusi Hasil Penelitian


Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi umur, jenis kelamin,
freku serangan stroke, ketidakmampuan fisik dan dukungan keluarga ensi
respon kelompok kontrol dan intervensi adalah homogen (p>0.05). Hal ini den
menunjuk bahwa sebelum perlakuan kedua kelompok adalah kondisi yang kan
setara, sehin kemampuan fungsional komunikasi dan depresi pada kelompok gga
intervensi ad efek dari pemberian komunikasi dengan AAC.

alah

6.1.1 Karakteristik Pasien


Stroke a. Umur
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden kontrol
da skala umur rata rata 61.55 tahun dan responden intervensi rata lam
rata 6 tahun. Umur termuda adalah 42 tahun dan umur tertua 76 tahun.

2.70

Secara konsep, faktor umur merupakan salah satu faktor risiko yang tidak
apat
diubah, menurut AHA/ASA (2006) menyatakan bahwa seseorang yang
sudah berumur diatas 55 tahun akan berisiko menderita stroke dua kali lipat
dibanding usia dibawah 55 tahun. Stroke pada usia ini diprediksi berkaitan
dengan masalah aterosklerosis yang banyak dialami oleh pasien-pasien usia
lanjut. Berdasarkan hasil wawancara selama penelitian, semua responden
memiliki faktor resiko hipertensi. Pada klien-klien dengan hipertensi, tekanan
darah yang tinggi secara

perlahan akan merusak dinding pembuluh darah dengan memperkeras arteri dan
mendorong terbentuknya bekuan darah dan aneurisma, inilah yang memicu
terjadinya stroke pada klien dengan hipertensi.Hal ini juga diperkuat oleh Feigin
(2004) bahwa risiko terkena stroke meningkat sejak umur 45 tahun, setelah
mencapai umur 50 tahun dan setiap penambahan umur tiga tahun meningkatkan
risiko stroke sebesar 11 20%.
Umur termuda responden pada kelompok intervensi adalah 42 tahun, ini tergolong
sebagai stroke umur muda. Menurut Pinzon (2009), definisi umum ang
y digunakan pada berbagai penelitian epidemiologi untuk stroke umur muda alah
ad stroke yang terjadi pada umur kurang dari 45 tahun. Menurut hasil

itian

penel Lipska, et al (2007) menunjukkan bahwa stroke usia muda

yak

paling ban disebabkan oleh sindrom metabolik. Komponen sindrom

apat

metabolik yang d teramati dalam penelitiannya adalah : peningkatan

/dl),

trigliserida (> 150 mg penurunan kolesterol HDL (dibawah 40 mg/ dl),arah


peningkatan tekanan d (diatas 130 mmHg untuk sistolik atau diatas 85 dan
mmHg untuk diastolik), peningkatan kadar gula puasa diatas 100 mg/ dl.pula
Pasien akan dinyatakan mengalami salah satu dari komponen sindroma

dah

metabolik tersebut, bila su terkonfirmasi menderita penyakit yang termasukatau


dalam sindroma metabolik, sedang mendapat terapi (misalnya mendapat
terapi statin untuk dislipidemia).
nen
Selain itu, hasil penelitian Lipska, et al (2007) juga menemukan bahwa

alah

kompo sindroma metabolik yang paling teramati pada kasus stroke umur us).
muda ad kadar HDL yang rendah (65% kasus) dan peningkatan tekanan darahroke
(50% kas Hal ini sesuai dengan apa yang ditemukan pada responden

dua

kalinya. Faktor resiko yang dimiliki oleh responden ini diantaranya adalah
tingginya kadar kolesterol dan trigliserida serta riwayat hipertensi. Hipertensi
dan

hiperlipidemia

merupakan

dua

faktor

resiko

terjadinya

stroke.

Hiperlipidemia terutama kolesterol dan trigliserida, peningkatannya akan


memicu terjadinya aterosklerosis yang bisa mencetuskan terjadinya stroke.
Aterosklerosis merupakan suatu proses dimana terjadi penebalan dan hilangnya
elastisitas arteri. Umumnya

proses arteroskeloris ditandai oleh plak berlemak pada lapisan intima arteri
besar. Bagian intima arteri serebri menjadi tipis berserabut, sedangkan sel-sel
ototnya menghilang. Lamina elastika interna robek dan berjumbai, sehingga
lumen pembuluh darah sebagian terisi oleh materi sklerotik tersebut. Kondisi
inilah yang memicu terjadinya penurunan sirkulasi darah ke otak yang
menyebabkan terjadinya stroke.
b. Jenis Kelamin
Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden memiliki jenis

min

kela laki laki sebanyak 13 orang (61.90%) dan 8 orang responden (38.10%)iliki
mem jenis kelamin perempuan. Proporsi jenis kelamin dalam penelitianebih
ini l banyak laki laki. Menurut Iskandar (2003), bahwa laki-laki lebih ung
cender lebih berisiko dibandingkan wanita dengan perbandingan 1.3 : 1, ada
kecuali p umur lanjut risiko stroke pada laki-laki dan wanita hampir sama. apat
Kondisi ini d dipengaruhi oleh faktor gaya hidup laki-laki antara lain sepertinum
: merokok, mi minuman beralkohol dan stress (baik dalam pekerjaan,

urut

keuangan, sosial). Men Feigin (2004) stres dalam jangka panjang dapat ang
memicu faktor-faktor y berhubungan dengan penyebab stroke.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti, sebagian besar

den

respon laki laki mengatakan mempunyai kebiasaan merokok dan jarangraga


berolah bahkan ada satu responden yang merokok 20 batang dalam sehari. igin
Menurut Fe (2004), mereka yang menghisap 20 atau lebih batang rokok

siko

sehari memiliki ri stroke dua kali lipat dibanding yang merokok lebih ama
sedikit. Semakin l seseorang merokok, semakin besar risiko mengalami
stroke.
Walaupun wanita jumlahnya sedikit dibandingkan responden laki laki dalam
penelitian ini, faktor risiko seperti wanita berumur lebih dari 35 tahun, merokok
dan

hipertensi serta

menggunakan

kontrasepsi

oral sangat

besar

kemungkinan terkena stroke (AHA/ASA, 2006; Price & Wilson, 2006). Pendapat
ini sesuai dengan yang ditemukan oleh peneliti selama wawancara dengan
responden bahwa sebagian besar wanita
dan terdapat 1 orang

menggunakan kontrasepsi oral (pil)

responden wanita yang merokok sejak dari mudanya. Hasil penelitian ini sesuai
dengan pendapat Feigin (2004), bahwa sebagian besar kontrasepsi oral
mengandung estrogen dan progesteron. Pil ini dapat meningkatkan tekanan darah
serta menyebabkan darah menjadi kental dan lebih mudah membentuk bekuan.
Kontrasepsi oral kombinasi meningkatkan risiko stroke iskemik, terutama pada
wanita perokok yang berusia lebih dari 30 tahun.
c. Frekuensi Serangan Stroke
mlah
Hasil penelitian ini menunjukkan sebagian besar responden memiliki ju
serangan 1`kali sebanyak 11 orang (52.38%). Selain stroke yang 1 kali,kan
ditemu
10 orang responden (47.62%) mengalami stroke >1
kali.

oke

kan
Secara konsep sekitar sepertiga dari semua pasien stroke yang sembuh dari
onal
str akan mengalami serangan ulang dalam 5 tahun, 5-14% dari mereka a
sien
mengalami stroke ulang pada tahun pertama (Iskandar, 2003). Menurut Nati
tu 5
Stroke Association (2009), 3- 10% stroke ulang terjadi dalam 30 hr, 5-14%
pa stroke akan mengalami stroke ulang dalam 1 tahun, dan 25-40% dalam
gan
wak tahun.
u 5
Pasien yang terkena stroke memiliki risiko yang tinggi untuk mengalami
aktu
seran stroke ulang. Serangan stroke ulang berkisar antara 30%-43%
24dalam wakt tahun. Setelah serangan otak sepintas, 20% pasien mengalami
dan
stroke dalam w
)
roke
90 hari, dan 50% diantaranya mengalami serangan stroke ulang dalam
nggi
waktu
dibandingkan dengan stroke pertama, karena pada saat terjadi stroke ulang,
jaringan

otak

masih

belum

pulih

akibat

serangan

pertama

sehingga

akan berdampak lebih berat (Bethesda Stroke Centre, 2007)


Pengendalian faktor risiko yang tidak baik merupakan penyebab utama
munculnya serangan stroke ulang. Serangan stroke ulang pada umumnya
dijumpai pada individu
merokok. Black &

dengan

hipertensi yang tidak terkendali dan

Hawk (2009) juga menyatakan bahwa pengurangan berbagai faktor risiko,


seperti hipertensi, penyakit jantung, diabetes mellitus, hiperlipidemia, merokok,
dan obesitas saat serangan stroke pertama dapat mencegah serangan stroke
berulang.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden
merupakan kasus dengan serangan pertama. Hasil penelitian ini didukung
oleh penelitian yang dilakukan oleh Almborg, Ulander, Thulin dan Berg (2009),
melaporkan
responden mengalami stroke pertama kali. Hal serupa dilaporkan
Yea,79%
Suh,Sien
dan Mien (2008) yang melaporkan 55.1% responden merupakan stroke ang
y pertama kali. Data tersebut menunjukkan bahwa pasien yang mengalami ke 1
stro kali lebih tinggi dibandingkan dengan stroke berulang.
d. Ketidakmampuan Fisik
Hasil penelitian ini didapatkan bahwa ketidakmampuan fisik respondenang
y diukur berdasarkan Barthel Indeks, sebagian besar mempunyai 25.48.kan
Kerusa kemampuan fungsional merupakan efek stroke yang paling jelasoke
terlihat. Str merupakan penyakit motor neuron atas yang mengakibatkantrol
kehilangan kon volunter terhadap gerakan motorik. Gangguan motorikkan
meliputi kerusa mobilitas, fungsi respirasi, menelan dan berbicara, reflek gaguan
dan kemamp melakukan aktivitas sehari hari (Lewis, 2007).
Berdasarkan hasil pengamatan dalam penelitian ini hampir sebagian esar
b responden mengalami hemiplegi karena gangguan pusat bicara
dihemisfer dominan, sehingga untuk melakukan kegiatan yang bersifat

kiri
lami

motorik menga gangguan, seperti Ketidakmampuan fisik dalam memenuhiri


kebutuhan seha

air

kecil, menggunakan toilet, berpindah, nobilitas dan menggunakan tangga.makan.


Menurut Saxena, Ng, Yong, Fong & Koh (2006), ketergantungan melakukan
aktivitas hidup sehari hari didefinisikan dengan nilai Barthel Index 50.
Pasien dengan paska stroke afasia mempunyai mortalitas yang lebih tinggi dan
kemampuan
(Kirshner,
2009).

fungsional

yang

rendah

daripada

pasien

tanpa

afasia

e. Dukungan Keluarga
Hasil penelitian ini didapatkan bahwa sebagian besar dukungan keluarga adalah
46.48. Hasil penelitian ini juga menunjukkan tidak banyak perbedaan
yang didapatkan rata rata dukungan keluarga antara kelompok kontrol
(45.73) dan intervensi (47.30). Berdasarkan penilaian dukungan keluarga yang
dimodifikasi dari teori dukungan keluarga dan kuesioner dukungan keluarga
Yenni (2011), dukungan keluarga dalam penelitian ini memiliki rentang 15
Kesimpulan baik
yang dapat diperoleh adalah semakin tinggi nilai dukungan60.maka
semakin dukungan keluarga.
Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga

dap

terha penderita yang sakit (Friedman, 2010). Dukungan keluarga

lalu

memang se diberikan keluarga pada pasien stroke. Gangguan pada pasien ikan
stroke member efek sosial pada pasien dan keluarganya. Aktivitas sehari

sial

hari dan kontak so dengan lingkungan sekitarnya menurun drastis,

ggu

sehingga akan menggan keharmonisan keluarga (Sarafino, 2006). Hal ini 000)
sesuai dengan Mant et al (2 bahwa ada hubungan dukungan keluarga

dan

dengan peningkatan aktivitas sosial kualitas hidup pasien stroke.


Berdasarkan hasil pengamatan penelitian didapatkan bahwa keluarga selalu
menunggu pasien dan memberikan perawatan selama pasien dirawat dimah
ru sakit, sehingga pasien merasa nyaman dan diperhatikan oleh keluarganya.
Menurut peneliti rasa nayaman yang timbul pada diri pasien afasia motorik akan
muncul karena adanya dukungan baik emosional, penghargaan, instrumentaldan
informasi dari keluarga. Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Taylor,
gah
(2006), bahwa dukungan yang dimiliki oleh seseorang dapat
mence
berkembangnya masalah akibat tekanan yang dihadapi. Seseorang dengan
dukungan keluarga yang tinggi akan

lebih berhasil menghadapi dan

mengatasi masalahnya dibandingkan dengan yang tidak memiliki dukungan.


Kondisi ini akan mencegah munculnya depresi pada pasien stroke dengan
afasia motorik. Depresi
sehingga akan

akan

mempengaruhi

pasien

dalam

rehabilitasi,

memperlambat penyembuhan wicara pasien, keterbatasan dalam aktivitas sosial


dan meningkatkan lama hari rawat.
Keluarga merupakan sistem pendukung yang memberikan perawatan langsung,
terutama bantuan terhadap keterbatasan fisiknya pada setiap keadaan sehat sakit
anggota

keluarganya. Selain

itu

dukungan

keluarga dapat

membantu

perawat dalam perencanaan program penyembuhan stroke, pendidikan pasien,


keefektifan
dan
efisiensi penggunaan sumber daya perawatan kesehatan (Huang, et al,
201
6.1.2 Pengaruh pemberian komunikasi dengan AAC terhadap

0).
uan

kemamp fungsional komunikasi pada pasien stroke dengan afasia


motorik
tkan
Penelitian ini menunjukkan bahwa pada kelompok kontrol yang mendapa
dan
intervensi isyarat/alat tulis, kemampuan fungsional komunikasi tertinggi 14
AAC
terendah 8, sedangkan pada kelompok intervensi yang mendapatkan
bet,
menggunakan buku komunikasi berisi gambar, musik, papan
nya
alfa majalah/surat kabar dan alat tulisertinggi 13 dan terendah 8. Bila dilihat
aian
kedua memiliki kemampuan fungsional komunikasi yang sangat jauh
nggi
dari penil Derby Functional Communication Scale (DFCS) yaitu memiliki
ini
rentang terti
onal
24 dan terendah 0. Lebih lanjut hasil yang diperoleh pada
penelitian menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan
kemampuan fungsi komunikasi setelah diberikan komunikasi dengan AAC
selama sepuluh hari. Secara konsep afasia motorik terjadi akibat lesi pada
area Broca pada lobus fro yang ditandai dengan kesulitan dalam

ntal
dan
ntuk
efek

langsung pada penyembuhan penyakit, jika klien tidak memahami instruksi.


Kondisi ini menyebabkan pasien terisolasi dari keluarga, teman komunitas yang
lebih luas. Pasien tidak mampu mengungkapkan apa yang mereka inginkan,
tidak mampu berbicara melalui telepon, menjawab pertanyaan atau berpartisipasi
dalam percakapan, sehingga seringkali pasien menjadi frustasi, marah,
kehilangan harga diri dan emosi pasien menjadi labil. Keadaan ini pada
akhirnya menyebabkan

pasien menjadi depresi (Mulyatsih & Ahmad, 2010; Smeltzer, Bare, Hinke
& Cheever, 2010).
Beberapa alat bantu komunikasi yang dapat dilakukan pada pasien afasia
menurut NIC adalah penggunaan perangkat elektronik, papan alfabet, papan
gambar/ flash card yang berisi gambar kebutuhan dasar, stimulus visual, alat
tulis, menggunakan kata kata yang sederhana, memberikan bahan bahan
yang
berisi(2011);
tulisan atau y &
gambar yang dapat ditunjuk oleh pasien (Ackley &
Ladwig
Ackle Swan (2008); Dochterman & Bulecheck (2004); Smeltzer, Bare, &
Hinkle Cheever (2010). Bila dilihat intervensi keperawatan komunikasi

ensi

diatas, interv tersebut merupakan bagian dari AAC.


Beberapa penelitian terdahulu telah memberikan gambaran mengenai pengaruh
pemberian AAC terhadap kemampuan fungsional komunikasi pada pasien oke
str yang mengalami afasia. Menurut hasil penelitian Bhogal, Teasell,

&

Foley Speechley (2003) yang menggunakan constraint induced therapy

kan

(mengguna kartu bergambar dalam latihan wicara, terdapat perbedaan yang tara
signifikan an kelompok yang menerima latihan 3 jam selama 10 hari

pok

dibandingkan kelom standar yang menerima latihan 1 jam selama 4

uan

minggu terhadap kemamp penamaan dan pemahaman yang dievaluasi

Test.

dengan tes wicara, seperti Token Selanjutnya penelitian case control yang man
dilakukan oleh Garret & Beukel (1995) pada pasien dengan trauma

ang

pembuluh darah cerebral kiri y menggunakan AAC dengan metode lowsan)


technology (gambar yang berisi tuli selama 1.5 bulan terbukti dapat

lam

meningkatkan pemahaman dan kemampuan da komunikasi (Ackley, Ladwig,


Swan & Tucker, 2008)
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Bakheit et al (2007) membandingkan
2 kelompok dengan durasi yang berbeda dengan menggunakan media gambar
pada pasien afasia motorik sebagai latihan wicara (orientasi tugas menyeleksi
gambar, penamaan objek, menjelaskan dan mengenalkan hubungan antara
kedua item) pada kelompok intensif menerima latihan wicara selama 5 jam
dan kelompok standar
selama 12 minggu,

yang menerima

latihan

wicara

selama

jam

menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap kemampuan berbahasa


pada kelompok standar dengan waktu 2 jam (p = 0.002 dibandingkan dengan
kelompok intensif dengan waktu 5 jam (p > 0.05). Sementara hasil penelitian
Rappaport et al (1999 dalam Powlasky, Schuurmans, Lindeman &
Hafsteindottir, 2010) melakukan penelitian dengan memberikan latihan
wicara menggunakan media gambar pada afasia motorik yang dilakukan
setiap hari selama 5 tahun dengan lama latihan wicara selama 3
menunjukkan kemampuan berbahasa,
jam/minggu,
sedangkan
didapatkan
sebagian
sebagian
lagi pasien kan
menunjuk sedikit atau tidak ada perbaikan.
Dari beberapa hasil penelitian tersebut, menunjukkan berbagai variasi tentang
intensitas dan lamanya latihan. Latihan intensif, dimulai secara dini dan
dilanjutkan beberapa bulan dapat mempengaruhi kemampuan komunikasi

ien.

pas Menurut pendapat Darley (1977 dalam Kusumoputro, 1992), terapi yangnsif
inte akan memberikan suatu manfaat pemulihan nyata pada pasien apabila ikan
diber pada waktu terjadi pemulihan spontan dan hasil maksimal akan

bila

didapatkan apa terapi dimulai awal dan berlanjut untuk periode beberapa

ihan

bulan. Lamanya lat dapat dihubungkan dengan lamanya pemulihan bicara hier
pasien. Menurut Bat (2005), penyembuhan spontan menunjukkan

a 2

pemulihan bicara tercepat selam atau 3 bulan dan puncaknya terjadi setelah ung
1 tahun. Hasil penelitian ini diduk oleh penelitian Laska (2007)

ulan

penyembuhan bicara tercepat terjadi dalam b pertama setelah paska stroke.atik


Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil sistem review Poslawsky,

hwa

Schuurmans, Lindeman & Hafsteinsdottir (2010), ba sekitar 40%

m 1

penyembuhan komplit afasia atau hampir komplit terjadi dala tahun

kap

setelah stroke tetapi sekitar 60% penyembuhan yang terjadi tidak leng
Faktor faktor yang mempengaruhi pemulihan

wicara bahasa terhadap

kemampuan fungsional komunikasi pada afasia adalah luas cedera yang


berhubungan erat dengan kemungkinan adanya gangguan tambahan, seperti
gangguan visual, motoris (terutama bila berkaitan dengan proses berbicara),
gangguan auditif, gangguan daya ingat dan gangguan emosional akibat
kerusakan

otak dapat menghambat pemulihan. Keparahan afasia, umur dan lateralisasi


juga menjadi faktor faktor prognosis dalam pemulihan wicara afasia
(Kusumoputro,
1992).
Selain itu latihan secara intensif juga dapat meningkatkan neural
plasticity, reorganisasi peta kortikal dan meningkatkan fungsi motorik (Bakheit
et al (2007). Neuroplastisitas otak merupakan perubahan dalam aktivasi
jaringan otak yang ini
merefleksikan kemampuan adaptasi otak. Dengan adanya
kemampuan kemampuan-kemampuan motorik klien yang mengalami

rena

kemunduran ka stroke dapat dipelajari kembali. Proses neuroplastisitas otakoses


terjadi melalui pr substitusi yang tergantung pada stimulus eksternal

dan

melalui terapi latihan proses kompensasi yang dapat tercapai melalui

uatu

latihan berulang untuk s fungsi tertentu, pemberian alat bantu dan atau atau
ortosis, perubahan perilaku perubahan lingkungan (Wirawan, 2009).
Pada saat pelaksanaan latihan komunikasi dengan AAC, media yang

kan

diguna pemberian latihan komunikasi lebih memfokuskan bagaimana itasi


memfasil komunikasi tanpa melihat keparahan afasia dalam memberikan

saja

latihan. Tentu hal ini bisa memberikan kondisi yang berbeda-beda

den

antara setiap respon dengan lamanya pemulihan bicara terhadap kemampuani.


fungsional komunikas
lam
Selama melakukan penelitian, latihan komunikasi melibatkan ke luarga gkat
da pelaksanaannya. Menurut Kusumoputro (1992), efektifitas terapi akan

oleh

menin bila melibatkan keluarga, teman dalam rehabilitasi afasia. Hal ini

010)

didukung Kelley et al (2010 dalam dalam Salter, Teasell, Bhogal,

hasil

Zettler, Foley, 2 bahwa latihan wicara dapat dilakukan oleh volunteer dan rang
terdekat
dengan pasien. Keluarga dapat berperan membantu latihan komunikasi
dapat
memberikan
tentang kegiatan pasien sehari hari yang selalu dilakukan, seperti setiap pasien
mau makan, minum, mandi, menggosok gigi, menyisir rambut, berpakaian,
BAB, BAK, penggunaan toilet, istirahat dan tidur, miring kanan/kiri, duduk
bersandar, minum obat, mobilisasi dan lain - lain merupakan suatu latihan dan
komunikasi dengan waktu 5 menit x 20 kegiatan sehari - hari ( total latihan
setiap hari = 100

menit). Keluarga dapat berperan secara mandiri melakukan latihan komunikasi


dengan tugas menunjuk gambar, menyebutkan, penamaan, pengulangan,
membaca, mengeja dan menulis.
Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian Johnson, Hough, King, Vos
& Jeffs (2008) yang melakukan penelitian penggunaan komunikasi dengan
AAC terhadap 3 orang pasien afasia berat kronik menggunakan high technology
dengan
melibatkan keluarga dalam waktu 1 jam, 3 4 hari/minggu selama
3 bulan
didapatkan hasil 1 orang menunjukkan pemahaman dan penamaan

jek,

ob sedangkan 2 orang pasien terdapat peningkatan dalam pemahaman

ran,

pendenga sedangkan ke 3 orang pasien terdapat penurunan dalam

kan

pengulangan. Sedang hasil penelitian yang dilakukan oleh David et al

sell,

(1989 dalam Salter, Tea Bhogal, Zettler, Foley, 2010) terhadap latihan ntuk
wicara yang dirandom u mendapat latihan wicara oleh terapi wicara dan tkan
volunter tidak terlatih didapa tidak ada perbedaan signifikan diantara kedua cara
kelompok terhadap skor tes wi menggunakan Functional Profile
Communication (FCP).
idak
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian ini menjadi nya
t signifikan dapat disebabkan karena latihan komunikasi yang terlalu singkat aiki
ha

erat

10 hari. Waktu 10 hari ini mungkin tidak maksimal untuk memperbapat


kemampuan fungsional komunikasi pada semua subjek penelitian karena b ini
stroke dan derajat keparahan afasia subjek penelitian bervariasi dan terdpok
variasi pada setiap individu dalam hal waktu pemulihan. Pada penelitiankah
intervensi yang diberikan oleh peneliti diberikan sama kepada kedua kelomruhi
kemampuan

fungsional komunikasi pasien

afasia.

Faktor

lain

seperti

kemampuan kognitif, umur tua dan kehadiran beberapa anggota keluarga yang
mendampingi pasien berganti-ganti yang ditemukan pada hari ke 8 dan 9
(terdapat 2 keluarga) yang bergantian menunggu pasien, sehingga peneliti
harus memberikan latihan dan penjelasan yang berulang ulang kepada
keluarga. Semua faktor ini tentunya dapat mempengaruhi kemampuan fungsional
komunikasi pasien.

Meskipun demikian, walaupun tidak ada pengaruh yang signifikan terhadap


kemampuan fungsional komunikasi setelah pemberian komunikasi dengan AAC,
tetapi terdapat perbedaan ratarata antara kelompok kontrol (10.64) dengan
kelompok intervensi (11.10) setelah diberikan komunikasi dengan AAC.
Perkembangan yang ditemukan dalam penelitian ini terlihat 2 orang
responden
pada kelompok intervensi terjadi peningkatan produksi suara, walaupun
tidak
terdapat

peningkatan

kemampuan

berkomunikasi,

responden

tersebut

menggunakan komunikasi non verbal dengan isyarat dan menunjuk yangada


dibuku komunikasi atau benda yang ada disekitarnya untuk

ikan

mengkomunikas kebutuhan dasarnya. Kedua pasien tersebut dapat

ang

merespon salam y disampaikan melalui ekspresi wajah dan dapat

alau

berinteraksi dengan peneliti w sebentar.


Secara keseluruhan pasien mampu menunjukkan gambar yang ada

uku

dib komunikasi dan benda benda yang ada diruangan untuk

ikan

mengkomunikas kebutuhannya. Terdapat 3 orang pasien yang berada pada aian


nilai 3 pada penil ekspresi yang ditunjukkan dengan kemampuan

dan

memberikan respon ya/tidak mengekspresikan katakata sederhana,

tapi

seperti makan, minum,tidur te mengalami kesulitan ketika berbicara

kata

dalam kalimat panjang, hanya kata benda, makan, mandi. Aspek

sien

penilaian pemahaman sebagian besar pa mengalami kesulitan dalam


memahami kalimat yang rumit.
ada
6.1.2 Pengaruh pemberian komunikasi dengan AAC terhadap depresi
p pasien stroke dengan afasia motorik

ang

dapat terjadi setiap saat setelah stroke tapi biasanya dalam beberapa bulan
pertama. Depresi paska stroke mempengaruhi sekitar 20-50% pasien stroke
dalam tahun pertama setelah stroke, dan kejadian puncaknya diperkirakan pada 6
bulan poststroke. Sit et al (2004) dalam penelitiannya terhadap 95 pasien stroke
menemukan kejadian depresi pada 48 jam setelah masuk rumah sakit sebesar
69% dan 6 bulan setelahnya sebesar 48%.

Menurut Amir (2005) frekuensi depresi lebih tinggi pada pasien afasia motorik
daripada afasia global (71%:44%). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian
Signer et al, (1989 dalam Amir, 2005), menjelaskan bahwa depresi pada pasien
afasia motorik lebih tinggi daripada global (63% :16%). Tingginya frekuensi
depresi pada pasien afasia motorik disebabkan oleh tingginya kesadaran
mereka akan kecacatan/ketidakmampuan pasien (Amir, 2005).
Depresi dapat terjadi sebagai akibat langsung dari proses infark otak atau apat
d
oleh
terjadi sebagai reaksi akibat cacat atau ketidakberdayaan yang disebabkan
perti
stroke. Berbagai dampak stroke terjadi pada berbagai fungsi tubuh, se
uan
gangguan motorik, sensorik, bicara dan bahasa, penglihatan, afek dan
gga
gangg kognitif (Suwantara, 2004). Kondisi ini dianggap disability bagi
aan.
pasien, sehin menimbulkan perasaan tidak berguna, tidak ada gairah hidup
ang
dan keputusas Keadaan ini selanjutnya dapat mendorong penderita kedalam
hasil
gejala depresi y berdampak pada motivasi dan rasa percaya diri pasien. Hal
perti
ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ross, et al (2010), bahwa
sial,
faktor biologi se frekuensi serangan stroke, keparahan gangguan berbahasa
pada
dan faktor psikoso seperti kesepian merupakan faktor risiko yang signifikan
sia,
terjadinya depresi afasia. Selain itu menurut Schub & Caple (2010),
atau
meningkatnya derajat afa peningkatan keparahan stroke, penurunan
aruh
intelektual, riwayat pribadi keluarga depresi atau tinggal sendirian
merupakan faktor yang berpeng terjadinya depresi.
itif,
Depresi paska stroke memiliki efek negatif terhadap pemulihan fungsi kogn
rro,
aktivitas hidup sehari hari dan dapat meningkatkan kematian (Caiero, Fe
jadi
Santos & Luis, 2006). Pasien juga akan menarik diri dari kegiatan sosial,
pada
men rendah diri setelah stroke, hasil rehabilitasi yang jelek, serta
dan
berdampak
pasien (Meifi & Agus, 2009; Finke, Light & Kitko, 2008). Kondisi ini
menyebabkan pasien akan merasa frustasi dengan keadaannya. Hal ini akan
memiliki dampak negatif terhadap masa pemulihan dan hubungan sosial dengan
lingkungan sekitarnya. (Ginkel et al, 2010).
Pemulihan stroke membutuhkan waktu yang lama dan proses yang sulit.
Program rehabilitasi yang diikuti oleh pasien stroke kadang dirasakan tidak
memberikan

efek pada dirinya dan kurangnya bimbingan dari program rehabilitasi sebelum
mereka

meninggalkan

rumah

sakit

mengakibatkan

mereka

mulai

berfokus terhadap defisit yang terjadi pada dirinya. Akhirnya mereka merasa
hopelessness dan

tak

berdaya.

Kondisi ini menambah

semakin

parah

depresinya (Sarafino,
2006).
Selama penelitian, beberapa alat bantu komunikasi non verbal digunakan
memfasilitasi pasien afasia, seperti foto, musik, gambar, buku komunikasi, untu
pa
k
alfabet dan alat tulis. Hal ini sesuai dengan pendapat Mulyatsih & Ah
pan
(2010), bahwa berbagai cara digunakan untuk memfasilitasi komunikasi
mad,
p pasien afasia serta mendorong pasien berkomunikasi, bahkan yang kecil
ada
sekal untuk mengurangi frustasi, depresi dan isolasi sosial. Pasien dapat
ipun
dibantu den menyediakan papan komunikasi. Papan komunikasi ini berisi
gan
gambar, kata k huruf atau simbol aktivitas kegiatan harian pasien sesuai
ata,
dengan kegiatan y diminta atau diungkapkan. Pasien dianjurkan untuk
ang
mengungkapkan kebutu pribadi dan menggunakan papan tulis bila
han
tidak mampu mengekspres kebutuhan
ikan
Penggunaan alat bantu visual seperti gambar, tulisan dengan beberapa kata
ku alat tulis dapat memfasilitasi pemahaman dan ekspresi pasien afasia
(Clark

nci,

son,
2010). Hal ini sejalan dengan pendapat Kusumoputro (1992) bahwa efekti
fitas
terapi afasia akan meningkat jika latihan menggunakan bentuk stimulus
udio
a dalam bentuk musik dan stimulus visual dalam bentuk gambar
erta
gambar s lukisan. Jenis stimulus ini sebaiknya digunakan secara rutin selama
sesi
mengikuti terapi afasia. Sedangkan mengajak pasien bercakap cakap
rapi
uan
komunikasi (Holland, 1982 dalam Kusumoputro,
1992).

Terapi intonasi lagu dapat digunakan pada pasien afasia dengan kemampuan
ekspresi

verbal

minim

(Kusumoputro,

1992;

Prins

&

Maas,

1993;

Wirawan,
2009). Pemberian stimulasi melalui lagu, menyanyikan dan menyuarakan

lagu sebelum pasien sakit akan lebih bermanfaat dengan memfungsikan


hemisfer kanan karena hemisfer kiri (dominan) mengalami kerusakan. Selain
itu terapi

musik juga dapat digunakan

pasien

depresi untuk mengekspresikan

emosinya, sehingga dapat mengurangi depresi paska stroke (American Music


Association,
2005).

Penggunaan

media,

meningkatkan relaksasi dan

seperti

memberikan

musik

bermanfaat

untuk

rasa nyaman sehingga dapat

menghambat sensasi kecemasan, ketakutan, ketegangan serta mengalihkan


perhatian dari pikiran- pikiran yang tidak menyenangkan. Hal ini sejalan dengan
penelitian Kemper & Danheur (2005) bahwa musik dapat memberikan efek bagi
peningkatan stres
kesehatan,
mengurangi
dan mengurangi nyeri.
Musik yang sesuai dengan selera pasien mempengaruhi sistem limbik dan
s otonom, menciptakan suasana rileks, aman dan menyenangkan

araf

sehin merangsang pelepasan zat kimia Gamma Amino Butyric Acid

gga

(GABA), enkef dan beta endorphin yang akan mengeliminasi

alin

neurotransmitter rasa nyeri mau kecemasan sehingga menciptakan

pun

ketenangan dan memperbaiki suasana pasien (Greer, 2004).

hati

Hasil penelitian ini setelah diberikan komunikasi dengan AAC pada


kelom intervensi ditemukan penurunan nilai depresi. Berdasarkan hasil pok
pengam pasien mampu mengkomunikasikan kebutuhannya melalui

atan

pemberian b komunikasi dan objek yang ada disekitar ruangan dengan

uku

menunjukkan gam sehingga pasien dapat berinteraksi dengan keluarga bar,


dan petugas keseha Menurut hasil penelitian Finke, Light & Kitko, (2008),tan.
komunikasi dengan A dapat membantu perawat berkomunikasi pada
pasien yang menga keterbatasan komunikasi verbal. Penelitian ini

AC
lami

diperkuat oleh hasil penel Johston et al (2004 dalam Clarkson, 2010), itian
bahwa AAC dapat meningka

tkan
gan

meningkatkan

kemandirian dan perkembangan hubungan sosial, sehingga

akan mempengaruhi

kualitas hidup. Hal ini dapat terjadi karena pasien yang

menggunakan AAC pada umumnya memiliki kepuasan dalam hubungan dengan


keluarga, teman dan aktivitas hidup yang menyenangkan (Wikipedia, 2011).
Lebih lanjut, berdasarkan hasil penelitian didapatkan adanya perbedaan yang
signifikan terhadap depresi sesudah diberikan komunikasi dengan AAC
selama

sepuluh hari. Nilai depresi pada kelompok kontrol adalah 9.64 dan nilai depresi
pada kelompok intervensi adalah 8.30. Menurut instrumen observasi depresi
(ADRS), dikatakan

depresi bila skor pasien

9. Kesimpulan

yang

diperoleh adalah semakin tinggi nilai yang diperoleh, semakin menunjukkan


pasien depresi (Benaim, Cailly, Perennou & Pelissier, 2004) .
6.1.3

Hubungan

variabel

perancu

dengan

kemampuan

fungsional

komunikasi
a. Umur
Afasia tergolong gangguan komunikasi. Komunikasi merupakan bagian penting
dalam kehidupan manusia. Menurut Berman, Snyder, Kozier & Erb, (2008),
komunikasi merupakan proses pertukaran informasi diantara dua orang atau ebih
l
atau terjadi pertukaran ide ide atau pemikiran. Sedangkan menurut Sundin &
Jonson (2003), melalui komunikasi seseorang dapat mengekspresikanaan
peras dan integritas diri.
Beberapa hasil penelitian dan literatur menjelaskan bahwa faktor umur apat
d mempengaruhi efektifitas rehabilitasi afasia, antara lain kecepatan

ihan

pemul wicara pasien, kemampuan fungsional dan munculnya penyakit

ktor

penyerta/ fa risiko, sehingga dapat mempengaruhi kemampuan

kasi.

fungsional komuni Pendapat ini didukung oleh hasil penelitian

dan

Chefez, Dickstein, Laufer Marcovitz (2001) menyimpulkan bahwa

roke

proses pemulihan pada pasien st tergantung dari umur pasien, faktor

sial.

serangan, stroke berulang dan status so Pendapat ini didukung oleh hasil atan
penelitian Mc. Caffrey (2008), bahwa kecep

pada

usia anak-anak, khususnya pada stroke. Menurutnya kecepatan


penyembuhan pada orang dewasa memiliki prognosis yang buruk oleh karena
neural plasticity. Pendapat ini didukung oleh Kusumoputro (1992) dari hasil
observasinya dijumpai bahwa proses pemulihan afasia dewasa dapat
terjadi dalam waktu lama. Menurutnya banyak pasien yang masih
mengalami derajat afasia berat dalam 3 bulan dan dapat mengalami
perbaikan bermakna setelah 3 atau 12 bulan

kemudian. Berbeda dengan hasil penelitian oleh Culton (1971) dan Sarno (1981)
yang

menjelaskan

bahwa

faktor

umur

tidak

mempengaruhi

penyembuhan berbicara (Kusumoputro, 1992).


Selanjutnya faktor bertambahnya umur, seperti umur tua
memungkinkan seseorang untuk terkena berbagai faktor risiko, seperti
penyakit jantung dan pembuluh darah, DM, sehingga dapat mempengaruhi
proses
pemulihan
afasia. gan
Faktor umur diketahui memiliki hubungan yang
cukup
signifikan
den perbaikan fungsi neurologis klien. Umur tua diketahui memiliki

uan

kemamp memori jangka panjang kurang baik dibandingkan dengan usia

gga
ini

muda, sehin hal ini berdampak pada pemulihan kemampuan bahasa

pasca stroke. Hal didukung oleh hasil penelitian Smith (2001), menjelaskan ada
bahwa pemulihan p pasien stroke umur lanjut sangat terbatas, hal ini

daan

berhubungan dengan kea mental dan adaptasi. Biasanya pemulihan pada ebih
pasien stroke umur muda l cepat karena umur muda lebih cepat beradaptasi.
Selain itu faktor umur juga mempengaruhi kemampuan fungsional paska roke
st terhadap pelaksanan rehabilitasi. Pendapat ini didukung oleh

ang

penelitian y dilakukan oleh Bagg, Pombo & Hopman (2002) tentang

dap

efek umur terha kemampuan fungsional pasca stroke didapatkan hasil

kan

bahwa umur merupa faktor yang menentukan kemampuan fungsional dap


pasca stroke terha pelaksanaan program rehabilitasi. Menurut Petrina usia
(2007) pasien lanjut seringkali tidak dapat mengikuti program rehabilitasi kan
sebagaimana yang dilaku pada pasien stroke dengan umur yang lebih muda lami
karena intoleransi yang dia oleh mereka dalam melakukan aktivitas latihan.
Penlitian ini sejalan dengan penelitian oleh Paolucci et al (2003), bahwa umur
tua memiliki risiko 10 kali lipat untuk mendapatkan respon yang buruk dalam
rehabilitasi dibandingkan umur lebih muda.
Hasil penelitian ini sesuai yang didapatkan pada waktu penelitian yaitu
sebagian besar responden berumur tua, sehingga kadang-kadang responden
tampak kurang

konsentrasi dengan pelaksanaan latihan sehingga mempengaruhi outcome


penelitian. Tetapi umur ini bukan merupakan satu-satunya faktor yang
mempengaruhi kemampuan bicara pasien stroke, faktor selain luar umur ikut
juga mempengaruhinya seperti tingkat keparahan stroke dan status fungsional
sebelum stroke.
Walaupun secara konsep umur responden memiliki hubungan dengan
bicara/perbaikan neurologis, akan tetapi hasil penelitian secara statistik pem
t terdapat hubungan yang bermakna antara umur dengan kemampuan

uliha
n

fungsi komunikasi pasien stroke dengan afasia motorik. Hal ini


ditunjukkan den hasil analisis bivariat yang menunjukkan tidak ada

idak

hubungan signifikan an umur dengan kemampuan fungsional komunikasional


(p : 0.691) dan mem kekuatan hubungan yang lemah dan arahnya negatifgan
(r = -0.144). Artinya d disimpulkan bahwa semakin bertambah umur tara
maka semakin men kemampuan fungsional komunikasinya. Hal ini iliki
dapat dihubungkan ba sebagian besar responden berumur lanjut yang

apat

dapat mempunyai faktor ri seperti hipertensi, jantung, DM untuk menjadi urun


stroke, dimana 1/3 pasien str akan berkembang menjadi afasia (Bakheit, ethwa
al, 2007, Van der Gaag, 20

siko

Adanya faktor selain umur, seperti keparahan afasia, luas/letak cedera oke
frekuensi serangan stroke, sehingga pada akhir penelitian kemampuan

05).

fungsi komunikasi tidak banyak mengalami peningkatan.

dan
onal

b. Jenis Kelamin
Jenis kelamin diketahui memiliki hubungan dengan pemulihan pasca
stroke. ini sesuai dengan penelitian tentang perbedaan jenis kelamin dalam
Hal
gkat
lkan
bahwa wanita stroke memiliki harapan hidup yang lebih panjang dibandingkan
dengan laki-laki, tetapi memiliki status fungsional pasca stroke yang lebih buruk
dibandingkan dengan laki-laki (Oh, Yu, Roh, & Lee, 2009). Dijelaskan bahwa
buruknya status fungsional pada pasien pasca stroke disebabkan karena wanita
lebih sering mengalami kardioemboli akibat fibrilasi atrium, memiliki umur
yang

lebih tua, saat serangan datang ke rumah sakit lebih lambat dan memiliki tingkat
keparahan stroke yang lebih berat (Oh, Yu, Roh, & Lee, 2009).
Walaupun menurut jumlah ada perbedaan antara responden laki-laki
dengan responden perempuan dalam kemampuan fungsional komunikasi,
akan tetapi dalam hasil penelitian ini tidak terdapat hubungan yang
bermakna antara jenis kelamin dengan kemampuan fungsional komunikasi
pasien stroke dengan afasia motorik.(p : 0.831). Hal ini dapat dilihat dengan
tidak adanya
perbedaan
kemampuan fungsional pada laki-laki dan perempuan
antara
kedua nilai pok,
kelom sehingga dapat disimpulkan terdapat faktor lain yang mempengaruhi uan
kemamp fungsional komunikasi, seperti kapan pasien mendapat penanganan gan
sejak seran stroke muncul. Waktu 3-6 jam (golden period) merupakan

ting

waktu yang pen untuk penanganan stroke, karena dalam waktu ini

lam

terbukti efektif da pemulihan fungsi otak dan memperkecil kerusakan gan


neuron setelah seran stroke.
Hasil penelitian Martini (2002) tentang pengaruh admision time

dap

terha gangguan kognitif pasien stroke, menyimpulkan bahwa terdapat

ang

hubungan y signifikan antara admision time dengan gangguan kognitif

sien

yang dialami pa stroke. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa

tang

pasien-pasien yang da dalam window period (12 jam setelah onset

ang

serangan) hanya 38 % y mengalami gangguan kognitif sedangkan

dow

pasien yang datang diluar win period (setelah 12 jam) 75% mengalami

ini

gangguan kognitif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecepatan penderitakan


stroke datang ke rumah sakit merupa faktor yang penting dalam memberikanoke,
outcome yang baik bagi penderita str termasuk kemampuan fungsional
komunikasi
c.
Frekuensi
stroke

serangan

Berdasarkan hasil analisis didapatkan rata rata kemampuan fungsional


komunikasasi dengan frekuensi serangan 1 kali lebih tinggi daripada frekuensi
serangan stroke > 1 kali. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai kondisi
yang dapat meningkatkan risiko stroke seperti hipertensi, diabetes mellitus serta
coronary
untuk

arteri

disease

yang

diperberat

oleh

kurangnya

kesadaran

melakukan pola hidup sehat serta pemeriksaan kesehatan secara teratur.


Seseorang yang pernah mengalami stroke sebelumnya akan meningkatkan risiko
mengalami stroke sebesar 10 20% (Pinto & Caple, 2010).
Masalah kesehatan yang timbul akibat stroke sangat bervariasi tergantung
kepada luasnya daerah otak yang mengalami infark dan lokasi yang terkena.
Hal ini sejalan dengan pendapat Silbernagl & Lang (2007) yang
menyebutkan bahwa manifestasi klinis stroke ditentukan berdasarkan tempat
perfusi yang
terganggu,
yakni daerah yang disuplai oleh pembuluh darah tersebut,
seperti
arteri serebri
media, arteri serebri posterior, arteri serebri anterior, arteri karotis atau basillar.
Bila stroke mengenai arteri serebri media, kemungkinan pasien akan mengalami
afasia.
Namun berbeda yang peneliti dapatkan, hasil analisis statistik biv
ariat
menunjukkan bahwa frekuensi serangan stroke tidak mempunyai pengaruh
signifikan terhadap kemampuan fungsional komunikasi dengan nilai p :Hal
0,085. ini kemungkinan

disebabkan

dalam

penelitian

ini jumlahpok

responden kelom intervensi yang sedikit (n = 10), sehingga tidak didapatkanensi


pengaruh freku serangan stroke terhadap kemampuan fungsional komunikasirik.
pada afasia moto

d. Ketidakmampuan fisik

gik.

Ketidakmampuan fisik dapat terjadi pada stroke hemoragik dan non hemorakan
Stroke menyebabkan penurunan perfusi serebral sehingga dapat terjadiuan
kerusa pada korteks motorik. Kerusakan pada area ini menyebabkanang,
terjadinya gangg transmisi impuls yang ditandai adanya paresis ataugian
paralisis
(Silbernagl
&L
besar responden
mengalami
hemiplegi dan ditunjukkan dengan nilai barthel
indek pada

kelompok

intervensi

sebesar

26.00,

sehingga

dapat

mempengaruhi hasil rehabilitasi.


Namun demikian berdasarkan hasil penelitian ini menyatakan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara ketidakmampuan fisik dengan kemampuan
fungsional komunikasi responden (p : 0.461) dan menunjukkan hubungan
yang

lemah dan berpola negatif (r = -0.264). Hal ini kemungkinan disebabkan karena
dalam penelitian ini jumlah responden kelompok intervensi yang sedikit (n =
10), sehingga tidak didapatkan perbedaan dalam kemampuan fungsional
komunikasi pada afasia motorik. Selain itu waktu penelitian yang relatif
singkat (10 hari) kemungkinan dapat mempengaruhi hasil terhadap kemampuan
fungsional komunikasi.
e. Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga merupakan faktor yang mempengaruhi pemulihan

cara

wi pada afasia. Sikap keluarga merupakan faktor penting dalam

sien

menolong pa afasia untuk mengatasi ketidakmampuannya. Menurut

tern

Bullian, Chiki & S (2007), keterlibatan anggota keluarga dan

apat

teman dalam latihan d meningkatkan efektifitas rehabilitasi. Selain juga


itu lingkungan keluarga merupakan lingkungan yang cocok untuk

hasa

menstimulasi kemampuan berba afasia, karena stimulasi tersebut dapat apat


dilakukan secara tidak formal, d memilih waktu yang tepat, saat pasien gota
dalam keadaan bermotivasi dan ang keluarga cukup mengenal hal

92).

ikhwal keadaan pasien (Kusumoputro, 19

ebih

Dengan adanya pendampingan keluarga pasien merasa nyaman, tenang dan pak
l kuat menerima keadaan fisiknya, sehingga diharapkan akan memberi ikan
dam yang baik terhadap proses penyembuhan penyakitnya. Dukungan yangmasi,
diber dalam penelitian ini dapat mencakup empat dimensi, yaitu dukungan oke
infor emosional, penghargaan dan instrumental terkait dengan perawatan
pasien str dan pemberian komunikasi pada pasien afasia motorik.

ada

Namun berbeda dengan hasil penelitian, hasil uji statistik menunjukkan tidakuan
fungsional yang
komunikasi
(p : antara
0,732).dukungan
Hubungankeluarga
tersebutterhadap
lemah dan berpola
hubungan
bermakna
negatif
(r = -0.124). Hal ini kemungkinan dapat disebabkan berdasarkan variabel
dukungan keluarga, tidak adanya variasi nilai dukungan keluarga pada
kelompok intervensi, sehingga

dukungan

keluarga tidak

memberikan

kontribusi terhadap kemampuan fungsional komunikasi. Dukungan keluarga


yang diberikan kepada pasien kemungkinan belum maksimal, hal ini terlihat
pada hari ke 8 dan 9

kehadiran beberapa anggota keluarga yang mendampingi pasien berganti-ganti,


sehingga peneliti harus memberikan latihan dan penjelasan yang berulang
ulang kepada keluarga. Kondisi ini kemungkinan dapat mempengaruhi
kemampuan fungsional komunikasi pasien afasia motorik.
6.1.4 Hubungan
depresi

variabel

perancu

dengan

a. Umur
Beberapa penelitian menjelaskan bahwa depresi paska stroke dapat terjadi ada
p umur tua. Menurut Glemcevski, et al (2002) bahwa umur lanjut sebagai ktor
fa risiko terjadinya depresi (p:0.034). Hasil penelitian ini didukung olehrrel
Fa (2004) menyatakan bahwa depresi cenderung lebih kronis di pasien yang tua
lebih dibandingkan dengan orang dewasa muda. Periode depresi pada

ebih

lansia l panjang dan kemungkinan kambuh meningkat dengan umur. Depresiroke


paska st di umur lanjut mungkin memiliki hubungan biologi dasar dengan nya
berkurang neurotransmitter yang berkaitan dengan mood dan emosi.
Berbeda dengan hasil penelitian Amir (2005), bahwa depresi lebih sering terjadi
pada umur muda dengan umur rata rata awitan antara 20 40 tahun.tnya
Selanju menurut Gum, Snyder & Duncan (2006) bahwa pasien stroketua
yang lebih cenderung melaporkan gejala depresi lebih sedikit dibandingkansien
dengan pa yang lebih muda (p: 0.12).
Namun berbeda dengan hasil analisis bivariat yang menunjukkan tidak ada
hubungan signifikan antara umur dengan depresi (p : 0.258) dan

iliki

mem kekuatan hubungan yang lemah dan arahnya negatif (r = -0.395).

akin

Artinya sem

oleh

faktor selain umur, seperti pengalaman/informasi yang didapatkan sehingga


mempengaruhi mekanisme koping pasien untuk meningkatkan adaptasinya.
Walaupun demikian, hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Fatoye (2009)
yang menyatakan tidak ada hubungan antara umur dengan kejadian depresi
paska stroke (p= 0.82). Hasil penelitian ini juga didukung oleh Arslan,
Celebioglu dan

Tezel (2009) yang melaporkan tidak adanya hubungan umur dengan depresi dan
keputusasaan.
b. Jenis kelamin
Berdasarkan jenis kelamin, pada beberapa penelitian didapatkan bahwa
depresi paska stroke sedikit lebih banyak diantara wanita dibandingkan pria.
Menurut Amir (2005) pada umumnya wanita dapat terjadi depresi karena
wanita
lebih ebih
sering terpajan dengan stressor lingkungan dan ambang terhadap
stressornya
l rendah dibandingkan laki laki. Ketidakseimbangan hormon pada nita
wa menambah tingginya prevalensi depresi pada wanita, misalnya resi
dep premenstruasi, postpartum dan postmenopouse (Amir, 2005). Hal

alan

ini sej dengan peneltian Paradiso & Robinson, 1998 didapatkan bahwa

aska

depresi p stroke terjadi dua kali lebih banyak pada wanita dibandingkan pria gus,
(Meifi & A

hwa

2009). Sedangkan menurut penelitian Ghoge dkk (dalam Suwantara, 2004), n 5ba angka prevalensi depresi paska stroke adalah 10-25% untuk

i di

perempuan da

pria

12% untuk laki-laki. Pada wanita beratnya depresi berkaitan dengan

pan

les
hemisfer kiri, gangguan fungsi psikiatrik sebelumnya. Sementara pada
beratnya depresi berkaitan dengan gangguan kemampuan melakukan
kehidu sehari hari dan gangguan fungsi sosial (Amir, 2005).

yak
enis
ariat

Meskipun depresi secara konsep dan beberapa hasil penelitian

lebih

(p :

ban terjadi pada perempuan dibandingkan laki laki, namun dalam

lami
penelitian ini j kelamin tidak memiliki hubungan dengan depresi. Hasil
pasien stroke yaitu kelemahan fisik memiliki dampak yang sama terhadap
ketidakmampuan dalam memenuhi aktivitas sehari hari, seperti makan, mandi,
merawat diri, berpindah dan lain lain. Ketidakmampuan fisik yang dialami
dapat menimbulkan berbagai respon psikologis seperti takut, sedih, marah,
depresi, kehilangan kontrol dan keputusasaan. Respon yang ditimbulkan dapat
berbeda beda tergantung kepribadian, pengalaman masa lalu dan mekanisme
koping (Gorman & Sultan, 2008). Hasil analisis bivariat ini juga sejalan dengan
penelitian

yang dilakukan oleh Arslan, Celebioglu dan Tezel (2009) yang melaporkan
bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan keputusasaan pada perempuan dan
laki laki. Lebih lanjut menurut Storor & Byrne (2006) bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan yang ditemukan diantara skor dimensi depresi dan
karakteristik usia dan jenis kelamin.
c.
Frekuensi
serangan
Stroke
Berdasarkan hasil analisis didapatkan rata- rata depresi pada frekuensi
seran stroke 1 kali lebih tinggi dibandingkan dengan rata rata depresi pada
frekuen

gan
si >

ebih
1 kali. Jumlah serangan stroke akan berpengaruh terhadap kerusakan otak l
apat
luas, sehingga dapat mempengaruhi wicara dan bahasa. Menurut pend
rkan
Silbernagl & Lang (2007) bahwa manifestasi klinis stroke ditentukan berdasa
kali,
area serebri yang terkena. Walaupun frekuensi serangan stroke terjadi 1
nan,
namun bila stroke mengenai lobus frontalis pada hemisfer kiri domi
urut
kemungkinan pasien akan mengalami afasia dan gangguan mood.
asa,
Men pendapat Price & Wilson (2002), lobus frontalis mengatur fungsi
soi,
berbah kemampuan motorik dan kepribadian. Menurut hasil penelitian Lee,
kan
Tang, T Fong & Yu, (2009) bahwa lesi pada hemisfer kiri lebih sering
bus
menyebab depresi daripada lesi hemisfer kanan dan lebih berat jika lesi
kan
mendekati lo frontal kiri. Jika lesi diotak bertambah karena mengalami
oleh
stroke berulang a melipatgandakan jenis serta beratnya defisit. Hasil
apat
penelitian ini didukung Amir (2005); Andri & Susanto (2008); Meifi &
ogik
Agus (2009), bahwa terd beberapa teori yang menjelaskan faktor
ada
penyebab DPS, yaitu faktor biol seperti lesi otak dan faktor psikososial.
gga
Depresi timbul sebagai akibat lesi p daerah otak yang menyebabkan
terjadi penurunan serotonin yang merupakan neurotransmitter untuk
mempertahankan keadaan emosi tetap stabil. Penurunan serotonin menyebabkan
gangguan suasana hati, tidur dan nafsu makan (Schub & Caple, 2010). Gangguan
suasana hati dimanifestasikan dengan marah, frustasi, putus asa dan sering
menyebabkan depresi.

Berdasarkan hasil penelitian diatas, maka luasnya kerusakan otak pada


serangan stroke yang memperberat gangguan dapat dinilai dari hasil pemeriksaan
CT-Scan. CT-Scan merupakan salah satu prosedur diagnostik penting untuk
menentukan klasifikasi stroke (iskemik, perdarahan intraserebral dan
subarakhnoid), letak lesi, jumlah perdarahan dan deteksi proses patologik diotak
secara langsung (Rasyid & Soertidewi, 2007; Iskandar,2003). Menurut Iskandar
(2003) semakin cepat waktu waktu antara timbulnya perdarahan subaraknoid
maka tingkat keberhasilan diagnosa lebih(PSA)
tinggi,
dengan
umumnya
saat pemeriksaan,
sebelum 24 jam
pertama. Pendapat ini berbeda dengan hasil penelitian pada 6 orang

den

respon kelompok intervensi yang dilakukan CT-Scan, didapatkan lesi pada kiri
hemisfer pada lobus frontalis. Walaupun prosedur ini sangat penting

kan,

untuk dilaku namun tidak seluruh pasien dilakukan pemeriksaan diagnostik. ang
Faktor biaya y harus dikeluarkan secara pribadi bagi pasien yang memilih

gga

jalur umum, sehin sering menolak pelaksanaan prosedur ini. Selain itu

CT-

belum adanya fasilitas Scan dirumah sakit, seperti RSUD Kabupaten

ujuk

Garut, sehingga harus mer pasien ke Rumah Sakit Hasan Sadikin

ngin

(RSHS) Bandung bila pasien i melakukan CT-Scan dan membayar


sendiri.
oke
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil analisis statistik frekuensi serangan ang
str terhadap depresi pada pasien afasia motorik menunjukkan

kali

hubungan y signifikan dengan nilai p : 0.048 dengan frekuensi

ensi

serangan stroke 1 mempunyai rata - rata depresi yang lebih tinggi

ada

dibandingkan dengan freku serangan stroke > 1 kali. Frekuensi serangan


stroke 1 kali juga didapatkan p sebagian besar responden pada kelompok
kontrol.
Ketidakmamampuan fisik yang dialami pasien stroke menyebabkan sebagian
pasien berfikiran negatif dan percaya bahwa sedikit perubahan terhadap penyakit
yang dialami dan hal ini meningkatkan risiko keputusasaan (Dunn, 2005).
Menurut Dunn (2005) depresi dan hopelessness merupakan respon dari
kerusakan fisik. Hal ini sesuai dengan penelitian Swierzewski ( 2010) bahwa
lebih dari 30% pasien stroke membutuhkan bantuan dalam aktivitas sehari hari
dan sekitar 15%

membutuhkan bantuan di fasilitas pelayanan seperti rumah sakit dan pusat


rehabilitasi. Kombinasi antara mekanisme fisik dan psikologis menyebabkan
gangguan suasana hati pada pasien stroke.
Status fungsional pasien stroke dapat dinilai dengan menggunakan
penilaian barthel I ndex yang sering digunakan dalam mengevaluasi
ketidakmampuan saat pasien masuk rumah sakit dan selama dirawat (Rasyid,
2007). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian lain yang dilakukan oleh
et aktivitas
al (2006)sehari
yanghari
menyatakan ada hubungan antara depresi dengan Dahlin
gangguan
(p : 0.04). Hal ini diperkuat oleh penelitian Sit et al (2007) bahwa

uan

gangg aktivitas sehari hari mempunyai hubungan dengan korelasi

gan

sedang den depresi, dimana pada 48 jam setelah masuk rumah sakit r:-0.473001.
dengan p:0. Penelitian Fatoye (2009) juga menyatakan ada hubungan antarangsi
gangguan fu motorik berupa paresis dengan

depresi paska stroke

bisa

(p:0.002). Hal ini diakibatkan karena perubahan besar pada fungsi

ada

fisiknya yang berakibat p segala aspek kehidupan pasien stroke.

ama

Ketidakmampuan fisik bersama s dengan gejala depresi dapat

jadi

menyebabkan aktivitas penderita stroke men sangat terbatas pada tahun angi
pertama, namun dukungan sosial dapat mengur dampak dari

fisik

ketidakmampuan fisik serta depresi tersebut. Ketidakmampuan yang

apat

menyebabkan hilangnya peran hidup yang dimiliki penderita d

gan

menyebabkan gangguan persepsi akan konsep diri yang bersangkutan dan


den sendiri mengurangi kualitas hidupnya (Suwantara, 2004).
resi
Namun demikian, hasil analisis statistik ketidakmampuan fisik terhadap

l ini

dep ini menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan dengan p:

idak

0.108.
Ha dapat aktivitas
terjadi karena
besar pensiun.
merupakan
umur tua akan
mempengaruhi
bekerja sebagian
karena sudah
Permasalahan
timbul ketika responden masih berumur produktif yang menjadi tujuan proses
penyembuhan bukan hanya melakukan aktivitas sehari-hari, tetapi mampu
bekerja kembali secara normal. Ketidakmampuan responden bekerja kembali
menjadikan stressor yang tinggi untuk terjadinya depresi apalagi jika responden
merupakan pencari nafkah

satu-satunya dalam

keluarga dan

masih

mempunyai anak yang membutuhkan biaya sekolah. Selain itu tidak adanya
variasi nilai Barthel Index

pada kelompok intervensi, sehingga ketidakmampuan fisik tidak memberikan


kontribusi yang bermakna terhadap kemampuan fungsional komunikasi dan
depresi secara statistik. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Cassidy, Connor & OKeane (2004) yang menyatakan bahwa tidak ada
hubungan antara kemampuan fungsional dengan depresi paska stroke. Hal ini
disebabkan karena jumlah sampel yang sedikit yaitu 50 responden, sehingga
besar kemungkinan hasilnya menjadi bias.

e. Dukungan keluarga
Wills & Fegan (2001 dalam Sarafino, 2006) menyatakan bahwa

gan

dukun keluarga mengacu pada bantuan yang diterima individu dari

atau

orang lain kelompok sekitar yang membuat penerima merasa nyaman,

rgai

dicintai dan diha serta dapat menimbulkan efek positif bagi dirinya.

gan

Peningkatan dukun keluarga yang tersedia dapat menjadi strategi pentingatau


dalam mengurangi mencegah tekanan jiwa dan depresi paska stroke (Salter, 0).
Foley & Teasell, 201

ngat

Lebih lanjut Bosworth (2009) menyatakan bahwa dukungan keluarga saang


berpengaruh terhadap kesehatan mental anggota keluarganya. Kondisi fisik idak
y dialami oleh pasien yang menderita stroke akan mengakibatkan pasienrga.
t percaya pada dirinya, merasa tidak mampu, tidak berarti dan tidak

lam

berha Selain itu proses penyembuhan dan rehabilitasi pada stroke dapat

ikan

terjadi da waktu yang lama, sehingga membutuhkan bantuan keluarga


dalam member perencanaan dan memberikan aspek perencanaan (Smeltzer &gan
Bare, 2002).

lalu

Hal
yang terlihat
selama penelitian
semua
responden alat
mendapatkan
mendampingi
responden,
merawat dan
memberikan
bantu komunikasi.
Namun demikian hasil analisa hubungan dukungan keluarga dengan depresi
menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara dukungan keluarga
terhadap depresi (p : 0.147). Hal ini kemungkinan disebabkan dalam
penelitian ini, jumlah responden kelompok intervensi yang sedikit (n = 10),
sehingga tidak didapatkan pengaruh dukungan keluarga terhadap depresi pada
afasia motorik.

6.2 Keterbatasan Penelitian


Peneliti menyadari adanya keterbatasan dalam penelitian ini, diantaranya :
a. Sampel Penelitian
Subjek penelitian yang didapatkan tidak sesuai dengan target
penelitian karena beberapa responden mengalami drop out dalam
penelitian. Jumlah responden yang tidak sesuai dengan target penelitian
tidak dapat memberi gambaran sesuai dengan tujuan penelitian terutama
yang motorik
berkaitandan
dengan
kemampuan fungsional komunikasi pasien afasia
pengaruh
variabel perancu terhadap kemampuan fungsional komunikasi dan depresi
pada pasien afasia motorik secara keseluruhan.
b. Waktu Penelitian
Waktu latihan komunikasi pada penelitian ini tergolong singkat yaituama
sel
uan
10 hari. Hal ini mungkin tidak maksimal untuk memperbaiki
dan
kemamp fungsional komunikasi pada semua subjek penelitian karena
ada
berat stroke derajat keparahan afasia subjek penelitian bervariasi dan
kan
terdapat variasi p setiap individu dalam hal waktu pemulihan.
Hal
Sebaiknya latihan ini dilaku satu sampai dengan tiga bulan untuk
6
mengevaluasi kemajuan komunikasi. ini disesuaikan dengan lama
pemulihan pasien afasia yang berkisar 3 bulan.
c. Instrumen penelitian

ang
Keterbatasan yang dirasakan selama penelitian adalah instrumen y
resi
digunakan untuk menilai kemampuan fungsional komunikasi dan dep
uran
dalam rentang nilai ini melibatkan asisten peneliti serta menggunakan uk
acuan kurang terstruktur/terarah.
Walaupun
sudah dilakukan
uji
interrater, tetapi pada instrumen

kemampuan fungsional komunikasi

masih membutuhkan acuan/alat yang membuat

penilaian menjadi lebih

objektif diantara peneliti dan asisten peneliti. Untuk instrumen penilaian


depresi, tidak semuanya dilakukan observasi dan ada beberapa item
observasi yang perlu dikembangkan agar penilaian observasi lebih objektif.

d.
Proses
penelitian

pelaksanaan

Selama proses penelitian, terdapat beberapa kendala yang kurang memenuhi


sasaran

pemberian

komunikasi dengan

AAC (rehabilitasi),

yaitu

kehadiran beberapa anggota keluarga yang mendampingi pasien bergantiganti, sehingga peneliti harus memberikan latihan dan penjelasan yang
berulang ulang kepada keluarga. Selain itu pelaksanaan AAC diberikan
sama kepada semua afasia motorik tanpa mempertimbangkan keparahan
afasia,
sehingga kondisi
ini kemungkinan
dapat mempengaruhi outcome.

6.3
Implikasi
Keperawatan

dalam

Pelayanan

Pemberian komunikasi dengan AAC pada pasien stroke dengan afasia mot
orik
mempunyai dampak positif mampu mengkomunikasikan kebutuhannya me
lalui
pemberian buku komunikasi, majalah, foto, musik/lagu dan alat tulis, sehin
gga
dapat menurunkan depresi pada pasien afasia motorik. Komunikasi merupa
kan
salah satu kebutuhan dasar menurut Henderson untuk mengekspresikan piki
ran,
pendapat dan perasaan.
Meskipun dalam meningkatkan kemampuan komunikasi selama 10 hari
tidak hubungan yang bermakna, tetapi adanya pemberian AAC pada

ada
ama

hari pert sampai hari ke sepuluh dapat meningkatkan neuroplastisitas,

peta
reorganisasi kortikal dan meningkatkan fungsi motorik pada hari selanjutnya
a 3sehingga pad
eksi
6 bulan selanjutnya pemulihan wicara bahasa menjadi optimal. Proses det
ejak
yang dini dan memberikan intervensi keperawatan yang tepat dan dimulai s
aska
dini terkait dengan afasia dan depresi dapat meningkatkan proses pemulihan

Faktor faktor yang dapat mempengaruhi penelitian terhadap kemampuan


fungsional komunikasi menjadi kurang signifikan adalah waktu yang relatif
singkat

untuk

afasia. Selain
afasia tanpa

memperbaiki
itu

pemberian

kemampuan
media

fungsional

dilakukan

komunikasi pasien

kepada

seluruh

pasien

mempertimbangkan keparahan afasia. Keadaan ini tentunya dapat


mempengaruhi efek terapi yang diharapkan, seperti kemampuan fungsional
komunikasi.
Selain berdampak positif terhadap kemampuan fungsional komunikasi,
pemberian AAC juga berdampak positif terhadap kejadian depresi. Disisi
lain akan mengurangi jumlah biaya yang harus dikeluarkan dan lamanya
pengobatan di rumah sakit.

Hal tersebut dikarenakan AAC dapat

memfasilitasi
komunikasi
pasien afasia karena keterbatasannya dalam berkomunikasi
verbal,
meningkatkan
interaksi antara pasien dengan keluarga, petugas kesehatan dan membantu
perkembangan hubungan sosial sehingga akan mempengaruhi kualitas idup
h
pasien afasia. Pemberian AAC juga meningkatkan waktu sentuhan perawat
kepada pasien, sehingga perawat dapat menjadi teman dalam mengekspresikan
emosi. Sikap caring yang ditunjukkan perawat kepada pasien akan menimbulkan
efek positif untuk mengurangi kejadian depresi.
Penanganan pasien stroke yang mengalami afasia pada saat ini hanya

kus

berfo pada penanganan fisik saja. Pemberian alat bantu komunikasi pada

asia

pasien af hanya diberikan isyarat atau alat tulis tanpa diberikan stimulasi

gga

latihan, sehin tidak sepenuhnya mendukung pasien untuk memfasilitasi dan


komunikasi meningkatkan komunikasi pasien selama di rumah sakit.idak
Perawat t mengetahui kalau pasien mengalami afasia, karena tidak

nya

mendeteksi ada afasia, sehingga latihan komunikasi terlambat/tidak

ini

dilakukan. Keadaan tentunya akan menimbulkan berbagai dampak negatif pola


seperti memperlambat penyembuhan dan pasien akan mengalami depresi

lam

karena ketidakmampuan da berkomunikasi.


Sesuai dengan peran perawat dalam rehabilitasi stroke, perawat dapat
eran
berp
sebagai caregiver, educator dengan
memberikan
informasi tentang
pentingnya keterlibatan keluarga dalam pelaksanaan latihan komunikasi dan
fasilitator dalam penyembuhan pasien dan manajer perawatan. Perawat juga
sebaiknya menerapkan caring
memberikan

dalam memberikan

motivasi agar tidak mengalami

keterlibatan keluarga juga merupakan salah

asuhan

depresi.

keperawatan,

Selain

perawat,

satu bentuk dukungan yang diperlukan dalam pelaksanaan latihan


komunikasi, baik selama di rumah sakit ataupun di rumah.

BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
Kesimpulan dalam penelitian ini dapat dilihat sebagai berikut :
a. Karakteristik pasien stroke dengan afasia motorik di RSUD Garut, Banjar
dan Tasikmalaya adalah sebagian besar berumur 62.10 tahun, sebagian
besar ke 1
berjenis kelamin laki-laki, sebagian besar memiliki frekuensi serangan
stro kali, sebagian besar memiliki nilai ketidakmampuan fisik 25.48 dangian
seba besar memiliki nilai dukungan keluarga 46.48.
b. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna kemampuan fungsional komunikasi
pada pasien stroke dengan afasia motorik yang diberikan komunikasi dengan
AAC dengan yang tidak diberikan AAC.
c. Terdapat perbedaan yang bermakna nilai depresi

pada pasien strokegan

den afasia motorik yang diberikan komunikasi dengan AAC denganidak


yang t diberikan AAC.
d. Tidak terdapat hubungan yang bermakna variabel perancu terhadapuan
kemamp fungsional komunikasi pada pasien stroke dengan afasiaang
motorik y diberikan AAC.
e. Terdapat hubungan bermakna frekuensi serangan stroke 1kali terhadapesi
depr pada pasien stroke dengan afasia motorik yang diberikan AAC.
7.2 Saran
Berkaitan dengan beberapa kesimpulan di atas, ada beberapa hal yang

an

disarank pada penelitian ini yaitu :


a. Bagi Pelayanan Keperawatan
1. Mensosialisasikan penggunaan AAC untuk memfasilitasi komunikasi
pasien afasia motorik, seperti papan gambar/buku komunikasi, majalah,
foto, musik/lagu dan alat tulis untuk menurunkan depresi pada pasien
afasia motorik.
2. Membuat Standar Operasional Prosedur (SOP) terkait pemberian AAC
pada pasien stroke dengan afasia motorik.

3. Menjadikan AAC sebagai intervensi keperawatan untuk memfasilitasi


komunikasi sehingga dapat menurunkan depresi pada pasien stroke
dengan afasia motorik mengingat tugas perawat saat ini hanyak
berfokus

pada penanganan penanganan fisik saja. Perawat juga tidak

mengetahui pasien mengalami afasia, karena tidak mendeteksi adanya


afasia, sehingga latihan komunikasi terlambat/tidak dilakukan. Keadaan
ini tentunya akan memperlambat pola penyembuhan dan pasien akan
mengalami
karena
ketidakmampuan
depresi
dalam berkomunikasi.
4. Mengadakan pelatihan AAC pada pasien stroke dengan afasia, se
melakukan pengkajian afasia, depresi dan pelaksanaan
pembe komunikasi dengan AAC.

perti
rian

b. Bagi Peneliti Keperawatan


Membuat penelitian sejenis yang menilai kemampuan fungsional
komuni dengan memperhatikan tingkat keparahan afasia, luas dan lokasi kasi
lesi serta l waktu pemberian latihan. Mengembangkan alat ukur

ama

untuk penil kemampuan fungsional komunikasi serta mengembangkan aian


instrumen obser depresi pada afasia. Selain itu perlu dilakukan

vasi

penelitian selanjutnya den membandingkan metode sederhana (low

gan

technologi), seperti alat tulis, gam musik, papan alfabet dan metode

bar,

modern (high technology), seperti komp atau penelitian dengan metode uter,
kualitatif seperti pengalaman pasien afasia y sudah mendapatkan

ang

rehabilitasi wicara dan mengalami penyembuhan wic bahasa dalam

ara-

berkomunikasi dengan orang lain/ pengalaman keluarga da merawat

lam

pasien afasia.

Perlu memperkenalkan terapi modalitas, seperti augmentative and alternative


communication dalam penatalaksanaan asuhan keperawatan pada pasien
stroke dengan gangguan komunikasi.

DAFTAR PUSTAKA
Abramson, L.Y., Metalsky, G. I., & Alloy, L.B. (1989). Hopelessness Depression
: A Theory-Based Subtype of Depression. Psychological Review, 96 (2), 358
-372.
Ackley, B. J. & Ladwig, G. B. (2011). Nursing diagnosis handbook: An
evidence based guide to planning care (9th ed.). USA: Mosby Elseiver.
Ackley, B.J., Swan, B.A., Ladwig, G.B & Tucker, S.J. (2008). Evidence ased
b
sby
nursing care guidelines medical surgical interventions. USA :
Mo
Elseiver.
oke.
987
AHA/ASA.
(2006).
Primary
prevention
of
ischemic
str
http://stroke.ahajournals.org/cgi/ content/full/37/6/ 1583#FIG
1173
diperoleh tanggal 14 Juni 2011.
apy.
American
Music
Association
(2005).
Music
Ther
http://www.mu sictherapy.org diperoleh tanggal 14 Desember 2011.
aka.
17
Andri., Susanto, M. (2008). Tatalaksana depresi pasca stroke. Tinjauan pust
Majalah Kedokteran Indonesia, 58(3):81-85, diperoleh pada tanggal
oke.
Oktober 2011.
f
Aini,
F.
(2006).
Speech
therapy
pada
klien
str
http://nardinurses.files.wordpress.com/2008/01/maka lah -speechtherapy.pd diperoleh pada tanggal 20 April 2011.
ana.
Amir, N. (2005). Depresi : Aspek Neurobiologi Diagnosis dan
Tatalaks
Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

ta:

Ariawan, I. (1998). Besar dan metode sampel pada penelitian kesehatan.


Jakar
FKM UI.

gan
asca

Ardi,
Analisis
ketidakmampuan
fisik and
dan Hopelessness
kognitif den in
Arslan,M.S.,(2011).
Celebioglu,
A., hubungan
& Tezel, A.
(2009).`Depression
Turkish Patients with Cancer Undergoing Chemotherapy. Japan Journal of
Nursing Science,6, 105-110.
Arwani. (2003). Komunikasi dalam keperawatan. Jakarta : EGC.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (2008). Laporan nasional
riskesda 2007, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen
Kesehatan,
Republik
Indonesia.
Diakses
dari
http://www.litbang.depkes.go.id. Diperoleh pada tanggal 20 Juli 2011.

Bakheit., Shaw, S., Barret, L., Wood,J., Carrington, S., Griffith, S., Searle, K. ,
& Koutsi, F. (2007). A prospective, randomized, parallel group, controlled
study of the effect of intensity of speech and language therapy on early
recovery from post stroke aphasia. Clinical rehabilitation . 21: 885894.
Barker, E. (2002). Neuroscience nursing : A spectrum of care (2nd ed.).
Philadelphia: Mosby Incorporation.
Bazzano, L. (2000). High alcohol consumption increase stroke risk.
http://www.eureka lert.org/pub_releases/2007-08/tu-hac081707.php diperoleh
tanggal 5 Juni 2011.
Beery, A.T. (2007). Diseases & disorders : A Nursing therapeutic manual(3rd
ed.). Philadelphia : F.A Davis Company.
Beck, A.T., Weissman., Lester, D., & Trexler, L. (1974). The measurement of
pessimism : The hopelessness scale. Journal of Consulting andical
Clin Psychology, 42 (6), 861-865.
Benneth, H.E., Thomas, S.A., Austeen, R., Moris, A.M.S., & Lincoln, N.B.
(2006). Validation of screening measures for assessing mood in roke
st patients. British Journal of Clinical Psychology, 45 (Part 3), 367 376.
September 2006.
Benneth, H.E., & Lincoln, N.B. (2006). Potential screening measures for
depressions and anxiety after stroke. I nternational Journal of and
Therapy Rehabilitation. Vol.13(9). diperoleh pada tanggal 20 Juni
2011.
pts,
Berman., Snyder., Kozier., & Erb. (2008). Fundamentals of Nursing :
.
Conce
Process and Practice (8th ed.). New Jersey : Pearson International
Edition
uda.
Berthier, M.L. (2005). Post Stroke. Review Article.
Bethesda Stroke Centre. (2007). Faktor resiko stroke usia
rk :
m
008
http://www.strokebethesda.com. Diperoleh pada tanggal 20 Juni 2011.
Bhogal, S.K., Teasel., Foley., & Speechley. (2004). Lesion location and
poststroke depression: systematic review of the methodological limitations
in the literature. U.S. National Library of Medicine. Stroke. 2004
Mar;35(3):794802.
Black, J.M., & Jacob, E.M. (2005). Medical surgical nursing clinical
management for positive outcomes (7th ed.). St. Louis : Elsevier Saunders.
------------- (2009). Medical surgical nursing clinical management
positive outcomes (8th ed.). St. Louis : Elsevier Saunders.

for

Bosworth, H. (2009). Friends & Family Support Improve Heart Health.


Diperoleh dari http://www.se lfhe lpmagazine.com/art ic le/ support-and-hearthealth pada tanggal 10 2011.
Bourgeois, M.S., Dijkstra, K., Burgio, L., & Burge, R.A. (2001). Memory aid
as an augmentative and alternative communication strategy for nursing home
residents with dimentia. AAC Augmentative and Alternative
Communication, Volume 17: 196-210.
Browndyke,
J.N.
(2002).
Aphasia
assesment.
http://www.neuropsychologycentral.com diperoleh pada tanggal 20 Juni
2011.
Bulecheck, G.M., & McCloskey, J.C. (1999). Nursing interventions :
Effec nursing treatment (3rd ed.). Philadelphia : W.B. Saunders
Company.

tive

nce
Bullain, S.S., Chiki, L.S & Stern, T.A. (2007). Aphasia : Associatedage
disturba in affect. Behaviour and cognition in the setting of speech
and langu difficulties. Psychomatics, 48: 259-264. May June 2007.
cute
Caeiro, L., Ferro, J.M., Santos, C.O., & Luisa, F. (2006). Depression in
a stroke. Journal of Psychiatry Neuroscience, 31(6): 377- 383. Nov 2006.
able
Castello,J.M., Patak, L.,& Pritchard, J. (2010). Communication
and
vulner patients in the pediatric ICU: Enhancing care through
tion
augmentative alternative communication therapy. Journal of
Pediatric Rehabilita Medicine : An I nterdiciplinary Approach 3, 289
301.
.In
.
Cherney, L.R., Small, S.L., Stein, J., (2009). Aphasia, alexia and oral
reading
l 15
Stroke Recovery and Rehabilitation. Demos Medical Publishing. 155
181
eech
Cigna. (2010). Speech therapy. http://www.cigna.com diperoleh pada
27
tangga
April 2010.
Coffman, M.J. (2008). Effects of tangible social support and depression on
diabetes self-efficacy. Journal of Gerontological Nursing, 34 (40, 32 39.
Dahlan, M. S. (2008). Besar sampel dalam penelitian kedokteran dan kesehatan.
Jakarta : PT. Arkans.
Dahlin, F., Billing, E., Nasman, P., Martenson, B., Wreding, R., & Murray, V.
(2006). Post-stroke depression effect on the life situation of the significant
other. Scandinavian Journal of Caring Sciences , 20(4): 412-6 (34 ref).

Dahlin, A.F., Laska, A.C., Larson, J., Wredling., Billing, E., & Murray, F.
(2007).
Predictors of life situation among significant others of depresses or
aphasia stroke patients. Journal of Clinical Nursing, 17: 1574 1580.
September
2007.
Darussalam, M. (2011). Analisis faktor faktor yang berhubungan dengan
depresi dan Hopelessness pada pasien stroke di Blitar. Depok : Program
Studi Pasca Sarjana FIK UI. Tidak dipublikasikan.
Darma, K.K. (2011). Metodologi penelitian keperawatan. Panduan
dan menerapkan hasil penelitian. Edisi I. Jakarta : TIM.
mel

Dunn, S. L. (2005). Hopelessness as a Response to Physical Illness.


Journa
Nursing Scholarship, 37:2, 148-154.
Dochterman & Bulecheck. (2004). Nursing Intervention Classification (4th
St. Louis : Mosby Incorporation.

aks

ana
Enderby, P., Crow, F. (1996). Frenchay aphasia screening test: validity
comparability.
Disability
&
Rehabilitation.
18,
238 http://www.amazon.com/Frenchay -Aphasia-Screen ing-Pame lakan
Enderby/dp/1861564422 diperoleh pada tanggal 23 Mei 2011.
Farrell, C. (2004). Poststroke Depression in Elderly Patients. Journal of
Di
Critical Care Nursing, 23(O5):264-269.
Fatoye, F. O. (2009). Depressive symptoms and associated factors
follo cerebrovascular accident among Nigerians. Journal of Mental
Health,
2009; 18(3): 224232.

l Of
ed.).
and
240.

Feigin, V. (2007). Stroke : Panduan bergambar tentang


pencegahan pemulihan stroke. Jakarta ; PT. Bhuana Ilmu Populer.
mens
Finke, E.H., Light, J., & Kitko, L. (2008). A systematic review of
effectiveness of nurse communication with patients with com
communication needs with a focus on the use of augmentative and
alterna communication. Journal of Clinical Nursing. 2008 Aug; 17 (16)wing
:
June
dan
the
plex
tive
115.
atan

Ganong. (1998). Fisiologi kedokteran. Jakarta : EGC.


Gaag, A. (2005). Therapy and support services for people with long-term
stroke and aphasia and their relatives: a six - month follow-up clinical
rehabilitation,
19: 372 - 380.
Garret, K.L. (2003). Strategy use in context: AAC, supported conversation
and group therapy intervention for people with severe aphasia, 1-21.

Ginkel, D. M., Gooskens, F., Schuurmans, M.J., Lindeman, E., &


Hafsteinsdottir, T.B. (2010). A systematic review of therapeutic interventions
for poststroke depression and the role of nurses. Journal of Clinical
Nursing, 19(23/24):
3274-90 (76 ref).
Ginsberg, L. (2007). Lecture notes : Neurologi (Indah Retno Wardhani,
Penerjemah.). Edisi 8. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Glamcevski, M. T., Mihaljo., Pierson., & Jane. (2002). Factors associated
with post-stroke depression, a Malaysian study. Neurol J Southeast Asia, 7
:9
12.
Groom, M.J., Lincoln, N.B., Francis, F.M., & Stephan, T.F. (2003). Assessing
mood in patients with multiple sclerosis. Clinical Rehabilitation (17) :47 8
857.
tient
Gordon, C, et al. (2008). The use of Conversational Analysis : Nurse Panced
Interaction in Communication Disability After Stroke . Journal of
Adva Nursing.
and
Gulanick., & Myers. (2009). Nursing care plan. Nursing
diagnosis intervention. (6th ed.). Mosby. Inc
onal
Gupta. A, Pansari. K, & Shetty, H. (2002). Post-stroke depression.
Internati
arta
Journal of Clinical Practice, 56(7): 531-7 (89 ref).
Guyton, A.C., & Hall, J.E. (1997). Buku ajar fisiologi kedokeran. Edisi 3.
Jak
: EGC.

tion
ical

Hammond, M.F., OKeeffe, S.T., Barer, D.H.(2000). Development and


valida of a brief observer-rated screening scale for depression in elderlyaga
hun
med patients. Age and Ageing (29) : 511-515.
Hasnita, E. & Sanusi, R. (2006). Ciri-ciri, iklim organisasi, dan kinerja ten
perawat di instalasi rawat inap RS dr. Achmad Moechtar Bukittinggilisis
ta
2005. Yogyakarta: KMPK UGM.
rbit
Hastono,
S.P.
(2007).
Basic
data
analysis
for
health
research
training
:
FKUI.
Hickey, J.V. (2003). The clinical practice of neurological and
neurosurgical nursing. (5th ed.). Philadelphia : J.B. Lippincott Company.
Hill, E., Payne, S., & Ward, C. (2000). Self-body split: issues of identity
in physical recovery following a stroke. Disability Rehabilitation, 22: 725-33.
Hemsley, B. (2001). Nursing the patient with severe communication impairment.
Journal Advance Nursing, 35 (6), 827 835.

Hoeman., & Shirley, P. (1996). Rehabilitation nursing : Process and


application
(2nd ed.). A Times Mirror Company : St. Louis.
Hsdc. (2011). Speech disorder post stroke. http://www.hsdc.org. diperoleh
pada tanggal 15 April 2011.
Huang, C. Y. Hsu, M.C., Hsu, S.P., Cheng, P.C., Lin, S.F., & Chuang,
C.H. (2010). Mediating roles of social support on poststroke depression and
quality of life in patients with ischemic stroke. J Clin Nurs.Volume 19, Issue
19-20 pages 26712956.
Hudak, C.M., & Gallo, B.M. (1996). Keperawatan kritis pendekatan
stik.
holi
Edisi 6. Editor Yasmin Asih. Jakarta : EGC.
Ignatavicius, D.D. & Workman, M.L. (2010). Medical surgical nursingnt
patie centered collaborative care. (6th ed.). Volume 2 . St. Louis :
Elsevier Inc.
08).
Johnson, R.K., Hough, M.S., King, K.A., Vos Paul., & Jeffs, T.A. sing
(20
Functional communication in individual with chronic severe aphasia
u
augmentative communication. Informa Healthcare.Vol. 24(4) : 269
rbit
280. Kirshner. (2009). Post stroke aphasia.
Kusumoputro, S. (1992). Afasia : Gangguan berbahasa. Jakarta : Balai
Pene
FKUI.

nces
den.
oleh

Laska, A.C. (2007). Aphasia in acute stroke. Department of Clinical Scie


Danderyd
Hospital.
Karolinska
Institutet.
Stocholm,
Swe09).
http://publicat ions.ki.se/jspui/bitstream/10616/39894/ 1/thesis.pdf dipernced
pada tanggal 15 juni 2011.
Lee, A.C.K., Tang, S.W., Tsoi, T.H., Fong, D.Y.K., & Yu, G.K.K.
(20
Predictors of poststroke of life in older chinese adults. Journal of
Adva
nursing. (7th ed.). St.Louis : Missouri. Mosby-Year Book,
Incorporation.

ical
l. 2
ical

Li, S. C, Wang, K. Y., & Lin, J. C. (2003). Depression and related factors
in elderly patients with occlusion stroke. Journal of Nursing Research .Vol
II. No. I.
Lipska, et al. (2007). Risk factor for acute ischaemic stroke in young adults in
south India. Diakses dari JNNP.com tanggal 8 Juli 2011.

Loretz, L.(2005). Primary care tools for clinician a compendium of forms,


questionnaires and rating scales for everyday practice. St.Louis, Missouri:
Mosby, Inc.
Lumbantobing, S.M. (2011). Neurologi klinik pemeriksaan fisik dan
mental.
Cetakan 14. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Lund, S.K., & Light, J. (2003). The effectiveness of grammar instruction
for individuals who use augmentative and alternative system : A
preliminary study. Journal of Speech Language and Hearing Research,
46 (5), 1110
Lund1123.
, S.K.,
& Light,
J. (2007). Long term outcomes for individuals who
Oktober
2003.
augmentative and alternative communication : Part III contributing
fact Augmentative and alternative communication , vol 23 (4),323 335. use
ors.
Martini,S. (2002). Gangguan kognitif pasca stroke dan faktor resikonya.
B Kedokteran Masyarakat XVIII (4) 2002 hal.195.
erita
Mc Dowell, J., & Nowell, D.K. (2001). Dimension of the event that
influ psychological distress. An evaluation and synthesis of the
ence
literature. In Kaplan (Ed). Psychosocial stress. Trends in theory and
H.B.
research, h. 33 Newyork : Academic Press.
103.
Meifi., & Agus, D. (2009). Stroke dan depresi paska stroke. Majalah
kedokt
eran
Damianus. Vol.8 No.1. Januari 2009. Diperoleh pada tanggal 20 Mei
2011.
Misbach, J. (1999). Stroke aspek diagnostik, patofisiologi, manajemen. rta :
Jaka
Balai Penerbit FKUI.
ktif.
Misbach, J., & Kalim, H. (2007). Stroke mengancam usia
produ
http://www.medicastore. com/stroke/ diperoleh tanggal 14 Mei
ment
2011.
orks
Mudie, M. H., & Matyas, T. A. (2000). Can simultaneous bilateral move
involve the undamaged hemisphere in reconstruction of neural
asca
NANDA International. (2009). Diagnosis keperawatan: definisi dan klasifikasi
2009-2011. Penerjemah Sumarwati dkk. Jakarta: EGC.
Nursalam. (2008). Konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu
keperawatan pedoman skripsi, tesis, dan instrumen penelitian keperawatan.
Edisi 2. Jakarta : Salemba Medika.
Nys, G., Zandvoort, M. J. E., Worp, V. D., Haan, D., Kort, D., & Kappelle, L. J.
(2005). Early depressive symptoms after stroke: neuropsychological
correlates

and lesion characteristics. Journal of the Neurological Sciences.Volume 228,


Issue 1.
Oh, M., Yu, K., Roh, J., & Lee, B. (2009). Gender Differences in the
Mortality and Outcome of Stroke Patients in Korea. Cerebrovascular
Diseases, 28(5),
427.
Pdpersi (2010). Stroke peringkat pertama penyebab Kematian di
Indonesia. http://www.pdpersi.co.id/?
show=detailnews&kode=5621&tbl=c akrawa la diperoleh tanggal 20 Mei
Petrina, B. (2007). Motot recovery in stroke.
2011.
http://emedicine.medscape.c
om.
Diakes 12 Juli 2010.
Pinzon, R. (2009). Stroke usia muda. http://artike l Indonesia.com. Diakses
ggal
tan
14 Juli 2011.
Polit, D.F., Beck, C.T., & Hungler, B.P. (2001). Essentials of nursing
rese methods, appraisal, and utilization (5th ed.). Philadelphia :
Lippincott.
Polit, D.F., Beck, C.T., & Hungler, B.P. (2004). Nursing research,
principles methods, 7th ed. Lippincott Williams and Wilkins.
Potter, P.P., & Perry, A.G. (2005). Fundamental of nursing concept :
Theory practice. (6th ed.). Philadelphia : Mosby Year Book.

arch
and
and

10).
Powlawsky, I.E., Schuurmans, M.J., Lindeman, E., & Hafsteinsdottir, T.B. asia.
(20
A systematic review of nursing rehabilitation of stroke patients with
oses
aph
ease
Journal of Clinical Nursing. 2010 Jan; 19 (1-2) : 17-32.

Price, S.A., & Wilson, L.M. (2006). Patofisiologi: Konsep klinis proses-pr
penyakit. Edisi 6. (Terj.dari Pathophysiologi Clinical Concepts ofwith
Dis Process, Brahm U. Penditetal.). Jakarta : EGC.
Purdy, M., & Diez, A. (2010). Factors influencing AAC usage by
cara
individuals aphasia. Speech Language Pathologi/ Audiology, 19 (3) : 8 itas
Rekam Medis RSUD Kota Tasikmalaya. (2011). Data Rekam Medis RSUD Kota
Tasikmalaya Tahun 2009-2010.
Rice, D.A. (2001). Life events and depressions. The plot thickens. American
Journal of Community Psychology.20 (2)`: 179 193.
Rowat, A., Lawrence, M., Horsburgh, D., Legg, L., & Smith L. (2009).
Stroke research questions : A nursing perspective. British Journal of
Nursing, 18(2),
99-105. Januari 2009.

Sabri, L., & Hastono, S.P. (2006). Statistik kesehatan. Edisi revisi. Jakarta:
FKM UI.
Salter, K., Jutai, J., Foley, N., Hellings, C., & Teasell, R. (2006). Identification
of aphasia poststroke : A review screening assesment tools. Brain injury,
20(6) :
559- 568. June 2006.
Sarafino, E. P. (2006). Health psychology : biopsychosocial interaction. (5th ed.).
Unites States of America : John willey & Sons, Inc.
Sastroasmoro, S & Ismael, S. (2010). Dasar dasar metodologi penelitian klinis.
(Ed.2). Jakarta : Sagung Seto.
Schlosser, R.W., & Wendt, O. (2008). Effect of augmentative andtive
alterna communication intervention on speech production in children with : A
autism systematic review. American Journal of Speech Language.17 ;
Pathology. Vol
212 230.
ion.
Schub, E., & Caple, C. (2010). Stroke complication : post stroke
depress
California: cinahl information system.
W.J.
Arch
Schulz, R., Beach, S.R., Ives, D.G., Martire, L.M., Ariyo, A.A., & Kop,
(2000). Association between depression and mortality in older adults.
Alih
Intern Med 2000; 160: 1761-8.
Silbernagl, S., & Lang, F. (2007). Teks dan atlas berwarna patofisiologi.
Bahasa Iwan Setiawan & Iqbal Mochtar . Cetakan I. Jakarta : EGC.
e in
mily
Sit, J.W.,Wong, T.K.S., Clinton.,Li,L.S.W., & Fong, Y.M. (2004). Stroke
car the home : The impact of social support on the general health
of fa caregivers. Journal of Clinical Nursing, 13: 816-824.
ong
rch;
-------------. (2007). Associated factors of post-stroke depression among
H Kong Chinese: A longitudinal study. Psychology, Health &
Medicine,Ma
dah
12(2): 117 125.
e 3.
Smeltzer , S.C., & Bare, B.G. (2002). Buku ajar keperawatan medikal
Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, J.L., & Cheever, K.H. (2008). Brunner &
Suddarths textbook of medical surgical nursing (11th ed.). Philadelphia
: Lippincott Williams & Wilkins.
--------------. (2010). Brunner & Suddarths textbook of medical surgical nursing
(12th ed.). Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins.
Storor, D.L., & Byrne, G.J.A. (2006). Premorbid personality and depression
following stroke. Australia.

Sundin, K., & Jansson, L. (2003). Understanding and being understood as


a creative caring phenomenon in care of patient with stroke and aphasia.
Journal of Clinical Nursing. Vol.12 : 107 116.
Sundin, K., Jansson, L., & Norberg, A. (2000). Communicating with people with
stroke and aphasia : understanding throught sensation without words.
Journal of Clinical Nursing. Vol.9 : 481 488.
Suwantara, J. R. (2004). Depresi pasca-stroke : epidemiologi, rehabilitasi
dan psikoterapi. Jurnal kedokteran Trisakti. Oktober-Desember 2004, Vol.
23 No.
4.
Swierzewski, S.J. (2010). Stroke Treatment. January
http://www.neurologychannel.com/stroke/treatment.shtml.

30,

2
011.

Tarigan,
I.
(2009).
Terapi
afasia
perbaiki
gangguan
bah
http://www.mediaindonesia.com/mediahidupsehat/index.php/read/2009/0 asa.
/28/
4
l 20
1109/13/Terapi-Afasia-Perbaiki-Gangguan-Bahasa diperoleh pada
tangga
Juli 2011.
Hill
th
Taylor, S.E. (2006). Health psychology. 6
edition. New York:
McGraw- Companies, Inc.
fter
Feb
Thomas, S.A., & Lincoln, N.B. (2008). Predictors of emotional distress
a stroke. Journal of the American Heart Association, Vol.39, 1240
1245.
vaal
21 2008. Diperoleh pada tanggal 24 Juni 2011.
21,
Thommessen. (1999). Screening by nurses for aphasia in stroke the ulle
aphasia screening (UAS) test. Disability and Rehabilitation Journal. Vol.
apy.
No. 3, 110 115.
n
Wikipedia. (2011). Augmentative and alternative communication ther
http://en.wikipedia.org/w iki/Augmentative_and_alternative_communicat i
oleh
o diperoleh pada tanggal 15 April 2011.
Wikipedia. (2011). Anatomi otak. http://id.w ikipedia.org/w iki/Otak diper
NIC
pada tanggal 15 Oktober 2011.
Wirawan, R.P. (2009). Rehabilitasi stroke pada pelayanan kesehatan primer.
Majalah Kedokteran Indonesia. Vol (59), nomor 2 : 61 73.
World

Health
Report
(2007).
Stroke
statistics.
http://www.strokecenter.org/patients/stat.htm , diperoleh tanggal 14 Mei
2011.

Yastroki (2011). Stroke penyebab kematian urutan pertama di Rumah Sakit di


Indonesia. http://www.yastroki.or.id/read.php?id=276 diperoleh tanggal 15
Agustus 2011.

Jadual Kegiatan TESIS


Semester Gasal 2011/2012
Program Pascasarjana Ilmu Keperawatan
Kekhususan Medikal Bedah Fakultas limn Keperawatan
Universitas Indonesia

No

Kegiatan'

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012

Lampiran 1

PENJELASAN PENELITIAN

Saya menyatakan bahwa di bawah ini


: Peneliti
NPM

:
:

Amila
0906505086

Peneliti adalah mahasiswa Program Pasca Sarjana Ilmu Keperawatanitas


Univers
aruh
Indonesia, bermaksud mengadakan penelitian untuk mengetahui peng
kasi
pemberian alat bantu komunikasi terhadap kemampuan fungsional
angi
komuni dan depresi pasien stroke dengan afasia motorik. Penelitian ini
nyai
dilatarbelak oleh meningkatnya jumlah pasien stroke di Indonesia. Pasien
uan
stroke mempu risiko terjadinya berbagai komplikasi diantaranya adalah
pasi
mengalami gangg komunikasi dan depresi. Gangguan komunikasi dapat
onal
menurunkan partisi sosial, meningkatkan angka kematian dan menurunkan
sien
kemampuan fungsi pasien stroke. Depresi meningkatkan angka kematian
dan kesakitan pada pa stroke dan menghambat rehabilitasi pasien stroke.
kasi
Peneliti akan memberikan alat bantu komunikasi untuk memfasilitasi
kan
komuni pasien dengan gangguan komunikasi. Adapun hasil penelitian ini
kasi
nanti a direkomendasikan sebagai masukan dalam pencegahan terjadinya
kompli pada stroke.
Penelitian ini tidak bersifat memaksa, apabila Bapak/Ibu/Saudara/I
bers menjadi peserta penelitian, silahkan menandatangani kolom di
bawah ini mengisi kuesioner yang tersedia. Dengan persetujuan yang

edia
dan
aya

atau
diberikan s mengharapkan partisipasi Bapak/Ibu/Saudara/I untuk
jawaban dari pertanyaan yang diberikan. Peneliti akan menjamin
kerahasiaan identitas peserta penelitian dengan hanya akan mencantumkan
nomor sebagai
kode peserta penelitian.
Hormat Saya,
Amila

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012

LEMBAR PERSETUJUAN BERSEDIA


MENJADI RESPONDEN PENELITIAN

Setelah membaca penjelasan mengenai penelitian ini dan mendapatkan


jawaban dari pertanyaan yang saya ajukan kepada peneliti, saya mengerti dan
memahami
tujuan, manfaat dan tindakan yang akan dilakukan dalam penelitian ini.
Saya meyakini bahwa peneliti menghargai dan menjunjung tinggi
hak
saya/anak/suami/istri/ayah/ibu sebagai responden dan penelitian ini
t berdampak buruk terhadap kesehatan saya/anak/suami/istri//ayah/ibu.

-hak
idak
aya

ngat
S mengerti keikutsertaan saya/anak/suami/istri/ayah/ibu dalam penelitian ini
sa besar manfaatnya bagi kemajuan dunia keperawatan.
Selanjutnya, saya bersedia secara sukarela dan tanpa ada paksaan dari
p manapun untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.
,...............................2011
Responden

(......................................)

Peneliti

(Amila)

ihak

KUISIONER PENELITIAN

Petunjuk Pengisian
Pengisian dilakukan oleh peneliti dengan mengisi titik-titik dan memberi
tanda ceklis ( ) pada kolom yang disediakan
Identitas responden
No. responden

Alamat
.

: .................................................................................
.........................................................................

. No Telp/HP

: ...............................................

......................... Keterangan

: kelompok kontrol/kelompok

intervensi
Karakteristik pasien
Umur

: tahun

Jenis kelamin
Perempuan
Laki-laki
Frekuensi serangan stroke
1 kali
>1 kali
Keluarga yang selama ini merawat :
Yang lain sebutkan .

Kode Responden
FORMAT PENGKAJIAN AFASIA
Frenchay Aphasia Screening Test (FAST)
Petunjuk Pengisian :
Mohon kesedian Bapak/Ibu/Saudara untuk mengisi lembar pengkajian
afasia sesuai dengan kondisi sebenarnya.FAST mengkaji kemampuan bahasa
dalam area utama, seperti pemahaman, ungkapan verbal, membaca dan
empat
menuli

s.

Persiapan Tes :
Pastikan pasien dapat mendengar kita dengan baik, suara harus jelas
Alat : kertas bergambar (kartu bergambar), pensil, kertas, stopwatch
No Aspek

Item Penilaian

Komunikasi
1.

2.

Pemahaman

Pengucapan

Perhatikan gambar pemandangan dan


gambar bentuk ini, dengarkan apa yang
saya katakan dan tunjukkan gambar yang
dimaksud. Jika meminta pengulangan
instruksi berarti nilainya error. Berikan
skor 1 untuk setiap jawaban yang benar.
Skor 0 10.
1. Skema pemandangan
alam a. Sawah
b. Gunung
c. Pohon
d. Orang ditengah sawah
e. Rumah dipinggir sawah
2. Gambar bentuk :
a. Persegi panjang
b. Persegi empat
c. Kerucut dan lingkaran
d. Kerucut
e. Segilima (Piramida)
a. Tunjukkan pasien gambar pemandangan
alam dan katkan Sebutkan sebanyak
mungkin gambar yang dapat kamu lihat
atau namai segala sesuatu yang kamu
lihat pada gambar ini. Range skor 0 5
1. Tidak mampu menyebutkan nama
objek satu pun

Skorin
g

2.
3.
4.
5.
6.

Dapat menamai 1 2 objek


Dapat menamai 3 4 objek
Dapat menamai 5 7 objek
Dapat menamai 8 9 objek
Dapat menamai 10 objek

b. Pindahkan kartu bergambar dari


hadapan pasien dan informasikan bahwa
sekarang kamu mencoba kondisi yang
sedikit berbeda, kemudian katakan
padanya menyebutkan nama nama
binatang yang dia mampu/yang ada
dalam pikirannya selama 1 menit. Skor
05

3.

Membaca

1. Tidak mampu menyebutkan


satupun binatang
2. Dapat menyebutkan 1
2
3. Dapat menyebutkan 3
5
4. Dapat menyebutkan 6
9
5.
Dapat menyebutkan 1014
6.
Dapat menyebutkan 15 atau
lebih
Tunjukkan pasien skema pemandangan
alam dan kartu membaca, katakan pada
pasien agar membaca di dalam hati saja,
tidak dengan suara keras dan lakukan
instruksi yang dia baca. Berikan skor 1
untuk setiap jawaban yang benar. Skor 0
5
1. Tidak dapat melakukan instruksi
2. Tunjuk gambar pohon
3. Ambil kertas bergambar
4. Ambil pensil
mungkin yang kamu bisa tentang apa yang
terjadi di dalam gambar. Jika tangan
dominan yang terkena, maka gunakan
tangan tidak dominan selama 5 menit. Skor
05
1.
Tidak mampu menuliskan
satupun
2. Dapat menuliskan 1- 2
3. Dapat menuliskan 2 3
4. Dapat menuliskan 4

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012

5. Dapat menuliskan 5 (tetapi ada yang


tidak sesuai dengan gambar)
6. Dapat menuliskan 5 dengan tepat
Total Skor :

Kesimpulan hasil tes :


Afasia : Jika skor >
Jenis Afasia :

Afasia motorik

Afasia sensorik

Afasia global
Hasil penilaian, dikatakan afasia jika :
Usia sampai 60 tahun mempunyai nilai dibawah 27
Usia diatas 60 mempunyai nilai dibawah 25
Keterangan :
c. Afasia sensorik, yaitu jika pasien sering menyebutkan kata/kalimat yangidak
t sesuai dan

tidak

bermakna.

Pasien

kesulitan

dalam

pemahaman

(komprehensif). Hal ini ditandai dengan bahasa yang lancar tapi tidak sesuai
(nyambung) dengan pertanyaan, panjang kalimat normal, artikulasi baik.
d. Afasia

motorik

jika

pasien

dapat

mengerti

instruksi,

tapi sulit

mengungkapkannya dalam kata atau membentuk kalimat secara lengkap.Hal


ini dapat ditandai dengan bicara lisan tidak lancar, terputus-putus dan ring
se ucapannya tidak dimengerti orang lain. Apabila bertutur kalimatnya dekpen pendek dan monoton.
e. Afasia global jika pasien mengalami afasia sensorik ataupun motorik.
Ha

l ini

Keadaan ini ditandai oleh tidak adanya lagi bahasa spontan atau berkurang
sekali dan menjadi beberapa patah kata yang diucapkan secara stereotip ( itu
itu saja, berulang), pemahaman menghilang atau sangat terbatas.
Membaca dan menulis juga terganggu berat.

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012

Kode Responden
SKALA KOMUNIKASI FUNGSIONAL DERBY
Petunjuk Penggunaan :
1. Instrumen ini diisi oleh peneliti berdasarkan hasil observasi dengan responden.
2. Tujuan utama penilaian adalah untuk mengidentifikasi tingkat
kemampuan fungsional komunikasi pasien melalui tiga skala, yaitu
mengungkapkan, pemahaman dan interaksi

kemampuan

3. Kemampuan pasien ditentukan berdasarkan bukti yang ada. Menanya


kepada

teman/keluarga, dan perawat dapat memberikan informasi, tekan

observasi langsung juga penting.


Ekspresi (E)

tapi
Pemahaman (P)

Inter

aksi (I)
0 Tidak mampu
Kurang atau tidak
Sedikit atau
t mengekspresikan kebutuhan
menunjukkan pemahaman.
interaksi.idak ada
(Ti dan tidak berusaha menarik
(Tidak menunjukkandak
merespon sal perhatian.
ekspresi muka apapun, tidakam, bisa
tertawa atau
tersenyum
ada respon atau memberikan dalam
yang tidak
situasi respon yang tidak sesuai)
pantas.)
danya
1 Tidak mampu
Menunjukkan tanda-tanda
Menyadari aang lain,
mengekspresikan kebutuhan, pemahaman bahwa orang
kehadiran orak mata dan
tetapi menunjukkan usaha
lain sedang berusaha untuk
melalui, tetapi tidak
kont pasien untuk berkomunikasi. mengkomunikasikan
posturteraksi secara
tubuh sesuatu, tetapi tidak dapat
mampu berinalnya melalui
memahami bahkan pilihan
spesifik (mis
sederhana ya/tidak.
salam).
lam dan
2 Menggunakan komunikasi
Memahami beberapa pilihan Merespon sayang
non-verbal (misalnya isyarat, sederhana dengan dukungan signal sosialmelalui
menunjuk dengan jari,
non-verbal (misalnyah (misalnya

suara untuk mengekpresikan


kebutuhan dasar (misalnya
untuk pergi ke toilet).
Respon ya/tidak tidak dapat
diharapkan.
Respon ya/tidak dapat
diharapkan.
Dapat mengekspresikan
konsep sebuah tindakan atau

cangkir, menunjuk
teh/kopi), tetapi tidak dapat
memahami kata-kata atau
simbol-simbol.

tersenyum dan cemberut).


Dapat berinteraksi dengan
satu orang, tetapi hanya
untuk waktu sebentar.

Memahami ekspresi
sederhana ya/tidak dan
dapat memahami beberapa
benda (misalnya
buku,

Dapat berinteraksi dengan


satu orang secara
konsisten dengan
makan, kursi).
4 Mengekspresikan

ide-ide sederhana secara


verbal atau dengan berbicara
singkat (misalnya dapat
meminta supaya buku
diletakkan di atas kursi).

kata-kata atau simbolsimbol konkret yang


sederhana.
Memahami ide-ide
sederhana yang
disampaikan melalui katakata yang diucapkan satu
persatu atau secara non
verbal.

menggunakan kata-kata
dan/atau komunikasi nonverbal.
Dapat berinteraksi dengan
dua orang secara
konsisten dan
berpartisipasi
sebagaimana mestinya.

raksi dengan
5 Mengekspresikan ide-ide
Memahami ide-ide yang
Dapat
ng tetapi
berinte yang lebih rumit tetapi harus hanya bisa diekspresikan
n dukungan
beberapa ora didukung oleh komunikasi
secara lengkap melalui katatisipasi secara
membutuhka non-verbal (misalnya dapat
kata.
untuk berpar meminta supaya diberikan
efektif. minum nanti).
6 Mengekspresikan ide-ide
Memahami beberapa
Berinteraksi secara
an berapapun
abstrak yang memerlukan
percakapan yang rumit
mandiri
mlah orang,
deng kata-kata (misalnya ayah
(rangkaian kalimat),tetapi
bertahan
banyaknya ju saya kecewa).
sering kehilangan arah
dapat
tetapi hanya Dapat kehilangan kelancaran pembicaraan.
eberapa
sebentar dan bicara saat gelisah, lelah dll.
salnya giliran
mengalami b
kesulitan (mi
berbicara). ertahankan
7 Dapat mengekspresikan ide Benar-benar memahami
Dapat mempgan
ide dalam bentuk komunikasi komunikasi kompleks,
interaksinyaknya
den yang kompleks, tetapi
tetapi kadang-kadangdengan
berapapun ba kelancaran berbicaranya
mengalami kesulitan.anya sedikit
jumlah
orang
berkurang.
asalah dalam
mengalami h
al.
kesulitan.
8 Tidak ada masalah yang
Tidak ada masalah yang
terdeteksi.
terdeteksi.
di atas yang
di atas yang menggambarkan
sosi
menggambarkan tingkat
tingkat ekspresi paling
pemahaman paling akurat
akurat pasien dalam kondisi
pasien dalam kondisi
sekarang:
E=
sekarang:
P=
Kode
Responden

FORMAT OBSERVASI
DEPRESI
Aphasic Depression Rating Scale
(ADRS)

Tidak ada m
gka dari
interaksi
daftar di atas yang
menggambarkan tingkat
interaksi paling akurat
pasien dalam kondisi
sekarang:
I=

Petunjuk Penggunaan :
1. Instrumen ini diisi oleh peneliti berdasarkan hasil observasi dengan responden.
2. Tujuan utama penilaian adalah untuk mengidentifikasi terjadinya
gejala somatik,

de

ada kesedihan, hipokondriasis, agitasi, ekspresi (mimik) dan kelelahan.

pr

melalui penilaian adanya insomnia, kecemasan,

3. Penilaian adanya depresi pada pasien ditentukan berdasarkan bukti yang es


Menanyakan kepada keluarga yang selalu mendampingi pasien dan

pera dapat memberikan informasi atau kepada pasien dengan

memberikan pil bila ya

= mengangguk, tidak = menggelengkan

ya

kepala, tetapi obser langsung juga penting.


N
O
1.

BAGIAN

NILAI

0=
Insomnia Sedang
Pasien gelisah dan terganggu sepanjang 1=
kegelisah malam, bangun dimalam hari
/observasi

ad

a.
Tidak ada kesulitan
Pasien menunjukkan
wa
pada waktu malam

tidur
iha
Sering bangun pada waktu ma
dari tempat tidur (kecuali pergi n
0 = Tidak ada kesulitan Tegang
Kecemasan Fisik
va
dan mudah marah
1 = Tegang dan mudah marah
Mengkhawatirkan hal yang kecil/ 2 = Mengkhawatirkan hal yang
si
kec sederhana
3 = Sikap cemas tampak pada
wajah Menunjukkan sikap khawatir dan
pasien
gelisah
4= Ketakutan yang ditunjukkan (ek
Takut
verbal) secara jelas
0 = Tidak
Kecemasan Somatik
ada Gastrointestinal : Gangguan pencernaan 1 =
an dan gangguan
Ringan Kardiovaskuler : Palpitasi, nyeri kepala 2 =
gangguan pola
Sedang Respirasi, gangguan perkemihan dan 3 =
2=

2.

3.

lam hari; bangun


kekamar mandi)
il/sederhana
atau cara bicara
spresi verbal/non

lain-lain

4=

Tidak dapat ditangani

4.

5.

0 =
Gejala Somatik Gastrointestinal
Hilang
nafsu
makan,
perasaan 1 =
penuh/berat diabdomen, konstipasi
2=

Tidak ada
Hilang nafsu makan tetapi tetap makan,
perasaan penuh pada abdomen
Kesulitan makan (bukan karena paresis lengan)
memerlukan pengobatan untuk gangguan
pencernaan, misal karena konstipasi
0 = Tidak ada
Hipokondriasis
Keyakinan seseorang memiliki penyakit 1 = Khawatirkan pada penampilan diri (pada tubuh)

6.

medis yang serius, meski tidak ada 2 = Mengkhawatirkan kesehatan


dasar untuk keluhan yang dapat 3 = Banyak keluhan, permintaan bantuan & lain
ditemukan
lain
4 = Delusi hipokondria (khayalan adanya
penyakit yang serius)
0 = Tidak ada gejala
Agitasi
Gelisah
berhubungan
dengan 1 = Gejala sedikit atau meragukan
kecemasan
2 = Gejala tampak nyata

7.

Kesedihan yang tampak

8.

Mimik- Pergerakan Ekspresi Wajah

9.

Kelelahan

0 = Tidak sedih
1 = Antara 0 dan 2
2 = Tampak tidak bersemangat, tetapi mudah menjadi
riang kembali
3 = Antara 2 dan 4
4=
Sering tampak sedih dan tidakbahagia
5 = Antara 4 dan 6
6 = Tampak menderita sepanjang waktu, sangat
murung
0= Kepala bergerak dengan bebas,fleksibilitas pada
tubuh dengan pandangan menatap ruangan atau
pandangan tetap pada pemeriksa atau minat
pada objek yang lain dengan ap yang sesuai
sik
rakan, tidak bisa
1 = Mungkin terjadi pengurangan
ge
ringan, menatap
dipastikan dengan mudah
monoton, masih
2 = Berkurangnya gerakan
tetapi ruangan, mimik,
iasanya menatap
walaupun
sa; pasien lambat
ekspresif
ah
3 = Tidak menggerakkan kepala, bgerak dan sulit
lantai, jarang menatap pemerik
tersenyum; ekspresi tidak berubjukkan
secara
4 = Muka benar-benar tidak
sung
ber berekspresi
secara spontan,
0
=
Kelelahan
tidak
idapatkan saat
ditun spontan/setelah
pertanyaan lang
kelelahan dalam
1 = Kelelahan tidak ditunjukkankan, berpakaian,
tetapi bukti kelelahan dbiasanya dapat
wawancara berlangsung
ipun mengalami
2 = Pasien mengalami distres karena
kehidupansangat
seharitampak,
- harinyasehingga
(ma
3 = Kelelahan
pasien harus
mengendalikan beberapa aktivitas (lesu)
4 = Pengurangan pada hampir semua aktivitas yang
disebabkan oleh kelelahan yang berlebihan
(lemas)

Total nila i

Kesimpulan : Dikatakan depresi bila skor pasien 9. Semakin tinggi nilai yang
diperoleh, semakin menunjukkan pasien depresi

Kode Responden
INSTRUMEN STATUS FUNGSIONAL
(The Barthel Index)
Instrumen status fungsional digunakan untuk menilai ketidakmampuan
fisik. Ketidakmampuan fisik merupakan ketidakmampuan dalam memenuhi
aktivitas
sehari-hari berupa makan, mandi, merawat diri, berpakaian, buang
airsar,
be buang air kecil, menggunakan toilet, berpindah, mobilitas dan menggunakan
tangga.
Petunjuk Penggunaan :
1. Instrumen ini diisi oleh peneliti berdasarkan hasil wawancara

gan

den responden.
2. Barthel I ndex digunakan untuk melaporkan apa yang pasien lakukan,kan
bu
melaporkan apa yang pasien mampu lakukan.

kan
3. Tujuan utama adalah untuk mengidentifikasi tingkat kebutuhan pasien a
ecil
bantuan dalam beraktivitas, baik berupa bantuan fisik maupun verbal, sek
apapun itu.
4. Jika dalam melakukan pasien masih membutuhkan pengawasan, berarti
pa belum mandiri.
5. Kemampuan pasien ditentukan berdasarkan bukti yang ada.
Menanya kepada pasien, teman/keluarga, dan perawat dapat
memberikan inform tetapi observasi langsung juga penting. Meskipun

sien
kan
asi,
idak

pemeriksaan langsung t dibutuhkan.

tapi
6. Pengamatan sebenarnya cukup dilakukan selama 24-48 jam, akan
kadang-kadang periode waktu yang lebih lama akan lebih relevan.
7. Skala menengah berarti pasien mampu melakukan 50% atau lebih dari aktivitas.
8. Pasien dianggap mandiri jika mampu melakukan sendiri
meskipun menggunakan alat bantu.

Aktivitas
Makan
0 = Tidak dapat makan
5 = Memerlukan bantuan, seperti memotong makanan, mengoleskan
mentega, atau memerlukan diet khusus
10 = Mandiri
Mandi
0 = Tidak mampu mandiri
5 = Mandiri
erawat diri
0 = Memerlukan bantuan dalam perawatan diri
5 = Mandiri untuk gosok gigi, membasuh wajah, menyisir rambut dan bercukur
Berpakaian
0 = Tidak mampu mandiri
5 = Butuh bantuan tapi dapat melakukan sebagian
10 = Mandiri (mampu mengancing baju, menutup resliting, merapikan pakaian)
Buang air besar
0 = Tidak dapat mengontrol (butuh enema)
5 = Kadang-kadang mengalami kesulitan
10 = Dapat mengontrol buang air besar
Buang air kecil
0 = Tidak dapat mengontrol, dikateter dan tidak bisa mengurus sendiri
5 = Kadang-kadang mengalami kesulitan
10 = Dapat mengontrol buang air kecil
Penggunaan toilet
0 = Tidak mampu mandiri
5 = Butuh beberapa bantuan, tapi tidak tergantung penuh
10 = Mandiri
Berpindah (dari tempat tidur ke kursi atau sebaliknya)
0 = Tidak mampu, tidak dapat duduk seimbang
5 = Butuh banyak bantuan (1 atau 2 orang) untuk bisa duduk
10 = Butuh bantuan minimal (hanya diarahkan)
15 = Mandiri
Mobilitas (berjalan pada permukaan yang rata)
0 = Tidak mampu atau berjalan < 50 meter
5 = Mandiri dengan kursi roda
10 = Berjalan > 50 meter dengan bantuan 1 orang
15 = Mandiri (tapi menggunakan alat bantu seperti tongkat)
Menggunakan tangga
0 = Tidak dapat menggunakan tangga
5 = Butuh bantuan (verbal, fisik, menggunakan alat bantu)
10 = Mandiri
TOTAL 0 100
Sumber : Loretz (2005)

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012

Skor

Kode Responden
INSTRUMEN DUKUNGAN KELUARGA
Petunjuk Pengisian :
1. Bacalah setiap pertanyaan di bawah ini dengan seksama
sebelum bapak/ibu/saudara menentukan jawaban .
2. Berilah tanda ceklist (V) pada kolom yang sesuai dengan pilihan atau

disi

kon sesungguhnya yang bapak /ibu saudara/ketahui atau alami.


3. Tidak ada jawaban yang benar atau salah.
No

1.
2.
3.

4.
5.
6
.
7
.
8
.
9.
10.
11.

Pertanyaan

Tidak
pernah
Dimensi Informasi
Keluarga
memberikan
informasi
yang
pasien yang dibutuhkan terkait dengan masalah
stroke dan perawatannya
Keluarga
mengingatkan
pasien
pentingnya meminum obat secara teratur
Keluarga memberikan
informasi Amila,
kepada
Pengaruh pemberian...,
FIK UI, 2012
pasien tentang penggunaan alat bantu bila pasien
kesulitan berkomunikasi
Dimensi Instrumental
Keluarga membantu ketika pasien cemas
dengan gangguan bicara
Keluarga
menggunakan
kata

kata
sederhana dan kalimat pendek ketika bicara
dengan pasien
Keluarga mengajak pasien bercakap
cakap seperti menanyakan apa yang dimakan
pasien pada sarapan pagi, bagaimana tidurnya
Keluarga memberikan waktu
pada pasien
untuk menjawab pertanyaan atau memahami
informasi
bicaranya
Keluarga
membantu
pasien
membiayai
Dimensi Emosional
Keluarga menjaga dan merawat pasien
dengan penuh kasih sayang
Keluarga memberikan semangat ketika pasien
merasa frustasi dengan gangguan bicara dan
keterbatasannya
Keluarga menghentikan pembicaraan pasien
apabila pasien mengalami kesulitan atau
menyelesaikan percakapannya

Jarang

Sering

Setiap saat

12.
13.
14.
15.

Dimensi Penghargaan
Keluarga mengikutsertakan pasien dalam setiap
musyawarah keluarga
Keluarga menerima pasien apa adanya dengan
segala keterbatasannya
Keluarga mengkoreksi langsung kesalahan
bicara pasien ketika pasien sedang berbicara
Keluarga mendengarkan dengan penuh perhatian
jika pasien berusaha berbicara

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012

KISI KISI KUISIONER


DUKUNGAN KELUARGA DALAM PEMBERIAN KOMUNIKASI
DENGAN
AUGMENTATIVE AND ALTERNATIVE COMMUNICATION

Variabel Penelitian

Dimensi
Dukungan keluarga
Informasi
Instrumental
Dukungan Keluarga Emosional
Penghargaan

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012

Jumlah pertanyaan
3 pernyataan
5 pernyataan
3 pernyataan
4 pernyataan

No
No. RM
Nama pasien
Jenis Kelamin
Diagnosa
Tanggal Mulai
Pelaksanan
No

PEDOMAN PELAKSANAAN PEMBERIAN KOMUNIKASI DENGAN


AUGMENTATIVE AND ALTERNATIVE COMMUNICATION
:
:
:
:
:
Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012
:
Dilakukan pada hari ke Kegiatan

1.

2.

3.
4.
5.

Sebelum pelaksanaan, lak


ukan pengkajian terhadap : TTV,
pasien, fungsi pendengara
kesadaran n dan penglihatan, pasien buta
untuk memberikan alternat
huruf atau tidak if komunikasi. Anjurkan
alat bantu dengar, gigi pals
pasien menggunakan
Pastikan lingkungan se u dan kaca mata selama proses pelaksanaan
kebisingan dengan me kitar pasien kondusif, seperti menghindari
mbawa pasien ke ruangan khusus, untuk
memudahkan pasien berko
Perawat dapat melibatkansentrasi.
membantu dalam berkomun keluarga untuk mendampingi pasien dan
Perawat duduk berhadapanikasi dengan pasien afasia.
pertahankan kontak mata n dengan pasien/di samping tempat tidur
dan
Perawat memperkenalkan
maksud dan tujuan dilaku
diri dan jelaskan kepada pasien/
keluarga kan latihan berkomunikasi dengan

Orientasi
Tugas

10

6.

7.
8.

jelas dan dipahami oleh pasien


ngan suara yang keras/berteriak pada
Hindarkan berbicara de
saat
berkomunikasi dengan pas
ien
afasia
karena
dapat
membuat
pasien
lebih frustasi dengan keter
merasa batasannya
Instruksikan pasien bagaim
ana menggunakan alat komunikasi tersebut
Hari I :
Pengenalan
Pertemuan 1 :
Menyebutkan
h) Peneliti menjelaskan t
gambar
i) Peneliti memperkena ujuan dan manfaat dilakukan AAC.
lkan
penggunaan
gambar
untuk
komunikasi pasien af
j) Peneliti mengajarkamemfasilitasi asia kepada pasien dan keluarga.
n gambar gambar yang ada
komunikasi.
dibuku
Mengajarkan setiap si
kepada pasien dan kel
mbol/ gambar yang ada pada buku komunikasi
bagian/ label, misaln
uarga. Bantu pasien untuk menunjukkan setiap
Berikan waktu pad
ya menunjukkan pasien merasa tidak nyaman.
diberikan. Jika pasi
a pasien untuk memahami informasi yang
simbol gambar terse
en tidak mampu mengidentifikasi simbol
familiar, jelaskan hu
but, ganti simbol gambar menjadi yang lebih
bentuk kalimat dan i
bungan antara simbol dengan artinya dalam
bentuk simbol lain.
nstruksikan pasien untuk mengulangnya
mengidentifikasi say
dalam Misalnya simbol piring + sendok
mengidentifikasi, pe
yang
gambar, kemudian pe
a ingin makan. Bila pasien tidak dapat
stimulus lain, seperti
neliti dapat membantu dengan menunjukkan
menunjukkan pada g
neliti menanyakan gambar apakah ini?
Berikan saya mau sikat gigi perintahkan

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012

gigi.
k) Keluarga mendemonstrasikan seperti yang dicontohkan oleh peneliti
l) Peneliti memberikan masukan terkait dengan demonstrasi
dilakukan oleh keluar yang
m) Keluarga mempraktekga
kan langsung gambar gambar kepada
n) Mencatat adanya ke
pasien. mampuan penggunaan gambar,
penamaan objek (an
nama suatu objek, ju kesulitan dalam omia) atau ketidakmampuan
untuk memberi
Pertemuan 2 :
mlah kata yang diucapkan
c) Evaluasi kemampuan
meminta pasien menu
dan anjurkan pasien pasien dalam penggunaan gambar dengan
keras sehingga dapatnjukkan buku komunikasi yang berisi gambar
Minta klien untuk untuk mengucapkan kata- kata dalam suara
ditunjukkan oleh pa melatih diotot otot wicara dan vokalisasi.
pasien tidak mamp menyebutkan nama nama benda yang
sien dan jelaskan nama objek tersebut. Bila
menyebutkan suku pe
u menyebutkan kata tersebut, bantu
kalimat penuntun. Mi
pasien rtama kata tersebut atau dengan
suku kata pen Ata
menggunakan salnya : pensil. Kita dapat
Instruksikan pasien
membantu dengan
memungkinkan guna
suara sehingga pasienu dengan kalimat : kita menulis
d) Keluarga dianjurkan dengan.
pada hal - hal rutin diuntuk mengulang kata kata tersebut. Jika
mandi, sikat gigi atakan ekspresi wajah, gerakan tubuh dan irama
berhubungan dengan dapat memahami pembicaraan.
untuk
selalu
terlibat dalam aktivitas
komunikasi

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012

9.

Pertemuan 3 :
c) Peneliti bercakap cakap kepada pasien tentang pekerjaan/
pasien. Catat irama bikeluarga
cara, berhenti atau kalimat monoton,
suara.
d) Peneliti meminta pasieproduksi
jendela, pintu, lampu,
n menunjukkan objek disekitar ruangan,
Hari II :
seperti meja, kursi yang disebutkan oleh
Pertemuan 1 :
peneliti.
c) Peneliti memperkenal
Mengeja
dan keluarga.
Pengulangan
d) Peneliti mengajarkan
pengkajian terhadap akan penggunaan papan alfabet kepada pasien Membaca
menggunakan papan
mengeja abjad ABC penggunaan papan alfabet. Peneliti melakukan
mengeja abjad tersebutbjad ABC dan vokal yang diucapkan, sebelum
e) Keluarga mendemonstalfabet. Instruksikan kepada pasien untuk
f) Peneliti memberikan dan bantu pasien untuk mengulang kembali
dilakukan oleh keluargdengan suara yang keras.
g) Keluarga mempraktek rasikan seperti yang dicontohkan oleh peneliti
h) Mencatat adanya kem masukan
terkait dengan demonstrasi
dalam menyebutkan hu yang
a
Pertemuan 2 :
kan langsung terhadap kepada
c) Peneliti mengevaluas
pasien.
dengan meminta pasampuan
penggunaan
papan
alfabet,
menyebutkannya secakesulitan
d) Peneliti meminta pa ruf dan
jumlah huruf yang
suatu benda yang diucapkan.
i penggunaan papan alfabet kepada pasien

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012

(menyebutkan huruf p, g).


Pertemuan 3 :
d) Instruksikan pasien untuk membaca kartu, kalimat/paragraf yang
pendek di koran dan kemudian anjurkan klien untuk membaca
kembali apa yang dibaca klien dengan suara yang keras.
e) Peneliti meminta pasien untuk mengeja huruf yang ada dibuku
komunikasi/ koran/majalah.
f) Peneliti dapat meminta keluarga mendengarkan lagu lagu
yang
disukai pasien.
10.

Hari III :
Menunjukkan
Pertemuan 1 :
Menyebutkan
c) Pasien diminta untuk
menunjukkan
gambar
pada
buku
komunikasi
yang disebutkan oleh
gambar yang ditunjuk. keluarga dan meminta untuk menyebutkan
d) Keluarga diminta untu
hal rutin dilakukan pk terlibat dalam aktivitas komunikasi pada hal
sikat gigi atau makan. - asien, misalnya pada saat pasien mau
e) Peneliti dapat menanymandi,
seperti tunjukkan lam
untuk mengulangi kataakan benda benda yang ada disekitar pasien,
Pertemuan 2 :
pu,
jendela,
pintu,
meja
dan
d) Peneliti mengevaluasimemerintahkan
dengan meminta pasi kata tersebut.
menyebutkannya secar
e) Peneliti meminta pasie penggunaan papan alfabet kepada pasien
benda yang ada dideken untuk menunjukkan huruf dan meminta
a berulang ulang.
huruf m, p).
n untuk menyebutkan huruf pertama dari suatu
at
pasien,
misalnya
meja,
pintu

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012

11.

f) Menunjukkan foto foto anggota keluarga pasien, kemudian pasien


diminta menunjukkan dan menyebutkan nama anggota keluarganya,
mengulanginya kembali.
Pertemuan 3 :
c) Meminta pasien menceritakan mengapa sampai dirawat di rumah
sakit, atau minta pasien menceritakan mengenai pekerjaannya atau
hobinya. Jangan memutuskan pembicaraan pasien, apabila
mengalami kesulitan pasien atau menyelesaikan percakapannya.
endengarkan musik/ lagu kesenangan pasien
d) Meminta keluarga m
ri pasien tentang kata kata dalam lagu dan
(mengingatkan memo
mendorong pasien untuk menyenandungkan lagu tersebut).
Mengekspresikan
Hari IV :
Mengeja
Pertemuan 1 :
dan
dibantu
menggunakan
alat
tulis
untuk
Menulis
d) Pasien diinformasikan
nya. Instruksikan pasien untuk menulis
menyatakan keinginan
keinginannya dikertas setiap atau secara spontan apa yang difikirkan
dalam ti nama dan alamatnya, nama
bentuk kalimat, seper
mau makan, minum. anak/keluarga, Jika klien tidak bisa bantu
memberikan tuntunan,pasien dengan seperti tulislah kalimat yang
berhubungan
dengan makan pagi har
e) Katakan pada pasien i ini.
perintahkan untuk untuk membaca tulisan yang ditulisnya dan
kembali
apa
yang
Instruksikan juga kepamengulang
dibacanya. da pasien untuk mengeja kata atau
ditulisnya.
f) Mencatat
kesalahanbagian yang
ketidakmampuan men
pengejaan,
tidak
dapat
membaca,
ulis atau menulis tidak sesuai.

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012

Pertemuan 2 :

cakap, misalnya melalui


d) Mengajak pasien bercakap
pasien yang ada dibukpengalaman
dimakan pasien pada s u komunikasi, seperti acara televisi, apa yang
e) Tunjukkan benda bearapan pagi, bacaan di koran, dll.
atau jam dan tanyakannda yang mudah dikenal, seperti pulpen, kunci
dalam penamaan objek nama benda tersebut. Catat adanya kesulitan
f) Keluarga dianjurkan u(anomia).
selalu
terlibat
dalam
aktivitas
pada hal - hal rutin dilntuk
komunikasi
minum obat, buang ai
menanyakan hal hal akukan pasien, misalnya pada saat pasien mau
r besar atau pada saat akan istirahat, dengan
Pertemuan 3 :
yang berhubungan dengan aktivitas tersebut.

a) Keluarga dapat me
tugas tugas m
membaca, mengejamberikan komunikasi dengan AAC pada
kegiatan sehari haengungkapkan, penamaan, pengulangan,
komunikasi atau yadan menulis yang berhubungan dengan
Mencatat perkembanri, menunjukkan gambar yang ada dibuku
ng ada disekitar pasien, keluarga/ hobi.
Hari V
gan komunikasi setiap hari.
Pertemuan 1 :

Menunjukkan
d) Pasien diminta untuk
Menyebutkan
yang disebutkan ole
menunjukkan gambar pada buku komunikasi gambar
gambar yang ditunjuk
h
keluarga
dan
meminta
untuk
e) Keluarga diminta unt
menyebutkan
- hal rutin dilakukan
.
sikat gigi atau makan.
uk terlibat dalam aktivitas komunikasi pada
f) Peneliti dapat menan
hal pasien, misalnya pada saat pasien mau
seperti tunjukkan la
mandi,

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012

untuk mengulangi kata kata tersebut.


Pertemuan 2 :
d) Peneliti mengevaluasi penggunaan papan alfabet kepada pasien
dengan meminta pasien untuk menunjukkan huruf dan meminta
menyebutkannya secara berulang ulang.
e) Peneliti meminta pasien untuk menyebutkan huruf pertama dari
suatu benda yang ada didekat pasien, misalnya meja, pintu
(menyebutkan huruf m, p).
f) Menunjukkan foto foto anggota keluarga pasien, kemudian pasien
diminta menunjukkandan menyebutkan nama anggota keluarganya,
mengulanginya kembali kata yang diucapkannya.
Pertemuan 3 :
c) Mengajak pasien bercakap cakap, misalnya melalui pengalaman
pasien yang ada dibuku komunikasi, seperti acara televisi, apa yang
dimakan pasien padasarapan pagi, bacaan di koran, dll. Tunjukkan
benda benda yang mudah dikenal, seperti pulpen, kunci atau jam
dan tanyakan nama pasien.
12.

Menyebutkan
Hari VI
Mengeja
Pertemuan 1 :
c) Pasien diinformasikan menggunakan alat tulis untuk menyatakan Menulis
keinginannya. Instruksikan pasien untuk menulis setiap
keinginannya dikertas atau secara spontan apa yang difikirkan
bentuk kalimat, seper dalam
bantu pasien dengan ti pasien mau minum. Jika pasien tidak bisa
yang berhubungan dememberikan tuntunan, seperti tulislah kalimat
d) Katakan pada pasienngan makan pagi hari ini.
untuk membaca tulisan yang ditulisnya
dan

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012

perintahkan untuk mengulang kembali apa yang dibacanya.


Instruksikan juga kepada pasien untuk mengeja kata atau bagian
yang ditulisnya.

Pertemuan 2 :
menceritakan tentang team
Meminta pasien ntuk
u
favoritnya, acara favoolahraga rit ditelevisi, pekerjaannya.
Minta pasien untuk mengeja kata, huruf pertama, minta pasien
menuliskannya dikertuntuk as.
Pertemuan 3 :
c) Meminta klien menunjukkan pada buku komunikasi
menggunakan isyardan at Bagaimana anda mengatakan
memerlukan sepatu,saya saya lapar dan ingin makan, saya
saya ingin tidur, dilcapek , uar gelap, tolong hidupkan lampu.
Minta pasien untuk menunjukkan benda disekitar pasien, seperti
lemari, meja, roti, sandal, obat. Kemudian minta pasien untuk
menyebutkan benda yang ditunjukkan tersebut dan mengulangnya
kembali.
Menunjukkan
Hari VII
Pengulangan
Pertemuan 1 :
c) Meminta keluarga mendengarkan musik/ lagu kesenangan pasien Mengeja
dan mendorong pasien untuk menyenandungkan lagu tersebut.
menunjukkan benda benda yang ada
d) Meminta klien untuk
pasien, seperti tutup disekitar pintu, sisir, gelas, sendok,
selimut, bantal,
guling.
Pertemuan 2 :
c) Minta pasien untuk
kata/kalimat yang dimencari dibuku komunikasi dan
menunjukkan sebutkan peneliti, seperti :
c)

13.

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012

cuaca, sabun, shampoo.


apa
yang
d) Minta pasien untuk mengulang
menyebutkan suku pedengan
rtama, sebagian kata
Pertemuan 3 :

14.

ditunjukkannya

c) Meminta pasien untu


temannya, nama pera k menyebutkan nama hewan, nama teman
d) Minta pasien untuk m- wat/istri yang merawatnya
engulangnya,
mengeja
huruf
Hari VIII
pertama
Pertemuan 1 :
Menyebutkan
c) Menunjukkan majala
Membaca
tulisan yang terdapat
h kepada pasien. Minta pasien untuk membaca Menulis
d) Minta pasien untuk
di majalah tersebut
pasien mengejanya
menulis dikertas tulisan yang dibacanya,
Pertemuan 2 :
minta
Minta pasien untuk menc
mencari kata tersebut da
mau menelepon, saya m
ari kata yang diucapkan oleh peneliti,
air kecil, buang air besar,
kemudian lam buku komunikasi tersebut,
bersandar, saya ingin miri
seperti saya au wudhu, cuaca diluar dingin,
Pertemuan 3 :
saya mau buang saya memerlukan kacamata,
a) Minta pasien untuk
saya ingin duduk ng ke kanan.
lemari, meja, roti, s
menyebutkan benda y
menunjukkan benda disekitar pasien,
kembali.
seperti andal, obat. Kemudian minta
b) Kemudian minta pasi pasien untuk ang ditunjukkan tersebut dan
yang disediakan.
mengulangnya
en

untuk

menuliskannya di kertas

atau

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012

15.

Hari IX
Menunjukkan
Pengulangan
Pertemuan 1 :
menunjuk nama anggota keluarganya yang ada
a) Meminta pasien untukPenamaan/menye
atau orang disekitarnya sesuai yang disebutkan
di hp atau foto, temanbutkan
Membaca
oleh peneliti, pasien diminta meniru ucapan dan memberi namanya
b) Kemudian minta p
Menulis

papan yang disediakasien untuk menuliskannya di kertas

16.

atau
Pertemuan 2 :
b) Bercakap cakap den an.
hari, seperti mandi,
bercerita tentang tempgan pasien dalam melakukan kegiatan sehari
kepada pasien tentangmengenakan pakaian. Keluarga/peneliti dapat
at tinggal atau hobi. Kita dapat menanyakan
Pertemuan 3 :
b) Membacakan sesuatu keluarganya atau bidang minatnya.
mendengarkan lagu
menyebutkan yang dis (dari koran, misalnya), atau bersama sama
yang disukai pasien. Minta pasien untuk
Hari X
ebutkan peneliti dan mengulangnya kembali.
Pertemuan 1 :
c) Tunjukkan buku kom
Isyarat
gambar gambar ya
Meniru
makan, minum, istirahunikasi dan minta pasien untuk menyebutkan
d) Minta pasien menyebuPengulangan ng ada dibuku komunikasi, seperti kebutuhan
seperti bantal, selimut, at dan tidur.
tkan benda benda yang ada disekitar
Pertemuan 2 :
a) Dengarkan sebuah lapasien,
diajarkan untuk mengalemari.
menyanyikan kalimat
diminta meniru menyagu yang disenangi pasien, kemudian pasien
mbil lagu lagu tersebut, kemudian
diajarkan

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012

17.
18.
19.

Pertemuan 3 :
b) Minta pasien menyebutkan nama perawat/istri/anak yang merawatnya
dan mengulang apa yang disebutkannya
Berikan pujian atas setiap keberhasilan yang dilakukan, bila pasien
belum menunjukkan kemajuan, berikan motivasi kepada pasien dan
keluarga untuk tetap melanjutkan latihan.
Catat setiap simbol simbol yang diucapkan untuk menilai kemajuan
pasien dan jelaskan kepada
pasien
setiap
perubahan
yang
Pengaruh
pemberian...,
Amila, FIK UI, 2012
dihasilkan
pasien.
Jika terlihat pasien mera
dihentikan sementara dansa tidak mood atau kelelahan, latihan dapat
pasien dan keluarga untuk perawat dapat kontrak waktu kembali kepada
melanjutkan latihan.

CHECKLIST PEMBERIAN
KOMUNIKASI
DENGAN
AUGMENTATIVE
AND ALTERNATIVE
COMMUNICATION
: .............................................................................

Nama

: ............................................................................

Tanggal mulai latihan

: ..............................................................................

Tanggal selesai latihan

Waktu
Pagi
Siang
Sore

H1

H2

H3

H4

H5
H8

H6

H7

H9

Peneliti,

...)
(...........................................

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012

H10

Kode responden
FORMAT OBSERVASI PELAKSANAAN PEMBERIAN KOMUNIKASI DENGAN
AUGMENTATIVE AND ALTERNATIVE COMMUNICATION OLEH KELUARGA
Petunjuk Pengisian :

1. Mohon kesedian Bapak/Ibu/Saudara untuk mengisi lembar observasi pelaksanaan pemberian komunikasiesuai pedoman observasi
2. Berikan tandatangan dan s tanggal setiap kegiatan pemberian komunikasi dengan pasien pada kolom yangisediakan
3. Tulislah setiap perkembangd an yang didapatkan pasien dalam setiap pelaksanaan komunikasi.

No
1.
2.

K egiatan Keluarga
Tugas

Dilakukan pada hari ke Orientasi

Membantu memfasilitasi g
ambar
yang
ada
dibuku
komunikasi
Berbicara/ Bercakap cMenunjukkan
kegiatan sehari hari :
Menyebutkan
a. Makan
akap dengan pasien berhubungan dengan
b. Piring
Menunjukkan
c. Minum
Menyebutkan
d. Gelas
Pengulangan
e. Sendok
Membaca
Mengeja
f. Garpu
Menulis
g. Sabun
h. Mandi
i. Handuk

4
1

10

j. Sikat gigi
k. shampo
l. Celana
m. Baju
n. Sisir
o. Pispot
p. Toilet
q. Tidur
r. Miring kanan/kiri
s. Bantal
t. Duduk
u. Selimut
v Buku
w. Pena
x. Lain lain, Sebutkan dan tuliskan

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012

UNIVERSITAS INDONESIA

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


Kampus UI Depok Telp. (021)78849120, 78849121 Faks.7864124
Email: humasfik.uLedu Web Site: www.fikuLac.id

KETERANGAN LOLOS KAJI ETIK

Komite Etik Penelitian, Fakultas IImu Keperawatan Universitas Indonesia dalam upaya
melindungi hak azasi dan kesejahteraan subyek penelitian keperawatan,

telah mengkaji

dengan teliti proposal berjudul :

Pengaruh Pemberian Komunikasi dengan Augmentative and Alternative Communication


terhadap

Kemampuan

Fungsional

Komunikasi

dan Depresi

::::::::I::::.::Si::I:rik
KolaTasikmadlaaynBa~
Nama institusi

di

pada Pasien

Stroke

RSUD

: Fakultas IImu Keperawatan Universitas Indonesia

Dan telah menyetujui proposal tersebut.

Jakarta, 15 Nopember 2011


Dekan,

Ketua,

l~
Dewi Irawaty, MA, PhD

Yeni Rustina, PHD

NIP. 19520601197411 2 001

NIP .19550207 198003 2 001

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012

UNIVERSITAS INDONESIA

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


Kampus UI Depok Telp. (021)78849120, 78849121 F?ks.7864124
Email: humasfik.ui.eduWebSite:w.vvw.fikui.ac.id
Nomor
Lampiran
Perihal

: ?flIt; IH2.F12.D/PDP.04.00/2011

2 November 2011

: Permohonan Ijin Penelitian

Yth. Direktur
RSUD Kota Tasikmalaya
Jawa Barat
Dalam rangka pelaksanaan kegiatan Tesis rnahasiswa Program Pendidikan
Magister Fakultas IImu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK-UI) dengan
Peminatan Keperawatan Medikal Bedah atas nama:
Sdri. Amila

0906505086
akan mengadakan penelitian dengan judul "Pengarun Pemberian Komunikasi
dengan .Augmentative and Alternative Communicatien terhadap Depresi
pada Pasien Streke dengan Afasia Motorik di RSUD Kota Tasikmalaya dan
Kota 8anjar".
Sehubungan dengan hal tersebut, bersama ini kami mohon dengan hormat
kesediaan Saudara mengijinkan yang bersangkutan untuk mengadakan
penelitian di RSUD kota Tasikmalaya.
Atas perhatian Saudara dan kerjasarna yang baik, disampaikan terima
kasih

Tembusan Yth. :
1. Wakil Dekan FIK-UI
2. Sekretaris FIK-UI
3. Kepala Bidang Diklat RSUD Kota Tasikmalaya
4. Kepala Ruangan Neurologi RSUD Kota Tasikmalaya
5. Manajer Pendidikan dan Riset FIK-UI
6. Ketua Program Magister dan Spesialis FIK-UI
7. Koordinator M.A.Tesis FIK-UI
8. Pertinggal

UNIVERSITAS INDONESIA

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


Kampus UI Depok Telp. (021)78849120, 78849121 Faks. 7864124
Email: humasfik.uLeduVVebSite:wvVW.fikui.ac.id
Nomor
Lampiran

:381S-/H2.F12.D/PDP.04.00/2011

Perihal

: Permohonan Ijin Penelitian

2 November 201i

Yth. Direktur
RSUD Kota Banjar
Jawa Barat

Dalam rangka pelaksanaan kegiatan Tesis mahasiswa Program Pendidikan


Magister Fakultas IImu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK-UI) dengan
Peminatan Keperawatan Medikal Bedah atas nama:
Sdri. Amila

0906505086
akan mengadakan penelitian dengan judul "Pengaruh Pernberian Komunikasi
dengan ,Augmentative
and. Alternative Communication
terhadap Depresi
pada Pasien Stroke dengan Afasia Motorik di RSUD Kofa Tasikmalaya dan
Kota Bar.jar".
Sehubungan dengan hal tersebut, bersarna ini karni mohon dengan hormat
kesediaan Saudara mengijinkan
yang bersangkutan
untuk mengadakan
penelitian di RSUD kota Tasikmalaya.

Tembusan Yth. :
1. Wakil Dekan FIK-UI
2. Sekretaris FIK-UI
3. Kepala Bidang Diklat RSUD Kota Banjar
4. Kepala Ruangan Neurologi RSUD Kota Banjar
5. Manajer Pendidikan dan Riset FIK-UI
6. Ketua Program Magister dan Spesialis FIK-UI
7. Koordinator M.A.Tesis FIK-UI
8. Pertinggal

UNIVERSITAS INDONESIA .

FAKULTAS ILMU
KEPERAWATAN

Kampus UI Oepok Telp. (021)78849120, 78849121


F~ks. 7864124
Email: humasfik.ui.edu Web Site:
www.fikuLac.id
Nomor
Lampir
an
Perihal

: 4'"1ca-/H2.F12.D/PDP.04.00/2011

25 November 2011

: Permohonan Ijin Penelitian

Yth
.
Dir
ekt
ur
RS
UD
.
Kot
a
Ga
rut
Ja
wa
Bar
at
Dalam rangka pelaksanaan kegiatan Tesis mahasiswa Program
Pendidikan Magister Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia (FIK-UI) dengan Peminatan Keperawatan Medikal
Bedah atas nama:
S
d
r
i
.

A
m
i
l
a
NP
M
09
06
50
50
86
akan mengadakan penelitian dengan judul "Pengaruh
Pemberian Komunikasi Dengan. AugmeRtative
and
Alternative
Cemmunication
terhadap Kemampuan
Fungsional Komunikasi dan Depresi pada pasien Stroke
dengan Afasia Motorik"
Sehubungan dengan hal tersebut, bersama ini kami mohon
dengan hormat kesediaan
Saudara
mengijinkan
yang
bersangkutan untuk mengadakan penelitian di RSUD. Kota
Garut.
Atas perhatian Saudara
disampaikan terima kasih

T
e
m
b
u
s
a
n
Y
th
.
:
1. Dekan (sebagai laporan)

dan

kerjasama

yang

baik,

2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Sekretaris FIK-UI
Kepala Diklit RSUD Kota Garut
Kepala Ruang Neurologi RSUD Kota Garut
Ketua Program Magister dan Spesialis FIK-UI
Manajer Pendidikan dan Riset FIK-UI
Koordinator M.A.Tesis FIK-UI
Pertinggal

PEMERINTAHKOTA

TASIKMALAYA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH

JJn. Rumab Sakit No.33 Tasikmalaya Telp.(026S) 331683. Fax.(0265)331747

Nomor
Lampiran
Perihal

420/~r;IRSUDIX1I2011

Tasikmalaya, November 2011

Ijia Penelitian

Kepada Yth :
Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia (FIK-UI)
di

Depok
Menindaklanjuti

surat Saudara Nomor : 39141H2.FI2.DIPDP.04.0012011

tanggal 2 November 2011 perihal Permohonan Ijin Penelitian Mahasiswa Program


Pendidikan Magistet;, Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK-UI)
Peminatan Keperawatan Medikal Bedah, dengan ini kami mengijinkan kepada :
Nama

AMILA

NIM

0906505086
"Pengaruh Pemberian Komunikasi dengan
Augmentative and Alternative Communication
terhadap Depresi pada Pasien Stroke dengan A/asia
Motorik di RSUD Kota Tasikmalaya dan Kota
Banjar"

tIntuk melakukan penelitian di RSUD Kota Tasikmalaya, sepanjang tidak


mengganggu pelayanan.
Demikian, atas perhatian dan kerjasama yang baik kami ucapkan terima
kasih.

PEMERINTAH KOTA
B4NJAR

RUMAH SAKIT UMUM BANJAR


Jl. Rumah Sakit No.5 Telp.(0265) 741032 Fax. 744730 Banjar 46322

. ftlinJar, 9 November
Nomor
Lampiran
Perihal

: OfO.~

2011

13;3QIRSU

: ljin Penelitian

Kepada Yth,
Ketua Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia
Di
Tempat
Menindaklanjuti surat Saudara Nomor, 39151H2.F.12,DIPDP.04.0012011
tanggal 2 November 2011, perihal Permohonan Ijin Penelitian mahasiswa
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, xang akan dilaksanakan
oleh:
Nama
NIM
Jurusan
Institusi
Judul

:
:
:
:

AMILA
0906505086
S-2 Keperawatan Peminatan Medikal Bedah
Universitas Indonesia Fakultas Tlmu Keperawatan

:" PENGARUH PEMBERIAN KOMUNIKASI DENGAN


AUGMENTATIVE
AND
ALTERNATIVE
COM~fMUNICATION TERHADAP DEPRESI PADA
PASIEN STROKE DENGAN AFASIA MOTORIK DI
RUMAH
SAKIT
UMUM
DAERAH
KOTA
TASIKlYlALAYA DAN RUll'lAH SAKlT
UfflUlVI
DAERAH KOTA BANJAR "
11 November s.d IJ Desember 2011

Tanggal

Pada prinsipnya kami tidak keberatan sepanjang mengikuti peraturan yang


berlaku di Rumah Sakit Umum Daefah Kota Banjar,
Demikian agar maklum untuk menjadi bahan pertimbangan lebih lanjut, atas
perhatian dan kerjasamanya kami mengucapkan terima kasih,

ag Sekertariat
urn Daefah Kota Banjar

PURKON S.'hte .Ners.M.M.Kes


Nip. 19660201 198512 1 001
Tembusan:
1. Wadir Pelayanan
2. Ka Bag Sekertariat
3. Instalasi Rawat Inap
4. eM
!ili.3'''----------.'~.. 5. PPL
~
~

100

Boo_

200

K_

nIJ;1!Qt! IXm!!lim
201

23S

210
Din:ktur

- -XA:oanIl"

204

r.rawallln

211

IPSRS

ill

Anggr<l:

218

RBdioiogi
CM

232
l"

..... gDokta'

20'

WadirPdayuan

m
222

'-;WU

PI'!.

216

WijayaKmm

1DI.1_

247

OpoIoI:R".iln

PoIayaJoaD

209

22'

.........1

230

T..-U

...

Waroh

223

Rmh. T8nB88

PoIlkIinik
K.MoyM

238
24$

PM!

217

_ Sco

213

Dohlla

206

Umwn
WadirUmum

21<

202
107

ztz

KJRS

Md,,11

ApoId<

Kciek_

203
208

SupcrviII

226

Gizi

227

219

ICU

220

2J3
2..

!PAL
100

234
242

Tulip

............

221

_IGD

236

ASKES

243

Kcoaoao

237

,, 9

2 3 1

PEMERINTAH

KABUPATEN GARUT RUMAH

SAKIT UMUM DAERAH dr. SLAMET Alamat

: Jt.
Rumah Sakit No. 12 Telp. ( 0262 ) 232720 Garut 44151
Rekening : Bank Jabar Garut, Kelas : B Non Penelidikan, Status: Unit Swadana

Garut, 2 Desember 2011


Nomor
Lampiran
Perihal

: 800/~
/ RSUIXIII2011
: 1 (satu) lembar
: Izin Penelitlan

Kepada :
Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan
UNTVERSIT AS INDONESIA
di
Tempat

Yth.

Menindak lanj uti surat dari Kepala Kesbang, Politik dan Perlindungan
Masyarakat Kab. Garut
Linmas/2011perihal

tanggal 29 November 2011 nomor : 072/503-Kesbangpol

: Rckomendasi

Research/Survey,

pada prinsipnya

kami tidak

keberatan dan mengizinkan mahasiswa saudara, atas :


Nama

: AmBa

NPM

: 0906505086

Untuk melaksanakan

Penelitian

eli RSU Dr. Slamet Garut dengan

catatan harus mentaati segala peraturan dan ketentuan yang berlaku, izin ini berlaku
sesuai dengan permintaan yaitu dari tanggal29 November s/d 29 Desember 2011.
Demikian agar menjadi maklum dan atas kepercayaan dan perhatiannya
kami ucapkan terima kasih.

..
Tembusan Disampaikan Kepada Yth:
1. Direktur RSU dr. Slamet Garut ( Sebegai laporan )
2. Wadir Pelayanan
3. Wadir Keuangan
4. Ka. Bidang Keperawatan

PEMERINTAH

GARUT

KABUPATEN

KANTOR KESATUAN BANGS~ POLITIK DAN


PERLINDUNGAN MASYAfW<AT
Jalan Patriot No. 10 A Telp. (0262)
2246916 Garut 44151

REKOMENDASI RESEARCH / SURVEY

Nomor: 072 / 5D3- Kesbangpollinmas I 2011


Menindak lanjuti surat dari PLH Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia Nomor
: 41461H2.FI2.DIPDP.04.00/2011
Tanggal
25 November
2011 Perihal
Permohonan Izin Penelitian dengan ini kami memberikan Rekomendasi untuk
melaksanakan Kegiatan tersebut dalam rangka memenuhi persyaratan pembuatan
Tesis dengan Judul :

"
PENGARUH
PEMBERIAN
KOMUNIKASI
DENGAN
AUGMENTATIVE AND ALTERNATIVE COMMUNICATION TERHADAP
KEMAMPUAN FUNGSIONAL KOMUNIKASI DAN DEPRESI PADA
PASIEN STROKE DENGAN AFASIA MOTORIK"
Dengan mengambil Lokasi di
:
RSUD Kabupaten Garut
Waktu dari tanggal
: 29 November
29 Desember 2011

sid

Kepada nama sebagaimana tersebut di bawah ini


No

NPM
1.
AWlILA
0906505086

Nama

Ke
ter
an
ga
n

Mahasiswi
Universitas
Fakultas Ilmu Keperawatan

Indonesia

Pada prinsipnya kami tidak keberatan yang bersangkutan tersebut di atas untuk
melaksanakan Kegiatan tersebut dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

1. Mentaati segala ketentuan yang berlaku;


2. Menghormati ketentuan Dinas I Badan I Lembaga I Kantor yang
bersangkutan serta adat istiadat masyarakat setempat;
3. Turnt menjagajangan sampai menimbulkan kerawanan di kalangan

masyarakat;
4. Melaporkan lebih dulu kepada pejabat setempat untuk mendapatkan petunjuk

pengamanannya;
5. Mengirimkan hasil kegiatan penelitaian, rangkap 1 (satuj.kepada kami.
Surat Rekomendasi ini dianggap batal apabila tidak mentaati ketentuan tersebut
di atas.

Garut, 29 November
2011

Tembusan, disampaikan kepada Yth :


1. Kepala BAPPEDA Kabupaten Garut;
2. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Garut;
3. Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia ,
4. Kepala RSUD Kabupaten GaruPte; ngaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama
: Amila
Tempat/Tanggal Lahir : NAD, 21 Januari 1976
Alamat Rumah
: Perum BKP BKP Blok P No. 53 RT/RW 004/004
Kelurahan
Kemiling Permai Kecamatan Kemiling
Bandarlampung 35153
Alamat Kantor
: Universitas Malahayati
Jl.Pramuka No. 27 Kemiling Bandarlampung
Email
: mila_difa@yahoo.co.id
arta,
Riwayat Pendidikan
: 1. S2 Keperawatan Medikal Bedah FIK-UI
Jak angkatan 2009
2. S1 Keperawatan FIK-UNPAD, lulus tahun
2000
997
3. DIII Keperawatan Poltekkes NAD, lulus tahun 1
1
hun
4. Akta Mengajar III UT Bandung, lulus tahun
200
5. SMA YKPP Pertamina Rantau (NAD), lulus hun
ta
1994
6. SMP Negeri Rantau (NAD), lulus tahun 1991 03
7. SD YKPP Pertamina Rantau (NAD), lulus
ta
1988
Riwayat Pekerjaan
: 1. RSU Zaenal Abidin (NAD) tahun 1997 1998
2. Akper Bhakti Kencana Bandung, tahun 200120
3. Universitas Malahayati, tahun 2003- 2010

Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012

You might also like