You are on page 1of 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
2.1.1 Kandung empedu
Kandung empedu merupakan sebuah kantung berbentuk seperti buah
pear,panjangnya 7-10 cm dengan kapasitas 30-50 ml. Ketika terjadi obstruksi,
kandung empedu dapat terdistesi dan isinya dapat mencapai 300 ml. Kanding
empedu berlokasi di sebuah fossa pada permukaaan inferior hepar yang secara
anatomi membagi hepar menjadi lobus kanan dan lobus kiri. Kandung empedu
dibagi menjadi 4 area secara anatomi: fundus, corpus, infundibulum dan leher.
Fundus berbentuk bulat, dan ujungnya 1-2 cm melebihi batas hepar,
strukturnya kebanyakan berupa otot polos, kontras dengan corpus yang
kebanyakan terdiri dari jaringan elastis. Leher biasanya membentuk sebuah
lengkungan, yang mencembung dan membesar membentuk Hartmans pouch
(Brunicardi, 2007).
Peritoneum yang sama menutupi hepar meliputi fundus dan permukaan inferior
dari kandung empedu. Kadang-kadang kandung empedu ditutupi seluruhnya oleh
peritoneum (Brunicardi, 2007).

Kandung empedu terdiri dari epitel columnar tinggi yang mengandung


kolesterol dan tetesan lemak. Mukus disekresi ke dalam kandung empedu dalam
kelenjar tubuloalveolar yang ditemukan dalam mukosa infundibulum dan leher
kandung empedu, tetapi tidak pada fundus dan corpus. Epitel yang berada
sepanjang kandung empedu ditunjang oleh lamina propria. Lapisan ototnya adalah
serat longitudinal sirkuler dan oblik, tetapi tanpa lapisan yang berkembang
sempurna. Perimuskular subserosa mengandung jaringan penyambung, syaraf,
pembuluh darah, limfe dan adiposa. Kandung empedu ditutupi oleh lapisan serosa
kecuali bagian kandung empedu yang menempel pada hepar. Kandung empedu di

bedakan secara histologis dari organ-organ gastrointestinal lainnya dari lapisan


muskularis mukosa dan submukosa yang sedikit (Brunicardi, 2007).
Arteri cystica yang menyuplai kandung empedu biasanya berasal dari
cabang arteri hepatika kanan. Lokasi arteri cystica dapat bervariasi tetapi hampir
selalu di temukan di segitiga hepatocystica, yaitu area yang di batasi oleh Ductus
cysticus, Ductus hepaticus communis dan batas hepar (segitiga Calot). Ketika
arteri cystica mencapai bagian leher dari kandung empedu, akan terbagi menjadi
anterior dan posterior. Aliran vena akan melalui vena kecil dan akan langsung
memasuki hepar, atau lebih jarang akan menuju vena besar cystica menuju vena
porta. Aliran limfe kandung empedu akan menuju kelenjar limfe pada bagian leher
(Brunicardi, 2007).

Gambar 2.1Vesica fellea

Persyarafan kandung empedu berasal dari nervus vagus dan dari cabang
simpatis melewati pleksus celiaca. Tingkat preganglionik simpatisnya adalah T8
dan T9. Rangsang dari hepar, kandung empedu, dan duktus biliaris akan menuju
serat aferen simpatis melewati nervus splanchnic memediasi nyeri kolik bilier.
Cabang hepatik dari nervus vagus memberikan serat kolinergik pada
kandung empedu, duktus biliaris dan hepar (Brunicardi, 2007).

2.1.2 Duktus Biliaris

Duktus biliaris extrahepatik terdiri dari Ductus hepaticus kanan dan kiri,
Ductus hepaticus communis, Ductus cysticus dan Ductus choledochus. Ductus
choledochus memasuki bagian kedua dari duodenum lewat suatu struktur
muskularis yang disebut Sphincter Oddi (Brunicardi, 2007).
Ductus hepaticus kiri lebih panjang dari yang kanan dan memiliki
kecenderungan lebih besar untuk berdilatasi sebagai akibat dari obstruksi pada
bagian distal. Kedua Ductus tersebut bersatu membentuk Ductus hepaticus
communis. Panjang Ductus hepaticus communis umumnya 1-4cm dengan
diameter mendekati 4 mm. Berada di depan vena porta dan di kanan Arteri
hepatica. Ductus hepaticus communis dihubungkan dengan Ductus cysticus
membentuk Ductus choledochus (Brunicardi, 2007).

Gambar 2.2 Sistem Biliaris

Panjang Ductus cysticus bervariasi. Dapat pendek atau tidak ada karena
memiliki penyatuan yang erat dengan Ductus hepaticus. Atau dapat panjang, di
belakang, atau spiral sebelum bersatu dengan Ductus hapaticus communis. Variasi
pada Ductus cysticus dan titik penyatuannya dengan Ductus hepaticus communis
penting secara bedah. Bagian dari Ductus cysticus yang berdekatan dengan bagian
leher kandung empedu terdiri dari lipatan-lipatan mulkosa yang disebut Valvula
4

Heister. Valvula ini tidak memiliki fungsi valvula, tetapi dapat membuat
pemasukan cannul ke Ductus cysticus menjadi sulit (Brunicardi, 2007).
Panjang Ductus choledochus kira-kira 7-11 cm dengan diameter 5-10 mm.
Bagian supraduodenal melewati bagian bawah dari tepi bebas dari ligamen
hepatoduodenal, disebelah kanan Arteri hepatica dan di anterior Vena porta.
Bagian retroduodenal berada di belakang bagian pertama duodenum, di lateral
Vena porta dan Arteri hepatica. Bagian terbawah dari Ductus choledochus (bagian
pankreatika) berada di belakang caput pankreas dalam suatu lekukan atau
melewatinya secara transversa kemudian memasuki bagian kedua dari duodenum.
Ductus choledochus bergabung dengan Ductus pancreaticus masuk ke
dinding duodenum (Ampulla Vateri) kira-kira 10cm distal dari pylorus. Kira-kira
70% dari Ductus ini menyatu di luar dinding duodenum dan memasuki dinding
duodenum sebagai single ductus. Sphincter Oddi, yang merupakan lapisan tebal
dari otot polos sirkuler, mengelilingi Ductus choledochus pada Ampulla Vateri.
Sphincter ini mengontrol aliran empedu, dan pada beberapa kasus mengontrol
pancreatic juice ke dalam duodenum (Brunicardi, 2007).
Suplai arteri untuk Ductus biliaris berasal dari Arteri gastroduodenal dan
Arteri hepatika kanan, dengan jalur utama sepanjang dinding lateral dan medial
dari Ductus choledochus (kadang-kadang pada posisi jam 3 dan jam 9). Densitas
serat syaraf dan ganglia meningkat di dekat Sphincter Oddi tetapi persyarafan dari
Ductus choledochus dan Sphinchter Oddi sama dengan persyarafan pada kandung
empedu (Brunicardi, 2007).

Figure 52-1 Anatomy of the biliary system and its relationship to surrounding structures.
Gambar 2.3 Anatomi sistem bilier

Gambar 2.4 Anatomi sistem bilier

2.2 Fisiologi
2.2.1 Pembentukan dan komposisi empedu
Hepar

memproduksi

mengekskresikannya

pada

empedu
kanalikuli

secara

terus

empedu.

Orang

menerus
dewasa

dan
normal

memproduksi 500-1000 ml empedu per hari. Sekresi empedu bergantung pada


neurogenik, humoral, dan rangsangan chemical. Stimulasi vagal meningkatkan
sekresi empedu, sebaliknya rangsangan nervus splanchnic menyebabkan
penurunan aliran empedu. Asam hydrochloric, sebagian protein pencernaaan dan
asam lemak pada duodenum menstimulasi pelepasan sekretin dari duodenum yang
akan meningkatkan produksi dan aliran empedu. Aliran empedu dari hepar
melewati Ductus hepaticus, menuju CBD dan berakhir di duodenum. Dengan
sphincter Oddi yang intak, aliran empedu secara langsung masuk ke dalam
kandung empedu (Brunicardi, 2007).
Empedu terutama terdiri dari air, elektrolit, garam empedu, protein, lemak,
dan pigmen empedu. Natrium, kalium, kalsium, dan klorin memiliki konsentrasi
yang sama baik di dalam empedu, plasma atau cairan ekstraseluler. pH dari
empedu yang di sekresikan dari hepar biasanya netral atau sedikit alkalis, tetapi
bervariasi sesuai dengan diet. Peningkatan asupan protein menyebabkan empedu
lebih asam. Garam empedu, cholate dan chenodeoxycholate, di sintesis di hepar
dari kolesterol. Mereka berkonjugasi dengan taurine dan glycine dan bersifat
sebagai anion (asam empedu) yang di seimbangkan dengan natrium (Brunicardi,
2007).
Garam empedu di ekskresikan ke dalam empedu oleh hepatosit dan di
tambah dari hasil pencernaan dan penyerapan dari lemak pada usus. Pada usus
sekitar 80% dari asam empedu di serap pada ileum terminal. Sisanya
didekonjugasi oleh bakteri usus membentuk asam empedu sekunder deoxycholate
dan lithocholate. Ini di serap di usus besar ditransportasikan ke hepar, dikonjugasi
dan disekresikan ke dalam empedu. Sekitar 95% dari pool asam empedu

direabsorpsi dan kembali lewat vena porta ke hepar sehingga disebut sirkulasi
enterohepatik. 5% diekskresikan di feses (Brunicardi, 2007).

Gambar 2.5 Gambar aliran empedu

Kolesterol dan fosfolipid di sintesis di hepar sebagai lipid utama yang


ditemukan di empedu. Proses sintesis ini di atur oleh asam empedu (Brunicardi,
2007).
Warna dari empedu tergantung dari pigmen bilirubin diglucuronide yang
merupakan produk metabolik dari pemecahan hemoglobin, dan keberadaan pada
empedu 100 kali lebih besar daripada di plasma. Pada usus oleh bakteri diubah
menjadi urubilinogen, yang merupakan fraksi kecil dimana akan diserap dan
diekskresikan ke dalam empedu (Brunicardi, 2007).
2.2.2 Fisiologi duktus biliaris
Kandung empedu, Ductus biliaris dan Sphincter Oddi bekerja bersamasama dalam menyimpan dan meregulasi aliran empedu. Pengaliran cairan empedu
di atur oleh 3 faktor yaitu sakresi empedu oleh hati, kontraksi kandung empedu,
dan tahanan sfingter choledocus. Dalam keadaan puasa, empedu yang diproduksi
akan dialih-alirkan ke dalam kandung empedu. Setelah makan, kandung empedu
berkontraksi, sfingter relaksasi, dan empedu mengalir ke dalam duodenum. Aliran
tersebut sewaktu-waktu seperti di semprotkan karena secara intermiten tekanan

saluran empedu akan lebih tinggi daripada tahanan sfingter (Syamsuhidajat &
Wim de Jong, 2005) .
Kolesistokinin (CCK) hormon sel APUD dari selaput lendir usus halus di
keluarkan atas rangsang makanan berlemak atau produk lipolitik di dalam lumen
usus. Hormon ini merangsang nervus vagus sehingga terjadi kontraksi kandung
empedu. Dengan demikian CCK berperan besar terhadap terjadinya kontraksi
kandung empedu setelah makan (Syamsuhidajat & Wim de Jong, 2005).
Absorpsi dan Sekresi
Pada keadaan puasa, hampir 80% empedu disekresikan oleh hepar
disimpan dalam kandung empedu. Mukosa kandung empedu secara cepat
menyerap natrium, clorida, dan air dengan melawan gradien konsentrasi,
memekatkan empedu hingga 10 kali sehingga merubah komposisi empedu.
Penyerapan yang cepat ini adalah salah satu mekanisme untuk mencegah
peningkatan tekanan ketika ada gangguan dalam aliran empedu pada sistem bilier
(Brunicardi, 2007).
Sel epitel pada kandung empedu mensekresi 2 produk penting kedalam
lumen kandung mepedu : glikoprotein dan ion hidrogen. Kelenjar pada mukosa
infundibulum dan leher mensekresi glikoprotein yang dapat memproteksi mukosa
kandung empedu dari proses litik empedu dan juga untuk memfasilitasi aliran
empedu untuk melewati Ductus cysticus. Transpor ion hidrogen juga akan
menurunkan pH empedu. Proses pengasaman ini akan menyebabkan kelarutan
kalsium sehingga akan mencegah presipitasi menjadi garam kalsium (Brunicardi,
2007).
Aktivitas motorik
Pengisian kandung empedu difasilitasi oleh kontraksi tonik dari Sphincter
Oddi.
Sebagai respon terhadap makanan, pengosongan kandung empedu terjadi
karena respon motorik yang terkoordinasi dari kontraksi kandung empedu dan
relaksasi Sphincter Oddi. Stimuli utama dari pengosongan kandung empedu
9

adalah hormon cholecystokinin (CCK). CCK dilepaskan secara endogen oleh


mukosa duodenum sebagai respon terhadap makanan. Pengosongan kandung
empedu mencapai 50-70% dalam 30-40 menit. 60-90 menit kemudian kandung
empedu scara gradual terisi kembali. Hal ini berhubungan dengan pengurangan
kadar CCK (Brunicardi, 2007).

Gambar 2.6 Aliran empedu

Regulasi Neurohormonal
Nervus vagus dan obat-obat parasimpatomimetik menstimulasi kontraksi
kandung empedu, dan rangsangan simpatis splanchnic dan atropin akan
menghambat aktivitas motorik.
Reflek yang dimediasi oleh sistem syaraf akan menghubungkan Sphincter
Oddi dengan kandung empedu, gaster dan duodenum untuk mengkoordinasi aliran
empedu. Distensi bagian antral dari gaster akan menyebabkan kontraksi kandung
empedu dan relaksasi dari Sphincter Oddi.
Reseptor hormonal terdapat pada oto polos, pembuluh darah, syaraf, dan
epitel dari kandung empedu. CCK adalah peptida yang dilepaskan ke dalam aliran
darah oleh karena adanya asam, lemak, dan asam amino di dalam duodenum.
10

CCK bekerja secara langsung pada reseptor di otot polos kandung empedu
sehingga akan menstimulasi kontraksi kandung empedu juga akan menyebabkan
Stimulasi kandung empedu dan sistem bilier oleh CCK juga di mediasi
oleh syaraf vagal kolinergik. Pada pasien yang telah menjalani vagotomy, respon
terhadap CCK berkurang dan ukuran serta volume kandung empedu akan
meningkat (Brunicardi, 2007).
2.3 Penyakit batu empedu
2.3.1 Prevalensi dan insidensi
Penyakit batu empedu adalah salah satu penyakit yang sering mengenai
traktus digestifus. Dari autopsi didapatkan prevalensi dari batu empedu adalah 1136%. Prevalensi batu empedu berhubungan dengan banyak faktor termasuk umur,
jenis kelamin, dan latar belakang etnik. Beberapa kondisi yang merupakan
predisposisi berkembangnya batu empedu adalah obesitas, kehamilan, faktor
makanan, rendahnya konsumsi kopi, penyakit Crohn, reseksi ileum terminal,
operasi gaster, hereditary spherocytosis, sickle cell disease, dan thalassemia.
Semua ini akan meningkatkan resiko terjadinya batu empedu. Wanita 3
kali lebih sering terjadi batu empedu di bandingkan laki-laki dan insidensinya
meningkat sesuai dengan usia (Syamsuhidajat & Wim de Jong, 2005., Brunicardi,
2007).

11

Figure 52-6 Influence of age and gender on the incidence of cholelithiasis.


Gallstones are more common in females and increase in incidence with aging.
(Adapted from Bateson MC:
Gallbladder disease and cholecystectomy rate are independently variable. Lancet
2:621624, 1984.)
Diagram 2.1 Insidensi batu empedu
Sementara ini di dapat kesan bahwa meskipun batu kolesterol di Indonesia
lebih umum, angka kejadian batu pigmen lebih tinggi dibandingkan dengan angka
yang terdapat di negara barat, dan sesuai dengan angka di negara tetangga seperti
Singapura, Malaysi, Muangthai, dan Filipina. Hal ini menunjukan bahwa faktor
infeksi empedu oleh kuman gram negatif E.coli ikut berperan penting dalam
timbulnya batu pigmen. Di wilayah ini insiden batu primer saluran empedu adalah
40-50% dari penyakit batu empedu sedangkan di dunia barat sekitar 5%
(Syamsuhidajat & Wim de Jong, 2005).
Batu empedu terbanyak di temukan di dalam kandung empedu tetapi
sepertiga dari batu empedu merupakan batu Ductus Choledochus.
2.3.2 Pembentukan batu empedu
Bahan organik utama yang terlarut dalam empedu adalah bilirubin, garam
empedu, fosfolipid dan kolesterol. Batu empedu diklasifikasikan berdasarkan ada
12

tidaknya kolesterol, sehingga ada batu kolesterol atau batu pigmen. Batu pigmen
dapat diklasifikasikan lebih lanjut menjadi hitam dan coklat. Pada negara-negara
barat 80% batu empedu berupa batu kolesterol dan sekitar 15-20% adalah batu
pigmen hitam. Batu pigmen coklat dan hitam sering terdapat di Asia (Brunicardi,
2007).

Gambar 2.7 Batu empedu

2.3.2.1 Batu kolesterol


Batu kolesterol murni jarang di dapatkan dan terdapat hanya kurang dari
10%. Batu ini biasanya multipel, ukurannya bervariasai, bila keras berbentuk
ireguler, bila lunak berbentuk mulberi. Warnanya bervariasi dari kuning, hijau,
dan hitam. Batu kolesterol biasanya radiolusen, kurang dari 10% radioopak. Baik
batu kolesterol murni atau campuran, proses pembentukan batu kolesterol yang
terutama adalah supersaturasi empedu dengan kolesterol. Kolesterol adalah
nonpolar dan tidak larut dalam air dan empedu. Kelarutan kolesterol bergantung
pada konsentrasi dari kolesterol, garam empedu, dan lesitin (fosfolipid utama pada
empedu). Supersaturasi hampir selalu disebabkan oleh hipersekresi kolesterol di
bandingkan pengurangan sekresi dari fosfolipid atau garam empedu (Ahrend and
Pitt, 2004).
Patogenesis dari batu kolesterol multifaktorial, tetapi intinya terdiri dari 3
tahap. (1) supersaturasi kolesterol pada empedu (2) nukleasi kristal dan (3)
13

pertumbuhan batu. Mukosa kandung empedu dan fungsi motorik juga berperan
pada pembentukan batu empedu. Kunci untuk mempertahankan kolesterol dalam
bentuk cairan adalah pembentukan micelles (kompleks garam empedu-kolesterolfosfolipid) dan vesikel kolesterol-fosfolipid. Teori mengatakan dalam keadaan
produksi kolesterol berlebih vesikel ini juga akan meningkatkan kemampuannya
untuk mentransport kolesterol, dan pembentukan kristal dapat terjadi. Kelarutan
kolesterol bergantung pada konsentrasi kolesterol, garam empedu dan fosfolipid.
Dengan memperhatikan persentasi masing-masing komponen koordinat
pada segitiga zona micellar dimana kolesterol benar-benar larut dapat terlihat pada
area bagian atas empedu mengalami supersaturasi kolesterol dan pembentukan
kristal kolesterol dapat terjadi (Ahrend and Pitt, 2004).

Figure 52-5 Triangular-phase diagram with axes plotted in percent cholesterol,


lecithin (phospholipid), and the bile salt sodium taurocholate. Below the solid
line, cholesterol is
maintained in solution in micelles. Above the solid line, bile is supersaturated with
cholesterol and precipitation of cholesterol crystals can occur. Ch, cholesterol.
(From Donovan JM,
Carey MC: Separation and quantitation of cholesterol carriers in bile.
Hepatology 12:94S, 1990.)
Proses nukleasi adalah proses dimana terbentuk kristal kolesterol
monohidrat padat. Proses nukleasi terjadi lebih cepat pada empedu di kandung

14

empedu pada pasien dengan batu kolesterol di bandingkan pada pasien dengan
empedu yang jenuh kolesterol tanpa batu.
Batu empedu untuk bisa menimbulkan gejala klinis harus mencapai
ukuran yang cukup yang dapat menyebabkan trauma mekanik pada kandung
empedu atau obstruksi dari traktus biliaris. Pertumbuhan batu dapat terjadi lewat 2
jalan:
Pembesaran progresif kristal atau batu oleh endapan dari presipitat yang
tidak larut pada batas sekitar batu empedu. Penyatuan kristal atau batu dan
membentuk gumpalan yang lebih besar.
Sebagai tambahan defek pada motilitas kandung empedu menyebabkan
waktu empedu berada lebih lama di kandung empedu, dengan demikian akan
memainkan peran dalam pembentukan batu. Pembentukan batu juga dapat terjadi
pada keadaan klinis dimana terdapat stasis kandung empedu seperti puasa dalam
jangka waktu lama, pengunaan nutrisi parenteral dalam jangka waktu lama,
setelah vagotomy dan pada pasien dengan tumor yang memproduksi somatostatin
atau mendapatkan trapi stomatotatin jangka panjang (Ahrend and Pitt, 2004).
2.3.2.2 Batu pigmen
Batu pigmen diklasifikasikan menjadi batu pigmen coklat dan hitam. Batu
pigmen hitam biasanya di hubungkan dengan kondisi hemolitik atau sirosis. Pada
keadaan hemolitik beban bilirubin dan konsentrasi dari bilirubin tidak
terkonjugasi meningkat. Batu ini biasanya tidak berhubungan dengan empedu
yang tidak terinfeksi dan lokasinya selalu di kandung empedu. Sebagai
perbandingan, batu pigmen coklat mempunyai struktur yang sederhana dan
biasanya di temukan pada duktus biliaris dan terutama pada populasi Asia. Batu
coklat lebih sering terdiri dari kolesterol dan kalsium palmitat dan terjadi sebagai
batu primer pada pasien di negara barat dengan gangguan motilitas bilier dan
berhubungan dengan infeksi bakteri. Dalam hal ini bakteri memproduksi slime
dimana berisi enzim glukuronidase (Ahrend and Pitt, 2004).

15

Gambar 2.8 Pembentukan Batu Pigmen

2.4 Diagnosis
2.4.1 Gejala Klinis
Pasien dengan batu empedu, dapat dibagi menjadi 3 kelompok : pasien
dengan batu asimptomatik, pasien dengan batu dengan batu empedu simptomatik,
dan pasien dengan komplikasi batu empedu (kolesistitis akut, ikterus, kolangitis
dan pankreatitis). Sebagian besar (80%) pasien dengan batu empedu tanpa gejala
baik waktu dengan diagnosis maupun selama pemantauan. Hampir selama 20
tahun perjalanan penyakit, sebanyak 50% pasien tetap asimptomatik, 30%
mengalami kolik bilier dan 20% mendapat komplikasi. (Laurentius A. Lesmana.
2006)
Gejala batu empedu yang khas adalah kolik bilier, keluhan ini
didefinisikan sebagai nyeri di perut atas berlangsung lebih dari 30 menit dan
kurang dari 12 jam, biasanya lokasi nyeri di perut atas atau epigastrium tetapi bisa
juga di kiri dan prekordial. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan, tetapi
pada sepertiga kasus timbul tiba-tiba (Syamsuhidajat & Wim de Jong, 2005).
Gejala kolik ini terjadi jika terdapat batu yang menyumbat duktus sistikus
atau duktus biliaris komunis untuk sementara waktu, tekanan di duktus biliaris
16

akan meningkat dan peningkatan kontraksi peristaltik di tempat penyumbatan


mengakibatkan nyeri viscera di daerah epigastrium, mungkin dengan penjalaran
ke punggung yang disertai muntah . (Silbernagl. S and Lang. F. 2007)
Penyebaran nyeri dapat ke punggung bagian tengah, skapula, atau ke
puncak bahu, disertai mual dan muntah. Jika terjadi kolesistitis, keluhan nyeri
menetap dan bertambah pada waktu menarik napas dalam dan sewaktu kandung
empedu tersentuh ujung jari tangan sehingga pasien berhenti menarik napas, yang
merupakan tanda rangsangan peritoneum setempat (Syamsuhidajat & Wim de
Jong, 2005).
KOLESISTITIS AKUT
Sekitar 15% pasien dengan batu empedu simptomatik mengalami
kolesistitis akut, gejalanya meliputi nyeri perut kanan atas dengan kombinasi
mual, muntah dan panas. Pada pemeriksaan fisik ditemukan nyeri tekan pada
perut kanan atas dan sering teraba kandung empedu yang membesar dan tanda
tanda peritonitis. Pemeriksaan laboratorium akan menunjukkan selain leukositosis
juga terdapat kenaikan ringan bilirubin dan faal hati kemungkinan akibat
kompresi lokal pada saluran empedu. Pathogenesis kolestitis akut akibat
tertutupnya ductus cysticus oleh batu terjepit. Kemudian terjadi hidrops dari
kandung empedu. Penambahan volume kandung empedu dan edema kandung
empedu menyebabkan iskemi dari dinding kandung empedu yang dapat
berkembang ke proses nekrosis dan perforasi. Jadi permulaannya terjadi
peradangan steril dan baru pada tahap lanjut terjadi superinfeksi bakteri.
(Laurentius A. Lesmana. 2006)
Pada kolestitis akuta, juga disertai demam dan leukositosis. Penyebab
yang penting adalah trauma pada epitel kandung empedu yang disebaban oleh
batu. Prostaglandin dan fosfolipase A2

akan dilepaskan dari epitel kandung

empedu.

fosfatidilkolin

Fosfolipase

A2

memecah

menjadi

lisolesitin

(menghilangkan asam lemak pada C2), yang selanjutnya menyebabkan kolesititis


akut bahkan perforasi kandung empedu. (Silbernagl. S and Lang. F. 2007)

17

2.4.2 Pemeriksaan fisik batu kandung empedu


Kalau ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi,
seperti kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrops kandung
empedu, empiema kandung empedu, atau pankreatitis (Syamsuhidajat & Wim de
Jong, 2005).
Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum di
daerah letak anatomi kandung empedu. Tanda Murphy postitif apabila nyeri tekan
bertambah sewaktu penderita menarik napas panjang karena kandung empedu
yang meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik
napas (Syamsuhidajat & Wim de Jong, 2005).
2.4.3 Pemeriksaan Penunjang
a) Laboratorium
Biasanya, jika sudah terjadi infeksi, maka akan ditemukan leukositosis
(12.000-15.000/mm3). Jika terjadi obstruksi pada duktus komunikus maka serum
bilurubin total akan meningkat 1-4 mg/dL. Serum aminotransferase dan alkali
fosfatase juga meningkat (>300 U/mL).
Alkali fosfatase merupakan enzim yang disintesis dalam sel epitel saluran
empedu. Pada obstruksi saluran empedu, aktivitas serum meningkat karena sel
duktus

meningkatkan

sintesis

enzim

ini.

Kadar

yang

sangat

tinggi,

menggambarkan obstruksi saluran empedu. (Sarr. M.G and Cameron J.L)


b) USG
Merupakan teknik yang cepat, tidak invasive, dan tanpa pemaparan
radiologi. Ultrasonografi mempunyai derajat spesifitas dan sensitivitas yang tinggi
untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu
intrahepatik maupun ekstrahepatik. Dengan ultrasonografi juga dapat dilihat
dinding kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem karena
peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledokus distal
kadang sulit dideteksi karena terhalang udara di dalam usus. (Sarr. M.G and
Cameron J.L)

18

Gambar 2.9 USG Batu Empedu

c) ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography)


Tes invasive ini melibatkan langsung saluran empedu dengan kanulasi
endoskopi Ampulla Vateri dan disuntikan retrogad zat kontras. Selain pada
kelainan pancreas, ERCP digunakan dalam pasien ikterus ringan atau bila lesi
tidak menyumbat seperti batu ductus choledochus. Keuntungan ERCP yaitu
kadang-kadang terapi sfingterotomi endoskopi dapat dilakukan serentak untuk
memungkinkan lewatnya batu ductus choledochus secara spontan atau untuk
memungkinkan pembuangan batu dengan instrumentasi retrograde ductus biliaris.
(Sarr. M.G and Cameron J.L)

19

Gambar 2.10 Teknik ERCP

d) PTC (Percutaneous Transhepatik Cholangiography)


Merupakan tindakan invasive yang melibatkan pungsi transhepatik
perkutis pada susunan duktus biliaris intrahepatik yang menggunakan jarum
Chiba dan suntikan prograd zat kontras. Teknik ini memungkinkan dekompresi
saluran empedu non bedah pada pasien kolangitis akut toksik, sehingga mencegah
pembedahan gawat darurat. Drainage empedu per kutis dapat digunakan untuk
menyiapkan pasien ikterus obstruktif untuk pembedahan dengan menghilangkan
ikterusnya dan memperbaiki fungsi hati. (Sarr. M.G and Cameron J.L)

20

Gambar 2.11 Teknik PTC

e) Foto Polos Abdomen


Foto polos perut biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena
hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang
kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat
dilihat pada foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang
membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan
lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di
fleksura hepatika. (Sarr. M.G and Cameron J.L)
2.5 Penatalaksanaan
Kolelitiasis ditangani baik secara nonbedah maupun dengan pembedahan.
Tata laksana nonbedah terdiri atas lisis batu dan pengeluaran secara endoskopik.
Selain itu, dapat dilakukan pencegahan kolelitiasis pada orang yang cenderung
memiliki empedu litogenik dengan mencegah infeksi dan menurunkan kadar
kolesterol serum dengan cara mengurangi asupan atau menghambat sintesis
kolesterol. Obat golongan statin dikenal dapat menghambat sintesis kolesterol
karena menghambat enzim HMG-CoA reduktase (Syamsuhidajat & Wim de Jong,
2005).

21

2.5.1 Penatalaksanaan Batu Kandung Empedu


Penanganan profilaktik untuk batu empedu asimptomatik tidak dianjurkan.
Sebagian besar pasien dengan batu asimptomatik adalah tidak akan mengalami
keluhan dan jumlah, besar dan komposisi batu tidak berhubungan dengan
timbulnya keluhan selama pemantauan.
Untuk batu empedu simptomatik, dapat digunakan teknik kolesistektomi
laparoskopik, yaitu suatu teknik pembedahan invasive minimal di dalam rongga
abdomen dengan menggunakan pneumoperitoneum, sistem endokamera dan
instrument khusus melalui layar monitor tanpa menyentuh dan melihat langsung
kandung empedu. Kolesistektomi laparoskopik telah menjadi prosedur baku untuk
pengangkatan kandung empedu simptomatik. Keuntungan kolesistektomi
laparoskopik ini yaitu dengan teknik ini hanya meliputi operasi kecil (2-10 mm)
sehingga nyeri pasca bedah minimal.

Gambar 2.12 Laparascopic Cholecystektomy

22

2.5.2 Penalaksanaan Batu Saluran Empedu


ERCP theurapeutik dengan melakukan sfingterotomi endoskopi untuk
mengeluarkan batu empedu. Saat ini teknik ini telah berkembang pesat menjadi
standard baku terapi non operatif untuk batu saluran empedu.
Selanjutnya batu di dalam saluran empedu dikeluarkan dengan basket kawat atau
balon ekstraksi melalui muara yang sudah besar menuju lumen duodenum
sehingga batu dapat keluar bersama tinja atau dikeluarkan melalui mulut bersama
skopnya.
Pada kebanyakan kasus, ekstraksi batu dapat mencapai 80-90% dengan
komplikasi dini 7-10%. Komplikasi penting dari sfingterotomi dan ekstraksi batu
meliputi pankreatitis akut, perdarahan dan perforasi. (Laurentius A. Lesmana.
2006)
2.6 Komplikasi
Batu empedu sendiri tidak menyebabkan keluhan penderita selama batu
tidak masuk ke dalam duktus sistikus atau duktus koledokus. Jika batu tersebut
masuk ke dalam ujung duktus sistikus maka barulah dapat menyebabkan keluhan
penderita dan timbulah kolesistitis akuta. Hal ini disebabkan karena elemen
empedu yang tidak diserap dan kadarnya makin lama makin bertambah akan
menimbulkan reaksi inflamasi dan terjadilah infeksi sekunder.
Akibatnya kandung empedu yang mengalami inflamasi dapat beradhesi
dengan sekitarnya dan biasanya terjadi perforasi dengan akibat abscess di tempat
tsb, sehingga dapat menimbulkan bile peritonitis atau terjadinya rupture ke dalam
duodenum atau kolon, yang memungkinkan terjadinya fistula yang kronis dan
infeksi retrograde dari traktus biliaris.
Jika batu tersebut kecil, ada kemungkinan batu dengan mudah dapat
melewati duktus koledokus dan masuk ke duodenum tanpa menyebabkan keluhan
penderita tetappi mungkin dapat menyebabkan penyumbatan sebagian pada
duktus. Bila sampai terjadi penyumbatan seperti itu dan menyebabkan tekanan
23

intraduktal sebelah proksimal menaik, terjadilah kontraksi otot polos pada duktus,
dalam usahanya mengeluarkan batu. Sebagai akibatnya terjadilah kolik empedu,
bila obstruksinya sudah sempurna terjadilah retensi empedu, sehingga timbul
ikterus obstruktiva. Kemungkinan lain dari kolesistitis kronis yang lama dengan
batu empedu dapat ditemukan 80%

pada karsinoma kandung empedu. Oleh

karena itu inflamasi yang kronis dari kandung empedu kemungkinan besar
merupakan keadaan preakarsinoma. (Sujono Hadi,1995)

24

You might also like