Professional Documents
Culture Documents
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
2.1.1 Kandung empedu
Kandung empedu merupakan sebuah kantung berbentuk seperti buah
pear,panjangnya 7-10 cm dengan kapasitas 30-50 ml. Ketika terjadi obstruksi,
kandung empedu dapat terdistesi dan isinya dapat mencapai 300 ml. Kanding
empedu berlokasi di sebuah fossa pada permukaaan inferior hepar yang secara
anatomi membagi hepar menjadi lobus kanan dan lobus kiri. Kandung empedu
dibagi menjadi 4 area secara anatomi: fundus, corpus, infundibulum dan leher.
Fundus berbentuk bulat, dan ujungnya 1-2 cm melebihi batas hepar,
strukturnya kebanyakan berupa otot polos, kontras dengan corpus yang
kebanyakan terdiri dari jaringan elastis. Leher biasanya membentuk sebuah
lengkungan, yang mencembung dan membesar membentuk Hartmans pouch
(Brunicardi, 2007).
Peritoneum yang sama menutupi hepar meliputi fundus dan permukaan inferior
dari kandung empedu. Kadang-kadang kandung empedu ditutupi seluruhnya oleh
peritoneum (Brunicardi, 2007).
Persyarafan kandung empedu berasal dari nervus vagus dan dari cabang
simpatis melewati pleksus celiaca. Tingkat preganglionik simpatisnya adalah T8
dan T9. Rangsang dari hepar, kandung empedu, dan duktus biliaris akan menuju
serat aferen simpatis melewati nervus splanchnic memediasi nyeri kolik bilier.
Cabang hepatik dari nervus vagus memberikan serat kolinergik pada
kandung empedu, duktus biliaris dan hepar (Brunicardi, 2007).
Duktus biliaris extrahepatik terdiri dari Ductus hepaticus kanan dan kiri,
Ductus hepaticus communis, Ductus cysticus dan Ductus choledochus. Ductus
choledochus memasuki bagian kedua dari duodenum lewat suatu struktur
muskularis yang disebut Sphincter Oddi (Brunicardi, 2007).
Ductus hepaticus kiri lebih panjang dari yang kanan dan memiliki
kecenderungan lebih besar untuk berdilatasi sebagai akibat dari obstruksi pada
bagian distal. Kedua Ductus tersebut bersatu membentuk Ductus hepaticus
communis. Panjang Ductus hepaticus communis umumnya 1-4cm dengan
diameter mendekati 4 mm. Berada di depan vena porta dan di kanan Arteri
hepatica. Ductus hepaticus communis dihubungkan dengan Ductus cysticus
membentuk Ductus choledochus (Brunicardi, 2007).
Panjang Ductus cysticus bervariasi. Dapat pendek atau tidak ada karena
memiliki penyatuan yang erat dengan Ductus hepaticus. Atau dapat panjang, di
belakang, atau spiral sebelum bersatu dengan Ductus hapaticus communis. Variasi
pada Ductus cysticus dan titik penyatuannya dengan Ductus hepaticus communis
penting secara bedah. Bagian dari Ductus cysticus yang berdekatan dengan bagian
leher kandung empedu terdiri dari lipatan-lipatan mulkosa yang disebut Valvula
4
Heister. Valvula ini tidak memiliki fungsi valvula, tetapi dapat membuat
pemasukan cannul ke Ductus cysticus menjadi sulit (Brunicardi, 2007).
Panjang Ductus choledochus kira-kira 7-11 cm dengan diameter 5-10 mm.
Bagian supraduodenal melewati bagian bawah dari tepi bebas dari ligamen
hepatoduodenal, disebelah kanan Arteri hepatica dan di anterior Vena porta.
Bagian retroduodenal berada di belakang bagian pertama duodenum, di lateral
Vena porta dan Arteri hepatica. Bagian terbawah dari Ductus choledochus (bagian
pankreatika) berada di belakang caput pankreas dalam suatu lekukan atau
melewatinya secara transversa kemudian memasuki bagian kedua dari duodenum.
Ductus choledochus bergabung dengan Ductus pancreaticus masuk ke
dinding duodenum (Ampulla Vateri) kira-kira 10cm distal dari pylorus. Kira-kira
70% dari Ductus ini menyatu di luar dinding duodenum dan memasuki dinding
duodenum sebagai single ductus. Sphincter Oddi, yang merupakan lapisan tebal
dari otot polos sirkuler, mengelilingi Ductus choledochus pada Ampulla Vateri.
Sphincter ini mengontrol aliran empedu, dan pada beberapa kasus mengontrol
pancreatic juice ke dalam duodenum (Brunicardi, 2007).
Suplai arteri untuk Ductus biliaris berasal dari Arteri gastroduodenal dan
Arteri hepatika kanan, dengan jalur utama sepanjang dinding lateral dan medial
dari Ductus choledochus (kadang-kadang pada posisi jam 3 dan jam 9). Densitas
serat syaraf dan ganglia meningkat di dekat Sphincter Oddi tetapi persyarafan dari
Ductus choledochus dan Sphinchter Oddi sama dengan persyarafan pada kandung
empedu (Brunicardi, 2007).
Figure 52-1 Anatomy of the biliary system and its relationship to surrounding structures.
Gambar 2.3 Anatomi sistem bilier
2.2 Fisiologi
2.2.1 Pembentukan dan komposisi empedu
Hepar
memproduksi
mengekskresikannya
pada
empedu
kanalikuli
secara
terus
empedu.
Orang
menerus
dewasa
dan
normal
direabsorpsi dan kembali lewat vena porta ke hepar sehingga disebut sirkulasi
enterohepatik. 5% diekskresikan di feses (Brunicardi, 2007).
saluran empedu akan lebih tinggi daripada tahanan sfingter (Syamsuhidajat &
Wim de Jong, 2005) .
Kolesistokinin (CCK) hormon sel APUD dari selaput lendir usus halus di
keluarkan atas rangsang makanan berlemak atau produk lipolitik di dalam lumen
usus. Hormon ini merangsang nervus vagus sehingga terjadi kontraksi kandung
empedu. Dengan demikian CCK berperan besar terhadap terjadinya kontraksi
kandung empedu setelah makan (Syamsuhidajat & Wim de Jong, 2005).
Absorpsi dan Sekresi
Pada keadaan puasa, hampir 80% empedu disekresikan oleh hepar
disimpan dalam kandung empedu. Mukosa kandung empedu secara cepat
menyerap natrium, clorida, dan air dengan melawan gradien konsentrasi,
memekatkan empedu hingga 10 kali sehingga merubah komposisi empedu.
Penyerapan yang cepat ini adalah salah satu mekanisme untuk mencegah
peningkatan tekanan ketika ada gangguan dalam aliran empedu pada sistem bilier
(Brunicardi, 2007).
Sel epitel pada kandung empedu mensekresi 2 produk penting kedalam
lumen kandung mepedu : glikoprotein dan ion hidrogen. Kelenjar pada mukosa
infundibulum dan leher mensekresi glikoprotein yang dapat memproteksi mukosa
kandung empedu dari proses litik empedu dan juga untuk memfasilitasi aliran
empedu untuk melewati Ductus cysticus. Transpor ion hidrogen juga akan
menurunkan pH empedu. Proses pengasaman ini akan menyebabkan kelarutan
kalsium sehingga akan mencegah presipitasi menjadi garam kalsium (Brunicardi,
2007).
Aktivitas motorik
Pengisian kandung empedu difasilitasi oleh kontraksi tonik dari Sphincter
Oddi.
Sebagai respon terhadap makanan, pengosongan kandung empedu terjadi
karena respon motorik yang terkoordinasi dari kontraksi kandung empedu dan
relaksasi Sphincter Oddi. Stimuli utama dari pengosongan kandung empedu
9
Regulasi Neurohormonal
Nervus vagus dan obat-obat parasimpatomimetik menstimulasi kontraksi
kandung empedu, dan rangsangan simpatis splanchnic dan atropin akan
menghambat aktivitas motorik.
Reflek yang dimediasi oleh sistem syaraf akan menghubungkan Sphincter
Oddi dengan kandung empedu, gaster dan duodenum untuk mengkoordinasi aliran
empedu. Distensi bagian antral dari gaster akan menyebabkan kontraksi kandung
empedu dan relaksasi dari Sphincter Oddi.
Reseptor hormonal terdapat pada oto polos, pembuluh darah, syaraf, dan
epitel dari kandung empedu. CCK adalah peptida yang dilepaskan ke dalam aliran
darah oleh karena adanya asam, lemak, dan asam amino di dalam duodenum.
10
CCK bekerja secara langsung pada reseptor di otot polos kandung empedu
sehingga akan menstimulasi kontraksi kandung empedu juga akan menyebabkan
Stimulasi kandung empedu dan sistem bilier oleh CCK juga di mediasi
oleh syaraf vagal kolinergik. Pada pasien yang telah menjalani vagotomy, respon
terhadap CCK berkurang dan ukuran serta volume kandung empedu akan
meningkat (Brunicardi, 2007).
2.3 Penyakit batu empedu
2.3.1 Prevalensi dan insidensi
Penyakit batu empedu adalah salah satu penyakit yang sering mengenai
traktus digestifus. Dari autopsi didapatkan prevalensi dari batu empedu adalah 1136%. Prevalensi batu empedu berhubungan dengan banyak faktor termasuk umur,
jenis kelamin, dan latar belakang etnik. Beberapa kondisi yang merupakan
predisposisi berkembangnya batu empedu adalah obesitas, kehamilan, faktor
makanan, rendahnya konsumsi kopi, penyakit Crohn, reseksi ileum terminal,
operasi gaster, hereditary spherocytosis, sickle cell disease, dan thalassemia.
Semua ini akan meningkatkan resiko terjadinya batu empedu. Wanita 3
kali lebih sering terjadi batu empedu di bandingkan laki-laki dan insidensinya
meningkat sesuai dengan usia (Syamsuhidajat & Wim de Jong, 2005., Brunicardi,
2007).
11
tidaknya kolesterol, sehingga ada batu kolesterol atau batu pigmen. Batu pigmen
dapat diklasifikasikan lebih lanjut menjadi hitam dan coklat. Pada negara-negara
barat 80% batu empedu berupa batu kolesterol dan sekitar 15-20% adalah batu
pigmen hitam. Batu pigmen coklat dan hitam sering terdapat di Asia (Brunicardi,
2007).
pertumbuhan batu. Mukosa kandung empedu dan fungsi motorik juga berperan
pada pembentukan batu empedu. Kunci untuk mempertahankan kolesterol dalam
bentuk cairan adalah pembentukan micelles (kompleks garam empedu-kolesterolfosfolipid) dan vesikel kolesterol-fosfolipid. Teori mengatakan dalam keadaan
produksi kolesterol berlebih vesikel ini juga akan meningkatkan kemampuannya
untuk mentransport kolesterol, dan pembentukan kristal dapat terjadi. Kelarutan
kolesterol bergantung pada konsentrasi kolesterol, garam empedu dan fosfolipid.
Dengan memperhatikan persentasi masing-masing komponen koordinat
pada segitiga zona micellar dimana kolesterol benar-benar larut dapat terlihat pada
area bagian atas empedu mengalami supersaturasi kolesterol dan pembentukan
kristal kolesterol dapat terjadi (Ahrend and Pitt, 2004).
14
empedu pada pasien dengan batu kolesterol di bandingkan pada pasien dengan
empedu yang jenuh kolesterol tanpa batu.
Batu empedu untuk bisa menimbulkan gejala klinis harus mencapai
ukuran yang cukup yang dapat menyebabkan trauma mekanik pada kandung
empedu atau obstruksi dari traktus biliaris. Pertumbuhan batu dapat terjadi lewat 2
jalan:
Pembesaran progresif kristal atau batu oleh endapan dari presipitat yang
tidak larut pada batas sekitar batu empedu. Penyatuan kristal atau batu dan
membentuk gumpalan yang lebih besar.
Sebagai tambahan defek pada motilitas kandung empedu menyebabkan
waktu empedu berada lebih lama di kandung empedu, dengan demikian akan
memainkan peran dalam pembentukan batu. Pembentukan batu juga dapat terjadi
pada keadaan klinis dimana terdapat stasis kandung empedu seperti puasa dalam
jangka waktu lama, pengunaan nutrisi parenteral dalam jangka waktu lama,
setelah vagotomy dan pada pasien dengan tumor yang memproduksi somatostatin
atau mendapatkan trapi stomatotatin jangka panjang (Ahrend and Pitt, 2004).
2.3.2.2 Batu pigmen
Batu pigmen diklasifikasikan menjadi batu pigmen coklat dan hitam. Batu
pigmen hitam biasanya di hubungkan dengan kondisi hemolitik atau sirosis. Pada
keadaan hemolitik beban bilirubin dan konsentrasi dari bilirubin tidak
terkonjugasi meningkat. Batu ini biasanya tidak berhubungan dengan empedu
yang tidak terinfeksi dan lokasinya selalu di kandung empedu. Sebagai
perbandingan, batu pigmen coklat mempunyai struktur yang sederhana dan
biasanya di temukan pada duktus biliaris dan terutama pada populasi Asia. Batu
coklat lebih sering terdiri dari kolesterol dan kalsium palmitat dan terjadi sebagai
batu primer pada pasien di negara barat dengan gangguan motilitas bilier dan
berhubungan dengan infeksi bakteri. Dalam hal ini bakteri memproduksi slime
dimana berisi enzim glukuronidase (Ahrend and Pitt, 2004).
15
2.4 Diagnosis
2.4.1 Gejala Klinis
Pasien dengan batu empedu, dapat dibagi menjadi 3 kelompok : pasien
dengan batu asimptomatik, pasien dengan batu dengan batu empedu simptomatik,
dan pasien dengan komplikasi batu empedu (kolesistitis akut, ikterus, kolangitis
dan pankreatitis). Sebagian besar (80%) pasien dengan batu empedu tanpa gejala
baik waktu dengan diagnosis maupun selama pemantauan. Hampir selama 20
tahun perjalanan penyakit, sebanyak 50% pasien tetap asimptomatik, 30%
mengalami kolik bilier dan 20% mendapat komplikasi. (Laurentius A. Lesmana.
2006)
Gejala batu empedu yang khas adalah kolik bilier, keluhan ini
didefinisikan sebagai nyeri di perut atas berlangsung lebih dari 30 menit dan
kurang dari 12 jam, biasanya lokasi nyeri di perut atas atau epigastrium tetapi bisa
juga di kiri dan prekordial. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan, tetapi
pada sepertiga kasus timbul tiba-tiba (Syamsuhidajat & Wim de Jong, 2005).
Gejala kolik ini terjadi jika terdapat batu yang menyumbat duktus sistikus
atau duktus biliaris komunis untuk sementara waktu, tekanan di duktus biliaris
16
empedu.
fosfatidilkolin
Fosfolipase
A2
memecah
menjadi
lisolesitin
17
meningkatkan
sintesis
enzim
ini.
Kadar
yang
sangat
tinggi,
18
19
20
21
22
intraduktal sebelah proksimal menaik, terjadilah kontraksi otot polos pada duktus,
dalam usahanya mengeluarkan batu. Sebagai akibatnya terjadilah kolik empedu,
bila obstruksinya sudah sempurna terjadilah retensi empedu, sehingga timbul
ikterus obstruktiva. Kemungkinan lain dari kolesistitis kronis yang lama dengan
batu empedu dapat ditemukan 80%
karena itu inflamasi yang kronis dari kandung empedu kemungkinan besar
merupakan keadaan preakarsinoma. (Sujono Hadi,1995)
24