Professional Documents
Culture Documents
A. Pendahuluan
Penyakit kulit yang disebabkan infeksi jamur atau dermatomikosis merupakan
penyakit yang sering dijumpai terutama di negara tropis karena udara yang lembab dan
panas sepanjang tahun sangat cocok bagi berkembangnya penyakit jamur khususnya
mikosis superfisialis. Salah satu bentuk dermatomikosis adalah tinea unguium
(onikomikosis) yaitu infeksi jamur pada kuku. 1
Dermatomikosis banyak diderita di negara tropis.Angka kejadian di Indonesia
masih cukup tinggi.Berbagai penelitian pun menunjukkan prevalensi onikomikosis
sebanyak setengah dari abnormalitas kuku dan sepertiga dari seluruh infeksi jamur kulit.
Berbagai faktor yang berpengaruh terhadap infeksi dermatofita antara lain iklim tropis,
higienitas yang buruk, adanya sumber penularan, serta penyakit sistemik dan kronis yang
meningkat.2
Dermatofitosis atau tinea adalah infeksi jamur superfisial pada kulit, rambut, dan
kuku yang disebabkan dermatofita.Spesies dengan prevalensi tertinggi penyebab
dermatofitosis adalah Trichophyton rubrum dan Trichophyton mentagrophytes.Penyakit
ini terjadi pada abnormalitas kuku dan sebagian dari infeksi jamur pada kulit. 2
Tinea unguium, sering disebut sebagai onikomikosis, adalah infeksi jaringan kuku
tangan atau kaki.Trichophyton rubrum dan Trichophyton mentagrophytes adalah
dermatofit umum yang dapat menyebabkan tinea unguium. Faktor risiko onikomikosis
termasuk usia yang lebih tua, berenang, trauma pada kuku, diabetes, imunosupresi, hidup
dengan seseorang dengan onikomikosis, dan tinea pedis.3
Tinea unguium menyebabkan masalah bagi pasien, berupa fisik dan psikologis.
Permasalahan lain yang ada adalah pengobatan tinea unguium bersifat menahun dan
resisten pada pengobatan.2
B. Definisi
Tinea unguium adalah infeksi pada kuku yang disebabkan jamur dermatofita,
jamur nondermatofita atau ragi.Tinea unguium menular melalui kontak langsung dengan
sumber (manusia atau hewan terinfeksi), atau lingkungan yang mengandung spora jamur
misalnya tempat mandi umum. Faktor predisposisi antara lain kelembaban, trauma pada
kuku, dan penurunan sistem imun. Kebiasaan penggunaan kaos kaki dan sepatu yang
lama, dan penggunaan pemandian umum ikut meningkatkan risiko tertular penyakit. 2
C. Etiologi
Penyabab utama tinea unguium adalah:
D. Epidemiologi
Tinea unguium merupakan penyakit global, dengan prevalensi bervariasi, lebih
banyak ditemukan di daerah beriklim dingin, dan lebih sedikit di iklim tropis. Di Negara
Barat dilaporkan prevalensi berkisar 2-18 % dari populasi; tetapi proyek Achilles, satu
survei khusus kelainan kuku di Eropa menunjukkan prevalensi 26,9%, sedangkan survei
serupa di Negara tropis Asia mendapatkan prevalensi 8,1%. Di Indonesia, studi
prevalensi yang pernah dilakukan menunjukkan kisaran yang rendah, yakni 3,5-4,7% di
antara kasus dermatomikosis.5
Tinea unguium dapat terkena anak-anak atau orang dewasa.Sekali diperoleh,
biasanya tidak berkurang secara spontan. Oleh karena itu, kenaikan insiden dengan usia
lanjut; 1% dari individu <18 tahun yang terkena dampak; hampir 50% dari mereka > 70
tahun. Lebih sering terjadi pada pria.6
Semua ras dapat terkena tinea unguium yang bermukim di daerah tropis. Pada
orang yang banyak bekerja dengan air kotor dan lembab atau basah bisa menyebabkan
tinea unguium.7
E. Anatomi
Kuku merupakan salah satu dermal appendages yang mengandung lapisan tanduk
yang terdapat pada ujung-ujung jari tangan dan kaki, gunanya selain membantu jari-jari
untuk memegang juga digunakan sebagai cermin kecantikan. Lempeng kuku terbentuk
dari sel-sel keratin yang mempunyai dua sisi, atau sisi berhubungan dengan udara luar
dan sisi lainnya tidak.8
Bagian kuku :
1. Matriks kuku
merupakan pembentuk jaringan kuku yang baru
2. Dinding kuku (nail wall)
merupakan lipatan-lipatan kulit yang menutupi bagian pinggir dan atas.
3. Dasar kuku (nail bed)
merupakan bagian kulit yang ditutupi kuku.
4. Alur kuku (nail groove)
merupakan celah antara dinding dan dasar.
5. Akar kuku (nail root)
merupakan bagian proksimal kuku
6. Lempeng kuku (nail plate)
merupakan bagian tengah kuku yang dikelilingi dinding kuku
7. Lunula
merupakan bagian lempeng kuku yang warna putih di dekat akar kuku berbentuk
bulan sabit, sering tertutup oleh kulit.
8.
Eponikium
merupakan dinding kuku bagian proksimal, kulit arinya menutupi bagian permukaan
lempeng kuku.
9. Hiponikium
Merupakan dasar kuku, kulit ari dibawah kuku yang bebas (free edge) menebal. 8
Gambar 1. Anatomi kuku 8
F. Patogenesis
Faktor predisposisi yang memudahkan terjadinya tinea unguium serupa dengan
penyakit jamur superfisial lain, yakni kelembaban, oklusi, trauma berulang pada kuku,
kerusakan kuku oleh sebab lain, penurunan imunitas, pertumbuhan kuku yang lambat,
permukaan kuku yang lebar dan faktor genetik. Sehubungan dengan itu, berbagai hal
terbukti sebagai faktor risiko mendapat tinea unguium, antara lain gaya hidup tertentu
misalnya penggunaan kaos kaki dan sepatu tertutup terus menerus, olahraga, penggunaan
tempat mandi umum. Usia tua, kanker, psoriasis, infeksi dermatofita pada lokasi lain juga
merupakan faktor risiko. Pada anak-anak jarang ditemukan tinea unguium, kemungkinan
karena pajanan terhadap penyebab relatif jarang, permukaan kuku sempit, pertumbuhan
kuku yang lebih cepat, dan prevalensi tinea pedis yang rendah.
Jamur menyerang memalui beberapa rute yang akan memberikan gambaran klinis
berbeda, tetapi pada stadium lanjut, seluruh kuku dapat rusak. 5
G. Gambaran Klinik
1. Bentuk Subungual Distalis
Bentuk ini mulai dari tepi distal atau distoleratel kuku. Proses ini menjalar ke
proksimal dan dibawah kuku terbentuk sisa kuku yang rapuh. Kalau proses
berjalan terus, maka permukaan kuku bagian distal akan hancur dan yang terlihat
hanya kuku rapuh yang menyerupai kapur. 8
(hyperkeratosis subungual).4
mempunyai demartofitosis di tempat lain yang sudah sembuh atau yang belum.
Kuku kaki lebih sering diserang daripada kuku tangan (CONANT dkk. 1971). 8
Gambar 4. Onikomikosis subungual proksimal putih. Infeksi HIV perlu
dicurigai pada pasien ini4
Tinea unguium adalah dermatofitosis yang paling sukar dan lama
disembuhkan; kelainan pada kuku kaki lebih sukar disembuhkan daripada kuku
tangan (STEVENSON dan tinea unguium. GOUW, (1965) berkesimpulan, bahwa
tinea unguium ada di Indonesia, namun tidak banyak. 8
H. Diagnosis
Anamnesis dan gambaran klinis saja pada umumnya sulit untuk memastikan
diagnosis, apalagi tinea unguium dapat merupakan kelainan sekunder pada kelainan kuku
yang telah ada sebelumnya. Mengingat banyaknya diagnosis banding secara klinis,
pemeriksaan penunjang harus selalu dilakukan. 5
I. Diagnosis Banding
1. Psoriasis Kuku
Kelainan ini mungkin tidak dapat dibedakan, atau terdapat bersamaan dengan
onikomikosis.
Mungkin ditemukan lubang kecil dikuku (nail pit) dan adanya noda warna
dikuku (oil spot, pigmentasi cokelat kekuningan). 4
Hal ini dijumpai pada pasien dengan gangguan status imun (mis.pasien
diabetes) dan pada orang yang tangannya sering basah.
Kutikula lenyap
Gambar 9. Kuku hijau, onikolisis. Warna hijau terjadi karena infeksi sekunder
oleh pseudomonas.4
J. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan adalah pemeriksaan sediaan
mikroskopik langsung yang diikuti pemeriksaan biakan untuk identifikasi spesies
penyebab. Penentuan spesies bermanfaat untuk pemilihan jenis obat dan menilai
prognosis.5
Pengambilan sediaan pada penderita tinea unguium harus memenuhi persyaratanpersyaratan, antara lain : penderita bebas dari obat-obat anti jamur untuk beberapa hari
atau minggu, sediaan diambil pada lokasi yang tepat, sediaan terpisah antara kuku jari
tangan dan kaki.5
Pemeriksaan langsung dapat dilakukan dengan sediaan KOH 20-30% dalam air
atau dalam dimetil sulfoksida (DMSO) 40% untuk mempernudah lisis keratin. Zat warna
tambahan misalnya tinta Parker blue-black, atau pewarnaan PAS akan mempermudah
visualisasi jamur. Penambahan zat warna chlorazol black E atau calcofluor white pada
KOH bersifat spesifik untuk elemen jamur karena hanya terikat khitin yang merupakan
dinding jamur, tetapi tidak pada keratin atau benang dan artefak lain. Namun untuk
calvofluor white dibutuhkan mikroskop fluoresen untuk memeriksanya. 5
Selain memastikan hasil positif atau negatif, perlu dicari eleman jamur bentuk
tipikal atau atipikal, misalnya hifa dermatofita tidak berwarna (hialin), hifa Scytalidium
panjang dan berbelok-belok, jamur dermatiaceae berwarna hitam, konidia Scopulariopsis
mempunyai bentuk mirip buah lemon. Ditemukannya pseudohifa kandida lebih
mempunyai arti diagnostik daripada bila hanya ada sel ragi. 5
Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong pemeriksaan
langsung sediaan basah untuk menentukan spesies jamur.Pemeriksaan ini dilakukan
dengan menanamkan bahan klinis pada media buatan.Medium yang dianggap paling baik
saat ini adalah medium agar dekstrosa Sabaraud dapat ditambahkan antibiotik saja
(kloramfenikol) atau ditambahkan pula klorheksimid. Kedua zat tersebut diperlukan
untuk menghindarkan kontaminasi bakteri ataupun jamur kontaminan pada media. 5
Bila secara klinis kecurigaan tinea unguium besar tetapi hasil sediaan
mikroskopik langsung maupun biakan negatif, pemeriksaan hispatologi dapat membantu.
Dapat dilakukan dengan biopsi kuku atau cukup nail clippings pada OSD. Pemeriksaan
ini dapat sekaligus membantu memastikan bahwa jamur terdapat dalam lempengan kuku
dan bukan komensal atau kontaminan di luar lempeng kuku.5
K. Histopatologi
Hifa dapat ditemukan melekat diantara lamina kuku paralel hingga kelapisan
dasar, dengan predileksi bagian ventral kuku dan bantalan kuku bagian stratum korneum.
L. Penatalaksanaan
Sebagaimana pada penatalaksanaan penyakit jamur superfisial lainnya, maka
prinsip penatalaksanaan tinea unguium adalah menghilangkan faktor predisposisi yang
memudahkan terjadinya penyakit, serta tatalaksana medikamentosa yang sesuai dengan
penyebab dan keadaan patologi kuku. Perlu ditelusuri pula sumber penularan. 5
Pengobatan tinea unguium ada dua cara yaitu secara sistemik dengan
menggunakan obat antifungsi oral dan secara lokal yaitu dengan menggunakan obat
antifungsi topikal. Pada keadaan tertentu kedua cara ini digunakan secara bersamasama.5
Obat topikal
Obat topikal formulasi khusus dapat meningkatkan penetrasi obat ke dalam kuku,
yakni :
1. Bifonazol-urea : kombinasi derivat azol, yakniS.bifonazol 1% dengan urea 40%
dalam bentuk salap. Urea untuk melisiskan kuku yang rusak sehingga penetrasi obat
antijamur meningkat. Kesulitan yang ditimbulkan adalah dapat terjadi iritasi kulit
sekitar kuku oleh urea.
2. Amorolfin : merupakan derivat morfolin yang bersifat tunggal fungisidal. Digunakan
dalam bentuk cat kuku konsentrasi 5%
3. Siklopiroksolamin : suatu derivat piridon dengan spektrum antijamur luas, juga
digunakan dalam bentuk cat kuku. Cat kuku siklopirosolamin formulasi baru yang
mengadung biopolymer terbukti mempunyai penetrasi dan efektivitas lebih baik
dibandingkan formulasi lama.5
Beberapa obat topikal baru sedang dikembangkan, antara lain golongan
benzoksaborol: tavaborol, serta golongan azol: efinakonazol dan lulikonazol. 5
Obat sistemik
Griseofulvin bukan obat yang efektif untuk onikomikosis. Untuk tinea unguium,
didapatkan angka kesembuhan rendah dan kekambuhan tinggi. 4, Dosis Griseofulvin untuk
anak 10 mg/KgBB/hari (microsize) atau 5,5 mg/KgBB/hari (ultra microsize), sedangkan
untuk dewasa 500 100 mg/hari.10
Obat sistemik
M. Prognosis
Meskipun dengan obat-obat baru dan dosis optimal, 1 diantara 5 kasus tinea
unguium ternyata tidak memberi respons baik.Penyebab kegagalan diduga adalah
diagnosis tidak akurat, salah identifikasi penyebab, adanya penyakit kedua, misalnya
psoriasis.Pada beberapa kasus, karakteristik kuku tertentu, yakni pertumbuhan lambat
serta sangat tebal juga merupakan penyulit, selain faktor predisposisi terutama keadaan
imunokopromais. Menghindari sumber penularan misalnya sepatu lama atau kaos kaki
yang mengandung spora jamur, perlu diperhatikan untuk mencegah kekambuhan. 5
DAFTAR PUSTAKA
1. Putra IB. Onikomikosis. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2008
2. Sujana KY, Darmada IGK, Rusyati LMM. Terapi Denyut Itrakonazol pada Kasus
Tinea Unguium. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana. 2013
3. Erwin BL, et al. Fungus of the Feet and Nails: Tinea Unguium; 2013. Available from
URL:
http://www.medscape.com/viewarticle/807034_3
diakses
tanggal 12
Desember 2014
4. Goodheart HP. Onikomikosis (Tinea Unguium). Dalam : Diagnosis Fotografik &
Penatalaksanaan Penyakit Kulit. Edisi 3. Penerbit: EGC . 2013. h. 184-87
5. Bramono K. Onikomikosis. Dalam: Dermatomikosis Superfisialis. Balai Penerbit
FK-UI, Jakarta 2013. h. 86-97
6. Wolff Klaus, et al. Fitzpatricks Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology,
Seventh Edition. New York : Mc Graw Hill; 2013. p. 806-809
7. Siregar RS. Atlas berwarna saripati penyakit kulit. edisi 2. Jakarta: EGC;2013 .h. 28
8. Budimulja U. Tinea Unguium. Dalam : Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
Keenam. Penerbit: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2010. h. 89-105
Referat
Desember 2014
TINEA UNGUIUM
Oleh :
Ririt Yuliarti Taha, S.Ked
K1A210058
Pembimbing :
dr. Hj. Rohana Sari Suaib, Sp.KK
16
17