You are on page 1of 22

TUGAS PAPER

GANGGUAN GERAK DAN KOORDINASI

Penguji :
dr. Muttaqien Pramudigdo Sp.S
dr. Hernawan Sp.S

Disusun Oleh:
Ainul Mardliyah

G4A015021

Puti Hasana Kasih G4A015022

SMF ILMU PENYAKIT SARAF


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2016

HALAMAN PENGESAHAN
Telah disetujui tugas paper dengan judul :

Gangguan Gerak dan Koordinasi


Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat ujian
kepanitraan klinik dokter muda SMF Ilmu Penyakit Saraf
RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun Oleh:
Ainul Mardliyah

G4A015021

Puti Hasana Kasih

G4A015022

Purwokerto, Agustus 2016

I.

ANATOMI & FISIOLOGI KOORDINASI GERAK

Secara hirarki pusat tertinggi untuk kontrol pergerakan adalah korteks serebri,
yang sinyalnya ditransmisikan oleh jaras piramidalis ke nuklei nervi kranialis motorii
dan ke sel-sel kornu anterior medula spinalis (sistem piramidalis). semua struktur lain
yang berperan pada pergerakkan dikelompokkan ke struktur lain yang disebut sistem
ekstrapiramidalis atau yang lebih dikenal dengan struktur ganglia basalia.
A. Ganglia basalia
Ganglia basalia merupakan bagian dari sistem motorik yang merupakan
pusat motorik asesoris. ganglia basalia merupakan massa gray matter yang
terdapat didalam hemisfer cerebral. Nuclei utama ganglia basalia adalah nucleus
kaudatus, putamen, dan globus palidus yang terletak didalam substansia alba
subkortikalis telesenfali. Nuclei lain yang merupakan bagian dari ganglia basalia
adalah klaustrum dan amigdala, dimana keduanya tidak memiliki hubungan
fungsional langsung dengan nuclei ganglia basalia lainnya (Baehr M & M.
Frotscher, 2012).
Nukleus kaudatus dan putamen (striatum) merupakan tempat utama input
ke ganglia basalia. Sedangkan globus palidus merupakan outflow utama nukleus
dari ganglia basalia. Secara fungsional, ganglia basalia interconnections dan
neurotransmitternya membentuk sistem ekstrapiramidal yang termasuk midbrain
nuclei seperti substansia nigra, dan nuclei subthalamikus (Waxman SG, 2013).
Akan tetapi konsep sistem piramidalis dan ekstrapiramidalis sudah tidak
digunakan karena pada kenyataannya keduanya tidak bekerja secara terpisah
(Baehr M & M. Frotscher, 2012).

Gambar 1. Ganglia basalia


Fungsi ganglia basalia di modulasi oleh innervasi striatal dan ekstrastriatal
dopaminergik.

Meskipun begitu, dopamin

pada spiny neurons striatal

memberikan peningkatan ke sinaps pada dendritic spines yang juga dimodulasi


oleh input eksitatorik dari korteks. Pada keadaan ini, spiny neurons striatal dilatih
oleh dopamine-mediated reinforcement signal untuk mengenali dan memasukkan
konteks salient dan atau keadaan yang kemungkinan dapat berguna dalam
mengatur perilaku (Hening W, Harrington DL, Poizner H, 2009).
Input dan output ganglia basalia paling banyak muncul dari atau ke
korteks melalui thalamus secara langsung maupun tidak langsung. Sehingga
ganglia basalia membentuk side loop atau jalan memutar dalam hubungannya
dengan otak ke perilaku (Hening W, Harrington DL, Poizner H, 2009). Pars
compacta mengandung neuron-neuron dopaminergik. Globus pallidus internum
dan pars retikulata dari putamen merupakan nuclei output utama ganglia basalia.
Globus palidus internum dan pars retikulata putamen mirip dari segi sitologi,
konektivitas, dan fungsi. Dua nuclei ini dapat dipertimbangkan sebagai struktur
tunggal yang dipisahkan oleh kapsula interna. Hubungannya mirip dengan

kaudatus dan putamen. Terdapat dua pathways utama ganglia basalia: direct
pathways yang menghasilkan gerakan dan indirect pathways yang menghambat
gerakan (Melillo, R., and Leisman, G, 2009).
Direct pathway dipresentasikan oleh reseptor D1-dopamin, substansi-P
dan dynonorphin-containing neurons. Indirect pathway disediakan oleh reseptor
D2-dopamin dan enkephalin-containing neurons. Output neuron globus pallidus
external bersifat GABA-ergik dan menghasilkan efek inhibitorik pada neuron
subtalamikus glutamatergik, yang kemudian mengirimkan proyeksi eksitatorik
pada kedua nuclei output ganglia basalia (globus pallidus internal dan substansia
nigra pars reticulata, yang neuronnya juga bersifat GABA-ergik seperti pada
globus pallidus eksternal). Kedua pathways kemudian menyediakan efek
antagonis pada output ganglia basalia, direct pathway mengirimkan input
inhibitorik pada kedua nuclei, sedangkan indirect pathway menghasilkan input
eksitatorik. Dual proyeksi dari nuclei output ganglia basalia ke nuclei yang
berbeda dari thalamus (regio lateralis, regio centralis, dan regio dorsalis)
diorganisasikan secara paralel dan somatotopikal (Herrero MT, Barcia C, Navarro
JM, 2012). Kemudian neuron thalamikus mengirimkan input konvergen ke area
kortikal yang sama tetapi lamina yang berbeda.

Gambar 2. Direct dan indirect pathway


Pada direct pathway, sel striatal memproyeksikan ke globus pallidus
internal secara langsung. Konsekuensi jalur ini yaitu peningkatan drive eksitatori
dari thalamus ke korteks. Proyeksi dari kortikal menggunakan neurotransmitter
eksitatorik glutamat. Ketika glutamat diaktivasi, proyeksi kortikal mengeksitasi
neuron striatal. Input eksitatorik ini cukup untuk mengaktifkan sel striatal. Sel
striatal menggunakan neurotransmitter inhibitorik GABA dan aksonnya melewati
dan menghambat sel globus pallidus interna. Sel globus pallidus interna yang
memproyeksi ke VA/VL juga menggunakan GABA. Sehingga, signal kortikal
mengeksitasi neuron striatal yang menghasilkan inhibisi yang lebih banyak dari
striatum ke globus pallidus internal. Lebih banyak inhibisi globus pallidus
internal artinya inhibisi dari thalamus motor (VA/VL) semakin berkurang. Oleh
karena thalamus motor menerima inhibisi yang sedikit/kurang, sel VA/VL akan
meningkatkan pelepasan dari neurotransmitternya. Penurunan inhibisi ini disebut
dis-inhibisi. Meski tidak sama dengan eksitasi langsung, kemiripannya mengarah
pada peningkatan aktivitas. sehingga, hasil akhir input eksitatorik kortikal ke

neuron striatal pada awal direct pathway yaitu peningkatan pelepasan neuronneuron VA/VL dan sebagai gantinya mengaktifkan korteks motorik dan
meningkatkan aktivitas motorik (Wichmann T & DeLong MR, 2009).
Dibandingkan dengan direct pathway yang memproyeksi ke globus
pallidus internal, neuron striatal pada indirect pathway memproyeksi ke globus
pallidus eksternal. Sel dalam globus pallidus eksternal memproyeksi ke nukleus
subthalamikus kemudian menuju ke globus pallidus internal, dan berproyeksi ke
VA/VL, dan akhirnya ke korteks motorik. Peningkatan aktivitas pada neuron
striatal GABA-ergik menurunkan aktivitas pada globus pallidus eksternal. Sel
GABA-ergik pada globus pallidus eksternal menghambat sel di nukleus
subthalamikus, sehingga penurunan aktivitas pada globus pallidus eksternal
menghasilkan inhibisi yang kurang dari sel dalam nukleus subthalamikus.
Nukleus subthalamikus mengalami dis-inhibisi dan aktivitasnya meningkat.
Kembalinya proyeksi dari nukleus subthalamikus menghasilkan eksitasi yang
lebih banyak pada sel di globus pallidus internal. Sehingga hasil akhir dari
indirect pathway yaitu peningkatan aktivitas sel GABA-ergik di globus pallidus
internal yang memproyeksi ke VA/VL atau peningkatan inhibisi dari neuron
thalamikus. Indirect pathway menghambat thalamus motorik dan korteks motorik,
dan pada akhirnya mengurangi aktivitas motorik (Wichmann T & De Long MR,
2009).
Dopamin diproduksi oleh sel di pars compacta substansia nigra. Terminal
akson nigrostriatal menghasilkan dopamin kedalam striatum. Dopamin memiliki
efek eksitatorik terhadap psel dalam striatum yang merupakan bagian dari direct
pathway melalui reseptor D1. Dopamin memiliki efek inhibitorik terhadap sel
striatal yang berhubungan dengan indirect pathway melalui reseptor D2. Sehingga
dapat dikatakan bahwa direct pathway (yang mengaktifkan aktivitas motorik)
dieksitasi oleh dopamin sementara indirect pathway (yang mengurangi aktivitas
motorik) mengalami inhibisi. Kedua efek ini mengarah pada peningkatan aktivitas
motorik (Wichmann T & DeLong MR, 2009).

Terdapat populasi neuron kolinergik (ACh) dalam striatum dimana


aksonnya tidak meninggalkan striatum (disebut interneurons atau neuron sirkuit
lokal). Sinaps interneuron kolinergik ini pada neuron striatal GABA-ergik, yang
berproyeksi ke globus pallidus internal dan neuron striatal yang berproyeksi ke
globus pallidus eksternal. Kolinergik beraksi menghambat sel striatal dari direct
pathway dan mengeksitasi sel striatal indirect pathway. Sehingga efek asetilkolin
(ACh) berlawanan dengan efek dopamin pada direct dan indirect pathways,
sehingga efek ACh pada aktivitas motorik merupakan lawan dari dopamin. ACh
menginhibisi direct pathway dan mengeksitasi indirect pathway. Efek interneuron
striatal kolinergik yaitu menurunkan aktifitas motorik (Wichmann T & DeLong
MR, 2009).
B. Cerebellum
Cerebellum merupakan organ sentral untuk kontrol motorik halus. Organ
ini memproses sejumlah informasi dari jaras sensorik maupun motorik, dan
memodulasi aktivitas area nuclear motorik di otak dan medulla spinalis.
Cerebellum tersusun dari dua hemisfer dan vermis. Permukaan superior
cerebellum diselubungi oleh tentarium serebeli, lipatan ganda duramater yang
memisahkan cerebellum dari serebrum. Permukaan cerebellum terdiri dari folia
(lekukan yang berjalan horizontal) yang dipisahkan oleh fissura. Bagian yang
menghubungan kedua hemisfer pada bagia sentral disebut vermis (Baehr M & M.
Frotscher, 2012).

Gambar 3. Cerebellum superior


Pada bagian inferior struktur cerebellum terdapat ventrikel IV yang
terletak diantara pedunkuli serebelares. Ventrikel IV terhubung dengan rongga
subarachnoid melalui aperture mediana (foramen magendie) dan dua aperture
lateralis (foramen luschka). Pada daerah kaudal pedunkulus serebri inferior dan
medius, pada masing-masing sisinya terdapat struktur yang disebut flokulus yang
dihubungan melalui nodulus, struktur ini membentuk lobus flokulonodularis.

Gambar 4. Cerebellum tampak inferior

Gambar 5. Cerebellum potongan sagital

Cerebellum terhubung dengan medulla oblongata melalui tiga pedunculus


serebeli. Struktur lapisan serebellum terdiri dari korteks serebeli dan substansia
alba dimana terdapat nuclei serebeli profundi (Baehr M & M. Frotscher, 2012).
1. Korteks serebeli
Korteks serebeli terutama berperan untuk integrasi dan pemrosesan impuls
aferen yang akan berproyeksi ke nuclei serebeli profundi yang kemudia
mengeluarkan sebagian beasar serabut eferen yang meninggalkan cerebellum.
Korteks serebeli tersusun atas tiga lapisan yaitu stratum molekulare, stratum
ganglionare, dan stratum granulosum. Stratum molekulare mayoritas terdiri
dari akson sel granular dan dendrit serabut purkinje, beberapa neuron yang
ditemukan diantara serabut tersebut (sel stelata, sel basket, dan sel golgi)
berfungsi sebagai interneuron inhibitorik. Stratum ganglionare terdiri dari
badan-badan sel purkinje yang besar. Stratum granulosum hampir seluruhnya
terdiri dari badan sel granular kecil yang sebagian besar berasal dari seluruh
neuron cerebellum yang bersifat glutamatergik dan merupakan satu-satunya
neuron korteks serebeli yang memiliki pengaruh eksitatorik pada sel
targetnya.

Gambar 6. lapisan korteks serebeli


Input aferen korteks serebeli salah satunya berasal dari nuclei pontis
kontralatelar yang secara tidak langsung terhubung dengan korteks sereberi
kontralatelar yang merupakan organ sentral pada sistem motorik serta
kompleks nuclear olivaris kontralateral di medulla (oliva). Serabut-serabut
oliva disebut dengan climbing fibers yang berakhir di sel purkinje korteks
serebeli, serabut lainnya mossy fibers akan berlanjut ke sel-sel granular
korteks serebeli yang kemudian akan menghantarkan impuls ke sepanjang
akson dan dendrit sel purkinje. Keduanya akan membentuk kolateral menuju
nuclei serebeli profundi dalam perjalanannya ke korteks.

Gambar 7. Skema hubungan neuronal cerebellum

2. Nuclei serebeli
Terdapat 4 nuclei profundi didalam masing-masing hemisfer serebeli:
a.

Nukleus fastigii
Terletak paling medial, superior ventrikel IV. Sebagian serabut aferen
berasal dari sel purkinje lobus flokulonodularis (vestibulocerebellum).
Serabut eferen berjalan ke nuclei vestibulares atau menyilang ke sisi
cerebellum kontralateral dan berlanjut ke formation reticularis dan
nuclei vestibularis.

b.

Nukleus globosus dan Nukleus emboliformis


Terletak di lateral nucleus fastigii, menerima serabut aferen dari

korteks zona paravermian dan vermis (spinocerebellum) dan


mengirimkan serabut eferen ke nucleus ruber kontralateral.
c.

Nukleus dentatus
Terletak di lateral substansia alba pada masing-masing hemisfer. Input
aferen berasal dari korteks serebeli dan sebagian kecil korteks zona
paravermian. Eferen berjalan melalui pedunkulus serebelaris superior
ke nucleus ruber kontralateral dan thalamus. Thalamus merupakan
tempat relay sinaptik dengan proyeksi ke area motorik korteks serebri.

Secara fungsional cerebellum terbagi menjadi tiga komponen yaitu


vestibulocerebellum, spinocerebellum, dan serebrocerebellum. Serebrocerebellum
memiliki hubungan fungsional dengan korteks motorik telensefalon dan berperan
untuk gerak motorik halus.Serebrocerebellum memiliki hubungan yang kompleks
sehingga memungkinkan struktur ini untuk meregulasi semua gerakan secara
halus dan terarah. Melalui jaras spinosereberalis aferen yang menghantarkan
impuls dengan cepat, serebrocerebellum secara terus-menerus mendapatkan
informasi terbaru mengenai aktivitas motorik di perifer. Dengan demikian ia dapat
memperbaiki kesalahan dalam gerakan volunteer untuk memastikan gerakan
dilakukan secara halus dan terarah (Baehr M & M. Frotscher, 2012).
Pola pengekskusian berbagai macam gerakan tersimpan dalam cerebellum
sehingga apabila suatu individu telah mencapai tahap perkembangan tertentu,
individu dapat melakukan suatu gerakan sulit yang telah dipelajari relatif lebih
mudah (Baehr M & M. Frotscher, 2012).

II.

GANGGUAN PADA KOORDINASI GERAK

Secara hirarki pusat tertinggi untuk kontrol pergerakan adalah korteks


serebri, yang sinyalnya ditransmisikan oleh jaras piramidalis ke nuklei nervi
kranialis motorii dan ke sel-sel kornu anterior medula spinalis (sistem
piramidalis). semua struktur lain yang berperan pada pergerakkan dikelompokkan
ke struktur lain yang disebut sistem ekstrapiramidalis atau yang lebih dikenal
dengan struktur ganglia basalia. Nuklei utama ganglia basalia adalah nukleus
kaudatus, putamen dan globus pallidus. Nuklei tersebut memberikan efek
inhibitorik dan eksitatorik pada korteks mototrik. struktur ini berperan penting
pada inisiasi dan modulasi pergerakan serta kontrol tonus otot, serta mensupresi
simultan pengaruh involuntar atau tidak diinginkan yang dapat menganggu
gerakan halus dan efektif. Lesi pada ganglia basalia dapat menimbulkan gangguan
pergerakan kompleks dan berbagai gangguan kognitif tergantung lokasi dan
luasnya (Baehr dan Frotscher, 2010).
Gangguan tangkas volunteer dapat terganggu apabila terdapat kelumpuhan
yang sangat ringan sekalipun, baik kelumpuhan neurogenic maupun miogenik.
Tetapi gerakan tangkas volunter dapat juga terganggu tanpa adanya kelumpuhan.
Dalam hal ini faktor penyebabnya ialah gangguan di ganglia basalia dan
cerebellum. Gambaran penyakitnya dikenal sebagai sindrom ganglia basalia atau
sindrom ekstrapiramidal dan sindrom serebelar (Mardjono&Sidharta, 2012).
Kondisi yang dapat menyebabkan kerusakan atau lesi pada ganglia basalia
diantaranya adalah keracunan karbon monoksida, overdosis obat, cedera kepala,
infeksi, penyakit hepar, gangguan metabolik, multipel sklerosis, keracunan Cu,
tembaga atau logam berat lainnya, efek samping obat, stroke, dan tumor
(Jankovic et al, 2012).

A. Sindrom ganglia basalia atau sindrom ekstrapiramidalis


Ganglia basalia merupakan suatu sistem untuk mengubah output
motorik. Ganglia basalia menerima input dari daerah-daerah motorik kortikal
dan output nya ditujukan kembali kepada daerah-daerah motorik kortikal
melalui thalamus. Pada ganglia basalia terdapat berbagai neurotransmitter,
diantaranya asetilkolin, dopamin, GABA dan serotonin. Selain itu juga
terdapat banyak neurotransmitter lain seperti substansi P, enkepalin,
kolisistokinin, dan stomatostatin yang berfungsi sebagai modulator, yaitu
mempermudah atau menghambat efek berbagai neurotransmitter di atas
(Mardjono&Sidharta, 2012).
Korpus striatum sebagai salah satu struktur yang terdapat di ganglia
basalia yang terdiri dari neuron-neuron dopaminergik dan sebagian yang
kolinergik. Diantara kedua komponen tersebut terdapat keseimbangan yang
dinamik. Menurunnya jumlah dopamin dan zat metabolismenya di substansia
nigra berkolerasi secara relevan dengan derajat kemusnahan neuron di
substansia

nigra,

yang

menyebabkan

penurunan

gerakan

voluntary

(hipokinesia), tonus otot yang terus meningkat dan tegang (rigiditas) dan
gerakan osilasi pada frekuensi 4-6 Hz pada ekstremitas (Baehr dan Frotscher,
2010).
Semua gangguan motorik pada sindrom ganglia basalia atau sindrom
ekstramidalis, terdiri atas 2 bagian, yakni defisit fungsional primer yang
merupakan symptom negative dan efek sekunder, yaitu symptom positif.
Akinesia dan hilangnya reflex postural adalah symptom negative. Sebaliknya
simptom positif adalah manifestasi dari bagian yang tidak rusak sehingga
masih berfungsi, tetapi fungsinya menjadi abnormal. Simptom ini juga
dikenal dengan istilah simptom release, yang terdiri dari tremor, rigiditas, dan
berbagai macam gerakan involunter (korea, atetosis, dan dystonia)
(Mardjono&Sidharta, 2012).
1. Hipokinesia dan Bradikinesia

Hipokinesia dan bradikinesia merupakan istilah yang ditujukan untuk


menggambarkan keengganan pasien untuk menggunakan anggota gerak
yang terkena penyakit ganglia basalia secara bebas. Hal ini berbeda
dengan yang terjadi pada paralisis (kelumpuhan), pada hipokonesia dan
bradikinesia kekuatan otot masih utuh.
Hipokinesia dapat diartikan sebagai tuna gerak, walaupun anggota
geraknya tidak lumpuh. Pasien dengan hipokinesia memiliki kebiasaan
untuk menopang kepala atau berdekap tangan. Bila hendak menengok ke
samping hanya kedua matanya saja yang melirik tapi kepalanya tidak
bergerak. Bahkan memejamkan matapun jarang dan air liur yang
tertimbun di dalam mulutnya malas untuk ditelan sehingga mengalir
keluar dari mulut. Roman wajahnya seperti topeng karena tidak ada gerak
otot fasial sedikitpun.
Bradikinesia lebih

bermakna

sebagai

keterlambatan

gerak.

Manifestasi ini juga merupakan defisit fungsional primer. Keterlambatan


gerak tersebut berarti cara melakukan gerakan itu lambat, dan waktu
antara perintah untuk bergerak dan pelaksanaannya itu lama juga
(Mardjono&Sidharta, 2012).
2. Kelainan tonus otot
Tonus otot yang meningkat atau hipertonia melawan dengan jelas
gerakan fleksi dan ekstensi secara pasif. Hypertonia itu dijumpai pada
kelumpuhan akibat lesi yang merusak jaras kortikospinal. Hypertonia
yang mencirikan sindrom ekstrapiramidalis berbeda dengan spastisitas
ynag

terjadi

pada

kelumpuhan

motoric,

karena

pada

sindrom

ekstrapiramidalis hypertonia bersifat sinambung atau hilang timbul,


karena itu dinamakan rigiditas. Bilamana rigiditas muncul secara terusmenerus disebut lead pipe rigidity, jika rigiditas itu hilang timbul, maka
disebut cogwheel rigidity (Mardjono&Sidharta, 2012).
Pada penyakit ganglia basalia semua otot lurik, baik ekstensor maupun
fleksor memperlihatkan rigiditas. Namun ada kecenderungan bahwa otototot fleksor lebih rigid, terutama otot-otot fleksor dari toraks dan anggota
gerak. Tidak hanya otot lurik skeletal, akan tetapi otot wajah, lidah dan

laring juga kebagian rigiditas sehingga wajah memperlihatkan roman


topeng,

artikulasi

memburuk,

dan

suara

menjadi

kecil.

(Mardjono&Sidharta, 2012).
3. Gerak involunter
Gerakan involunter yang dijumpai dalam klinik adalah korea, balisme,
atetosis, dan dystonia. Dalam kombinasi keemat gerakan involuter inin
dapat menjadi symptom suatu penyakit. Bahkan beberapa komponen
gerakannya memperlihatkan kesamaan, oleh sebab itu mungkin keempat
gerakan ini memiliki struktur anatomi dan fisiologik yang sama
(Mardjono&Sidharta, 2012).
a. Korea
Korea adalah istilah untuk gerakan involunter yang menyerupai
gerakan tangan-lengan seorang penari, yang tidak berirama, sifatnya
kuat, cepat dan tersentak-sentak dan arah geraknya cepat berubah.
Gerakan koreatik pada tangan atau lengan yang sedang melakukan
gerakan voluntar membuat gerakan voluntar tersebut berlebihan dan
canggung. Gerakan koreatik ini sering disertai gerakan meringis-ringis
pada wajah dan suara menggeram atau suara-suara lain yang tidak
mengandung arti. Jika gerakan koreatik timbulnya jarang atau sekalisekali, maka sifat seperti diatas terlihat dengan jelas. Tetapi apabila
timbulnya sering, maka gerakan koreatiknya menyerupai atetosis. Korea
dapat bangkit juga secara iatrogenik yakni akibat penggunaan obat-obat
anti psikosis, seperti haloperidol dan phenothiazine. Korea dapat
melibatkan sesisi tubuh saja, disebut hemikorea (Mardjono&Sidharta,
2012).
b. Balismus
Bila korea muncul secara keras sehingga seperti membanting diri,
maka istilahnya ialah balismus. Secara pasti telah diketahui bahwa
kerusakan di nucleus substalamikus mendasari terjadinya balismus.
Kerusakan

ini

menimbulkan

gerakan

menyentak/melempar

beramplitudo besar pada ekstremitas yang dimulai dari sendi


proksimal. pada sebagian besar kasus gangguan ini hanya terjadi satu

sisi saja yang disebut hemibalismus dan kontralateral terhadap lesi


(Baehr dan Frotscher, 2010).
c. Atetosis
Atetosis berasal dari kata Yunani yang berarti tidak mantap atau
berubah-ubah dan digunakan untuk kondisi motorik yang tidak
dapat diam sejenak. Gerakan tersebut dapat mengubah posisi yang
bersifat lambat, melilit-lilit dan tidak bertujuan. Gerakan atetotik
lebih lambat dibandingkan gerakan koreatik. Gerakan atetotik yang
lebih cepat atau gerakan koreatik yang lebih lambat atau kurang
cepat, yang menyerupai satu sama lain dikenal sebagai gerakan
koreoatetosis. Pada umumnya, gerakan atetotik sering terjadi pada
jari-jari tangan, lengan, otot-otot wajah, lidah dan laring. Pola
gerakan dasarnya adalah gerakan involuntar ekstensipronasi yang
berselingan dengan gerakan fleksi-supinasi lengan, serta gerakan
involuntary flexi yang berselingan dengan ekstensi jari-jari tangan
dan dengan ibu jari yang berflexi dan beraduksi di dalam kepalan
tangan. Pola gerakan kaki terdiri atas eversi inversi kaki, mengetatkan
dan memoncongkan mulut, memutarkan leher dan meringis-ringiskan
wajah. Jika atetosis terjadi pada sesisi tubuh saja, maka disebut
hemiatetosis (Mardjono&Sidharta, 2012).
d. Distonia
Distonia yang dikenal juga sebagai torsi spasme adalah suatu
sikap menetap dari salah satu bentuk gerakan atetotik yang hebat
sekali. Distonia merupakan kontraksi otot involunter berdurasi lama
yang menimbulkan gerakan aneh dan postur ekstremitas yang
bengkok. Seperti jenis pergerakan lain yang disebabkan oleh lesi di
ganglia basalia, distonia memburuk dengan konsentrasi mental atau
stress emosional dan membaik saat tidur. pada interval ketika distonia
tidak timbul, tonus otot pada pergerakan pasif ektremitas yang
terkena cenderung menurun. Ada beberapa variasi distonia. Distonia
yang berbatas pada satu kelompok otot disebut distonia fokal,

contohnya meliputi blefarospasme, penutupan mata involunter secara


paksa akibat kontraksi muskulus orbicularis okuli, dan tortikolis
spasmodik yaitu leher terputar distonik. Distonia generalisata yang
terdiri dari berbagai tipe mengenai seluruh kelompok otot tubuh
dengan derajat bervariasi. Pasien dengan distonia generalisata paling
sering terganggu oleh disartria dan disfagia yang berat (Baehr dan
Frotscher, 2010).
B. Sindrom serebelar
Cerebellum mengatur soal regulasi atau pengelolaan tonus otot,
koordinasi gerakan dan pengelolaan sikap berjalan. Diskoordinasi muskular
mencerminkan banyak jenis disfungsi serebelar. Tanda dan gejala yang
menyertai disfungsi cerebellum jarang ditemukan dalam bentuk murni, karena
jarang hanya salah satu komponen fungsional cerebellum yang terkena secara
tersendiri dan karena proses perluasan yang berjalan dengan lambat (seperti
pada tumor jinak). Lesi pada serebrocerebellum tidak menimbulkan paralisis,
tetapi menimbulkan kerusakan berat pada eksekusi gerakan volunte.
Manifestasi klinis selalu ipsilateral terhadap lesi penyebabnya. Ada yang
dinamakan asinergia, dismetria dan lain-lain (Baehr dan Frotscher, 2010).
Lesi pada serebrocerebelum menimbulkan dekomposisi gerakan
volunter, yaitu gerakan ekstremitas yang tidak terkoordinasi dengan dismetria,
disinergia, disdiadokokinesis dan tremor saat melalukan gerakan voluntar
(intention tremor). Abnormalitas ini lebih terlihat pada ekstremitas atas
dibandingkan pada ekstremitas bawah, dan gerakan kompleks terkenan lebih
berat dibandingkan gerakan sederhana. Dismetria, yaitu ketidakmampuan
untuk menghentikan gerakan terarah tepat pada waktunya atau kecepatan
untuk memulai dan menghentikan gerakan yang terganggu. Dalam hal ini,
jangkauan gerakan voluntar dapat terlampau pendek ataupun terlalu jauh,
bermanifestasi misalnya, gerakan jari melewati lokasi target (past pointing:
overshoot; hypermetria). Disinergia adalah hilangnya kerjasama yang tepat
pada beberapa kelompok otot dalam eksekusi gerakan tertentu, dimana

masing-masing otot berkontraksi, tetapi tidak dapat bekerja sama secara tepat.
Pada disinergia terjadi kesimpangsiuran kontraksi otot dalam mewujudkan
suatu corak gerakan. Disdiadokoninesia adalah gangguan gerakan bergantian
secara cepat akibat kerusakn koordinasi ketepatan waktu beberapa kelompok
otot antagonistik. Seperti gerakan supinasi dan pronasi tangan secara cepat
menjadi lambat, terputus-putus dan tidak berirama. Diskoordinasi antara
gerakan otot-otot pernafasan, otot-otot pita suara dan lidah bermanifestasi
pada pengucapan kata-kata dalam kalimat yang tersendat-sendat, kurang jelas
dan banyak kata-kata yang tertelan (Baehr dan Frotscher, 2010).

DAFTAR PUSTAKA
Baehr M, Frotscher M. 2010. Diagnosis Topik Neurologi Duus: Anatomi, Fisiologi,
Tanda, Gejala. Jakarta: EGC
Hening W, Harrington DL, Poizner H. 2009. Motor Functions of the Basal Ganglia.
New York: Springer Publishing
Herrero MT, Barcia C, Navarro JM, 2012. Functional Anatomy of Thalamus and
Basal Ganglia. Journal Childs Nervous System. No 18:3869
Jankovic J. Movement Disorders. Dalam: Darrof R B, Fenichel G M, Jankovic J, et
al. 2012. Bradleys Neurology in Clinical Practice. Edisi ke 6. Philadelphia:
Elsevier Saunders
Mardjono M, Sidharta P. 2012. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: PT Dian Rakyat
Melillo R & Leisman G. 2009. Neurobehavioral Disorders of Childhood: An
Evolutionary Perspective. New York: NY Springer Science
Waxman SG. 2013. Clinical Neuroanatomy, 27th ed. New York: McGraw-Hill
Wichmann T & DeLong MR. 2009. Neurotransmitters and Disorders of the Basal
Ganglia. USA: Elsevier Inc

You might also like