You are on page 1of 30

I.

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Eritroderma merupakan penyakit kulit yang pertama kali diidentifikasi
oleh Von Hebra pada tahun 1868. Penyakit ini disebut juga dermatitis
eksfoliativa, ditandai dengan ruam kemerahan dan skuama pada kulit yang
mengenai lebih dari 90% permukaan tubuh. Eritroderma merupakan gangguan
peradangan yang menyebabkan dismetabolisme pada kulit dan dapat
menyebabkan kematian.
Eritroderma dapat bersifat fatal meskipun sudah diterapi dengan
benar. Hal ini disebabkan karena komplikasi dan beban metabolisme yang
terjadi. Sehingga, penemuan etiopatologi berpengaruh besar pada keberhasilan
pengobatan. Penyakit ini dapat merupakan suatu manifestasi morfologis dari
penyakit kutaneus maupun sistemik, erupsi obat, dan dapat pula merupakan
manifestasi berat dari paparan sinar ultraviolet.
Eritroderma tidak spesifik mengenai suatu ras tertentu, namun, insidensi
tertinggi penyakit ini mengenai negara-negara miskin dan berkembang.
Berdasarkan studi, eritroderma lebih sering terjadi pada laki-laki dibanding
perempuan dengan rasio 2:1 hingga 4:1. Penyakit ini juga umumnya terjadi
pada rentang usia 40-60 tahun.
B. Tujuan
1. Menjelaskan definisi dan penegakan diagnosis eritroderma.
2. Menjelaskan patogenesis mengenai mekanisme terjadinya eritroderma.
3. Menjelaskan tentang manajemen dan tatalaksana eritroderma.

II. STATUS PASIEN


A. Identitas Pasien
1. Nama
2. Jenis Kelamin
3. Usia
4. No. CM
5. Pendidikan
6. Alamat
7. Tgl Masuk RS

: Ny. N
: Perempuan
: 25 tahun
: 257501
: SMP
: Limbangan 6/1 Wanareja
: 23 Agustus 2016

B. Anamnesis
1. Metode
: Autoanamnesis dan alloanamnesis dengan suami pasien
2. Waktu
: 23 Agustus 2016, pukul 20.00 WIB
3. Keluhan Utama
Kulit mengelupas di seluruh tubuh sejak 1 hari yang lalu
4. Keluhan Tambahan
Kulit kemerahan terasa gatal, kering, nyeri, kaki dan tangan sulit
digerakkan. Lemas dan dada berdebar-debar.
5. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke IGD RSMS tanpa rujukan dengan keluhan kulit
mengelupas di seluruh anggota tubuh sejak 1 hari yang lalu. Menurut
pasien, keluhan semakin berat dan meluas. Keluhan ini membuat pasien
tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari. Selain itu, pasien
merasakan kulit seluruh tubuh, gatal, kering, kaki dan tangan sulit
digerakkan. Selain itu pasien juga mengeluhkan lemas dan dada
berdebar-debar. Keluhan ini diawali dari kulit yang kemerahan, lalu
teraba kasar seperti sisik, lalu mengelupas sebagian. Pasien mengalami
keluhan yg sama 3 kali selama 2 bulan terakhir dengan interval 2-3
minggu. Pasien sebelumnya sudah pernah di rawat di RSUD Banjar
Patroman dengan keluhan yang sama, dirawat inap dan kemudian
membaik dan diperbolehkan pulang, namun 3 hari setelah itu pasien
kembali merasa kemerahan, dan gatal di seluruh tubuh dan kulitnya
kembali memerah.
6. Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien sudah pernah mengalami keluhan serupa sejak 2 bulan
yang lalu sebanyak 3 kali. Sebelumnnya, keluhan sama belum pernah
dialami. Pasien menjalani operasi apendisitis di RSUD Banjar 3 bulan

yang lalu dan suntik KB di dokter keluarga 3 hari sebelum keluhan


timbul. Pasien diketahui alergi obat di RSUD Banjar, karena
menyatakan pernah timbul bintik-bintik dan gatal saat di tes obat.
Namun, pasien tidak di edukasi jenis atau golongan obatnya. Pasien
mengaku sering berketombe. Tidak ada riwayat penyakit kulit lain
sebelumnya. Dermatitis atopik, rhinitis alergi, asma bronkial, diabetes
melitus, hipertensi, dan penyakit jantung pada pasien disangkal.
7. Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada yang menderita penyakit dengan keluhan yang sama
dengan pasien. Tidak ada riwayat dermatitis atopik, rhinitis alergi, asma
bronkial, diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit jantung pada
keluarga pasien.
C. Status Generalis
Keadaaan umum

: Baik

Kesadaran

: Compos mentis

Keadaan gizi

: Baik, BB: 65 kg, TB: 155 cm, IMT : 27.05


(overweight)

Vital Sign

: Tekanan Darah

: 140/80 mmHg

Nadi

: 160 x/menit

Pernafasan

: 22 x/menit

Suhu

: 37 oC

Kepala

: Mesocephal, rambut hitam, distribusi merata

Mata

: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

Hidung

: Simetris, deviasi septum (-), sekret (-)

Telinga

: Bentuk daun telinga normal, sekret (-)

Mulut

: Mukosa bibir dan mulut lembab, sianosis (-)

Tenggorokan

: T1 T1 tenang , tidak hiperemis

Leher

: KGB (-), bull neck (-)

Thorax

: Simetris, retraksi (-)


Jantung : S I II reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru

Abdomen

: SD vesikuler, ronki (-/-), wheezing (-/-)

: Supel, datar, BU (+) normal

KGB
:
tidak teraba
pembesaran.
Ekstremitas
:
Akral
hangat, edema +/+/+/+, sianosis (

D. Status Dermatologi
Lokasi

: Generalisata
Effloresensi :

Makula

eritematosa
dengan
krusta, erosi,
ekskoriasi,
dan skuama
kasar
generalisata

Gambar
Regio

2.1
Fasial

Efloresensi
(Sumber:

Dokumentasi Pribadi).

Gambar Gambar 2.2 Efloresensi Pada Ekstermitas Superior (Sumber:


Dokumentasi Pribadi).

Gambar 2.3 Efloresensi Pada Regio Abdomen (Sumber: Dokumentasi Pribadi).


E. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium pada 23 Agustus 2016 (Hematologi)
a. Hemoglobin 12.9 g/dl
b. Leukosit 20620 u/l
c. Hematokrit 39 %
d. Eritrosit 4.7 juta
e. Trombosit 284000/Ul
f. Hitung Jenis Leukosit 0.2/5.6/0.7/78.7/10.7/3.1
g. SGPT 13 U/L
h. SGOT 20U/L
i. Ureum 21.1 mg/dl
j. Creatinin 0.5 mg/dl
k. GDS 94 g/dl
2. Pemeriksaan Laboratorium 25 Agustus 2016
a. Albumin 2.66 g/dl
F. Diagnosa Kerja
Eritroderma
G. Diagnosis Banding
1. Dermatitis Kontak Iritan
Predileksi: tungkai bawah, lengan bawah, badan dan punggung
tangan.
UKK: eritema, edema, vesikel, bulla, pustula, sampai dengan nekrosis
dan ulkus. Fase subakut dan kronik: hiperkeratosis, fisura, lesi
berbatas tegas (sirkumskripta) pada area pajanan.
2. Dermatitis Kontak Alergika
Predileksi: hampir di semua bagian tubuh kecuali scalp, telapak
tangan, dan telapak kaki.
UKK:

Pada

tipe

akut:

bercak

eritematosa

yang

berbatas

tegas

(sirkumskripta), kemudian diikuti oleh edema, papulovesikel, vesikel,


atau bula. Vesikel atau bula yang pecah dapat pecah kemudian
menimbulkan erosi dan eksudasi (basah). DKA di tempat tertentu
misalnya di kelopak mata, penis, dan skrotum, gejala eritema dan
edema lebih dominan daripada vesikel.
Pada tipe kronik: kulit terlihat kering, berskuama (bersisik), papul,
likenifikasi, mungkin juga fissura, dan berbatas tidak tegas.
3. Dermatitis Atopik
Predileksi: muka, kepala, tengkuk, lipat siku, pergelangan tangan, fosa
poplitea
UKK: edema, vesikel/bula, dapat disertai ekskoriasi. Pada keadaan
kronik dapat terjadi penebalan kulit/ likenifikasi dan hiperpigmentasi.
4. Liken Planus
Predileksi: permukaan fleksor pergelangan tangan, batang tubuh, kaki,
glans penis, medial paha, selaput lendir dan vagina.
UKK : lesi yang khas berupa papula kecil, datar, poligonal permukaan
mengkilap, warna keunguan, berangulasi dengan anyaman garis
keabu-abuan (wickhams striae) pada permukaannya. Di atasnya
terdapat skuama halus.
5. Psoriasis
Predileksi: scalp. Tengkuk,

interskapula,

lumbosakral,

bagian

ekstensor lutut dan siku, areola, mamaer, lipatan mamae, umbilicus,


punggung kaki dekat pergelangan
UKK: makula eritematosa yang merata berbatas tegas dengan skuama
tebal diatasnya. Skuama kasar berlapis-lapis, warna putih transparan,
bentuk bulat atau lonjong, ukuran bervariasi.
H. Pemeriksaan Anjuran
Tidak diperlukan pemeriksaan anjuran untuk pasien.
I. Penatalaksanaan
1. Non Medikamentosa
a. Pasang Akses intravena (IVFD)

b. Kompres NaCl 0,9 % 2 kali sehari terutama pada bagian kulit yang
masih kasar dan kaku
2. Medikamentosa
a. Sistemik:
1) IVFD RL 20 tpm
2) Methylprednisolone 2x125mg IV
3) Inj. Gentamicin 3x1 Amp
4) Inj. Difenhidramin 2x1 Amp
5) Inj. Ranitidin 2x50 mg IV
b. Topikal:
1) Krim (Desoximetason + Asam Salisilat 3% + Soft U Derm +
Vaselin Album) mf cream da in pot, 2 x oles pagi dan malam.
Edukasi :
a. Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya.
b. Mencegah garukan dan gosokan pada daerah yang gatal
c. Istirahat yang cukup
d. Hindari stres psikologis
e. Menjaga kebersihan kulit dengan mandi
a. Diet tinggi protein
J. Prognosis
Quo ad vitam

: dubia ad bonam

Quo ad kosmeticam

: dubia ad bonam

Quo ad sanationam

: dubia ad bonam

III. TINJAUAN PUSTAKA


A. Definisi
Eritroderma atau disebut juga dermatitis eksfoliativa ialah penyakit kulit
yang ditandai dengan eritema luas di permukaan tubuh, biasanya disertai skuama.
Eritroderma dapat mengenai seluruh atau hampir seluruh permukaan tubuh
dengan keterlibatan kulit minimal 90% (Okoduwa et al., 2009).
B. Epidemiologi
Eritroderma banyak mengenai lansia di negara miskin dan berkembang.
Insidensi penyakit ini paling banyak terjadi pada rentang usia 40 hingga 60 tahun,
dan tidak spesifik mengenai ras tertentu. Penyakit ini lebih sering mengenai pria
disbanding wanita dengan rasio 2:1 hingga 4:1. Di Indonesia sendiri, insidensi
eritroderma sangat bervariasi, berdasarkan studi, 0,9-70 dari 100.000 populasi
terjangkit eritroderma. Etiologi eritroderma sangat bervariasi, namun di Indonesia
etiologi tersering dari eritroderma ialah psoriasis. Psoriasis mendasari lebih dari
seperempat kasus eritroderma. Didapatkan laporan bahwa terdapat 87 dari 160
kasus adalah psoriasis berat (Okoduwa et al., 2009).
Anak-anak dapat menderita eritroderma diakibatkan alergi terhadap obat.
Alergi terhadap obat bisa terjadi karena pengobatan yang dilakukan sendiri
ataupun penggunaan obat secara tradisional (Okoduwa et al., 2009).
C. Etiologi

Penyebab eritroderma dapat dibagi menjadi beberapa golongan, yaitu


(Okoduwa et al., 2009; Siregar, 2005):
1. Akibat alergi obat secara sistemik
2. Akibat perluasan penyakit kulit, seperti psoriasis, ptiriasis rubra pilaris,
pemphigus foliaseus, dermatitis atopik, dan liken planus.
3. Akibat penyakit sistemik termasuk keganasan.
4. Manifestasi berat paparan sinar ultraviolet.

D. Patogenesis
Patogenesis eritroderma sendiri masih belum jelas. Saat ini diyakini
bahwa kondisi tersebut merupakan kejadian sekunder atas sebuah interaksi
intricate antara sitokin dan intra celllular adhesion molecul-1 (ICAM1) dan
Tumor Necrosis Factor (TNF). Interaksi tersebut menghasilkan peningkatan
signifikan pada epidermal turn over rate dan meningkatkan kecepatan mitotik
yang lebih tinggi dari normal dan peningkatan jumlah absolut dari jumlah sel
germinatif kulit. Lebih lanjut, waktu yang dibutuhkan sel untuk matur dan
berpindah melalui epidermis menurun, dan bermanifestasi sebagai peningkatan
kehilangan materi epidermal, bersama dengan kehilangan protein dan folat secara
signifikan. Sebagai kontrasnya, exfoliasi dari epidermis normal jauh lebih kecil
dan mengandung sangat sedikit material viabel yang penting, seperti asam
nukleat, protein terlarut atau asam amino (Seghal dan Sendana, 2004).
Berdasarkan penelitian Abel et al. tentang karakteristik immunofenotipik
eritroderma tipe benign (psoriasis, dermatitis, drug-induced) dan malignant
(sezary

syndrome,

mikosis

fungoides)

ditemukan

mirip.

Penelitian

imunohistokimia oleh Sigurdsson et al. infiltrat dermis pada pasien dengan Sezary
syndrome secara umum menunjukkan profil Th2 sitokin, sementara pada benign
reactive erythroderma menunjukkan profil Th1 sitokin, mengindikasikan
walaupun secara klinis mirip, tapi mereka memiliki dasar mekanisme patogenik
yang berbeda (Seghal dan Sendana, 2004).
Menurut Yuri et al. (2015), patogenesis molekuler masih belum jelas.
Namun terdapat beberapa perubahan kunci yang tercatat (Tabel 1.1). Tabel
tersebut menunjukkan perubahan biokimia yang terekam pada sampel histologis
pasien dengan eritroderma. Perlu dicatat bahwa perubahan histologis penyakit ini
relatif tidak spesifik dan berguna -pada saat ini- untuk membuat diagnosis
eritroderma. Namun, pemeriksaan tersebut mungkin berguna mendiagnosis
penyebab dermatosis jika terdapat salah satu gejala khas yang muncul. Karena
ketiadaan bukti efektivitas sebagai marker diagnosis dan prognostik saat ini,
penggunaan marker biokimia tersebut sebagai salah satu manajemen eritroderma
tidak direkomendasikan.

10

Mekanisme molekuler yang berperan dalam patogenesis eritroderma,


antara lain (Yuri et al., 2015):
Marker

Mekanisme kerja

Temuan yang berhubungan

VCAM 1, ICAM 1, Selectin Adhesi seluler

dengan klinis dan prognosis


Peningkatan
ekspresi,

P dan E

menyebabkan
inflamasi

Th 1
Interleukin 1,2,8

Rx hipersensitivitas tipe 4
Sitokin inflamasi

peningkatan

epidermal

dermal
Peningkatan inflamasi dermal
Peningkatan mitosis dan
turnover epidermal

E. Diagnosis
Diagnosis eritroderma tidak mudah ditegakkan dan harus melihat dari
tanda dan gejala yang sudah ada sebelumnya, seperti: warna hitam-kemerahan di
psoriasis dan kuningkemerahan di pilaris rubra pityriasis; perubahan kuku khas
psoriasis; likenifikasi, erosi, dan ekskoriasi pada dermatitis atopik dan eksema;
menyebar, relatif hiperkeratosis tanpa skuama, dan pityriasis rubra; ditandai
bercak kulit dalam eritroderma di pilaris rubra pityriasis; hiperkeratotik skala
besar kulit kepala, biasanya tanpa rambut rontok di psoriasis dan dengan rambut
rontok di CTCL dan pityriasis rubra, ektropion mungkin terjadi. Biopsi dapat
dilakukan untuk menegakkan diagnosis.
Pemeriksaan laboratorium darah pada eritroderma didapatkan albumin
serum yang rendah dan peningkatan gammaglobulin, ketidakseimbangan
elektrolit, protein fase akut meningkat, leukositosis, maupun anemia ringan. Pada
kebanyakan

pasien

dengan

eritroderma

histopatologi

dan

dapat

membantu

mengidentifikasi penyebab eritroderma pada sampai dengan 50% kasus, biopsi


kulit dapat menunjukkan gambaran yang bervariasi, tergantung berat dan durasi
proses inflamasi.
Tahap akut pada eritroderma terjadi spongiosis dan parakeratosis
menonjol, terjadi edema. Pada stadium kronis, akantosis dan perpanjangan rete
ridge lebih dominan (Djuanda, 2007)

11

F. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada eritroderma antara lain sebagai berikut (Harahap,
2000; Djuanda, 2007; Bruno, 2009; Okudawa et al., 2009; Yuan, 2010; Umar,
2012):

Gambar 3.1 Kelainan kulit pada eritroderma (Vanessa, 2010).


1. Eritroderma akibat alergi obat biasanya secara sistemik
Adanya riwayat penggunaan obat sebelum muncul gejala klinis perlu
dikaji ulang untuk menkonfirmasi penyebab terjadinya eritroderma akibat
obat.Pada umumnya alergi ini timbul secara akut dalam waktu 10 hari. Dapat
pula bervariasi mulai dari waktu masuknya obat ke dalam tubuh hingga
timbul penyakit dapat segera sampai sampai 2 minggu. Gambaran klinisnya
berupa eritema universal.Pada stadium akut tidak terdapat skuama, pada
stadium penyembuhan baru timbul skuama (Djuanda, 2007).
2. Eritroderma akibat perluasan penyakit kulit
Eritroderma yang sering terjadi ialah akibat psoriasis dan dermatitis
seboroik pada bayi (penyakit Leiner).
a. Eritroderma karena psoriasis (psoriasis eritrodermik)

12

Riwayat psoriasis yang bersifat kronik dan residif dapat menjadi


salah satu penyebab terjadi eritroderma. Kelainan kulit berupa skuama
yang berlapis-lapis dan kasar di atas kulit yang eritematosa, sirkumskripta
(Yuan, 2010).
Umumnya didapati eritema yang tidak merata. Pada tempat
predileksi psoriasis dapat ditemukan kelainan yang lebih eritematosa dan
agak meninggi dari pada disekitarnya dan skuama ditempat itu lebih tebal.
Kuku juga dapat ditemuka pitting nail berupa lekukan miliar, tanda ini
hanya menyokong dan tidak patognomonis untuk psoriasis. Sebagian
penderita tidak menunjukkan kelainan semacam itu, hanya terlihat eritema
yang menyeluruh dan skuama. Pada saat eritrodermanya mengurang, maka
mulailah tampak gejala psoriasis (Djuanda, 2007; Umar, 2012).
Sebagian penderita tidak menunjukkan kelainan semacam itu, jadi
terlihat hanya eritema yang menyeluruh dan skuama. Pada penderita
demikian kami baru mengetahui bahwa penyebabnya psoriasis setelah
diberi terapi dengan kortikosteroid. Pada saat eritrodermanya mengurang,
maka mulailah tampak gejala psoriasis (Umar, 2012).
b. Penyakit Leiner
Penyakit Leiner atau eritroderma deskuamativum ini biasanya
terjadi pada penderita dengan usia antara 4 minggu sampai 20 minggu.
Keadaan umum penderita baik, biasanya tanpa keluhan.Kelainan kulit
berupa eritema universal disertai skuama yang kasar (Djuanda, 2007).
3. Eritroderma akibat penyakit sistemik termasuk keganasan
Berbagai penyakit atau kelainan alat dalam dapat menyebabkan kelainan
kulit berupa eritroderma.Jadi setiap kasus eritroderma yang tidak termasuk
golongan I dan II harus dicari penyebabnya, yang berarti harus diperiksa
secara menyeluruh, apakah ada penyakit pada alat dalam dan harus dicari
pula apakah ada infeksi dalam dan infeksi fokal.Termasuk di dalam golongan
ini ialah sindrome Sezary (Harahap, 2000). Sindrom Sezary merupakan
penyakit yang termasuk limfoma, ada yang berpendapat merupakan stadium
dini mikosis fungoides. Penyebabnya belum diketahui, diduga berhubungan
dengan infeksi virus HTLV-V dan dimasukkan kedalam CTCL (Cutaneous TCell Lymphoma) (Okoduwa, et al., 2009).
Prevalensi yang sering adalah pada orang dewasa, mulainya penyakit
pada pria rata-rata berumur 64 tahun, sedangkan pada wanita 53 tahun.
13

Sindrom ini ditandai dengan eritema berwarna merah membara yang


universal disertai skuama dan rasa sangat gatal. Selain itu terdapat pula
infiltrasi pada kulit dan edema. Pada sepertiga hingga setengah para penderita
didapati splenomegali, limfadenopati superfisial, alopesia, hiperpigmentasi,
hiperkeratosis palmaris dan plantaris, serta kuku yang distrofik (Okoduwa, et
al., 2009).
Pada pemeriksaan laboratorium sebagian besar kasus menunjukkan
leukositosis, 19% dengan eosinofilia dan limfositosis. Selain itu terdapat pula
limfosit atipik yang disebut sel Sezery. Sel ini besarnya 10-20, mempunyai
sifat yang khas, di antaranya intinya homogen, lobular, dan tak teratur. Selain
terdapat dalam darah, sel tersebut juga terdapat dalam kelenjar getah bening
dan kulit.untuk menentukannya memerlukan keahlian khusus. Biopsi pada
kulit juga memberi kelainan yang agak khas, yakni terdapat infiltrat pada
dermis bagian atas dan terdapatnya sel Sezary (Okoduwa, et al., 2009). Pada
stadium akut terjadi erupsi terjadi bercak-bercak atau eritematous yang
menyeluruh disertai gejala panas, rasa tidak enak badan dan kadang-kadang
gejala gastrointestinal. Warna kulit berubah dari merah muda menjadi merah
gelap. Sesudah satu minggu dimulai gejala eksfoliasi (pembentukan skuama)
yang khas dan biasanya dalam bentuk serpihan kulit yang halus yang
meninggalkan kulit yang licin serta berwarna merah dibawahnya. Gejala ini
disertai dengan pembentukan sisik yang baru ketika sisik yang lama terlepas.
Kerontokan rambut dapat menyertai kelainan ini eksaserbasi sering terjadi
(Bruno, 2009).

G. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin, didapatkan penurunan
hemoglobin, peningkatan eosinofil, dan peningkatan leukosit pada infeksi
sekunder. Kadar imunoglobulin dapat meningkat, khususnya IgE. Albumin
serum menurun dan gamaglobulin relatif meningkat. Didapatkan pula
ketidakseimbangan elektrolit karena dehidrasi. Pasien dengan eritrodetma yang
luas dapat ditemukan tandatanda dari ketidakseimbangan nitrogen: edema,

14

hipoalbuminemia, dan hilangnya masa otot.Beberapa penelitian menunjukan


terdapat

perubahan

keseimbangan

nitrogen

danpotasium

ketika

laju

pembentukan skuama mencapai 17 gr/m2 per 24 jam (Margaret, Bernstein, dan


Rothe, 2012).
Pemeriksaan lanjutan untuk mengetahui etiologi eritroderma khususnya
pada golongan III antara lain pemeriksaan laboratorium darah lengkap, foto
thoraks, dan biopsi infiltrat maupun biopsi kelenjar getah bening pada
sindroma Sezary (Jih et al., 2003; Djuanda, 2011).
H. Bentuk Klinis
Gambaran klinis eritroderma beraneka ragam dan bervariasi
tiap

individu.Kelainan yang paling pertama muncul adalah eritema, yang

disebabkan oleh pelebaranpembuluh darah, yang umumnya terjadi pada area


genitalia, ekstremitas, atau kepala.Eritema ini akan meluas sehingga dalam
beberapa hari atau minggu seluruh permukaankulit akan terkena, yang akan
menunjukan gambaran yang disebut red man syndrome(Margaret, Bernstein,
dan Rothe, 2012).
Mula-mula timbul bercak eritema yang dapat meluas ke seluruh tubuh
dalam waktu 12-48 jam. Deskuamasi yang difus dimulai dari daerah lipatan,
kemudian menyeluruh. Dapat juga mengenai membrane mukosa, terutama
yang disebabkan oleh obat. Kulit kepala dapat terlibat, yang akan meluas ke
folikel rambut dan matriks kuku.Kurang lebih 25% dari pasien mengalami
alopesia, dan pada banyak kasus, kuku akan mengalami kerapuhan sebelum
lepas seluruhnya. Telapak tangan dan kaki biasanya ikut terlibat, namun jarang
mengenai membran mukosa. Sering terjadi pula bercak hiper dan
hipopigmentasi. Pada eritroderma kronis, eritema tidak begitu jelas karena
bercampur

dengan

hiperpigmentasi.

Dapat

terjadi

limfadenopati

dan

hepatomegaly (Margaret, Bernstein, dan Rothe, 2012; Champion, 2008).


Skuama timbul setelah 2-6 hari, sering mulai di daerah lipatan.
Skuamanya besar pada keadaan akut, dan kecil pada keadaan kronis. Warnanya
bervariasi dari putih sampai kuning. Kulit merah terang, panas, kering dan

15

kalau diraba tebal. Pasien mengeluh kedinginan.Pengendalian regulasi suhu


tubuh menjadi hilang, sehingga sebagai kompensasi terhadap kehilangan panas
tubuh, sekujur tubuh pasien menggigil untuk dapat menimbulkan panas
metabolik (Harahap, 2008; Utama dan kurniawan, 2007).
Dahulu eritroderma dibagi menjadi primer dan sekunder. Pendapat
sekarang semua eritroderma ada penyebabnya, jadi eritroderma selalu
sekunder. Eritroderma akibat alergi obat secara sistemik diperlukan anamnesis
yang teliti untuk mencari obat penyebabnya. Umumnya alergi timbul akut
dalam waktu 10 hari. Pada mulanya kulit hanya eritem saja, setelah
penyembuhan barulah timbul skuama (Siregar, 2004).
Eritroderma akibat perluasan penyakit kulit seringkali pada psoriasis
dan dermatitis seboroik bayi. Psoriasis dapat menjadi eritroderma karena dua
hal yaitu: karena penyakitnya sendiri atau karena pengobatan yang terlalu kuat.
Psoriasis yang menjadi eritroderma tanda khasnya akan menghilang. Pada
eritroderma et causa psoriasi, merupakan eritroderma yang disebabkan oleh
penyakit psoriasis atau pengobatan yaitu kortikosteroid sistemik, steroid
topikal, komplikasi fototerapi, stress emosional yang berat, penyakit
terdahulunya misalnya infeksi (Siregar, 2004).

Gambar 3.2 Eritroderma psoriasis (Siregar, 2004)


16

Dermatitis seboroik pada bayi (penyakit Leiner) terjadi pada usia


penderita berkisar 4-20 minggu. Kelainan berupa skuama berminyak dan
kekuningan di kepala. Eritema dapat pada seluruh tubuh disertai skuama yang
kasar (Siregar, 2004).

Gambar 3.3 Dermatitis seboroik (Siregar, 2004).


Eritroderma akibat penyakit sistemik termasuk keganasan, yang tidak
termasuk golongan akibat alergi obat dan akibat perluasan penyakit kulit, harus
dicari penyebabnya dan diperiksa secara menyeluruh, termasuk dengan
pemeriksaan laboratorium dan foto toraks. Termasuk dalam golongan ini adalah
sindrom Sezary (Djuanda, 2007).

Penyakit ini termasuk limfoma. Penyebabnya belum diketahui, diduga


berhubungan dengan infeksi virus HTLV-V dan dimasukkan ke dalam CTCL
(Cutaneus T-Cell Lymphoma). Yang diserang adalah orang dewasa, mulanya
penyakit pada pria rata-rata berusia 64 tahun, sedangkan pada wanita berusia 53
tahun.Sindrom ini ditandai dengan eritema berwarna merah membara yang
universal disertai skuama dan rasa sangat gatal. Selain itu terdapat infiltrat pada
kulit dan edema. Pada sepertiga hingga setengah pada pasien didapati
splenomegali, limfadenopati superfisial, alopesia, hiperpigmentasi, hiperkeratosis
palmaris et plantaris, serta kuku yang distrofik (Djuanda, 2007).

17

Gambar 3.4 Sindrom Sezary (Siregar, 2004).


Eritroderma kronis juga akan bermanifestasi pada kulit kepala dimana
pada kulit kepala timbul sisik (skuama), kelainan kuku berupa onikolisis,
hiperkeratosis subungual, perdarahan, paronikia, beau lines, dan bahkan dapat
terjadi onikomadesis (Grant-Kels et al., 2008).

I. Histopatologi
Pada kebanyakan pasien dengan eritroderma histopatologi dapatmembantu
mengidentifikasi penyebab eritroderma pada sampai dengan50% kasus, biopsi
kulit dapat menunjukkan gambaran yang bervariasi,tergantung berat dan
durasi proses inflamasi. Pada tahap akut, spongiosisdan parakeratosis
menonjol, terjadi edema. Pada stadium kronis, akantosis dan perpanjangan
rete ridge lebih dominan (Champion, 2008).
Eritroderma akibat limfoma, yang infiltrasi bisa menjadi semakin
pleomorfik,

dan

mungkin

akhirnya

memperoleh

fitur

diagnostik

spesifik,seperti bandlike limfoid, infiltrat di dermis-epidermis, dengan sel


cerebriform mononuklear atipikal dan Pautrier's microabscesses. Pasien

18

dengan sindrom Sezary sering menunjukkan beberapa fitur dari dermatitis


kronis,dan

eritroderma

jinak

mungkin

kadang-kadang

menunjukkan

beberapagambaran tidak jelas pada limfoma (Champion, 2008).


Pemeriksaan

immunofeno

sulitmenyelesaikan

tipe

infiltrat

permasalahan

karena

limfoid

juga

mungkin

pemeriksaan

ini

umumnyamemperlihatkan gambaran sel T matang pada eritroderma jinak


maupun ganas. Pada psoriasis papilomatosis dan gambaran clubbing lapisan
papiler dapat terlihat, dan pada pemfigus foliaseus, akantosis superficial juga
ditemukan. Pada eritroderma ikhtisioform dan ptiriasis rubra pilaris, biopsi
diulang dari tempat-tempat yang dipilih dengan cermat dapat memperlihatkan
gambaran khasnya (Champion, 2008).

J. Diagnosis Banding
Pada kebanyakan pasien dengan eritroderma histopatologi dapatmembantu
mengidentifikasi penyebab eritroderma pada sampai dengan50% kasus, biopsi
kulit dapat menunjukkan gambaran yang bervariasi,tergantung berat dan
durasi proses inflamasi. Pada tahap akut, spongiosisdan parakeratosis
menonjol, terjadi edema. Pada stadium kronis, akantosis dan perpanjangan
rete ridge lebih dominan (Champion, 2008).
Eritroderma akibat limfoma, yang infiltrasi bisa menjadi semakin
pleomorfik,

dan

mungkin

akhirnya

memperoleh

fitur

diagnostik

spesifik,seperti bandlike limfoid, infiltrat di dermis-epidermis, dengan sel


cerebriform mononuklear atipikal dan Pautrier's microabscesses. Pasien

19

dengan sindrom Sezary sering menunjukkan beberapa fitur dari dermatitis


kronis,dan

eritroderma

jinak

mungkin

kadang-kadang

menunjukkan

beberapagambaran tidak jelas pada limfoma (Champion, 2008).


Pemeriksaan

immunofeno

sulitmenyelesaikan

tipe

permasalahan

infiltrat

limfoid

karena

juga

mungkin

pemeriksaan

ini

umumnyamemperlihatkan gambaran sel T matang pada eritroderma jinak


maupun ganas. Pada psoriasis papilomatosis dan gambaran clubbing lapisan
papiler dapat terlihat, dan pada pemfigus foliaseus, akantosis superficial juga
ditemukan. Pada eritroderma ikhtisioform dan ptiriasis rubra pilaris, biopsi
diulang dari tempat-tempat yang dipilih dengan cermat dapat memperlihatkan
gambaran khasnya (Champion, 2008).

K. Penatalaksanaan
Tatalaksana penyakit eritroderma harus ditangani dengan segera dan
komprehensif

yang

meliputi

tatalaksana

medikamentosa

dan

non

medikamentosa (Djuanda, 2015) :


a. Medikamentosa
Secara umum, pengobatan yang diberikan untuk pasien eritroderma
adalah golongan kortikosteroid. Pada golongan I yang disebabkan oleh
alergi obat secara sistemik, obat yang diberikan adalah prednisone dengan
dosis 4x10mg. penyembuhan biasanya terjadi dalam beberapa hari sampai
beberapa minggu.
Pada golongan II akibat perluasan penyakit kulit juga diberikan terapi
kortikosteroid yaitu prednisone 4x10-15mg perhari. Dosis dapat dinaikkan

20

bila dalam beberapa hari tidak ada perbaikan. Dosis diturunkan perlahanlahan setelah dilihat adanya perbaikan pada kondisi pasien. Eritrodema
karena psoriasis dapat juga diobati dengan asetresin. Lama penyembuhan
golongan II yakni hingga beberapa minggu sampai beberapa bulan, lebih
lama dibandingkan golongan I.
Pada pengobatan kortikosteroid jangka panjang hingga melebihi 1
bulan lebih baik dipilih metilprednisolon dibandingkan prednisone karena
efek samping yang lebih sedikit. Pengobatan penyakit Leiner dengan
kortikosteroid juga memiliki efek yang bagus dengan dosis 3x1-2mg
perhari. Pada sindrom Sezary, pengobatan terdiri atas kortikosterois
(prednisone 30mg/hari) atau metilprednisolon ekuivalen dengan sitostatik,
biasanya digunakan klorambusil dosis 2-6mg/hari. Pada kasus eritroderma
kronis, perlu juga diberikan emolien untuk mengurangi radiasi akibat
vasodilatasi oleh eritema, dapat diberikan salep lanolin 10% atau krim urea
10%
b. Non Medikamentosa
Pada eritroderma golongan I akibat penggunaan obat tertentu.
Penghentian obat harus segera dilakukan. Pada kasus eritroderma kronis
diberikan pula diet tinggi protein (biasanya putih telur) karena terlepasnya
skuama yang mengakibatkan hilangnya protein.
L. Prognosis
Eritroderma golongan I yang terjadi karena alergi obat sistemik
prognosisnya baik. Penyembuhan golongan ini yang tercepat dibandingkan
dengan golongan lain. Pada ertiroderma yang belum diketahui penyebabnya,
pengobatan dengan kortikosteroid dilakukan hanya untuk mengurangi gejala
dan pasien akan mengalami ketergantungan kortikostaroid. Pada sindrom
Sezary prognosis umumnya buruk, pasien laki-laki biasanya akan meninggal
setelah 5 tahun, dan perempuan setelah 10 tahun. Kematian biasanya
disebabkan oleh infeksi yang berkembang menjadi mikosis fungoides
(Djuanda, 2015).

21

IV. PEMBAHASAN
A. Penegakkan Diagnosis
Penegakan diagnosis penyakit eritroderma pada kasus ini didasarkan pada
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Berdasarkan anamnesis diketahui bahwa pasien bernama Ny. N,
perempuan, usia 25 tahun datang ke IGD RSMS tanpa rujukan dengan
keluhan kulit mengelupas di seluruh anggota tubuh sejak 1 hari yang lalu.
Menurut pasien, keluhan semakin berat dan meluas. Keluhan ini
membuat pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari. Selain itu,
pasien merasakan kulit seluruh tubuh, gatal, kering, kaki dan tangan sulit
digerakkan. Selain itu pasien juga mengeluhkan lemas dan dada
berdebar-debar. Keluhan ini diawali dari kulit yang kemerahan, lalu
teraba kasar seperti sisik, lalu mengelupas sebagian. Pasien mengalami

22

keluhan yg sama 3 kali selama 2 bulan terakhir dengan interval 2-3


minggu. Pasien sebelumnya sudah pernah di rawat di RSUD Banjar
Patroman dengan keluhan yang sama, dirawat inap dan kemudian
membaik dan diperbolehkan pulang, namun 3 hari setelah itu pasien
kembali merasa kemerahan, dan gatal di seluruh tubuh dan kulitnya
kembali memerah. Sebelumnya pasien menjalani operasi apendisitis di
RSUD Banjar 3 bulan yang lalu dan suntik KB di dokter keluarga 3 hari
sebelum keluhan timbul.
Pasien diketahui alergi obat di RSUD Banjar, karena menyatakan
pernah timbul bintik-bintik dan gatal saat di tes obat. Namun, pasien
tidak di edukasi jenis atau golongan obatnya. Pasien mengaku sering
berketombe. Tidak ada riwayat penyakit kulit lain sebelumnya.
Dermatitis atopik, rhinitis alergi, asma bronkial, diabetes melitus,
hipertensi, dan penyakit jantung pada pasien disangkal. Tidak ada yang
menderita penyakit dengan keluhan yang sama dengan pasien. Tidak ada
riwayat dermatitis atopik, rhinitis alergi, asma bronkial, diabetes melitus,
hipertensi, dan penyakit jantung pada keluarga pasien.
Faktor risiko eritroderma pada kasus ini berdasarkan dari
anamnesis adalah adanya penyakit kulit lain sebelumnya, yaitu dermatitis
seboroik, karena pasien mengaku memiliki riwayat sering berketombe.
Hal ini sesuai dengan penyebab eritroderma berdasarkan Djuanda 2012
dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FKUI, yaitu terdapat tiga
penyebab eritroderma, yaitu eritroderma akibat alergi obat sistemik,
eritroderma akibat perluasan penyakit kulit (psoriasis, dermatitis
seboroik, dermatitis atopik, pemfigus foliaceus dll), dan eritorderma
akibat penyakit sistemik dan keganasan. Eritroderma akibat perluasan
penyakit kulit ditandai dengan adanya riwayat penyakit kulit sebelumnya
salah satunya dermatitis seboroik yang kemudian mengalami perluasan
sehingga menimbulkan keluhan kemerahan hampir pada seluruh tubuh
yang disertai dengan timbulnya sisik kasar yang mengelupas, dan kadang
disertai rasa gatal (Djuanda, 2012).
2. Pemeriksaan Fisik

23

Dari pemeriksaan fisik ditemukan adanya edema pada keempat


ekstremitas dan ditemukan adanya kelainan kulit berupa makula
eritematosa dengan krusta, erosi, ekskoriasi, dan skuama kasar
generalisata.
Sesuai dengan Djuanda 2012 pada Ilmu Penyakit Kulit FKUI :
Manifestasi awal dari eritroderma adalah eritema universal, diikuti oleh
lepasnya stratum korneum (skuama). Vasodilatasi kapiler yang terjadi
mengakibatkan peningkatan aliran darah ke kulit sehingga maka proses
kehilangan panas dan evaporasi menjadi lebih cepat sehingga terjadi
peningkatan suhu badan dan dehidrasi. Peningkatan suhu badan dan
dehidrasi menyebabkan metabolisme basal menjadi lebih meningkat.
Pengelupasan kulit yang paling banyak terjadi pada telapak tangan, kulit
kepala, dahi, paling sedikit di dada, lengan bawah dan tungkai bawah.
Pengelupasan kulit ini berhubungan dengan proses metabolisme protein.
Kehilangan

skuama

menyebabkan

kehilangan

protein

atau

hipoproteinemia yang ditandai dengan berkurangnya albumin dan


peningkatan relatif globulin. Kondisi inilah yang memicu terjadinya
edema pada keempat ekstremitas pasien.
3. Pemeriksaan penunjang
Hasil pemeriksaan laboratorium darah lengkap menunjukkan hasil
adanya peningkatan kadar leukosit yang menandakan sedang terjadinya
infeksi sekunder pada pasien ini. Selain itu hasil pemeriksaan hitung jenis
leukosit juga menunjukkan nilai eosinophil yang normal, yang berarti
penyakit ini kemungkinan tidak disebabkan oleh faktor alergi. Selain itu
hasil pemeriksaan protein menunjukkan adanya hipoalbuminemia. Hal
ini disebabkan karena adanya proses pengelupasan kulit yang luas
sehingga berdampak pada penurunan kadar albumin. Kondisi inilah yang
memicu terjadinya edema pada pasien ini.
B. Tatalaksana
Pengobatan awal pada seluruh jenis eritroderma umumnya sama.
Tempatkan pasien dalam lingkungan yang lembab dan hangat. Meskipun
sebagian besar pasien dapat dikelola sebagai pasien rawat jalan, beberapa
harus dirawat di rumah sakit untuk pemantauan asupan cairan dan output,
serta observasi fungsi ginjal dan tanda-tanda gagal jantung. Untuk
24

menghindari dehidrasi karena terjadi pengelupasan kulit generalisata, pasien


dipasang infus cairan. Medikamentosa pada eritroderma umumnya adalah
kortikosteroid. Dosis berkisar dari 3x10 mg sampai 4x15 mg sehari. Pasien
harus menerima diet tinggi protein, yaitu sekitar 130 persen dari diet protein
normal serta suplementasi asam folat. Diet tinggi protein diperlukankarena
banyak skuama yang terlepas (Siregar, 2004; Freedberg et al, 2003).
Perawatan kulit secara suportif adalah dengan aplikasi emolien lanolin
10% dan kompres, serta salep kortikosteroid topikal dengan potensi ringan
sampai sedang. Biasanya pasien akan mengalami perbaikan selama 1 sampai
2 minggu. Pasien harus menghindari zat topikal iritan seperti tar dan
anthralin. Antihistamin dapat membantu mengontrol pruritus. Antibiotik
sistemik yang tepat mungkin diperlukan untuk mengontrol superinfeksi
bakteri. Antibiotik harus dipertimbangkan dalam semua kasus, karena
kolonisasi Staphylococcus pada kulit dapat menyebabkan eksaserbasi dan
pasien meningkatkan risiko septikemia (Freedberg et al, 2003).
Siklosporin, metotreksat, asitretin, dan mikofenolat mofetil dapat
digunakan untuk eritroderma psoriatik. Siklosporin dapat diberikan untuk
penyakit spongiotik. Untuk pitiriasis rubra pilaris dapat diberikan retinoid,
kortikosteroid, dan fotokemoterapi ekstrakorporeal. Limfoma sel T kutaneus
telah diobati dengan kortikosteroid, psoralen ditambah ultraviolet A, radiasi,
interferon, kemoterapi sistemik, dan fotokemoterapi ekstrakorporeal. Ketika
penyebab eritroderma tidak diketahui, diperlukan kewaspadaan dalam
penggunaan kortikosteroid sistemik, untuk mencegah terjadinya psoriasis
pustular generalisata. Administrasi sistemik steroid juga dapat meningkatkan
retensi cairan. Demikian pula, fototerapi membutuhkan perhatian khusus
kepada pasien eritroderma karena pasien rata-rata bersifat fotosensitif, dan
reaksi fototoksik dapat memperburuk penyakitnya (Freedberg et al, 2003).
C. Prognosis
Prognosis pada eritroderma tergantung pada penyebab yang mendasarinya.
Kasus eritroderma yang disebabkan oleh alergi obat memiliki prognosis yang
paling baik, sedangkan eritroderma karena keganasan memiliki prognosis
yang buruk. Eritroderma yang disebabkan oleh limfoma sel T kulit dan
25

keganasan internal cenderung lebih persisten. Pada pasien ini, faktor


prognostik yang menguntungkan meliputi usia kurang dari 65 tahun, durasi
gejala sebelum diagnosis lebih dari 10 tahun, tidak adanya kelenjar getah
bening ganas infiltrat, dan tidak adanya sirkulasi sel Sezary. Tergantung pada
ada atau tidak adanya faktor risiko ini, survival rate bisa berkisar antara 1,510,2 tahun (Siregar, 2004; Freedberg et al, 2003).
Dalam laporan yang diterbitkan dari 50 tahun terakhir, angka kematian
yang terkait dengan dermatitis eksfoliatif telah secara konsisten tetap tinggi,
mulai dari 20 hingga 60 persen. Sebagian besar kematian terjadi pada pasien
dengan keganasan, reaksi obat yang parah, pemfigus foliaseus, atau penyakit
idiopatik. Pasien mengalami infeksi sekunder berupa pneumonia, septikemia,
dan gangguan kardiovaskular (Freedberg et al, 2003).
Studi yang baru menunjukkan bahwa tingkat kematian secara signifikan
lebih rendah dari sebelumnya. Dalam satu kelompok yang terdiri dari 82
pasien, tidak ada pasien dengan penyakit kulit jinak yang meninggal,
sedangkan angka kematian adalah 25 persen pada pasien dengan limfoma sel
T kutaneus yang biasanya disebabkan dari perkembangan penyakit keganasan
tersebut, komplikasi terapi, atau sepsis (Freedberg et al, 2003).

26

V. KESIMPULAN

1. Eritroderma merupakan gangguan peradangan yang menyebabkan


dismetabolisme pada kulit dan dapat menyebabkan kematian. Eritroderma
atau dermatitis eksfoliativa ditandai dengan ruam kemerahan dan skuama
pada kulit yang mengenai lebih dari 90% permukaan tubuh.
2. Patogenesis eritroderma melibatkan peningkatan signifikan

pada

epidermal turn over rate dan meningkatkan kecepatan mitotik yang lebih
tinggi dari normal dan peningkatan jumlah absolut dari jumlah sel
germinatif kulit.
3. Secara umum, pengobatan yang diberikan untuk pasien eritroderma adalah
golongan kortikosteroid. Diet tinggi protein sangat dianjurkan untuk
penderita eritroderma sebagai pengganti hilangnya protein akibat
banyaknya pengelupasan kulit.

27

DAFTAR PUSTAKA

Bruno TF, Grewal P. Erythroderma: a dermatologic emergency. CJEM.


May 2009;11(3):244-6
Champion RH ed. Eczema, Lichenification, pririgo and Erythroderma. In :
champion RHeds. Rooks, textbook of dermatology, 5th ed.
Washington; Blackwell ScientificPublications. 2008. p; 17.48
Champion RH. 2008. Eczema, Lichenification, Prurigo, and Erythroderma.
In: Champion RH eds. Rooks, Textbook of Dermatology,
Washington: Blackwell Scientific Publications. p;17.48-17.52.
Djuanda A. 2007. Dermatosis Eritroskuamosa. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. 5th ed. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. p:197-200
Djuanda A. 2011. Dermatosis Eritroskuamosa. Dalam Djuanda A, Hamzah
M, Aisah S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Keenam
Cetakan Kedua. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Djuanda, Adhi. 2015. Eritroderma. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
7. Jakarta:Badan Penerbit FKUI.
Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI. Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine 6th Edition. New York:
McGraw-Hill Professional
Freedberg I.M.,. Eisen A.Z., Wolff K., Austen K.F., Goldsmith L., dan
Katz S.I. 2003. Exfoliative Dermatitis. In: Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine. 6th edition. McGraw Hill. USA.

28

Grant-Kels JM, Bernstein ML, Rothe MJ. Exfoliative dermatitis. In: Wolff
K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, eds.
Fitzpatricks Dermatology in General Medicine, 7th ed. Chicago:
McGraw-Hill Company, 2008: 225-32
Harahap M. 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta : Hipokrates. 28
Harahap, M. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates, 2008.
Jih H, Kimyai-Asadi A, Freedberg IM. 2003. Exfoliative Dermatitis.
Dalam Freedberg IM,
Margaret J, Bernstein ML, Rothe MJ. Exfoliative dermatitis. In: Wolff K,
Goldsmith LA,Katz SI, editors. Fitzpatrick's Dermatology in
General Medicine. 8 th ed. New York:Mc. Graw Hill Medical;
2012. P. 225 - 32.
Okoduwa, C., Lambert W.C., Schwartz R.A., Kubeyinje E., Eitokpah A.,
Sinha S., dan Chen W. 2009. Erythroderma: Review of a
Potentially Life-Threatening Dermatosis. Indian Journal of
Dermatology 54(1): 1-6.
Seghal, Virendra N dan Sendana, K. 2004. Erythroderma/exfoliative
dermatitis : A Synopsis. International Journal of Dermatology, 43,
39-47.
Shimizu H. 2007. Shimizus Textbook of Dermatology. 1st ed. Hokkaido :
Nakayama Shoten Publishers. p; 122-25, 98-101.
Siregar, R.S. 2004. Eritroderma. Dalam: Saripati Penyakit Kulit. Edisi ke
2. EGC. Jakarta. hal 236-237.
Siregar, RS. Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC, 2004.
Sularsito SA, Djuanda S. Djuanda A. 2005. Dermatitis. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.p: 138.
Umar, S. 2012. Erythroderma (Generalized Exfoliative Dermatitis). Di
akses
di
http://emedicine.medscape.com/article/1106906overview#showall Pada tanggal 27 Agustus 2016
Utama HW, Kurniawan D. 2007. Erupsi Alergi Obat. Tesis. Palembang :
FakultasKedokteran Universitas Sriwijaya. p:11.
Vanessa. 2010 Erytrodherma. Textbook of Dermatology.. Fourth edition.
Blackwell Scientific Publications.
Yuan XY, Guo JY, Dang YP, Qiao L, Liu W. Erythroderma: A clinicaletiological study of 82 cases. Eur J Dermatol. May-Jun
2010;20(3):373-7

29

Yuri, T., Jadotte et al. 2015. Drug Eruptions and Erythroderma. In :


Cutaneous Drug Eruption. Springer : London.

30

You might also like