Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Eritroderma merupakan penyakit kulit yang pertama kali diidentifikasi
oleh Von Hebra pada tahun 1868. Penyakit ini disebut juga dermatitis
eksfoliativa, ditandai dengan ruam kemerahan dan skuama pada kulit yang
mengenai lebih dari 90% permukaan tubuh. Eritroderma merupakan gangguan
peradangan yang menyebabkan dismetabolisme pada kulit dan dapat
menyebabkan kematian.
Eritroderma dapat bersifat fatal meskipun sudah diterapi dengan
benar. Hal ini disebabkan karena komplikasi dan beban metabolisme yang
terjadi. Sehingga, penemuan etiopatologi berpengaruh besar pada keberhasilan
pengobatan. Penyakit ini dapat merupakan suatu manifestasi morfologis dari
penyakit kutaneus maupun sistemik, erupsi obat, dan dapat pula merupakan
manifestasi berat dari paparan sinar ultraviolet.
Eritroderma tidak spesifik mengenai suatu ras tertentu, namun, insidensi
tertinggi penyakit ini mengenai negara-negara miskin dan berkembang.
Berdasarkan studi, eritroderma lebih sering terjadi pada laki-laki dibanding
perempuan dengan rasio 2:1 hingga 4:1. Penyakit ini juga umumnya terjadi
pada rentang usia 40-60 tahun.
B. Tujuan
1. Menjelaskan definisi dan penegakan diagnosis eritroderma.
2. Menjelaskan patogenesis mengenai mekanisme terjadinya eritroderma.
3. Menjelaskan tentang manajemen dan tatalaksana eritroderma.
: Ny. N
: Perempuan
: 25 tahun
: 257501
: SMP
: Limbangan 6/1 Wanareja
: 23 Agustus 2016
B. Anamnesis
1. Metode
: Autoanamnesis dan alloanamnesis dengan suami pasien
2. Waktu
: 23 Agustus 2016, pukul 20.00 WIB
3. Keluhan Utama
Kulit mengelupas di seluruh tubuh sejak 1 hari yang lalu
4. Keluhan Tambahan
Kulit kemerahan terasa gatal, kering, nyeri, kaki dan tangan sulit
digerakkan. Lemas dan dada berdebar-debar.
5. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke IGD RSMS tanpa rujukan dengan keluhan kulit
mengelupas di seluruh anggota tubuh sejak 1 hari yang lalu. Menurut
pasien, keluhan semakin berat dan meluas. Keluhan ini membuat pasien
tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari. Selain itu, pasien
merasakan kulit seluruh tubuh, gatal, kering, kaki dan tangan sulit
digerakkan. Selain itu pasien juga mengeluhkan lemas dan dada
berdebar-debar. Keluhan ini diawali dari kulit yang kemerahan, lalu
teraba kasar seperti sisik, lalu mengelupas sebagian. Pasien mengalami
keluhan yg sama 3 kali selama 2 bulan terakhir dengan interval 2-3
minggu. Pasien sebelumnya sudah pernah di rawat di RSUD Banjar
Patroman dengan keluhan yang sama, dirawat inap dan kemudian
membaik dan diperbolehkan pulang, namun 3 hari setelah itu pasien
kembali merasa kemerahan, dan gatal di seluruh tubuh dan kulitnya
kembali memerah.
6. Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien sudah pernah mengalami keluhan serupa sejak 2 bulan
yang lalu sebanyak 3 kali. Sebelumnnya, keluhan sama belum pernah
dialami. Pasien menjalani operasi apendisitis di RSUD Banjar 3 bulan
: Baik
Kesadaran
: Compos mentis
Keadaan gizi
Vital Sign
: Tekanan Darah
: 140/80 mmHg
Nadi
: 160 x/menit
Pernafasan
: 22 x/menit
Suhu
: 37 oC
Kepala
Mata
Hidung
Telinga
Mulut
Tenggorokan
Leher
Thorax
Abdomen
KGB
:
tidak teraba
pembesaran.
Ekstremitas
:
Akral
hangat, edema +/+/+/+, sianosis (
D. Status Dermatologi
Lokasi
: Generalisata
Effloresensi :
Makula
eritematosa
dengan
krusta, erosi,
ekskoriasi,
dan skuama
kasar
generalisata
Gambar
Regio
2.1
Fasial
Efloresensi
(Sumber:
Dokumentasi Pribadi).
Pada
tipe
akut:
bercak
eritematosa
yang
berbatas
tegas
interskapula,
lumbosakral,
bagian
b. Kompres NaCl 0,9 % 2 kali sehari terutama pada bagian kulit yang
masih kasar dan kaku
2. Medikamentosa
a. Sistemik:
1) IVFD RL 20 tpm
2) Methylprednisolone 2x125mg IV
3) Inj. Gentamicin 3x1 Amp
4) Inj. Difenhidramin 2x1 Amp
5) Inj. Ranitidin 2x50 mg IV
b. Topikal:
1) Krim (Desoximetason + Asam Salisilat 3% + Soft U Derm +
Vaselin Album) mf cream da in pot, 2 x oles pagi dan malam.
Edukasi :
a. Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya.
b. Mencegah garukan dan gosokan pada daerah yang gatal
c. Istirahat yang cukup
d. Hindari stres psikologis
e. Menjaga kebersihan kulit dengan mandi
a. Diet tinggi protein
J. Prognosis
Quo ad vitam
: dubia ad bonam
Quo ad kosmeticam
: dubia ad bonam
Quo ad sanationam
: dubia ad bonam
D. Patogenesis
Patogenesis eritroderma sendiri masih belum jelas. Saat ini diyakini
bahwa kondisi tersebut merupakan kejadian sekunder atas sebuah interaksi
intricate antara sitokin dan intra celllular adhesion molecul-1 (ICAM1) dan
Tumor Necrosis Factor (TNF). Interaksi tersebut menghasilkan peningkatan
signifikan pada epidermal turn over rate dan meningkatkan kecepatan mitotik
yang lebih tinggi dari normal dan peningkatan jumlah absolut dari jumlah sel
germinatif kulit. Lebih lanjut, waktu yang dibutuhkan sel untuk matur dan
berpindah melalui epidermis menurun, dan bermanifestasi sebagai peningkatan
kehilangan materi epidermal, bersama dengan kehilangan protein dan folat secara
signifikan. Sebagai kontrasnya, exfoliasi dari epidermis normal jauh lebih kecil
dan mengandung sangat sedikit material viabel yang penting, seperti asam
nukleat, protein terlarut atau asam amino (Seghal dan Sendana, 2004).
Berdasarkan penelitian Abel et al. tentang karakteristik immunofenotipik
eritroderma tipe benign (psoriasis, dermatitis, drug-induced) dan malignant
(sezary
syndrome,
mikosis
fungoides)
ditemukan
mirip.
Penelitian
imunohistokimia oleh Sigurdsson et al. infiltrat dermis pada pasien dengan Sezary
syndrome secara umum menunjukkan profil Th2 sitokin, sementara pada benign
reactive erythroderma menunjukkan profil Th1 sitokin, mengindikasikan
walaupun secara klinis mirip, tapi mereka memiliki dasar mekanisme patogenik
yang berbeda (Seghal dan Sendana, 2004).
Menurut Yuri et al. (2015), patogenesis molekuler masih belum jelas.
Namun terdapat beberapa perubahan kunci yang tercatat (Tabel 1.1). Tabel
tersebut menunjukkan perubahan biokimia yang terekam pada sampel histologis
pasien dengan eritroderma. Perlu dicatat bahwa perubahan histologis penyakit ini
relatif tidak spesifik dan berguna -pada saat ini- untuk membuat diagnosis
eritroderma. Namun, pemeriksaan tersebut mungkin berguna mendiagnosis
penyebab dermatosis jika terdapat salah satu gejala khas yang muncul. Karena
ketiadaan bukti efektivitas sebagai marker diagnosis dan prognostik saat ini,
penggunaan marker biokimia tersebut sebagai salah satu manajemen eritroderma
tidak direkomendasikan.
10
Mekanisme kerja
P dan E
menyebabkan
inflamasi
Th 1
Interleukin 1,2,8
Rx hipersensitivitas tipe 4
Sitokin inflamasi
peningkatan
epidermal
dermal
Peningkatan inflamasi dermal
Peningkatan mitosis dan
turnover epidermal
E. Diagnosis
Diagnosis eritroderma tidak mudah ditegakkan dan harus melihat dari
tanda dan gejala yang sudah ada sebelumnya, seperti: warna hitam-kemerahan di
psoriasis dan kuningkemerahan di pilaris rubra pityriasis; perubahan kuku khas
psoriasis; likenifikasi, erosi, dan ekskoriasi pada dermatitis atopik dan eksema;
menyebar, relatif hiperkeratosis tanpa skuama, dan pityriasis rubra; ditandai
bercak kulit dalam eritroderma di pilaris rubra pityriasis; hiperkeratotik skala
besar kulit kepala, biasanya tanpa rambut rontok di psoriasis dan dengan rambut
rontok di CTCL dan pityriasis rubra, ektropion mungkin terjadi. Biopsi dapat
dilakukan untuk menegakkan diagnosis.
Pemeriksaan laboratorium darah pada eritroderma didapatkan albumin
serum yang rendah dan peningkatan gammaglobulin, ketidakseimbangan
elektrolit, protein fase akut meningkat, leukositosis, maupun anemia ringan. Pada
kebanyakan
pasien
dengan
eritroderma
histopatologi
dan
dapat
membantu
11
F. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada eritroderma antara lain sebagai berikut (Harahap,
2000; Djuanda, 2007; Bruno, 2009; Okudawa et al., 2009; Yuan, 2010; Umar,
2012):
12
G. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin, didapatkan penurunan
hemoglobin, peningkatan eosinofil, dan peningkatan leukosit pada infeksi
sekunder. Kadar imunoglobulin dapat meningkat, khususnya IgE. Albumin
serum menurun dan gamaglobulin relatif meningkat. Didapatkan pula
ketidakseimbangan elektrolit karena dehidrasi. Pasien dengan eritrodetma yang
luas dapat ditemukan tandatanda dari ketidakseimbangan nitrogen: edema,
14
perubahan
keseimbangan
nitrogen
danpotasium
ketika
laju
dengan
hiperpigmentasi.
Dapat
terjadi
limfadenopati
dan
15
17
I. Histopatologi
Pada kebanyakan pasien dengan eritroderma histopatologi dapatmembantu
mengidentifikasi penyebab eritroderma pada sampai dengan50% kasus, biopsi
kulit dapat menunjukkan gambaran yang bervariasi,tergantung berat dan
durasi proses inflamasi. Pada tahap akut, spongiosisdan parakeratosis
menonjol, terjadi edema. Pada stadium kronis, akantosis dan perpanjangan
rete ridge lebih dominan (Champion, 2008).
Eritroderma akibat limfoma, yang infiltrasi bisa menjadi semakin
pleomorfik,
dan
mungkin
akhirnya
memperoleh
fitur
diagnostik
18
eritroderma
jinak
mungkin
kadang-kadang
menunjukkan
immunofeno
sulitmenyelesaikan
tipe
infiltrat
permasalahan
karena
limfoid
juga
mungkin
pemeriksaan
ini
J. Diagnosis Banding
Pada kebanyakan pasien dengan eritroderma histopatologi dapatmembantu
mengidentifikasi penyebab eritroderma pada sampai dengan50% kasus, biopsi
kulit dapat menunjukkan gambaran yang bervariasi,tergantung berat dan
durasi proses inflamasi. Pada tahap akut, spongiosisdan parakeratosis
menonjol, terjadi edema. Pada stadium kronis, akantosis dan perpanjangan
rete ridge lebih dominan (Champion, 2008).
Eritroderma akibat limfoma, yang infiltrasi bisa menjadi semakin
pleomorfik,
dan
mungkin
akhirnya
memperoleh
fitur
diagnostik
19
eritroderma
jinak
mungkin
kadang-kadang
menunjukkan
immunofeno
sulitmenyelesaikan
tipe
permasalahan
infiltrat
limfoid
karena
juga
mungkin
pemeriksaan
ini
K. Penatalaksanaan
Tatalaksana penyakit eritroderma harus ditangani dengan segera dan
komprehensif
yang
meliputi
tatalaksana
medikamentosa
dan
non
20
bila dalam beberapa hari tidak ada perbaikan. Dosis diturunkan perlahanlahan setelah dilihat adanya perbaikan pada kondisi pasien. Eritrodema
karena psoriasis dapat juga diobati dengan asetresin. Lama penyembuhan
golongan II yakni hingga beberapa minggu sampai beberapa bulan, lebih
lama dibandingkan golongan I.
Pada pengobatan kortikosteroid jangka panjang hingga melebihi 1
bulan lebih baik dipilih metilprednisolon dibandingkan prednisone karena
efek samping yang lebih sedikit. Pengobatan penyakit Leiner dengan
kortikosteroid juga memiliki efek yang bagus dengan dosis 3x1-2mg
perhari. Pada sindrom Sezary, pengobatan terdiri atas kortikosterois
(prednisone 30mg/hari) atau metilprednisolon ekuivalen dengan sitostatik,
biasanya digunakan klorambusil dosis 2-6mg/hari. Pada kasus eritroderma
kronis, perlu juga diberikan emolien untuk mengurangi radiasi akibat
vasodilatasi oleh eritema, dapat diberikan salep lanolin 10% atau krim urea
10%
b. Non Medikamentosa
Pada eritroderma golongan I akibat penggunaan obat tertentu.
Penghentian obat harus segera dilakukan. Pada kasus eritroderma kronis
diberikan pula diet tinggi protein (biasanya putih telur) karena terlepasnya
skuama yang mengakibatkan hilangnya protein.
L. Prognosis
Eritroderma golongan I yang terjadi karena alergi obat sistemik
prognosisnya baik. Penyembuhan golongan ini yang tercepat dibandingkan
dengan golongan lain. Pada ertiroderma yang belum diketahui penyebabnya,
pengobatan dengan kortikosteroid dilakukan hanya untuk mengurangi gejala
dan pasien akan mengalami ketergantungan kortikostaroid. Pada sindrom
Sezary prognosis umumnya buruk, pasien laki-laki biasanya akan meninggal
setelah 5 tahun, dan perempuan setelah 10 tahun. Kematian biasanya
disebabkan oleh infeksi yang berkembang menjadi mikosis fungoides
(Djuanda, 2015).
21
IV. PEMBAHASAN
A. Penegakkan Diagnosis
Penegakan diagnosis penyakit eritroderma pada kasus ini didasarkan pada
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Berdasarkan anamnesis diketahui bahwa pasien bernama Ny. N,
perempuan, usia 25 tahun datang ke IGD RSMS tanpa rujukan dengan
keluhan kulit mengelupas di seluruh anggota tubuh sejak 1 hari yang lalu.
Menurut pasien, keluhan semakin berat dan meluas. Keluhan ini
membuat pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari. Selain itu,
pasien merasakan kulit seluruh tubuh, gatal, kering, kaki dan tangan sulit
digerakkan. Selain itu pasien juga mengeluhkan lemas dan dada
berdebar-debar. Keluhan ini diawali dari kulit yang kemerahan, lalu
teraba kasar seperti sisik, lalu mengelupas sebagian. Pasien mengalami
22
23
skuama
menyebabkan
kehilangan
protein
atau
26
V. KESIMPULAN
pada
epidermal turn over rate dan meningkatkan kecepatan mitotik yang lebih
tinggi dari normal dan peningkatan jumlah absolut dari jumlah sel
germinatif kulit.
3. Secara umum, pengobatan yang diberikan untuk pasien eritroderma adalah
golongan kortikosteroid. Diet tinggi protein sangat dianjurkan untuk
penderita eritroderma sebagai pengganti hilangnya protein akibat
banyaknya pengelupasan kulit.
27
DAFTAR PUSTAKA
28
Grant-Kels JM, Bernstein ML, Rothe MJ. Exfoliative dermatitis. In: Wolff
K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, eds.
Fitzpatricks Dermatology in General Medicine, 7th ed. Chicago:
McGraw-Hill Company, 2008: 225-32
Harahap M. 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta : Hipokrates. 28
Harahap, M. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates, 2008.
Jih H, Kimyai-Asadi A, Freedberg IM. 2003. Exfoliative Dermatitis.
Dalam Freedberg IM,
Margaret J, Bernstein ML, Rothe MJ. Exfoliative dermatitis. In: Wolff K,
Goldsmith LA,Katz SI, editors. Fitzpatrick's Dermatology in
General Medicine. 8 th ed. New York:Mc. Graw Hill Medical;
2012. P. 225 - 32.
Okoduwa, C., Lambert W.C., Schwartz R.A., Kubeyinje E., Eitokpah A.,
Sinha S., dan Chen W. 2009. Erythroderma: Review of a
Potentially Life-Threatening Dermatosis. Indian Journal of
Dermatology 54(1): 1-6.
Seghal, Virendra N dan Sendana, K. 2004. Erythroderma/exfoliative
dermatitis : A Synopsis. International Journal of Dermatology, 43,
39-47.
Shimizu H. 2007. Shimizus Textbook of Dermatology. 1st ed. Hokkaido :
Nakayama Shoten Publishers. p; 122-25, 98-101.
Siregar, R.S. 2004. Eritroderma. Dalam: Saripati Penyakit Kulit. Edisi ke
2. EGC. Jakarta. hal 236-237.
Siregar, RS. Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC, 2004.
Sularsito SA, Djuanda S. Djuanda A. 2005. Dermatitis. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.p: 138.
Umar, S. 2012. Erythroderma (Generalized Exfoliative Dermatitis). Di
akses
di
http://emedicine.medscape.com/article/1106906overview#showall Pada tanggal 27 Agustus 2016
Utama HW, Kurniawan D. 2007. Erupsi Alergi Obat. Tesis. Palembang :
FakultasKedokteran Universitas Sriwijaya. p:11.
Vanessa. 2010 Erytrodherma. Textbook of Dermatology.. Fourth edition.
Blackwell Scientific Publications.
Yuan XY, Guo JY, Dang YP, Qiao L, Liu W. Erythroderma: A clinicaletiological study of 82 cases. Eur J Dermatol. May-Jun
2010;20(3):373-7
29
30