Professional Documents
Culture Documents
pemerintahan yang merupakan bagian dari daerah Hindia Belanda, yang kepala wilayahnya
( dengan sebutan; Sultan, Sunan, Raja atau nama adat yang lain ), berdasarkan perjanjian
dengan Pemerintah Hindia Belanda menyelenggarakan pemerintahan sendiri ( dalam Indische
Staatsregeling 1855 Pasal 21 disebut; Zelfbestuur ) di wilayah yang bersangkutan, masingmasing berdasarkan perjanjian tersebut serta adat-istiadat daerahnya masing-masing yang
beraneka ragam.
*Contoh Tanah Swapraja
Hukum Tanah Swapraja adalah keseluruhan peraturan tentang pertanahan yang khusus
berlaku di daerah swapraja, seperti Kesultanan Yogyakarta. Hukum Tanah Swapraja ini pada
dasarnya adalah hukum tanah adat yang diciptakan oleh Pemerintah Swapraja dan sebagian
diciptakan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Landasan hukumnya adalah antara lain Koninlijk
Besluit yang diundangkan dalam Staatsblad No. 474 tahun 1915 yang intinya memberi
wewenang pada penguasa swapraja untuk memberikan tanahnya dengan hak-hak barat serta
Rijksblad Kesultanan 1918 No.16 jo 1925 No.23, serta Rijksblad 1918 No.18 jo Rijksblad 1925
No.25 dimana hak milik atas tanah tidak diberikan kepada warga negara Indonesia non-pribumi.
Dalam konsiderans Staatsblad No. 474 tahun 1915 ditegaskan bahwa di atas tanah-tanah
yang terletak dalam wilayah hukum swapraja, dapat didirikan hak kebendaan yang diatur dalam
Burgerlijk Wetboek (BW), seperti hak eigendom, erfpacht, opstal, dan sebagainya.
Dimungkinkan bagi pemerintah swapraja untuk memberika tanah-tanah swapraja dengan hakhak barat, terbatas pada orang-orang yang tunduk pada BW saja. Sebagai contoh adalah daerah
Yogyakarta yang sampai sekarang masih dijumpai tanah-tanah swapraja.
DI Yogyakarta, Sultan merupakan pemilik tanah yang merupakan tanah Keraton. Rakyat
hanya punya hak sewa atau hak pakai dan biasa disebut magersari. Jika Sultan menghendaki,
sewaktu-waktu ia dapat mencabutnya kembali. Menurut sejarahnya, hukum tanah diatur
bersama-sama, baik dengan tanah kas desa, tanah penduduk, maupun tanah Keraton itu sendiri.
Tanah kas desa di DIY merupakan pemberian dari pihak Keraton Yogyakarta. Karenanya,
berbagai permasalahan yang berkaitan dengan tanah kas desa dapat diselesaikan dengan cara
musyawarah sehingga pemanfaatan tanah tersebut dapat dilakukan secara optimal. Sedangkan
Tanah Keraton adalah tanah yang belum diberikan haknya kepada penduduk maupun kepada
pemerintah desa, masih merupakan milik Keraton sehingga siapapun yang akan
menggunakannya harus meminta ijin kepada pihak Keraton.
Berdasarkan UU No 3 Tahun 1950 sebagaimana diubah dengan UU No 19/1950 dan UU
No 9/1955 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta, DIY mengalami perubahan dari
sebuah daerah swapraja menjadi sebuah daerah yang bersifat istimewa di dalam teritorial NKRI.
Bentuk keistimewaan yang menonjol yang diberikan kepada DIY adalah pada hukum
pertanahan. Aturan di DIY itu terlepas dari aturan pertanahan yang ada seperti Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dan sebagainya.
Alasannya adalah di DIY sudah ada dasar hukum yang mapan, yaitu menggunakan hukum
zaman Belanda dan hukum adat. Hal itu dikarenakan tidak adanya istilah adat seperti hak
magersari, nelosor, nginduh dan nggandok.
Di DIY pada awalnya tidak pernah ada tanah negara. Semua tanah negara di DIY adalah
tanah Sultan, yang sejak kemerdekaan diberikan kepada pemerintah daerah. Selain itu, ada tanah
milik Keraton Yogyakarta (Sultan Ground), dan tanah milik Puro Paku Alam (Paku Alam
Ground), yang sebagian saat ini digunakan oleh masyarakat untuk bermukim atau berbudidaya
dengan kekancing atau sertifikat hak pakai dari Keraton dan Puro, tetapi bukan hak milik.
Karena bersifat istimewa, pertanahan DIY dengan demikian seharusnya juga tidak cukup diatur
dengan UUPA, melainkan harus dijabarkan dalam Peraturan Daerah (Perda).
Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan bahwa status tanah Sultan Ground dan
Paku Alam Ground adalah tanah ulayat (Tanah Adat) dan tidak dijamin oleh UUPA, sampai
sekarang status kepemilikannya dibuktikan surat yang dikeluarkan keraton, oleh karena itu
pemerintah pusat harus memperjelas kepastian hukum status tanah milik keraton dan Paku Alam
melalui sebuah Undang-Undang.
Dualisme penerapan hukum tanah di DIY telah berlangsung sejak diterbitkannya UUPA
yang mengatur secara detail mengenai ketentuan hukum agraria secara nasional. Bagi
Yogyakarta, UU tersebut awalnya harus dikecualikan dan penerapannya baru diakui pada 2
Februari 1984 dimana Sri Sultan Hamengkubuwono IX secara resmi menyatakan UUPA juga
berlaku di Yogyakarta.
Sri Sultan HB X sebagai Gubernur DIY mengatakan bahwa meskipun wilayah DIY
termasuk sempit (sekitar 3.185,8 km2), namun akumulasi masalah mengenai pertanahan di DIY
tergolong rumit dan unik. Hal itu tampak sekali ketika dirunut dari faktor sejarah berdirinya DIY.
Dari seluruh luas wilayah DIY, 4.000 hektar di antaranya adalah Sultan Ground dan Paku Alam
Ground, yang berupa tanah-tanah raja dan keluarga Keraton, situs, tanah yang digarap
masyarakat atau magersari dan tanah kosong serta garapan kosong. Tanah Sultan Ground dan
Paku Alam Ground adalah tanah yang bukan milik perseorangan atau desa. Kebanyakan
digunakan untuk tempat tinggal dengan status magersari. Mereka tidak memiliki sertifikat,
melainkan surat kekancingan yang dikeluarkan kraton. Tentu dengan konsekuensi siap pindah
apabila tanah yang ditempati diminta kraton.
http://kumpulan-berbagai-ilmu2015.blogspot.co.id/2015/05/tanahswapraja.html
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANGBelakangan ini media santer menyiarkan pemberitaan yang menggugah
hatimasyarakat di tanah air untuk menengok kembali isi sejarah bangsanya. Sebuah provinsi
diIndonesia dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta yang terkenal sebagai kota
pelajarsekaligus pusat kebudayaan di pulau Jawa mendapat sorotan perihal pernyataan
PresidenSusilo Bambang Yudhoyono mengenai penetapan gubernur di wilayah
tersebut. Yogyakartadengan luas sekitar 3.185,80 km
2
memiliki karakter yang unik, sebuah penjelmaan konkritdari nilai-nilai idealis masyarakat
Indonesia yang hidup bergotong-royong. Walaupunmasyarakatnya masih hidup secara komunal,
mereka tetap memegang tradisi luhur yang berdampingan dengan globalisasi modern.
Keistimewaan Yogyakarta tidak hanya terletak pada kelebihan-kelebihan atas julukannya sebagai
gudang cendekia atau potensi sosio-filosofisnya semata, akan tetapi ada hal lain yang patut
membuat provinsi ini mendapatkan
anugerah istimewa.
Presiden Soekarno selaku presiden pertama di negara ini telah memberikanYogyakarta status
yang berbeda dari daerah lain. Status istimewa yang dimiliki Yogyakartaantara lain melingkupi
hak khusus Sultan sebagai gubernur DIY serta Paku Alam sebagaiwakil gubernurnya.
Keistimewaan ini berbeda dengan keistimewaan yang diberikan oleh pemerintah kepada provinsi
lain seperti Daerah Istimewa Aceh (Nanggroe Aceh Darussalam)maupun Daerah Khusus Ibukota
Jakarta (DKI Jakarta). Jika di Aceh dan Jakarta statusistimewa lebih kepada kekhususan dalam
hal peraturan maupun perwilayahan, maka diYogyakarta tampuk pemerintahan berada langsung
di bawah pengaruh keluarga keratonKasultanan Ngayogyakarta Hardiningrat.Tradisi pewarisan
kekuasaan di Yogyakarta mengundang beragam kontroversi akan pelaksanaan sistem demokrasi
di negara republik seperti Indonesia, sehingga Amanat 5September yang tadinya
mengintegrasikan daerah Kesultanan Yogyakarta berubah menjadisebuah polemik. Amanat 5
September merupakan bukti tertulis dalam sejarah bagaimanaYogyakarta dapat mencapai status
keistimewaannya. Amanat tersebut merupakan sebuah janji yang dibuat atas dasar pengorbanan
rakyat Yogya dalam memperjuangkan kemerdekaan
tidak selalu harus tepat identik dengan bidang permasalahan yang dihadapi
B.
Aspek Historis dan Yuridis Keistimewaan Kasultanan Yogyakarta
Memasuki abad kedua puluh, bersamaan dengan berlakunya Politik Etis (
circa
1901)yang diterapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda atas usulan Van Deventer,
pikiranmasyarakat Indonesia akan hakikat kemerdekaan semakin terbuka. Saat itulah bangsa
kitamulai melihat nusantara sebagai sebuah kesatuan yang besar dengan kearifan lokal
bernilailuhur di setiap daerahnya. Gerakan yang menuntut kemerdekaan muncul tidak hanya
dalam bentuk perjuangan fisik, masyarakat mulai membentuk organisasi-organisasi
berskalanasional. Dengan dirintis oleh para pemuda, organisasi-organisasi tersebut
menginspirasikhalayak luas untuk turut memahami arti persatuan sebagai sebuah bangsa
dalammenghadapi penjajah. Dari organisasi-organisasi tersebut, ada beberapa tokoh yang
menjadi penggerak usaha-usaha mereka untuk meraih kemerdekaan. Salah satunya yang secara
nyatamemberikan partisipasi terhadap penegakkan kedaulatan di negara Indonesia serta
menjadifigur utama dibalik status keistimewaan Yogyakarta ialah Sri Sultan Hamengku Buwono
IX.Kasultanan Yogyakarta terlahir sebagai ekses dari Perjanjian Giyanti. Perjanjian bertanggal
13 Februari 1755 yang disponsori oleh Pemerintah Belanda itu melatarbelakangi pecahnya
Kerajaan Mataram menjadi dua kekuatan; Kasultanan Yogyakarta dan KasunananSurakarta.
Kasultanan Yogyakarta yang dipimpin oleh Sultan Hamengku Buwono Imendirikan pusat
diingat, di dalam penjelasan pasal 18 UUD 1945 (sebelum amanedemen kedua) disebutkan
bahwa Indonesia merupakan suatu
eenheidstaat
atau
negara kesatuan.
13
Tidak dimungkinan
terciptanya
staat
atau negara bagian sebagaimana yang terjadi di Amerika Serikat.
Penjelasan pasal 18 UUD 1945 mengidentifikasi hak-hak asal-usul dalam daerah-daerahistimewa
sebagai daerah yang mempunyai susunan asli yaitu
persekutuan hukum teritorialIndonesia asli dengan sifat hukumnya sendiri. Pemerintahannya
diciptakan dan dijalankan
oleh bumiputra sendiri.
Suatu negara kesatuan sudah dengan sendirinya dapatdikembangkan dengan tetap menjamin
otonomi daerah-daerah yang tersebar di seluruh tanahair Indonesia yang sangat luas dan
majemuk.
14
Ketika Yogyakarta masuk menjadi bagian dari Republik Indonesia, berdasarkan atasasas
good faith
atau itikad baik, kedua belah pihak terikat janji satu sama lain untukmewujudkan kemerdekaan
serta mengisinya dengan pengamalan nilai-nilai Pancasila selakudasar negara. Beranjak dari
itulah, Kasultanan Yogyakarta terhadap Republik Indonesiamerupakan hubungan antara daerah
istimewa dengan sifat-sifatnya yang khusus sebagaimanatelah disepakati, bukan hubungan antara
negara bagian (
staat
) dengan pemerintah pusat.Pasal 18B ayat 1 telah menjamin bentuk pemerintahan daerah secara
khusus dan diistimewamenjadi kewenangan atas daerah dengan status khusus yang disandangnya
tersebut.Keberadaan Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi sebuah ketentuan hukum khusus
yangwajib dikecualikan pemberlakuannya atas ketentuan hukum umum.Jika dulu pada masa
Pemerintah Belanda istilah daerah istimewa atau Swaprajadiartikan sebagai negara kecil-kecilan
dalam lingkungan Hindia Belanda saat itu, berbedahalnya dengan apa yang terjadi di Indonesia
setelah merdeka. Sejak berlakunya UUD 1945dari tanggal 18 Agustus 1945, sumber hukum bagi
pembentukan Daerah IstimewaYogyakarta adalah ketentuan hukum dasar ini. Pasal 18 UUD
1945 menjadi dasar yuridis atas pengakuan status keistimewaan beserta seluruh hak-hak khusus
yang memang telah menjadisifat aslinya. Soedarisman di dalam bukunya (hal. 53) menyebutkan
faktor-faktor yang dapatmenjadikan Yogyakarta sebagai daerah istimewa secara konstitusional.
Faktor-faktor tersebutantara lain:1.
Pengaturan Daerah Istimewa Yogyakarta dilakukan dengan Undang-undang.
13
Manan, Bagir. 1994. Hubungan Antara Pusat dan daerah Menurut UUD 1945.
Jakarta: Pustaka SinarHarapan. Hal. 157
14
Asshiddiqie, Jimly. 2005. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta:
Konstitusi Press. Hal. 262
https://www.academia.edu/6703642/KEISTIMEWAAN_DAERAH_DALAM_KONST
ITUSI_STUDI_KASUS_KEISTIMEWAAN_YOGYAKARTA_
UU Keistimewaan DIY dan Hak Rakyat atas tanah yang dijamin UUPA
Hak rakyat atas tanah dijamin oleh UU No 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria
(UUPA) dan aturan pelaksanaannya, tidak terkecuali di DIY. Menurut UUPA, agraria
meliputi bumi, air, dan udara; sehingga urusan pertanahan dan tata ruang tidak dapat
dipisahkan. Penguasaan tanah akan menentukan penataan ruang. Artinya, penentuan
suatu proyek di daerah tertentu akan lebih mudah jika penguasaan tanah di daerah
tersebut kuat secara hukum, apalagi jika suatu daerah dimiliki oleh satu pihak saja.
Terkait tata ruang, penguasaan tanah di DIY diubah agar sesuai dengan kepentingan
modal besar, yaitu megraproyek MP3EI. Di mana-mana, megaproyek ini dipromosikan
sebagai pembangunan, meskipun hakikatnya adalah penjajahan ekonomi oleh sistem
kapitalisme. Di manapun, MP3EI telah menimbulkan konflik sosial dan merusak
lingkungan hidup, karena MP3EI menyasaratkan pengambilalihan ruang hidup rakyat
demi pertambangan; industri berat; jalan tol; bandara internasional atau fasilitas jasa
pertemuan; penginapan; dan wisata. MP3EI menyebut perputaran modal di bidang jasa
ini sebagai proyek MICE: Meeting, Incentive, Convention, Exhibition (Yanuardy dkk,
2014). DIY adalah salah satu sasaran MICE, lebih-lebih dengan merek barunya: Jogja
Istimewa.
UUPA adalah satu-satunya peraturan tentang agraria dan berlaku di NKRI, termasuk di
DIY. Sementara, pasal 1 UUK DIY menyatakan bahwa UUK adalah aturan khusus dari
UU Pemerintahan Daerah, bukan aturan khusus dari UUPA. UUK tidak berlaku surut
ke belakang karena pengakuan atas hak asal-usul yang dimaksud UUK adalah bentuk
penghargaan dan penghormatan negara atas pernyataan berintegrasinya Kasultanan
dan Kadipaten ke dalam NKRI untuk menjadi bagian wilayah setingkat provinsi dengan
status istimewa (Pasal 4 huruf a). Artinya, klaim atas tanah-tanah SG dan PAG tidak
mempunyai dasar hukum yang sah, karena SG/PAG termasuk tanah swapraja (feudal)
yang sudah dihapuskan oleh Diktum IV UUPA. UUK juga melarang penghidupan
kembali feodalisme (Pasal 4) dan penyalahgunaan wewenang oleh Gubernur (Pasal 16).
Sehingga, UUPA sebagai aturan khusus dari UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) adalah dasar
hukum yang mengatur pertanahan di DIY saat ini. Bahkan, pemberlakuan kembali
Rijksblad 1918 (aturan pemerintah kolonial) dalam tata hukum NKRI adalah perbuatan
makar. Siapapun yang terlibat dalam perbuatan makar diancam dengan Pasal 106 dan
110 KUHP. SG/PAG sudah dihapuskan oleh HB IX, PA VIII, beserta DPRD melalui
Perda DIY No 3 Tahun 1984 yang merupakan pelaksanaan dari Keputusan Presiden No
33 Tahun 1984 dan UUPA.
C. Cara-cara mempertahankan hak atas tanah
a. Masyarakat harus menyadari bahwa dirinya mempunyai Hak atas Tanah dan hak itu
dijamin UUPA. Adapun cara memperjuangkan/mempertahankan hak di tingkat
perorangan dan kelompok sebagai berikut:
1) Bagi masyarakat yang menempati tanah turun-temurun dan belum memperoleh
hak milik tidak perlu mengurus surat ijin (serat kekancingan) ke Panitikismo untuk
mendapatkan hak menempati/memanfaatkan baik itu bernama magersari, ngindhung,
anggadhuh, dan angganggo. Mengurus magersari dan sebagainya berarti mengakui
SG/PAG berdasarkan Rijksblad 1918 yang telah dihapuskan sejak 1984, sehingga
masyarakat sama saja kehilangan hak atas tanah. Sebaliknya, masyarakat justru perlu
melakukan pendaftaran tanah yang telah ditempatinya turun-temurun
tersebut ke BPN agar mempunyai hak milik, bukan sekedar hak pakai/hak guna
bangunan. Jika maka menjadi kewajiban pemerintah untuk memberikan hak milik
sebagaimana amanat TAP MPR RI No 9 tahun 2001 dan UUPA beserta aturan
pelaksanaannya..
2) Bagi masyarakat yang sudah memiliki sertifikat hak milik tidak perlu menyerahkan
sertifikat hak miliknya kepada tim ajudikasi pertanahan Keraton/Pemerintah
Daerah/Pemerintah Desa meskipun alasannya untuk diperbaharui, karena akan status
hak milik dapat diubah menjadi hak pakai jika asal-usul tanah yang dimilikinya
dianggap sebagai SG/PAG.
3) Bagi masyarakat yang mempunyai Hak Guna Bangunan/Hak Pakai agar
memperpanjang haknya dengan status tetap di atas tanah negara atau meningkatkan
haknya menjadi hak milik. Apabila terjadi perubahan status dari HGB di atas tanah
negara menjadi HGB di atas tanah SG/PAG, maka masyarakat perlu menyadari bahwa
itu merupakan pelanggaran hukum.
4) Masyarakat sebagai pemilik sah dari tanah desa (tanah komunal) harus
mempertahankan tanah desa tetap menjadi milik desa sebagai badan hukum publik
sebagaimana amanat UU Desa, bukan membiarkan tanah desa dikuasai oleh badan
hukum swasta.
b. Masyarakat perlu menyebarkan pengetahuan tentang hak atas tanah tersebut kepada
masyarakat lainnya, baik yang sudah maupun yang belum menjadi korban
pengambilalihan hak. Bahwa: UUPA dan aturan pelaksanaannya tetap berlaku di
Indonesia, termasuk DIY.
c. Masyarakat perlu menggalang persatuan dengan sesama korban untuk menempuh
upaya hukum dan non hukum agar hak atas tanah yang dijamin UUPA tidak
dihilangkan oleh pihak manapun, karena hak atas tanah adalah hak atas ruang hidup.
http://selamatkanbumi.com/id/darurat-agraria-yogyakarta-tinjauan-hukumatas-situasi-terkini/
kepada masyarakat melalui hukum adat yang benar. Menurut dia, meski
sudah ditempati selama 50 tahun, tanah itu tidak bisa disertifikatkan.
"Kalau selama belum, ya enggak bisa. Hak itu enggak datang dari
langit," kata Suyitno.
Menurut Suyitno, pada 1918, sebagian tanah, baik Sultan Ground
maupun Pakualaman Ground, sudah diberikan izinnya oleh Keraton dan
Pakualaman untuk menjadi hak milik masyarakat secara turun-temurun.
Pada 1954, izin itu diubah menjadi bentuk hak milik.
Pada demonstrasi petani itu, kerabat Keraton Yogyakarta, Raden Mas
Adjikoesoemo, membagikan buku berjudul Pembelaan Tanah untuk
Rakyat, Jogja Gate, Pengkhianatan terhadap HB IX dan PA VIII kepada
anggota DPRD DIY. Buku itu diterima oleh Wakil Ketua DPRD DIY Tutiek
M. Widyo.
Keturunan Hamengku Buwono III ini mendukung perjuangan petani
pesisir itu. "Sultan HB IX dan PA VIII mengeluarkan Peraturan Daerah
Nomor 5 Tahun 1954, di mana pasal 10 mengatakan bahwa orang yang
memakai tanah secara turun-temurun, (tanah itu) bisa dijadikan hak
milik," kata Adji yang disambut dengan teriakan massa petani.
Sebelumnya, Adjikusumo juga menyerahkan buku itu kepada Kepala
Kepolisian Daerah DIY yang diwakili oleh Kepala Pelayanan Polda DIY
Komisaris Riyanto. "Adalah bohong jika SG dan PAG masih berlaku di
DIY. Justru itu sudah tidak ada. Jadi proyek Keraton yang
mengatasnamakan SG dan PAG itu melawan hukum."
PRIBADI WICAKSONO | PITO AGUSTIN RUDIANA
https://m.tempo.co/read/news/2012/07/10/058415937/petani-tuntut-milikitanah-sengketa-keraton-yogya
ekanan kuasa dan modal yang tak tersentuh telah membawa perubahan besar
di Yogyakarta.
Yogyakarta berupa izin pendirian bangunan, seluas 465 meter persegi, bagi
seseorang bernama Eka Aryawan.
Melewati pelbagai perubahan sosial dan politik serta pergantian rezim, kelima
rakyat kecil itu, yang sumber ekonominya ditopang oleh jalinan usaha kaki lima
di sepetak tanah, mendadak limbung ketika sebuah proyek gedung dua lantai
itu berdiri. Si pengusaha lewat pengacaranya mengugat mereka Rp 1,12 miliar!
Bermula dari selembar surat. Pada 28 November 2011, lembaga keraton yang
mengelola tanah kesultananbiasa disebut panitikismolewat Hadiwinoto
menerbitkan kekancingan bagi Eka Aryawan. Hadiwonoto adalah adik Sultan
yang mengurusi aset keraton. Kekancingan adalah surat pinjam-pakai atas
tanah yang diklaim milik, dan diterbitkan oleh, keraton.
Dalam surat itu, Keraton Yogyakarta memberi izin kepada Eka Aryawan untuk
memakai lahan 73 meter persegi. Di atas sebagian kecil lahan itulah terdapat
warung Sutinah dan koleganya serta lapak Budiono. Surat keraton itu memenuhi
permohonan hak magersari tanah keraton, di antara sejumlah sebutan hak
pinjam-pakai lain, yang intinya seorang warga sipil di Yogyakarta mengajukan
hak atas tanah bukan keprabon yang belum dimanfaatkan oleh keraton.
Kawasan Keraton Yogyakarta yang ramai dan padat; Keraton menghadapi sejumlah kasus
pengambilalihan lahan yang diklaim miliknya dengan masyarakat setempat (Dok. Eko Susanto)
Kasultanan Yogyakarta membagi tanah menjadi dua jenis: keprabon dan bukan
keprabon. Tanah keprabon adalah areal yang ditempati bangunan keraton dan
upacara adat seperti alun-alun, masjid Gedhe Kauman, pasar Beringharjo,
panggung Krapyak, hingga labuhan di gunung Merapi dan pantai Parangkusumo.
Sementara tanah bukan keprabon merupakan tanah yang belum terikat alas
hak.
segera melapor pada sang raja. Raja memanggil pelaku tapa pepe untuk
didengar keluhannya.
Kelima pedagang melakukan aksi tapa pepe 13 September 2015 (Dok. Anang Zakaria)
Kami cuma ingin tetap bisa jualan di sana, kata Budiono kepada para
wartawan. Duit apa yang kami pakai untuk membayar?
Setengah jam lamanya mereka berjemur di alun-alun. Tak seorang pun dari
utusan raja menemui mereka. Justru yang ada beberapa wisatawan yang
memotret beberapa kali lalu pergi.
SUARA Oncan Poerba meninggi. Dia mengatakan, jika para pedagang telah
menempati lahan itu sejak 1960an, mengapa mereka tak punya selembar surat
pun yang membuktikan hak mereka atas tanah itu? Tapi dia meyakini bahwa
keraton takkan mengizinkan mereka di sana. Kehadiran lapak pedagang di
sekitar trotoar, menurutnya, akan membuat pemandangan kota semakin kumuh
saja.
Mereka melanggar keindahan kota, katanya.
Sejak pertengahan tahun 2015 Oncan menjadi kuasa hukum Eka Aryawan. Dia
mengaku telah menempuh jalur damai atas sengketa ini. Semula ada tiga
kelompok pedagang; dan dua di antaranya bersedia pindah. Tinggal satu
kelompok ini yang ngeyel, katanya.
Meski Oncan mengakui ada kesepakatan antara kliennya dan kelima pedagang,
tapi menurutnya, perjanjian itu bukan berarti membiarkan pedagang bisa tetap
menguasai lahan yang dimiliki kliennya. Kantor hukumnya telah melayangkan
gugatan ke Pengadilan Negeri Kota Yogyakarta.
Eka Aryawan sendiri adalah pengusaha asal Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, yang
membuka toko grosir mainan anak-anak di depan Hotel Melia Purosani, Kota
Yogyakarta. Sekitar sepuluh tahun lalu, Aryawan membeli dua bidang tanah di
Jalan Brigjen Katamso. Masing-masing seluas 99 meter persegi dan 293 meter
persegi. Di atas kedua bidang tanah itulah, persis di sebelah barat tanah
sengketa dengan pedagang, dibangun gedung dua lantai. Karena gedung baru
membutuhkan akses jalan, dia mengajukan permohonan hak pinjam-pakai tanah
kepada Keraton Yogyakarta.
Oncan tak tahu pasti dari mana kliennya membeli tanah itu. Yang jelas, meski
telah membeli, Aryawan hanya mampu mengantongi sertifikat Hak Guna
Bangunan. Tidak bisa punya sertifikat hak milik tanah, katanya.
Pembangunan sebuah apartemen di Jakal KM 5 yang ditolak warga sekitar (Dok. Eko Susanto)
Pada 2014, Granad mengirim surat pengaduan serupa kepada Menteri Agraria
dan Tata Ruang, Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepolisian RI, Menteri Dalam
Negeri, dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Lembaga terakhir
meresponsnya melalui surat rekomendasi kepada Gubernur DIY supaya
menghentikan aturan 1975 karena bertentangan dengan hak asasi manusia.
Spanduk penolakan warga terhadap pembangunan apartemen di Jakal kilometer 11 (Dok. Eko
Menelan biaya Rp 10 miliar per tahun, kegiatan macam ini bakal berlangsung
lama hingga seluruh tanah terdata dan mendapat sertifikat dari BPN. Perkiraan
Suharsono, ia baru selesai pada 2024.
Ini pekerjaan besar dan pelik. Ada banyak data dari bermacam versi
menyebutkan luasan tanah yang diklaim milik sultan dan pakualam, tapi tak ada
angka yang pasti. Bila merujuk Rijksblad, kecuali tanah yang telah dimiliki
perorangan dan lembaga, sisanya adalah tanah di wilayah Kasultanan dan
Kadipaten.
Sejumlah pertanyaan muncul: Masih adakah Sultan Ground dan Pakualaman
Ground? Kalaupun masih ada, bagaimana posisinya di depan hukum
pertanahan nasional?
Saya menemui Nimatul Huda, pakar hukum tata negara dari Universitas Islam
Indonesia. Dia sering diminta sebagai pakar ahli pada sesi rapat di dewan
daerah mengenai urusan hak keistimewaan dan tata negara, serta akademisi
yang dilibatkan dalam penyusunan draf UU Keistimewaan DIY. Huda menulis
buku Status Hukum Tanah Keraton Yogyakarta Setelah diberlakukannya UU No 5
tahun 1960 di Provinsi DIY(UII Press, 1997).
Menurutnya, persoalan kedua jenis tanah itu semestinya selesai sejak 1984.
Pada tahun itu, pemerintah DIY menerbitkan Peraturan Daerah nomor 3 tentang
Pelaksanaan Berlaku Sepenuhnya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang
Pokok Agraria di DIY. Di tahun yang sama Presiden Soeharto telah mengeluarkan
keputusan nomor 33 tentang hal serupa.
Selesai dalam arti (tanah SG dan PG) itu diatur menjadi milik negara,
jawabnya.
Dalam Diktum IV (huruf A) pada UU Pokok Agraria, ujar Huda, hak dan
wewenang atas bumi dan air dari Swapraja dan bekas Swapraja dihapus dan
beralih menjadi milik negara. Soal pembagiannya, dia meminta saya melihat
Baginya, keraton telah memberikan hak pakai pada seseorang. Jika hak itu
diambil orang lain, maka yang terjadi adalah urusan antara penerima hak dan
orang tersebut.
Pada akhir September 2015, saya mengikuti sebuah aksi protes yang digalang
Komite Aksi untuk Reformasi Agraria di halaman gedung dewan daerah. Di sana
ada Sri Kus Antoro, sekretaris Granad serta juru bicara komite itu. Mari kita
tengok bunyinya (Perjanjian Giyanti 1755) seperti apa? kata Kus menanggapi
pernyataan Sultan.
Menurutnya, pasal 1 (alinea ke-7 hingga ke-8) dalam Perjanjian Giyanti
menyebutkan, Sultan Hamengku Buwono I, raja pertama Kasultanan Yogyakarta,
diangkat oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), sebuah kongsi
dagang Hindia Belanda. Pembagian wilayah itu merupakan usaha VOC
menyelesaikan konflik internal di Mataram. Sultan diangkat menjadi raja
Kasultanan dan dipinjami tanah untuk wilayahnya.
Dia mengatakan pinjaman tanah sebagai wilayah kasultanan karena
sebelumnya, pada 1749, Raja Mataram Paku Buwono II telah menyerahkan
kekuasaan dan wilayahnya kepada VOC. Sehingga Perjanjian Giyanti adalah
ikutan dari perjanjian sebelumnya, kata Kus.
Pada 1940, Sultan Hamengku Buwono IX pernah mengadakan perjanjian dengan
Belanda. Dalam perjanjian itu disebutkan Kasultanan Yogyakarta adalah bagian
dari Kerajaan Belanda. Negara merdeka mana yang diargumentasikan?
Pertanyaan tentang negara merdeka itu merujuk pada Sabdatama Sultan HB X
pada 10 Mei 2012. Pada paragraf ketiganya tertulis Mataram iku negri kan
merdika lan nduweni paugeran lan tata kaprajan dewe. Maksudnya, Kerajaan
Mataram adalah negara merdeka yang punya aturan (paugeran) dan tata
pemerintahan sendiri.
Kalau tidak ada yang mencegah, DIY akan menjadi contoh praktik negara
dalam negara, ujar Kus.
Titik Nol Kilometer yang mengubungkan pusat wisata dan politik di Yogayakrta (Dok. Eko
Susanto)
HARI bahkan belum sore benar tapi langit Yogyakarta sudah gelap ketika saya
menemui Budiono, 20 Desember 2015, di tempat dia membuat duplikat kunci.
Jalan padat kendaraan, mobil dan sepeda motor menderu, bercampur suara
bising dan asap knalpot. Tangan Budiono terampil mengoperasikan knop mesin
pembuat kunci.
Saya membeli mesin ini tahun 1985, katanya. Sebelum ada mesin ini, saya
membuat kunci hanya dengan itu. Tangannya menunjuk sejumlah alat pengikir
besi yang berserakan di permukaan gerobak.
Dulu mesin itu dibelinya dengan harga Rp 2 juta, yang dia bilang sendiri sangat
besar pada saat itu, dan dia tidak menyesal. Bertahun-tahun, dari mesin itulah
dia mendapat penghidupan bagi keluarganya. Bahkan kini dua anaknya, Agung
dan Ari, bisa bekerja sebagai pembuat kunci dengan memanfaatkan mesin
tersebut.
Mereka telah memiliki pelanggan tetap. Ya, itu juga, kalau saya pindah alias
digusur, bagaimana dengan pelanggan?
Lapaknya bersama warung milik Sutinah, Suwarni, dan Sugiyadi terancam
hilang di sebuah tempat yang telah mereka huni sebagai sumber ekonomi
selama 30-50 tahun. Kini hampir tiap pekan mereka harus menjalani sidang di
Pengadilan Negeri Kota Yogyakarta untuk menghadapi gugatan dari pihak Eka
Aryawan.
Agenda persidangan terdekat, saat saya menemuinya, adalah pemeriksaan
saksi dari pihaknya.
Proses persidangan itu bagi Budiono melelahkan. Tetapi dia menilai itu adalah
bagian perjuangan untuk mempertahankan tempat mereka dari penggusuran.
Para pegiat sosial dan perkotaan menggalang solidaritas termasuk dengan
mengumpulkan koin. Di atas gerobaknya tergantung sebuah spanduk
bertuliskan Posko Koin untuk 5 PKL.
Sudah berapa uang terkumpul?
Tiga jutaan, katanya singkat.
Saya diam, lalu membayangkan butuh berapa lama lagi untuk mengumpulkan
koin hingga mencapai Rp 1,12 miliar?*
http://pindai.org/2015/12/23/sengketa-tanah-di-bumi-mataram/
Pasal 18A
(1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi,
kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan Undangundang
dengan
memperhatikan
kekhususan
dan
keragaman
daerah.
**)
(2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan
secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang. **)
Pasal 18B
(1) Negara mengakui dan menghormati satuansatuan pemerintahan daerah yang bersifat
khusus
atau
bersifat
istimewa
yang
diatur
dengan
Undang-undang.
**)
(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta
hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undangundang. **)