You are on page 1of 30

Definisi Tanah Swapraja

Wilayah/daerah swapraja adalah wilayah yang memiliki hak pemerintahan sendiri.


Istilah
ini
dipakai
sebagai
peranan
bagi
istilah
pada
masa
kolonial
Belanda, zelfbestuur (jamakzelfbesturen).
Sistem administrasi daerah Indonesia pada masa Hindia-Belanda dikenal rumit dan
mengakui bentuk-bentuk pemerintahan daerah yang berbeda-beda. Daerah swapraja adalah salah
satu bentuk yang diakui oleh pemerintah kolonial dan mencakup berbagai bentuk administrasi,
seperti kesultanan, kerajaan, dan keadipatian. Status swapraja berarti daerah tersebut dipimpin
oleh pribumi berhak mengatur urusan administrasi, hukum, dan budaya internalnya. Contoh
daerah swapraja adalah Kesunanan Surakarta. Pemerintahan pendudukan Jepang (1942-1945)
menggantikan status daerah swapraja menjadi kochi.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, daerah-daerah di Indonesia memperoleh
status daerah swapraja oleh pemerintahan antara Hindia-Belanda melalui berbagaiLembaran
Negara (Staatsblad). Pada masa Republik Indonesia Serikat, daerah-daerah swapraja menjadi
bagian dari "negara" /negara bagian.
Reorganisasi pemerintahan daerah semenjak berlakunya UU no. 1 tahun 1957 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan Daerah secara efektif menghapus status swapraja dan membentuk
"daerah yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri ", yang juga disebutDaerah
Swatantra dan Daerah Istimewa (Pasal 1).
*Penjelasan Tanah Swapraja
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Swapraja berasal dari kata Swa yang
berarti; sendiri dan Praja yang berarti; kota-negeri, Swapraja, berarti daerah yang
berpemerintahan sendiri. Dengan demikian, daerah Swapraja berati daerah yang memiliki
Pemerintahan sendiri. Sebutan swapraja tidak terdapat di dalam Undang-Undang Dasar 1945,
dalam penjelasan Pasal 18 disebut; Zelfbesturende Landschappen. Baru di dalam Konstitusi
Republik Indonesia Serikat dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 di jumpai sebutan
swapraja, masing-masing dalam Bab II dan Bab IV. Di dalam II bagian III Konstitusi Republik
Indonesia Serikat yang berjudul daerah Swapraja, dinyatakan dalam pasal 64 dan 65,
bahwa; daerah-daerah Swapraja yang sudah ada, diakui. Mengatur kedudukan daerah-daerah
swapraja masuk dalam tugas dan kekuasaan daerah-daerah bagian yang bersangkutan, dengan
pengertian bahwa mengatur daerah itu dilakukan dengan kontrak, yang diadakan antara daerahdaerah bagian dengan daerah-daerah swapraja yang bersangkutan. Dalam Bab IV UndangUndang Dasar Sementara 1950 yang berjudul; Pemerintah Daerah dan Pemerintah Swapraja,
dinyatakan dalam pasal 32, bahwa kedudukan daerah-daerah swapraja diatur dengan UndangUndang.
UUPA dalam Diktum ke IV, masih menyebut adanya daerah swapraja dan bekas swapraja,
namun demikian, hingga kini Peraturan Pemerintah yang secara khusus merupakan pelaksanaan
dari Diktum ke IV UUPA huruf A tersebut, belum juga ada. Yang ada adalah Peraturan
Pemerintah No. 224 tahun 1961 yang memuat ketentuan mengenai pembagian tanah swapraja
dan bekas swapraja dalam rangka pelaksanaan Landreform. Peraturan Pemerintah Nomor 224
tahun 1961.
Indonesia pada waktu masih menjadi Hindia Belanda, terdiri atas daerah-daerah yang
diperintah langsung oleh Pemerintah Hindia Belanda ( Rechtstreeks Bestuurgebeid ) dan daerahdaerah yang pemerintahannya diserahkan kepada Zelfbestuurders, yaitu apa yang dikenal sebagai
daerah-daerah swapraja. Menurut Prof.Boedi Harsono, swapraja adalah suatu wilayah

pemerintahan yang merupakan bagian dari daerah Hindia Belanda, yang kepala wilayahnya
( dengan sebutan; Sultan, Sunan, Raja atau nama adat yang lain ), berdasarkan perjanjian
dengan Pemerintah Hindia Belanda menyelenggarakan pemerintahan sendiri ( dalam Indische
Staatsregeling 1855 Pasal 21 disebut; Zelfbestuur ) di wilayah yang bersangkutan, masingmasing berdasarkan perjanjian tersebut serta adat-istiadat daerahnya masing-masing yang
beraneka ragam.
*Contoh Tanah Swapraja
Hukum Tanah Swapraja adalah keseluruhan peraturan tentang pertanahan yang khusus
berlaku di daerah swapraja, seperti Kesultanan Yogyakarta. Hukum Tanah Swapraja ini pada
dasarnya adalah hukum tanah adat yang diciptakan oleh Pemerintah Swapraja dan sebagian
diciptakan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Landasan hukumnya adalah antara lain Koninlijk
Besluit yang diundangkan dalam Staatsblad No. 474 tahun 1915 yang intinya memberi
wewenang pada penguasa swapraja untuk memberikan tanahnya dengan hak-hak barat serta
Rijksblad Kesultanan 1918 No.16 jo 1925 No.23, serta Rijksblad 1918 No.18 jo Rijksblad 1925
No.25 dimana hak milik atas tanah tidak diberikan kepada warga negara Indonesia non-pribumi.
Dalam konsiderans Staatsblad No. 474 tahun 1915 ditegaskan bahwa di atas tanah-tanah
yang terletak dalam wilayah hukum swapraja, dapat didirikan hak kebendaan yang diatur dalam
Burgerlijk Wetboek (BW), seperti hak eigendom, erfpacht, opstal, dan sebagainya.
Dimungkinkan bagi pemerintah swapraja untuk memberika tanah-tanah swapraja dengan hakhak barat, terbatas pada orang-orang yang tunduk pada BW saja. Sebagai contoh adalah daerah
Yogyakarta yang sampai sekarang masih dijumpai tanah-tanah swapraja.
DI Yogyakarta, Sultan merupakan pemilik tanah yang merupakan tanah Keraton. Rakyat
hanya punya hak sewa atau hak pakai dan biasa disebut magersari. Jika Sultan menghendaki,
sewaktu-waktu ia dapat mencabutnya kembali. Menurut sejarahnya, hukum tanah diatur
bersama-sama, baik dengan tanah kas desa, tanah penduduk, maupun tanah Keraton itu sendiri.
Tanah kas desa di DIY merupakan pemberian dari pihak Keraton Yogyakarta. Karenanya,
berbagai permasalahan yang berkaitan dengan tanah kas desa dapat diselesaikan dengan cara
musyawarah sehingga pemanfaatan tanah tersebut dapat dilakukan secara optimal. Sedangkan
Tanah Keraton adalah tanah yang belum diberikan haknya kepada penduduk maupun kepada
pemerintah desa, masih merupakan milik Keraton sehingga siapapun yang akan
menggunakannya harus meminta ijin kepada pihak Keraton.
Berdasarkan UU No 3 Tahun 1950 sebagaimana diubah dengan UU No 19/1950 dan UU
No 9/1955 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta, DIY mengalami perubahan dari
sebuah daerah swapraja menjadi sebuah daerah yang bersifat istimewa di dalam teritorial NKRI.
Bentuk keistimewaan yang menonjol yang diberikan kepada DIY adalah pada hukum
pertanahan. Aturan di DIY itu terlepas dari aturan pertanahan yang ada seperti Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dan sebagainya.
Alasannya adalah di DIY sudah ada dasar hukum yang mapan, yaitu menggunakan hukum
zaman Belanda dan hukum adat. Hal itu dikarenakan tidak adanya istilah adat seperti hak
magersari, nelosor, nginduh dan nggandok.
Di DIY pada awalnya tidak pernah ada tanah negara. Semua tanah negara di DIY adalah
tanah Sultan, yang sejak kemerdekaan diberikan kepada pemerintah daerah. Selain itu, ada tanah
milik Keraton Yogyakarta (Sultan Ground), dan tanah milik Puro Paku Alam (Paku Alam

Ground), yang sebagian saat ini digunakan oleh masyarakat untuk bermukim atau berbudidaya
dengan kekancing atau sertifikat hak pakai dari Keraton dan Puro, tetapi bukan hak milik.
Karena bersifat istimewa, pertanahan DIY dengan demikian seharusnya juga tidak cukup diatur
dengan UUPA, melainkan harus dijabarkan dalam Peraturan Daerah (Perda).
Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan bahwa status tanah Sultan Ground dan
Paku Alam Ground adalah tanah ulayat (Tanah Adat) dan tidak dijamin oleh UUPA, sampai
sekarang status kepemilikannya dibuktikan surat yang dikeluarkan keraton, oleh karena itu
pemerintah pusat harus memperjelas kepastian hukum status tanah milik keraton dan Paku Alam
melalui sebuah Undang-Undang.
Dualisme penerapan hukum tanah di DIY telah berlangsung sejak diterbitkannya UUPA
yang mengatur secara detail mengenai ketentuan hukum agraria secara nasional. Bagi
Yogyakarta, UU tersebut awalnya harus dikecualikan dan penerapannya baru diakui pada 2
Februari 1984 dimana Sri Sultan Hamengkubuwono IX secara resmi menyatakan UUPA juga
berlaku di Yogyakarta.
Sri Sultan HB X sebagai Gubernur DIY mengatakan bahwa meskipun wilayah DIY
termasuk sempit (sekitar 3.185,8 km2), namun akumulasi masalah mengenai pertanahan di DIY
tergolong rumit dan unik. Hal itu tampak sekali ketika dirunut dari faktor sejarah berdirinya DIY.
Dari seluruh luas wilayah DIY, 4.000 hektar di antaranya adalah Sultan Ground dan Paku Alam
Ground, yang berupa tanah-tanah raja dan keluarga Keraton, situs, tanah yang digarap
masyarakat atau magersari dan tanah kosong serta garapan kosong. Tanah Sultan Ground dan
Paku Alam Ground adalah tanah yang bukan milik perseorangan atau desa. Kebanyakan
digunakan untuk tempat tinggal dengan status magersari. Mereka tidak memiliki sertifikat,
melainkan surat kekancingan yang dikeluarkan kraton. Tentu dengan konsekuensi siap pindah
apabila tanah yang ditempati diminta kraton.
http://kumpulan-berbagai-ilmu2015.blogspot.co.id/2015/05/tanahswapraja.html

PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANGBelakangan ini media santer menyiarkan pemberitaan yang menggugah
hatimasyarakat di tanah air untuk menengok kembali isi sejarah bangsanya. Sebuah provinsi
diIndonesia dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta yang terkenal sebagai kota
pelajarsekaligus pusat kebudayaan di pulau Jawa mendapat sorotan perihal pernyataan
PresidenSusilo Bambang Yudhoyono mengenai penetapan gubernur di wilayah
tersebut. Yogyakartadengan luas sekitar 3.185,80 km
2
memiliki karakter yang unik, sebuah penjelmaan konkritdari nilai-nilai idealis masyarakat
Indonesia yang hidup bergotong-royong. Walaupunmasyarakatnya masih hidup secara komunal,
mereka tetap memegang tradisi luhur yang berdampingan dengan globalisasi modern.
Keistimewaan Yogyakarta tidak hanya terletak pada kelebihan-kelebihan atas julukannya sebagai

gudang cendekia atau potensi sosio-filosofisnya semata, akan tetapi ada hal lain yang patut
membuat provinsi ini mendapatkan
anugerah istimewa.
Presiden Soekarno selaku presiden pertama di negara ini telah memberikanYogyakarta status
yang berbeda dari daerah lain. Status istimewa yang dimiliki Yogyakartaantara lain melingkupi
hak khusus Sultan sebagai gubernur DIY serta Paku Alam sebagaiwakil gubernurnya.
Keistimewaan ini berbeda dengan keistimewaan yang diberikan oleh pemerintah kepada provinsi
lain seperti Daerah Istimewa Aceh (Nanggroe Aceh Darussalam)maupun Daerah Khusus Ibukota
Jakarta (DKI Jakarta). Jika di Aceh dan Jakarta statusistimewa lebih kepada kekhususan dalam
hal peraturan maupun perwilayahan, maka diYogyakarta tampuk pemerintahan berada langsung
di bawah pengaruh keluarga keratonKasultanan Ngayogyakarta Hardiningrat.Tradisi pewarisan
kekuasaan di Yogyakarta mengundang beragam kontroversi akan pelaksanaan sistem demokrasi
di negara republik seperti Indonesia, sehingga Amanat 5September yang tadinya
mengintegrasikan daerah Kesultanan Yogyakarta berubah menjadisebuah polemik. Amanat 5
September merupakan bukti tertulis dalam sejarah bagaimanaYogyakarta dapat mencapai status
keistimewaannya. Amanat tersebut merupakan sebuah janji yang dibuat atas dasar pengorbanan
rakyat Yogya dalam memperjuangkan kemerdekaan

RI serta sebagai tanda penghormatan kepada Kesultanan yang telah memberikan


banyakkontribusi untuk mewujudkan kemerdekaan bagi nusantara.Badan legislasi selaku pihak
yang memegang peranan penting dalam pengesahanRUU Keistimewaan Yogyakarta terkesan
tidak begitu serius dalam menanggapi masalah ini.Belum ada agenda khusus untuk
membicarakannya. Selain itu di DPR sendiri masih terjadi perbedaan pendapat akan keputusan
yang sebaiknya diambil. Tarik-ulur yang dilakukan olehDPR terasa amat merugikan. Rakyat
Yogyakarta merasa aspirasi mereka tidak didengarkandan Sultan pun merasa tidak dipenuhi
haknya. Penetapan gubernur di wilayah Yogyakarta bagi warganya tidak dianggap sebagai
sebuah tindakan yang mengancam demokrasi bangsa.Bagi mereka itu justru merupakan bentuk
perwujudan dari suara masyarakat yang inginmempertahankan kehidupan budaya mereka
melalui pemerintahan keraton yang diwarisisecara turun-temurun. Akan tetapi, pihak-pihak yang
menghendaki dilakukannya pemilihan beranggapan lain. Menurut mereka, penetapan gubernur
secara langsung akan melanggarkonstitusi. Karena itu pemerintah seharusnya membuka peluang
bagi calon selain sultanuntuk maju ke pemilihan di daerah.Masalah yang hingga detik ini belum
dicapai titik temunya tersebut akan saya bahasdi dalam makalah ini. Saya akan lebih fokus dalam
membahas mengenai konsep dan teoritentang daerah istimewa di Indonesia serta jalan panjang
regulasi menuju keistimewaanYogyakarta. Meskipun pernyataan yang menyinggung
pemerintahan monarki di Yogyakartaoleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa waktu
silam sempat menyulut api dialam demokrasi bangsa serta kehidupan tata negara Indonesia, saya
tidak akan membahasnya pada makalah ini. Yang menjadi objek penelitian adalah keistimewaan
dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia, bukan isu mengenai monarki yang
berakar pada salahkaprah.
B.

RUMUSAN MASALAHDalam ketentuan-ketentuan yang terdapat pada Hukum Tata Negara,


sifatkeistimewaan dan kekhususan daerah di Indonesia diakui, bahkan
setelah diamandemennyaUUD 1945. Latar belakang historis negara kita yang kaya akan beragam
kebudayaanmendorong para pendiri bangsa untuk turut menghormati keistimewaan dan
kekhususandaerah-daerah tertentu tersebut.Yang menjadi rumusan masalah dari makalah ini
adalah; apakah keistimewaan yangdisandang oleh Yogyakarta secara konstitusional telah sesuai
dengan porsinya? Serta apakahstatus keistimewaan menganugerahkan perkecualian untuk
peraturan umum atas wilayahyang bersangkutan di Negara Kesatuan Republik Indonesia?C.
METODOLOGI PENELITIANPada proses penyusunan makalah ini saya menggunakan metode
penelitian berupatinjauan pustaka. Yang dimaksud dengan metode penelitan tinjauan pustaka itu
ialah peninjauan kembali pustaka-pustaka yang terkait. Sesuai dengan arti tersebut,
tinjauan pustaka berfungsi sebagai peninjauan kembali (
review
) pustaka (laporan penelitian, dansebagainya) tentang masalah yang berkaitan

tidak selalu harus tepat identik dengan bidang permasalahan yang dihadapi

tetapi termasuk pula yang seiring dan berkaitan (


collateral
).Buku-buku yang saya gunakan sebagai sumber kebanyakan merupakan buku-buku
yangmemuat ulasan maupun penjelasan mengenai UUD 1945, sejarah keistimewaan DIY,
maupunUU lainnya yang berkaitan dengan hal yang saya bahas di sini.

B.
Aspek Historis dan Yuridis Keistimewaan Kasultanan Yogyakarta
Memasuki abad kedua puluh, bersamaan dengan berlakunya Politik Etis (
circa
1901)yang diterapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda atas usulan Van Deventer,
pikiranmasyarakat Indonesia akan hakikat kemerdekaan semakin terbuka. Saat itulah bangsa
kitamulai melihat nusantara sebagai sebuah kesatuan yang besar dengan kearifan lokal
bernilailuhur di setiap daerahnya. Gerakan yang menuntut kemerdekaan muncul tidak hanya
dalam bentuk perjuangan fisik, masyarakat mulai membentuk organisasi-organisasi
berskalanasional. Dengan dirintis oleh para pemuda, organisasi-organisasi tersebut
menginspirasikhalayak luas untuk turut memahami arti persatuan sebagai sebuah bangsa
dalammenghadapi penjajah. Dari organisasi-organisasi tersebut, ada beberapa tokoh yang
menjadi penggerak usaha-usaha mereka untuk meraih kemerdekaan. Salah satunya yang secara
nyatamemberikan partisipasi terhadap penegakkan kedaulatan di negara Indonesia serta
menjadifigur utama dibalik status keistimewaan Yogyakarta ialah Sri Sultan Hamengku Buwono
IX.Kasultanan Yogyakarta terlahir sebagai ekses dari Perjanjian Giyanti. Perjanjian bertanggal
13 Februari 1755 yang disponsori oleh Pemerintah Belanda itu melatarbelakangi pecahnya
Kerajaan Mataram menjadi dua kekuatan; Kasultanan Yogyakarta dan KasunananSurakarta.
Kasultanan Yogyakarta yang dipimpin oleh Sultan Hamengku Buwono Imendirikan pusat

pemerintahan di kota Yogyakarta pada tanggal 7 Oktober 1756. KedudukanKasultanan


Yogyakarta terhadap kekuasaan Belanda pasd masa itu berbeda dengankedudukan daerah-daerah
lainnya. Status Kasultanan Yogyakarta tidak diatur di dalamordonnantie (undang-undang),
melainkan diatur dalam sebuah perjanjian antara GubernurJenderal Belanda dan Sri Sultan yang
dinamakan
politiek
contract
. Adanya perjanjian inimembuat Gubernur Jenderal tidak dapat mengatur Kasultanan Yogyakarta
secara sepihak,akan tetapi kedua belah pihak haruslah bersama-sama menentukan arah kebijakan
yang akandiambil. Yogyakarta menjadi bagian dari Hindia Belanda yang berada di bawah
kekuasaanRatu Belanda namun tetap mempertahankan kemandiriannya. Untuk kepentingan di
wilayah
yurisdiksinya, Sultan dapat mengeluarkan peraturan-peraturan yang harus melalui persetujuan
dari Gubernur Jenderal terlebih dahulu.
9
Status istimewa yang melekat pada Kasultanan Yogyakarta terus berlanjut ketikaHindia Belanda
jatuh ke tangan Jepang. Berdasarkan Surat Petunjuk Gunseikan tanggal 1Agustus 1942
dijelaskan bahwa posisi Pepatih Dalem (wakil Sultan dalam menjalankanfungsi
pemerintahannya) diangkat oleh Pemerintah Jepang melalui persetujuan Sultan. Sultan berhak
untuk mengeluarkan peraturan-peraturan di daerahnya asal tidak bertentangan dengansemua
undang-undang dari penjajah Jepang apabila telah disetujui sebelumnya.
10
Untukmengontrol dan membatasi otoritas Sultan, Dai Nippon Gun Sireikan (Panglima
BesarBalatentara Dai Nippon) memiliki kewenangan mengangkat maupun memecat Ko
(Sultan).Akhirnya ketika Soekarno dan Hatta dengan mewakili rakyat Indonesia
seluruhnyamemproklamirkan kemerdekaan bangsa, geliat revolusi melanda seluruh daerah.
Tanpaterkecuali Yogyakarta, justru Sri Sultan Hamengku Buwono IX sendirilah yang
mempelopori berkobarnya revolusi di daerah kesultanan. Rakyat menghendaki agar Kasultanan
Yogyakartadan daerah Paku Alaman secara positif menyatakan dengan tegas, apakah akan
memihakkepada Republik Indonesia, ataukah bersikap ragu-ragu sambil
memperhitungkankemungkinan akan berkuasanya lagi penjajah Belanda di Indonesia.
11
Atas desakan rakyatnyatersebut, Sri Sultan merespon melalui Amanat 5 September 1945 yang
pada dasarnyamenyatakan kesediaan Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai
daerah istimewa
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.Republik Indonesia dibentuk berdasarkan bermacammacam daerah dengan bangsa- bangsa yang menyebar luas dari Sabang sampai Merauke. Oleh
karena keberadaan bangsa- bangsa itu jauh mendahului adanya negara, maka integritas menjadi
sebuah elemen yang penting bagi keberadaan negara. Suatu integrasi masyarakat, yang memiliki
kesamaan pandang atau mengakui memiliki suatu ikatan sebagai lambang dari kebersamaannya
adalah bangsa.
12

Indonesia berusaha untuk mengakomodasi keberagaman yang ada


melalui jaminankeistimewanan sebagaimana yang terlah disinggung dalam penjelasan di
atas. Namun perlu
9
Poerwokoesoemo, Soedarisman. 1984. Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta:
Gadjah Mada UniversityPress. Hal. 4
10
Soedarisman, hal. 7
11
Soedarisman, hal. 15
12
Juliantara, Dadang. 2002. Negara Demokrasi Untuk Indonesia. Solo: Pondok
Edukasi. Hal. 57

diingat, di dalam penjelasan pasal 18 UUD 1945 (sebelum amanedemen kedua) disebutkan
bahwa Indonesia merupakan suatu
eenheidstaat
atau
negara kesatuan.
13
Tidak dimungkinan
terciptanya
staat
atau negara bagian sebagaimana yang terjadi di Amerika Serikat.
Penjelasan pasal 18 UUD 1945 mengidentifikasi hak-hak asal-usul dalam daerah-daerahistimewa
sebagai daerah yang mempunyai susunan asli yaitu
persekutuan hukum teritorialIndonesia asli dengan sifat hukumnya sendiri. Pemerintahannya
diciptakan dan dijalankan
oleh bumiputra sendiri.
Suatu negara kesatuan sudah dengan sendirinya dapatdikembangkan dengan tetap menjamin
otonomi daerah-daerah yang tersebar di seluruh tanahair Indonesia yang sangat luas dan
majemuk.
14
Ketika Yogyakarta masuk menjadi bagian dari Republik Indonesia, berdasarkan atasasas
good faith
atau itikad baik, kedua belah pihak terikat janji satu sama lain untukmewujudkan kemerdekaan
serta mengisinya dengan pengamalan nilai-nilai Pancasila selakudasar negara. Beranjak dari
itulah, Kasultanan Yogyakarta terhadap Republik Indonesiamerupakan hubungan antara daerah
istimewa dengan sifat-sifatnya yang khusus sebagaimanatelah disepakati, bukan hubungan antara
negara bagian (
staat

) dengan pemerintah pusat.Pasal 18B ayat 1 telah menjamin bentuk pemerintahan daerah secara
khusus dan diistimewamenjadi kewenangan atas daerah dengan status khusus yang disandangnya
tersebut.Keberadaan Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi sebuah ketentuan hukum khusus
yangwajib dikecualikan pemberlakuannya atas ketentuan hukum umum.Jika dulu pada masa
Pemerintah Belanda istilah daerah istimewa atau Swaprajadiartikan sebagai negara kecil-kecilan
dalam lingkungan Hindia Belanda saat itu, berbedahalnya dengan apa yang terjadi di Indonesia
setelah merdeka. Sejak berlakunya UUD 1945dari tanggal 18 Agustus 1945, sumber hukum bagi
pembentukan Daerah IstimewaYogyakarta adalah ketentuan hukum dasar ini. Pasal 18 UUD
1945 menjadi dasar yuridis atas pengakuan status keistimewaan beserta seluruh hak-hak khusus
yang memang telah menjadisifat aslinya. Soedarisman di dalam bukunya (hal. 53) menyebutkan
faktor-faktor yang dapatmenjadikan Yogyakarta sebagai daerah istimewa secara konstitusional.
Faktor-faktor tersebutantara lain:1.
Pengaturan Daerah Istimewa Yogyakarta dilakukan dengan Undang-undang.
13
Manan, Bagir. 1994. Hubungan Antara Pusat dan daerah Menurut UUD 1945.
Jakarta: Pustaka SinarHarapan. Hal. 157
14
Asshiddiqie, Jimly. 2005. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta:
Konstitusi Press. Hal. 262
https://www.academia.edu/6703642/KEISTIMEWAAN_DAERAH_DALAM_KONST
ITUSI_STUDI_KASUS_KEISTIMEWAAN_YOGYAKARTA_

UU Keistimewaan DIY dan Hak Rakyat atas tanah yang dijamin UUPA
Hak rakyat atas tanah dijamin oleh UU No 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria
(UUPA) dan aturan pelaksanaannya, tidak terkecuali di DIY. Menurut UUPA, agraria
meliputi bumi, air, dan udara; sehingga urusan pertanahan dan tata ruang tidak dapat
dipisahkan. Penguasaan tanah akan menentukan penataan ruang. Artinya, penentuan
suatu proyek di daerah tertentu akan lebih mudah jika penguasaan tanah di daerah
tersebut kuat secara hukum, apalagi jika suatu daerah dimiliki oleh satu pihak saja.
Terkait tata ruang, penguasaan tanah di DIY diubah agar sesuai dengan kepentingan
modal besar, yaitu megraproyek MP3EI. Di mana-mana, megaproyek ini dipromosikan
sebagai pembangunan, meskipun hakikatnya adalah penjajahan ekonomi oleh sistem
kapitalisme. Di manapun, MP3EI telah menimbulkan konflik sosial dan merusak
lingkungan hidup, karena MP3EI menyasaratkan pengambilalihan ruang hidup rakyat
demi pertambangan; industri berat; jalan tol; bandara internasional atau fasilitas jasa
pertemuan; penginapan; dan wisata. MP3EI menyebut perputaran modal di bidang jasa
ini sebagai proyek MICE: Meeting, Incentive, Convention, Exhibition (Yanuardy dkk,
2014). DIY adalah salah satu sasaran MICE, lebih-lebih dengan merek barunya: Jogja
Istimewa.

Semenjak UU No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY (UUK) disahkan, telah


terjadi perubahan yang mendasar dalam hal penguasaan tanah di seluruh DIY. Melalui
UUK, Kasultanan/Pakualaman menjadi badan hukum khusus sehingga dapat memiliki
tanah. Badan hukum ini bernama Badan Hukum Warisan Budaya dan bersifat swasta.
Dalam praktiknya, penguasaan tanah di DIY mengarah pada penetapan
Kasultanan/Pakualaman sebagai pemilik tunggal (monopoli) dari seluruh tanah di DIY.
Upaya monopoli pemilikan tanah itu dilakukan dengan cara menghidupkan kembali
Rijksblad No 16 dan No 18 tahun 1918 yang berbunyi: Sakabehing bumi kang ora ana
tanda yektine kadarbe ing liyan mawa wewenang eigendom, dadi bumi kagungane
keraton ingsun, artinya, semua tanah yang tidak ada bukti kepemilikan menurut
hakeigendom (hak milik, menurut UU Agraria 1870), maka tanah itu adalah milik
kerajaanku.
Kedua Rijksblad itu sudah dihapus oleh Sri Sultan HB IX bersama DPRD melalui Perda
DIY No 3 Tahun 1984 sebagai pelaksanaan Keputusan Presiden No 33 Tahun 1984 dan
Diktum IV UU No 5 Tahun 1960 (UUPA). Bahkan, Pasal 1 Perjanjian Giyanti 1755
menyebutkan bahwa wilayah Mataram Kasultanan Yogyakarta adalah tanah pinjaman
dari VOC. Demikian pula, Perjanjian Politik HB IX dengan Belanda 1940 menyatakan
bahwa Kasultanan merupakan bagian dari wilayah Hindia Belanda dan karenanya
berada di bawah kedaulatan Baginda Ratu Belanda yang diwakili Gubernur Jenderal
(Pasal 1); bendera Kasultanan dan penduduk Kasultanan adalah bendera negeri Belanda
(Pasal 12).
Tulisan ini hendak menunjukkan (1) bagaimana situasi pertanahan di DIY setelah UUK
disahkan? (2) bagaimana dengan hak rakyat atas tanah di DIY? (3) bagaimana cara
mempertahankan hak yang dijamin UUPA?
A. Situasi Pertanahan di DIY
Beberapa kebijakan telah dilakukan oleh Pemerintah DIY dengan mengatasnamakan
pelaksanaan UUK atau keberadaan tanah milik Kasultanan (Sultanaat Grond/SG) dan
tanah milik Pakualaman (Pakualamanaat Grond/PAG), antara lain:
1. Sertifikasi Tanah menjadi milik Badan Hukum Kasultanan/Pakualaman
(Kadipaten)
Saat ini dilakukan pendataan dan pendaftaran tanah-tanah negara (tanah yang belum
bersertifikat) di seluruh DIY untuk dijadikan milik Kasultanan/Pakualaman sebagai
badan hukum swasta menggunakan dana APBN (Dana Istimewa), meliputi hutan;
pantai; wedi kengser; dan tanah desa. Bahkan, Kepala Kanwil BPN DIY siap melakukan
pemeriksaan kembali asal-usul tanah yang telah menjadi Hak Milik masyarakat
menurut Rijksblad No 16 dan No 18 Tahun 1918, jika terbukti pada 1918 sebidang tanah
tidak bersertifikat hak milik (eigendom) maka tanah itu akan beralih kepemilikan; dari
Hak Milik masyarakat menjadi Hak Milik Kasultanan/Pakualaman (Kedaulatan Rakyat,
2 Oktober 2013, judul: BPN DIY Siap Sertifikat Tanah SG dan PAG).
2. Balik nama sertifikat Tanah Desa dari milik desa menjadi milik Badan Hukum
Kasultanan/Pakualaman
UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Peraturan Gubernur DIY No 65 Tahun 2013
mengamanatkan tanah kas desa adalah kekayaan desa yang harus disertifikatkan
menjadi hak milik desa sebagai badan hukum. Namun, Gubernur tidak menghendaki
tanah desa menjadi milik desa.Sehingga, Gubernur menerbitkan Peraturan Gubernur

No 112 Tahun 2014 yang memerintahkan Pemerintah Desa melalui Bupati/Walikota


untuk melakukan permohonan balik nama terhadap sertifikat tanah desa yang sudah
diterbitkan dari Hak Milik Pemerintah Desa menjadi Hak Milik Badan Hukum Warisan
Budaya Kasultanan/Kadipaten (Pakualaman) (Radar Jogja, 23 Januari 2015)
3. Penghentian sementara Perpanjangan Hak Pakai dan Hak Guna Bangunan atas
tanah negara yang diterbitkan menurut SK Gubernur
Segera setelah UUK disahkan, Gubernur mengirim surat no 593/4811 (12 Nopember
2012) dan surat no 593/0708 (15 Februari 2013) kepada Kepala BPN DIY, isinya: agar
Kepala BPN Kanwil DIY mengendalikan setiap permohonan perpanjangan Hak Pakai,
HGB, Peningkatan Hak, serta Pengalihan Hak atas tanah negara yang dikuasai Pemda
DIY, perorangan, yayasan, lembaga negara, dan lembaga swasta dan bahwa setiap
permohonan harus memperoleh ijin dari Gubernur DIY (Sultan HB X) sebagai bentuk
implementasi UUK. Akibat surat ini, seluruh proses administrasi pertanahan
dihentikan, baik itu perpanjangan HGB dan Hak Pakai, pengalihan hak (balik nama
karena jual beli dan waris), dan peningkatan hak, hingga seluruh Tanah Negara menjadi
Hak Milik Kasultanan/Pakualaman.
4. Penyusunan Rancangan Perdais Pertanahan
Dalam Rancangan Perdais Pertanahan, Pengertian Tanah Kasultanan/Kadipaten adalah
tanah-tanah yang sejak semula dimiliki dan dikuasai oleh Kasultanan/Kadipaten,
disebut sebagai Sultan Grond/Pakualaman Grond yang tunduk pada Rijksblad. SG/PAG
termasuk Tanah Keprabon (yang digunakan upacara) dan Tanah Non Keprabon (pantai,
hutan, wedi kengser, tanah tanpa alas hak dan dengan hak). Tanah Non Keprabon yang
dimiliki atau dimanfaatkan masyarakat akan diperiksa riwayat asal-usulnya: SG/PAG
atau hak eigendom (pasal 14), jika terbukti SG/PAG maka kepemilikannya akan beralih
kepada Badan Hukum Warisan Budaya Kasultanan/Kadipaten. Kedudukan masyarakat
sebagai pemanfaat, bukan pemilik. Peningkatan hak hanya berupa HGB dan Hak Pakai.
Sertifikasi terhadap tanah-tanah yang diklaim sebagai SG/PAG sudah berjalan
menggunakan APBN (dana istimewa), baik tanah negara (tanpa hak, HGB, Hak Pakai)
atau tanah hak milik desa. Raperdais Pertanahan akan disahkan dalam waktu dekat.
Terlepas dari upaya penghidupan kembali Rijksblad 1918, di DIY juga terjadi
diskriminasi rasial/etnis dalam hak atas tanah. Instruksi Kepala Daerah No K
898/I/A/1975 menghapuskan kesempatan setiap WNI secara turun-temurun untuk
mempunyai hak milik atas tanah karena kewarganegaraannya dikategorikan sebagai
WNI NON PRIBUMI. Hak atas tanah dibatasi berdasarkan pertimbangan etnis/ras,
bukan kelas sosial atau kekuatan modal. Kebijakan ini dikukuhkan dengan: 1) Surat
Pemda Propinsi DIY No 593/00531/RO I/2012 (8 Mei 2012); 2) Surat Gubernur No
430/3703 (15 Nopember 2010); 3) Surat Plt Kepala Kanwil BPN DIY No 287/30034/BPN/2010; 4) Surat Kepala Kanwil BPN DIY No 640.05/24.99/BPN/2000 (26
Oktober 2000); dan 5) Surat Kepala kantor BPN Kabupaten Bantul No 640/922/2000
(9 Nopember 2000). Terkait diskriminasi rasial/etnis ini telah terbit Surat
Rekomendasi KOMNAS HAM No 037/R/Mediasi/ VIII/2014 tertanggal 11 Agustus
2014 yang isinya seruan kepada Gubernur DIY untuk mencabut/menyatakan tidak
berlaku lagi Instruksi Kepala Daerah 1975. Rekomendasi ini tidak ditanggapi oleh
Gubernur.
B. Hak Rakyat atas Tanah di DIY

UUPA adalah satu-satunya peraturan tentang agraria dan berlaku di NKRI, termasuk di
DIY. Sementara, pasal 1 UUK DIY menyatakan bahwa UUK adalah aturan khusus dari
UU Pemerintahan Daerah, bukan aturan khusus dari UUPA. UUK tidak berlaku surut
ke belakang karena pengakuan atas hak asal-usul yang dimaksud UUK adalah bentuk
penghargaan dan penghormatan negara atas pernyataan berintegrasinya Kasultanan
dan Kadipaten ke dalam NKRI untuk menjadi bagian wilayah setingkat provinsi dengan
status istimewa (Pasal 4 huruf a). Artinya, klaim atas tanah-tanah SG dan PAG tidak
mempunyai dasar hukum yang sah, karena SG/PAG termasuk tanah swapraja (feudal)
yang sudah dihapuskan oleh Diktum IV UUPA. UUK juga melarang penghidupan
kembali feodalisme (Pasal 4) dan penyalahgunaan wewenang oleh Gubernur (Pasal 16).
Sehingga, UUPA sebagai aturan khusus dari UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) adalah dasar
hukum yang mengatur pertanahan di DIY saat ini. Bahkan, pemberlakuan kembali
Rijksblad 1918 (aturan pemerintah kolonial) dalam tata hukum NKRI adalah perbuatan
makar. Siapapun yang terlibat dalam perbuatan makar diancam dengan Pasal 106 dan
110 KUHP. SG/PAG sudah dihapuskan oleh HB IX, PA VIII, beserta DPRD melalui
Perda DIY No 3 Tahun 1984 yang merupakan pelaksanaan dari Keputusan Presiden No
33 Tahun 1984 dan UUPA.
C. Cara-cara mempertahankan hak atas tanah
a. Masyarakat harus menyadari bahwa dirinya mempunyai Hak atas Tanah dan hak itu
dijamin UUPA. Adapun cara memperjuangkan/mempertahankan hak di tingkat
perorangan dan kelompok sebagai berikut:
1) Bagi masyarakat yang menempati tanah turun-temurun dan belum memperoleh
hak milik tidak perlu mengurus surat ijin (serat kekancingan) ke Panitikismo untuk
mendapatkan hak menempati/memanfaatkan baik itu bernama magersari, ngindhung,
anggadhuh, dan angganggo. Mengurus magersari dan sebagainya berarti mengakui
SG/PAG berdasarkan Rijksblad 1918 yang telah dihapuskan sejak 1984, sehingga
masyarakat sama saja kehilangan hak atas tanah. Sebaliknya, masyarakat justru perlu
melakukan pendaftaran tanah yang telah ditempatinya turun-temurun
tersebut ke BPN agar mempunyai hak milik, bukan sekedar hak pakai/hak guna
bangunan. Jika maka menjadi kewajiban pemerintah untuk memberikan hak milik
sebagaimana amanat TAP MPR RI No 9 tahun 2001 dan UUPA beserta aturan
pelaksanaannya..
2) Bagi masyarakat yang sudah memiliki sertifikat hak milik tidak perlu menyerahkan
sertifikat hak miliknya kepada tim ajudikasi pertanahan Keraton/Pemerintah
Daerah/Pemerintah Desa meskipun alasannya untuk diperbaharui, karena akan status
hak milik dapat diubah menjadi hak pakai jika asal-usul tanah yang dimilikinya
dianggap sebagai SG/PAG.
3) Bagi masyarakat yang mempunyai Hak Guna Bangunan/Hak Pakai agar
memperpanjang haknya dengan status tetap di atas tanah negara atau meningkatkan
haknya menjadi hak milik. Apabila terjadi perubahan status dari HGB di atas tanah
negara menjadi HGB di atas tanah SG/PAG, maka masyarakat perlu menyadari bahwa
itu merupakan pelanggaran hukum.
4) Masyarakat sebagai pemilik sah dari tanah desa (tanah komunal) harus
mempertahankan tanah desa tetap menjadi milik desa sebagai badan hukum publik

sebagaimana amanat UU Desa, bukan membiarkan tanah desa dikuasai oleh badan
hukum swasta.
b. Masyarakat perlu menyebarkan pengetahuan tentang hak atas tanah tersebut kepada
masyarakat lainnya, baik yang sudah maupun yang belum menjadi korban
pengambilalihan hak. Bahwa: UUPA dan aturan pelaksanaannya tetap berlaku di
Indonesia, termasuk DIY.
c. Masyarakat perlu menggalang persatuan dengan sesama korban untuk menempuh
upaya hukum dan non hukum agar hak atas tanah yang dijamin UUPA tidak
dihilangkan oleh pihak manapun, karena hak atas tanah adalah hak atas ruang hidup.
http://selamatkanbumi.com/id/darurat-agraria-yogyakarta-tinjauan-hukumatas-situasi-terkini/

TEMPO.CO, Yogyakarta- Petani pesisir pantai Kulon Progo akan


mendatangi Badan Pertanahan Nasional (BPN) Daerah Istimewa
Yogyakarta seusai Lebaran mendatang. Mereka akan menuntut
pemberian sertifikat hak milik atas tanah yang didiami dan digarapnya
selama puluhan tahun. "Kami dari Kulon Progo dan juga masyarakat di
pesisir Bantul serta Gunung Kidul, seusai Lebaran nanti, akan ke BPN
untuk mengeluarkan sertifikat atas tanah yang selama ini kami tempati,"
kata aktivis Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP), Muhammad Ulin el
Nuha, kepada Tempo saat mendampingi ribuan petani Kulon Progo di
gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DIY, Senin 9 Juli 2012.
Ulin menilai sertifikasi diperlukan karena selama ini warga pesisir
terombang-ambing dan hanya menjadi tumbal dalam rencana
penambangan pasir besi, yang sahamnya dimiliki Keraton Yogyakarta
dan Puro Pakualaman. Ihwal penambangan pasir besi itu, selama ini,
dalam kontrak karya tertuang menggunakan lahan dengan status
Pakualaman Ground (PAG). "Padahal warga sudah berada dan
menggarap tanah itu puluhan tahun," ujar Ulin.
Menurut dia, sesuai dengan aturan Undang-Undang Pokok Agraria

1960, jika masyarakat sudah menggarap suatu lahan tanah selama 30


tahun lebih, tanah yang ada statusnya adalah tanah merdeka. "Bukan
lagi Pakualaman Ground atau Sultan Ground, maka kami perlu
sertifikasi," kata dia.
Ulin khawatir, dengan penetapan Sultan sebagai Gubernur, akan berlaku
sistem feodal. Akibatnya, petani penggarap di pesisir tak lagi mempunyai
legitimasi dan tak berdaya menolak rencana penambangan pasir besi,
yang hanya menguntungkan segelintir elite. "Sekarang, apakah tanah
Keraton dan Pakualaman itu ada data inventarisasinya? Pasti enggak
ada. Tapi kalau desa punya petanya, itu yang menjadi modal kami ke
BPN," kata dia.

Aktivis PPLP, Widodo, menuturkan, pada peta desa dan keterangan


buku besar desa, Pakualaman Ground hanya 200 hektare dan lokasi
penambangan ini luasnya 3.000 hektare. Widodo juga merujuk pada
pemberlakuan Undang-undang Pokok Agraria di DIY. "Klaim pada tanah
swapraja menjadi tidak berlaku," kata dia.
Toh Kerabat Puro Pakualaman KPH Tjondrokusumo menilai tuntutan
petani pesisir pantai Kulon Progo itu tidak bisa dilakukan. "Itu tanah
swapraja. Mereka boleh memakainya, tapi tidak untuk memiliki," kata
dia.
Penolakan itu dibenarkan oleh salah seorang anggota tim asistensi
Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta, Suyitno.
Menurut dia, sertifikasi tanah oleh BPN hanya bisa dilakukan jika Sultan
Ground dan Pakualaman Ground itu secara resmi sudah diberikan

kepada masyarakat melalui hukum adat yang benar. Menurut dia, meski
sudah ditempati selama 50 tahun, tanah itu tidak bisa disertifikatkan.
"Kalau selama belum, ya enggak bisa. Hak itu enggak datang dari
langit," kata Suyitno.
Menurut Suyitno, pada 1918, sebagian tanah, baik Sultan Ground
maupun Pakualaman Ground, sudah diberikan izinnya oleh Keraton dan
Pakualaman untuk menjadi hak milik masyarakat secara turun-temurun.
Pada 1954, izin itu diubah menjadi bentuk hak milik.
Pada demonstrasi petani itu, kerabat Keraton Yogyakarta, Raden Mas
Adjikoesoemo, membagikan buku berjudul Pembelaan Tanah untuk
Rakyat, Jogja Gate, Pengkhianatan terhadap HB IX dan PA VIII kepada
anggota DPRD DIY. Buku itu diterima oleh Wakil Ketua DPRD DIY Tutiek
M. Widyo.
Keturunan Hamengku Buwono III ini mendukung perjuangan petani
pesisir itu. "Sultan HB IX dan PA VIII mengeluarkan Peraturan Daerah
Nomor 5 Tahun 1954, di mana pasal 10 mengatakan bahwa orang yang
memakai tanah secara turun-temurun, (tanah itu) bisa dijadikan hak
milik," kata Adji yang disambut dengan teriakan massa petani.
Sebelumnya, Adjikusumo juga menyerahkan buku itu kepada Kepala
Kepolisian Daerah DIY yang diwakili oleh Kepala Pelayanan Polda DIY
Komisaris Riyanto. "Adalah bohong jika SG dan PAG masih berlaku di
DIY. Justru itu sudah tidak ada. Jadi proyek Keraton yang
mengatasnamakan SG dan PAG itu melawan hukum."
PRIBADI WICAKSONO | PITO AGUSTIN RUDIANA
https://m.tempo.co/read/news/2012/07/10/058415937/petani-tuntut-milikitanah-sengketa-keraton-yogya

ekanan kuasa dan modal yang tak tersentuh telah membawa perubahan besar
di Yogyakarta.

SUTINAH, berusia 48 tahun,

adalah penjual nasi rames. Warungnya di sisi ruas


jalan antara persimpangan Jalan Ibu Ruswo dan Brigjen Katamso, daerah
Gondomanan, sekira 1 km dari Malioboro. Berukuran 4-6 meter persegi,
berlantai tanah dan beratap seng, sebilah papan bekas dijadikan dinding
belakang warung itu. Sementara pagar seng dari sebuah proyek gedung dua
lantai dan tembok toko stiker menjadi dinding samping warung tersebut.
Beragam perkakas seperti piring, gelas, sendok, garpu, dan panci tersimpan di
sebuah rak besi berkarat di sudut dinding pagar seng. Warung yang terlihat
sangat sederhana, bila bukan seadanya.
Sutinah tidak sendiri menempati warung itu. Menjelang malam ketika dia pulang
ke Kasihan, Bantul, sekira 10 kilometer dari Gondomanan, Suwarni dan Sugiyadi
bergantian jualan di warung itu. Suami Suwarni (biasa dipanggil Pak Buwang
oleh Sutinah) menikah dengan kerabat dekat Sutinah. Sementara Sugiyadi
adalah anak Pak Jo, yang berteman dengan Pak Buwang. Pak Buwang
mendirikan warung itu sejak 1960an dan Pak Jo mengisinya saat malam dengan
berjualan bakmi.
Jadi Sugi itu meneruskan (jualan) bakmi bapaknya, kata Sutinah. Selagi
Sugiyadi melayani pembeli bakmi, Suwarni yang melayani pesanan minum.
Seringkali, ketika bakmi habis dan Sugiyadi pulang, Suwarni memilih tinggal dan
tidur di warung menanti pagi.
Selain mereka, ada Budiono dan anaknya, Agung, yang membuka jasa duplikat
kunci sejak 1980an. Lapak mereka, berupa gerobak mungil, berada di depan
warung itu.
Dulu, kata Sutinah, warung ini sampai sana. Jarinya menunjuk halaman
gedung yang tengah dibangun di belakang warung. Tatapannya membentur
pagar seng. Di salah satu sisi pagar itu menempel spanduk dari Pemerintah Kota

Yogyakarta berupa izin pendirian bangunan, seluas 465 meter persegi, bagi
seseorang bernama Eka Aryawan.
Melewati pelbagai perubahan sosial dan politik serta pergantian rezim, kelima
rakyat kecil itu, yang sumber ekonominya ditopang oleh jalinan usaha kaki lima
di sepetak tanah, mendadak limbung ketika sebuah proyek gedung dua lantai
itu berdiri. Si pengusaha lewat pengacaranya mengugat mereka Rp 1,12 miliar!
Bermula dari selembar surat. Pada 28 November 2011, lembaga keraton yang
mengelola tanah kesultananbiasa disebut panitikismolewat Hadiwinoto
menerbitkan kekancingan bagi Eka Aryawan. Hadiwonoto adalah adik Sultan
yang mengurusi aset keraton. Kekancingan adalah surat pinjam-pakai atas
tanah yang diklaim milik, dan diterbitkan oleh, keraton.
Dalam surat itu, Keraton Yogyakarta memberi izin kepada Eka Aryawan untuk
memakai lahan 73 meter persegi. Di atas sebagian kecil lahan itulah terdapat
warung Sutinah dan koleganya serta lapak Budiono. Surat keraton itu memenuhi
permohonan hak magersari tanah keraton, di antara sejumlah sebutan hak
pinjam-pakai lain, yang intinya seorang warga sipil di Yogyakarta mengajukan
hak atas tanah bukan keprabon yang belum dimanfaatkan oleh keraton.

Kawasan Keraton Yogyakarta yang ramai dan padat; Keraton menghadapi sejumlah kasus
pengambilalihan lahan yang diklaim miliknya dengan masyarakat setempat (Dok. Eko Susanto)
Kasultanan Yogyakarta membagi tanah menjadi dua jenis: keprabon dan bukan
keprabon. Tanah keprabon adalah areal yang ditempati bangunan keraton dan
upacara adat seperti alun-alun, masjid Gedhe Kauman, pasar Beringharjo,
panggung Krapyak, hingga labuhan di gunung Merapi dan pantai Parangkusumo.
Sementara tanah bukan keprabon merupakan tanah yang belum terikat alas
hak.

Pembagian macam ini diterapkan juga untuk tanah Kadipaten Pakualaman. Di


Yogyakarta, klaim atas tanah-tanah keraton dikenal Sultan Ground dan tanah
kadipaten sebagai Pakualaman Ground.
Tanah yang jadi sengketa antara Eka Aryawan dan para pedagang kecil itu
adalah lahan seluas 99 meter persegi di sayap timur proyek izin bangunan yang
dikantungi Eka Aryawan. Ia berbatasan dengan trotoar. Oleh Aryawan, kehadiran
pedagang dinilai menghalangi sebagian akses jalan menuju bangunan.
Mediasi pernah dilakukan. Pada 13 Februari 2013, Aryawan dan pedagang
(diwakili Sugiyadi, Suwarni, dan Sutinah) bertemu di Kantor Kepolisian Sektor
Gondomanan. Mereka bersepakat tentang batas halaman gedung. Dari
kesepakatan itu, warung Sutinah hanya perlu bergeser beberapa meter ke arah
selatan, sedikit menutupi proyek gedung. Ia resmi diteken dan disaksikan oleh
ketiga pihak: kuasa hukum Eka Aryawan dari Candra & rekan, kuasa hukum
pedagang dari Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, dan petugas Polsek
Gondomanan Inspektur II Joko Triyono.
Tetapi kemudian, dengan menggandeng kantor hukum Oncan Poerba &
Associates, pada Agustus 2015 Eka Aryawan meminta pedagang enyah dari
seluruh halaman dan mengajukan gugatan Rp 1,12 miliar. Pihak Aryawan
menuding pedagang menempati 28 meter persegi tanah keraton yang telah
dipinjamkan untuknya.
Gugatan itu terang membuat kelu kelima pedagang kecil. Pada 13 September
2015, untuk mengetuk hati nurani penguasa, mereka melakukan aksi
simbolik tapa pepesatu-satunya senjata wong cilik yang masih mereka punya
dan hayati.
Mengenakan kain lurik kebaya dan surjan, mereka berjalan menuju alun-alun
utara Keraton, menembus sengatan matahari. Lalu mereka berdiri di antara
pohon beringin kembar di tengah alun-alun, kemudian duduk bersila dan
menghadap Keraton. Pada zaman dulu, para penjaga keraton yang melihatnya

segera melapor pada sang raja. Raja memanggil pelaku tapa pepe untuk
didengar keluhannya.

Kelima pedagang melakukan aksi tapa pepe 13 September 2015 (Dok. Anang Zakaria)
Kami cuma ingin tetap bisa jualan di sana, kata Budiono kepada para
wartawan. Duit apa yang kami pakai untuk membayar?
Setengah jam lamanya mereka berjemur di alun-alun. Tak seorang pun dari
utusan raja menemui mereka. Justru yang ada beberapa wisatawan yang
memotret beberapa kali lalu pergi.

Ke mana penjaga? Di mana sang raja?

SUARA Oncan Poerba meninggi. Dia mengatakan, jika para pedagang telah
menempati lahan itu sejak 1960an, mengapa mereka tak punya selembar surat
pun yang membuktikan hak mereka atas tanah itu? Tapi dia meyakini bahwa
keraton takkan mengizinkan mereka di sana. Kehadiran lapak pedagang di
sekitar trotoar, menurutnya, akan membuat pemandangan kota semakin kumuh
saja.
Mereka melanggar keindahan kota, katanya.
Sejak pertengahan tahun 2015 Oncan menjadi kuasa hukum Eka Aryawan. Dia
mengaku telah menempuh jalur damai atas sengketa ini. Semula ada tiga
kelompok pedagang; dan dua di antaranya bersedia pindah. Tinggal satu
kelompok ini yang ngeyel, katanya.
Meski Oncan mengakui ada kesepakatan antara kliennya dan kelima pedagang,
tapi menurutnya, perjanjian itu bukan berarti membiarkan pedagang bisa tetap
menguasai lahan yang dimiliki kliennya. Kantor hukumnya telah melayangkan
gugatan ke Pengadilan Negeri Kota Yogyakarta.
Eka Aryawan sendiri adalah pengusaha asal Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, yang
membuka toko grosir mainan anak-anak di depan Hotel Melia Purosani, Kota
Yogyakarta. Sekitar sepuluh tahun lalu, Aryawan membeli dua bidang tanah di
Jalan Brigjen Katamso. Masing-masing seluas 99 meter persegi dan 293 meter
persegi. Di atas kedua bidang tanah itulah, persis di sebelah barat tanah
sengketa dengan pedagang, dibangun gedung dua lantai. Karena gedung baru
membutuhkan akses jalan, dia mengajukan permohonan hak pinjam-pakai tanah
kepada Keraton Yogyakarta.
Oncan tak tahu pasti dari mana kliennya membeli tanah itu. Yang jelas, meski
telah membeli, Aryawan hanya mampu mengantongi sertifikat Hak Guna
Bangunan. Tidak bisa punya sertifikat hak milik tanah, katanya.

Musababnya, Eka Aryawan adalah warga keturunan Tionghoa. Dia nonpribumi.


Yogyakarta, yang menyandang status daerah istimewa, masih menerapkan
aturan yang berlaku diskriminatif terhadap warga asing dan warga Tionghoa
(dianggap non-pribumi) dan mengistimewakan warga lainnya. Aturan ini dibuat
5 Maret 1975, diteken oleh wakil gubernur kala itu Paku Alam VIII, yang isinya
sebuah instruksi tentang penyeragaman policy pemberian hak atas tanah
kepada seorang WNI non-pribumi.
Aturan seperti ini hanya di Yogyakarta. Di wilayah Indonesia lainnya sudah tak
ada, kata Oncan, kali ini bersuara pelan.

WILLIE Sebastian, berusia 65 tahun, adalah Ketua Granad (singkatan untuk


Gerakan Anak Negeri Anti Diskirimasi), sebuah organisasi nonpemerintah yang
mendesak pencabutan instruksi penyeragaman policy ke presiden dan
pemerintah DIY. Suratnya mendapat tanggapan dari presiden lewat Badan
Pertanahan Nasional. Pada 16 November 2011, BPN menyurati Kantor Wilayah
BPN DIY dengan menyatakan tidak ada pembedaan layanan pengurusan
sertifikat antara WNI pribumi dan keturunan Tionghoa.
Namun pemerintah DIY bergeming. Lewat surat sekretariat daerah pada 8 Mei
2012, Pemerintah DIY menyatakan instruksi penyeragaman policy tahun 1975
masih berlaku. Alasannya, aturan itu merupakan affirmative policy dengan
tujuan melindungi warga pribumi agar kepemilikan tanah tidak beralih pada
warga atau pemodal yang secara finansial memiliki kemampuan lebih kuat.

Pembangunan sebuah apartemen di Jakal KM 5 yang ditolak warga sekitar (Dok. Eko Susanto)
Pada 2014, Granad mengirim surat pengaduan serupa kepada Menteri Agraria
dan Tata Ruang, Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepolisian RI, Menteri Dalam
Negeri, dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Lembaga terakhir
meresponsnya melalui surat rekomendasi kepada Gubernur DIY supaya
menghentikan aturan 1975 karena bertentangan dengan hak asasi manusia.

Alasan sebagai kebijakan afirmatif, yang tujuannya memberi lapisan kelas


sosial marjinal untuk punya peluang setara, dinilai Komnas HAM justru
sebaliknya. Kebijakan istimewa itu merupakan tindakan yang hanya boleh
ditempuh untuk melindungi kelompok rentan seperti anak-anak, perempuan,
kaum lanjut usia, disabilitas, serta kelompok minoritas. Pembatasannya hanya
bisa didasarkan pada undang-undang. Dan, tidak seluruhnya warga
keturunan etnis Tionghoa merupakan warga yang memiliki kelebihan finansial
atau tergolong pemodal kuat.
Nyatanya rekomendasi ini berakhir sebagai tumpukan di meja kerja pemerintah
DIY. Dewo Isnu Broto, kepala biro hukum pemda Yogyakarta, di depan gedung
dewan daerah mengatakan bahwa pemerintah DIY memiliki alasan kuat
menolak rekomendasi itu.
Tetapi Willie dan Granad tidak putus harapan. Mereka mengirim surat kepada
Presiden Joko Widodo. Isinya, Sultan HB X (sekaligus Gubernur Yogyakarta)
dinilai berpotesi melakukan tindakan separatis karena upayanya mendata
tanah Kasultananan dan Pakulaman. Ini sama artinya menghidupkan kembali
aturan kolonial Belanda (Rijskblad) tahun 1918 nomor 16 tentang tanah
kasultanan dan nomor 18 tentang tanah pakualaman.
Apa namanya tak ingin memisahkan diri dari Indonesia kalau sudah merdeka
tapi hukumnya mau dikembalikan seperti era penjajahan? ujar Willie lewat
telepon.

Spanduk penolakan warga terhadap pembangunan apartemen di Jakal kilometer 11 (Dok. Eko

Susanto) ANGKAL tudingan menghidupkan aturan kolonial itu bermula ketika


Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta mulai mendata tanah Kasultanan dan
Pakualaman. Sejatinya ini adalah perintah Undang-Undang nomor 13 tahun
2012 tentang Keistimewaan DIY. Pada pasal 43 (huruf d), Gubernur DIY Sultan
HB dan wakilnya, Paku Alam, ditugaskan melakukan inventarisasi dan
identitifikasi tanah Kasultanan dan Kadipaten. Selanjutnya (dalam huruf e)
tanah itu didaftarkanistilah lain untuk disertifikasike Badan Pertanahan
Nasional.
Proses ini berlangsung setidaknya sejak setahun lalu. Awal September 2015,
Kepala Biro Tata Pemerintahan DIY Benny Suharsono mengatakan, sebanyak
10.523 bidang tanah Kasultanan dan Kadipaten sudah berhasil diinventarisasi.

Menelan biaya Rp 10 miliar per tahun, kegiatan macam ini bakal berlangsung
lama hingga seluruh tanah terdata dan mendapat sertifikat dari BPN. Perkiraan
Suharsono, ia baru selesai pada 2024.
Ini pekerjaan besar dan pelik. Ada banyak data dari bermacam versi
menyebutkan luasan tanah yang diklaim milik sultan dan pakualam, tapi tak ada
angka yang pasti. Bila merujuk Rijksblad, kecuali tanah yang telah dimiliki
perorangan dan lembaga, sisanya adalah tanah di wilayah Kasultanan dan
Kadipaten.
Sejumlah pertanyaan muncul: Masih adakah Sultan Ground dan Pakualaman
Ground? Kalaupun masih ada, bagaimana posisinya di depan hukum
pertanahan nasional?
Saya menemui Nimatul Huda, pakar hukum tata negara dari Universitas Islam
Indonesia. Dia sering diminta sebagai pakar ahli pada sesi rapat di dewan
daerah mengenai urusan hak keistimewaan dan tata negara, serta akademisi
yang dilibatkan dalam penyusunan draf UU Keistimewaan DIY. Huda menulis
buku Status Hukum Tanah Keraton Yogyakarta Setelah diberlakukannya UU No 5
tahun 1960 di Provinsi DIY(UII Press, 1997).
Menurutnya, persoalan kedua jenis tanah itu semestinya selesai sejak 1984.
Pada tahun itu, pemerintah DIY menerbitkan Peraturan Daerah nomor 3 tentang
Pelaksanaan Berlaku Sepenuhnya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang
Pokok Agraria di DIY. Di tahun yang sama Presiden Soeharto telah mengeluarkan
keputusan nomor 33 tentang hal serupa.
Selesai dalam arti (tanah SG dan PG) itu diatur menjadi milik negara,
jawabnya.
Dalam Diktum IV (huruf A) pada UU Pokok Agraria, ujar Huda, hak dan
wewenang atas bumi dan air dari Swapraja dan bekas Swapraja dihapus dan
beralih menjadi milik negara. Soal pembagiannya, dia meminta saya melihat

peraturan pemerintah nomor 224 tahun 1961 tentang pelaksanaan pembagian


tanah dan pemberian ganti rugi.
Tetapi Sultan punya pendapat sendiri. Menurutnya, tak ada tanah negara di
wilayah Yogyakarta, meski dia mengaku tak tahu pasti berapa luasan tanah
yang menjadi wilayah keraton. Hasil Palihan Nagari kok tanah negara?
katanya usai mengikuti satu rapat di gedung dewan pada 15 September 2015.
Palihan Nagari dikenal pembagian wilayah Kasultanan Mataram menjadi dua,
Kasunanan Surakarta dan Keraton Yogyakarta, dari hasil Perjanjian Giyanti pada
1755.
Satu di antara berhektar-hektar lahan yang disebut tanah Kasultanan adalah
Gumuk Pasir di Pantai Parangtritis. Pada 11 September 2015, kawasan itu
diresmikan sebagai Laboratorium Geopasial Parangtritis. Peresmiannya dihadiri
Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohammad Nasir dan, tentu saja,
Sultan. Di sana juga berdiri Parangtritis Geomaritime Science Park. Ini lembaga
hasil kerjasama antara Badan Informasi Geospasial Fakultas Geografi UGM,
Pemerintah DIY, dan Pemerintah Kabupaten Bantul.
Peresmian itu diisi acara pemasangan patok kawasan Gumuk Pasir. Di patok itu
tertera plakat bertuliskan Kagungan Dalem lengkap dengan logo Keraton
Yogyakarta.
Menurut Sultan, gumuk pasir ini adalah satu di antara tanah Kasultanan. Dan
negara mengakui keberadaannya dalam hak asal-usul tanah. UUPA memang
tidak sepenuhnya berlaku di Yogya, katanya.
Bagaimana dengan warga yang bersengketa di atas lahan-lahan itu?
Bukan urusanku.

Baginya, keraton telah memberikan hak pakai pada seseorang. Jika hak itu
diambil orang lain, maka yang terjadi adalah urusan antara penerima hak dan
orang tersebut.
Pada akhir September 2015, saya mengikuti sebuah aksi protes yang digalang
Komite Aksi untuk Reformasi Agraria di halaman gedung dewan daerah. Di sana
ada Sri Kus Antoro, sekretaris Granad serta juru bicara komite itu. Mari kita
tengok bunyinya (Perjanjian Giyanti 1755) seperti apa? kata Kus menanggapi
pernyataan Sultan.
Menurutnya, pasal 1 (alinea ke-7 hingga ke-8) dalam Perjanjian Giyanti
menyebutkan, Sultan Hamengku Buwono I, raja pertama Kasultanan Yogyakarta,
diangkat oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), sebuah kongsi
dagang Hindia Belanda. Pembagian wilayah itu merupakan usaha VOC
menyelesaikan konflik internal di Mataram. Sultan diangkat menjadi raja
Kasultanan dan dipinjami tanah untuk wilayahnya.
Dia mengatakan pinjaman tanah sebagai wilayah kasultanan karena
sebelumnya, pada 1749, Raja Mataram Paku Buwono II telah menyerahkan
kekuasaan dan wilayahnya kepada VOC. Sehingga Perjanjian Giyanti adalah
ikutan dari perjanjian sebelumnya, kata Kus.
Pada 1940, Sultan Hamengku Buwono IX pernah mengadakan perjanjian dengan
Belanda. Dalam perjanjian itu disebutkan Kasultanan Yogyakarta adalah bagian
dari Kerajaan Belanda. Negara merdeka mana yang diargumentasikan?
Pertanyaan tentang negara merdeka itu merujuk pada Sabdatama Sultan HB X
pada 10 Mei 2012. Pada paragraf ketiganya tertulis Mataram iku negri kan
merdika lan nduweni paugeran lan tata kaprajan dewe. Maksudnya, Kerajaan
Mataram adalah negara merdeka yang punya aturan (paugeran) dan tata
pemerintahan sendiri.

Kalau tidak ada yang mencegah, DIY akan menjadi contoh praktik negara
dalam negara, ujar Kus.

Titik Nol Kilometer yang mengubungkan pusat wisata dan politik di Yogayakrta (Dok. Eko
Susanto)

HARI bahkan belum sore benar tapi langit Yogyakarta sudah gelap ketika saya
menemui Budiono, 20 Desember 2015, di tempat dia membuat duplikat kunci.
Jalan padat kendaraan, mobil dan sepeda motor menderu, bercampur suara
bising dan asap knalpot. Tangan Budiono terampil mengoperasikan knop mesin
pembuat kunci.

Saya membeli mesin ini tahun 1985, katanya. Sebelum ada mesin ini, saya
membuat kunci hanya dengan itu. Tangannya menunjuk sejumlah alat pengikir
besi yang berserakan di permukaan gerobak.
Dulu mesin itu dibelinya dengan harga Rp 2 juta, yang dia bilang sendiri sangat
besar pada saat itu, dan dia tidak menyesal. Bertahun-tahun, dari mesin itulah
dia mendapat penghidupan bagi keluarganya. Bahkan kini dua anaknya, Agung
dan Ari, bisa bekerja sebagai pembuat kunci dengan memanfaatkan mesin
tersebut.
Mereka telah memiliki pelanggan tetap. Ya, itu juga, kalau saya pindah alias
digusur, bagaimana dengan pelanggan?
Lapaknya bersama warung milik Sutinah, Suwarni, dan Sugiyadi terancam
hilang di sebuah tempat yang telah mereka huni sebagai sumber ekonomi
selama 30-50 tahun. Kini hampir tiap pekan mereka harus menjalani sidang di
Pengadilan Negeri Kota Yogyakarta untuk menghadapi gugatan dari pihak Eka
Aryawan.
Agenda persidangan terdekat, saat saya menemuinya, adalah pemeriksaan
saksi dari pihaknya.
Proses persidangan itu bagi Budiono melelahkan. Tetapi dia menilai itu adalah
bagian perjuangan untuk mempertahankan tempat mereka dari penggusuran.
Para pegiat sosial dan perkotaan menggalang solidaritas termasuk dengan
mengumpulkan koin. Di atas gerobaknya tergantung sebuah spanduk
bertuliskan Posko Koin untuk 5 PKL.
Sudah berapa uang terkumpul?
Tiga jutaan, katanya singkat.

Saya diam, lalu membayangkan butuh berapa lama lagi untuk mengumpulkan
koin hingga mencapai Rp 1,12 miliar?*

http://pindai.org/2015/12/23/sengketa-tanah-di-bumi-mataram/

Pasal 18A
(1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi,
kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan Undangundang
dengan
memperhatikan
kekhususan
dan
keragaman
daerah.
**)
(2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan
secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang. **)
Pasal 18B
(1) Negara mengakui dan menghormati satuansatuan pemerintahan daerah yang bersifat
khusus
atau
bersifat
istimewa
yang
diatur
dengan
Undang-undang.
**)
(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta
hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undangundang. **)

You might also like