You are on page 1of 8

LAPORAN KASUS Sindrom Stevens-Johnson

Pendahuluan
Sindrom Stevens-Johnson (SJS) adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema,
vesikel/bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir orifisium, dan mata
dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk. Sinonimnya antara lain : sindrom de
Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom
muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis, dll. Sindrom Stevens-Johnson pertama kali diketahui
pada tahun 1922 oleh dua dokter yaitu dr. Steven dan dr. Johnson, pada dua pasien anak laki-laki.
Namun dokter tersebut tidak dapat menentukan penyebabnya.
Insidensi SSJ diperkirakan 2-3% perjuta populasi setiap tahun di Eropa dan Amerika
Serikat. Sedangkan di bagian Kulit RSCM tiap tahun kira kira terdapat 12 pasien, yang
umumnya dewasa. Angka kematian akibat SSJ bervariasi antara 5-12%. Berdasarkan kasus yang
terdaftar dan diobservasi kejadian SJS terjadi 1-3 kasus per satu juta penduduk setiap
tahunnya. SSJ juga telah dilaporkan lebih sering terjadi pada ras Kaukasia. Walaupun
SJS dapat mempengaruhi orang dari semua umur, tampaknya anak lebih rentan.
Penyebab utama Sindrom Steven Johnson adalah alergi obat (>50%). Dilaporkan terdapat
lebih dari 100 obat yang dapat menjadi penyebab yang mungkin dari SSJ. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Adhi Djuanda selama 5 tahun (1998-2002), obat tersering yang diduga
sebagai penyebab SSJ adalah analgetik/antipiretik (45%), karbamazepin (20%) dan jamu
(13,3%). Kausa yang lain amoksisilin, kortimoksasol, dilantin, klorokuin, seftriakson dan adiktif.
Sebagian kecil SJS juga dapat disebabkan oleh infeksi, vaksinasi, penyakit graft-versus-host
yaitu setelah transplantasi sum sum tulang, neoplasma dan radiasi
Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi
hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks soluble dari
antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat
(delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T
yang spesifik. Oleh karena proses hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit sehingga
terjadi :
1. Kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan

2. Stres hormonal diikuti peningkatan resisitensi terhadap insulin, hiperglikemia dan


glukosuriat
3. Kegagalan termoregulasi
4. Kegagalan fungsi imun
5. Infeksi
SSJ secara klinis akan mulai dalam 8 minggu atau biasanya 4 sampai 30 hari setelah
pajanan obat. Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah. Keadaan umumnya
bervariasi dari ringan sampai berat. Pada umumnya yang berat kesadarannya menurun, penderita
dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodormal berupa
demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorok.
Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa:
1. Kelainan kulit
Kelainan kulit terdiri atas eritema, vesikel dan bula. Vesikel dan bula kemudian memecah
sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu dapat juga terjadi purpura. Pada bentuk yang
berat kelainannya generalisata.
2. Kelainan selaput lendir di orifisium
Kelainan selaput lendir yang tersering adalah pada mukosa mulut (100%), kemudian disusul oleh
kelainan di lubang alat genital (50%), sedangkan dilubang hidung dan anus jarang (masingmasing 8% dan 4%)
Kelainannya berupa vesikel dan bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi dan ekskoriasi
dan krusta kehitaman. Juga dapat terbentuk pseudomembran. Di bibir kelainan yang sering
tampak adalah krusta berwarna hitam dan tebal.
Kelainan di mukosa dapat juga terdapat difaring, traktus respiratorius bagian atas, dan
esophagus. Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar/ tidak dapat menelan. Adanya
pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas.
3. Kelainan mata

Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus; yang tersering adalah konjungtivitis
kataralis. Selain itu juga dapat berupa konjungtivitis purulen, perdarahan, simblefaron, ulkus
kornea, iritis, dan iridosiklitis.
Komplikasi biasanya mengenai organ dalam, khususnya komplikasi pulmoner dan
digestif. Komplikasi pulmoner dini biasanya terjadi pada 25% pasien dengan manifestasi berupa
dyspnea,

hipersekresi

bronkus,

dan

hipoxemia

bahkan

hemoptisis.

yang

tersering

adalah bronkopneumonia. Komplikasi lainnya adalah kehilangan cairan dan darah, gangguan
keseimbangan elektrolit dan syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan lakrimasi.
Diagnosis SSJ biasanya tidak terlalu sulit mengingat terdapat trias kelainan. Selain itu,
didukung pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan
imunologik, biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan
histopatologik biopsi kulit.
Penatalaksanaan SSJ yang pertama kali adalah obat yang tersangka sebagai kausa segera
dihentikan penggunaannya. Jika keadaan umum pasien baik dan lesi tidak menyeluruh maka
cukup diobati dengan prednison 30-40 mg sehari. Kalau keadaan umum buruk dan lesi
menyeluruh maka harus diobati dengan cepat dan tepat, serta pasien harus dirawat inap.
Penggunaan kortikosteroid merupakan tindakan life-saving, yaitu berupa deksametason secara
intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Sebagai contoh seorang pasien SSJ yang
berat harus segera dirawat inap dan diberikan deksametason 6 x 5mg iv. Biasanya setelah
beberapa hari (2-3 hari), masa krisis telah terlewati, kedaan membaik dan tidak timbul lesi baru.
Dosisnya segera diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5
mg sehari lalu dapat digantikan dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednison dengan dosis
20 mg sehari; sehari kemudian diturunkan menjad 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan. Jadi
lama pengobatan kira-kira 10 hari.
Selain deksametason dapat digunakan metilprednisolon dengan dosis setara mengingat
efek sampingnya yang lebih sedikit karena merupakan kosrtikosteroid golongan kerja sedang,
akan tetapi harganya lebih mahal. Dengan dosis kortikosteroid setinggi itu, maka imunitas pasien
akan berkurang, karena itu perlu diberikan antibiotik untuk mencegah infeksi. Antibiotik yang
dipilih hendaknya yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas, dan tidak atau sedikit
nefrotoksik. Hendaknya antibiotik yang diberikan tidak segolongan atau memiliki rumus yang
mirip dengan antibiotik yang dicurigai menyebabkan alergi untuk mencegah sensitisasi silang.

Contoh obat yang dapat diberikan adalah siprofloksasin 2 x 400 mg iv, klindamisin yang efektif
untuk kuman yanga naerob dengan dosis 2 x 600 mg iv sehari, dan seftriakson 2 gram iv sehari 1
x 1.
Pada penggunaan kortikosteroid, tappering off hendaknya dilakukan cepat karena
umumnya penyebab SSJ adalah eksogen. Bila tappering off tidak lancar, perlu dipikirkan
mungkin antibiotik yang diberikan sekarang juga menyebabkan alergi sehingga masih timbul lesi
baruatau kemungkinan penyebabnya adalah infeksi sehingga kultur darah perlu dikerjakan.
Pada waktu penurunan dosis, mungkin dapat timbul miliaria kristalina. Hal ini adalah
wajar, dosis kortikosteroid tetap harus diturunkan. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah
mengatur keseimbangan cairan, elektrolit dan nutrisi terlebih pada pasien yang sukar menelan
akibat lesi di mulut dan tenggorokan dan pada kesadaran menurun. Untuk itu dapat diberikan
infus, misalnya dextrose 5%, NaCl 9%, dan Ringer Laktat berbanding 1:1:1 dalam 1 labu yang
diberikan 8 jam sekali. Jika dengan terapi tersebut masih belum terdapat perbaikan, maka dapat
dilakukan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari. Efek transfusi ini sebagai
imunorestorasi karena mengandung sitokin dan leukosit yang meninggikan daya tahan tubuh.
Pada kasus purpura luas dapat diberikan vitamin C 500 mg atau 1000 mg sehari iv. Terapi
topikal yang dapat diberikan adalah krim sulfodiazin-perak yang dapat diberikan pada daerah
yang erosi dan ekskoriasi, kenalog in orabase dan betadine gargle untuk lesi di mulut, emolien
seperti krim urea 10% untuk krusta tebal kehitaman pada bibir.
SJS adalah reaksi yang gawat. Bila tidak diobati dengan baik, reaksi ini dapat
menyebabkan kematian, umumnya sampai 35 persen orang yang mengalami TEN dan 5-15
persen orang dengan SJS, walaupun angka ini dapat dikurangi dengan pengobatan yang baik
sebelum gejala menjadi terlalu gawat. Reaksi ini juga dapat menyebabkan kebutaan total,
kerusakan pada paru, dan beberapa masalah lain yang tidak dapat disembuhkan.
Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi dalam waktu 23 minggu. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagai komplikasi atau
pengobatan terlambat dan tidak memadai. Prognosis lebih berat bila terjadi purpura yang lebih
luas. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit,
bronkopneumonia, serta sepsis.
Steven-Johnsons Syndrome (dengan < 10% permukaan tubuh terlibat) memiliki angka
kematian sekitar 5%. Resiko kematian bisa diperkirakan dengan menggunakan skala SCORTEN,

dengan menggunakan sejumlah faktor prognostic yang dijumlahkan. Outcome lainnya termasuk
kerusakan organ dan kematian.
KASUS
Seorang anak laki-laki usia 8 tahun beralamat di Tepas, Brang Rea kabupaten KSB
dikirim RSUD Sumbawa Barat ke UGD RSUP NTB pada tanggal 27 Februari 2012, dengan
keluhan utama kulit kering dan terkelupas disertai rasa gatal pada hampir seluruh tubuh. kulit
kering dan terkelupas tersebut sejak 3 hari yang lalu, sebelumnya 1 minggu yang lalu kulit
pada hampir seluruh tubuh melepuh seperti luka bakar dan nyeri.
Pasien sebelumnya 13 hari yang lalu, pernah tertusuk paku kemudian berobat ke
Puskesmas dan diberi obat amoksisilin. Setelah 4 hari minum amoksisilin saudara pasien (kakak)
mengaku bahwa timbul bintik-bintik merah di kaki pasien, kemudian setelah 3 hari bintikbintik tersebut berisi cairan dan menyebar ke seluruh tubuh, termasuk sekitar mulut namun pada
mata pasien tetap normal. Kemudian pada hari ke-6 bintik-bintik tersebut pecah, menghitam dan
melepuh seperti luka bakar, kemudian dirawat di RSUD Sumbawa Barat. Saudara pasien (kakak)
mengaku bahwa pasien belum pernah mengalami hal yang sama sebelumnya dan tidak
mengetahui riwayat alergi pasien sebelumnya. Saudara pasien (kakak) juga mengaku bahwa
tidak ada keluarga yang mengalami hal yang sama.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien kompos mentis. Ujud kelainan kulit didapatkan
pada hampir seluruh tubuh terdapat patch eritem kehitaman, generalisata dengan erosi yang
membasah, krusta coklat dan deskuamasi.
Gambar 1 : foto pasien
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, diajukan beberapa diagnosis banding yaitu
Sindrom Steven Johnson, Nekrolisis Epidermal Toksik, dan Staphylococcal Scaled Skin
Sindrom. Pada kasus ini dilakukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium
yaitu darah lengkap dan pada pasien ini terdapat nilai leukosit dan eosinofil yang abnormal.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, didapatkan diagnosis kerja pada kasus ini
adalah Sindrom Steven Johnson ed causa susp Amoksisilin. Pasien diterapi dengan :
1. Perbaikan terhadap keseimbangan cairan (infus RL, D5% )
2. Diit TKTP lunak

3. Injeksi dexametason A / 12 jam


4. Injeksi ranitidine A / 12 jam
5. Eritromisin P.O 3x350 mg PC
6. Tutul betadine 10% 2 x sehari
7. Ol Coccos 2 x sehari untuk lesi yang kering.
PEMBAHASAN
Diagnosis SSJ biasanya tidak terlalu sulit mengingat terdapat trias kelainan, dan dapat
didapatkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik sedangkan pemeriksaan laboratoriumnya
tidak khas. Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien adalah Seorang anak laki-laki usia 8 tahun
beralamat di Tepas, Brang Rea kabupaten KSB dikirim RSUD Sumbawa Barat ke UGD RSUP
NTB, Pasien sebelumnya 13 hari yang lalu, pernah tertusuk paku kemudian berobat ke
Puskesmas dan diberi obat amoksisilin. Setelah 4 hari minum amoksisilin saudara pasien (kakak)
mengaku bahwa timbul bintik-bintik merah di kaki pasien, kemudian setelah 3 hari bintikbintik tersebut berisi cairan dan menyebar ke seluruh tubuh, termasuk sekitar mulut namun di
mata pasien tetap normal. Kemudian pada hari ke-6 bintik-bintik tersebut pecah, menghitam dan
melepuh seperti luka bakar.
Untuk

menyingkirkan
Tabel

Keadaan Umum
Kesadaran
Tanda nikolsky
Epidermolisis
Nekrosis epidermis
Prognosis

diagnosis
1

bandingnya

SSJ
Ringan-berat
Kompos mentis
(-)
(-)
(-)
Lebih baik

dapat

Perbandingan

dilihat
SSJ

NET
Berat
Sering menurun
(+)
(+)
(+)
Lebih buruk

Tabel 2 : Perbandingan SSJ dan SSSS


Usia pasien
Lesi target

SSJ
Anak-dewasa
Sering ditemukan

SSSS
< 5 tahun
Tidak ada

dalam
dan

tabel
NET

Tanda nikolsky
Lesi oral
Kelainan mukosa
Jaringan parut
Penyembuhan

(-)
Umumnya ada
Sering ditemukan
Sering ditemukan
> lama

(+)
Jarang
Jarang
10-14 hari

Pada kasus ini terapi dilakukan dengan memberhentikan obat yang tersangka sebagai
kausa yaitu amoksisilin. memberi terapi cairan dan elektrolit dan penggunaan kortikosteroid
merupakan tindakan life-saving yaitu dexametasone serta antibiotik. selain itu diberikan juga ol
coccos untuk kulit yang kering. pasien di edukasi termasuk keluarga pasien bahwa pasien tidak
boleh meminum amoksisilin lagi. Karena kasusnya tidak berat maka Pada kasus ini,
prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi dalam waktu 2-3 minggu.

HISTOPATOLOGI
Biasanya tidak perlu dilakukan
Bila ragu histopatologi untuk DD/ dengan eksantema fikstum multipel /
nekrolisis

Kelainan histopatologi :
1. Infiltrat sel mononuklear sekitar pembuluh darah dermis superfisial
2. Edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papular
3. Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel subepidermal
4. Nekrosis sel epidermal & kadang2 di aneksa
5. Spongiosis dan udema intrasel di epidermis

LABORATORIUM
Tidak khas
Leukositosis (+) : mungkin Etiologi/ : infeksi

Eosinofilia : kemungkinan alergi obat


Enzim transaminase serum , albuminuria, gangguan elektrolit, gangguan fungsi
organ tubuh yang terkena.

You might also like