Professional Documents
Culture Documents
Assalamualaikum Wr.Wb.
Alhamdulillah, Puji dan syukur senantiasa saya panjatkan kehadirat Allah
SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, serta shalawat dan salam
kepada Nabi Muhammad SAW, dan para sahabat serta pengikutnya hingga akhir
zaman. Karena atas rahmat dan ridha-Nya, penulis dapat menyelesaikan Referat yang
berjudul HIPERTIROID. Penulisan case report ini dimaksudkan untuk memenuhi
tugas dalam menempuh kepanitraan klinik di bagian penyakit dalam di RSUD dr.
Drajat Prawiranegara.
Pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis menyampaikan rasa terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu, terutama kepada
dr.Dewi Kartika Sari, Sp.Pd yang telah memberikan arahan serta bimbingan
ditengah kesibukan dan padatnya aktivitas beliau.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat dalam
penulisan refarat ini. Untuk itu penulis mengharapkan kritik maupun saran yang
bersifat membangun dari para pembaca. Akhir kata penulis berharap semoga refarat
ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.
Wassalamualaikum Wr.Wb.
Penulis
I. IDENTITAS
Nama
Umur
Jenis Kelmain
Alamat
Agama
Pekerjaan
: Ny. Sofiah
: 56 tahun
: Perempuan
: Balekambang, Ciomas
: Islam
: IRT
II. ANAMNESA
Autoanamnesa pada tanggal 7 Oktober, pukul 12.00 WIB di Ruang Cempaka
KELUHAN UTAMA
Sesak nafas
KELUHAN TAMBAHAN
Perut membuncit
Kaki membengkak
Badan Gemetaran
Benjolan di leher
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Pasien datang membawa surat rujukan dari puskesmas ke RSUD dr. Drajat
Prawiranegara diantar keluarga dengan keluhan sesak nafas 7 hari sebelum masuk
rumah sakit. Di puskesmas pasien tidak diberikan obat. Pasien mengatakan sesak
nafas muncul secara perlahan sejak 5 bulan yang lalu, saat ini sesak dirasakan
semakin memberat. Sesak muncul saat melakukan aktifitas ringan dan hilang bila
pasien beristirahat. Pasien mengaku saat tidur tidak bisa dalam posisi berbaring
karena sesak dan punggung harus diganjal bantal.
Pasien juga mengeluhkan bahwa perut terasa membuncit sejak 1 minggu
SMRS, dan tidak ada nyeri tekan perut. Kaki pasien pun dirasakan membengkak
sejak 1 minggu SMRS dan terasa keras seperti batu.
Pasien mengatakan badannya sering gemetaran saat sedang diam. Keluhan ini
dirasakan sejak pasien datang pertama kali untuk berobat kira kira 5 bulan yang
lalu. Pasien mengaku tidak pernah membeli obat warung untuk mengatasi
keluhannya tersebut.
Pasien juga mengeluhkan adanya benjolan di leher sebelah kanan yang
sebelumnya hanya terdapat benjolan di sebelah kiri. Benjolan muncul kira kira 2
bulan SMRS. Benjolan terasa panas dan berdenyut. Benjolan tidak bergerak bila
pasien menelan ludah.
Sebelumnya pasien pernah di rawat di RSUD dr. Drajat Prawira negara dengan
hipertiroid. Pasien juga mengatakan sempat koma. Saat ditanya kapan pasien lupa,
dan hanya mengira ngira 2-3 bulan yang lalu. Pasien mengatakan berat badan
turun drastis dari 80 kg ke 40 kg selama kurang lebih 1 bulan. Pasien juga
mengatakan rambutnya menjadi rontok, mudah berkeringat dan sulit tidur.
Riwayat penyakit dahulu: Hipertiroid (+), Jantung (+), Paru (+)
Riwayat penyakit keluarga : Hipertiroid (-), Hipertensi (-), DM (-)
III. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum
: Sedang
Kesadaran
: Compos mentis
: Tekanan darah
Nadi
Respirasi
Suhu
: 120/60 mmHg
: 100x/ menit irregular
: 26x/ menit
: 36,8o C
RCL/RCTL
: bentuk normal, pernapasan cuping hidung -/: bibir pucat - , lidah kotor
: Pembesaran kelenjar getah bening (+), JVP meningkat
: Simetris saat statis dan dinamis, retraksi (-)
: vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/: Bunyi jantung I dan II regular, gallop -, murmur sistolik (+) di
Abdomen
trikuspid
: perut datar, bising usus +, supel, nyeri tekan epigastrium -,
Ekstremitas
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. EKG ( 5/10/2016)
: 6,80
12,00 15,30
Leukosit
: 4.800,00
4.400,00 11.300,00
Hematokrit
: 21,20
35,00 47,00
Trombosit
: 122.000,00
140.000,00 440.000,00
: 84,00
70,00 110,00
Cholesterol
: 64,00
< 200
HDL
: 36,00
> 60,00
LDL
: 22,80
< 155,00
Trigliserida
: 26,00
<200,00
SGOT
: 44,00
15,00 48,00
SGPT
: 26,00
20,00 60,00
Ureum
: 18,00
6,00 46,00
Creatinin
: 0,43
0,30 1,30
Asam Urat
: 4,40
2,60 7,20
Natrium
: 136,40
135,00 148,00
Klorida
: 110,00
3,30 - 5,30
KIMIA DARAH
Kalium
: 3,53
96,00 111,00
TSH
: < 0,05
0,35 5,0
T4
: 22
4,8 11,6
SEROLOGI
VI. DIAGNOSIS
Diagnosis Kerja
Hipertiroid
CHF e.c Thyroid heart disease
Anemia
VII. PENATALAKSANAAN
1. Infus NaCL 0,9%
2. Furosemide 2 x 40 IV
3. PTU 3 x 2 tab 100mg
4. Spironolakton 1x 25mg
5. Transfusi PRC 1 hari 1 labu
VIII. PROGNOSIS
Ad vitam
: Dubia Ad bonam
Ad functionam
: Dubia Ad bonam
Ad sanationam
: Dubia ad bonam
TINJAUAN PUSTAKA
I.
DEFINISI
Menurut American Thyroid Association dan American Association of Clinical
Endocrinologists, hipertiroidisme didefinisikan sebagai kondisi berupa peningkatan
kadar hormon tiroid yang disintesis dan disekresikan oleh kelenjar tiroid melebihi
normal (Bahn et al, 2011).
Hipertiroidisme merupakan salah satu bentuk thyrotoxicosis atau tingginya
kadar hormon tiroid, T4, T3 maupun kombinasi keduanya, di aliran darah.
5
III. ETIOLOGI
Berdasarkan etiologinya hipertiroidisme dapat dibagi menjadi beberapa
kategori, secara umum hipertiroidisme yang paling banyak ditemukan adalah
Graves Disease, toxic adenoma, dan multinodular goiter.
A. Graves Disease
Graves disease merupakan penyebab utama hipertiroidisme karena sekitar 80%
kasus hipertiroidisme di dunia disebabkan oleh Graves disease. Penyakit ini
biasanya terjadi pada usia 20 40 tahun, riwayat gangguan tiroid keluarga, dan
adanya penyakit autoimun lainnya misalnya diabetes mellitus tipe 1 (Fumarola et
al, 2010).
Graves disease merupakan gangguan autoimun berupa peningkatan kadar hormon
tiroid yang dihasilkan kelenjar tiroid Kondisi ini disebabkan karena adanya thyroid
10
IV. PATOFISIOLOGI
Penyebab hipertiroidisme biasanya adalah penyakit graves, goiter toksika.
Pada kebanyakan penderita hipertiroidisme, kelenjar tiroid membesar dua sampai
tiga kali dari ukuran normalnya, disertai dengan banyak hiperplasia dan lipatanlipatan sel-sel folikel ke dalam folikel, sehingga jumlah sel-sel ini lebih meningkat
beberapa kali dibandingkan dengan pembesaran kelenjar. Juga, setiap sel
meningkatkan kecepatan sekresinya beberapa kali lipat dengan kecepatan 5-15 kali
lebih besar daripada normal.
Pada hipertiroidisme, kosentrasi TSH plasma menurun, karena ada sesuatu
yang menyerupai TSH, Biasanya bahan bahan ini adalah antibodi
immunoglobulin yang disebut TSI (Thyroid Stimulating Immunoglobulin), yang
berikatan dengan reseptor membran yang sama dengan reseptor yang mengikat
TSH. Bahan bahan tersebut merangsang aktivasi cAMP dalam sel, dengan hasil
akhirnya adalah hipertiroidisme. Karena itu pada pasien hipertiroidisme kosentrasi
TSH menurun, sedangkan konsentrasi TSI meningkat. Bahan ini mempunyai efek
perangsangan yang panjang pada kelenjar tiroid, yakni selama 12 jam, berbeda
dengan efek TSH yang hanya berlangsung satu jam. Tingginya sekresi hormon
11
tiroid yang disebabkan oleh TSI selanjutnya juga menekan pembentukan TSH oleh
kelenjar hipofisis anterior.
Pada hipertiroidisme, kelenjar tiroid dipaksa mensekresikan hormon hingga
diluar batas, sehingga untuk memenuhi pesanan tersebut, sel-sel sekretori kelenjar
tiroid membesar. Gejala klinis pasien yang sering berkeringat dan suka hawa
dingin termasuk akibat dari sifat hormon tiroid yang kalorigenik, akibat
peningkatan laju metabolisme tubuh yang diatas normal. Bahkan akibat proses
metabolisme
yang
menyimpang
ini,
terkadang
penderita
hipertiroidisme
mengalami kesulitan tidur. Efek pada kepekaan sinaps saraf yang mengandung
tonus otot sebagai akibat dari hipertiroidisme ini menyebabkan terjadinya tremor
otot yang halus dengan frekuensi 10-15 kali perdetik, sehingga penderita
mengalami gemetar tangan yang abnormal. Nadi yang takikardi atau diatas normal
juga merupakan salah satu efek hormon tiroid pada sistem kardiovaskuler.
Eksopthalmus yang terjadi merupakan reaksi inflamasi autoimun yang mengenai
daerah jaringan periorbital dan otot-otot ekstraokuler, akibatnya bola mata
terdesak keluar.
V. MANIFESTASI KLINIS
12
limfosit yang disebabkan oleh aktivasi sitokin pada fibroblast (Weetman, 2000).
VI. DIAGNOSIS
Diagnosis suatu penyakit hampir pasti diawali oleh kecurigaan klinis. Untuk
ini telah dikenal indeks klinis Wayne dan New Castle yang didasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik teliti. Kemudian diteruskan dengen pemeriksaan penunjang
untuk konfirmasi diagnosis anatomis, status tiroid dan etiologi
14
Diagnosis
tanda
klinis yang dialami pasien, tetapi juga berdasarkan hasil laboratorium dan
radiodiagnostik.
Menurut Ghandour dan Reust (2011), untuk menegakkan diagnosis
hipertiroidisme, perlu dilakukan pemeriksaan kadar TSH serum, T3 bebas, T4
bebas, dan iodine radioaktif.
Algoritma Diagnosis Hipertiroidisme (Ghandour, 2011)
15
A. TSH
Thyroid stimulating hormone (TSH) merupakan hormon yang diproduksi oleh
hipofisis untuk menstimulasi pembentukan dan sekresi hormon tiroid oleh
kelenjar tiroid. Pada kondisi normal terdapat negative feedback pada pengaturan
sekresi TSH dan hormon tiroid di sistem pituitarythyroid axis. Apabila kadar
hormon tiroid di aliran darah melebihi normal, maka hipofisis akan mengurangi
sekresi TSH yang pada akhirnya akan mengembalikan kadar hormon tiroid
kembali normal. Sebaliknya apabila kadar hormon tiroid rendah maka hipofisis
akan mensekresi TSH untuk memacu produksi hormon tiroid.
Bahn et al (2011), menyarankan pemeriksaan serum TSH sebagai pemeriksaan
lini pertama pada kasus hipertiroidisme karena perubahan kecil pada hormon
tiroid akan menyebabkan perubahan yang nyata pada kadar serum TSH. Sehingga
pemeriksaan serum TSH sensitivitas dan spesifisitas paling baik dari pemeriksaan
darah lainnya untuk menegakkan diagnosis gangguan tiroid.
Pada semua kasus hipertiroidisme (kecuali hipertiroidisme sekunder atau yang
disebabkan produksi TSH berlebihan) serum TSH akan sangat rendah dan bahkan
tidak terdeteksi (<0.01 mU/L). Hal ini bahkan dapat diamati pada kasus
hipertiroidisme ringan dengan nilai T4 dan T3 yang normal sehingga pemeriksaan
serum TSH direkomendasikan sebagai pemeriksaan standar yang harus dilakukan
(Bahn et al, 2011).
B. T4 dan T3
Pemeriksaan serum tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) direkomendasikan
sebagai pemeriksaan standar untuk diagnosis hipertiroidisme. Pemeriksaan
utamanya dilakukan pada bentuk bebas dari hormon tiroid karena yang
menimbulkan efek biologis pada sistem tubuh adalah bentuk tak terikatnya. Pada
awal terapi baik dengan obat anti tiroid, iodine radioaktif dan tiroidektomi
pemeriksaan kadar hormon tiroid perlu dilakukan untuk mengetahui kondisi
sebelum terapi. Satu bulan setelah terapi perlu dilakukan pemeriksaan terhadap
free T4, total T3 dan TSH untuk mengetahui efektivitas terapi yang diberikan dan
16
pemeriksaan dilakukan setiap satu bulan hingga pasien euthyroid (Bahn et al,
2011).
Selain itu dari rasio total T3 dan T4 dapat digunakan untuk mengetahui etiologi
hipertiroidisme yang diderita pasien. Pada pasien hipertiroidisme akibat Graves
Disease dan toxic nodular goiter rasio total T3 dan T4> 20 karena lebih banyak
T3 yang disintesis pada kelenjar tiroid hiperaktif dibandingkan T4 sehingga rasio
T3 lebih besar. Sedangkan pada pasien painless thyroiditis dan post-partum
thyroiditis rasio total T3 dan T4< 20 (Bahn et al, 2011; Baskin et al, 2002)
Menurut Beastall et al (2006), monitoring pada pasien hipertiroidisme yang
menggunakan obat anti tiroid tidak cukup hanya ditegakkan dengan pemeriksaan
kadar TSH. Hal ini disebabkan pada pasien hipertiroidisme terutama Graves
disease kadar TSH ditemukan tetap rendah pada awal pemakaian obat anti tiroid
sehingga untuk melihat efektivitas terapi perlu dilakukan pemeriksaan kadar T4
bebas
C. Thyroid Receptor Antibodies (TRAb)
Dalam menegakkan diagnosis hipertiroidisme akibat autoimun atau Graves
disease perlu dilakukan pemeriksaan titer antibodi. Tipe TRAb yang biasanya
diukur dalam penegakan diagnosis Graves disease adalah antithyroid peroxidase
antibody
(anti-TPOAb),
thyroid
stimulating
antibody
(TSAb),
dan
jam kemudian.
Pada kondisi hipertiroidisme primer seperti Graves disease, toxic adenoma dan
toxic multinodular goiter akan terjadi peningkatan uptake iodine radioaktif.
Pemeriksaan ini dikontraindikasikan bagi pasien wanita yang hamil atau
menyusui (Beastall et al, 2006).
E. Scintiscanning
Scintiscanning
merupakan
metode
pemeriksaan
fungsi
tiroid
dengan
US
bukan
merupakan
pemeriksaan
utama
pada
kasus
DIAGNOSIS BANDING
VII. PENATALAKSANAAN
Pilihan pengobatan tergantung pada beberapa hal antara lain berat ringannya
tirotoksikosis, usia pasien, besarnya struma, ketersediaan obat antitiroid dan respon
atau reaksi terhadapnya serta penyakit lain yang menyertainya.
Obat obatan
a. Obat Antitiroid :
Golongan Tionamid
Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan imidazol.
Tiourasil dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan imidazol dipasarkan
dengan nama metimazol dan karbimazol. Obat golongan tionamid lain yang baru
beredar ialah tiamazol yang isinya sama dengan metimazol.
Obat golongan tionamid mempunyai efek intra dan ekstratiroid. Mekanisme
aksi intratiroid yang utama ialah mencegah/mengurangi biosintesis hormon tiroid
T-3 dan T-4, dengan cara menghambat oksidasi dan organifikasi iodium,
menghambat coupling iodotirosin, mengubah struktur molekul tiroglobulin dan
menghambat sintesis tiroglobulin. Sedangkan mekanisme aksi ekstratiroid yang
utama ialah menghambat konversi T-4 menjadi T-3 di jaringan perifer (hanya PTU,
tidak pada metimazol). Atas dasar kemampuan menghambat konversi T-4 ke T-3
ini, PTU lebih dipilih dalam pengobatan krisis tiroid yang memerlukan penurunan
segera hormon tiroid di perifer. Sedangkan kelebihan metimazol adalah efek
penghambatan biosintesis hormon lebih panjang dibanding PTU, sehingga dapat
diberikan sebagai dosis tunggal.
Belum ada kesesuaian pendapat diantara para ahli mengenai dosis dan jangka
waktu pengobatan yang optimal dengan OAT. Beberapa kepustakaan menyebutkan
bahwa obat-obat anti tiroid (PTU dan methimazole) diberikan sampai terjadi remisi
spontan, yang biasanya dapat berlangsung selama 6 bulan sampai 15 tahun setelah
pengobatan.
20
yaitu
agranulositosis
(metimazol
mempunyai
efek
samping
agranulositosis yang lebih kecil), gangguan fungsi hati, lupus like syndrome, yang
dapat terjadi dalam beberapa bulan pertama pengobatan. Agranulositosis
merupakan efek samping yang berat sehingga perlu penghentian terapi dengan
Obat Anti Tiroid dan dipertimbangkan untuk terapi alternatif yaitu yodium
radioaktif.. Agranulositosis biasanya ditandai dengan demam dan sariawan, dimana
untuk mencegah infeksi perlu diberikan antibiotika.
Efek samping lain yang jarang terjadi namun perlu penghentian terapi dengan
Obat Anti Tiroid antara lain Ikterus Kholestatik, Angioneurotic edema,
21
palpitasi, tremor, cemas, dan intoleransi panas melalui blokadenya pada reseptor
adrenergik. Di samping efek antiadrenergik, obat penyekat beta ini juga dapat
-meskipun sedikit- menurunkan kadar T-3 melalui penghambatannya terhadap
konversi T-4 ke T-3. Dosis awal propranolol umumnya berkisar 80 mg/hari.3,4
Di samping propranolol, terdapat obat baru golongan penyekat beta dengan durasi
kerja lebih panjang, yaitu atenolol, metoprolol dan nadolol. Dosis awal atenolol dan
metoprolol 50 mg/hari dan nadolol 40 mg/hari mempunyai efek serupa dengan
propranolol.
Pada umumnya obat penyekat beta ditoleransi dengan baik. Beberapa efek samping
yang dapat terjadi antara lain nausea, sakit kepala, insomnia, fatigue, dan depresi, dan
yang
lebih
jarang
terjadi
ialah
kemerahan,
demam,
agranulositosis,
dan
23
24
pengobatan
baru terlihat setelah 8 12 minggu, dan bila perlu terapi dapat diulang. Selama
menunggu efek yodium radioaktif dapat diberikan obat-obat penyekat beta dan / atau
OAT. Respons terhadap pengobatan yodium radioaktif terutama dipengaruhi oleh
besarnya dosis I131 dan beberapa faktor lain seperti faktor imun, jenis kelamin, ras
dan asupan yodium dalam makanan sehari-hari.
Efek samping yang menonjol dari pengobatan yodium radioaktif adalah
hipotiroidisme. Kejadian hipotiroidisme sangat dipengaruhi oleh besarnya dosis;
25
makin besar dosis yang diberikan makin cepat dan makin tinggi angka kejadian
hipotiroidisme.
Dengan dosis I131 yang moderat yaitu sekitar 100 Ci/g berat jaringan tiroid,
didapatkan angka kejadian hipotiroidisme sekitar 10% dalam 2 tahun pertama dan
sekitar 3% untuk tiap tahun berikutnya.
Efek samping lain yang perlu diwaspadai adalah :
memburuknya oftalmopati yang masih aktif (mungkin karena lepasnya antigen
tiroid dan peningkatan kadar antibody terhadap reseptor TSH), dapat dicegah
dengan pemberian kortikosteroid sebelum pemberian I131
hipo atau hiperparatiroidisme dan kelumpuhan pita suara (ketiganya sangat
jarang terjadi)
gastritis radiasi (jarang terjadi)
Eksaserbasi tirotoksikosis akibat pelepasan hormon tiroid secara mendadak
(leakage) pasca pengobatan yodium radioaktif; untuk mencegahnya maka
sebelum minum yodium radioaktif diberikan OAT terutama pada pasien tua
dengan kemungkinan gangguan fungsi jantung.
Setelah pemberian yodium radioaktif, fungsi tiroid perlu dipantau selama 3 sampai
6 bulan pertama; setelah keadaan eutiroid tercapai fungsi tiroid cukup dipantau
setiap 6 sampai 12 bulan sekali, yaitu untuk mendeteksi adanya hipotiroidisme.
Pengobatan oftalmopati Graves
Diperlukan kerjasama yang erat antara endokrinologis dan oftalmologis dalam
menangani oftalmopati Graves. Keluhan fotofobia, iritasi dan rasa kesat pada mata
dapat diatasi dengan larutan tetes mata atau lubricating ointments, untuk mencegah
dan mengobati keratitis. Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan menghentikan
merokok, menghindari cahaya yang sangat terang dan debu, penggunaan kacamata
gelap dan tidur dengan posisi kepala ditinggikan untuk mengurangi edema periorbital.
Hipertiroidisme sendiri harus diobati dengan adekuat. Obat-obat yang mempunyai
khasiat imunosupresi dapat digunakan seperti kortikosteroid dan siklosporin,
disamping OAT sendiri dan hormon tiroid. Tindakan lainnya adalah radioterapi dan
pembedahan rehabilitatif seperti dekompresi orbita, operasi otot ekstraokuler dan
operasi kelopak mata.
Yang menjadi masalah di klinik adalah bila oftalmopati ditemukan pada pasien
yang eutiroid; pada keadaan ini pemeriksaan antibody anti-TPO atau antibody
antireseptor TSH dalam serum dapat membantu memastikan diagnosis. Pemeriksaan
26
krisis
tiroid
meliputi
pengobatan
terhadap
hipertiroidisme
27
dan
stabil,
obat
dapat
dihentikan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Snell, Richard. Anatomi Klinik. Penerbit Buku Kedokteran.Jakarta. 2006
2. Djokomoeljanto,R. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Kelenjar Tiroid,
Hipitiroidisme dan Hipertiroidsme. Pusat Penerbit FKUI. Jakarta. 2006
3. Ereschenko, V. Atlas Histologi di Fiore. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta .
2003.
4. Sherwood, L .Fisiologi Manusia. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.2001
5. National Endocrine and Metabolic Diseases Information Service.
Hyperthyroidsme. 2007; 573-582
6. Rani, A. Panduan Pelayanan Medik. Pusat Penerbit Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta.
2009
7. Donangelo, Ines. Update on Subclinical Hyperthyroidsm. 2011; 934-938
8. American Thyroid Association. Hyperthyroidsm. 2012; 1-4
9. Brand, Frans. A Critical Review and Meta-Analysis of The Association Between
Overt Hyperthyroidsm and Mortality. 2011; 491-497
10. David S. Cooper, M.D. Antithyroid Drugs, N Engl J Med 2005;352:905-17
11. Mansjoer, arif dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga Jilid 1. Media
Aesculapius : Jakarta
28
29