You are on page 1of 8

Dari beberapa journal baik nasional dan internasional yang mengkaji

mengenai cuaca dimana berkonsentrasi pada penelitian curah hujan


beserta dampaknya. Penelitian dilakukan baik di indonesia maupun di luar
indonesia. Penelitian ini di dukung penuh oleh instansi pemerintah
indonesia yaitu Badan Meterologi dan Klimatologi Geofosika ( BMKG ).
Beberapa journal yang telah saya baca maka ini beberapa review 10
journal nasional dan internasional.
Stasiun yang dijadikan semple berada di provinsi jawa timur.
Adapun CH dan HH yang akan dibuat grafik berdasarkan syarat utama
dari BMKG yaitu CH perdasarian > 50 mm untuk AMH dan CH per dasarian
<50 mm untuk AMK dengan 5 kondisi HH. Berdasarkan gambar kondisi 1
sampai dengan 5 dapat dilihat bagaimana pola hari hujan dasarian dan
curah hujan dasarian yang memiliki pola sama yaitu pola monsual. Arti
pola monsual yaitu bahwa hari hujan mengikuti jumlah curah hujan yang
terukur. Dari data curah hujan dan hari hujan harian yang telah dikonversi
menjadi data curah hujan dan hari hujan dasarian maka di dapatlah AMH
dan AMK berdasarkan kriteria utama. Jika dilihat secara spesial AMH di
jawa timur dimulai dari wilayah pesisir selatan jawa timur seperti pada
kabupaten pacitan, trenggelek dan malang. Secara bertahap menjalar ke
arah tengah jawa timur, kemudian pesisir utara dan timur jawa timur dan
yang paling akhir di pulau madura. Proses penjalaran yang bergerak dari
selatan pada musim hujan diakibatkan karena suhu muka laut yang mulai
hangat diselatan jawa dan didorong oleh angin dari arah belahan bumi
selatan ( BBS ), sehingga potensi hujan diwilayah selatan jawa timur
meningkat. Secara spesial AMH kriteria utama umumnya jatu pada
november dasarian 1 sampai november dasarian 2, sedangkan untuk AMK
polanya terbalik dengan AMH, Untuk mengidentifikasi terjadinya banjir
masa lampau yang diperoleh dari berbagai referensi yang tidak
disebutkan tanggal kejadiannya, dilakukan dengan memperhatikan time
series, data hujan tahunan, bulanan, dan harian dengan menggunakan
data CH tahunan di beberapa stasiun dapat kita hitung nilai residu
terhadap normal sehingga didapatkan tahun dimana terjadinya fenomena
skala global seperti El-Nino dan La-Nina, namun untuk mendeteksi
terjadinya hujan deras yang mengakibatkan banjir. Berdasarkn data yang
ada, ujan deras yang terjadi di wilayah jabodetabek pada umumnya
berlangsung pada bulan januari dan februari yang bersamaan dengan
saat berlangsungnya musim dingin di asia. Khusus untuk wilayah
jabodetabek yang topografinya berada di dekat pantai pembentukan
awan juga di picu oleh pengaruh coastal front yaitu pertemuan angin
darat-laut yang membangkitkan terjadinya pertumbuhan-pertumbuhan
awan-awan tinggi ( cumulus ) yang sangat potensial menimbulkan hujan
deras. Disamping itu wilayah jabodetabek berdekatan dengan daerah

bogor yang kaya hujan selain dipicu oleh perihal tersebut diatas juga
adanya pembentukan awan orografis dan daerah wind shear yang sering
membangkitkan hujan deras, selanjutnya hujan tersebut dikirim ke
wilayah jakarta melalui run off. Hujan yang berasal dari awan sebagaian
diserap oleh bumi dan sebagain lagi dibuang langsung ke laut berupa run
off melalui sungai atau kanal atau drainase alami dan buatan. Idealnya
perbandingan antara air hujan yang dapat disimpan dipermukaan bumi
yaitu 75% sedang 25% dialirkan sebagai run off.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah suhu udara,


kelembaman udara, arah angin, tekanan udara, curah hujan dengan data
pada bulan mei, juni, dan November 2014 data yang digunakan adalah
data sekunder yang diperoleh dari BMKG Stasiun Pontianak. Data akan
diolah melalui langkah yaitu:
a. Penentuan kriteria
Data cuaca untuk estimasi akan di klasifikasikan dalam 3 kriteria
yaitu, keadaan cuaca cerah, berawan, dan hujan.
b. Penentuan nilai bipolar
Data input berupa 3 kriteria diubah menjadi fungsi bipolar yang
menunjukan nilai 1 dan -1
c. Pembuatan model simulasi algoritma
Pembuatan simulasi diperlukan untuk melakukan penyesuain nilai
bobot dengan nilai target atau keluaran yang diinginkan sehingga
akan menghasilkan bobot optimal mencapai konvergen yang bisa
mengenal data uji.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat
disimpulkan JST algoritma Hopfield dapat digunakan untuk estimasi
keadaan cuaca menggunakan 4 unsur cuaca yaitu suhu udara,
kelembaban udara, tekanan udara, dan arah angin. Untuk keadaan cuaca
di Kota Pontianak memiliki tingkat ketepatan pada bulan Mei dengan
kategori sangat baik (82%), Juni baik (79%), dan November baik (75%).
Dalam penelitian ini, konfigurasi CCAM menggunakan conformal cubic
format C48 grid yakni setiap panelnya memiliki 48x48 grid poin dan 18
level vertikal sigma jadi jumlah titik grid adalah 48x48x6x18 = 248832
grid. CCAM dijalankan menggunakan 29 data nilai awal GFS yang valid
pada bulan Februari 2008 yang dibatasi pada data yang dikeluarkan pada
pukul 00 UTC (07.00 WIB). Proses menjalankan model CCAM dilakukan di
Puslitbang BMKG dengan menggunakan PC Cluster 6 prosesor dengan
sistem operasi CentOS Rocks Cluster. Validasi dilakukan secara kualitatif
dan kuantitatif. Validasi kualitatif dilakukan dengan membandingkan pola
tutupan awan hasil keluaran model CCAM terhadap data satelit MT-SAT IR

visible. Sedangkan validasi kuantitatif dilakukan secara statistik dengan


menghitung nilai korelasi dan RMSE (Root Mean Squared Error) dari tiap
parameter terhadap hasil luaran CCAM, Metode pengukuran dengan
menghitung Threat Score (TS) khusus dilakukan untuk parameter curah
hujan, yaitu untuk mengukur ketepatan prediksi kejadian hujan atau tidak
hujan. Terjadi hujan jika nilai parameter curah hujan tidak sama dengan 0
(nol), tanpa membandingkan apakah hujan yang terjadi termasuk kategori
intensitas rendah, sedang maupun tinggi. prediksi 6 jam dan
kecenderungan menurun sampai prediksi 48 jam, di stasiun BMG 745
mempunyai nilai korelasi 0.3 pada prediksi 6 jam pertama dan menurun
sampai prediksi 48 jam sedangkan untuk stasiun Soekarno Hatta nilai
korelasi yang diperoleh secara keseluruhan dibawah 0.2 sampai prediksi
48 jam kedepan. Hal ini menunjukkan bahwa hasil model luaran CCAM
tidak merepresentasikan nilai intensitas curah hujan, akan tetapi untuk
peluang kejadian hujan pada 3 stasiun pengamatan menunjukkan nilai TS
lebih dari 0.5 sampai dengan prediksi 24 jam, dan kecenderungan
menurun sampai dengan prediksi 48 jam ke depan Validasi CCAM dengan
data observasi diperoleh hasil yang baik pada akurasi kejadian hujan dan
parameter tekanan permukaan laut, untuk parameter suhu permukaan,
curah hujan, kecepatan dan arah angin diperoleh nilai korelasi rendah.
Model CCAM dapat digunakan untuk aplikasi prakiraan cuaca di wilayah
Jakarta khususnya pada prediksi kejadian hujan sampai pada skala lokal.
CCAM juga dapat dijadikan sebagai referensi baru sebagai upaya dalam
meningkatkan hasil prakiraan yang tepat dan cepat. Namun demikian
untuk mencapai hasil yang lebih akurat, masih perlu dilakukan
penyempurnaan model dan validasi secara spasial terhadap data luaran
model lain pada resolusi tinggi dengan menggunakan metode spatial
correlation.
Curah hujan sepanjang periode 1979 hingga 2007 di wilayah Jawa
bagian utara yang diwakili oleh 4 ZOM (30, 43, 88, dan 90) menunjukkan
korelasi yang signifikan dengan SML di wilayah Indonesia bagian timur
yang meliputi Laut Banda, Laut Arafura, Samudera Hindia selatan Bali,
Nusatenggara hingga utara Australia yaitu dengan 0,53 r 0,63. Berbeda
dengan wilayah SML, curah hujan di empat ZOM berkorelasi signifikan
dengan OLR di wilayah yang membentang di atas Jawa hingga meluas
sepanjang Laut Jawa, Laut Bali, Laut Flores hingga Samudera Hindia
selatan Jawa. Kotak grid H5, H6, dan I6, secara konsisten OLR di atas
wilayah tersebut mempengaruhi curah hujan di 4 ZOM. Ketiga kotak grid
itu meliputi Laut Jawa bagian tengah, Jawa Tengah, dan Samudera Hindia
selatan Jawa Tengah. Untuk tingkat akurasi model JST, analisis pola
observasi dan prakiraan menunjukkan pola yang sama, meski masih
dijumpai estimasi prakiraan yang terlalu tinggi maupun terlalu rendah.

Jika dianalisis nilai MSEnya, yang terendah di 4 ZOM selama periode 2003
- 2007, terjadi pada tahuan 2006. Nilai galat prakiraan terhadap hasil
observasi, ketika dianalisis dengan kesalahan relatif, model JST
menunjukkan kesalahan yang besar ketika periode bulan kering. Keadaan
tersebut terjadi pada bulan Juni, Juli, atau Agustus.
Dalam penelitian Swarinoto (2004)2) menunjukkan bahwa SST Nino
3.4 tidak secara langsung dalam waktu bersamaan mempengaruhi curah
hujan. Hasil yang sama ditunjukkan dari hasil penelitian Estiningtyas
(2005) dimana terdapat pola antara SST Nino 3.4 tertinggi dengan curah
hujan terendah 2-3 bulan berikutnya di wilayah monsunal dan tropikal. Hal
ini lah yang menjadi dasar pemikiran dalam pemilihan periode time lag
yang akan diteliti untuk mendapatkan hasil prediksi kalman filter terbaik,
dengan skenario time lag 0, lag 1, dan lag 2. Model ARIMA non seasonal
(model ARIMA untuk data time series yang tidak memiliki pola musiman)
dapat dinotasikan dengan ARIMA (p,d,q), model ini merupakan model
campuran antara model Autoregressive (AR) berordo p dengan moving
average (MA) berordo q yang mengalami differensiasi sebanyak d kali4).
Validasi yang dilakukan untuk hasil prediksi curah hujan daerah
Purbalingga menggunakan Kalman Filter dengan salah satu prediktornya
adalah SST Nino 3.4 dengan skenario time lag keluaran ARIMA selama
tahun 2006 2008 memberikan hasil yang cukup baik, dimana korelasi
antara data observasi dan hasil prediksi berkisar 70% - 90%, hal ini
menunjukan skenario tenggang waktu (time lag). SST nino 3.4 diprediksi
ARIMAterhadap curah hujan dapat meningkatkan akurasi hasil prediksi
Kalman filter. Namun data SST Nino 3.4 yang diperoleh dari hasil ARIMA
telah mengalami proses smoothing data (Moving Average) sehingga
pengaruh selang waktu (lag) tidak lagi berpengaruh besar, hal ini terlihat
pada hasil yang diperoleh sebelumnya dimana lag 1 dan lag 2
memberikan hasil prediksi yang sama, namun berbeda untuk lag 0.
Sehingga dalam skenario time lag untuk prediksi SST Nino 3.4 keluaran
ARIMA perlu dilakukan pada lag 0 dan lag 1 untuk daerah Purbalingga dan
mungkin juga daerah sekitarnya, karena telah diperoleh hasil prediksi
curah hujan bulanan menggunakan Kalman Filter dengan salah satu
prediktornya adalah SST Nino 3.4 diprediksi ARIMA pada lag 1 dan lag 2
menunjukkan hasil yang cukup baik pada kurun waktu 3 tahun
kebelakang, walaupun lag 1 dan lag 2 memberikan hasil prediksi yang
sama. De n g a n memp e r t imb a n g k a n h a s i l perbandingan korelasi
dan RMSE pada gambar 6 dapat disimpulkan bahwa data Nino 3.4
diprediksi ARIMA mampu membantu kecepatan dan ketepatan prediksi
curah hujan dengan Kalman Filter di daerah Purbalingga pada tahun 20062008 dan penggunaan skenario tenggang waktu dapat pula diujicobakan

pada lag 0 dan lag 1 untuk dapat lebih memberikan peluang dan
kemungkinan yang besar pada meningkatkan akurasi prediksi kalman
Filter total hujan bulanan (1991-2000) berbasis pada model sistem
prediksi tunggal ANFIS, Wavelet-ANFIS, Wavelet-ARIMA, dan ARIMA, maka
diperolah tabulasi nilai pembobot berdasarkan pada nilai koefisien korelasi
Pearson yang didapat dari model sistem prediksi tunggal, Kabupaten
Indramayu terdapat masing-masing 4 (empat) nilai pembobot. Keempat
nilai pembobot dimaksud digunakan untuk membentuk persamaan
ensemble untuk lokasi Anjatan (6,36 S, 107,92 E) memiliki persamaan
model sistem prediksi ensemble sebagai berikut: F (i+1) = 0,34*F (i) +
0,21*F (i) + 0,36*F (i) + 0,09*F (i). Berdasarkan persamaan (16), maka
kontribusi model sistem prediksi tunggal ANFIS ke dalam hasil prediksi
total hujan bulanan di wilayah Kabupaten Indramayu adalah sebesar 0,34
ke dalam luaran model sistem prediksi ensemble. Sementara itu kontribusi
model sistem prediksi tunggal Wavelet-ANFIS sebesar 0,21. Selanjutnya
model sistem prediksi tunggal Wavelet-ARIMA berkontribusi sebesar 0,36.
Terakhir model sistem prediksi tunggal ARIMAberkontribusi sebesar 0,09.
Berdasarkan persamaan model sistem prediksi ensemble dapat diketahui
bahwa model sistem prediksi tunggal yang menghasilkan nilai koefisien
korelasi Pearson yang besar akan berkontribusi lebih banyak ke dalam
nilai prediksi daripada model sistem prediksi tunggal yang menghasilkan
nilai koefisien korelasi yang lebih kecil.
Luaran model sistem prediksi ensemble total hujan bulanan di
wilayah Kabupaten Indramayu menunjukkan hasil yang lebih baik dan
lebih konsisten daripada luaran model sistem prediksi tunggal
pembentuknya selama periode 2001-2009. Kisaran nilai r diperoleh lebih
kecil dengan nilai minimum r lebih besar dan nilai maksimum r yang
relatif sama. Umumnya bagian barat wilayah Kabupaten Indramayu
menghasilkan nilai r yang relatif besar daripada bagian timur dan selatan.
Dimana bagian barat wilayah Kabupaten Indramayu mempunyai kondisi
iklim secara klimatologis relatif lebih basah daripada wilayah lainnya.
Analisis dilakukan dalam dua tahapan yaitu melakukan perbandingan
antara data TRMM NASA (3B42RT) dengan TRMM Jaxa (GSMap_NRT) dan
perbandingan antara data TRMM (salah satu di antara keduanya) dengan
data curah hujan pengamatan untuk ketiga DAS. Analisis pertama untuk
melihat data mana yang mempunyai konsistensi lebih baik dengan
pengamatan manual yang nantinya akan dilakukan perbandingan dengan
data curah hujan manual. Perbandingan Antara TRMM NASA (3B42RT)
Dengan TRMM JAXA (GSMap_NRT). Analisis temporal dilakukan terhadap
tiga (3) DAS Citarum, Sutami-Brantas dan Larona selama lima (5) tahun
dari tahun 2009 2013 dengan data TRMM harian untuk kedua tipe
(3B42RT dan GSMap_NRT). Dari kedua tipe tersebut kemudian

dibandingkan dengan dibuat plot temporal dan plot sebaran (scatter


plot)untuk melihat konsistensi simpangannya.
Analisis selanjutnya adalah analisis time series dengan
membandingkan kedua data dengan jangka waktu tertentu. Data yang
dipakai adalah presipitasi harian antara tahun 2009 sampai 2013 (selama
lima tahun). Grafik presipitasi dan plot scatter antara TRMM NASA dengan
TRMM Jaxa untuk DAS Citarum Dari grafik terlihat bahwa nilai TRMM Jaxa
cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan TRMM NASA dan terlihat dari
persamaan linearnya mempunyai gradien kurang dari 1. menunjukkan
bahwa nilai TRMM Jaxa cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan
TRMM NASA dengan nilai gradien kurang dari 1. Dari analisis dua jenis tipe
data TRMM NASA (3B42RT) dan TRMM Jaxa (GSMap_NRT) menunjukkan
bahwa TRMM Jaxa lebih mendekati data pengamatan dibandingkan
dengan TRMM NASA.
Hasil analisis terhadap data pengukuran menunjukkan pola yang
sesuai dengan nilai pengamatan (aktual). Nilai korelasi antara data TRMM
dengan data pengamatan akan lebih baik apabila analisis data
menggunakan data bulanan. monsunal seperti dijelaskan oleh Aldrian et
al. Curah hujan tinggi berlangsung diawal dan akhir tahun sedangkan
dipertengahan tahun cenderung rendah, Secara umum, ada variasi awal
musim baik pada musim hujan ataupun musim kemarau, tidak terkecuali
awal musim di P. Bali. BMKG telah mengaji variasi normal awal kedua
musim. Pada Buku Prakiraan Musim Kemarau 2014 yang dikeluarkan oleh
BMKG [30] dijelaskan bahwa normal awal musim kemarau di wilayah ini
variasinya terjadi pada Maret (ZOM 217), April (ZOM 205, 206, 207, 208,
210, 213, 214 dan 218), Mei (ZOM 211) dan Juni (ZOM 209, 215). Begitu
juga untuk panjang periode kemarau, periode kemarau terpendek terjadi
di ZOM 209 dan 215 (12 dasarian) dan terpanjang terjadi di ZOM 206 (24
dasarian). Diantara ZOM-ZOM yang terdapat di P. Bali, bila ditinjau dari
jumlah curah hujannya, maka ada dua ZOM yang sangat menarik untuk
dijadikan fokus kajian. Dua ZOM tersebut adalah ZOM 215 karena memiliki
curah hujan terbanyak (3663 mm) dan sebaliknya ZOM 206 karena
memiliki curah hujan paling sedikit (1131). Kedua ZOM tersebut terlihat
jelas memiliki panjang kemarau yang berbeda.
Perbedaan antara kedua ZOM tersebut disebabkan oleh kondisi
geografis dan topografi yang berbeda, ZOM 206 merupakan daerah pantai
sedangkan ZOM 215 merupakan daerah pegunungan, Pembahasan pada
tulisan ini akan melihat perbedaan analisis kekeringan berdasarkan SPI3 di
P. Bali. ZOM 206 dan 215 akan mewakili fokus dari wilayah kajian. Untuk
ZOM 206 dipilih pos hujan Sumber Klampok (SBK) sedangkan untuk ZOM
215 hanya ada satu pos hujan yaitu Besakih (BSK). Namun analisis singkat

untuk seluruh pos hujan juga akan ditampilkan untuk semua pos hujan
yang digunakan pada penelitian ini. Berdasarkan kajian SPI3 pada 29 pos
hujan di P. Bali, disimpulkan bahwa SPI3 dapat digunakan sebagai ukuran
untuk memantau kekeringan diwilayah tersebut. Hal ini diketahui setelah
menganalisis beberapa faktor yaitu: Pertama, faktor kategori Sangat
Kering yang menunjukan bahwa secara temporal selama 30 tahun (19842013), bulan Mei 1997 merupakan bulan dengan pos hujan paling banyak
mempunyai kategori Sangat Kering dan bulan tersebut merupakan awal
dimulainya El Nino Kuat 97/98. keadaan Normal. Selama periode seratus
tahun (1901 2000) frekuensi kejadian El Nio mencapai 22,9 % dan La
Nia mencapai 27,7 %, sedangkan keadaan normalnya 49,4 %.
Sedangkan frekuensi kejadian DM (+) mencapai 23,1 % dan DM (-)
mencapai 26,9 %, sedangkan keadaan normalnya 50 %. Hal ini
menunjukkan bahwa frekuensi kejadian keempat fenomena: El Nio, La
Nia, DM (+) dan DM (-) tersebut jarang terjadi jika dibandingkan keadaan
normalnya, namun demikian keempat fenomena tersebut mempunyai
pengaruh yang cukup signifikan terhadap variabilitas curah hujan di
beberapa wilayah Indonesia. Selain itu dari analisis dinamis atmosfer,
pada saat terjadi El Nio kuat (1982/ intensitas 2,4) selama periode 19012000 pada wilayah SERUI (pola hujan ekuatorial) merupakan daerah
divergensi akibat bergesernya sel Walker kearah timur, akibatnya
memperlemah proses konveksi di wilayah tersebut yang juga ditunjukkan
oleh kondisi Air Mampu Curah yang nilainya berkisar antara 25 30
kg/m2.
Sedangkan pada saat terjadi DM (+) terkuat (1961/intensitas 1, 27)
pengaruhnya lemah terhadap wilayah SERUI, hal ini ditunjukkan di wilayah
tersebut merupakan daerah konvergensi. Seperti halnya yang telah dikaji
oleh Aldrian (2003) bahwa wilayah C (Indonesia bagian timur) merupakan
wilayah yang paling kuat mendapat pengaruh dari aktivitas ENSO yang
diindikasikan dengan tingkat korelasi yang kuat antara curah hujan
dengan anomali suhu permukaan laut. (22,9%), La Nia (27,7 %) dan
Normal (49,4%), sedangkan frekuensi kejadian DM (+ ) (23,1%) , DM ()
(26,9%) dan Normal (50%). Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas keempat
fenomena tersebut diatas, frekuensi kejadiannya lebih jarang
dibandingkan keadaan normalnya, namun demikian keempat fenomena
tersebut mempunyai pengaruh yang cukup signifikan terhadap perubahan
pola hujan di wilayah Maluku dan Papua. Pengaruh fenomena Dipole Mode
terhadap musim hujan di India berlawanan dengan pengaruh fenomena
ENSO, Wilayah Indonesia terbagi menjadi tiga wilayah iklim dengan
karakteristik yang berbeda, wilayah A (Pola Hujan Lokal), B (Pola Hujan
Ekuatorial) dan C (Pola Hujan Monsunal). Interaksi El Nio, Dipole Mode

dan Monsun panas India merupakan penyebab normalnya curah hujan di


wilayah Indonesia Barat bagian utara

You might also like