Professional Documents
Culture Documents
bogor yang kaya hujan selain dipicu oleh perihal tersebut diatas juga
adanya pembentukan awan orografis dan daerah wind shear yang sering
membangkitkan hujan deras, selanjutnya hujan tersebut dikirim ke
wilayah jakarta melalui run off. Hujan yang berasal dari awan sebagaian
diserap oleh bumi dan sebagain lagi dibuang langsung ke laut berupa run
off melalui sungai atau kanal atau drainase alami dan buatan. Idealnya
perbandingan antara air hujan yang dapat disimpan dipermukaan bumi
yaitu 75% sedang 25% dialirkan sebagai run off.
Jika dianalisis nilai MSEnya, yang terendah di 4 ZOM selama periode 2003
- 2007, terjadi pada tahuan 2006. Nilai galat prakiraan terhadap hasil
observasi, ketika dianalisis dengan kesalahan relatif, model JST
menunjukkan kesalahan yang besar ketika periode bulan kering. Keadaan
tersebut terjadi pada bulan Juni, Juli, atau Agustus.
Dalam penelitian Swarinoto (2004)2) menunjukkan bahwa SST Nino
3.4 tidak secara langsung dalam waktu bersamaan mempengaruhi curah
hujan. Hasil yang sama ditunjukkan dari hasil penelitian Estiningtyas
(2005) dimana terdapat pola antara SST Nino 3.4 tertinggi dengan curah
hujan terendah 2-3 bulan berikutnya di wilayah monsunal dan tropikal. Hal
ini lah yang menjadi dasar pemikiran dalam pemilihan periode time lag
yang akan diteliti untuk mendapatkan hasil prediksi kalman filter terbaik,
dengan skenario time lag 0, lag 1, dan lag 2. Model ARIMA non seasonal
(model ARIMA untuk data time series yang tidak memiliki pola musiman)
dapat dinotasikan dengan ARIMA (p,d,q), model ini merupakan model
campuran antara model Autoregressive (AR) berordo p dengan moving
average (MA) berordo q yang mengalami differensiasi sebanyak d kali4).
Validasi yang dilakukan untuk hasil prediksi curah hujan daerah
Purbalingga menggunakan Kalman Filter dengan salah satu prediktornya
adalah SST Nino 3.4 dengan skenario time lag keluaran ARIMA selama
tahun 2006 2008 memberikan hasil yang cukup baik, dimana korelasi
antara data observasi dan hasil prediksi berkisar 70% - 90%, hal ini
menunjukan skenario tenggang waktu (time lag). SST nino 3.4 diprediksi
ARIMAterhadap curah hujan dapat meningkatkan akurasi hasil prediksi
Kalman filter. Namun data SST Nino 3.4 yang diperoleh dari hasil ARIMA
telah mengalami proses smoothing data (Moving Average) sehingga
pengaruh selang waktu (lag) tidak lagi berpengaruh besar, hal ini terlihat
pada hasil yang diperoleh sebelumnya dimana lag 1 dan lag 2
memberikan hasil prediksi yang sama, namun berbeda untuk lag 0.
Sehingga dalam skenario time lag untuk prediksi SST Nino 3.4 keluaran
ARIMA perlu dilakukan pada lag 0 dan lag 1 untuk daerah Purbalingga dan
mungkin juga daerah sekitarnya, karena telah diperoleh hasil prediksi
curah hujan bulanan menggunakan Kalman Filter dengan salah satu
prediktornya adalah SST Nino 3.4 diprediksi ARIMA pada lag 1 dan lag 2
menunjukkan hasil yang cukup baik pada kurun waktu 3 tahun
kebelakang, walaupun lag 1 dan lag 2 memberikan hasil prediksi yang
sama. De n g a n memp e r t imb a n g k a n h a s i l perbandingan korelasi
dan RMSE pada gambar 6 dapat disimpulkan bahwa data Nino 3.4
diprediksi ARIMA mampu membantu kecepatan dan ketepatan prediksi
curah hujan dengan Kalman Filter di daerah Purbalingga pada tahun 20062008 dan penggunaan skenario tenggang waktu dapat pula diujicobakan
pada lag 0 dan lag 1 untuk dapat lebih memberikan peluang dan
kemungkinan yang besar pada meningkatkan akurasi prediksi kalman
Filter total hujan bulanan (1991-2000) berbasis pada model sistem
prediksi tunggal ANFIS, Wavelet-ANFIS, Wavelet-ARIMA, dan ARIMA, maka
diperolah tabulasi nilai pembobot berdasarkan pada nilai koefisien korelasi
Pearson yang didapat dari model sistem prediksi tunggal, Kabupaten
Indramayu terdapat masing-masing 4 (empat) nilai pembobot. Keempat
nilai pembobot dimaksud digunakan untuk membentuk persamaan
ensemble untuk lokasi Anjatan (6,36 S, 107,92 E) memiliki persamaan
model sistem prediksi ensemble sebagai berikut: F (i+1) = 0,34*F (i) +
0,21*F (i) + 0,36*F (i) + 0,09*F (i). Berdasarkan persamaan (16), maka
kontribusi model sistem prediksi tunggal ANFIS ke dalam hasil prediksi
total hujan bulanan di wilayah Kabupaten Indramayu adalah sebesar 0,34
ke dalam luaran model sistem prediksi ensemble. Sementara itu kontribusi
model sistem prediksi tunggal Wavelet-ANFIS sebesar 0,21. Selanjutnya
model sistem prediksi tunggal Wavelet-ARIMA berkontribusi sebesar 0,36.
Terakhir model sistem prediksi tunggal ARIMAberkontribusi sebesar 0,09.
Berdasarkan persamaan model sistem prediksi ensemble dapat diketahui
bahwa model sistem prediksi tunggal yang menghasilkan nilai koefisien
korelasi Pearson yang besar akan berkontribusi lebih banyak ke dalam
nilai prediksi daripada model sistem prediksi tunggal yang menghasilkan
nilai koefisien korelasi yang lebih kecil.
Luaran model sistem prediksi ensemble total hujan bulanan di
wilayah Kabupaten Indramayu menunjukkan hasil yang lebih baik dan
lebih konsisten daripada luaran model sistem prediksi tunggal
pembentuknya selama periode 2001-2009. Kisaran nilai r diperoleh lebih
kecil dengan nilai minimum r lebih besar dan nilai maksimum r yang
relatif sama. Umumnya bagian barat wilayah Kabupaten Indramayu
menghasilkan nilai r yang relatif besar daripada bagian timur dan selatan.
Dimana bagian barat wilayah Kabupaten Indramayu mempunyai kondisi
iklim secara klimatologis relatif lebih basah daripada wilayah lainnya.
Analisis dilakukan dalam dua tahapan yaitu melakukan perbandingan
antara data TRMM NASA (3B42RT) dengan TRMM Jaxa (GSMap_NRT) dan
perbandingan antara data TRMM (salah satu di antara keduanya) dengan
data curah hujan pengamatan untuk ketiga DAS. Analisis pertama untuk
melihat data mana yang mempunyai konsistensi lebih baik dengan
pengamatan manual yang nantinya akan dilakukan perbandingan dengan
data curah hujan manual. Perbandingan Antara TRMM NASA (3B42RT)
Dengan TRMM JAXA (GSMap_NRT). Analisis temporal dilakukan terhadap
tiga (3) DAS Citarum, Sutami-Brantas dan Larona selama lima (5) tahun
dari tahun 2009 2013 dengan data TRMM harian untuk kedua tipe
(3B42RT dan GSMap_NRT). Dari kedua tipe tersebut kemudian
untuk seluruh pos hujan juga akan ditampilkan untuk semua pos hujan
yang digunakan pada penelitian ini. Berdasarkan kajian SPI3 pada 29 pos
hujan di P. Bali, disimpulkan bahwa SPI3 dapat digunakan sebagai ukuran
untuk memantau kekeringan diwilayah tersebut. Hal ini diketahui setelah
menganalisis beberapa faktor yaitu: Pertama, faktor kategori Sangat
Kering yang menunjukan bahwa secara temporal selama 30 tahun (19842013), bulan Mei 1997 merupakan bulan dengan pos hujan paling banyak
mempunyai kategori Sangat Kering dan bulan tersebut merupakan awal
dimulainya El Nino Kuat 97/98. keadaan Normal. Selama periode seratus
tahun (1901 2000) frekuensi kejadian El Nio mencapai 22,9 % dan La
Nia mencapai 27,7 %, sedangkan keadaan normalnya 49,4 %.
Sedangkan frekuensi kejadian DM (+) mencapai 23,1 % dan DM (-)
mencapai 26,9 %, sedangkan keadaan normalnya 50 %. Hal ini
menunjukkan bahwa frekuensi kejadian keempat fenomena: El Nio, La
Nia, DM (+) dan DM (-) tersebut jarang terjadi jika dibandingkan keadaan
normalnya, namun demikian keempat fenomena tersebut mempunyai
pengaruh yang cukup signifikan terhadap variabilitas curah hujan di
beberapa wilayah Indonesia. Selain itu dari analisis dinamis atmosfer,
pada saat terjadi El Nio kuat (1982/ intensitas 2,4) selama periode 19012000 pada wilayah SERUI (pola hujan ekuatorial) merupakan daerah
divergensi akibat bergesernya sel Walker kearah timur, akibatnya
memperlemah proses konveksi di wilayah tersebut yang juga ditunjukkan
oleh kondisi Air Mampu Curah yang nilainya berkisar antara 25 30
kg/m2.
Sedangkan pada saat terjadi DM (+) terkuat (1961/intensitas 1, 27)
pengaruhnya lemah terhadap wilayah SERUI, hal ini ditunjukkan di wilayah
tersebut merupakan daerah konvergensi. Seperti halnya yang telah dikaji
oleh Aldrian (2003) bahwa wilayah C (Indonesia bagian timur) merupakan
wilayah yang paling kuat mendapat pengaruh dari aktivitas ENSO yang
diindikasikan dengan tingkat korelasi yang kuat antara curah hujan
dengan anomali suhu permukaan laut. (22,9%), La Nia (27,7 %) dan
Normal (49,4%), sedangkan frekuensi kejadian DM (+ ) (23,1%) , DM ()
(26,9%) dan Normal (50%). Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas keempat
fenomena tersebut diatas, frekuensi kejadiannya lebih jarang
dibandingkan keadaan normalnya, namun demikian keempat fenomena
tersebut mempunyai pengaruh yang cukup signifikan terhadap perubahan
pola hujan di wilayah Maluku dan Papua. Pengaruh fenomena Dipole Mode
terhadap musim hujan di India berlawanan dengan pengaruh fenomena
ENSO, Wilayah Indonesia terbagi menjadi tiga wilayah iklim dengan
karakteristik yang berbeda, wilayah A (Pola Hujan Lokal), B (Pola Hujan
Ekuatorial) dan C (Pola Hujan Monsunal). Interaksi El Nio, Dipole Mode