You are on page 1of 7

1.

Prinsip semiotika menurut beberapa ahli, antara lain:


a. Ferdinand De Saussure
Teori Semiotik ini dikemukakan oleh Ferdinand De Saussure (1857-1913).
Dalam teori ini semiotik dibagi menjadi dua bagian (dikotomi) yaitu
penanda (signifier) dan pertanda (signified). Penanda dilihat sebagai
bentuk/wujud fisik dapat dikenal melalui wujud karya arsitektur, sedang
pertanda dilihat sebagai makna yang terungkap melalui konsep, fungsi
dan/atau nilai-nlai yang terkandung didalam karya arsitektur. Eksistensi
semiotika Saussure adalah relasi antara penanda dan petanda berdasarkan
konvensi, biasa disebut dengan signifikasi. Semiotika signifikasi adalah
sistem tanda yang mempelajari relasi elemen tanda dalam sebuah sistem
berdasarkan aturan atau konvensi tertentu. Kesepakatan sosial diperlukan
untuk dapat memaknai tanda tersebut.
Menurut Saussure, tanda terdiri dari: Bunyi-bunyian dan gambar, disebut
signifier atau penanda, dan konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan
gambar, disebut signified.
Dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk mengirim
makna tentang objek dan orang lain akan menginterpretasikan tanda
tersebut. Objek bagi Saussure disebut referent. Hampir serupa dengan
Peirce yang mengistilahkan interpretant untuk signified dan object untuk
signifier, bedanya Saussure memaknai objek sebagai referent dan
menyebutkannya sebagai unsur tambahan dalam proses penandaan.
Contoh: ketika orang menyebut kata anjing (signifier) dengan nada
mengumpat maka hal tersebut merupakan tanda kesialan (signified).
Begitulah, menurut Saussure, Signifier dan signified merupakan
kesatuan, tak dapat dipisahkan, seperti dua sisi dari sehelai kertas.
(Sobur, 2006).
b. Charles Sander Peirce

Peirce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang


terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign), object, dan interpretant.
Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh
panca

indera

manusia

dan

merupakan

sesuatu

yang

merujuk

(merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut


Peirce terdiri dari Simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), Ikon
(tanda yang muncul dari perwakilan fisik) dan Indeks (tanda yang muncul
dari hubungan sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda ini disebut
objek.Objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi
referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda.
Interpretant atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang
menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau
makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk
sebuah tanda.Hal yang terpenting dalam proses semiosis adalah
bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan
orang saat berkomunikasi.
Contoh: Saat seorang gadis mengenakan rok mini, maka gadis itu sedang
mengomunikasi mengenai dirinya kepada orang lain yang bisa jadi
memaknainya sebagai simbol keseksian. Begitu pula ketika Nadia Saphira
muncul di film Coklat Strowberi dengan akting dan penampilan fisiknya
yang memikat, para penonton bisa saja memaknainya sebagai icon wanita
muda cantik dan menggairahkan.
c. Roland Barthes
Teori ini dikemukakan oleh Roland Barthes (1915-1980), dalam teorinya
tersebut Barthes mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan
pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat
pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada
realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi
adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan

petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak


langsung, dan tidak pasti (Yusita Kusumarini,2006).
Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik
pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk
kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa
kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada
orang yang berbeda situasinya.
Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan
interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural
penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang
dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal
dengan order of signification, mencakup denotasi (makna sebenarnya
sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman
kultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes
meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifier-signified yang
diusung Saussure.
Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu mitos yang
menandai suatu masyarakat. Mitos menurut Barthes terletak pada
tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifiersignified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian
memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu
tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi
makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos.
Misalnya: Pohon beringin yang rindang dan lebat menimbulkan konotasi
keramat karena dianggap sebagai hunian para makhluk halus. Konotasi
keramat ini kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang
melekat pada simbol pohon beringin, sehingga pohon beringin yang
keramat bukan lagi menjadi sebuah konotasi tapi berubah menjadi
denotasi pada pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap ini, pohon beringin
yang keramat akhirnya dianggap sebagai sebuah Mitos.

d. Morris
Charles Morris (1938) menyebutkan bahwa semiotika pada dasarnya dapat
dibedakan dalam tiga cabang penyelidikan. Pertama, sintaktik atau
sintaksis. Yaitu, cabang penyelidikan semiotika yang mengkaji hubungan
formal di antara satu tanda dengan tanda-tanda yang lain.
Kedua, semantik. Cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari
hubungan di antara tanda-tanda dengan designata atau objek-objek yang
diacunya. Morris mengatakan, designata adalah makna tanda-tanda
sebelum digunakan di dalam tuturan tertentu.
Ketiga,

pragmatik.

Yaitu,

cabang

penyelidikan

semiotika

yang

mempelajari hubungan di antara tanda-tanda dengan interpreter-interpreter


atau para pemakainya. Pragmatik berurusan dengan aspek-aspek
komunikasi, khususnya fungi-fungsi situasional yang melatari tuturan.
2. Penanda dan Petanda, konsep ini melihat bahwa makna muncul ketika ada
hubungan yang bersifat asosiasi yang ditandai (signified) dan yang
menandai (signifier). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda
(signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain,
penanda adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna. Jadi,
penanda adalah aspek material dari bahasa yaitu apa yang dikatakan atau
didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental,
pikiran, atau konsep.
Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa dan karena itu tidak
merupakan tanda. Sebaliknya, suatu petanda tidak mungkin disampaikan atau
ditangkap lepas dari penanda; petanda atau yang dtandakan itu termasuk tanda
sendiri dan dengan demikian merupakan suatu faktor linguistik. Penanda dan

petanda merupakan kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertas, kata
Saussure. Contohnya, awan gelap di langit yang dengan otomatis
menunjukkan pikiran kita untuk berkesimpulan bahwa sebentar lagi hujan
akan turun. Atau, anjing tidak harus selalu dibangkitkan oleh penanda dalam
bunyi a/n/j/i/n/g, tapi bisa pula dengan d/o/g (Inggris) atau h/u/n/d (Jerman)
atau c/h/i/e/n (Perancis).
3. Objek

Tanda

(Immediate

Object),

yakni

objek

sebagaimana

yang

direpresentasikan oleh tanda, dan Objek Dinamik (Dynamic Object), yaitu


objek yang tidak tergantung pada tanda, malah objek inilah yang merangsang
penciptaan tanda.
4. Bagi Pierce, ikon termasuk dalam tipologi tanda pada trikotomi kedua. Ikon
merupakan sebutan bagi tanda yang non-arbitrer (bermotivasi). Menurut
Pierce, Ikon adalah hubungan antara tanda dan objeknya atau acuan yang
bersifat kemiripan (Sobur, 2004:41). Dia menyatakan bahwa ikon adalah
tanda yang memiliki kemiripan/similaritas dengan objeknya (Budiman,
2005:45). Ikon, jika ia berupa hubungan kemiripan (Nurgiyantoro, 1995:45).
Ikon merupakan tanda yang didasarkan oleh adanya similaritas (similarity)
atau keserupaan (resemblance) di antara kedua kolerat tersebut (Budiman
2011: 69). Jenis tanda yang didasari resemblance itu adalah tanda ikonis dan
gejalanya dapat disebut sebagai ikonisitas.
Ikonisitas merupakan salah satu gejala yang tidak kurang penting di dalam
semiotika. Padahal, berbagai tanda ikonis berserakan di sekitar kita dalam
kehidupan sehari-hari, misalnya: gambar wajah Dian Sastro tersenyum manja
dengan bibir merah basah merekah sedikit terbuka dalam bungkus sabun,
wajah Hitler pada kaos kita, atau gambar group band Peterpan dalam poster

(ketiganya adalah ikon Images). Betapa terpolusinya kehidupan kita dengan


tanda ikonis, tetapi kadang tidak terpikirkan.
Di dalam bahasa, kita menemukan kata onomatope sebagai tanda ikonis,
misalnya kata ku ku ru yuk yang mengacu pada objek suara yang diacunya,
yaitu Ayam Jago. Selain itu, kata dangdut yang juga mengacu pada objek
suara yang diacunya.
suatu tanda, atau representamen, merupakan sesuatu yang menggantikan
sesuatu bagi seseorang dalam beberapa hal atau kapasitas. Ia tertuju kepada
seseorang, artinya di dalam benak orang itu tercipta suatu tanda lain yang
ekuivalen, atau mungkin suatu tanda yang lebih terkembang. Tanda yang
tercipta itu saya sebut sebagai interpretan dari tanda yang pertama. Tanda
yang menggantikan sesuatu, yaitu objeknya, tidak dalam segala hal,
melainkan dalam rujukannya pada sejumput gagasan, yang kadang saya sebut
sebagai latar dari representamen (Budiman, 2011: 73).
5. Pierce, menyusun tipe ikon secara triparit. Yang mana karakteritik arbitrer dan
konvesional itu hanya terdapat pada salah satu sub-tipe tanda yang
dinamakannya sebagai simbol (Budiman, 2011: 69). Tipe-tipe ikon itu
misalnya, ikon image, ikon diagram, dan ikon metaforis. Ikon metafora
(metaphor) merupakan suatu meta-tanda (metasign) yang ikonisitasnya
berdasarkan pada kemiripan atau similaritas di antara objek-objek dari dua
tanda simbolis. Biasanya berupa hubungan similaritas relasi abstrak seperti
kemiripan sifat.
Contoh ikon metafora : Metafora Kaki Gunung dapat dihasilkan dengan
mempersamakan objek yang berupa gunung dengan objek lain yang berupa
tubuh manusia (atau hewan) yang memilih kaki. Kemiripannya, sama-sama
berada di bawah dan berfungsi untuk menopang tubuh atau gunung.
6

DAFTAR PUSTAKA
http://bahasa-indonesia-1.blogspot.com/2012/07/pengertian-posted-onseptember-30-2010.html
http://pustakaisaspol.wordpress.com/2012/02/12/menyelami-relasi-tandalebih-dalam/
http://sherlyfirismapraselin.student.esaunggul.ac.id/tugas/tugas-3/2dikotomi-signifiant-penanda-dan-signifie-petanda/
http://bahasa.kompasiana.com/2012/03/05/fungsionalitas-elemen-tandasebuah-sentilan-semiotika-444449.html
http://bahasa.kompasiana.com/2012/04/13/analisa-semiotika-454097.html

You might also like