You are on page 1of 43

Presentasi Kasus

Congestive Heart Failure (CHF)

Disusunoleh :
Aulia Rahmawati
G1A212015
Rizki Zakiah
G1A212015
Suryo Adi K
G4A013002
Nita Irmawati
G4A013008

Pembimbing :
dr. Rendi Asmara, Sp.JP

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2014

LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui presentasi kasus dengan judul :


Congestive Heart Failure (CHF)
Pada tanggal, Maret 2014

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti program


profesi dokter di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr.
Margono Soekardjo Purwokerto

Disusun oleh :
Aulia Rahmawati
G1A212015
Rizki Zakiah
G1A212015
Suryo Adi K
G4A013002
Nita Irmawati
G4A013008

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Rendi Asmara, Sp.JP

BAB I
PENDAHULUAN

Gagal jantung kongestif merupakan keadaan patofisiologis berupa kelainan


fungsi jantung, sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan atau kemampuannya hanya ada
jika disertai dengan peninggian volume diastolik secara abnormal. Gagal
jantung kongestif biasanya disertai dengan kergagalan pada jantung kiri dan
jantung kanan (Hauser et al, 2005).
Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan
merupakan penyebab peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien jantung.
Di Eropa kejadian gagal jantung berkisar 0,4% - 2% dan meningkat pada usia
yang lebih lanjut, dengan rata-rata umur 74 tahun. Prevalensi gagal jantung di
Amerika Serikat mencapai 4,8 juta orang dengan 500 ribu kasus baru per
tahunnya. Di Indonesia belum ada angka pasti tentang prevalensi penyakit
gagal jantung. Meskipun terapi gagal jantung mengalami perkembangan yang
pesat, angka kematian dalam 5-10 tahun tetap tinggi, sekitar 30-40% dari
pasien penyakit gagal jantung lanjut dan 5-10% dari pasien dengan gejala
gagal jantung yang ringan (Sugeng & Irawan, 2004).
Stenosis mitral merupakan suatu keadaan dimana terjadi gangguan aliran
darah pada tingkat katup mitral oleh karena adanya perubahan pada struktur
mitral leaflets, yang menyebabkan gangguan pembukaan sehingga timbul
gangguan pengisian ventrikel kiri saat diastol (Hauser et al, 2005).
Stenosis mitral merupakan penyebab utama terjadinya gagal jantung
kongestif di negara-negara berkembang. Di Amerika Serikat, prevalensi dari
stenosis mitral telah menurun seiring dengan penurunan insidensi demam
rematik. Pemberian antibiotik seperti penisilin pada streptococcal pharyngitis
turut berperan pada penurunan insidensi ini. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan diberbagai tempat di Indonesia, penyakit jantung valvular
menduduki urutan ke-2 setelah penyakit jantung koroner dari seluruh jenis
penyebab penyakit jantung.

BAB II
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama
: Tn. S
Usia
: 40
Tahun
Alamat
: Ajibarang
Jenis kelamin
: Laki-laki
Status
: Menikah
Pekerjaan
: Buruh Tani
Pendidikan
: SMP
Tanggal masuk
: 19
Februaru 2014
Tanggal periksa
: 23
Februari 2014
No. CM
: 27-67-54
Anamnesis
Keluhan Utama Sesak nafas

Keluhan Tambahan
Kaki bengkak dan nyeri ulu hati.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan sesak napas dirasakan sejak 1 tahun dan memberat
sejak satu hari SMRS sampai pasien tidak dapat tidur. Sesak napas dirasakan terus
menerus dan bertambah berat jika pasien melakukan aktivitas ringan seperti
berjalan dari kamar ke kamar mandi serta berkurang apabila pasien duduk atau
tiduran menggunakan bantal yang tinggi. Pasien biasanya tidur menggunakan 3

bantal. Setiap malam pasien hampir selalu terbangun dikarenakan sesak napas
yang dirasakannya.
Sesak napas pada pasien tidak disertai bunyi ngik-ngik. Keluhan ini disertai
dengan kaki yang membengkak. Kaki bengkak dirasakan sejak tiga hari yang lalu.
Keluhan kaki bengkak sudah pernah dirasakan

sebelumnya. Kaki membengkak terutama apabila pasien duduk dalam jangka


waktu lama. Keluhan kaki membengkan tidak kunjung membaik dalam tiga
hari terakhir sehingga membuat pasien sulit beraktivitas
Pasien juga menyatakan nyeri pada bagian ulu hati sejak kurang lebih satu
minggu SMRS. Nyeri ulu hati ini dirasakan seperti sebah dan kembung, hal
ini menyebabkan rasa tidak nyaman ketika pasien bernafas. Nyeri ulu hati
membaik apabila pasien diberikan makanan, dan memburuk apabila tidak
makan dalam jangka waktu yang lama. Nyeri ulu hati tidak
diikuti dengan bab berwarna hitam.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
a.
Riwayat Darah Tinggi
: diakui
b.
Riwayat Sakit Jantung
: diakui
c.
Riwayat Kencing Manis
: disangkal
d.
Riwayat Penyakit Ginjal
: disangkal
e.
Riwayat Penyakit Hati
: disangkal
f.
Riwayat Alergi
: disangkal
g.
Riwayat Asthma
: disangkal
h.
Riwayat OAT
: disangkal
i.
Riwayat Mondok
: disangkal
5. Riwayat Penyakit Keluarga
a.
Keluhan yang Sama
: disangkal
b.
Riwayat Darah Tinggi
: diakui (Ibu Pasien)

c.
Riwayat Kencing Manis
: disangkal
d.
Riwayat Penyakit Jantung
: disangkal
e.
Riwayat Penyakit Ginjal
: disangkal
f.
Riwayat Penyakit Hati
: disangkal
g.
Riwayat Alergi
: disangkal
h.
Riwayat Asthma
: disangkal
6. Riwayat Sosial dan Exposure
a.
Komunitas
Pasien tinggal di lingkungan padat penduduk. Rumah satu dengan yang lain
berdekatan. Hubungan antara pasien dengan tetangga

dan keluarga baik. Disekitar lingkungan rumah dinyatakan tidak ada wabah
penyakit tertentu.
b. Rumah
Pasien tinggal bersama dengan istri dan dua orang anaknya. Rumah pasien
merupakan rumah permanen. Atap tertutup genteng dan lantai rumah terbuat dari
semen, memiliki ventilasi yang baik serta memilki kamar mandi di dalam rumah.
c. Pekerjaan
Pasien bekerja sebagai buruh tani. Pasien sering melakukan kegiatan berat seperti
mencangkul dan bercocok tanam disawah.
d. Personal habit
Pasien memiliki kebiasaan merokok dari usia 18 tahun namun tidak minum
minuman beralkohol. Pasien setiap harinya menghabiskan 1 bungkus rokok, akan
tetapi sejak 1 tahun terakhir pasien mulai berhenti merokok. Pasien makan secara
teratur 3 kali sehari dengan menu seadanya dan lebih suka dengan makanan yang
asin-asin.
C. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan di bangsal Mawar RSMS, 23 Februari 2014
1.
Keadaan umum
: Tampak sesak, lemah
2.
Kesadaran
: Composmentis
3.
Tanda vital
:
Tekanan darah
: 170/100 mmHg
Nadi
: 88x/ menit regular
Respirasi
: 28x/ menit
Suhu
: 36,5C
4.

BB
: 50 kg
5.
TB
: 160 cm
6.
Status Generalis
a.

Pemeriksaan Kepala

Bentuk : Mesocephal, simetris, venektasi temporalis (+)


Rambut

: Tidak mudah dicabut, distribusi merata

Mata : Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), edema


palpebra (-/-), reflex cahaya (+/+) normal, pupil bulat
isokor,diameter 3 mm
THT

: Tonsil T1 T1, lidah tampak kotor (-),

tremor (-),discharge (-), napas cuping hidung (-/-)


Mulut : Bibir sianosis (-), lidah sianosis (-)
Leher : deviasi trakea (-), tidak teraba pembesaran tiroid, JVP 5+4
cmH2O
b. Pemeriksaan Dada
Paru
Inspeksi

:Dinding dada tampak simetris, tidak tampak ketinggalan

gerak antara hemithoraks dextra dan sinistra, kelainan


bentuk dada (-), retraksi interkostalis (+)
Palpasi : Vokal fremitus lobus superior kanan = kiri
Vokal fremitus lobus inferior kanan = kiri
Perkusi

: Perkusi orientasi seluruh lapang paru sonor

Batas paru-hepar SIC V LMCD


Auskultasi : Suara dasar vesikuler +/+, Ronki basah halus +/+ dibagian
basal, Ronki basah kasar -/-, Wheezing -/Jantung
Inspeksi
: Ictus cordis di SIC VI 2 jari lateral LMCS
Pulsasi epigastrium (+), pulsasi parasternal (-)
Palpasi
: Ictus cordis di SIC VI 2 jari lateral LMCS kuat angkat.
thrill (+)

Perkusi
: Batas jantung
Kanan atas
: SIC II LPSD
Kiri atas
: SIC II LPSS
Kanan bawah
: SIC IV LPSD
Kiri bawah
: SIC VI 2 jari lateral LMCS
Auskultasi
: Apeks: M1 > M2, murmur diastolik. Punctum
maksimum pada apex, penyebaran ke lateral. Gallop (-)

Abdomen
Inspeksi

: Cembung

Auskultasi : Bising usus (+) N


Palpasi

: Nyeri tekan (+) epigastrik , test undulasi (+),

Hepatojugular Refleks (-)


Perkusi

: Timpani, pekak sisi (+), pekak alih (+)

Hepar : Sulit dinilai


Lien

: Sulit dinilai

Renal

: Nyeri ketok kostovertebrae -/-

Ekstremitas :

Ekstremitas
Ekstremitas
superior
inferior
Dextra
Sinistra
Dextra
Sinistra

Edema
+
+
Sianosis
-

Akraldingin
Reflek fisiologis
+
+
+
+
Reflek patologis
-

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Darah Lengkap
Tanggal 19 Februari 2014
Darah Lengkap
Hemoglobin

: 14,8 g/dl

Leukosit

: 7030 uL

Hematokrit

: 44%

Eritrosit

: 5.7 10^6/uL

Trombosit

: 176.000/uL

MCV : 77 fL (L)
MCH : 25.8 pg (L)

MCHC: 33.4 %
RDW : 17.8 % (L)

MPV
: 10.9
Hitung Jenis
Basofil
: 0,9%
Eosinofil
: 0.9% (L)
Batang
: 0.6% (L)
Segmen
: 61.8%
Limfosit
: 26.7%
Monosit
: 9.1 % (H)
Kimia Klinik
SGOT
: 43
(H)
SGPT
: 25
(L)
GDS
: 71
Natrium
: 128
Kalium
: 5.1
Klorida
: 98

2. Pemeriksaan EKG

Gambar 1. Pemeriksaan Elektrokardiografi


Kesimpulan

3. Pemeriksaan Rontgen Thorax

Gambar 2. Rontgen Thorax


Kesimpulan: Cardiomegali (LV, LA), Elongatio aorta, Gambaran bronkhitis,
Pelebaran hilus kanan-kiri
Limfadenopati.

Suspek dilatasi vaskuler dd/

Diagnosis
Congestive Heart Failure (CHF) Stadium C NYHA III
Suspek Mitral Stenosis (MS)

Pemeriksaan Penunjang yang Diajukan


Ekokardiografi
Pemeriksaan Fungsi Tiroid
Pemeriksaan Enzim Jantung

Tatalaksana
Non Farmakologis
Bed rest
Diet rendah garam
Farmakologi
O2 4 lpm (Nasal Kanul)
IVFD NaCl 0.9% 10 tpm
Injeksi Farsix (drip) 5 mg/jam
P.O. Digoxin 1x1/2 Tab
P.O. Captopril 3x12.5mg

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Congestive Heart Failure (CHF)
A. Definisi
Gagal jantung adalah keadaan patofisiologis ketika jantung sebagai pompa tidak
mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. Ciri-ciri yang
penting dari definisi ini adalah pertama, definisi gagal adalah relatif terhadap
kebutuhan metabolik tubuh. Kedua, penekanan arti gagal ditujukan pada fungsi
pompa jantung secara keseluruhan. Istilah gagal miokardium ditujukan spesifik
pada fungsi miokardium; gagal miokardium umumnya mengakibatkan gagal
jantung, tetapi mekanisme kompensatorik sirkulasi dapat menunda atau bahkan
mencegah perkembangan penyakit menjadi gagal jantung.
Beberapa istilah dalam gagal jantung :
1. Gagal Jantung Sistolik dan Diastolik :
Kedua jenis ini terjadi secara tumpang tindih dan sulit dibedakan dari pemeriksaan
fisis, foto thoraks, atau EKG dan hanya dapat dibedakan dengan
echocardiography.
Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung memompa
sehingga curah jantung menurun dan menyebabkan kelemahan, kemampuan
aktivitas fisik menurun dan gejala hipoperfusi lainnya.
Gagal jantung diastolik adalah gangguan relaksasi dan gangguan pengisian
ventrikel. Gagal jantung diastolik didefinisikan sebagai gagal jantung dengan
fraksi ejeksi lebih dari 50%. Ada 3 macam gangguan fungsi diastolik ; Gangguan
relaksasi, pseudo-normal, tipe restriktif.
2. Low Output dan High Output Heart Failure
Low output heart failure disebabkan oleh hipertensi, kardiomiopati dilatasi,
kelainan katup dan perikard. High output heart failure ditemukan pada penurunan
resistensi vaskular sistemik seperti

hipertiroidisme, anemia, kehamilan, fistula A V, beri-beri, dan Penyakit


Paget. Secara praktis, kedua kelainan ini tidak dapat dibedakan.
3. Gagal Jantung Kiri dan Kanan
Gagal jantung kiri akibat kelemahan ventrikel, meningkatkan tekanan vena
pulmonalis dan paru menyebabkan pasien sesak napas dan orthopnea. Gagal
jantung kanan terjadi kalau kelainannya melemahkan ventrikel kanan seperti
pada hipertensi pulmonal primer/sekunder, tromboemboli paru kronik
sehingga terjadi kongesti vena sistemik yang menyebabkan edema perifer,
hepatomegali, dan distensi vena jugularis. Tetapi karena perubahan biokimia
gagal jantung terjadi pada miokard ke-2 ventrikel, maka retensi cairan pada
gagal jantung yang sudah berlangsung bulanan atau tahun tidak lagi berbeda.
4. Gagal Jantung Akut dan Kronik
Contoh gagal jantung akut adalah robekan daun katup secara tiba-tiba akibat
endokarditis, trauma, atau infark miokard luas. Curah jantung yang menurun
secara tiba-tiba menyebabkan penurunan tekanan darah tanpa disertai edema
perifer.
Contoh gagal jantung kronik adalah kardiomiopati dilatasi atau kelainan
multivalvular yang terjadi secara perlahan-lahan. Kongesti perifer sangat
menyolok, namun tekanan darah masih terpelihara dengan baik.
Curah jantung yang kurang memadai, juga disebut forward failure, hampir
selalu disertai peningkatan kongesti/ bendungan di sirkulasi vena
(backward failure), karena ventrikel yang lemah tidak mampu memompa
darah dalam jumlah normal, hal ini menyebabkan peningkatan volume darah
di ventrikel pada waktu diastol, peningkatan tekanan diastolik akhir di dalam
jantung dan akhirnya peningkatan tekanan vena. Gagal jantung kongestif
mungkin mengenai sisi kiri dan kanan jantung atau seluruh rongga jantung.

B.

Epidemiologi

Di Eropa kejadian gagal jantung berkisar 0,4% - 2% dan meningkat pada usia
yang lebih lanjut, dengan rata-rata umur 74 tahun. Prevalensi gagal jantung di
Amerika Serikat mencapai 4,8 juta orang dengan 500 ribu kasus baru per
tahunnya. Di Indonesia belum ada angka pasti tentang prevalensi penyakit gagal
jantung, di RS Jantung Harapan Kita, setiap hari ada sekitar 400-500 pasien
berobat jalan dan sekitar 65% adalah pasien gagal jantung. Meskipun terapi gagal
jantung mengalami perkembangan yang pesat, angka kematian dalam 5-10 tahun
tetap tinggi, sekitar 30-40% dari pasien penyakit gagal jantung lanjut dan 5-10%
dari pasien dengan gejala gagal jantung yang ringan.
C. Etiologi
Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi : regurgitasi aorta dan
defek septum ventrikel. Dan beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi
stenosis aorta dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun
pada infark miokardium dan kardiomiopati. Faktor-faktor yang dapat memicu
perkembangan gagal jantung melalui penekanan sirkulasi yang mendadak dapat
berupa : aritmia, infeksi sistemik, infeksi paru-paru dan emboli paru.
Penyebab tersering gagal jantung kiri adalah hipertensi sistemik, penyakit katup
mitral atau aorta, penyakit jantung iskemik, dan penyakit miokardium primer.
Penyebab tersering gagal jantung kanan adalah gagal ventrikel kiri, yang
menyebabkan kongesti paru dan peningkatan tekanan arteria pulmonalis. Gagal
jantung kanan juga dapat terjadi tanpa disertai gagal jantung kiri pada pasien
dengan penyakit parenkim paru dan atau pembuluh paru (kor polmunale) dan pada
pasien dengan penyakit katup arteri pulmonalis atau trikuspid.
D. Klasifikasi
Gagal jantung dapat diklasifikasikan menurut beberapa faktor. The New York
Heart Association (NYHA) membagi gagal jantung menjadi 4

kelas, berdasarkan hubungannya dengan gejala dan jumlah atau usaha yang
dibutuhkan untuk menimbulkan gejala, sebagai berikut:
Kelas I : Penderita dengan gagal jantung tanpa adanya pembatasan aktivitas fisik,
dimana aktivitas biasa tidak menimbulkan rasa lelah dan sesak napas.
Kelas II: Penderita dengan gagal jantung yang memperlihatkan adanya
pembatasan aktivitas fisik yang ringan, merasa lega jika beristirahat.
Kelas III: Penderita dengan gagal jantung yang memperlihatkan adanya
pembatasan aktivitas fisik yang ringan, kegiatan fisik yang lebih ringan dari
kegiatan biasa sudah memberi gejala lelah, sesak napas.
Kelas IV: Penderita dengan gagal jantung yang tidak sanggup melakukan
kegiatan apapun tanpa keluhan, gejala sesak napas tetap ada walaupun saat
beristirahat.
American College of Cardiology/American Heart Association (ACC/AHA) heart
failure guidelines melengkapi klasifikasi NYHA untuk menggambarkan
perkembangan penyakit dan dibagi menjadi 4 stage, yaitu:
Stage A pasien beresiko tinggi untuk gagal jantung tetapi tidak memiliki penyakit
jantung struktural atau gejala-gejala dari gagal jantung
Stage B pasien memiliki penyakit jantung struktural tetapi tidak memiliki gejalagejala dari gagal jantung
Stage C pasien memiliki penyakit jantung struktural dan memiliki gejala-gejala
dari gagal jantung
Stage D pasien memiliki gagal jantung berat yang menuntut intervensi khusus.
Patofisiologi
Gagal jantung merupakan kelainan multisistem dimana terjadi gangguan pada
jantung, otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta
perubahan neurohormonal yang kompleks. Pada disfungsi sistolik terjadi
gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan terjadinya penurunan cardiac
output. Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme kompensasi neurohormonal,
sistem ReninAngiotensinAldosteron (sistem RAA) serta

kadar vasopresin dan natriuretik peptide yang bertujuan untuk memperbaiki


lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga (Sylvia & Price,
2006).
Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac
output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas
serta vasokonstriksi perifer (peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul
berkelanjutan dapat menyebabkan gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi
simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya apoptosis miosit,
hipertofi dan nekrosis miokard fokal (Kumar, 2007).
Stimulasi sistem RAA menyebabkan peningkatan konsentrasi renin,
angiotensin II plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan
vasokonstriktor renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang
merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis, menghambat
tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron. Aldosteron akan
menyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan sekresi kalium.
Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta berperan pada disfungsi
endotel pada gagal jantung (Kumar, 2007).
Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama yeng
memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat.
Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap
peregangan menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi. Pada manusia Brain
Natriuretic Peptide (BNO) juga dihasilkan di jantung, khususnya pada
ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP. C-type natriureticpeptide terbatas pada
endotel pembuluh darah dan susunan saraf pusat, efek terhadap natriuresis dan
vasodilatasi minimal. Atrial dan brain natriuretic peptide meningkat sebagai
respon terhadap ekspansi volume dan kelebihan tekanan dan bekerja antagonis
terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi ladosteron dan reabsorbsi
natrium di tubulus renal. Karena peningkatan natriuretic peptide pada gagal
jantung, maka banyak penelitian yang menunjukkan perannya sebagai marker
diagnostik dan prognosis, bahkan telah digunakan sebagai terapi pada
penderita gagal jantung (Greenberg, 2007).

Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang meningkat kadarnya pada


gagal jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga didpatkan pada
pemberian diuretik yang akan menyebabkan hiponatremia. Endotelin
disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan merupakan peptide
vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada pembuluh
darah ginjal, yang bertanggung jawab atas retensi natrium. Konsentrasi
endotelin-1 plasma akan semakin meningkat sesuai dengan derajat gagal
jantung. Selain itu juga berhubungan dengan tekanan pulmonary
arterycapillary wedge pressure, perlu perawatan dan kematian. Telah
dikembangkan endotelin-1 antagonis sebagai obat kardioprotektor yang
bekerja menghambat terjadinya remodelling vaskular dan miokardial akibat
endotelin (Greenberg, 2007).
Disfungsi diastolik merupakan akibat gangguan relaksasi miokard, dengan
kekakuan dinding ventrikel dan berkurangnya compliance ventrikel kiri
menyebabkan gangguan pada pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab
tersering adalah penyakit jantung koroner, hipertensi dengan hipertrofi
ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofik, selain penyebab lain seperti
infiltrasi pada penyakit jantung amiloid. Walaupun masih kontroversial,
dikatakan 30 40 % penderita gagal jantung memiliki kontraksi ventrikel
yang masih normal. Pada penderita gagal jantung sering ditemukan disfungsi
sistolik dan diastolik yang timbul bersamaan meski dapat timbul sendiri
(Greenberg, 2007).

Gambar 3. Patofisiologi dan Simptomatologi CHF


F.

Penegakan Diagnosis

Diagnosis gagal jantung kongestif didasarkan pada gejala-gejala yang ada dan
penemuan klinis disertai dengan pemeriksaan penunjang antara lain foto thorax,
EKG, ekokardiografi, pemeriksaan laboratorium rutin, dan pemeriksaan

biomarker.
Kriteria Diagnosis yang dipakai adalah Kriteria Framingham untuk diagnosis
gagal jantung kongestif
Kriteria mayor :
Paroksismal nokturnal dispneu
Ronki paru

Edema akut paru


Kardiomegali
Gallop S3
Distensi vena leher
Refluks hepatojugular
Peningkatan tekanan vena jugularis b. Kriteria minor :
Edema ekstremitas
Batuk malam hari
Hepatomegali
Dispnea deffort
Efusi pleura
Takikardi (120x/menit)
Kapasitas vital berkurang 1/3 dari normal
Diagnosis gagal jantung ditegakkan dengan dua kriteria mayor atau satu kriteria
mayor dan 2 kriteria minor.
G. Pemeriksaan Penunjang
Ketika pasien datang dengan gejala dan tanda gagal jantung, pemeriksaan
penunjang sebaiknya dilakukan.
1. Pemeriksaan Laboratorium Rutin :
Pemeriksaan darah rutin lengkap, elektrolit, blood urea nitrogen (BUN), kreatinin
serum, enzim hepatik, dan urinalisis. Juga dilakukan pemeriksaan gula darah,
profil lipid.
Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan EKG 12-lead dianjurkan. Kepentingan utama dari EKG adalah untuk
menilai ritme, menentukan adanya left ventrikel hypertrophy (LVH) atau riwayat
MI (ada atau tidak adanya Q wave). EKG Normal biasanya menyingkirkan
kemungkinan adanya disfungsi diastolik pada LV.

Radiologi
Pemeriksaan ini memberikan informasi berguna mengenai ukuran jantung
dan bentuknya, distensi vena pulmonalis, dilatasi aorta, dan kadang-kadang
efusi pleura. begitu pula keadaan vaskuler pulmoner dan dapat
mengidentifikasi penyebab nonkardiak pada gejala pasien.
Penilaian fungsi LV
Pencitraan kardiak noninvasive penting untuk mendiagnosis, mengevaluasi,
dan menangani gagal jantung. Pemeriksaan paling berguna adalah
echocardiogram 2D/ Doppler, dimana dapat memberikan penilaian
semikuantitatif terhadap ukuran dan fungsi LV begitu pula dengan
menentukan keberadaan abnormalitas pada katup dan/atau pergerakan
dinding regional (indikasi adanya MI sebelumnya). Keberadaan dilatasi
atrial kiri dan hypertrophy LV, disertai dengan adanya abnormalitas pada
pengisian diastolic pada LV yang ditunjukkan oleh pencitraan, berguna
untuk menilai gagal jantung dengan EF yang normal. Echocardiogram 2D/Doppler juga bernilai untuk menilai ukuran ventrikel kanan dan tekanan
pulmoner, dimana sangat penting dalam evaluasi dan penatalaksanaan cor
pulmonale. MRI juga memberikan analisis komprehensif terhadap anatomi
jantung dan sekarang menjadi gold standard dalam penilaian massa dan
volume LV. Petunjuk paling berguna untuk menilai fungsi LV adalah EF
(stroke volume dibagi dengan end-diastolic volume). Karena EF mudah
diukur dengan pemeriksaan noninvasive dan mudah dikonsepkan.
Pemeriksaan ini diterima secara luas oleh para ahli. Sayangnya, EF memiliki
beberapa keterbatasan sebagai tolak ukur kontraktilitas, karena EF
dipengaruhi oleh perubahan pada afterload dan/atau preload. Sebagai
contoh, LV EF meningkat pada regurgitasi mitral sebagai akibat ejeksi darah
ke dalam atrium kiri yang bertekanan rendah. Walaupun demikan, dengan
pengecualian jika EF normal (> 50%), fungsi sistolik biasanya adekuat, dan
jika EF berkurang secara bermakna (<30-40%).

H. Penatalaksanaan
Berdasarkan guideline ACC/AHA 2005 yang direvisi tahun 2009 memberikan
rekomendasi penatalaksanaan yang berbeda pada setiap stadium dari gagal
jantung yaitu:
Stage A
Tujuan utama penatalaksanaan pada stadium ini adalah untuk mencegah kelainan
struktural dari jantung. Hal ini dapat dilakukan dengan mengontrol faktor resiko
seperti hipertensi, penyakit jantung koroner, diabetes mellitus,
hiperlipidemia,merokok, konsumsi alkohol, dan penggunaan obat-obatan
kardiotoksik, yang akan menurunkan insidensi kejadian kardiovaskular. Evaluasi
periodik terhadap gejala dan tanda dari gagal jantung dapat dilakukan pada pasien
ini. Ventricular rate hausfi kontrol atau restorasi ke irama sinus pada pasien
dengan takiaritmia supraventrikular yang mempunyai resiko untuk menjadi gagal
jantung. Kelainan tiroid juga harus diatasi sesuai guideline yang berlaku pada
psien resiko tinggi. Penyedia kesehatan harus melakukan evaluasi nonivasif
terhadap fungsi ventrikel kiri (mis, LVEF) pada pasien dengan riwayat keluarga
dengan kardiomiopati ataupun pasien yang menerima intervensi kardiotoksik
(Rekomendasi kelas I).
ACE inhibitor dapat digunakan untuk mencegah gagal jantung pada pasien dengan
resiko tinggi menjadi gagal jantung yaitu pasien dengan riwayat penyakit
aterosklerosis, DM, dan hipertensi. Angiotensin receptor II juga dapat digunakan
sebagai pengganti ACE inhibitor (Rekomendasi Kelas II).
Penggunaan suplemen nutrisi rutin terhadap pencegahan kerusakan struktural
jantung tidak direkomendasikan (Rekomendasi Kelas III)
Stage B
Pada pasien stadium ini insidensi dari gagal jantung dapat diturunkan dengan
mengurangi resiko terjadinya cedera tambahan serta menghambat evolusi dan
progresi dari remodeling ventrikel kiri. Semua rekomendasi kelas I pada stadium A
harus diaplikasikan pada semua pasien dengan stadium B. Penyekat reseptor beta dan
ACE inhibitor harus digunakan pada semua pasien

dengan riwayat penyakit sekarang atau terdahulu dari infark miokard. Beta
blocker juga diindikasikan pada pasien tanpa riwayat infark miokard. ACE
inhibitor harus digunakan pada pasien dengan penurunan fraksi ejeksi dan
tidak ada gejala gagal jantng, meskipun telah mengalami infark miokardium.
Angiotensin II receptor blocker juga harus diberikan pada pasien post-MI
tanpa gagal jantung yang tidak toleransi terhadap ACE inhibitor.
Revaskularisasi koroner harus direkomendasikan pada pasien yang tepat yang
belum mengalami gejala gagal jantung. Terapi pengganti atau perbaikan katup
jantung harus direkomendasikan pada pasien stenosis dan regurgitasi katup
tanpa gejala gagal jantung (Rekomendasi Kelas I).
ACE inhibitor ataupun ARB dapat diberikan pada pasien hipertensi dan
hipertorfi ventrikel kiri. ARB dapt diberikan pada pasien dengan fraksi ejeksi
yang rendah dan tanpa gejala dari gagal jantung yang tidak toleransi terhadap
ACE inhibitor. Penempatan ICD dapat dilakukan pada pasien dengan
kardiomiopati iskemik yang minimal lewat 40 hari post-MI, mempunyai
fraksi ejeksi ventrikel kiri< 30%, NYHA fungsional kelas I yang telah
mendapat terapi medis kronis (Rekomendasi Kelas II).
Digoksin tidak boleh digunakan pada pasien dengan EF (ejection fraction)
rendah, irama sinus, dan riwayat gejala gagal jantung. Pemakaian suplemen
nutrisi tidak direkomendasikan. Ca channel blocker dengan efek inotrofik
negatif dapat berbahaya pada pasien asimptomatik dengan LVEF rendah dan
tidak ada gejala dari gagal jantung (Rekomendasi Kelas III).
Stage C
Semua rekomendasi kelas I pada pasien stage A dan B dapat dilakukan pada
pasien stage ZC. Pemberian diuretik dan restriksi garam diindikasikan pada
pasien dengan gejala sekarang atau terdahulu dari gagal jantung dan
penurunan LVEF yang mengalami retensi cairan. ACE inhibitor
direkomendasikan pada semua pasien dengan gejala gagal jantung dan
penurunan EF, kecuali ada kontraindikasi. Penggunaan 1 dari 3 beta blocker
yaitu bisoprolol, carvediol, dan metoprolol terbukti mengurangi mortalitas
dan direkomendasikan pada pasien ini kecuali kontraindikasi. ARB dapat
digunakan pada pasien yang tidak toleransi terhadap ACE inhibitor. Obat-

obatan yang dapat memperburuk gagal jantung harus dihentikan dan dicegah
penggunaannya jika mungkin sperti NSAID, obat antiaritmia, dan Ca
Channel blocker. Pemasangan implantable cardioverter-defibrillator
direkomendasikan sebagai pencegahan sekunder untuk memperpanjang
survival pada pasien dengan riwayat henti jantung, fibrilasi ventrikular, atau
takikardia ventrikular yang tidak stabil hemodinamiknya. Alat ini juga
sebagai pencegahan primer terhadap sudden cardiac death pada pasien
kardiomiopati dilatasi iskemik atau penyakit jantung iskemik dengan masa
post-MI lebih dari 40 hari, dan LVEF 35% dengan NYHA fungsional kelas
II atau III. Pasien dengan LVEF 35%, irama sinus, dan NYHA fungsional
kelas III dan IV dengan durasi QRS 0,12 detik, harus dilakukan terapi
resinkronisasi jantung, dengan atau tanpa ICD. Pemberian antagonis
aldosterone direkomendasikan pada pasien dengan gejala sedang sampai berat
dan penurunan LVEF dimana kadar kreatinin harus 2,5 mg/dL pada pria atau
2,0 mg/dL pada wanita dan kadar kalium harus 5,0 mEq/L .
Kombinasi hidralazine dan nitrat direkomendasikan pada pasien afro-amerika
dengan gejala sedang dan berat meskipun terapi yang optimal. Pada pasien
gagal jantung dengan hipertensi sistolik dan diastolik dengan LVEF yang
normal, tekanan darah harus dikontrol sesuai dengan guideline yang berlaku.
Kontrol rate ventrikular juga dilakukan pada pasien dengan LVEF normal dan
fibrilasi atrium. Edema pulmonal dan juga perifer juga harus dikontrol
dengan penggunaan diuretik pada pasien dengan LVEF normal.(Rekomendasi
Kelas I).
Pada pasien dengan fibrilasi atrium dan gagal jantung dapat diatasi dengan
kontrol rate ventrikular. ARB dapat digunakan sebagai lini pertama terutama
pada pasien dengan indikasi lain penggunaan ARB. Digitalis dapat diberikan
pada pasien dengan penurunan LVEF untuk mengurangi masa rawatan.
Penambahan kombinasi hidralazin dan nitrat pada pasien dengan penurunan
LVEF pada pasien dengan gejala yang persisten dapat dilakukan. Penggunaan
terapi resinkronisasi jantung dapat digunakan pada pasien dengan indikasi
yang tepat. Kombinasi hidralazin dan nitrat dapat diberikan pada pasien
dengan intoleransi terhadap ACE inhibitor dan ARB, hipotensi

ataupun
dilakukan

insufisiensi ginjal. Revaskularisasi koroner dapat

pada pasien tertentu yaitu pasien CAD yang simptomatik atau iskemik
miokardium. Restorasi dan maintenance terhadap irama sinus pada pasien
dengan fibrilasi atrial berguna untuk memperbaiki gejala pada gagal jantung
dan LVEF normal. Penggunaan beta blocker, ACE inhibitor, atau Ca
antagonis efektif pada pasein gagal jantung dengan LVEF normal.
Penggunaan digitalis untuk meminimalisir gejala pada pasien gagal jantung
dengan LVEF normal belum diketahui manfaatnya.(Rekomendasi Kelas II).
Penggunaan kombinasi rutin ACE inhibitor, ARB, dan aldosterone antagonist
tidak direkomendasikan. Pemberian Ca chanel blocker tidak diindikasikan
secara rutin pada pasien stadium C. Infus jangka panjang dari obat inotropik
positif dapat berbahaya dan tidak direkomendasikan. Penggunaan suplemen
nutrisi dan terapi hormon tidak direkomendasikan (Rekomendasi Kelas III).
Stage D
Pada pasien dengan stadium ini identifikasi dan kontrol yang cermat terhadap
retensi cairan direkomendasikan pada pasien dengan gagal jantung refraktoris
tahap akhir. Transplantasi jantung terhadap pasien yang sesuai dapat
direkomendasikan pada pasien ini, selain itu penanganan khusus juga
dilakukan pada pasien ini oleh ahli-ahli yang khusus. Diskusi perawatan endof-life harus dilakukan bersama dengan pasien dan keluarga. Pasien dengan
implantable defibrillators harus diinformasikan untuk pilihan menginaktivasi
alat tersebut (Rekomendasi Kelas I).
Pilihan untuk menggunakan LV assist device sebagai terapi akhir pada pasien
dengan gagal jantung tahap akhir refraktoris dan mortalitas 1-tahun >50%
dengan terapi medis. Pemasangan kateter arteri pulmonal dapat juga
dilakukan pada gejala yang sangat berat. Penggantian katup mitral belum
terbukti pada pasien gagal jantung refraktoris dengan regurgitasi mitral berat
sekunder. Infus intravena berkesinambungan dari agen inotropik untuk
mengatasi gejala dapat dilakukan (Rekomendasi Kelas II).
Ventrikulektomi kiri parsial tidak direkomendasi pada pasien dengan
kardiomiopati non-iskemik dan gagal jantung tahap akhir. Infus intermiten

dari agen vassoaktif dan inotropik positif tidak direkomendasikan pada pasien
dengan gagal jantung tahap akhir refraktoris (Rekomendasi Kelas III).
Rekomendasi ini dapat diringkas seperti pada gambar dibawah ini:

Gambar 4. Alur Guideline ACC/AHA Tahun 2009


Adapun penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien dengan gagal jantung
meliputi:
Non farmakologi Penyuluhan umuma.

Penyuluhan tentang gagal jantung kepada pasien dan keluarganya.


Mengontrol berat badan
Pengaturan diet dan kebiasaan sehari-hari
Diet rendah garam (<2 gr/hari)

Pembatasan intake cairan (1,5-2L/hr)


Hindari konsumsi alcohol
Berhenti merokok
Pembatasan dan penyesuaian aktivitas fisik
Obat-obatan yang perlu mendapat perhatian khusus

Farmakologi a. Diuretik

Kebanyakan pasien dengan gagal jantung membutuhkan paling sedikit diuretik


regular dosis rendah tujuan untuk mencapai tekanan vena jugularis normal dan
menghilangkan edema. Permulaan dapat digunakan loop diuretik atau tiazid. Bila
respons tidak cukup baik dosis diuretik dapat dinaikkan, berikan diuretik
intravena atau kombinasi loop diuretik dantiazid. Diuretik hemat kalium,
spironolakton, dengan dosis 25-50 mg/hari dapat mengurangi mortalitas pada
pasien dengan gagal jantung sedang sampai berat (kelas fungsional IV) yang
disebabkan gagal jantung sistolik.
b. ACE Inhibitor
ACE inhibitor bermanfaat untuk menekan aktivasi neurohormonaldan pada gagal
jantung yang disebabkan disfungsi sistolik ventrikel kiri.
c. Beta Blocker
Beta Blocker bermanfaat sama seperti ACE inhibitor. Pemberian mulai dosis
kecil, kemudian dititrasi selama beberapa minggu dengan kontrol ketat sindrom
gagal jantung. Biasanya diberikan bila keadaan sudah stabil. Pada gagal jantung
kelas fungsional II danIII.
d. Angiotensin II antagonis reseptor
Angiotensin II antagonis reseptor dapat digunakan bila ada kontraindikasi
penggunaan ACE inhibitor dan diuretik.
e. Kombinasi hidralazin dengan isosorbide dinitrat
Memberi hasil yang baik pada pasien yang intoleran dengan penghambat ACE
dapat dipertimbangkan.
f. Digoksin
Digoksin diberikan untuk pasien simptomatik dengan gagal jantung disfungsi
sistolik ventrikel kiri dan terutama yang dengan fibrilasi atrial, digunakan
bersama-sama diuretik, ACE inhibitor, beta blocker.

g. Antikoagulan dan antiplatelet.

Aspirin diindikasikan untuk pencegahan emboli serebral pada penderita dengan


fibrilasi atrial dengan fungsi ventrikel yang buruk.
h. Antiaritmia
Aritmia tidak direkomendasikan untuk pasien yang asimptomatik atauaritmia
ventrikel yang tidak menetap.
i. Antagonis kalsium dihindari.
Prognosis
Prognosis gagal jantung yang tidak mendapat terapi tidak diketahui. Sedangkan
prognosis pada penderita gagal jantung yang mendapat terapi yaitu:
Kelas NYHA I : mortalitas 5 tahun 10-20%
Kelas NYHA II : mortalitas 5 tahun 10-20%
Kelas NYHA III : mortalitas 5 tahun 50-70%
4.

Kelas NYHA IV : mortalitas 5 tahun 70-90%

BAB IV
KESIMPULAN

Diagnosis pasien ini adalah gagal jantung kronik (NHYA III Stadium C)
Didasarkan oleh anamnesis, yaitu sesak napas dan kedua kaki bengkak.
Pemeriksaan fisik ditemukan adanya edema inferior, ronki basah halus pada kedua
paru bagian basal, peningkatan JVP. Pemeriksaan EKG didapatkan ? dan
pemeriksaan rontgen thorax didapatkan adanya kardiomegali.
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada pasien ini ekokardiogram untuk
menentukan kemungkinan kelainan katub.
Penanganan pasien ini dilakukan dengan memberikan ACE inhibitor, diuretik, dan
glikosida jantung.

DAFTAR PUSTAKA

Braunwald, E., 2008. Heart Failure and Cor Pulmonale. In: Kasper, D.L. et all,
th
ed.17 Edition Harrisons Principles of Internal Medicine. New York: McGrawHill, 2152-2180.
Divisi Critical Cardiology dan Kardiologi Klinik Departemen Kardiologi dan
Kedokteran Vaskular Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2008. Jakarta.
Dumitru, I., Baker, M., 2010. Heart Failure. Ohama: Departement of Internal
Medicine, Section of Cardiology, University of Nebraska Medical Center.
Available from:
D u m i t r u , I . , B a k e r , M . , 2 0 1 0 . Heart Failure. Ohama: Departement of
Internal Medicine, Section of Cardiology, University of NebraskaMedical Center.
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/163062overview[accessed 14 Juni 2010].
Edwards, MM. OGara, PT. Lilly LS. Valvular Heart Disease. In: Lilly LS,
th
Ed.Pathophysiology of Heart Disease. 4 ed. Philadelphia, Lippincott Williams &
Wilkins; 2007.
Greenberg, Barry H. Congestuve Heart Failure, Philadephia, USA: Lipincott
Williams & Wilkins 2007.
Hauser K, Longo B, Jameson F. Harrisons principle of internal medicine.2005; ed
XVI http://emedicine.medscape.com/article/163062-overview [accessed 20
Februari 2014].
Hunt, S.A., Abraham, W.T., Chin, M.H., et al 2009 Focused Update Incorporated
Into the ACC/AHA Guidelines for the Diagnosis andManagement of Heart Failure
in the Adult: A Report of the American College of Cardiology/American Heart
Association Task Force onPractice Guidelines (Committee to revise the 1995
Guidelines for the Evaluation and Management of Heart Failure). Circulation
119;e391-e479.

Jessup, M., Brozena S., 2003. Heart Failure. N Engl J Med ; 2007-2018
Kumar, Cotran, Robbins.Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Jakarta : EGC, 2007.
Volume 2.
Manurung, D. 2009. Regurgitasi Mitral. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V.
Jakarta : PAPDI, 1679-1679.

Sugeng, Barita Sitompul dan J. Irawan. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004.

Wilson, Sylvia A. Price dan Lorraine M. Patofisiologi Konsep Klinis


Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta : EGC, 2006.

You might also like