You are on page 1of 34

HAND OUT

I.

Identitas mata kuliah


Nama mata kuliah
: Hukum Pidana
Kode /bobot
: PKN 304 /2 sks
Jurusan program studi
: P.IPS/PKN
Dosen Pembina
: Susi Delmiati, SH. MH
Pokok pembahasan
Ilmu hukum pidana dan hukum pidana

II.

Pembahasan
Ilmu Hukum Pidana Dan Hukum Pidana
a. Ilmu hukum pidana
Ilmu Hukum Pidana ialah pengetahuan mengenai suatu bagian khusus dari hukum, yaitu
hukum pidana, objek dari ilmu adalah aturan-aturan hukum pidana yang berlaku disuatu
negara.
Tujuannya adalah menyelidiki pengertian objektif dari hukum pidana positif.
Penyelidikan tersbut melalui tiga fase:
1. Interpretai
2. Konstruksi
3. Sistematik
Interpretasi betujuan untuk mengetahui pengertian objektif dari apa yang termaktub dalam
aturan-aturan hukum.
Konstruksi adalah bentukan yuridis yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur
tertentu dengan tujuan supaya apa yang terdapat dalam bentukan yuridis itu menjadi jelas dan
terang. Misalnya rumusan-rumusan delik yang terdapat pada perincian dalam pasal 362
KUHP dirumuskan sebagai : mengambil barang orang lain, dengan maksud memilikinya
secara melawan hukum (secara tidak sah). Semua perbuatan yang dapat dimaksudkan dalam
konstruksi inilah yang menurut hukum dianggap pencurian.
Contoh lainnya adalah pemberontakan (pasal 108) dikonstruir sebagai:
a. Menentang pemerintah yang telah menetap di Indonesia
b. Menyerbu Bersama-sama dengan atau menggabungkan diri pada gerombolan yang
menentang pemerintah dengan senjata, dengan maksud melawan pemerintah itu.

Sistematik adalah mengadakan sistem dalam suatu bagian hukum pada khususnya atau
seluruh bidang hukum pada umumnya. Maksudnya adalah agar supaya peraturan-peraturan
yang banyak dan beraneka ragam itu, tidak merupakan hutan belakar yang sukar lagi
berbahaya untuk diamnil kemanfaatannya, tetapi merupakan tanaman yang teratur dan indah
rupanya sehingga memberi kegunaan yang maksimal kepada masyarakat.

b. Hukum Pidana
Hukum pidana adalah hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengandung keharusan
atau larangan terhadap pelanggaran mana, diancam dengan hukuman yang berupa siksaan
badan.
Hukum pidana terbagi menjadi dua bagian yaitu :
1. Hukum pidana materil
2. Hukum pidana formil
Apabila orang mengatakan hukum pidana, maka pada umunya yang dimaksud adalah
hukum pidana materiil.
Yang dimaksud dengan hukum pidana materiil adalah suatu peraturan-peraturan yang
menegaskan perbuatan apa yang dapat dihukum, dengan hukum apa menghukum seseorang,
siapa yang dapat dihukum. Jadi hukum pidana materiil mengatur perumusan kejahatankejahatan dan syarat-syarat bila orang itu dapat dihukum. Di indonesia, pengaturan hukum
pidana materiil diatur dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana(KUHP)
Hukum pidana formil adalah hukum yang mengatur cara-cara untuk menghukum
seseorang yang melanggar peraturan pidana ( merupakan pelaksanaan dari hukum materiil).
Di Indonesia pengeturan hukum pidana formil telah disahkan dengan UU nomor 8 tahun 1981
tentang hukum acara pidana (KUHAP)
Tidak semua pebuatan melawan hukum atau merugikan masyarakat diberi sanksi pidana,
misalnya : pelacuran. Disini tidak dijadikan perbuatan pidana dalam arti bahwa perbuatan
pelacurannya sendiri tidak dilarang dan diancam dengan pidana. Pelacuran tidak dijadikan
larangan pidana, janganlah diartikan bahwa hal ini tidak dianggap merugikan masyarakat, tetapi
karena sukarnya untuk mengadakan trumusan (formula ) yang tepat

Disini yang dapat dituntut adalah misalnya orang yang menyelidiki tempat untuk
pelacuran dan menjadikan hal ini sebagai mata pencaharian dan kebiasaan (lihat pasal 295
KUHP).
c. Beda hukum pidana dan perdata
1. Perbedaannya dilihat dari segi pengertian
Hukum perdata ialah aturan-aturan hukum yang mengatur tingkah laku setiap
orang terhadap orang lain yang berkaitan dengan hak dan kewajiban yang timbul dalam
pergaulan masyarakat maupun pergaulan keluarga.
Hukum pidana adalah rangkaian peraturan-peraturan hukum yang mengatur
hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain, atau antara subyek
hukum yang satu dengan subyek hukum yang lain, dengan menitik beratkan pada
kepentingan perseorangan, dimana ketentuan dan peraturan dimaksud dalam kepentingan
untuk mengatur dan membatasi kehidupan manusia atau seseorang dalam usaha untuk
memenuhi kebutuhan atau kepentingan hidupnya.
2. Perbedaan dalam isi
a. Hukum perdata dapat digolongkan antara lain menjadi:
1.
Hukum keluarga
2.
Hukum harta kekayaan
3.
Hukum benda
4.
Hukum Perikatan
5.
Hukum Waris
b. Berdasarkan isinya, hukum dapat dibagi menjadi 2, yaitu hukum privat dan hukum
publik (C.S.T Kansil). Hukum privat adalah hukum yg mengatur hubungan orang
perorang, sedangkan hukum publik adalah hukum yg mengatur hubungan antara
negara dengan warga negaranya.
Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Hukum pidana terbagi
menjadi dua bagian, yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil.
Hukum Pidana Formil yaitu mencakup cara melakukan atau pengenaan pidana.
Hukum pidana materiil mengatur tentang penentuan tindak pidana, pelaku tindak
pidana, dan pidana (sanksi)
d. Jenis-jenis hukum pidana
Hukum Pidana terdiri dari 2 (dua) jenis yaitu:

1. Hukum Pidana Materil (materia le strafrechf), yatu ketentuan hukum yang memuat: (a)
Rumusan

tentang

tindak

pidaiia;

(b)

Pelaku

tindak

pidana

yang

dapat

dipertanggungjawabkan dan (c) rumusan sanksi pidana yang dapat dijatuhkan.


Hukum Pidana Materil meliputi:
(1) Hukum Pidana umum (Generale Strafrecht), yaltu ketentuan hukum pidana yang
berlaku bagi setiap orang. Ketentuar Hukum Pidana umum ini dapat dipelajan dalam
ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP = Wet Boek van Strafrecht), yang
terdiri dan 3 (tiga) Buku, yaltu:
a. Buku I : Memuat Ketentuan Umum (Algemene Bepalin gen) Pasal I sampai 103
KUHP;
b. Buku II: Memuat Ketentuan Tentang Kejahatan (Misdrijvefl), Pasal 104 sampal 448
KUHP;
c. Buku III : Memuat Ketentuan Tentang Pelanggarafl (Overtradifl gen)
(2) Hukum Pidana Khusus (Bijzondere delicten), yaitu ketentuan hukum pidana yang
benlaku secara khusus untuk orang-orang tertentu, misalnya benlaku khusus untuk TNt dan
Pohi. Dan juga ketentuan hukum pidana yang mengatur khusus tentang perbuatan tertentu,
seperti tindak pidana psikotropika, tindak pidana perbankan, tindak pidana pemilu, dan
lain-lain.
2. Hukum Pidana Formil (Straf Processrecht), yaltu ketentuan hukum pidana yang mengatur
tentang bagaimana cara menyelesaikan perkara pidana yang berkaitan dengan pelanggaran
terhadap hukum pldana materil melalui proses peradilan pidana. Hukum Pidana Formil
(straf processrecht) dirumuskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yaitu
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981.
e. Sejarah hukum pidana
a. Masa Sebelum Penjajahan Belanda
Sebelum kedatangan bangsa Belanda yang dimulai oleh Vasco da Gamma pada tahun
1596, orang Indonesia telah mengenal dan memberlakukan hukum pidana adat. Hukum
pidana adat yang mayoritas tidak tertulis ini bersifat lokal, dalam arti hanya diberlakukan di
wilayah adat tertentu. Hukum adat tidak mengenal adanya pemisahan yang tajam antara
hukum pidana dengan hukum perdata (privaat). Pemisahan yang tegas antara hukum perdata

yang bersifat privat dan hukum pidana yang bersifat publik bersumber dari sistem Eropa
yang kemudian berkembang di Indonesia.
Dalam ketentuannya, persoalan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat adat ditentukan
oleh aturan-aturan yang diwariskan secara turun-temurun dan bercampur menjadi satu. Di
samping hukum pidana adat mengalami persentuhan dengan agama yang dipeluk oleh
mayoritas penduduk, karakteristik lainnya adalah bahwa pada umumnya hukum pidana adat
tidak berwujud dalam sebuah peraturan yang tertulis. Aturan-aturan mengenai hukum pidana
ini dijaga secara turun-temurun melalui cerita, perbincangan, dan kadang-kadang
pelaksanaan hukum pidana di wilayah yang bersangkutan. Namun, dibeberapa wilayah adat
di Nusantara, hukum adat yang terjaga ini telah diwujudkan dalam bentuk tulisan, sehingga
dapat dibaca oleh khalayakumum. Sebagai contoh dikenal adanya Kitab Kuntara Raja Niti
yang berisi hukum adat Lampung, Simbur Tjahaja yang berisi hukum pidana adat Sumatera
Selatan, dan Kitab Adigama yang berisi hukum pidana adat Bali.
b. Masa Sesudah Kedatangan Penjajahan Belanda
1. Masa Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) Tahun1602-1799
Masa pemberlakuan hukum pidana Barat dimulai setelah bangsa Belanda datang ke
wilayah Nusantara, yaitu ditandai dengan diberlakukannya beberapa peraturan pidana
oleh VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). VOC sebenarnya adalah kongsi
dagang Belanda yang diberikan kekuasaaan wilayah di Nusantara oleh pemerintah
Belanda.Hak keistimewaan VOC berbentuk hak octrooi Staten General yang meliputi
monopoli pelayaran dan perdagangan, mengumumkan perang, mengadakan perdamaian
dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara, dan mencetak uang.
Pemberian hak demikian memberikan konsekuensi bahwa VOC memperluas daerah
jajahannya di kepulauan Nusantara. Dalam usahanya untuk memperbesar keuntungan,
VOC memaksakan aturan-aturan yang dibawanya dari Eropa untuk ditaati orang-orang
pribumi. Setiap peraturan yang dibuat VOC diumumkan dalam bentuk plakaat, tetapi
pengumuman itu tidak tidak disimpan dalam arsip. Sesudah diumumkan, plakaat
peraturan itu kemudian dilepas tanpa disimpan sehingga tidak dapat diketahui peraturan
mana yang masih berlaku dan yang sudah tidak berlaku lagi. Keadaan demikian
menimbulkan keinginan VOC untuk mengumpulkan kembali peraturan-peraturan itu.
5

Kumpulan peraturan-peraturan itu disebut sebagai Statuten van Batavia (Statuta Batavia)
yang dibuat pada tahun 1642.
Pada tahun 1766 Statuta Batavia itu dibuat kembali dan dihasilkan Statuta Batavia
Baru. Statuta itu berlaku sebagai hukum positif baik bagi orang pribumi maupun bagi
orang asing, dengan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan peraturan-peraturan
lain. Walaupun statute tersebut berisi kumpulan peraturan-peraturan, namun belum dapat
disebut sebagai kodifikasi hukum karena belum tersusun secara sistematis. Dalam
perkembangannya, salah seorang gubernur jenderal VOC, yaitu Pieter Both juga
diberikan kewenangan untuk memutuskan perkara pidana yang terjadi di peradilanperadilan adat.
Alasan VOC mencampuri urusan peradilan pidana adat ini disebabkan beberapa hal,
antara lain) sistem pemidanaan yang dikenal dalam hukum pidana adat tidak memadai
berkuasa mutlak, namun kekuasaannya diatur dalam sebuah konstitusi. Untuk
mengimplementasikannya, raja kemudian mengangkat komisaris jenderal yang
ditugaskan untuk melaksanakan pemerintahan di Netherlands Indie (Hindia Belanda).
Mereka adalah Elout, Buyskes, dan Vandr Capellen. Mereka tetap memberlakukan
peraturan-peraturan yang berlaku pada masa Inggris dan tidak mengadakan perubahan
peraturan karena menunggu terbentuknya kodifikasi hukum.
Dalam usaha untuk mengisi kekosongan kas negara, maka Gubernur Jendral Du bus de
Gisignes menerapkan politik agraria dengan cara napi yang sedang menjalani hukuman
dipaksakan untuk kerja paksa (dwang arbeid).
Dengan adanya keterangan ini maka praktis masa Besluiten Regering (BR) tidak
memberlakukan hukum pidana baru. Namun demikian, beberapa peraturan perundangundangan di luar hukum pidana ditetapkan pada masa ini, seperti Reglement op de
Rechtilijke Organisatie (RO) atau Peraturan Organisasi Pengadilan (POP), Algemen
Bepalingen van Wetgeving (AB) atau Ketentuan-ketentuan Umum tentang Perundangundangan,

Burgerlijk

Wetboek

(BW)

atau

Kitab

Undang-undang

Hukum

Perdata,Wetboek van Koopenhandel (WvK) atau Kitab Undang-undang Hukum Dagang,


dan Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (RV) atau Peraturan tentang Acara
Perdata.

2. Masa Regering Reglement (1855-1926)


Masa Regering Reglement dimulai karena adanya perubahan sistempemerintahan di
negara Belanda, dari monarkhi konstitusional menjadi monarkhi parlementer. Perubahan
ini terjadi pada tahun 1848 dengan adanya perubahan dalam Grond Wet (UUD) Belanda.
Perubahan ini mengakibatkan terjadinya pengurangan kekuasaan raja, Karena parlemen
(Staten Generaal) mulai campur tangan dalam pemerintahan dan perundang-undangan di
wilayah jajahan negara Belanda. Perubahan penting ini adalah dicantumkannya Pasal 59
ayat (1), (2), dan (4) yang berisi bahwa Raja mempunyai kekuasaan tertinggi atas daerah
jajahan dan harta kerajaan dibagian dari dunia. Aturan tentang kebijakan pemerintah
ditetapkan melalui undang-undang. Sistem keuangan ditetapkan melalui undang-undang.
Hal-hal lain yang menyangkut mengenai daerah-daerah jajahan dan harta, kalau
diperlukan akan diatur dengan undang-undang.
3. Masa Pendudukan Jepang (1942-1945)
Pada masa pendudukan Jepang selama 3,5 tahun, pada hakekatnya hukum pidana yang
berlaku di wilayah Indonesia tidak mengalami perubahan yang signifikan. Pemerintahan
bala tentara Jepang (Dai Nippon) memberlakukan kembali peraturan jaman Belanda
dahulu dengan dasar Gun Seirei melalui Osamu Seirei. Pertama kali, pemerintahan
militer Jepang mengeluarkan Osamu Seirei Nomor 1 Tahun 1942. Pasal 3 undang-undang
tersebu tmenyebutkan bahwa semua badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan
undang-undang dari pemerintah yang dulu tetap diakui sah untuk sementara waktu,
asalkan tidak bertentangan dengan pemerintahan militer.
Dengan dasar ini maka dapat diketahui bahwa hukum yang mengatur pemerintahan dan
lain-lain, termasuk hukum pidananya, masih tetap menggunakan hukum pidana Belanda
yang didasarkan pada Pasal 131 jo. Pasal 163 Indische Staatregeling. Dengan demikian,
hukum pidana yang diberlakukan bagi semua golongan penduduk sama yang ditentukan
dalam Pasal 131 Indische Staatregeling, dan golongan-golongan penduduk yang ada
dalam Pasal 163 Indische Staatregeling. Untuk melengkapi hukum pidana yang telah ada
sebelumnya, pemerintahan militer Jepang di Indonesia mengeluarkan Gun Seirei.
C. Masa Setelah Kemerdekaan
7

Masa pemberlakukan hukum pidana di Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan 17


Agustus 1945, dibagi menjadi empat masa sebagaimana dalam sejarah tata hukum
Indonesia yang didasarkan pada berlakunya empat konstitusi Indonesia, yaitu pertama
masa pasca kemeredekaan dengan konstitusi UUD 1945, kedua masa setelah Indonesia
menggunakan konstitusi negara serikat (Konstitusi Republik Indonesia Serikat), ketiga
masa Indonesia menggunakan konstitusi sementara (UUDS 1950), dan keempat masa
Indonesia kembali kepada UUD 1945, Tahun 1945-1949.
Dengan diproklamirkannya negara Indonesia sebagai negara yang merdeka pada
tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia menjadi bangsa yang bebas dan berdaulat.
Selain itu, proklamasi kemerdekaan dijadikan tonggak awal mendobrak sistem hukum
kolonial menjadi sistem hukum nasional yang sesuai dengan jiwa dan kepribadian bangsa
Indonesia. Bangsa Indonesia bebas dalam menentukan nasibnya, mengatur negaranya,
dan menetapkan tata hukumnya. Konstitusi yang menjadi dasar dalam penyelenggaraan
negara kemudian ditetapkan pada tanggal 18Agustus 1945. Konstitusi itu adalah Undang
Undang Dasar 1945. Mewujudkan cita-cita bahwa proklamasi adalah awal pendobrakan
sistem tata hukum kolonial menjadi sistem tata hukum nasional bukanlah hal yang mudah
dan secara cepat dapat diwujudkan. Ini berarti bahwa membentuk sistem tata hukum
nasional perlu pembicaraan yang lebih matang dan membutuhkan waktu yang lebih lama
dari pada sekedar memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka.
Oleh karena itu,untuk mengisi kekosongan hukum (rechts vacum) karena hukum
nasional belum dapat diwujudkan, maka UUD 1945 mengamanatkan dalam Pasal II
Aturan Peralihan agar segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung
berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang Undang Dasar ini. Ketentuan
ini menjelaskan bahwa hukum yang dikehendaki untuk mengatur penyelenggaraan negara
adalah peraturan-peraturan yang telah ada dan berlaku sejak masa Indonesia belum
merdeka.
Sambil menunggu adanya tata hukum nasional yang baru, segala peraturan hukum
yang telah diterapkan di Indonesia sebelum kemerdekaan diberlakukan sementara. Hal ini
juga berarti funding fathers bangsa Indonesia mengamanatkan kepada generasi
penerusnya untuk memperbaharui tata hukum kolonial menjadi tata hukum nasional.

Presiden Sukarno selaku presiden pertama kali mengeluarkan kembali Peraturan Presiden
Nomor 2 Tahun 1945 tanggal 10 Oktober 1945 yang terdiri dari dua pasal, yaitu:
Pasal 1
Segala badan-badan negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya
negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, sebelum diadakan yang baru
menurut Undang-Undang Dasar, masih tetap berlaku asal saja tidak bertentangan dengan
dengan Undang Undang Dasar tersebut.
Pasal 2
Peraturan ini mulai berlaku tanggal 17 Agustus 1945. Sekilas ini Penpres ini hampir
sama dengan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, namun dalam Penpres ini dengan
tegas dinyatakan tanggal pembatasan yaitu 17 Agustus 1945.
Sebagai dasar yuridis pemberlakuan hukum pidana warisan kolonial sebagai hukum
pidana positif di Indonesia, keluarlah UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum
Pidana. Pasal 1 undang-undang tersebut secara tegas menyatakan :Dengan menyimpang
seperlunya dari Peraturan Presiden Republik Indonesia tertanggal 10 Oktober 1945
Nomor 2 menetapkan bahwa peraturan-peraturan hukum pidana yang berlaku sekarang
adalah peraturan-peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret1942. Dengan
titik tonggak waktu penyerahan kekuasaan Belanda kepada Jepang atas wilayah Indonesia
ini berarti semua peraturan hukum pidanayang dikeluarkan oleh pemerintahan militer
Jepang dan yang dikeluarkan oleh panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda (NICA)
setelah tanggal 8 Maret 1942 dengan sendirinya tidak berlaku.
Pasal 2 undang-undang tersebut juga dinyatakan bahwa semua peraturan hukum
pidana yang dikeluarkan panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda dicabut. Pasal 2
ini diperlukan karena sebelum tanggal 8 Maret 1942 panglima tertinggi bala tentara
Hindia Belanda mengeluarkan Verordeningenvan hetmiliter gezag. Secara lengkap bunyi
Pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1946 adalah sebagai berikut.Semua peraturan hukum pidana
yang dikeluarkan panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda dulu (Verordeningen
van het militergezag) dicabut.
Pemberlakuan hukum pidana Indonesia dengan ditetapkannya UU Nomor 1 Tahun
1946 tentang Peraturan Hukum Pidana ternyata belum menjawab persoalan. Kenyataan
ini disebabkan karena perjuangan fisik bangsa Indonesia atas penjahahan Belanda belum
9

selesai. Secara de jure memang Indonesia telah memproklamirkan diri sebagai bangsa
yang merdeka, namun secara de facto penjajahan Belanda atas Indonesia masih saja
berkelanjutan. Melalui aksi teror yang dilancarkan oleh NICA Belanda maupun negaranegara boneka yang berhasil dibentuknya, Belanda sebenarnya belum selesai atas aksi
kolonialismenya di Indonesia.Bahkan pada tanggal 22 September 1945, Belanda
mengeluarkan kembali aturan pidana yang berjudul Tijdelijke Biutengewonge Bepalingen
van Strafrecht (Ketentuan-ketentuan Sementara yang Luar Biasa Mengenai Hukum
Pidana) dengan Staatblad Nomor 135 Tahun 1945 yang mulai berlaku tanggal 7 Oktober
1945.
Ketentuan ini antara lain mengatur tentang diperberatnya ancaman pidana untuk tindak
pidana yang menyangkut kata lain, walaupun Indonesia merupakan negara merdeka,
namun hukum pidana Indonesia belum bisa melepaskan diri dari penjajahan. Wetboek
van Strafrecht atau bisa disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana telah diberlakukan
di Indonesia sejak tahun 1918. Ini berarti KUHP telah berumur lebih dari 87 tahun. Jika
umur KUHP dihitung sejak dibuat pertama kali di Belanda (tahun 1881), maka KUHP
telah berumur lebih dari 124 tahun. Oleh karena itu, KUHP dapat dianggap telah usang
dan sangat tua, walaupun Indonesia sendiri telah beberapa kali merubah materi KUHP
ini. Namun demikian,perubahan ini tidak sampai kepada masalah substansial dari KUHP
tersebut. KUHP Belanda sendiri pada saat ini telah banyak mengalami perkembangan.
Wujud asli hukum pidana Indonesia adalah Wetboek van Strafrecht yang menurut UU
Nomor 1 Tahun 1946 bisa disebut dengan KUHP. Hal ini menandakan bahwa wujud asli
KUHP adalah berbahasa Belanda.

HAND OUT
I.

II.

Identitas mata kuliah


Nama mata kuliah
Kode /bobot
Jurusan program studi
Dosen Pembina
Pokok pembahasan
Tindak pidana

: Hukum Pidana
: PKN 304/2 sks
: P.IPS/PKN
: Susi Delmiati, SH. MH

Pembahasan

10

Tindak Pidana
Pengertian dan unsur-unsur tindak pidana
Istilah tindak pidana adalah terjemahan dari straafbarfeir\t yang digunakan antara lain :
1. Peristiwa pidana : UUDS 1950 pasal 14 ayat (1) yang berbunyi
setiap orang yang dituntut karena disangka suatu peritiwea pidana dianggap tidak
bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya dalam suatu sidang, menurut aturan hukum
yang berlaku
2. Perbuatan pidana : UU darurat No. 1 tahun 1951 tentang tindakan sementara untuk
menyelenggarakan kesatuan susunan, kesatuan acara pengadilin sipil pasal 5 ayat
(36) yang berbunyi:
.dengan pengertian bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus
diangap perbuatan pidana, tetapi tiada bandingannya dalam KUHP maka diancam
dengan hukuman.
3. Pelanggatan pidana
Istilah pelanggaran pidana dipakai oleh Mr.MH. Tirtaamidjaja, dalam bukunya
pokok-pokok hukum pidana 1955
4. Perbuatan yang dapat hukum
Istilah perbuatan yang dapat dihukum dapat dijumpai dalam undang-undang
No.15/drt,tahun 1951 pasal 3
Diantara berbagai istilah diatas yang dipakai dalam hukum pidana yaitu tindak
pidana. Istilah ini kareba tumbuhnya dri pihak menteri kehakiman, sering dipakai
dalam perundang-undangan antara lain dalam undang-undang No. 31 tahun 1999
tentang pembrantasan tindak pidana korupsi, undang-undang No.5 tahun 1997
tentang psikoropika dan undang-undang No. 15 tahun 2002 tindak pidana pencucuian
uang
Beberapa pengertian tindak pidana (staatfbarfeit) menurut pendapat para ahli:
1. Simon
Perbuatan pidana adalah perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan
kelsahan seseorang yang mampu bertanggung jawab (A.Zainal abiding farid
1995:124)
2. Vos
Memberikan definisi yang singkat dari staatfbarfeit adalah kelakuan atau tingkah
laku manusia yang oleh peraturan perundang-undangan diberikan pidana
3. Moeljatno

11

Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,
larangan mana disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi
barang siapa yang melanggar larangan tersebut
4. Van Hamel
Staatfbarfeit adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam wet (undang-undang)
yang bersifat melawan hukum yang dapat dipidana dan dilakukan dengan
kesalahan
Unsur- unsure tindak pidana
Dalam mempelajari unsure-unsur tindak pidana dikenal 2 aliran :
1. Aliran Monoistis
Menurut monoistis semua syarat untuk menjatuhkan pidan sebagai unsure tindak
pidana, aliran ini tidak memisahkan unsur yang melekat pada perbuatannya,perbuatan
pidana dengan unsure yang melekat pada aliran tindak pidana sama dengan
pertanggungjawaban dalam hukum pidana. Atau dengan kata lainnya tidak
memisahkan perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana.
Aliran monoistis ini melihat keselurhan syarat untuk adanya pidana itu, kesemuanya
merupakan sifat dari perbuatan. Konskuensi dianutnya aliran monoistis terhadap
tindak pidana adalah bahwa kalau satu unsure konstitusi atau unsure diam-diam tidak
terbukti maka terdakwa harus dibebaskan dari segala tuntutan hukum, konskuensi lain
adalah bahwa jika ada peristiwa pidana maka pembuatannya harus juga dipidana hal
tersebut berarti bahwa unsur peristiwa pidana/tindak pidana sama dengan unsure
pemidanaannya.
2. Aliran Dualistis
Memisahkan criminal act dan criminal responsibility atau criminal liability. Yang
menjadi unsure tindak pidana menurut aliran ini hanyalah unsur- unsur hanyalah yang
melekat atau perbuatan yang dapat dipidana
Penganut aliran ini antara lain W.P.J. Pompe,Moeljatno,Ruslan Saleh dan A.Zainal
Abidin
Dalam aliran monoistis, simon mengemukakan unsure-unsur tindak pidana sebagai
berikut:
1. Perbuatan manusia
2. Diancam dengan pidana
3. Melawan hukum
12

4. Dilakukan dengan kesalahan


5. Oleh orang yang mampu pertanggung jawab
Dari unsur-unsur tindak pidanayang dikemukakan oleh simon dibedakan atas :
1. Unsur Objektif
Adalah unsur yang terdapat diluar diri manusia yaitu berupa:
Perbuatan manusia
Diancam pidana
Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu kemungkinan adanya ketentuan yang
menyertainya
2. Unsur Subjektif
Orang yang mampu bertanggung jawab
Dengan adanya kesalahan
Subjek Tindak Pidana
1. Telah diketahui, bahwa unsure tindak pidana itu adalah perbuatan manusia, pada dasarnya
yang dapat melakukan tindak pidana itu manusia (naturlijke personen). Hal ini dapat
disimpulkan berdasarkan hal-hal sebagai berikut:
a. Rumusan delik dalam undang-undang lazim dimulai dengan kata-kata : barang
siapa yang.. kata barang siapa ini tidak dapat diartikan lain dari pada orang
b. Dalam pasal 10 KUHP disebutkan jenis-jenis pidana yang dapat dikenakan kepada
tindak pidana, yaitu :
- Pidana pokok:
1. Pidana mati,
2. Pidana penjara
3. Pidana kurungan
4. Pidana denda yang dapat diganti dengan pidana kurungan.
- Pidana tambahan :
1. Pencabutan hak-hak tertentu
2. Perampasan barang-barang tertentu
3. Diumumkannya keputusan hakim
Sifat dari pidana tersebut adalah sedemikian rupa, sehingga pada dasarnya hanya dapat
dikenakan pada manusia
c. Dalam pemeriksaan perkara dan juga sifat dari hukum pidana yang dilihat
ada/tidaknya kesalahan pada terdakwa, member petunjuk bahwa yang dapat
dipertanggungjawabkan itu adalah manusia.
Pengertian kesalahan yang dapat berupa kesengajaan dan kealpaan itu merupakan
sikap dalam bathin mansuia
2. Apakah kecuali manusia tidak ada sesuatu yang dapat melakukan tindak pidana ?
13

Misalnya badan hukum? Dalam KUHP ada pasal yang menyinggung soal ini, pasal 59.
Pasal ini berbunyi dalam hal-hal dimana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap
pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris komisaris yang ternyata tidak ikut
campur melakukan pelanggaran tidak dipidana.
Pasal ini tidak menunjuk kearah dapay dipidananya suatu badan hukum, suatu
perkumpulan atau badan (korporasi) lain. Menurut pasal ini yang dapat dipidana adalah
orang yang melakukan sesuatu fungsi dalam sesuatu korporasi. Seorang anggota
pengurus dapat membebaskan diri, apabila dapat membuktikan bahwa pelanggaran itu
dilakukan tanpa ikut campurnya.
3. Dalam KUHP juga ada pasal lain yang kelihatannya juga menyangkut korporasi sebagai
subjek hukum, akan tetapi disinipun yang diancam pidana adalah orang bukan
korporasinya. Contoh pasal 169 : ikut serta perkumpulan yang terlarang dan juga pasal
398 dan 399, mengenai pengurus atau komisaris perseroan terbatas dan sebagainya yang
dalam keadaan pailit merugikan perseoraaannya.
4. Dalam undang-undang darurat tentang pengusutan, penuntutan dan peradilan tindak
pidana ekonomi.
Pasal 15 undang-undang darurat yang bersangkutan selengkapnya berbunyi:
1. Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum,
suatu perseroan, suatu perserikatan orang yang lainnya atau suatu yayasan maka
tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan,
baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau pidana ekonomi itu atau
yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu, maupun
terhadap kedua-keduanya.
2. Suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atas nama suatu badan hukum, suatu
perseroan, suatu perserikatan orang atau suatu yayaasan, jika tindak pidana itu
dilakukan oleh orang-orang yang baik bersadar hubungan kerja, maupun berdasar
hubungan lain, bertindak dalam lingkunganbadan hukum, perseroan, perserikatan
atau yayasan itu, tak peduli apakah orang-orang itu masing-masing tersendiri
melakukan tindak pidana ekonomi itu atau pada mereka bersama ada anasir-anasir
tindak pidana tersebut.selanjutnya dalam pasal 15 tersebut ada aturan: kepada siapa
tuntutan itu diajukan. Ketentuannya berbunyi demikian:
3. Jika suatu tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu badan hukum, suatu
perseroan,suatu perserikatan orang atau yayasan, maka badan hukum perseroan,

14

perserikatan atau yayasan itu pada waktu penuntutatn itu diwakili oleh seseorang
pengurus atau jika ada lebih dari seorang dari seorang pengurus, oleh salah seorang
dari mereka itu. Wakil dapat diwakili oleh orang lain.
4. Jika suatu tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu badan hukum, suatu perseroan,
suatu perserikatan orang, atau suatu yayaasan, maka segala panggilan untuk
menghadap dan segala penyerahan surat panggilan untuk menghadap dan segala
penyerahan surat panggilan akan dilakukan kepada pengurus atau ditempat pengurus
bersidang atau berkantor.
Kesimpulan mengenai soal subjek tindak piadan:
Disamping manusia juga badan hukum,perkumpulan, perikatan, atau korporasio dapat
menjadi subjek tindak pidana, apabila secara khusus ditentukan dalam undang-undang untuk
delik tertentu. Misalnya seperti yang tercantum dalam undang-undang tindak pidana ekonomi
dan pembarantasan kegiatan subversi (No. 11/1963
Jenis-jenis tindak pidana
a) Kejahatan dan pelanggaran.
Kejahatan => lebih berat artinya perbuatan melawan hukum yang lebih berat sanksi nya jika
benar dilakukannya karena bersifat kualitatif diatur dalam Undang-undang (wetsdelicten) .
Pelanggaran => lebih ringan artinya perbuatan pelanggaran yang sanksi nya tidak terlalu berat
misalnya pelanggaran dalam berlalu lintas tidak memakai helm saat dijalan raya tidak
menimbulkan suatu pidan penjara
.b) Keaengajaan dan kealpaan (kelalaian)
Kesengajaan => jika memang hal ini sengaja atau dengan adanya sebuah keniatan maka
perbuatan ini bisa dinyatakan dalam perbuatan tindak pidana,misalnya dengan sengaja
menusuk kan pisau ke tubuh orang lain.
Kelalaian => kekurang hati-hatian atau kecerobohan,misalnya dalam berlalu lintas sehingga
menimbulkan suatu pelanggaran
c) Delik
commisionis
=>

perbuatan

yang

melanggar

undang-undang

Delik ommisionis => perbuatan yang harus dilakukan misalnya menolong atau juga dalam
pasal 164,165,dan 224 KUHP
Delik commisionis per ommisionem commisa =>pelanggaran larangan yang melanggar
undang-undang namun tidak berbuat apa-apa. Contohnya; ibu yang tidak memberikan makan
anaknya hingga mati,secara tidak langsung tidak berbuat namun menimbulkan akibat yakni
15

kematian.
d) Delik formil => menitik pada perbuatannya,misalnya pencurian helm artinya berbuat
padaingin memiliki barabg yakni helm.
Delik materiil => menitik berat pada akibatnya,misalnya pembunuhan artinya ketika sudah
berbuat akibatnya adalah kematian. (sebab akibat/kausal)

I.

II.

HAND OUT
Identitas mata kuliah
Nama mata kuliah
: Hukum Pidana
Kode /bobot
: PKN 304/2 sks
Jurusan program studi
: P.IPS/PKN
Dosen Pembina
: Susi Delmiati, SH. MH
Pokok pembahasan
Berlakunya Hukum Pidana Baik Menurut Waktu dan Tempat
Pembahasan
Berlakunya Hukum Pidana Menurut Waktu Dan Tempat

16

A. Locus dan Tempus Delicti


1. Locus delicti
Manfaat diketahuinya locus delicti adalah
a. untuk mengetahui berwewenang atau tidaknya suatu pengadilan mengadili suatu
perkara(kompetensi relative)
b. untuk mengetahui dapat tidaknya suatu hokum pidana diberlakukan terhadap suatu
perkara.
c. sebagai salah satu syarat mutlak sahnya surat dakwaan
ada empat ajaran untuk menentukan tempat terjadinya peristiwa pidana atau locus
delicti atau tempat kejadian perkara (tkp)
1. de leer van de lichamelijke daad
ajaran yang didasarkan kepada perbuatan secara fisik. Itulah sebabnya ajaran ini
menegaskan bahwa yang dianggap sebagai tempat terjadinya tindak pidana/locus delicti,
adalah tempat dimana perbuatan tersebut dilakukan.
2. de leer van het instrument
ajaran yang didsarkan kepada berfungsinya suatu alat yang digunakan dalam perbuatan
pidana. Jadi ajaran ini menegaskan bahwa yang dianggap sebagai temapt terjadinya
tindak pidana adalah temapt dimana alat yang digunakan dalam melakukaan tindak
pidana bereaksi.
3. de leer van het gevolg
ajaran ini didasarkan kepada akibat dari suatu tindak pidana. Menurut ajaran ini bahwa
yang dianggap sebagai locus delicti adalah tempat dimana akibat daripada tindak pidana
tersebut timbul.
4. de leer van de meervoudige pleets
menegaskan bahwa yang dianggap sebagai tempat terjadinya tindak pidana yaitu
tempat2 dimana perbuatan tersebut secara fisik terjadi tempat dimana alat yang
digunakan bereaksi, dan tempat dimana akibat dari tindak pidana tersebut timbul.
2. Tempus Delicti
Manfaat diketahuinya tempus delicti:

17

1. usia pelaku (pasal 47KUHP) dan usia korban untuk delik susila(pasal 287 ayat 2 dan
pasal 290 dan 291)
2. keadaan jiwa pelaku ( pasal 44 KUHP)
3. daluarsa dalam penuntutan dan menjalani pidana ( pasal 78-85 KUHP)
4. asas legalitas pasal 1 ayat 1 KUHP)
5. perubahan suatu undang-undang pidanapasal 1 ayat 2 KUHP)
6. sebagai syarat mutl;aksahnya surat dakwaan.
B. Dari Segi Waktu
a. Asas LegalitasSecara Hukum Asas legaliatas terdapat di pasal 1 ayat (1) KUHP: Tiada
suatu perbuatan dapat di pidana, kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundangundangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan
b. Asas transitoir
Adalah asas yang menentukan berlakunya suatu aturan hukum pidana dalam hal terjadi
atau ada perubahan undang-undang
c. Asas retroaktif
Asas retroaktif ialah suatu asas hukum dapat diberlakukan surut. Artinya hukum yang aru
dibuat dapat diberlakukan untuk perbuatan pidana yang terjadi pada masa lalu sepanjang
hukum tersebut mengatur perbuatan tersebut, misalnya pada pelanggaran HAM berat.

C. Dari Segi Tempat


1. Asas Territorial atau Wilayah
Asas wilayah ini menunjukkan bahwa siapa pun yang melakukan delik di wilayah
negara tempat berlakunya hukum pidana, tunduk pada hukum pidana itu. Dapat dikatakan

18

semua negara menganut asas ini, termasuk Indonesia. Yang menjadi patokan ialah tempat
atau wilayah sedangkan orangnya tidak dipersoalkan.
Asas wilayah atau teritorialitas ini tercantum di dalam pasal 2 dan 3 KUHP:
Pasal 2 yang berbunyi: Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi
setiap

orang

yang

melakukan

perbuatan

pidana

di

dalam

Indonesia.

Pasal 3 yang berbunyi: Aturan pidana perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap
orang yang di luar Indonesia melakukan perbuatan pidana di dalam kapal Indonesia.
2. Asas Personalitas atau Asas Nasionalitas Aktif
Asas personalitas ini bertumpu pada kewarganegaraan pembuat delik. Hukum pidana
Indonesia mengikuti warganegaranya kemana pun ia berada. Asas ini bagaikan ransel yang
melekat pada punggung warga negara Indonesia kemana pun ia pergi. Inti asas ini
tercantum di dalam pasal 5 KUHP.
3. Asas Perlindungan atau Asas Nasionalitas Pasif
Asas nasional pasif ialah suatu asas yang memberlakukan KUHP terhadap siapa pun
juga baik WNI maupun WNA yang melakukan perbuatan pidana di luar wilayah Indonesia.
Jadi

yang

diutamakan

adalah

keselamatan

kepentingan

suatu

negara.

Asas ini menentukan bahwa hukum pidana suatu negara (juga Indonesia) berlaku terhadap
perbuatan-perbuatan yang dilakukan di luar negeri, jika karena itu kepentingan tertentu
terutama kepentingan negara dilanggar di luar wilayah kekuasaan negara itu. Asas ini
tercantum di dalam pasal 4 ayat 1, 2, dan 4 KUHP.

19

HAND OUT
I. Identitas mata kuliah

II.

Nama mata kuliah


Kode /bobot
Jurusan program studi
Dosen Pembina
Pokok pembahasan

: Hukum Pidana
: PKN 304/2 sks
: P.IPS/PKN
: Susi Delmiati, SH. MH

Pertanggungjawaban Pidana/ Kesalahan


Pembahasan
Pertanggungjawaban Pidana/ Kesalahan

a. Pengertian penanggungjawaban pidana/kesalahan


Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan teorekenbaardheid
atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud
untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas
suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak.
Dalam Pasal 34 Naskah Rancangan KUHP Baru (1991/1992) dirumuskan bahwa
pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif pada tindak pidana
berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Secara subjektif kepada pembuat yang
memenuhi syarat-syarat dalam undang-undang (pidana) untuk dapat dikenai pidana karena
perbuatannya itu. Sedangkan, syarat untuk adanya pertanggungjawaban pidana atau
dikenakannya suatu pidana, maka harus ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau
kealpaan.
20

Pasal 27 konsep KUHP 1982/1983 mengatakan pertanggungjawaban pidana adalah


diteruskannya celaan yang objektif ada pada tindakan berdasarkan hukum yang berlaku,
secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat undang-undang yang dapat
dikenai pidana karena perbuatannya itu.
b. Kemampuan bertanggung jawab
Ajaran bertanggung jawab ( ontoerkeningsvatbaarheid) ini mengenai keadaan jiwa atau
batin seseorang yang normal/sehat ketika melakukan tindak pidana.
Secara negatif diterangkan bahwa tindak pidana mampu bertanggung jawab
(( ontoerkeningsvatbaarheid) dari pembuat adalah:
Dalam hal pembuat tidak diberi kebebasan memilih antara berbuat baik atai tidak
berbuat apa yang oleh Undang-Undang dilarang ( dalam hal perbuatan yang
dipaksa /dwanghandelingen).
Dalam hal pembuat ada didalam keadaan tertentu, sehingga ia tidak dapat
menginsyafi bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum dan tidak mengerti
akan pebuatannya (gila, pikiran sesat dan sebagainya).
Menurut Van Hamel ortang yan mampu bertanggung jawab harus memenuhi tiga syarat
yaitu :
Mampu untuk menginsyafi makna dan akibat sunguh-sungguh dari perbuatannya
sendiri
Mampu untuk menginsyafi bahwa perbuatannya itu bertentangan dengan ketertiban
masyarakat
Mampu untuk menentukan kehendaknya dalam melakukan perbuatan.
c. Kesengajaan dan kealpaan
1. Kesengajaan
Ada dua teori yang berkaitan dengan pengertian sengaja, yaitu teori kehendak
dan teori pengetahuan atau membayangkan.
Menurut teori kehendak, sengaja adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur
delik dalam rumusan undang-undang. Sebagai contoh, A mengarahkan pistol kepada B

21

dan A menembak mati B; A adalah sengaja apabila A benar-benar menghendaki


kematian B.
Menurut teori pengetahuan atau teori membayangkan, manusia tidak mungkin dapat
menghendaki suatu akibat karena manusia hanya dapat menginginkan, mengharapkan
atau membayangkan adanya suatu akibat. Adalah sengaja apabila suatu akibat yang
ditimbulkan karena suatu tindakan dibayangkan sebagai maksud tindakan itu dan karena
itu tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih dahulu
telah dibuat.
2. Kealpaan
Yang dimaksud dengan kealpaan adalah terdakwa tidak bermaksud melanggar larangan
undang-undang, tetapi ia tidak mengindahkan larangan itu. Ia alpa, lalai, teledor dalam
melakukan perbuatan tersebut. jadi, dalam kealpaan terdakwa kurang mengindahkan
larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan sesuatu perbuatan yang objektif
kausal menimbulkan keadaan yang dilarang.
Selanjutnya, dengan mengutip Van Hamel, Moeljatno mengatakan kealpaan itu
mengandung dua syarat, yaitu tidak mengadakan penduga-penduga sebagaimana
diharuskan oeh hokum dan tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh
hukum.

22

HAND OUT
I. Identitas mata kuliah

II.

Nama mata kuliah


Kode /bobot
Jurusan program studi
Dosen Pembina
Pokok pembahasan

: Hukum Pidana
: PKN304/2 sks
: P.IPS/PKN
: Susi Delmiati, SH. MH

Bentuk-Bentuk Delik Dalam KUHP


Pembahasan
23

Bentuk-Bentuk Delik Dalam Kuhp

1. Menurut cara penuntutannya:


a. Delik aduan (klacht delict) yaitu: suatu delik yang diadili, apabila yang
berkepentingan

(yang

dirugikan)

mengadukanya.

Bila

tidak

ada

pengaduan maka jaksa tidak akan mengadilinya.


b. Delik biasa yaitu: perbuatan kejahatan dan pelanggaran lainnya yang tidak
memerlukan pengaduan.
2. Menurut jumlahnya:
a. Delik tunggal (enkelvoudig delict) yaitu: delik yang terdiri dari satu
perbuatan saja.
b. Delik jamak (samengesteld delict) yaitu: perbuatan yang terdiri beberapa
delik.
3. Menurut tindakan atau akibatnya
a. Delik materiil, yaitu : suatu delik yang dilarang oleh undang-undang ialah
akibatnya.
Contoh : pembunuhan (pasal 338 KUHP)
b. Delik formil, yaitu : kejahatan itu selesai, kalau perbuatan sebagaimana
dirumuskan dalam peraturan pidana itu dilakukan.
Contoh : kasus pencurian (pasal 363 KUHP).
Dalam pasal ini dilarang mengambil barang orang lain dengan tidak
sah. Perbuatannya ialah mengambil, dengan selesainya perbuatan itu
terjadilah kejahatan pencurian.

24

HAND OUT
I. Identitas mata kuliah
Nama mata kuliah
Kode /bobot
Jurusan program studi
Dosen Pembina

: Hukum Pidana
: PKN304/2 sks
: P.IPS/PKN
: Susi Delmiati, SH. MH

II.Pokok pembahasan
Pemidanaan
Pembahasan
PIDANA DAN PEMIDANAAN
1. Pengertian pidana
Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang pada dasarnya dapat diartikan sebagai suatu
penderitaan (nestapa) yang sengaja dikenakan/dijatuhkan kepada seseorang yang telah
terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana. Para ahli hukum di Indonesia membedakan
istilah hukuman dengan pidana. Istilah hukuman adalah istilah umum yang dipergunakan
untuk semua jenis sanksi baik dalam ranah hukum perdata, administratif, disiplin dan pidana,
25

sedangkan istilah pidana diartikan secara sempit yaitu hanya sanksi yang berkaitan dengan
hukum pidana
Berikut ini beberapa Pengertian Pidana Menurut para Ahli:

Van Hamel: Pidana adalah suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan
oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai
penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni sematamata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus
ditegakkan oleh negara.

Simons: Pidana adalah suatu penderitaan yang oleh undang-undang pidana telah
dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim
telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah.

a. Teori-teori pemidanaan
Menurut Satochid Kartanegara dan pendapat-pendapat para ahli hukum terkemuka dalam
hukum pidana, mengemukakan teori pemidanaan atau penghukuman dalam hukum pidana
dikenal ada tiga aliran yaitu:
1. Absolute atau vergeldings theorieen (vergelden/imbalan)
Aliran ini mengajarkan dasar daripada pemidanaan harus dicari pada kejahatan itu
sendiri untuk menunjukkan kejahatan itu sebagai dasar hubungan yang dianggap sebagai
pembalasan, imbalan (velgelding) terhadap orang yang melakukan perbuatan jahat. Oleh
karena kejahatan itu menimbulkan penderitaan bagi si korban.
2. Relative atau doel theorieen (doel/maksud, tujuan)
Dalam ajaran ini yang dianggap sebagai dasar hukum dari pemidanaan adalah bukan
velgelding, akan tetapi tujuan (doel) dari pidana itu. Jadi aliran ini menyandarkan hukuman
pada maksud dan tujuan pemidanaan itu, artinya teori ini mencari mamfaat daripada
pemidanaan (nut van de straf)
3. Vereningings theorieen (teori gabungan)
Teori ini sebagai reaksi dari teori sebelumnnya yang kurang dapat memuaskan
menjawab mengenai hakikat dari tujuan pemidanaan. Menurut ajaran teori ini dasar hukum
26

dari pemidanaan adalah terletak pada kejahatan itu sendiri, yaitu pembalasan atau siksaan,
akan tetapi di samping itu diakuinya pula sebagai dasar pemidanaan itu adalah tujuan
daripada hukum
3. Jenis-Jenis pidana dan tindakan
Bentuk-bentuk hukuman pada dasarnya telah diatur dalam buku 1 KUHP bab ke-2
dimulai dari Pasal 10 sampai dengan Pasal 43. KUHP sebagai induk atau sumber utama
hukum pidana telah merinci dan merumuskan tentang bentuk-bentuk pidana yang berlaku di
Indonesia. Bentuk-bentuk pidana dalam KUHP disebutkan dalam Pasal 10 KUHP. Dalam
KUHP pidana dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu: pertama, pidana pokok dan kedua,
pidana tambahan.
Pidana pokok terdiri dari (Hoofd Straffen):
A. Pidana mati
B. Pidana penjara
C. Pidanan kurungan
D. Pidana denda
Pidana pokok dalam hukum pidana militer tidak berbeda cuma dalam penerapan pidana
tambahan sedikit berbeda .
Adapun pidana tambahan terdiri dari (Bijkomende Straffen):
A. Pidana pencabutan hak-hak tertentu
B. Pidana perampasan barang-barang tertentu
C. Pidana pengumuman keputusan hakim.

27

B. DASAR-DASAR PENGHAPUS PEMIDANAAN


1. Nebis in idem
Nebis in Idem adalah salah satu asas dalam hukum ,yang memiliki pengertian sebagai
tindakan yang tidak boleh dilakukan untuk kedua kalianya dalam perkara yang sama,
contonya ,seseorang tidak boleh di tuntut untuk kudua kalinya dalam kasus yang sama. Nebis
in idem lazim disebut execeptio rei judicatae atau gewijsde zaak. Permasalahan nebis in idem
ini diatur dalam pasal 1917 KUHPerdata. Secara hukum, suatu gugatan dapat dikatakan nebis
in idem bilamana:
1. Apa yang digugat/ diperkarakan sudah pernah diperkarakan
2. Dan telah ada putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dan bersifat positip seprti
menolak gugatan atau mengabulkan. Dengan demikian putusan tersebut sudah litis finiri
opportet. Kalau putusannya masih bersifat negatif, tidak mengakibatkan nebis in idem.
Hal ini dapat dilihat dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 27 Juni 1979 dalam
putusan kasasi no. 878 k/ Sip/ 1977 yang menyatakan, antara perkara ini dengan perkara
yang diputus oleh Pengadilan Tinggi tidak terjadi nebis in idem, sebab putusan Pengadilan
Tinggi menyatakan gugatan tidak dapat diterima oleh karena ada pihak yang tidak
diikutsertakan sehingga masih terbuka kemungkinan untuk menggugat lagi.
2. Matinya Terdakwa
Matinya terdakwa, secara otomatis menjadi alasan hapusnya wewenang menuntut pidana. Hal
ini wajar karena KUHP berpendirian bahwa yang dapat menjadi subyek hukum hanyalah
orang dan pertanggung jawaban bersifat pribadi (personal), dalam hal ini tidak dikenal adanya
pertanggung jawaban warisan.
3. Daluarsa (Pasal 78 KUHP)
Tenggang waktu daluarsa (Pasal 78 ayat 1 KUHP) adalah sebagai berikut:
1. Untuk Pelangaran dan kejahatan percetakan setelah 1 tahun
2. Untuk kejahatan yang diancam denda, kurungan atau penjara maksimum 3 tahun
setelah 6 tahun
3. Untuk kejahatan yang diancam pidana penjara lebih dari 3 tahun 12 tahun
4. Untuk kejahatan yang diancam pidana mati atau seumur hidup setelah 18 tahun
Cat:

28

1. seseorang yang pada saat melakukan perbuatannya umurnya belum 18 tahun, masingmasing tanggung waktu daluarsa di atas dikurangi menjadi 1/3 (Pasal 78 ayat 2 KUHP)
2. Tenggang waktu daluarsa mulai berlaku pada hari seseudah perbuatan dilakukan, kecuali
dalam hal-hal tertentu yang disebut dalam pasal tersebut.
4.Penyelesaian di luar siding
Penyelesaian perkara pidana diluar sidang pengadilan, pada dasarnya tidak bisa
dipisahkan dari asas oportunitas (diskresi) yang dimiliki oleh aparat penegak hukum yang
berwenang. Hal ini bermula pada asas legalitas yang menyatakan semua tindak pidana yang
dilakukan oleh seseorang haruslah dipertanggungjawabkan dengan cara diselesaikan di
pengadilan. Kedua asas tersebut berada dalam posisi yang saling berlawanan, di satu pihak
asas legalitas menghendaki dilakukannya penuntutan terhadap semua perkara ke pengadilan,
tanpa terkecuali. Sedangkan disisi lain asas oportunitas memberikan peluang bagi penuntut
umum untuk tidak melakukan penuntutan perkara pidana di pengadilan.
Seseorang dihukum pada dasarnya karena telah melakukan perbuatan jahat atau
melanggar suatu peraturan perundang-undangan. Dan atas kejahatan yang telah dilakukannya
itu maka ia wajib dimintakan pertanggungjwabannya dimuka pengadilan. Akan tetapi semakin
berkembangnya zaman dan juga peradaban manusia membuat tidak semua tindak pidana atau
delict untuk masuk pada sidang pengadilan. Maka masing-masing Negara memiliki caranya
tersendiri untuk menyelesaikan suatu perkara pidana diluar sidang pengadilan. Khususnya di
Negara yang coba penulis deskripsikan dan analisa, yaitu Indonesia, Belanda dan Amerika
Serikat.
Ide dasar dari adanya penyelesaian perkara diluar pengadilan dalam perkara pidana
adalah dikaitkan dengan sifat hukum pidana itu sendiri. Hukum pidana bersifat Ultimum
Remedium, Sedapat mungkin dibatasi, artinya kalau bagian lain dari hukum itu tidak cukup
untuk menegaskan norma-norma yang diakui oleh hukum, barulah hukum pidana diterapkan.

C.DASAR-DASAR PENGHAPUS PEMIDANAAN


1. daya paksa dan keadaan darurat (overmacht dan noodtoestand)
29

Daya paksa / Darurat ( Overmacht )


Pasal 48 KUHP berbunyi : Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa
tidak dipidana.
Kata "daya paksa" disini terjemahan dari kata "overmacht" (Belanda) yang artinya kekuatan
atau daya yang lebih besar. Engelbrecht menyalin pasal tersebut dengan kalimat " Tidak
boleh dihukum barang siapa melakukan perbuatan karena terdorong oleh berat lawan.
Daya paksa atau daya yang memaksa secara mutlak sehingga tidak dapat menghindarinya
tersebuit dapat berupa paksaan pisik yang disebut "vis absoluta" dapat juga berupa paksaan
psykhis atau "vis compulsiva"
Keadaan daya paksa vis compulsiva dibagi 2 :
a) Daya paksa dalam arti sepit (overmacht in enge zin), dimana sumber atau musababnya
paksaan keluar dari orang lain/datang dari orang yang memberi tekanan.
b) Daya paksa keadaan darurat (nood toestand), dimana daya paksa tadi tidak disebabkan
oleh orang lain, tetapi timbul dari keadaan-keadaan yang tertentu / orang yang terkena,
bebas untuk memilih perbuatan mana yang akan dilakukan, inisiatif ada pada disinya
sendiri.
2.Pembelaan terpaksa ( Noodweer )
Pasal 49 ayat (1) KUHP : Barang siapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan
karena ada serangan dan ancaman ketika itu yang melawan hukum terhadap dirinya sendiri
maupun orang lain terhadap kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) atau harta benda sendiri
maupun orang lain, tidak dipidana. Perbuatan untuk membela yang dimaksud pasal 49 (1)
tersebut meliputi tiga persoalan pokok yang menyangkut perbuatan untuk membela, yaitu :
a) harus berupa pembelaan, artinya harus ada hal-hal memaksa terdakwa melakukan
perbuatannya ;
b) kepentingan macam apa saja yang harus diserang (diri atau badan orang ; kehormatankesusilaan ; harta benda orang )
c) serangannya harus bersifat melawan hukum.
Pembelaan terpaksa tersebut dilakukan dengan memenuhi syarat :
a) harus ada serangan atau ancaman serangan ;
30

b) harus ada jalan lain untuk menghalau serangan atau ancaman serangan pada saat itu, dan
c) perbuatan pembelaan harus seimbang dengan sifatnya serangan atau ancaman serangan.
Bagaimana kalau ada orang mengira ada serangan, padahal senyatanya tidak, dan dia
melakukan pembelaan terpaksa menurut pasal 49 ayat (1) tersebut ? ---- Perbuatan ini
dinamakan pembelaan terpaksa yang putatif yang hanya dalam pikirannya sendiri saja tapi
sesungguhnya tidak ada apa-apa. Perbuatan ini tetap salah, hanya saja 'salah sangka' atau
salah terkanya' harus dibuktikan dulu.
3. Melaksanakan perintah jabatan
merupakan salah satu alasan menghapus pidana yang dikenal dalam KUHP. Alasan
penghapus pidana dalam KUHP meliputi alasan pembenar (rechtvaardigingsgrond) dan
alasan pemaaf (schulduitsluitingsgrond). Melaksanakan perintah jabatan termasuk bagian
dari alasan pembenar. Alasan lainnya adalah keadaan darurat (noodtoestand), pembelaan
terpaksa (noodweer), dan melaksanakan perintah undang-undang. Alasan penghapus pidana
juga dikenal dalam perundang-undangan di luar KUHP.
Rumusan tentang perintah jabatan (ambtelijk bevel) diatur dalam pasal 51 KUHP. Ayat
(1) pasal ini menyebutkan barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah
jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana. Selanjutnya, ayat (2)
menyatakan perintah jabatan tanpa wewenang tidak menyebabkan hapusnya pidana kecuali
jika yang diperintah, dengan iktikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan
wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya
HAND OUT
I. Identitas mata kuliah
Nama mata kuliah
Kode /bobot
Jurusan program studi
Dosen Pembina

: Hukum Pidana
: PKN304/2 sks
: P.IPS/PKN
: Susi Delmiati, SH. MH

II.Pokok pembahasan
Masalah Politik Kriminal
Pembahasan
Masalah Politik Kriminal

31

Adapun mengenai kebijakan criminal, Sudarto mengemukakan 3 (tiga) arti mengenai


kebijakan kriminal, yaitu:
1. dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi
terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;
2. dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di
dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi;
3. dalam arti paling luas (yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen), ialah keseluruhan
kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang
bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat. (Barda Nawawi
Arief, 2002 : 1)
Upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan dapat juga diartikan politik kriminal
sebagai pengaturan atau penyusunan secara rasional usaha-usaha pengendalian kejahatan
oleh masyarakat dan tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu kebijakan sosial
(Barda Nawawi Arief, 2001 : 73). Politik kriminal hakekatnya juga merupakan bagian integral
dari politik social yang dilakukan baik dengan menggunakan kebijakan hukum pidana (penal
policy) maupun non-penal, namun haruslah memperhatikan dan mengarah pada tercapainya
tujuan dari kebijakan sosial itu dengan menunjang tujuan (goal)social welfare dan social
defence.
Tujuan akhir dari politik kriminal atau kebijakan kriminal ialah perlindunganmasyarakat
untuk mencapai tujuan utama yang sering disebut dengan berbagai istilah, seperti kebahagian
warga masyarakat/penduduk (happiness of the citizen);kehidupan kultural yang sehat dan
menyegarkan (a wholesome and culturalliving),kesejahteraan masyarakat (social welfare) atau
untuk mencapaikeseimbangan (equality). Secara sederhana tujuan kebijakan kriminal itu
sendiriadalah untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat akan rasa aman,tenteram,
adil, makmur, dan sampai pada kesejahteraan masyarakat itu sendiri.
1. Penanggulangan kejahatan secara panel dan non panel
Menurut M. Hamdan, upaya penaggulangan yang merupakan bagian dari kebijakan sosial
pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social
defence) yang dapat ditempuh dengan 2 jalur, yaitu:
1. Jalur penal, yaitu dengan menerapkan hukum pidana (criminal law application)
2. Jalur nonpenal, yaitu dengan cara :

32

a.

Pencegahan tanpa pidana (prevention without punisment), termasuk di dalamnya

b.

penerapan sanksi administrative dan sanksi perdata.


Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pembinaan lewat
media massa (influencing views of society on crime and punishment).

Secara sederhana dapatlah dibedakan, bahwa upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur
penal

lebih

menitik

beratkan

pada

sifat

repressive

(penindasan/pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur non


penal lebih menitik beratkan pada sifat preventif (pencegahan/penangkalan/pengendalian)
sebelum kejahatan terjadi. Beberapa dekade terakhir berkembang ide-ide perbuatan tanpa
pidana, artinya tidak semua tindak pidana menurut undang-undang pidana dijatuhkan pidana,
serentetan pendapat dan beberapa hasil penelitian menemukan bahwa pemidanaan tidak
memiliki kemanfaatan ataupun tujuan, pemidaan tidak menjadikan lebih baik.
Karena itulah perlunya sarana nonpenal diintensifkan dan diefektifkan, disamping
beberapa alasan tersebut, juga masih diragukannya atau dipermasalahkannya efektifitas sarana
penal dalam mencapai tujuan politik criminal. Mengingat upaya penanggulangan kejahatan
lewat jalur non penal lebih bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka
sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan.
Faktor-faktor kondusif itu antara lain, berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi
sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan
kejahatan.
Dengan demikian, dilihat dari sudut politik kriminal secara makro dan global, maka upayaupaya nonpenal menduduki posisi kunci dan strategis dari keseluruhan upaya politik kriminal.
Di berbagai Kongres PBB mengenai The Prevention of Crime and Treatment of Offenders
ditegaskan upaya-upaya strategis mengenai penanggulangan sebab-sebab timbulnya
kejahatan.
2. Kriminalisasi dan dekriminalisasi
Proses Kriminalisasi
Proses kriminalisasi adalah suatu proses dimana suatu perbuatan yang mulanya
tidak dianggap sebagai kejahatan, kemudian dengan dikeluarkannya perundang-undangan
yang melarang perbuatan tersebut, maka perbuatan itu kemudian menjadi perbuatan jahat.
Proses Dekriminalisasi
33

Proses

dekriminalisasi

adalah

suatu

proses

dimana

suatu

perbuatan

yang

merupakan kejahatan karena dilarang dalam perundang-undangan pidana, kemudian


pasal yang menyangkut perbuatan itu dicabut dari perundang-undangan dan dengan
demikian perbuatan itu bukan lagi kejahatan.
3. Penalisasi dan depenalisasi
Penalisasi adalah suatu proses pengancaman suatu perbuatan yang dilarang, dengan
sanksi pidana. Umumnya penalisasi ini berkaitan erat dengan kriminalisasi, karena ketika
kebijakan untuk menentukan bahwa suatu perbuatan tertentu dikatagorikan sebagai perbuatan
terlarang atau tindak pidana. Langkah selanjutnya adalah menentukan ancaman sanksi pidana
bagi perbuatan tersebut.
Norma pelanggaran tersebut dengan kebijakan kriminalisasi yang kemudian diikuti
dengan penalisasi dan ancaman pidana yang teringan sampai dengan yang terberat atau
pidana. Kebijakan penalisasi terkait dengan pengenaan sanksi pidana atau penal terhadap
perbuatan tertentu yang dipandang sebagai perbuatan melawan hukum yang telah dimuat
dalam cabang ilmu lain, secara singkat dapat dikatakan bahwa pembahasan kriminalisasi
meniscayakan pembahasan mengenai penalisasi, walaupun antara keduanya yaitu tindak
pidana dan sanksi pidana merupakan dua topik yang berbeda dalam hukum pidana.
Depenalisasi
Pada proses depenalisasi, sanksi negative yang bersifat pidana dihilangkan dari
suatu perilaku yang diancam pidana. Dalam hal ini hanya kualifikasi pidana yang
dihilangkan, sedangkan sifat melawan atau melanggar hukum masih tetap dipertahankan.
Mengenai hal ini, penanganan sifat melawan atau melanggar hukum diserahkan pada system
lain, misalnya

system

hukum

perdata,

system

hukum

administrasi

dan

seterusnya.

Didalam proses depenalisasi timbul suatu kesadaran bahwa pwmidanaan sebenarnya merupakan
ultimatum remidium.
Oleh karena itu terhadap perilaku tertentu yang masih dianggap melawan atau melanggar
hukum dikenakan sanksi-sanksi negatif non pidana yang apabila tidak efektif akan diakhiri
dengan sanksi pidana sebagai senjata terakhir dalam keadaan darurat. Hal ini berarti bahwa
hukum pidana dan sistemnya merupakan suatu hukum darurat (noodrecht) yang seyogianya
diterapkan pada instansi terakhir.

34

You might also like