Professional Documents
Culture Documents
I.
II.
Pembahasan
Ilmu Hukum Pidana Dan Hukum Pidana
a. Ilmu hukum pidana
Ilmu Hukum Pidana ialah pengetahuan mengenai suatu bagian khusus dari hukum, yaitu
hukum pidana, objek dari ilmu adalah aturan-aturan hukum pidana yang berlaku disuatu
negara.
Tujuannya adalah menyelidiki pengertian objektif dari hukum pidana positif.
Penyelidikan tersbut melalui tiga fase:
1. Interpretai
2. Konstruksi
3. Sistematik
Interpretasi betujuan untuk mengetahui pengertian objektif dari apa yang termaktub dalam
aturan-aturan hukum.
Konstruksi adalah bentukan yuridis yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur
tertentu dengan tujuan supaya apa yang terdapat dalam bentukan yuridis itu menjadi jelas dan
terang. Misalnya rumusan-rumusan delik yang terdapat pada perincian dalam pasal 362
KUHP dirumuskan sebagai : mengambil barang orang lain, dengan maksud memilikinya
secara melawan hukum (secara tidak sah). Semua perbuatan yang dapat dimaksudkan dalam
konstruksi inilah yang menurut hukum dianggap pencurian.
Contoh lainnya adalah pemberontakan (pasal 108) dikonstruir sebagai:
a. Menentang pemerintah yang telah menetap di Indonesia
b. Menyerbu Bersama-sama dengan atau menggabungkan diri pada gerombolan yang
menentang pemerintah dengan senjata, dengan maksud melawan pemerintah itu.
Sistematik adalah mengadakan sistem dalam suatu bagian hukum pada khususnya atau
seluruh bidang hukum pada umumnya. Maksudnya adalah agar supaya peraturan-peraturan
yang banyak dan beraneka ragam itu, tidak merupakan hutan belakar yang sukar lagi
berbahaya untuk diamnil kemanfaatannya, tetapi merupakan tanaman yang teratur dan indah
rupanya sehingga memberi kegunaan yang maksimal kepada masyarakat.
b. Hukum Pidana
Hukum pidana adalah hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengandung keharusan
atau larangan terhadap pelanggaran mana, diancam dengan hukuman yang berupa siksaan
badan.
Hukum pidana terbagi menjadi dua bagian yaitu :
1. Hukum pidana materil
2. Hukum pidana formil
Apabila orang mengatakan hukum pidana, maka pada umunya yang dimaksud adalah
hukum pidana materiil.
Yang dimaksud dengan hukum pidana materiil adalah suatu peraturan-peraturan yang
menegaskan perbuatan apa yang dapat dihukum, dengan hukum apa menghukum seseorang,
siapa yang dapat dihukum. Jadi hukum pidana materiil mengatur perumusan kejahatankejahatan dan syarat-syarat bila orang itu dapat dihukum. Di indonesia, pengaturan hukum
pidana materiil diatur dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana(KUHP)
Hukum pidana formil adalah hukum yang mengatur cara-cara untuk menghukum
seseorang yang melanggar peraturan pidana ( merupakan pelaksanaan dari hukum materiil).
Di Indonesia pengeturan hukum pidana formil telah disahkan dengan UU nomor 8 tahun 1981
tentang hukum acara pidana (KUHAP)
Tidak semua pebuatan melawan hukum atau merugikan masyarakat diberi sanksi pidana,
misalnya : pelacuran. Disini tidak dijadikan perbuatan pidana dalam arti bahwa perbuatan
pelacurannya sendiri tidak dilarang dan diancam dengan pidana. Pelacuran tidak dijadikan
larangan pidana, janganlah diartikan bahwa hal ini tidak dianggap merugikan masyarakat, tetapi
karena sukarnya untuk mengadakan trumusan (formula ) yang tepat
Disini yang dapat dituntut adalah misalnya orang yang menyelidiki tempat untuk
pelacuran dan menjadikan hal ini sebagai mata pencaharian dan kebiasaan (lihat pasal 295
KUHP).
c. Beda hukum pidana dan perdata
1. Perbedaannya dilihat dari segi pengertian
Hukum perdata ialah aturan-aturan hukum yang mengatur tingkah laku setiap
orang terhadap orang lain yang berkaitan dengan hak dan kewajiban yang timbul dalam
pergaulan masyarakat maupun pergaulan keluarga.
Hukum pidana adalah rangkaian peraturan-peraturan hukum yang mengatur
hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain, atau antara subyek
hukum yang satu dengan subyek hukum yang lain, dengan menitik beratkan pada
kepentingan perseorangan, dimana ketentuan dan peraturan dimaksud dalam kepentingan
untuk mengatur dan membatasi kehidupan manusia atau seseorang dalam usaha untuk
memenuhi kebutuhan atau kepentingan hidupnya.
2. Perbedaan dalam isi
a. Hukum perdata dapat digolongkan antara lain menjadi:
1.
Hukum keluarga
2.
Hukum harta kekayaan
3.
Hukum benda
4.
Hukum Perikatan
5.
Hukum Waris
b. Berdasarkan isinya, hukum dapat dibagi menjadi 2, yaitu hukum privat dan hukum
publik (C.S.T Kansil). Hukum privat adalah hukum yg mengatur hubungan orang
perorang, sedangkan hukum publik adalah hukum yg mengatur hubungan antara
negara dengan warga negaranya.
Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Hukum pidana terbagi
menjadi dua bagian, yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil.
Hukum Pidana Formil yaitu mencakup cara melakukan atau pengenaan pidana.
Hukum pidana materiil mengatur tentang penentuan tindak pidana, pelaku tindak
pidana, dan pidana (sanksi)
d. Jenis-jenis hukum pidana
Hukum Pidana terdiri dari 2 (dua) jenis yaitu:
1. Hukum Pidana Materil (materia le strafrechf), yatu ketentuan hukum yang memuat: (a)
Rumusan
tentang
tindak
pidaiia;
(b)
Pelaku
tindak
pidana
yang
dapat
yang bersifat privat dan hukum pidana yang bersifat publik bersumber dari sistem Eropa
yang kemudian berkembang di Indonesia.
Dalam ketentuannya, persoalan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat adat ditentukan
oleh aturan-aturan yang diwariskan secara turun-temurun dan bercampur menjadi satu. Di
samping hukum pidana adat mengalami persentuhan dengan agama yang dipeluk oleh
mayoritas penduduk, karakteristik lainnya adalah bahwa pada umumnya hukum pidana adat
tidak berwujud dalam sebuah peraturan yang tertulis. Aturan-aturan mengenai hukum pidana
ini dijaga secara turun-temurun melalui cerita, perbincangan, dan kadang-kadang
pelaksanaan hukum pidana di wilayah yang bersangkutan. Namun, dibeberapa wilayah adat
di Nusantara, hukum adat yang terjaga ini telah diwujudkan dalam bentuk tulisan, sehingga
dapat dibaca oleh khalayakumum. Sebagai contoh dikenal adanya Kitab Kuntara Raja Niti
yang berisi hukum adat Lampung, Simbur Tjahaja yang berisi hukum pidana adat Sumatera
Selatan, dan Kitab Adigama yang berisi hukum pidana adat Bali.
b. Masa Sesudah Kedatangan Penjajahan Belanda
1. Masa Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) Tahun1602-1799
Masa pemberlakuan hukum pidana Barat dimulai setelah bangsa Belanda datang ke
wilayah Nusantara, yaitu ditandai dengan diberlakukannya beberapa peraturan pidana
oleh VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). VOC sebenarnya adalah kongsi
dagang Belanda yang diberikan kekuasaaan wilayah di Nusantara oleh pemerintah
Belanda.Hak keistimewaan VOC berbentuk hak octrooi Staten General yang meliputi
monopoli pelayaran dan perdagangan, mengumumkan perang, mengadakan perdamaian
dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara, dan mencetak uang.
Pemberian hak demikian memberikan konsekuensi bahwa VOC memperluas daerah
jajahannya di kepulauan Nusantara. Dalam usahanya untuk memperbesar keuntungan,
VOC memaksakan aturan-aturan yang dibawanya dari Eropa untuk ditaati orang-orang
pribumi. Setiap peraturan yang dibuat VOC diumumkan dalam bentuk plakaat, tetapi
pengumuman itu tidak tidak disimpan dalam arsip. Sesudah diumumkan, plakaat
peraturan itu kemudian dilepas tanpa disimpan sehingga tidak dapat diketahui peraturan
mana yang masih berlaku dan yang sudah tidak berlaku lagi. Keadaan demikian
menimbulkan keinginan VOC untuk mengumpulkan kembali peraturan-peraturan itu.
5
Kumpulan peraturan-peraturan itu disebut sebagai Statuten van Batavia (Statuta Batavia)
yang dibuat pada tahun 1642.
Pada tahun 1766 Statuta Batavia itu dibuat kembali dan dihasilkan Statuta Batavia
Baru. Statuta itu berlaku sebagai hukum positif baik bagi orang pribumi maupun bagi
orang asing, dengan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan peraturan-peraturan
lain. Walaupun statute tersebut berisi kumpulan peraturan-peraturan, namun belum dapat
disebut sebagai kodifikasi hukum karena belum tersusun secara sistematis. Dalam
perkembangannya, salah seorang gubernur jenderal VOC, yaitu Pieter Both juga
diberikan kewenangan untuk memutuskan perkara pidana yang terjadi di peradilanperadilan adat.
Alasan VOC mencampuri urusan peradilan pidana adat ini disebabkan beberapa hal,
antara lain) sistem pemidanaan yang dikenal dalam hukum pidana adat tidak memadai
berkuasa mutlak, namun kekuasaannya diatur dalam sebuah konstitusi. Untuk
mengimplementasikannya, raja kemudian mengangkat komisaris jenderal yang
ditugaskan untuk melaksanakan pemerintahan di Netherlands Indie (Hindia Belanda).
Mereka adalah Elout, Buyskes, dan Vandr Capellen. Mereka tetap memberlakukan
peraturan-peraturan yang berlaku pada masa Inggris dan tidak mengadakan perubahan
peraturan karena menunggu terbentuknya kodifikasi hukum.
Dalam usaha untuk mengisi kekosongan kas negara, maka Gubernur Jendral Du bus de
Gisignes menerapkan politik agraria dengan cara napi yang sedang menjalani hukuman
dipaksakan untuk kerja paksa (dwang arbeid).
Dengan adanya keterangan ini maka praktis masa Besluiten Regering (BR) tidak
memberlakukan hukum pidana baru. Namun demikian, beberapa peraturan perundangundangan di luar hukum pidana ditetapkan pada masa ini, seperti Reglement op de
Rechtilijke Organisatie (RO) atau Peraturan Organisasi Pengadilan (POP), Algemen
Bepalingen van Wetgeving (AB) atau Ketentuan-ketentuan Umum tentang Perundangundangan,
Burgerlijk
Wetboek
(BW)
atau
Kitab
Undang-undang
Hukum
Presiden Sukarno selaku presiden pertama kali mengeluarkan kembali Peraturan Presiden
Nomor 2 Tahun 1945 tanggal 10 Oktober 1945 yang terdiri dari dua pasal, yaitu:
Pasal 1
Segala badan-badan negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya
negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, sebelum diadakan yang baru
menurut Undang-Undang Dasar, masih tetap berlaku asal saja tidak bertentangan dengan
dengan Undang Undang Dasar tersebut.
Pasal 2
Peraturan ini mulai berlaku tanggal 17 Agustus 1945. Sekilas ini Penpres ini hampir
sama dengan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, namun dalam Penpres ini dengan
tegas dinyatakan tanggal pembatasan yaitu 17 Agustus 1945.
Sebagai dasar yuridis pemberlakuan hukum pidana warisan kolonial sebagai hukum
pidana positif di Indonesia, keluarlah UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum
Pidana. Pasal 1 undang-undang tersebut secara tegas menyatakan :Dengan menyimpang
seperlunya dari Peraturan Presiden Republik Indonesia tertanggal 10 Oktober 1945
Nomor 2 menetapkan bahwa peraturan-peraturan hukum pidana yang berlaku sekarang
adalah peraturan-peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret1942. Dengan
titik tonggak waktu penyerahan kekuasaan Belanda kepada Jepang atas wilayah Indonesia
ini berarti semua peraturan hukum pidanayang dikeluarkan oleh pemerintahan militer
Jepang dan yang dikeluarkan oleh panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda (NICA)
setelah tanggal 8 Maret 1942 dengan sendirinya tidak berlaku.
Pasal 2 undang-undang tersebut juga dinyatakan bahwa semua peraturan hukum
pidana yang dikeluarkan panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda dicabut. Pasal 2
ini diperlukan karena sebelum tanggal 8 Maret 1942 panglima tertinggi bala tentara
Hindia Belanda mengeluarkan Verordeningenvan hetmiliter gezag. Secara lengkap bunyi
Pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1946 adalah sebagai berikut.Semua peraturan hukum pidana
yang dikeluarkan panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda dulu (Verordeningen
van het militergezag) dicabut.
Pemberlakuan hukum pidana Indonesia dengan ditetapkannya UU Nomor 1 Tahun
1946 tentang Peraturan Hukum Pidana ternyata belum menjawab persoalan. Kenyataan
ini disebabkan karena perjuangan fisik bangsa Indonesia atas penjahahan Belanda belum
9
selesai. Secara de jure memang Indonesia telah memproklamirkan diri sebagai bangsa
yang merdeka, namun secara de facto penjajahan Belanda atas Indonesia masih saja
berkelanjutan. Melalui aksi teror yang dilancarkan oleh NICA Belanda maupun negaranegara boneka yang berhasil dibentuknya, Belanda sebenarnya belum selesai atas aksi
kolonialismenya di Indonesia.Bahkan pada tanggal 22 September 1945, Belanda
mengeluarkan kembali aturan pidana yang berjudul Tijdelijke Biutengewonge Bepalingen
van Strafrecht (Ketentuan-ketentuan Sementara yang Luar Biasa Mengenai Hukum
Pidana) dengan Staatblad Nomor 135 Tahun 1945 yang mulai berlaku tanggal 7 Oktober
1945.
Ketentuan ini antara lain mengatur tentang diperberatnya ancaman pidana untuk tindak
pidana yang menyangkut kata lain, walaupun Indonesia merupakan negara merdeka,
namun hukum pidana Indonesia belum bisa melepaskan diri dari penjajahan. Wetboek
van Strafrecht atau bisa disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana telah diberlakukan
di Indonesia sejak tahun 1918. Ini berarti KUHP telah berumur lebih dari 87 tahun. Jika
umur KUHP dihitung sejak dibuat pertama kali di Belanda (tahun 1881), maka KUHP
telah berumur lebih dari 124 tahun. Oleh karena itu, KUHP dapat dianggap telah usang
dan sangat tua, walaupun Indonesia sendiri telah beberapa kali merubah materi KUHP
ini. Namun demikian,perubahan ini tidak sampai kepada masalah substansial dari KUHP
tersebut. KUHP Belanda sendiri pada saat ini telah banyak mengalami perkembangan.
Wujud asli hukum pidana Indonesia adalah Wetboek van Strafrecht yang menurut UU
Nomor 1 Tahun 1946 bisa disebut dengan KUHP. Hal ini menandakan bahwa wujud asli
KUHP adalah berbahasa Belanda.
HAND OUT
I.
II.
: Hukum Pidana
: PKN 304/2 sks
: P.IPS/PKN
: Susi Delmiati, SH. MH
Pembahasan
10
Tindak Pidana
Pengertian dan unsur-unsur tindak pidana
Istilah tindak pidana adalah terjemahan dari straafbarfeir\t yang digunakan antara lain :
1. Peristiwa pidana : UUDS 1950 pasal 14 ayat (1) yang berbunyi
setiap orang yang dituntut karena disangka suatu peritiwea pidana dianggap tidak
bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya dalam suatu sidang, menurut aturan hukum
yang berlaku
2. Perbuatan pidana : UU darurat No. 1 tahun 1951 tentang tindakan sementara untuk
menyelenggarakan kesatuan susunan, kesatuan acara pengadilin sipil pasal 5 ayat
(36) yang berbunyi:
.dengan pengertian bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus
diangap perbuatan pidana, tetapi tiada bandingannya dalam KUHP maka diancam
dengan hukuman.
3. Pelanggatan pidana
Istilah pelanggaran pidana dipakai oleh Mr.MH. Tirtaamidjaja, dalam bukunya
pokok-pokok hukum pidana 1955
4. Perbuatan yang dapat hukum
Istilah perbuatan yang dapat dihukum dapat dijumpai dalam undang-undang
No.15/drt,tahun 1951 pasal 3
Diantara berbagai istilah diatas yang dipakai dalam hukum pidana yaitu tindak
pidana. Istilah ini kareba tumbuhnya dri pihak menteri kehakiman, sering dipakai
dalam perundang-undangan antara lain dalam undang-undang No. 31 tahun 1999
tentang pembrantasan tindak pidana korupsi, undang-undang No.5 tahun 1997
tentang psikoropika dan undang-undang No. 15 tahun 2002 tindak pidana pencucuian
uang
Beberapa pengertian tindak pidana (staatfbarfeit) menurut pendapat para ahli:
1. Simon
Perbuatan pidana adalah perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan
kelsahan seseorang yang mampu bertanggung jawab (A.Zainal abiding farid
1995:124)
2. Vos
Memberikan definisi yang singkat dari staatfbarfeit adalah kelakuan atau tingkah
laku manusia yang oleh peraturan perundang-undangan diberikan pidana
3. Moeljatno
11
Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,
larangan mana disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi
barang siapa yang melanggar larangan tersebut
4. Van Hamel
Staatfbarfeit adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam wet (undang-undang)
yang bersifat melawan hukum yang dapat dipidana dan dilakukan dengan
kesalahan
Unsur- unsure tindak pidana
Dalam mempelajari unsure-unsur tindak pidana dikenal 2 aliran :
1. Aliran Monoistis
Menurut monoistis semua syarat untuk menjatuhkan pidan sebagai unsure tindak
pidana, aliran ini tidak memisahkan unsur yang melekat pada perbuatannya,perbuatan
pidana dengan unsure yang melekat pada aliran tindak pidana sama dengan
pertanggungjawaban dalam hukum pidana. Atau dengan kata lainnya tidak
memisahkan perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana.
Aliran monoistis ini melihat keselurhan syarat untuk adanya pidana itu, kesemuanya
merupakan sifat dari perbuatan. Konskuensi dianutnya aliran monoistis terhadap
tindak pidana adalah bahwa kalau satu unsure konstitusi atau unsure diam-diam tidak
terbukti maka terdakwa harus dibebaskan dari segala tuntutan hukum, konskuensi lain
adalah bahwa jika ada peristiwa pidana maka pembuatannya harus juga dipidana hal
tersebut berarti bahwa unsur peristiwa pidana/tindak pidana sama dengan unsure
pemidanaannya.
2. Aliran Dualistis
Memisahkan criminal act dan criminal responsibility atau criminal liability. Yang
menjadi unsure tindak pidana menurut aliran ini hanyalah unsur- unsur hanyalah yang
melekat atau perbuatan yang dapat dipidana
Penganut aliran ini antara lain W.P.J. Pompe,Moeljatno,Ruslan Saleh dan A.Zainal
Abidin
Dalam aliran monoistis, simon mengemukakan unsure-unsur tindak pidana sebagai
berikut:
1. Perbuatan manusia
2. Diancam dengan pidana
3. Melawan hukum
12
Misalnya badan hukum? Dalam KUHP ada pasal yang menyinggung soal ini, pasal 59.
Pasal ini berbunyi dalam hal-hal dimana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap
pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris komisaris yang ternyata tidak ikut
campur melakukan pelanggaran tidak dipidana.
Pasal ini tidak menunjuk kearah dapay dipidananya suatu badan hukum, suatu
perkumpulan atau badan (korporasi) lain. Menurut pasal ini yang dapat dipidana adalah
orang yang melakukan sesuatu fungsi dalam sesuatu korporasi. Seorang anggota
pengurus dapat membebaskan diri, apabila dapat membuktikan bahwa pelanggaran itu
dilakukan tanpa ikut campurnya.
3. Dalam KUHP juga ada pasal lain yang kelihatannya juga menyangkut korporasi sebagai
subjek hukum, akan tetapi disinipun yang diancam pidana adalah orang bukan
korporasinya. Contoh pasal 169 : ikut serta perkumpulan yang terlarang dan juga pasal
398 dan 399, mengenai pengurus atau komisaris perseroan terbatas dan sebagainya yang
dalam keadaan pailit merugikan perseoraaannya.
4. Dalam undang-undang darurat tentang pengusutan, penuntutan dan peradilan tindak
pidana ekonomi.
Pasal 15 undang-undang darurat yang bersangkutan selengkapnya berbunyi:
1. Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum,
suatu perseroan, suatu perserikatan orang yang lainnya atau suatu yayasan maka
tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan,
baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau pidana ekonomi itu atau
yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu, maupun
terhadap kedua-keduanya.
2. Suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atas nama suatu badan hukum, suatu
perseroan, suatu perserikatan orang atau suatu yayaasan, jika tindak pidana itu
dilakukan oleh orang-orang yang baik bersadar hubungan kerja, maupun berdasar
hubungan lain, bertindak dalam lingkunganbadan hukum, perseroan, perserikatan
atau yayasan itu, tak peduli apakah orang-orang itu masing-masing tersendiri
melakukan tindak pidana ekonomi itu atau pada mereka bersama ada anasir-anasir
tindak pidana tersebut.selanjutnya dalam pasal 15 tersebut ada aturan: kepada siapa
tuntutan itu diajukan. Ketentuannya berbunyi demikian:
3. Jika suatu tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu badan hukum, suatu
perseroan,suatu perserikatan orang atau yayasan, maka badan hukum perseroan,
14
perserikatan atau yayasan itu pada waktu penuntutatn itu diwakili oleh seseorang
pengurus atau jika ada lebih dari seorang dari seorang pengurus, oleh salah seorang
dari mereka itu. Wakil dapat diwakili oleh orang lain.
4. Jika suatu tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu badan hukum, suatu perseroan,
suatu perserikatan orang, atau suatu yayaasan, maka segala panggilan untuk
menghadap dan segala penyerahan surat panggilan untuk menghadap dan segala
penyerahan surat panggilan akan dilakukan kepada pengurus atau ditempat pengurus
bersidang atau berkantor.
Kesimpulan mengenai soal subjek tindak piadan:
Disamping manusia juga badan hukum,perkumpulan, perikatan, atau korporasio dapat
menjadi subjek tindak pidana, apabila secara khusus ditentukan dalam undang-undang untuk
delik tertentu. Misalnya seperti yang tercantum dalam undang-undang tindak pidana ekonomi
dan pembarantasan kegiatan subversi (No. 11/1963
Jenis-jenis tindak pidana
a) Kejahatan dan pelanggaran.
Kejahatan => lebih berat artinya perbuatan melawan hukum yang lebih berat sanksi nya jika
benar dilakukannya karena bersifat kualitatif diatur dalam Undang-undang (wetsdelicten) .
Pelanggaran => lebih ringan artinya perbuatan pelanggaran yang sanksi nya tidak terlalu berat
misalnya pelanggaran dalam berlalu lintas tidak memakai helm saat dijalan raya tidak
menimbulkan suatu pidan penjara
.b) Keaengajaan dan kealpaan (kelalaian)
Kesengajaan => jika memang hal ini sengaja atau dengan adanya sebuah keniatan maka
perbuatan ini bisa dinyatakan dalam perbuatan tindak pidana,misalnya dengan sengaja
menusuk kan pisau ke tubuh orang lain.
Kelalaian => kekurang hati-hatian atau kecerobohan,misalnya dalam berlalu lintas sehingga
menimbulkan suatu pelanggaran
c) Delik
commisionis
=>
perbuatan
yang
melanggar
undang-undang
Delik ommisionis => perbuatan yang harus dilakukan misalnya menolong atau juga dalam
pasal 164,165,dan 224 KUHP
Delik commisionis per ommisionem commisa =>pelanggaran larangan yang melanggar
undang-undang namun tidak berbuat apa-apa. Contohnya; ibu yang tidak memberikan makan
anaknya hingga mati,secara tidak langsung tidak berbuat namun menimbulkan akibat yakni
15
kematian.
d) Delik formil => menitik pada perbuatannya,misalnya pencurian helm artinya berbuat
padaingin memiliki barabg yakni helm.
Delik materiil => menitik berat pada akibatnya,misalnya pembunuhan artinya ketika sudah
berbuat akibatnya adalah kematian. (sebab akibat/kausal)
I.
II.
HAND OUT
Identitas mata kuliah
Nama mata kuliah
: Hukum Pidana
Kode /bobot
: PKN 304/2 sks
Jurusan program studi
: P.IPS/PKN
Dosen Pembina
: Susi Delmiati, SH. MH
Pokok pembahasan
Berlakunya Hukum Pidana Baik Menurut Waktu dan Tempat
Pembahasan
Berlakunya Hukum Pidana Menurut Waktu Dan Tempat
16
17
1. usia pelaku (pasal 47KUHP) dan usia korban untuk delik susila(pasal 287 ayat 2 dan
pasal 290 dan 291)
2. keadaan jiwa pelaku ( pasal 44 KUHP)
3. daluarsa dalam penuntutan dan menjalani pidana ( pasal 78-85 KUHP)
4. asas legalitas pasal 1 ayat 1 KUHP)
5. perubahan suatu undang-undang pidanapasal 1 ayat 2 KUHP)
6. sebagai syarat mutl;aksahnya surat dakwaan.
B. Dari Segi Waktu
a. Asas LegalitasSecara Hukum Asas legaliatas terdapat di pasal 1 ayat (1) KUHP: Tiada
suatu perbuatan dapat di pidana, kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundangundangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan
b. Asas transitoir
Adalah asas yang menentukan berlakunya suatu aturan hukum pidana dalam hal terjadi
atau ada perubahan undang-undang
c. Asas retroaktif
Asas retroaktif ialah suatu asas hukum dapat diberlakukan surut. Artinya hukum yang aru
dibuat dapat diberlakukan untuk perbuatan pidana yang terjadi pada masa lalu sepanjang
hukum tersebut mengatur perbuatan tersebut, misalnya pada pelanggaran HAM berat.
18
semua negara menganut asas ini, termasuk Indonesia. Yang menjadi patokan ialah tempat
atau wilayah sedangkan orangnya tidak dipersoalkan.
Asas wilayah atau teritorialitas ini tercantum di dalam pasal 2 dan 3 KUHP:
Pasal 2 yang berbunyi: Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi
setiap
orang
yang
melakukan
perbuatan
pidana
di
dalam
Indonesia.
Pasal 3 yang berbunyi: Aturan pidana perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap
orang yang di luar Indonesia melakukan perbuatan pidana di dalam kapal Indonesia.
2. Asas Personalitas atau Asas Nasionalitas Aktif
Asas personalitas ini bertumpu pada kewarganegaraan pembuat delik. Hukum pidana
Indonesia mengikuti warganegaranya kemana pun ia berada. Asas ini bagaikan ransel yang
melekat pada punggung warga negara Indonesia kemana pun ia pergi. Inti asas ini
tercantum di dalam pasal 5 KUHP.
3. Asas Perlindungan atau Asas Nasionalitas Pasif
Asas nasional pasif ialah suatu asas yang memberlakukan KUHP terhadap siapa pun
juga baik WNI maupun WNA yang melakukan perbuatan pidana di luar wilayah Indonesia.
Jadi
yang
diutamakan
adalah
keselamatan
kepentingan
suatu
negara.
Asas ini menentukan bahwa hukum pidana suatu negara (juga Indonesia) berlaku terhadap
perbuatan-perbuatan yang dilakukan di luar negeri, jika karena itu kepentingan tertentu
terutama kepentingan negara dilanggar di luar wilayah kekuasaan negara itu. Asas ini
tercantum di dalam pasal 4 ayat 1, 2, dan 4 KUHP.
19
HAND OUT
I. Identitas mata kuliah
II.
: Hukum Pidana
: PKN 304/2 sks
: P.IPS/PKN
: Susi Delmiati, SH. MH
21
22
HAND OUT
I. Identitas mata kuliah
II.
: Hukum Pidana
: PKN304/2 sks
: P.IPS/PKN
: Susi Delmiati, SH. MH
(yang
dirugikan)
mengadukanya.
Bila
tidak
ada
24
HAND OUT
I. Identitas mata kuliah
Nama mata kuliah
Kode /bobot
Jurusan program studi
Dosen Pembina
: Hukum Pidana
: PKN304/2 sks
: P.IPS/PKN
: Susi Delmiati, SH. MH
II.Pokok pembahasan
Pemidanaan
Pembahasan
PIDANA DAN PEMIDANAAN
1. Pengertian pidana
Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang pada dasarnya dapat diartikan sebagai suatu
penderitaan (nestapa) yang sengaja dikenakan/dijatuhkan kepada seseorang yang telah
terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana. Para ahli hukum di Indonesia membedakan
istilah hukuman dengan pidana. Istilah hukuman adalah istilah umum yang dipergunakan
untuk semua jenis sanksi baik dalam ranah hukum perdata, administratif, disiplin dan pidana,
25
sedangkan istilah pidana diartikan secara sempit yaitu hanya sanksi yang berkaitan dengan
hukum pidana
Berikut ini beberapa Pengertian Pidana Menurut para Ahli:
Van Hamel: Pidana adalah suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan
oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai
penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni sematamata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus
ditegakkan oleh negara.
Simons: Pidana adalah suatu penderitaan yang oleh undang-undang pidana telah
dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim
telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah.
a. Teori-teori pemidanaan
Menurut Satochid Kartanegara dan pendapat-pendapat para ahli hukum terkemuka dalam
hukum pidana, mengemukakan teori pemidanaan atau penghukuman dalam hukum pidana
dikenal ada tiga aliran yaitu:
1. Absolute atau vergeldings theorieen (vergelden/imbalan)
Aliran ini mengajarkan dasar daripada pemidanaan harus dicari pada kejahatan itu
sendiri untuk menunjukkan kejahatan itu sebagai dasar hubungan yang dianggap sebagai
pembalasan, imbalan (velgelding) terhadap orang yang melakukan perbuatan jahat. Oleh
karena kejahatan itu menimbulkan penderitaan bagi si korban.
2. Relative atau doel theorieen (doel/maksud, tujuan)
Dalam ajaran ini yang dianggap sebagai dasar hukum dari pemidanaan adalah bukan
velgelding, akan tetapi tujuan (doel) dari pidana itu. Jadi aliran ini menyandarkan hukuman
pada maksud dan tujuan pemidanaan itu, artinya teori ini mencari mamfaat daripada
pemidanaan (nut van de straf)
3. Vereningings theorieen (teori gabungan)
Teori ini sebagai reaksi dari teori sebelumnnya yang kurang dapat memuaskan
menjawab mengenai hakikat dari tujuan pemidanaan. Menurut ajaran teori ini dasar hukum
26
dari pemidanaan adalah terletak pada kejahatan itu sendiri, yaitu pembalasan atau siksaan,
akan tetapi di samping itu diakuinya pula sebagai dasar pemidanaan itu adalah tujuan
daripada hukum
3. Jenis-Jenis pidana dan tindakan
Bentuk-bentuk hukuman pada dasarnya telah diatur dalam buku 1 KUHP bab ke-2
dimulai dari Pasal 10 sampai dengan Pasal 43. KUHP sebagai induk atau sumber utama
hukum pidana telah merinci dan merumuskan tentang bentuk-bentuk pidana yang berlaku di
Indonesia. Bentuk-bentuk pidana dalam KUHP disebutkan dalam Pasal 10 KUHP. Dalam
KUHP pidana dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu: pertama, pidana pokok dan kedua,
pidana tambahan.
Pidana pokok terdiri dari (Hoofd Straffen):
A. Pidana mati
B. Pidana penjara
C. Pidanan kurungan
D. Pidana denda
Pidana pokok dalam hukum pidana militer tidak berbeda cuma dalam penerapan pidana
tambahan sedikit berbeda .
Adapun pidana tambahan terdiri dari (Bijkomende Straffen):
A. Pidana pencabutan hak-hak tertentu
B. Pidana perampasan barang-barang tertentu
C. Pidana pengumuman keputusan hakim.
27
28
1. seseorang yang pada saat melakukan perbuatannya umurnya belum 18 tahun, masingmasing tanggung waktu daluarsa di atas dikurangi menjadi 1/3 (Pasal 78 ayat 2 KUHP)
2. Tenggang waktu daluarsa mulai berlaku pada hari seseudah perbuatan dilakukan, kecuali
dalam hal-hal tertentu yang disebut dalam pasal tersebut.
4.Penyelesaian di luar siding
Penyelesaian perkara pidana diluar sidang pengadilan, pada dasarnya tidak bisa
dipisahkan dari asas oportunitas (diskresi) yang dimiliki oleh aparat penegak hukum yang
berwenang. Hal ini bermula pada asas legalitas yang menyatakan semua tindak pidana yang
dilakukan oleh seseorang haruslah dipertanggungjawabkan dengan cara diselesaikan di
pengadilan. Kedua asas tersebut berada dalam posisi yang saling berlawanan, di satu pihak
asas legalitas menghendaki dilakukannya penuntutan terhadap semua perkara ke pengadilan,
tanpa terkecuali. Sedangkan disisi lain asas oportunitas memberikan peluang bagi penuntut
umum untuk tidak melakukan penuntutan perkara pidana di pengadilan.
Seseorang dihukum pada dasarnya karena telah melakukan perbuatan jahat atau
melanggar suatu peraturan perundang-undangan. Dan atas kejahatan yang telah dilakukannya
itu maka ia wajib dimintakan pertanggungjwabannya dimuka pengadilan. Akan tetapi semakin
berkembangnya zaman dan juga peradaban manusia membuat tidak semua tindak pidana atau
delict untuk masuk pada sidang pengadilan. Maka masing-masing Negara memiliki caranya
tersendiri untuk menyelesaikan suatu perkara pidana diluar sidang pengadilan. Khususnya di
Negara yang coba penulis deskripsikan dan analisa, yaitu Indonesia, Belanda dan Amerika
Serikat.
Ide dasar dari adanya penyelesaian perkara diluar pengadilan dalam perkara pidana
adalah dikaitkan dengan sifat hukum pidana itu sendiri. Hukum pidana bersifat Ultimum
Remedium, Sedapat mungkin dibatasi, artinya kalau bagian lain dari hukum itu tidak cukup
untuk menegaskan norma-norma yang diakui oleh hukum, barulah hukum pidana diterapkan.
b) harus ada jalan lain untuk menghalau serangan atau ancaman serangan pada saat itu, dan
c) perbuatan pembelaan harus seimbang dengan sifatnya serangan atau ancaman serangan.
Bagaimana kalau ada orang mengira ada serangan, padahal senyatanya tidak, dan dia
melakukan pembelaan terpaksa menurut pasal 49 ayat (1) tersebut ? ---- Perbuatan ini
dinamakan pembelaan terpaksa yang putatif yang hanya dalam pikirannya sendiri saja tapi
sesungguhnya tidak ada apa-apa. Perbuatan ini tetap salah, hanya saja 'salah sangka' atau
salah terkanya' harus dibuktikan dulu.
3. Melaksanakan perintah jabatan
merupakan salah satu alasan menghapus pidana yang dikenal dalam KUHP. Alasan
penghapus pidana dalam KUHP meliputi alasan pembenar (rechtvaardigingsgrond) dan
alasan pemaaf (schulduitsluitingsgrond). Melaksanakan perintah jabatan termasuk bagian
dari alasan pembenar. Alasan lainnya adalah keadaan darurat (noodtoestand), pembelaan
terpaksa (noodweer), dan melaksanakan perintah undang-undang. Alasan penghapus pidana
juga dikenal dalam perundang-undangan di luar KUHP.
Rumusan tentang perintah jabatan (ambtelijk bevel) diatur dalam pasal 51 KUHP. Ayat
(1) pasal ini menyebutkan barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah
jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana. Selanjutnya, ayat (2)
menyatakan perintah jabatan tanpa wewenang tidak menyebabkan hapusnya pidana kecuali
jika yang diperintah, dengan iktikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan
wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya
HAND OUT
I. Identitas mata kuliah
Nama mata kuliah
Kode /bobot
Jurusan program studi
Dosen Pembina
: Hukum Pidana
: PKN304/2 sks
: P.IPS/PKN
: Susi Delmiati, SH. MH
II.Pokok pembahasan
Masalah Politik Kriminal
Pembahasan
Masalah Politik Kriminal
31
32
a.
b.
Secara sederhana dapatlah dibedakan, bahwa upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur
penal
lebih
menitik
beratkan
pada
sifat
repressive
Proses
dekriminalisasi
adalah
suatu
proses
dimana
suatu
perbuatan
yang
system
hukum
perdata,
system
hukum
administrasi
dan
seterusnya.
Didalam proses depenalisasi timbul suatu kesadaran bahwa pwmidanaan sebenarnya merupakan
ultimatum remidium.
Oleh karena itu terhadap perilaku tertentu yang masih dianggap melawan atau melanggar
hukum dikenakan sanksi-sanksi negatif non pidana yang apabila tidak efektif akan diakhiri
dengan sanksi pidana sebagai senjata terakhir dalam keadaan darurat. Hal ini berarti bahwa
hukum pidana dan sistemnya merupakan suatu hukum darurat (noodrecht) yang seyogianya
diterapkan pada instansi terakhir.
34