You are on page 1of 6

ASSESSMENT OF VARIOUS

LABORATORY DIAGNOSTIC METHODS


FOR CUTANEOUS TUBERCULOSIS: A
RETROSPECTIVE ANALYSIS

Poonam Singh, Manisha Bhargava


Pendahuluan
Salah satu tantangan pada diagnostik patologi adalah pencarian akteri
bacilli pada lesi cutaneus tuberculosis. Semua metode diagnostik memiliki
sensitifitas dan spesifikasi yang rendah

pada tampilan infeksi di kulit

dibandingkan pada infeksi di paru. Mengingat bahwa eritema nodosum atipikal


dan tampilan non spesifik yang tidak biasa, dan juga tampilan secara histopatologi
mungkin tidak jelas, Para tenaga medis harus melakukan semua pemeriksaan yang
memungkinkan, sehingga dapat mengumpulkan semua hasil pemeriksaan yang
dapat menjadi dasar diagnosis, dengan demikian dapat meminimalisir jumlah obat
yang diberikan atau obat yang berdasarkan hasil positif uji tuberkulin. Selain
keharusan untuk tuberculin skin test dan rontgen thoraks pada semua pasien, jika
dibandingkan dengan diagnosis cutaneus tuberculosis, lebih penting untuk
mengumpulkan hasil-hasil dari pemeriksaan histopatologis dan sampel terpisah
dari basil tahan asam melalui kultur dan amplifikasi dari DNA mycobacterium
Tuberculosis dengan pemeriksaan PCR melalui sampel darah. Untuk
meningkatkan akurasi dari diagnosis dari cutaneus tuberculosis, beberapa metode
diagnostik laboratorium telah direvisi dengan metode yang memiliki sensifitas
dan spesifisitas lebih tinggi. Akhirnya, kita mengevaluasi hasil laboratorium dari
spesimen biopsi kulit, pada hasil inilah diagnosis cutaneus tuberculosis
dikonfirmasi.

Bahan & Metode


Penelitian terbaru melibatkan 22 spesimen biopsi kulit yang dikumpulkan
kepada departemen patologi umum dari 2011 hingga 2014 dan diproses dengan
pewarnaan AFB, kultur pertumbuhan pada media kultural mycobacterium dan
evaluasi PCR. Biopsi punch kulit dilakukan pada bagian aktif pada lesi yang
secara klinis dicurigai untuk CTB dan dibagi menjadi dua bagian, satu bagian
diproses untuk evaluasi histopatologi dan bagian lainnya digunakan untuk
pemeriksaan mikroskopik dari AFB dan inokulasi untuk isolasi mycobacteria.
Satu biopsi kulit lebih diperiksa dengan PCR ketika tersedia. Spesimen dibawa ke
laboratorium dalam kondisi septik dan diwarnai dengan pewarnaan cepat Asam.
Media LwensteinJensen diinkubasi pada 37C and 25C dan diperiksa
pertumbuhannya setiap minggu. Jika tidak ada pertumbuhan yang diamati setelah
8 minggu dari inkubasi, spesimen dilaporkan memiliki kultur negative. Teknik
PCR digunakan digunakan untuk penilaian urutan dan mutasi di bagian inti yang
berkaitan dengan resistensi rifampisin. Seluruh hasil dianalisis dengan software
SPSS. Tes chi-square digunakan untuk menilai tingkat signifikansi.

Hasil
Tabel 1 menunjukkan hasil uji laboratorium dari pasien yang terdiagnosis
dengan CTB. 9 dari 22 pasien dinyatakan positif menderita CTB melalui
perbaikand dari M. tuberkulosis dalam kultur dan/atau penegasan histopatologi.
Seluruh 9 pasien tersebut menunjukkan pola pewarnaan negated untuk pewarnaan
AFB. Lima dari sembilan pasien menunjukkan karakteristik pertumbuhan kultur
yang positif. Tabel 2 menyoroti analisis PCR dari pasien yang didiagnosis dengan
CTB. Seluruh pasien menunjukkan temuan CTB positif yang kompatibel dengan
diagnosis CTB. Hanya tiga pasien dari 9 pasien yang menunjukkan teknik PCR
dengan hasil positif. Tabel 3 menunjukkan variasi morfologi dari pasien yang

didiagnosis dengan CTB. Tuberkulosis verukosis kutis adalah varian biologis


umum yang paling banyak dideteksi.
Tabel 1. Data Laboratorium dari pasien yang didiagnosis dengan CTB

Tabel 2. Analisis PCR dari pasien yang didiagnosis dengan CTB

Tabel 3. Varian morfologi dari pasien yang didiagnosis dengan CTB

Diskusi
Salah satu mikro-organisme menular yang terdapat di seluruh dunia,
menjadi permasalahan, dan patogen menular yang semakin dianggap penting,
serta infeksi serius di Amerika Serikat adalah Mycobacterium tuberkulosis.
Faktor-faktor seperti asosiasi tuberkulosis (TB) dengan epidemi human
immunodeficiency virus (HIV), meningkatnya imigrasi dari negara-negara
endemik, dan transmisi TB pada tempat yang padat, seperti fasilitas kesehatan,
penjara, dan tempat penampungan tunawisma bertanggung jawab sebagai hal
yang mendasari epidemik baru-baru ini.5-8 Kebanyakan TB merupakan penyakit
yang ditularkan melalui udara dengan manifestasi kulit yang tampak merupakan
hasil dari penyebaran secara hematogen atau ekstensi langsung dari fokus laten
atau aktif dari infeksi. Namun, inokulasi primer dapat terjadi sebagai pengenalan
langsung dari mycobacterium ke dalam kulit atau mukosa dari individu yang
rentan oleh trauma atau cedera. Peningkatan risiko dari penularan penyakit terjadi
dengan infeksi HIV, penyalahgunaan obat intravena, diabetes mellitus, terapi
imunosupresif, keganasan, penyakit ginjal stadium akhir, dan bayi. Cutaneous
tuberkulosis (CTB) sering sulit dipahami karena dapat meniru berbagai gejala
hingga memiliki diagnosis banding yang luas dan juga dapat menghindar dari
konfirmasi biologis meskipun telah terdapat kemajuan baru dalam berbagai
teknik.9 Terdapat hal ini penting bagi patolog yakni agar memiliki pengetahuan
tentang variasi biologis dan morfologi dari CTB sehingga diagnosis yang benar

dapat ditentukan dengan secepat mungkin.10 Oleh karena itu; penulis


mengevaluasi hasil laboratorium dari spesimen biopsi kulit, di mana diagnosis
akhir dari CTB telah dikonfirmasi.
Konfirmasi diagnosis dari TB dilakukan dengan mendeteksi AFB dan/atau
mengisolasi M. tuberkulosis dari spesimen biopsi.11 Pewarnaan AFB didapatkan
negative dari 9 pasien yang memiliki hasil positif untuk diagnosis CTB di
penelitian terbaru (Tabel 1). Media berbasis telur (Lwenstein Jensen) dan media
semisintetik dengan agar merupakan media kultur yang paling umum digunakan
untuk mengisolasi M. tuberkulosis.12 Dari teknik PCR didapatkan hasil positif
pada dua hingga tiga kasus. Tuberkulosis kutis verukosa merupakan varian
morfologi yang paling sering diidentifikasi dari CTB (Tabel 2, Tabel 3). Afsar et
al mengevaluasi hasil dari tes laboratorium diagnostik yang tersedia untuk CTB.
Mereka mengamati bahwa dari 26 spesimen biopsi, 11 dikonfirmasi sebagai CTB
melalui identifikasi karakteristik kultur dan/atau penegasan histopatologi. Dari
hasil yang didapatkan, mereka menyimpulkan bahwa tingkat pemulihan
Mycobacterium tuberkulosis kompleks dari spesimen biopsi ditemukan
memuaskan untuk CTB yang berkorelasi dengan histopatologi, tetapi kombinasi
dari kultur dengan metode cepat, PCR, dapat meningkatkan tingkat diagnostik.13
Tan et al mengevaluasi peranan dari polymerase chain reaction (PCR) untuk
mendeteksi DNA Mycobacterium tuberkulosis sebagai bantuan diagnostik pada
tuberkulosis kutan menggunakan spesimen biopsi kulit yang telah diproses
dengan rutin. Dari hasil tersebut, mereka menyimpulkan bahwa peranan PCR
pada praktik dermatologi klinis, pada tahap ini, mungkin dapat membedakan
antara tuberkulosis kutan dan infeksi mycobacterial atipik dalam konteks seorang
pasien immunocompromised di mana AFB dapat memiliki hasil negatif.14 Hsiao et
al mengevaluasi insiden dari tuberkulosis kutan dan infeksi mycobacterial atipik
pada inflamasi granulomatosa yang tidak jelas dan hasil negative pada AFB, serta
menganalisis pola dari tuberculosis kutan pada kelompok pasien ini. Mereka
menyimpulkan bahwa spesimen dengan inflamasi granulomatosa, maka
tuberkulosis kutan menampilkan proporsi yang signifikan.15

Kesimpulan
Dari hasil di atas, dapat disimpulkan bahwa kombinasi dari kultur,
pewarnaan, dan teknik PCR seharusnya digunakan untuk meningkatkan spesifitas
dan sensitivitas dari metode diagnostik untuk mendiagnosis CTB.

You might also like