You are on page 1of 25

DAFTAR ISI

Daftar Isi
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1.

Latar
Belakang....................................................................................................................2
Rumusan

1.2.

Masalah...............................................................................................................4
1.3.
Tujuan
dan

Manfaat

Penulisan...........................................................................................4
1.4.

Sistematika
Penulisan.........................................................................................................5

BAB 2. LANDASAN KONSEPTUAL.................................................................................6


BAB 3. PEMBAHASAN
3.1.

Krisis

Rohingya...........................................................................................8
Dilema ASEAN: Prinsip Non intervensi dan Kasus
Rohingya.........................................13
3.3.
Meninjau
Ulang
Prinsip
Non

Kemanusiaan

3.2.

Intervensi

ASEAN.............................................................16
BAB 4. KESIMPULAN.........................................................................................................19
Daftar Pustaka..........................................................................................................................22

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang

Beberapa waktu lalu, gelombang pengungsi etnis minoritas Rohingya dari Myanmar
dan juga migran dari Bangladesh, menjadi pemberitaan media massa nasional dan
internasional. Para pengungsi dan migran tersebut mendatangi Indonesia, Malaysia dan
Thailand. Di Indonesia sendiri, para pengungsi dan imigran itu memakai perahu dan
terdampar di Aceh dan Sumatera Utara dalam empat gelombang. PBB memperkirakan setiap
tahun ribuan pengungsi Rohingya asal Myanmar dan migran asal Bangladesh berlayar
menuju Malaysia dan Indonesia dengan kapal-kapal dari sindikat perdagangan manusia.1
Rohingya merupakan nama sebuah etnis yang mendiami wilayah Arakan, sebelah barat
Myanmar dan berbatasan langsung dengan Bangladesh. Etnis Rohingya merupakan satu dari
135 etnis yang ada di Myanmar. Etnis Rohingya mendapatkan predikat dari PBB sebagai the
most persecuted minority dan mendapatkan julukan sebagai the Gypsies of Asia.2 Predikat
tersebut muncul karena etnis ini banyak mendapatkan tindak diskriminasi baik dilakukan oleh
warga atau bahkan oleh pemerintahnya.
Memang pada awalnya, kasus Rohingya ini merupakan masalah domestik Myanmar
yang tidak kunjung selesai. Namun, karena penyelesaian yang berlarut-larut itu pula dan tidak
adanya iktikad baik dari Pemerintah Myanmar yang membawa kasus ini pada akhirnya
menjadi isu regional dan internasional. Etnis Rohingya merupakan etnis minoritas di
1 Masalah Pengungsi Rohingya, Indonesia dan ASEAN, Info Singkat Hubungan Internasional,
diakses pada 15 Januari, 2016, http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/info_singkat/Info%20SingkatVII-10-II-P3DI-Mei-2015-7.pdf.
2 The Most Persecuted Minority in the World: The Gypsies of Asia, TheWorld Crunch, diakses pada 15 Januari,
2016, http://www.worldcrunch.com/mobile/#a:5701.

Myanmar yang tidak diakui sebagai warga negara Myanmar oleh Pemerintahannya. Maka
dari itu, Pemerintah Myanmar seringkali menyiksa dan berusaha mengusir etnis ini dari
Myanmar. Hal ini yang menjadikan pengungsi Rohingya berdatangan ke negara-negara
sekitar Myanmar dan menciptakan masalah keamanan regional. Selain itu, kasus Rohingya
ini juga menjadi perhatian karena pelanggaran HAM yang dilakukan Pemerintah Myanmar
terhadap etnis Rohingya. Diskriminasi yang diterapkan Pemerintah Myanmar terhadap warga
Rohingya dinilai masyarakat internasional jauh lebih buruk daripada segregasi rasial ala
Apartheid di Afrika Selatan. Kebijakan diskriminatif, termasuk tidak diakuinya warga
Rohingya sebagai warga negara dalam konstitusi Myanmar, disebut sebagai akar persoalan
krisis kemanusiaan ini. Pada tahun 2014, Pemerintah Myanmar melarang penggunaan istilah
Rohingya dan mendaftarkan orang-orang Rohingya sebagai orang Bengali dalam sensus
penduduk saat itu. Pada bulan Maret 2015 Pemerintah Myanmar mencabut kartu identitas
penduduk

bagi

orang-orang

Rohingya

yang

menyebabkan

mereka

kehilangan

kewarganegaraannya dan tidak mendapatkan hak-hak politiknya. Situasi yang tidak kondusif,
ditambah dengan sejarah konflik dan kerusuhan rasial yang pernah terjadi sebelumnya yang
melibatkan suku Rakhine dan Rohingya, semakin menambah kekhawatiran orang-orang
Rohingya akan keamanan mereka jika tetap bermukim di Myanmar.3
Walaupun mendapat kecaman keras dari dunia internasional, sikap negara-negara
khususnya yang didatangi oleh pengungsi Rohingya, berbeda-beda. Seperti Australia yang
walaupun mengecam keras kekejaman yang dilakukan Pemerintah Myanmar, namun Perdana
Menteri Australia, Tony Abbott pada saat itu menegaskan bahwa tidak akan menerima
pengungsi Rohingya masuk ke dalam wilayah Australia dan menyebut hal ini sebagai
masalah ASEAN dengan Myanmar sebagai sumber persoalannya. Hal ini dikarenakan demi
kepentingan masalah keamanan dan stabilitas nasional. Namun, Perdana Menteri Tony
Abbott lebih jauh menjelaskan, Australia tetap bersedia membantu dan menyebutkan bahwa
bantuan tambahan telah diberikan kepada Myanmar. Bantuan tambahan ini, berjumlah 6 juta
dollar, ditujukan untuk proyek kemanusiaan di Rakhine yang banyak dihuni oleh etnis
Rohingya.4
3 Ibid.
4 Australia Tegaskan Tidak Akan Menampung Migran Rohingya, Kompas.com, diakses pada 15
Januari, 2016,
http://internasional.kompas.com/read/2015/05/22/06270031/Australia.Tegaskan.Tidak.Akan.Menamp
ung.Migran.Rohingya.
3

Indonesia dan Malaysia lebih berkemanusiaan dalam menghadapi pengungsi


Rohingya. Walaupun pada awalnya kedua negara sempat menyatakan untuk tidak
menampung pengungsi Rohingya, namun pertemuan antara Menlu Indonesia, Malaysia dan
Thailand menghasilkan keputusan yang berbeda. Walaupun Thailand masih tetap pada
keputusan untuk tidak menampung pengungsi Rohingya dengan alasan tidak memungkinkan
bagi negaranya, Pemerintah Indonesia dan Malaysia menyatakan siap menampung para
pengungsi dan pendatang yang terapung-apung di laut asalkan mereka ditempatkan di negara
ketiga atau dipulangkan dalam waktu satu tahun. Kedua negara juga sepakat untuk
memberikan bantuan kemanusiaan kepada sekitar 7.000 migran yang saat ini masih berada di
laut. Sudah ada tiga rombongan yang terdampar di Aceh sejak 10 Mei 2015. Rombongan
pertama yang datang pada 10 Mei 2015 berjumlah sedikitnya 500 orang. Selang lima hari
kemudian, sebanyak 210 pengungsi asal Myanmar dan 395 orang dari Banglades mendarat di
Pantai Langsa dan yang terakhir rombongan ketiga pengungsi mendarat di Kecamatan Julok,
Aceh Timur. Rombongan kali ini mencakup 433 orang pengungsi. Mereka terdiri dari 293
pria, 70 wanita dan 70 anak-anak.5
Tentu saja baik Indonesia dan Malaysia mendesak ASEAN untuk dapat
menyelesaikan permasalahan pengungsi ini. Selain pendekatan secara bilateral antara
Indonesia dan Myanmar maupun Bangladesh, Indonesia menganggap peran ASEAN begitu
penting untuk mendesak Myanmar menyelesaikan masalah domestiknya ini. Namun, hasil
dari beberapa kali pertemuan yang dilakukan ASEAN untuk membahas kasus Rohingya
sepertinya tidak terlalu signifikan dalam mengatasi kasus ini. Dikarenakan ASEAN terbentur
oleh peraturannya sendiri mengenai non intervensi masalah domestik negara anggota.
Myanmar yang belum mempunyai iktikad baik untuk mengembalikan hak Rohingya sebagai
warga negaranya pun selalu memakai prinsip ini sebagai senjatanya dalam beberapa
pertemuan.
1.2.

Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis mengajukan pertanyaan penelitian,


yaitu: Bagaimana prinsip non intervensi ASEAN mempengaruhi upaya ASEAN dalam
penyelesaian kasus Rohingya?
5 Indonesia dan Malaysia Ajukan Syarat untuk Tampung Pengungsi Rohingya, BBC Indonesia,
diakses pada 16 Januari, 2016,
http://internasional.kompas.com/read/2015/05/20/18380141/Indonesia.dan.Malaysia.Ajukan.Syarat.u
ntuk.Tampung.Pengungsi.Rohingya.
4

1.3.

Tujuan dan Manfaat Penulisan

Makalah ini disusun dengan tujuan untuk menjabarkan lebih lanjut mengenai
bagaimana dilema ASEAN dalam penyelesaian kasus Rohingya terkait prinsip non
intervensinya dan diharapkan dapat bermanfaat untuk dijadikan pengetahuan dan informasi
bagi teman-teman mahasiswa atau pembaca dengan memberikan informasi mengenai kasus
yang diangkat oleh penulis.

1.4.

Sistematika Penulisan

1.BAB 1.
Pada bab pertama makalah ini akan berisi pendahuluan yang akan membahas tentang
latar belakang masalah yang akan di bahas, masalah-masalah yang akan dijawab dalam
pembahasan, tujuan dan manfaat dari penulisan makalah ini.
2.

BAB 2.

Pada bab kedua makalah ini akan berisi tentang kerangka pemikiran yang
berhubungan dengan apa yang ada dalam pembahasan makalah ini.
3.

BAB 3.

Pada bab ketiga makalah ini akan berisi tentang isi, yaitu pembahasan masalah yang
diajukan dalam bab 1. Penjabaran dari teori-teori yang ada dalam bab 2. Serta adanya analisa
penulis tentang masalah yang diangkat dalam makalah.
4.

BAB 4.

Pada bab keempat makalah ini akan berisi tentang kesimpulan yang dapat diambil dari
semua pembahasan yang sudah dituliskan dalam makalah.

BAB 2
LANDASAN KONSEPTUAL
Dalam buku Regions and Powers: The Structure of International Security Buzan &
Waever,6 dikemukakan suatu konsepsi yang dikenal sebagai regional security complex
theory. Konsep regional security complex ini menjelaskan bagaimana isu keamanan terkotakkotak atau terbagi-bagi kedalam wilayah-wilayah yang secara geografis memiliki kemiripan.
Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa permasalahan keamanan yang dialami oleh satu
aktor di wilayah tertentu akan sangat memengaruhi aktor-aktor lain di dalam wilayah yang
sama.
Keterkaitan antara isu keamanan antar aktor dalam satu wilayah inilah yang disebut
dengan interdependensi wilayah. Dalam kajian regional security, interdependensi keamanan
dalam satu kawasan adalah sesuatu yang tidak terhindarkan. Interdependensi muncul sebagai
percabangan subsistem dari regional security yang berakar dari sebuah mekanisme yang
responsif terhadap segala bentuk ancaman, terutama ancaman politis dan militer dalam satu
wilayah bersama. Konsepsi ini pun dapat dipahami dengan sangat mudah misalnya, di
wilayah Asia Tenggara, apabila terjadi gangguan keamanan yang signifikan disalah satu
negara anggota, maka negara yang akan merasakan dampak terbesar secara langsung,
meskipun tidak terlibat dalam prosesnya, adalah negara-negara yang berada di dekat negara
tersebut.
6 Barry Buzan dan Waever, Regions and Powers: The Structure of International Security, (New York:
Cambridge University Press, 2003) hal. 40.

Salah satu tujuan dari menciptakan konsep regional security complex adalah untuk
mengadvokasi tingkat regional sebagai salah satu yang pantas menjadi petak besar dalam
studi analisis keamanan praktis. Biasanya, ada dua level yang sangat mendominasi dalam
analisis keamanan: nasional dan global. Keamanan nasional, sebagai contoh, keamanan
Perancis, tidaklah hanya Perancis itu sendiri yang menjadi tingkat analisis. Karena dinamika
keamanan secara inheren adalah relasional, tidak ada keamanan negara yang dapat berdiri
sendiri. Tetapi, studi keamanan nasional seringkali menempatkan negaranya sendiri sebagai
pusat konteks dari analisis tanpa memahami konteks sistematis dan subsstematis dalam
negaranya. Sedangkan keamanan global lebih kepada sebuah aspirasi, bukan kenyataan.
Dunia tidak terintegrasi dalam hal keamanan dan hanya beberapa negara saja yang akan
benar-benar peduli tentang keamanan negara lainnya. Berbeda dengan keamanan regional
yang memacu pada negara-negara dan unit lainnya saling terikat satu sama lain dan
keamanan mereka tidak dapat dianalisis secara terpisah. Level regional adalah dimana dua
dominasi antara keamanan nasional dan global saling mempengaruhi.7

7 Ibid, hal. 43.


7

BAB 3
PEMBAHASAN
3.1. Krisis Kemanusiaan Rohingya
Konflik bernuansa etnis pada dasarnya merupakan masalah etnis yang dalam
kehidupan politik berada di latar belakang atau dipandang sebagai masa lampau. Pada
umumnya konflik etnis ini pecah didorong oleh berbagai kekecewaan berlarut-larut di dalam
negara nasionalnya sehingga muncul gerakan-gerakan etnis yang mengajukan beraneka
ragam tuntutan politik, minimal untuk mendapatkan perhatian dan otonomi, maksimal untuk
mendirikan negara berdasar pada kelompok etnisnya. Bukan hanya dilatarbelakangi
heterogenitas etnis saja yang menyebabkan konflik antar etnis, melainkan juga disebabkan
oleh adanya ketimpangan ekonomi, agama, superioritas etnis dan kebijakan-kebijakan yang
ditetapkan oleh pemerintah terutama kebijakan yang mengandung unsur-unsur etnisitas
(memberikan hak privilege pada etnis tertentu).8 Untuk menjelaskan sebab-sebab terjadinya
konflik internal kita juga bisa menggunakan penjelasan yang dikemukakan oleh Michael E.
Brown yang menolak penjelasan yang terlalu menyederhanakan kenyataan.9
Sebab-sebab Utama

Sebab-sebab Pemicu

8 Faktor-faktor Penyebab Konflik Etnis Rakhine dan Rohingya di Myanmar Tahun 2012, diakses
pada 17 Januari, 2016, http://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/58723/Alfi
%20Revolusi.pdf?sequence=1.
9 Michael E. Brown, The Causes and Regional Dimensions of Internal Conflict (Massachusetts: MIT
Press, 1996) hal. 577.
8

Faktor-faktor struktural

Faktor-faktor struktural

Negara yang lemah

Negara yang sedang runtuh/gagal

Kekhawatiran tentang keamanan internal

Perubahan perimbangan kekuatan militer

Geografis etnis
Faktor-faktor Politik

Perubahan pola-pola demografis


Faktor-faktor Politik

Lembaga politik yang diskriminatif

Transisi politik

Ideologi nasional yang eksklusif

Ideologi eksklusif yang semakin berpengaruh

Politik antar kelompok

Persaingan antar kelompok yang semakin

Politik elit

tajam
Pertarungan kepemimpinan yang semakin

Faktor ekonomi/sosial

tajam
Faktor ekonomi/sosial

Masalah ekonomi

Masalah ekonomi yang makin parah

Sistem ekonomi yang diskriminatif

Ketimpangan ekonomi yang makin lebar

Pembangunan ekonomi dan modernisasi

Pembangunan ekonomi dan modernisasi

Faktor Sosial Budaya

yang cepat
Faktor Sosial Budaya

Pola diskriminasi budaya

Pola diskriminasi budaya yang semakin kuat

Sejarah kelompok yang bermasalah

Penghinaan etnis dan propaganda

Perbedaan-perbedaan yang berhubungan dengan etnis dan agama merupakan masalah


yang sangat peka dan mudah menyulut konflik-konflik terbuka bahkan dapat mencapai
tingkat intensitas kekerasan yang tinggi dan menelan banyak korban jiwa seperti konflik etnis
Rakhine yang beragama Buddha dengan Rohingya yang beragama Islam di Provinsi Rakhine,
Myanmar Barat. Sejak lama warga Rohingya tak pernah diakui status dan keberadaannya
oleh Pemerintah Myanmar. Hal itu tampak jelas ketika Presiden Myanmar Thein Sein
menerima delegasi Komisi Tinggi Urusan Pengungsi PBB (UNHCR) yang dipimpin Antonio
Guterres, 11 Juli 2012 lalu. Secara terang-terangan Thein Sein menegaskan bahwa
pemerintahannya tidak mengakui keberadaan warga Rohingya sebagai warga negaranya.
Bahkan, Thein Sein menyebut keberadaan 800.000 warga Rohingya di negerinya sebagai
ancaman terhadap keamanan nasional Myanmar. Thein Sein bahkan seolah menantang
dengan mempersilakan UNHCR mengambil alih keberadaan ratusan ribu warga Rohingya.

Dia mempersilakan UNHCR menampung lalu mencarikan negara ketiga yang bersedia
menerima mereka menjadi warga negara.10
Sikap penolakan dan ketidakpedulian yang ditunjukkan Thein Sein saat bertemu
Guterres ironisnya justru secara legal dilindungi sebuah aturan perundang-undangan tentang
kewarganegaraan Myanmar tahun 1982. Dalam UU itu dinyatakan, seseorang atau kelompok
etnis hanya diakui sebagai warga asli Myanmar dan berhak atas status kewarganegaraan
hanya jika bisa membuktikan mereka punya nenek moyang yang tinggal dan hidup di
wilayah Myamar sejak tahun 1823. Ketentuan tersebut menetapkan 135 etnis di Myanmar
diakui sebagai penduduk dan warga asli Myanmar. Jumlah itu lebih sedikit dibandingkan
ketentuan serupa yang diatur dalam produk hukum pemerintah sebelumnya, yakni 144 etnis.
Dalam UU tahun 1982 itu, etnis Rohingya dan beberapa etnis minoritas lain, seperti Panthay,
Ba Shu, dan enam etnis lainnya tidak diakui. Produk hukum itu dihasilkan di masa junta
militer masih sangat berkuasa. Jauh sebelum UU itu dibuat dan disahkan, Pemerintah
Myanmar juga berkali-kali mengeluarkan kebijakan keras terhadap warga Rohingya yang
mengarah pada pelanggaran HAM berat dengan tujuan mengusir mereka keluar dari
Myanmar. Kebijakan itu berdampak sangat mengerikan terhadap warga Rohingya. Lantaran
keberadaan mereka tak diakui, warga Rohingya kehilangan banyak hak dasar sebagai warga
negara, seperti hak mendapat atau memiliki tempat tinggal, pekerjaan, dan kesejahteraan.
Kehidupan warga Rohingya pun sangat dibatasi. Mereka dilarang menikah tanpa
mengantongi izin resmi. Setelah menikah, mereka tidak diperbolehkan punya anak lebih dari
dua orang. Mobilitas warga Rohingya juga sangat dibatasi dan tidak memiliki paspor. Dengan
status mereka itu, anak-anak Rohingya juga kehilangan hak dan akses terhadap pendidikan
serta kesehatan.11 Tak heran, dengan kondisi seperti itu, UNHCR mengategorikan Rohingnya
sebagai etnis minoritas paling teraniaya di dunia.
Walaupun banyak yang beranggapan bahwa konflik Rohingya ini merupakan
persoalan agama antara Islam dan Buddha tapi sebenarnya terdapat faktor-faktor lain dibalik
itu. Seperti yang dikatakan oleh Siegfried Wolf, kepala bidang penelitian pada South Asia
Democratic Forum (SADF) di Brussel, hubungan antar agama di Myanmar adalah masalah
yang sangat kompleks. Warga Muslim, terutama Rohingya, dikonfrontasikan dengan rasa
10 Myanmar Masih seperti Dulu?, Kompas.com, diakses pada 17 Januari, 2016,
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/08/12/04045530/Myanmar.Masih.seperti.Dulu.
11 Ibid.
10

takut mendalam terhadap Islam di masyarakat dan negara yang mayoritas warganya
beragama Buddha. Warga yang fundamental mengklaim bahwa kebudayaan Buddha serta
masyarakat terdesak oleh warga Muslim. Apalagi Myanmar dikelilingi negara-negara yang
mayoritas warganya beragama Islam, seperti Bangladesh, Malaysia dan Indonesia. Warga
Rohingnya dianggap sebagai ancaman terhadap gaya hidup dan kepercayaan Buddha dan jadi
jalan menuju islamisasi Myanmar. Tapi masalah ini juga punya aspek ekonomi. Rakhine
adalah salah satu negara bagian yang warganya paling miskin, walaupun kaya sumber daya
alam. Jadi, warga Rohingya dianggap beban ekonomi tambahan jika mereka bersaing untuk
mendapat pekerjaan dan kesempatan untuk berbisnis. Pekerjaan dan bisnis di negara bagian
itu sebagian besar dikuasai kelompok elit Burma. Jadi, bisa dibilang rasa tidak suka warga
Buddha terhadap Rohingya bukan saja masalah agama, melainkan didorong masalah politis
dan ekonomis.12
Pada Juni tahun 2012 terjadi peningkatan eskalasi konflik antara etnis Rakhine dan
etnis Rohingya terkait adanya tuduhan pemerkosaan terhadap wanita etnis Rakhine. 13 Tiga
hari setelah kejadian tersebut, sejumlah 300 warga etnis Rakhine menyerang bus yang
ditumpangi warga etnis Rohingya dan menewaskan 10 orang. Pada 23 Oktober 2012 terjadi
penyerangan yang dikoordinasi oleh pemerintah Myanmar, Ethnic Rakhine Nasionalist Party
dan Pendeta Buddha. Sekitar 5.000 bangunan milik etnis Rohingya rusak akibat tindak
represi tersebut. Setidaknya sekitar 70 warga Rohingya, termasuk 28 anak-anak terbunuh di
Mrauk-U township.14 Sejak kejadian tersebut, sekitar 100.000 warga etnis Rohingya terlantar
dan mencari suaka. Gelombang pengungsian besar-besaran pertama etnis Rohingya dengan
menumpang perahu terjadi tahun 2012 disaat konflik sektarian antara warga minoritas
Muslim Rohingya dengan mayoritas Budhis di negara bagian Rakhine di Myanmar makin
memburuk. Ketika itu lebih 200 warga etnis Rohingya tewas dan 140.000 lainnya digiring ke
kamp-kamp penampungan.15 Pada tahun 2015 lalu, aksi pengungsian lebih 25.000 warga
Muslim Myanmar dengan menggunakan perahu mencuat lagi menjadi topik berita di tataran
12 Rohingya: Sebenarnya Bukan Konflik Agama, DW, diakses pada 17 Januari, 2016,
http://www.dw.com/id/rohingya-sebenarnya-bukan-konflik-agama/a-18683571.
13 B. Brady, Burmas Rohingya Muslims Targeted by Buddhist Mob Violence, The Daily Beast,
diakses pada 17 Januari, 2016, http://www.thedailybeast.com/articles/2013/06/27/burma-s-rohingyamuslims-targeted-bybuddhist-mob-violence.html.
14 Report Documents Rohingya Persecution, Al Jazeera, diakses pada 17 Januari, 2016,
http://www.aljazeera.com/news/asia-pacific/2013/04/2013421135240814468.html.
11

internasional. Masalah muncul terkait sikap pemerintah di tiga negara, yakni Thailand,
Malaysia dan Indonesia dalam menangani manusia perahu itu.
Thailand, Malaysia, dan Indonesia sempat akan menolak kapal-kapal reyot yang
dipenuhi pengungsi. Panglima TNI Jenderal Moeldoko mengatakan, Pemerintah Indonesia
tak akan membiarkan wilayah lautnya dimasuki kapal-kapal pengungsi Rohingya. Menurut
dia, bantuan kemanusiaan tetap akan diberikan kepada pengungsi yang terusir dari Myanmar
tersebut, namun tetap melarang mereka masuk apalagi menepi di daratan Indonesia. Ia juga
menuturkan bantuan akan diberikan di tengah laut, sehingga kapal-kapal yang ditumpangi
pengungsi Rohingnya tidak perlu memasuki wilayah teritori Indonesia. Patroli yang
dilakukan oleh TNI Angkatan Laut dan Angkatan Udara juga akan dikerahkan untuk menjaga
wilayah laut Indonesia tetap steril.16 Namun, Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan bahwa
Pemerintah Indonesia tidak akan menolak kedatangan para pengungsi Rohingya yang berasal
dari Myanmar dan Bangladesh. Untuk itu, Wapres meminta Tentara Nasional Indonesia yang
menjaga perbatasan wilayah tidak lagi mengusir mereka. Menurut JK, Pemerintah RI dan
Malaysia sudah sepakat untuk menampung sementara para pengungsi Rohingya. Paling lama
dalam satu tahun, kedua negara akan mencari lokasi yang tepat untuk menempatkan para
pengungsi yang tedesak ke luar dari negara asalnya karena perlakuan diskriminatif tersebut.17
Saat ini, sudah tidak tepat jika kasus Rohingya dikatakan sebagai konflik internal
Myanmar karena dampak yang ditimbulkan sudah mengganggu stabilitas keamanan regional.
Pada awal Mei 2015 silam, polisi Thailand menemukan setidaknya 30 kuburan yang diyakini
milik imigran dari Myanmar dan Bangladesh.18 Dua mayat lain yang belum dimakamkan dan
15 Inilah Profil Manusia Perahu Rohingya, DW, diakses pada 17 Januari, 2016,
http://www.dw.com/id/inilah-profil-manusia-perahu-rohingya/a-18467515.
16 Panglima TNI Tolak Kapal Pengungsi Rohingya Masuk RI, tapi Bersedia Beri Bantuan,
Kompas.com, diakses pada 17 Januari, 2016,
http://nasional.kompas.com/read/2015/05/15/20213301/Panglima.TNI.Tolak.Kapal.Pengungsi.Rohing
ya.Masuk.RI.tapi.Bersedia.Beri.Bantuan%20.
17 Wapres: TNI Tidak Boleh Lagi Tolak Pengungsi Rohingya, Kompas.com, diakses pada 17 Januari,
2016,
http://nasional.kompas.com/read/2015/05/20/17114371/Wapres.TNI.Tidak.Boleh.Lagi.Tolak.Pengung
si.Rohingya.
18 Thailand Temukan 30 Kuburan Korban Perdagangan Manusia, CNN Indonesia, diakses pada 17
Januari, 2015, http://www.cnnindonesia.com/internasional/20150501180916-106-50565/thailand12

dibiarkan membusuk di tempat terbuka juga ditemukan. Satu korban berhasil diselamatkan
dari kamp perdagangan manusia yang sudah tak digunakan lagi itu dan dibawa ke rumah
sakit. Kemudian pada 12 Mei 2015 lalu, Thailand kembali menemukan sebuah kamp
perdagangan manusia yang ditinggalkan di selatan negara itu, diduga telah menahan antara
800 hingga 1.000 orang migran. Kamp berlokasi di pegunungan berhutan, distrik Sadao,
Provinsi Songkhla yang berbatasan dengan Malaysia, berjarak 3 km dari kamp penahanan
yang pernah ditemukan sebelumnya.19 Tidak hanya Thailand, masih dibulan yang sama pada
2015 silam, polisi Malaysia juga menemukan 139 lokasi kuburan dan 28 kamp penyelundup
manusia di sebuah kawasan terpencil di wilayah utara Malaysia yang berbatasan dengan
Thailand. Kamp-kamp dan kuburan yang ditemukan itu berlokasi di tengah kawasan
pegunungan yang berhutan lebat sehingga sangat sulit itu dicapai. 20 Baik Malaysia dan
Thailand menindak tegas dan memburu semua orang yang terlibat dalam perdagangan
manusia etnis Rohingya tersebut. Selain itu, Malaysia, Thailand dan juga Indonesia yang
terkena dampak cukup besar masalah pengungsi Rohingya ini, mendorong ASEAN sebagai
organisasi regional agar bisa membantu mendorong Myanmar yang juga sebagai negara
anggota untuk menyelesaikan dan mengakui status kewarganegaraan etnis Rohingya.
3.2. Dilema ASEAN: Prinsip Non intervensi dan Kasus Rohingya
Beberapa tahun belakangan ini, isu Rohingya telah menjadi duri dalam daging bagi
ASEAN. Organisasi regional tersebut dikecam oleh sebagian kalangan karena dianggap
menutup mata atas tragedi kemanusiaan yang menimpa warga Rohingya di Myanmar.
Membeludaknya arus pendatang Rohingya ke negara-negara tetangga Myanmar di kawasan
seolah menjadi bukti akan ketidakberdayaan ASEAN dalam menyelesaikan isu pengungsi
Rohingya. Namun, mereka yang mengkritik ASEAN soal isu Rohingya kerap kali melupakan
jati diri organisasi tersebut. ASEAN bukanlah organisasi supranasional yang bisa mendikte
dan memaksakan negara-negara anggotanya mengambil kebijakan tertentu. Salah satu prinsip
temukan-30-kuburan-korban-perdagangan-manusia/.
19 Polisi Thailand Temukan Kamp Terbesar Pedagang Manusia, MINA, diakses pada 17 Januari,
2016, http://mirajnews.com/id/polisi-thailand-temukan-kamp-terbesar-pedagangmanusia/73904/.
20 Malaysia Temukan 139 Kuburan dan 28 Kamp Pengungsi di Perbatasan Thailand, Kompas.com,
diakses pada 17 Januari, 2016,
http://internasional.kompas.com/read/2015/05/25/12365161/Malaysia.Temukan.139.Kuburan.dan.28.
Kamp.Pengungsi.di.Perbatasan.Thailand.
13

utama ASEAN adalah prinsip non intervensi yang melarang campur tangan atas urusan dalam
negeri anggota. Walau demikian, hal ini tidak berarti bahwa, dalam menyikapi krisis
Rohingya, ASEAN hanya bisa duduk manis dan berdiam diri. ASEAN tidak lagi dapat
berkilah bahwa apa yang menimpa warga Rohingya adalah semata-mata masalah internal
Myanmar, mengingat ribuan warga Rohingya sudah mengungsi ke negara ASEAN lainnya.
Jika dibiarkan terus, tentu hal ini akan menjadi ancaman bagi stabilitas dan keamanan di
kawasan. ASEAN terus bergerak menuju satu ikatan "Masyarakat". Layaknya satu tubuh
Masyarakat ASEAN, gejolak di satu tempat akan ikut dirasakan oleh negara anggota yang
lain. Kondisi ini mungkin belum pernah dibayangkan oleh para pendiri ASEAN, tapi kini
mendesak ASEAN untuk berani melihat kembali pemahaman prinsip non intervensi. Isu
bencana kemanusiaan yang melewati batas wilayah negara harus dapat segera ditangani tanpa
perlu mencederai kedaulatan negara anggotanya. 21
Dalam jangka pendek, ASEAN perlu memprioritaskan upaya penyelamatan nyawa
para migran yang masih terlunta-lunta di laut. ASEAN dapat mempertimbangkan untuk
menggelar operasi bersama search and rescue (SAR) untuk menggiring para migran ke
daratan. Negara ASEAN selain Indonesia dan Malaysia dapat menawarkan diri untuk
menerima para migran, seperti apa yang dilakukan oleh Filipina. Paling tidak, negara anggota
lain dapat memberikan bantuan kemanusiaan seperti makanan dan obat-obatan, di antaranya
melalui ASEAN Coordinating Center for Humanitarian Assistance (AHA Center). 22 Dalam
jangka panjang, ASEAN perlu menuntaskan akar permasalahan krisis Rohingya ini. ASEAN
perlu terus melakukan pendekatan konstruktif terhadap Myanmar untuk menghentikan
diskriminasi terhadap kaum Rohingya yang menjadi faktor pendorong krisis saat ini. ASEAN
perlu meyakinkan Myanmar bahwa menerima Rohingya dengan tangan terbuka justru akan
mendatangkan banyak manfaat bagi negara tersebut. 23
Namun, dilema penegakan HAM dalam skala kawasan terkait kasus Rohingya muncul
dikarenakan Piagam ASEAN menyediakan landasan hukum bagi prinsip non intervensi yang
menjadikan ASEAN tidak memiliki legitimasi dan otoritas yang cukup untuk mengintervensi
21 ASEAN dan Krisis Rohingya, Tempo.co, diakses pada 17 Januari, 2016,
http://www.tempo.co/read/kolom/2015/05/25/2125/asean-dan-krisis-rohingya.
22 Ibid.
23 Ibid.
14

masalah konflik dan pelanggaran hak asasi manusia internal negara-negara anggotanya.
Prinsip non-intervensi terdapat dalam pasal 2 piagam ASEAN24 : (e) non-interference in the
internal affairs of ASEAN Member States, (f) respect for the right of every Member State to
leads its national existence free from external interference, subversion and coersion. Prinsip
non intervensi selama ini dipegang teguh oleh para anggota ASEAN dalam kebijakan
regionalnya, di samping prinsip-prinsip lain seperti saling menghormati, konsensus, dialog
dan konsultasi. Prinsip non intervensi yang selama ini dijunjung tinggi telah banyak memberi
kontribusi terhadap eksistensi ASEAN. Pada tingkat yang paling dasar, prinsip ini merupakan
wujud nyata penghormatan terhadap kedaulatan masing-masing negara anggota. Jaminan
pengakuan kedaulatan ini menjadi faktor penting terhadap meredamnya sikap saling curiga
sesama negara anggota ASEAN. Hilangnya sisa-sisa kecurigaan ini selanjutnya membantu
tumbuhnya saling percaya yang cukup tinggi antara anggota ASEAN. Hal ini penting, sebab
rasa percaya timbal balik menjadi prasyarat eksisnya suatu organisasi regional beranggotakan
negara dengan perbedaan kepentingan yang tak terelakkan. Prinsip ini juga telah berfungsi
sebagai mekanisme preventif terhadap munculnya sejumlah konflik terbuka di antara negara
anggota ASEAN. Penghormatan terhadap apa yang dianggap menjadi urusan dalam negeri
negara anggota lain secara tidak langsung ikut mencegah terjadinya salah persepsi
antaranggota. Prinsip non intervensi ini telah memberikan sumbangan yang teramat berarti
dalam pengembangan ASEAN sejak berdirinya hingga saat ini. 25 Sebagaimana yang kita tahu
bahwa ASEAN berdiri pada masa Perang Dingin dimana Amerika Serikat dan Uni Soviet
pada saat itu berlomba-lomba mempengaruhi politik domestik negara-negara Asia Tenggara,
tidak terkecuali Indonesia. Selain itu, negara-negara anggota ASEAN yang sebagian besar
adalah bekas negara jajahan terasa masih trauma dan merasa khawatir dengan terjadinya
intervensi dari pihak luar. Jadi, wajar saja jika anggota ASEAN pada saat itu sepakat untuk
mencantumkan prinsip non intervensi didalam ASEAN.
Namun seiring dengan perkembangan politik global, nampaknya prinsip ini mulai
harus ditinggalkan oleh ASEAN. Karena pada politik global saat ini, tidak hanya traditional
security saja yang menjadi penting, tetapi masalah-masalah non-traditional security dengan
masyarakat sipil sebagai pemeran utamanya, juga menjadi isu penting. Salah satunya adalah
24 Erika, Meneropong Prinsip Non Intervensi yang Masih Melingkar dalam ASEAN, Jurnal
Perspektif, vol. 19, no. 3, 2014, hal.184.
25 Ibid, hal. 183.
15

krisis pengungsi manusia perahu Rohingya, isu ini bukan tidak mungkin akan memaksa
negara-negara ASEAN meninjau kembali prinsip non intervensi itu. Krisis tersebut
merupakan salah satu ujian terbesar bagi ASEAN, terkait kemampuan melindungi nyawa para
migran, kemungkinan banyaknya migran yang meninggal jika tidak ada negara yang
menampungnya dan sejauh mana kelompok tersebut dapat mengkonfrontasi salah satu
anggotanya. Kasus ini juga mempertaruhkan legitimasi ASEAN sebagai suatu organisasi
regional yang seharusnya melindungi masyarakatnya dan menciptakan perdamaian di
kawasan. Lebih lanjut, prinsip non intervensi juga menyebabkan krisis kemanusiaan dalam
suatu negara akan terus berlangsung dan individu maupun kelompok yang mengalami
tekanan dari pemerintah negara tersebut tidak dapat mengakses aspek-aspek utama dari
human security yang dicanangkan oleh PBB, yaitu keamanan bagi diri sendiri (personal
security), keamanan ekonomi (economic security), keamanan pangan (food security),
keamanan kesehatan (health security), keamanan lingkungan (environmental security),
keamanan komunitas (Community security) dan keamanan politik ( political security).26 Yang
mana semua itu tidak didapat oleh etnis Rohingya di Myanmar.
Pertemuan beberapa kali dilakukan oleh anggota ASEAN terkait isu Rohingya tetapi
Myanmar selalu memakai prinsip non intervensi ini sebagai senjata untuk menghentikan
usaha-usaha ASEAN menekan Myanmar menyelesaikan kasus ini. Selain itu, tidak adanya
dukungan dari negara-negara anggota selain Indonesia, Malaysia dan Thailand yang terkena
dampak pengungsi secara langsung, untuk membuat ASEAN dapat mendesak Myanmar,
membuat usaha ASEAN untuk ingin bertindak lebih tegas menjadi tidak optimal. Singapura
contohnya, tetap menganggap bahwa Rohingya merupakan kasus internal Myanmar dan
harus diselesaikan sendiri oleh Myanmar. Sebelumnya, Singapura menolak untuk
menampung pengungsi Rohingya dengan alasan wilayah negaranya yang sempit, namun
walaupun begitu Pemerintah Singapura menyiapkan dana bantuan mencapai US$200 ribu,
atau sekitar Rp2,6 miliar untuk mendukung sejumlah negara yang memberikan bantuan bagi
pengungsi Rohingya.27
26 United Nations Development Programme 1994: New Dimensions of Human Security, Human Development
Report 1994 (New York: Oxford University Press) hal. 22-23.

27 Bantu Imigran Rohingya, Singapura Siapkan Dana Rp2,6 Miliar, CNN Indonesia, diakses pada
17 Januari, 2016, http://www.cnnindonesia.com/internasional/20150524125633-106-55315/bantuimigran-rohingya-singapura-siapkan-dana-rp26-miliar/.
16

3.3. Meninjau Ulang Prinsip Non Intervensi ASEAN


Prinsip non intervensi adalah prinsip yang mengemukakan bahwa suatu negara tidak
memiliki hak untuk mencampuri urusan atau permasalahan dalam negeri dari negara lain.
Prinsip ini merupakan satu dari lima prinsip peaceful coexistence yang tercantum dalam
Piagam PBB yang kemudian diadopsi oleh para pendiri ASEAN dengan penyesuaian tertentu
terhadap norma-norma regional. Setiap negara anggota ASEAN pun telah sepakat untuk
menentang setiap bentuk campur tangan suatu negara, baik sesama maupun bukan sesama
anggota ASEAN terhadap masalah dalam negeri anggota lainnya. Prinsip non intervensi
mengandung nilai-nilai penghormatan terhadap kedaulatan dan integritas teritorial dari setiap
negara, penyelesaian setiap masalah politik melalui perundingan dan peningkatan kerjasama
dalam aspek keamanan dan pertahanan wilayah sesuai dengan salah satu tujuan pembentukan
ASEAN yaitu to promote peace in teh region.28
Sayangnya, dari sisi fungsional, terdapat empat kewajiban atau obligasi yang harus
dipatuhi setiap negara anggota ASEAN sebagai konsekuensi dari keberadaan prinsip non
intervensi, yaitu: (1). Pantangan untuk mengkritisi tindakan apapun dari satu negara anggota
terhadap warga negaranya, termasuk pelanggaran terhadap hak-hak manusia, serta membuat
keputusan

mengenai

keanggotaan

suatu

negara

berdasarkan

sistem

atau

bentuk

pemerintahannya. (2). Mengkritisi tindakan dari satu negara yang melanggar prinsip non
intervensi. (3). Menolak pengakuan (recognition), permohonan suaka (sanctuary), ataupun
bentuk dukungan lainnya terhadap kelompok pemberontakan (rebel groups) yang
mengganggu kestabilan nasional negara tetangga. (4). Menyediakan dukungan politis dan
bantuan materi untuk negara yang sedang berkampanye menentang kegiagtan-kegiatan
subversif yang mengganggu stabilitas negara.29 Melihat implikasi yang terbentuk pada poin
pertama, tentunya muncul pertanyaan mengenai komitmen negara-negara ASEAN dalam
membela hak-hak asasi manusia warga negaranya.
Dalam teori regional security complex, suatu keamanan regional dapat tercapai jika
terdapat interdependensi di antara berbagai negara yang memiliki kepentingan bersama di
dalam satu kawasan. Interdependensi ini bersifat kompleks dengan keberadaan tiga ciri-ciri
28 Bambang Cipto, Hubungan Internasional di Asia Tenggara: Teropong terhadap Dinamika,
Realitas, dan Masa Depan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007).
29 Amitav Acharya, Constructing a Security Community in Southeast Asia: ASEAN and the Problem
of Regional Order (London: Routledge, 2001) hal. 57.
17

utama, yaitu multiple channels, multiple issues, dan minor role of military forces.30 Dalam
konsep ini, aktor yang terlibat bukan hanya negara, tetapi juga mencakup hingga ketingkat
individu, masyarakat dan kelompok kepentingan yang saling berkaitan satu sama lainnya
sehingga membentuk suatu struktur yang kompleks dalam tatanan internasional. Dalam
menyelesaikan sengketa internal kawasan, salah satu peran utama Organisasi Regional adalah
untuk menjadi wadah konsultasi, menyelenggarakan dan menyediakan suatu forum negosiasi
bagi negara-negara anggota baik dalam situasi konflik maupun dalam kondisi yang
berpotensi menimbulkan konflik. Namun, interdependensi negara-negara ASEAN sepertinya
baru tercapai dalam bidang ekonomi dengan perjanjian-perjanjian dan kerjasama-kerjasama
ekonominya, baik sesama anggota ataupun antara ASEAN dan negara non anggota, atau
dalam bidang keamanan negara jika ada musuh bersama seperti sengketa Laut China Selatan
antara Tiongkok dengan sebagian negara-negara ASEAN, tetapi tidak dalam hal keamanan
masyarakat negaranya.
Sebenarnya, ASEAN

telah

memiliki

badan

HAM ASEAN

atau

ASEAN

Intergovernmental Commission of Human Rights (AICHR). Badan HAM ASEAN merupakan


agenda yang sudah diwacanakan sejak terbentuknya Kelompok Kerja Mekanisme Hak Asasi
Manusia ASEAN (Working Groups for an ASEAN Human Rights Mechanism) pada tahun
1996, di mana kelompok kerja yang dimaksud adalah kelompok kerja nasional di tiap-tiap
negara anggota ASEAN. Sayangnya, tidak semua negara ASEAN menunjukkan keseriusan
untuk benar-benar melaksanakan hal ini karena tidak ada peraturan yang mengikat secara
formal didalam tingkatan regional. Disamping itu, permasalahan juga muncul lagi-lagi karena
keberadaan prinsip non intervensi yang mempersulit upaya kerjasama dalam proses resolusi
konflik, khususnya penegakan HAM, di Asia Tenggara.31 AICHR sebenarnya mempunyai
peluang yang besar untuk mengatasi masalah HAM di ASEAN tanpa tersandung prinsip non
intervensi ASEAN. Dalam prinsip non intervensi ASEAN disebutkan bahwa negara tidak
boleh ikut campur dalam urusan domestik negara lain tetapi disitu tidak mencantumkan aktor
non negara. AICHR berpengaruh pada peran ASEAN yang akan menjadi sangat signifikan
dalam menjaga stabilitas regional tanpa harus ada pelanggaran terhadap prinsip non

30 Barry Buzan, People, States, and Fear: An Agenda for International Security Studies in the PostCold War Era (2nd Edition) (Colchester: ECPR Press, 2009).
31 Heribertus Jaka Triyana, Tinjauan Yuridis tentang Badan HAM ASEAN dalam Sistem Hukum
Nasional Indonesia, Mimbar Hukum, vol.23 no.3, 2011.
18

intervensi yang menjadi salah satu nilai dan komitmen bersama ASEAN, jika saja AICHR ini
benar-benar dianggap serius oleh negara-negara anggota ASEAN itu sendiri.
Jika memang AICHR masih belum menjadi jalan keluar, mungkin saja untuk prinsip
non intervensi ini tetap dijalankan di ASEAN dengan syarat adanya pengecualian. Seperti
yang sudah disinggung sebelumnya bahwa prinsip non intervensi ASEAN pada kemajuan
politik global sudah tidak relevan. Dunia internasional hari ini sudah tidak lagi hanya terfokus
dengan masalah kedaulatan negara dalam arti sesungguhnya, dampak globalisasi banyak
menimbulkan isu-isu baru yang lebih menonjolkan peran sipil dibanding negara sebagai
tokoh utama. Batas-batas negara pun seakan menjadi tabu dengan berkembangnya isu
terorisme, demokrasi, HAM dan sebagainya. Prinsip non intervensi memang tetap
dibutuhkan, yang harus dirubah adalah prinsip non intervensi yang dijalankan oleh ASEAN.
Pengecualian yang dimaksud adalah dalam kondisi-kondisi tertentu ASEAN boleh membantu
permasalahan domestik anggotanya. Contohnya, pengecualian jika memang negara anggota
yang sedang bermasalah meminta bantuan kepada ASEAN, ASEAN boleh mengintervensi
negara tersebut hanya dalam urusan yang diminta oleh negara yang bersangkutan. Atau
pengecualian kedua adalah jika masalah domestik negara anggota itu ternyata berdampak
pada keamanan negara anggota lainnya dan mengancam keamanan regional, seperti contoh
kasus Rohingya yang telah menjadi beban negara anggota regional lainnya, ASEAN
seharusnya boleh mengintervensi karena memang alasannya jelas, masalah tersebut telah
menganggu keamanan regional.

19

BAB 4
KESIMPULAN
Perbedaan-perbedaan yang berhubungan dengan etnis dan agama merupakan masalah
yang sangat peka dan mudah menyulut konflik-konflik terbuka bahkan dapat mencapai
tingkat intensitas kekerasan yang tinggi dan menelan banyak korban jiwa seperti konflik etnis
Rakhine yang beragama Buddha dengan Rohingya yang beragama Islam di Provinsi Rakhine,
Myanmar Barat. Sejak lama warga Rohingya tak pernah diakui status dan keberadaannya
oleh Pemerintah Myanmar. Hal itu tampak jelas ketika Presiden Myanmar Thein Sein
menerima delegasi Komisi Tinggi Urusan Pengungsi PBB (UNHCR) yang dipimpin Antonio
Guterres, 11 Juli 2012 lalu. Secara terang-terangan Thein Sein menegaskan bahwa
pemerintahannya tidak mengakui keberadaan warga Rohingya sebagai warga negaranya.
Bahkan, Thein Sein menyebut keberadaan 800.000 warga Rohingya di negerinya sebagai
ancaman terhadap keamanan nasional Myanmar. Thein Sein bahkan seolah menantang
dengan mempersilakan UNHCR mengambil alih keberadaan ratusan ribu warga Rohingya.
Dia mempersilakan UNHCR menampung lalu mencarikan negara ketiga yang bersedia
menerima mereka menjadi warga negara.
Sikap penolakan dan ketidakpedulian yang ditunjukkan Thein Sein saat bertemu
Guterres ironisnya justru secara legal dilindungi sebuah aturan perundang-undangan tentang
kewarganegaraan Myanmar tahun 1982. Dalam UU itu dinyatakan, seseorang atau kelompok
etnis hanya diakui sebagai warga asli Myanmar dan berhak atas status kewarganegaraan
hanya jika bisa membuktikan mereka punya nenek moyang yang tinggal dan hidup di
wilayah Myamar sejak tahun 1823. Ketentuan tersebut menetapkan 135 etnis di Myanmar
diakui sebagai penduduk dan warga asli Myanmar. Jumlah itu lebih sedikit dibandingkan
ketentuan serupa yang diatur dalam produk hukum pemerintah sebelumnya, yakni 144 etnis.
Dalam UU tahun 1982 itu, etnis Rohingya dan beberapa etnis minoritas lain, seperti Panthay,
Ba Shu, dan enam etnis lainnya tidak diakui. Produk hukum itu dihasilkan di masa junta
militer masih sangat berkuasa.
Saat ini, sudah tidak tepat jika kasus Rohingya dikatakan sebagai konflik internal
Myanmar karena dampak yang ditimbulkan sudah mengganggu stabilitas keamanan regional.
Pada awal Mei 2015 silam, polisi Thailand menemukan setidaknya 30 kuburan yang diyakini
milik imigran dari Myanmar dan Bangladesh. Dua mayat lain yang belum dimakamkan dan
dibiarkan membusuk di tempat terbuka juga ditemukan. Satu korban berhasil diselamatkan
20

dari kamp perdagangan manusia yang sudah tak digunakan lagi itu dan dibawa ke rumah
sakit. Kemudian pada 12 Mei 2015 lalu, Thailand kembali menemukan sebuah kamp
perdagangan manusia yang ditinggalkan di selatan negara itu, diduga telah menahan antara
800 hingga 1.000 orang migran. Kamp berlokasi di pegunungan berhutan, distrik Sadao,
Provinsi Songkhla yang berbatasan dengan Malaysia, berjarak 3 km dari kamp penahanan
yang pernah ditemukan sebelumnya. Tidak hanya Thailand, masih dibulan yang sama pada
2015 silam, polisi Malaysia juga menemukan 139 lokasi kuburan dan 28 kamp penyelundup
manusia di sebuah kawasan terpencil di wilayah utara Malaysia yang berbatasan dengan
Thailand. Kamp-kamp dan kuburan yang ditemukan itu berlokasi di tengah kawasan
pegunungan yang berhutan lebat sehingga sangat sulit itu dicapai.
Dilema penegakan HAM dalam skala kawasan terkait kasus Rohingya muncul
dikarenakan Piagam ASEAN menyediakan landasan hukum bagi prinsip non intervensi yang
menjadikan ASEAN tidak memiliki legitimasi dan otoritas yang cukup untuk mengintervensi
masalah konflik dan pelanggaran hak asasi manusia internal negara-negara anggotanya.
Prinsip non-intervensi terdapat dalam pasal 2 piagam ASEAN : (e) non-interference in the
internal affairs of ASEAN Member States, (f) respect for the right of every Member State to
leads its national existence free from external interference, subversion and coersion. Prinsip
non intervensi selama ini dipegang teguh oleh para anggota ASEAN dalam kebijakan
regionalnya, di samping prinsip-prinsip lain seperti saling menghormati, konsensus, dialog
dan konsultasi. Prinsip non intervensi yang selama ini dijunjung tinggi telah banyak memberi
kontribusi terhadap eksistensi ASEAN. Pada tingkat yang paling dasar, prinsip ini merupakan
wujud nyata penghormatan terhadap kedaulatan masing-masing negara anggota. Jaminan
pengakuan kedaulatan ini menjadi faktor penting terhadap meredamnya sikap saling curiga
sesama negara anggota ASEAN. Hilangnya sisa-sisa kecurigaan ini selanjutnya membantu
tumbuhnya saling percaya yang cukup tinggi antara anggota ASEAN. Hal ini penting, sebab
rasa percaya timbal balik menjadi prasyarat eksisnya suatu organisasi regional beranggotakan
negara dengan perbedaan kepentingan yang tak terelakkan. Prinsip ini juga telah berfungsi
sebagai mekanisme preventif terhadap munculnya sejumlah konflik terbuka di antara negara
anggota ASEAN. Penghormatan terhadap apa yang dianggap menjadi urusan dalam negeri
negara anggota lain secara tidak langsung ikut mencegah terjadinya salah persepsi
antaranggota. Prinsip non intervensi ini telah memberikan sumbangan yang teramat berarti
dalam pengembangan ASEAN sejak berdirinya hingga saat ini. Sebagaimana yang kita tahu
bahwa ASEAN berdiri pada masa Perang Dingin dimana Amerika Serikat dan Uni Soviet
21

pada saat itu berlomba-lomba mempengaruhi politik domestik negara-negara Asia Tenggara,
tidak terkecuali Indonesia. Selain itu, negara-negara anggota ASEAN yang sebagian besar
adalah bekas negara jajahan terasa masih trauma dan merasa khawatir dengan terjadinya
intervensi dari pihak luar. Jadi, wajar saja jika anggota ASEAN pada saat itu sepakat untuk
mencantumkan prinsip non intervensi didalam ASEAN.
Namun seiring dengan perkembangan politik global, nampaknya prinsip ini mulai
harus ditinggalkan oleh ASEAN. Karena pada politik global saat ini, tidak hanya traditional
security saja yang menjadi penting, tetapi masalah-masalah non-traditional security dengan
masyarakat sipil sebagai pemeran utamanya, juga menjadi isu penting. Salah satunya adalah
krisis pengungsi manusia perahu Rohingya, isu ini bukan tidak mungkin akan memaksa
negara-negara ASEAN meninjau kembali prinsip non intervensi itu.
Jika memang AICHR masih belum menjadi jalan keluar, mungkin saja untuk prinsip
non intervensi ini tetap dijalankan di ASEAN dengan syarat adanya pengecualian.
Pengecualian yang dimaksud adalah dalam kondisi-kondisi tertentu ASEAN boleh membantu
permasalahan domestik anggotanya. Contohnya, pengecualian jika memang negara anggota
yang sedang bermasalah meminta bantuan kepada ASEAN, ASEAN boleh mengintervensi
negara tersebut hanya dalam urusan yang diminta oleh negara yang bersangkutan. Atau
pengecualian kedua adalah jika masalah domestik negara anggota itu ternyata berdampak
pada keamanan negara anggota lainnya dan mengancam keamanan regional, seperti contoh
kasus Rohingya yang telah menjadi beban negara anggota regional lainnya, ASEAN
seharusnya boleh mengintervensi karena memang alasannya jelas, masalah tersebut telah
menganggu keamanan regional.

22

DAFTAR PUSTAKA
Books
Acharya, Amitav (2001) Constructing a Security Community in Southeast Asia: ASEAN and
the Problem of Regional Order. London: Routledge.
Brown, Michael E. (1996) The Causes and Regional Dimensions of Internal Conflict.
Massachusetts: MIT Press.
Buzan, Barry (2009) People, States, and Fear: An Agenda for International Security Studies
in the Post-Cold War Era (2nd Edition) Colchester: ECPR Press.
Buzan, Barry dan Waever (2003) Regions and Powers: The Structure of International
Security. New York: Cambridge University Press.
Cipto, Bambang (2007) Hubungan Internasional di Asia Tenggara: Teropong terhadap
Dinamika, Realitas, dan Masa Depan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Journals
Erika (2014) Meneropong Prinsip Non Intervensi yang Masih Melingkar dalam ASEAN.
Jurnal Perspektif. vol. 19. no. 3.
Human Development Report 1994. United Nations Development Programme 1994: New
Dimensions of Human Security. New York: Oxford University Press.
Triyana, Heribertus Jaka (2011) Tinjauan Yuridis tentang Badan HAM ASEAN dalam Sistem
Hukum Nasional Indonesia. Mimbar Hukum. vol.23. no.3.
Online News
Al Jazeera. Report Documents; Rohingya Persecution. http://www.aljazeera.com/news/asiapacific/2013/04/2013421135240814468.html.
BBC Indonesia. Indonesia dan Malaysia Ajukan Syarat untuk Tampung Pengungsi Rohingya.
http://internasional.kompas.com/read/2015/05/20/18380141/Indonesia.dan.Malaysia.
Ajukan.Syarat.untuk.Tampung.Pengungsi.Rohingya.

23

CNN Indonesia. Bantu Imigran Rohingya, Singapura Siapkan Dana Rp2,6 Miliar.
http://www.cnnindonesia.com/internasional/20150524125633-106-55315/bantuimigran-rohingya-singapura-siapkan-dana-rp26-miliar/.
CNN Indonesia. Thailand Temukan 30 Kuburan Korban Perdagangan Manusia.
http://www.cnnindonesia.com/internasional/20150501180916-106-50565/thailandtemukan-30-kuburan-korban-perdagangan-manusia/.
DW. Inilah Profil Manusia Perahu Rohingya. http://www.dw.com/id/inilah-profil-manusiaperahu-rohingya/a-18467515.
DW. Rohingya: Sebenarnya Bukan Konflik Agama. http://www.dw.com/id/rohingyasebenarnya-bukan-konflik-agama/a-18683571.
Faktor-faktor Penyebab Konflik Etnis Rakhine dan Rohingya di Myanmar Tahun 2012.
http://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/58723/Alfi%20Revolusi.pdf?
sequence=1.
Kompas.com.

Australia

Tegaskan

Tidak

Akan

Menampung

Migran

Rohingya.

http://internasional.kompas.com/read/2015/05/22/06270031/Australia.Tegaskan.Tidak
.Akan.Menampung.Migran.Rohingya.
Kompas.com. Malaysia Temukan 139 Kuburan dan 28 Kamp Pengungsi di Perbatasan
Thailand.
http://internasional.kompas.com/read/2015/05/25/12365161/Malaysia.Temukan.139.K
uburan.dan.28.Kamp.Pengungsi.di.Perbatasan.Thailand.
Kompas.com.

Myanmar

Masih

seperti

Dulu?.

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/08/12/04045530/Myanmar.Masih.sepert
i.Dulu.
Kompas.com. Panglima TNI Tolak Kapal Pengungsi Rohingya Masuk RI, tapi Bersedia Beri
Bantuan.
http://nasional.kompas.com/read/2015/05/15/20213301/Panglima.TNI.Tolak.Kapal.Pe
ngungsi.Rohingya.Masuk.RI.tapi.Bersedia.Beri.Bantuan%20.

24

Kompas.com.

Wapres:

TNI

Tidak

Boleh

Lagi

Tolak

Pengungsi

Rohingya.

http://nasional.kompas.com/read/2015/05/20/17114371/Wapres.TNI.Tidak.Boleh.Lagi
.Tolak.Pengungsi.Rohingya.
Masalah Pengungsi Rohingya, Indonesia dan ASEAN. Info Singkat Hubungan Internasional.
http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/info_singkat/Info%20Singkat-VII-10-II-P3DIMei-2015-7.pdf.
MINA.

Polisi

Thailand

Temukan

Kamp

Terbesar

Pedagang

Manusia.

http://mirajnews.com/id/polisi-thailand-temukan-kamp-terbesarpedagangmanusia/73904/.
Tempo.co.

ASEAN

dan

Krisis

Rohingya.

http://www.tempo.co/read/kolom/2015/05/25/2125/asean-dan-krisis-rohingya.
The Daily Beast. B. Brady, Burmas Rohingya Muslims Targeted by Buddhist Mob Violence.
http://www.thedailybeast.com/articles/2013/06/27/burma-s-rohingya-muslimstargeted-bybuddhist-mob-violence.html.
The World Crunch. The Most Persecuted Minority in the World: The Gypsies of Asia.
http://www.worldcrunch.com/mobile/#a:5701.

25

You might also like