You are on page 1of 13

A.

Embriologi Saluran Cerna


Secara embriologi, pembentukan saluran pencernaan pada mudigah terjadi
pada kehidupan mudigah 7 somit (22 hari) akibat perlipatan mudigah kearah
sefalokaudal dan lateral. Sebagian dari rongga yolk sac yang dilapisi oleh
endoderm masuk ke dalam mudigah untuk membentuk usus primitive (primitive
gut). Di bagian sefalik dan kaudal mudigah, usus primitif membentuk sebuah
saluran buntu masing-masing adalah usus depan (foregut) dan usus belakang
(hindgut). Sedangkan bagian tengah, usus tengah (midgut) untuk sementara tetap
berhubungan dengan yolk sac melalui ductus vitelinus atau yolk stack. Endoderm
itu sendiri juga berperan dalam membentuk lapisan epitel saluran cerna dan
menghasilkan sel spesifik (parenkim) kelenjar, misalnya sel hepatosit, sel
eksokrin dan endokrin pancreas (Sadler, 2012).
Spesifikasi regional lumen usus menjadi berbagai komponen terjadi sewaktu
lipatan tubuh lateral membawa kedua sisi lumen saling mendekat. Spesifikasi di
awali oleh faktor-faktor transkripsi yang diekspresikan di berbagai regio lumen
usus. Pembentukan pola awal lumen usus ini distabilkan oleh interaksi timbal
balik antara endoderm dan mesoderm splanknik di dekat lumen usus. Interaksi
epitel mesenkim ini dimulai oleh ekspresi dari sonic hedgehog (SHH) di seluruh
lumen usus. Ekspresi SHH ini akan meningkatkan faktor-faktor di mesoderm
yang kemudian menentukan jenis struktur yang terbentuk, misalnya lambung,
usus halus atau usus besar. Setelah di spesifikasi mesoderm kemudian
memerintahkan endoderm untuk membentuk berbagai komponen daerah midgut
dan hindgut, termasuk sebagian dari usus halus, caecum, colon dan kloaka
(Sadler, 2012).
Foregut membentuk esophagus, trakea, dan tunas paru, lambung, dan
duodenum proksimal dari muara ductus biliaris. Pada orang dewasa, midgut
dimulai tepat disebelah distal muara duktus biliaris ke dalam duodenum dan
berakhir di taut antara dua pertiga proksimal kolon transversum dan seperti
distalnya. Seluruh panjang midgut diperdarahi oleh arteri mesenterika superior.
Hindgut menghasilkan sepertiga distal kolon trasnversum, kolon descendens,
kolon sigmoideum, rectum, dan bagian atas kanalis analis. Bagian distal kanalis

analis berasal dari ectoderm. Hindgut masuk ke bagian posterior kloaka (bakal
kanalis anorektalis) dan allantois masuk ke bagian anteriornya (bakal sinus
urogenital) (Sadler, 2012).

Gambar 1. Saluran cerna primitif (mudigah 25 hari)

Gambar 2. Pembentukan kumparan lengkung usus dan terbentuknya seakum


(mudigah 8 minggu).
Bagian tengah tabung usus dan turunannya tergantung dari dinding tubuh
dorsal dan ventral oleh mesenterium, yaitu lapisan ganda peritoneum yang
membungkus suatu organ dan menghubungkannya ke dinding tubuh. Ligamentum
peritoneal adalah lapisan ganda peritoneum (mesenterium) yang berjalan dari satu
organ ke organ lainnya atau dari satu organ ke dinding tubuh. Mesenterium dan
ligamentum merupakan jalur bagi pembuluh darah, saraf, dan pembuluh limfe
untuk menuju dan datang dari visera abdomen. Pada awalnya foregut,midgut, dan
hindgut berkontak secara luas dengan mesenkim dinding abdomen posterior,
namun pada minggu kelima, jembatan jaringan penghubung menyempit, dan

bagian kaudal foregut, midgut dan sebagian besar hindgut menjadi tergantung di
dinging abdomen oleh mesenterium dorsal, yang berjalan dari ujung bawah
esophagus hingga ke region kloaka hindgut (Sadler,2012).
B. Anatomi dan Fisiologi
Usus besar merupakan tabung muskular berongga dengan panjang sekitar 5
kaki (sekitar 1,5 m) yang terbentang dari sekum sampai kanalis ani. Diameter
usus besar lebih besar daripada usus kecil. Rata-rata sekitar 2,5 inch (sekitar 6,5
cm), tetapi makin dekat anus diameternya makin kecil. Usus besar dibagi menjadi
caecum, colon, dan rectum. Pada caecum terdapat katup illeocaecal dan appendix
yang melekat pada ujung caecum. Caecum menempati sekitar dua atau tiga inci
pertama dari usus besar. Katup illeocaecal mengontrol aliran kimus dari illeum ke
caecum. Kolon dibagi lagi menjadi kolon ascendens, transversum, descendens,
dan sigmoid. Tempat dimana kolon membentuk kelokan tajam yaitu pada
abdomen kanan dan kiri atas berturut-turut dinamakan fleksura hepatika dan
fleksura lienalis. Kolon sigmoid mulai setinggi krista iliaka dan berbentuk suatu
lekukan berbentuk S. Lekukan bagian bawah membelok ke kiri waktu kolon
sigmoid bersatu dengan rektum. Rektum terbentang dari kolon sigmoid sampai
dengan anus. Satu inci terakhir dari rektum terdapat kanalis ani yang dilindungi
oleh sfingter ani eksternus dan internus. Panjang rektum sampai kanalis ani
adalah 5,9 inci (Hansen & Koeppen, 2009).

Gambar. Bagian Intestinum Crassum


Dinding kolon terdiri dari empat lapisan yaitu tunika serosa, muskularis, tela
submukosa,

dan

tunika

mukosa

akan

tetapi

usus

besar

mempunyai

gambarangambaran yang khas berupa, lapisan otot longitudinal usus besar tidak
sempurna tetapi terkumpul dalam tiga pita yang disebut taenia koli yang bersatu
pada sigmoid distal. Panjang taenia lebih pendek daripada usus sehingga usus
tertarik dan berkerut membentuk kantong-kantong kecil yang disebut haustra.
Pada taenia melekat kantong-kantong kecil peritoneum yang berisi lemak yang
disebut apendices epiploika. Lapisan mukosa usus besar lebih tebal dengan
kriptus lieberkuhn terletak lebih dalam serta mempunyai sel goblet lebih banyak
daripada usus halus.

Gambar: Struktur Kolon Secara Makroskopik

Gambar: Gambaran Radiologi Haustra Coli


Vaskularisasi usus besar diatur oleh arteri mesenterika superior dan inferior.
Arteri mesenterika superior memvaskularisasi kolon bagian kanan (mulai dari
sekum sampai dua pertiga proksimal kolon transversum). Arteri mesenterika
superior mempunyai tiga cabang utama yaitu arteri ileokolika, arteri kolika
dekstra, dan arteri kolika media. Sedangkan arteri mesenterika inferior
memvaskularisasi kolon bagian kiri (mulai dari sepertiga distal kolon transversum
sampai rektum bagian proksimal). Arteri mesenterika inferior mempunyai tiga
cabang yaitu arteri kolika sinistra, arteri hemorroidalis superior, dan arteri
sigmoidea. Vaskularisasi tambahan daerah rektum diatur oleh arteria sakralis
media dan arteria hemorroidalis inferior dan media. Aliran balik vena dari kolon
dan rektum superior melalui vena mesenterika superior dan inferior serta vena
hemorroidalis superior, yaitu bagian dari sistem portal yang mengalirkan darah ke
hati. Vena hemorroidalis media dan inferior mengalirkan darah ke vena iliaka dan
merupakan bagian dari sirkulasi sistemik. Ada anastomosis antara vena
hemorroidalis superior, media, dan inferior sehingga peningkatan tekanan portal
dapat mengakibatkan aliran balik ke dalam vena-vena ini dan mengakibatkan
hemorrhoid (Snell, 2012)

Gambar. Arteri Mesenterika

Gambar. Arteri Mesenterika Inferior dan Cabang-Cabangnya

Gambar. Pembuluh darah balik Intestinum Crassum (Cabang dari Vena


Portae Hepatica)
Aliran pembuluh limfe kolon mengikuti arteria regional ke limfenodi
preaorta pada pangkal arteri mesenterika superior dan inferior. Aliran balik
pembuluh limfe melalui sistrna kili yang bermuara ke dalam sistem vena pada
sambungan vena subklavia dan jugularis sinistra. Hal ini menyebabkan metastase
karsinoma gastrointestinal bisa ada dalam kelenjar limfe leher (kelenjar limfe
virchow). Aliran balik pembuluh limfe rektum mengikuti aliran pembuluh darah

hemorroidalis superior dan pembuluh limfe kanalis ani menyebar ke nodi limfatisi
iliaka interna, sedangkan aliran balik pembuluh limfe anus dan kulit perineum
mengikuti aliran limfe inguinalis superficialis (Snell, 2012)
Inervasi usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom kecuali sfingter
eksternus yang diatur secara voluntar. Serabut parasimpatis berjalan melalui saraf
vagus ke bagian tengah kolon transversum, dan saraf pelvikus yang berasal dari
daerah sakral mensuplai bagian distal. Serabut simpatis yang berjalan dari pars
torasika dan lumbalis medula spinalis melalui rantai simpatis ke ganglia simpatis
preortika. Disana bersinaps dengan post ganglion yang mengikuti aliran arteri
utama dan berakhir pada pleksus mienterikus (Aurbach) dan submukosa
(meissner). Perangsangan simpatis menyebabkan penghambatan sekresi dan
kontraksi, serta perangsangan sfingter rektum, sedangkan saraf parasimpatis
mempunyai efek yang berlawanan. Kendali usus yang paling penting adalah
aktivitas refleks lokal yang diperantarai oleh pleksus nervosus intramural
(Meissner dan Aurbach) dan interkoneksinya (Snell, 2012)
Jadi pasien dengan kerusakan medula spinalis maka fungsi ususnya tetap
normal, sedangkan pasien dengan penyakit hirschsprung akan mempunyai fungsi
usus yang abnormal karena pada penyakit ini terjadi keabsenan pada sel ganglion
mienteric dan ganglion submokosal (pleksus aurbach dan Meissner) di traktus
gastrointertinal bagian distal. Megacolon kongenital merupakan neurocristopathy
karena adanya migrasi ke arah craniocaudal yang prematur dari sel neural vagal di
usus belakang untuk membentuk ssstem saraf enteric pada usia gestasi ke 5
hingga 12 minggu. Sebagai konsekuensinya, sel ganglion intramural di plexus
Meissner dan Auerbach menjadi tidak ada (Sadler, 2011).
C. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis penyakit Hirschsprung dapat kita bedakan berdasarkan usia
dan gejala klinis yang mulai terlihat (Izadi et al, 2009).
1. Periode Neonatal
Manifestasi penyakit Hirschsprung yang khas biasanya terjadi pada neonatus
cukup bulan. Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran
mekonium yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen. Pengeluaran

mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama) merupakan tanda klinis
yang signifikan. Pada lebih dari 90% bayi normal, mekonium pertama keluar
dalam usia 24 jam pertama, namun pada lebih dari 90% kasus penyakit
Hirschsprung mekonium keluar setelah 24 jam. Mekonium normal berwarna
hitam kehijauan, sedikit lengket dan dalam jumlah yang cukup. Swenson
(1973) mencatat angka 94% dari pengamatan terhadap 501 kasus sedangkan
Kartono mencatat angka 93,5% untuk waktu 24 jam dan 72,4% untuk waktu
48 jam setelah lahir. Tanda-tanda edema, bercak-bercak kemerahan khususnya
di sekitar umbilicus, punggung, dan di sekitar genitalia ditemukan bila telah
terdapat komplikasi peritonitis. Sedangkan enterokolitis merupakan ancaman
komplikasi yang serius bagi penderita penyakit Hirschsprung ini, yang dapat
menyerang pada usia kapan saja, namun paling tinggi saat usia 2-4 minggu,
meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1 minggu. Gejalanya berupa diare,
distensi abdomen, feses berbau busuk dan disertai demam.
2. Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi
kronis dan gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat gerakan peristaltik
usus di dinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka
feses biasanya keluar menyemprot, konsistensi semi-liquid dan berbau tidak
sedap. Penderita biasanya buang air besar tidak teratur, sekali dalam beberapa
hari dan biasanya sulit untuk defekasi
D. Penegakkan Diagnosis
Diagnosis penyakit Hirschsprung harus ditegakkan sedini mungkin.
Keterlambatan diagnosis dapat meyebabkan berbagai komplikasi yang merupakan
penyebab kematian tersering, seperti enterokolitis, perforasi usus, dan sepsis.
Pada tahun 1946, Ehrenpreis menekankan bahwa diagnosa penyakit Hirschsprung
dapat ditegakkan pada masa neonatal.
1. Anamnesis
a. Adanya keterlambatan pengeluaran mekonium yang pertama, biasanya
keluar >24 jam.
b. Adanya muntah berwarna hijau

c. Adanya obstipasi masa neonatus, jika terjadi pada anak yang lebih besar
maka obstipasi semakin sering, perut kembung, dan pertumbuhan
terhambat.
d. Enterokolitis pada neonatal
e. Pada anak yang lebih besar biasanya disertai dengan konstipasi yang berat,
muntah, distensi perut yang kronik dan gagal tumbuh (failure to thrive)
f. Adanya riwayat keluarga sebelumnya yang pernah menderita keluhan
serupa, misalnya anak laki-laki terdahulu meninggal sebelum usia 2
minggu dengan riwayat tidak dapat defekasi (Wagner, 2015)
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pada neonatus biasa ditemukan :
Inspeksi: cembung, darm steifung atau darm contour bisa muncul atau
tidak
Auskultasi: masih dapat ditemukan adanya bising usus
Palpasi: Distensi abdomen kadang disertai nyeri tekan abdomen
Perkusi : timpani hingga hipertimpani
b. Bila dilakukan colok dubur maka sewaktu jari ditarik keluar maka feses
akan menyemprot keluar dalam jumlah yang banyak dan kemudian
tampak perut anak sudah kempes lagi (Lee, 2009).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Radiologi
Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting pada
penyakit Hirschsprung. Pada foto polos abdomen dapat dijumpai
gambaran obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi sulit untuk
membedakan usus halus dan usus besar.

Pemeriksaan yang

merupakan standard dalam menegakkan diagnosa Hirschsprung adalah


barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda khas:
1) Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang
panjangnya bervariasi.
2) Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan
ke arah daerah dilatasi.
3) Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi.
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas
penyakit Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi
barium, yakni foto setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur

dengan feces. Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang


membaur dengan feces kearah proksimal kolon. Sedangkan pada
penderita yang bukan Hirschsprung namun disertai dengan obstipasi
kronis, maka barium terlihat menggumpal di daerah rektum dan
sigmoid (Izadi et al., 2009).

Gambar. Tampak dilatasi dari kolon tanpa adanya udara di bagian


rectum (Frontal abdominal radiograph)

Gambar. Diameter kolon sigmoid dan rectum yang semakin


menyempit/kecil (Lateral view from a barium enema examination)

Gambar. Pemeriksaan barium enema menunjukkan berkurangnya


caliber dari rektum yang diikuti oleh zona transisi kearah pembesaran
sigmoid.
b. Patologi anatomi
Walaupun standar diagnosa megakolon kongenital dapat ditegakkan
dengan pemeriksaan barium enema, diagnosa pasti tetap ditentukan
oleh pemeriksaan histopatologi (full thickness rectal biopsy) yang
didasarkan atas absennya sel ganglion pada pleksus mienterik
(Auerbach) dan pleksus sub-mukosa (Meissner). Disamping itu akan
terlihat dalam jumlah banyak penebalan serabut syaraf (parasimpatis).
Akurasi pemeriksaan akan semakin tinggi jika menggunakan
pengecatan immunohistokimia asetilkolinesterase, suatu enzim yang
banyak ditemukan pada serabut syaraf parasimpatis, dibandingkan
dengan pengecatan konvensional dengan haematoxylin eosin (Rahman
et al., 2010).
c. Manometri Anorektal

Pemeriksaan manometri anorektal adalah suatu pemeriksaan objektif


mempelajari fungsi fisiologi defekasi pada penyakit yang melibatkan
spinkter

anorektal.

Dalam

prakteknya,

manometri

anorektal

dilaksanakan apabila hasil pemeriksaan klinis, radiologis dan


histologis meragukan. Pada dasarnya, alat ini memiliki 2 komponen
dasar , yaitu transduser yang sensitif terhadap tekanan seperti balon
mikro dan kateter mikro, serta sisitem pencatat seperti poligraph atau
computer (Naspghan

& Apgnn, 2006). Beberapa hasil manometri

anorektal yang spesifik bagi penyakit Hirschsprung adalah :


1) Hiperaktivitas pada segmen yang dilatasi
2) Tidak dijumpai kontraksi peristaltik yang terkoordinasi pada
segmen usus aganglionik
3) Tidak dijumpai relaksasi spinkter interna setelah distensi rektum
akibat desakan feces. Tidak dijumpai relaksasi spontan (Naspghan
& Apgnn, 2006).

Snell R S. 2012. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: EGC.


Sadler T W. 2011. Embriologi Kedokteran Langman. Jakarta: EGC.
NASPGHAN (The North American Society for Pediatric Gastroenterology,
Hepatology and Nutrition) dan APGNN (The Association of Pediatric
Gastroenterology and Nutrition Nurses). 2006. Hirschsprungs Disease.
Available from: www.naspghan.org. Diakses pada 3 November 2016.
Hansen J T, Koeppen B M. 2009. Netters Atlas of Human Body Physiology 7th ed.
Teterboro: Icon Learning
Izadi M, Mansour MF, Jafarshad R, Joukar F, Bagherzadeh AH, Tareh F. 2009.
Clinical Manifestations of Hirschsprungs Disease: A Six Year Course Review
of Admitted Patients in Gilan, Northern Iran. Middle East Journal of Digestive
Diseases. Vol 1:68-73.
Rahman Z, Hannan J, Islam S. Hirschsprung's Disease: Role of Rectal Suction
Biopsy-Data on 216 Specimens. Journal of Indian Association Pediatric
Surgery. Vol 15: 56-58.
Wagner J P. 2015. Hirschsprung Disease. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/178493-overview. Diakses pada 5
November 2016.

You might also like