You are on page 1of 27

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit Hirschsprung (Megakolon kongenital) dapat dikatakan sebagai
kasus bedah yang jarang dijumpai dalam praktek medis sehari-hari. Megakolon
kongenital adalah suatu kelainan bawaan berupa aganglionik usus, mulai dari
spinkter ani interna kearah proksimal dengan panjang yang bervariasi, tetapi
selalu termasuk anus dan setidak-tidaknya sebagian rektum dengan gejala
klinis berupa gangguan pasase usus fungsional.
Sembilan puluh persen (90%) terletak pada rectosigmoid, akan tetapi
dapat mengenai seluruh kolon bahkan seluruh usus. Tidak adanya ganglion sel
ini mengakibatkan hambatan pada gerakan peristaltik sehingga terjadi ileus
fungsional dan dapat terjadi hipertrofi serta distensi yang berlebihan pada
kolon yang lebih proksimal.
Insidensi penyakit Hirschprung di Indonesia tidak diketahui secara pasti,
tetapi diperkirakan berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup, dengan jumlah
penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka
diprediksikan setiap tahun akan lahir sekitar 1400 bayi dengan penyakit
Hirschprung. Laki-laki 4 kali lebih banyak dibanding perempuan. Menurut
catatan Swenson, 81,1 % dari 880 kasus yang diteliti adalah laki-laki.
Richardson dan Brown menemukan tendensi faktor keturunan pada
penyakit ini (ditemukan 57 kasus dalam 24 keluarga). Beberapa kelainan
kongenital dapat ditemukan bersamaan dengan penyakit Hirschsprung, namun
hanya 2 kelainan yang memiliki angka yang cukup signifikan yakni Down
Syndrome (5-10 %) dan kelainan urologi (3%).
Pengetahuan masyarakat mengenai penyakit megakolon kongenital
masih rendah, terutama masyarakat yang tinggal di pedesaan. Hal ini
menyebabkan keterlambatan dalam diagnosis penyakit megakolon kongenital
yang berujung pada keterlambatan dalam penatalaksanaan penyakit ini. Bila
tindakan yang dilakukan terlambat maka memungkinkan terjadinya suatu
komplikasi

dari

penyakit

megakolon

kongenital

yaitu

enterokolitis.

Enterokolitis pada penyakit Hirschsprung atau disebut kolitis Hirschsprung


merupakan penyebab penting kecacatan dan kematian. Mortalitas dari kondisi
ini dapat dikurangi dengan peningkatan dalam diagnosis, perawatan intensif

neonatus, teknik pembedahan, dan diagnosis dan penatalaksanaan penyakit


Hirschprung dengan enterokolitis.

II.
A.

TINJAUAN PUSTAKA

Embriologi Intestinum Crassum


Secara embriologi, pembentukan saluran pencernaan pada mudigah
terjadi pada kehidupan mudigah 7 somit (22 hari) akibat perlipatan mudigah
kearah sefalokaudal dan lateral. Sebagian dari rongga yolk sac yang dilapisi
oleh endoderm masuk ke dalam mudigah untuk membentuk usus primitive
(primitive gut). Di bagian sefalik dan kaudal mudigah, usus primitif
membentuk sebuah saluran buntu masing-masing adalah usus depan (foregut)
dan usus belakang (hindgut). Sedangkan bagian tengah, usus tengah (midgut)
untuk sementara tetap berhubungan dengan yolk sac melalui ductus vitelinus
atau yolk stack. Endoderm itu sendiri juga berperan dalam membentuk lapisan
epitel saluran cerna dan menghasilkan sel spesifik (parenkim) kelenjar,
misalnya sel hepatosit, sel eksokrin dan endokrin pancreas (Sadler, 2012).
Spesifikasi regional lumen usus menjadi berbagai komponen terjadi
sewaktu lipatan tubuh lateral membawa kedua sisi lumen saling mendekat.
Spesifikasi di awali oleh faktor-faktor transkripsi yang diekspresikan di
berbagai regio lumen usus. Pembentukan pola awal lumen usus ini distabilkan
oleh interaksi timbal balik antara endoderm dan mesoderm splanknik di dekat
lumen usus. Interaksi epitel mesenkim ini dimulai oleh ekspresi dari sonic
hedgehog (SHH) di seluruh lumen usus. Ekspresi SHH ini akan meningkatkan
faktor-faktor di mesoderm yang kemudian menentukan jenis struktur yang
terbentuk, misalnya lambung, usus halus atau usus besar. Setelah di spesifikasi
mesoderm kemudian memerintahkan endoderm untuk membentuk berbagai
komponen daerah midgut dan hindgut, termasuk sebagian dari usus halus,
caecum, colon dan kloaka (Sadler, 2012).
Foregut membentuk esophagus, trakea, dan tunas paru, lambung, dan
duodenum proksimal dari muara ductus biliaris. Pada orang dewasa, midgut
dimulai tepat disebelah distal muara duktus biliaris ke dalam duodenum dan
berakhir di taut antara dua pertiga proksimal kolon transversum dan seperti
distalnya. Seluruh panjang midgut diperdarahi oleh arteri mesenterika
superior. Hindgut menghasilkan sepertiga distal kolon trasnversum, kolon
descendens, kolon sigmoideum, rectum, dan bagian atas kanalis analis. Bagian

distal kanalis analis berasal dari ectoderm. Hindgut masuk ke bagian posterior
kloaka (bakal kanalis anorektalis) dan allantois masuk ke bagian anteriornya
(bakal sinus urogenital) (Sadler, 2012).

Gambar 1. Saluran cerna primitif (mudigah 25 hari)

Gambar 2. Pembentukan kumparan lengkung usus dan terbentuknya


seakum (mudigah 8 minggu).
Bagian tengah tabung usus dan turunannya tergantung dari dinding
tubuh dorsal dan ventral oleh mesenterium, yaitu lapisan ganda peritoneum
yang membungkus suatu organ dan menghubungkannya ke dinding tubuh.
Ligamentum peritoneal adalah lapisan ganda peritoneum (mesenterium) yang
berjalan dari satu organ ke organ lainnya atau dari satu organ ke dinding
tubuh. Mesenterium dan ligamentum merupakan jalur bagi pembuluh darah,
saraf, dan pembuluh limfe untuk menuju dan datang dari visera abdomen.
Pada awalnya foregut,midgut, dan hindgut berkontak secara luas dengan
mesenkim dinding abdomen posterior, namun pada minggu kelima, jembatan
jaringan penghubung menyempit, dan bagian kaudal foregut,

midgut dan

sebagian besar hindgut menjadi tergantung di dinging abdomen oleh

mesenterium dorsal, yang berjalan dari ujung bawah esophagus hingga ke


region kloaka hindgut (Sadler,2012).
B.

Anatomi dan Fisiologi Intestinum Crassum


Usus besar merupakan tabung muskular berongga dengan panjang
sekitar 5 kaki (sekitar 1,5 m) yang terbentang dari sekum sampai kanalis ani.
Diameter usus besar lebih besar daripada usus kecil. Rata-rata sekitar 2,5 inch
(sekitar 6,5 cm), tetapi makin dekat anus diameternya makin kecil. Usus besar
dibagi menjadi caecum, colon, dan rectum. Pada caecum terdapat katup
illeocaecal dan appendix yang melekat pada ujung caecum. Caecum
menempati sekitar dua atau tiga inci pertama dari usus besar. Katup
illeocaecal mengontrol aliran kimus dari illeum ke caecum. Kolon dibagi lagi
menjadi kolon ascendens, transversum, descendens, dan sigmoid. Tempat
dimana kolon membentuk kelokan tajam yaitu pada abdomen kanan dan kiri
atas berturut-turut dinamakan fleksura hepatika dan fleksura lienalis. Kolon
sigmoid mulai setinggi krista iliaka dan berbentuk suatu lekukan berbentuk S.
Lekukan bagian bawah membelok ke kiri waktu kolon sigmoid bersatu dengan
rektum. Rektum terbentang dari kolon sigmoid sampai dengan anus. Satu inci
terakhir dari rektum terdapat kanalis ani yang dilindungi oleh sfingter ani
eksternus dan internus. Panjang rektum sampai kanalis ani adalah 5,9 inci
(Hansen & Koeppen, 2009).

Gambar 3. Bagian Intestinum Crassum


Dinding kolon terdiri dari empat lapisan yaitu tunika serosa, muskularis,
tela submukosa, dan tunika mukosa akan tetapi usus besar mempunyai
gambarangambaran yang khas berupa, lapisan otot longitudinal usus besar
tidak sempurna tetapi terkumpul dalam tiga pita yang disebut taenia koli yang
5

bersatu pada sigmoid distal. Panjang taenia lebih pendek daripada usus
sehingga usus tertarik dan berkerut membentuk kantong-kantong kecil yang
disebut haustra. Pada taenia melekat kantong-kantong kecil peritoneum yang
berisi lemak yang disebut apendices epiploika. Lapisan mukosa usus besar
lebih tebal dengan kriptus lieberkuhn terletak lebih dalam serta mempunyai sel
goblet lebih banyak daripada usus halus.

Gambar 5. Struktur Kolon Secara Makroskopik

Gambar 5. Gambaran Radiologi Haustra Coli


Vaskularisasi usus besar diatur oleh arteri mesenterika superior dan
inferior. Arteri mesenterika superior memvaskularisasi kolon bagian kanan
(mulai dari sekum sampai dua pertiga proksimal kolon transversum). Arteri
mesenterika superior mempunyai tiga cabang utama yaitu arteri ileokolika,

arteri kolika dekstra, dan arteri kolika media. Sedangkan arteri mesenterika
inferior memvaskularisasi kolon bagian kiri (mulai dari sepertiga distal kolon
transversum sampai rektum bagian proksimal). Arteri mesenterika inferior
mempunyai tiga cabang yaitu arteri kolika sinistra, arteri hemorroidalis
superior, dan arteri sigmoidea. Vaskularisasi tambahan daerah rektum diatur
oleh arteria sakralis media dan arteria hemorroidalis inferior dan media. Aliran
balik vena dari kolon dan rektum superior melalui vena mesenterika superior
dan inferior serta vena hemorroidalis superior, yaitu bagian dari sistem portal
yang mengalirkan darah ke hati. Vena hemorroidalis media dan inferior
mengalirkan darah ke vena iliaka dan merupakan bagian dari sirkulasi
sistemik. Ada anastomosis antara vena hemorroidalis superior, media, dan
inferior sehingga peningkatan tekanan portal dapat mengakibatkan aliran balik
ke dalam vena-vena ini dan mengakibatkan hemorrhoid (Snell, 2012)

Gambar 6. Arteri Mesenterika

Gambar 7. Arteri Mesenterika Inferior dan Cabang-Cabangnya

Gambar 8. Pembuluh darah balik Intestinum Crassum (Cabang dari


Vena Portae Hepatica)
Aliran pembuluh limfe kolon mengikuti arteria regional ke limfenodi
preaorta pada pangkal arteri mesenterika superior dan inferior. Aliran balik
pembuluh limfe melalui sistrna kili yang bermuara ke dalam sistem vena pada
sambungan vena subklavia dan jugularis sinistra. Hal ini menyebabkan
metastase karsinoma gastrointestinal bisa ada dalam kelenjar limfe leher
(kelenjar limfe virchow). Aliran balik pembuluh limfe rektum mengikuti aliran
pembuluh darah hemorroidalis superior dan pembuluh limfe kanalis ani
menyebar ke nodi limfatisi iliaka interna, sedangkan aliran balik pembuluh

limfe anus dan kulit perineum mengikuti aliran limfe inguinalis superficialis
(Snell, 2012)
Inervasi usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom kecuali sfingter
eksternus yang diatur secara voluntar. Serabut parasimpatis berjalan melalui
saraf vagus ke bagian tengah kolon transversum, dan saraf pelvikus yang
berasal dari daerah sakral mensuplai bagian distal. Serabut simpatis yang
berjalan dari pars torasika dan lumbalis medula spinalis melalui rantai
simpatis ke ganglia simpatis preortika. Disana bersinaps dengan post ganglion
yang mengikuti aliran arteri utama dan berakhir pada pleksus mienterikus
(Aurbach) dan submukosa (meissner). Perangsangan simpatis menyebabkan
penghambatan sekresi dan kontraksi, serta perangsangan sfingter rektum,
sedangkan saraf parasimpatis mempunyai efek yang berlawanan. Kendali usus
yang paling penting adalah aktivitas refleks lokal yang diperantarai oleh
pleksus nervosus intramural (Meissner dan Aurbach) dan interkoneksinya
(Snell, 2012)
Jadi pasien dengan kerusakan medula spinalis maka fungsi ususnya tetap
normal, sedangkan pasien dengan penyakit hirschsprung akan mempunyai
fungsi usus yang abnormal karena pada penyakit ini terjadi keabsenan pada sel
ganglion mienteric dan ganglion submokosal (pleksus aurbach dan Meissner)
di traktus gastrointertinal bagian distal. Megacolon kongenital merupakan
neurocristopathy karena adanya migrasi ke arah craniocaudal yang prematur
dari sel neural vagal di usus belakang untuk membentuk ssstem saraf enteric
pada usia gestasi ke 5 hingga 12 minggu. Sebagai konsekuensinya, sel
ganglion intramural di plexus Meissner dan Auerbach menjadi tidak ada
(Sadler, 2011).
C.

Definisi
Megakolon Kongenital adalah pembesaran abnormal atau dilatasi
kolon karena tidak adanya sel-sel ganglion myenterik pada usus besar segmen
distal (aganglionosis). Sel-sel ganglion bertanggung jawab atas kontraksi
ritmik yang diperlukan untuk mencerna makanan yang masuk. Hilangnya
fungsi motorik dari segmen ini menyebabkan dilatasi hypertropik massive
kolon proximal yang normal sehingga terjadi kesulitan defekasi dan feses

terakumulasi menyebabkan Megakolon. Kondisi ini dapat segera terlihat


segera setelah lahir ditandai dengan gagalnya penundaan pasase awal dari
mekonium sehingga terjadi distensi abdominal, yang disertai dengan muntah
dalam waktu 48 jam sampai 72 jam. Pada banyak kasus, segmen aganglionic
terdapat pada rectum dan kolon sigmoid. Ancaman terhadap hidup yang utama
pada kelainan ini adalah terjadinya enterocolitis, dengan gangguan cairan dan
elektrolit serta perforasi pada kolon yang membesar dan tegang atau pada
apendiks dengan peritonitis.

Gambar 9. Perbedaan normal kolon dan enlarged kolon pada


megakolon kongenital
Beberapa literatur menamakan penyakit ini sebagai ultrashort-segment
Hirschsprung, Kongenital aganglionosis, aganglionic Megakolon, dilatasi
kolon Kongenital, aganglionic Megakolon dan pelvirectal achalasia.
D.

Etiologi
Sekitar 10% kasus penyakit Hirschsprung timbul secara herediter
melalui mutasi sporadik di dalam gen, angka ini dapat lebih tinggi pada pasien
dengan segmen penyakit yang lebih panjang. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa seseorang dengan riwayat keluarga terpapar penyakit Hirschsprung
beresiko lebih tinggi.
Penyakit Hirschsprung ditemukan pada kelainan-kelainan Kongenital
sebagai berikut:
10

1.

Sindroma Down

2.

Sindroma Neurocristopathy

3.

Sindroma Waardenburg-Shah

4.

Sindroma buta-tuli Yemenite

5.

Piebaldism

6.

Sindroma Goldberg-Shprintzen

7.

Neoplasia endokrin multiple tipe II

8.

Sindroma hypoventilasi Kongenital terpusat

9.

Cartilage-hair hypoplasia

10.

Sindroma hypoventilasi entral primer (Ondines curse)

11.

Penyakit

Chagas,

pada

penyakit

ini

tripanosoma

menginvasi langsung dinding usus dan menghancurkan pleksus.


Penyakit Hirschsprung juga bisa timbul karena ibu polyhidramnion
saat hamil ; adanya obstruksi usus organik karena neoplasma dan penyempitan
usus karena inflammasi; toxic Megakolon komplikasi dari colitis ulceratif atau
penyakit Crohn ; dan gangguan psychosomatic fungsional. Kondisi-kondisi ini
tidak berhubungan dengan berkurangnya ganglia dinding usus.

11

E. Patogenesis
Tiga pleksus saraf yang menginervasi usus, yaitu pleksus submukosa
(Meissner), pleksus myenterik (Aurbach), dan pleksus mukosa kecil. Semua
pleksus ini terintegrasi dan terlibat dalam semua aspek fungsi usus, termasuk
absorbsi, sekresi, motilitas, dan regulasi aliran darah (Wagner et al., 2015).
Motilitas normal utama di bawah kendali neuron intrinsik. Dengan tidak
adanya sinyal ekstrinsik, fungsi usus tetap memadai, karena arsitektur refleksif
kompleks dari enteric nervus system (ENS). Untuk alasan ini, ENS sering
disebut sebagai "otak kedua." Kontraksi otot polos usus dan relaksasi berada di
bawah

kendali

ganglia

enterik.

Kebanyakan

aktivasi

saraf

enterik

menyebabkan relaksasi otot, dimediasi oleh oksida nitrat dan neurotransmitter


enterik lainnya. Saraf aferen ekstrinsik ke ENS berisi kolinergik dan serat
adrenergik. Serat kolinergik umumnya menyebabkan kontraksi, sedangkan
serat adrenergik menyebabkan inhibisi (Wagner et al., 2015).
Pada pasien dengan penyakit Hirschsprung, pleksus myenterik dan
submukosa hilang. Dengan tidak adanya refleks ENS, kontrol otot polos usus
adalah sangat dipengaruhi oleh saraf aferen ekstrinstik. Aktivitas dari kedua
sistem kolinergik dan sistem adrenergik 2-3 kali dari usus normal. Sistem
adrenergik diperkirakan mendominasi sistem kolinergik yang mengarah ke
peningkatan tonus otot polos. Dengan hilangnya impuls intrinsik enteric untuk
relaksasi, tonus otot meningkat tidak ada yang melawan. Fenomena ini
menyebabkan ketidakseimbangan kontraktilitas otot polos, peristaltik tidak
terkoordinasi, dan obstruksi fungsional (Wagner et al., 2015).
Sel-sel ganglion enterik berasal dari neural crest selama perkembangan
embrio. Dalam perkembangan normal, neuroblasts ditemukan di kerongkongan
pada minggu kelima kehamilan, dan mereka bermigrasi ke usus kecil pada
minggu ketujuh dan ke usus besar (kolon) pada minggu kedua belas. Salah satu
etiologi yang mungkin dari penyakit Hirschsprung adalah penangkapan migrasi
neuroblast aboral. Atau, meskipun migrasi sel yang normal dapat terjadi,
neuroblasts dapat dikenakan apoptosis, kegagalan proliferasi, atau diferensiasi
yang tidak tepat dalam segmen usus distal terpengaruh. Fibronektin, laminin,
neural adhesi sel molekul (NCAM), dan faktor neurotropik hadir dalam stroma

12

usus diperlukan untuk pengembangan ganglion enterik normal, sedangkan


tidak adanya atau disfungsi mereka juga mungkin memiliki peran dalam
etiologi penyakit Hirschsprung (Wagner et al., 2015).
Baru-baru ini, peneliti telah mengidentifikasi beberapa gen yang tidak
tepat

menghasilkan

ekspresi

fenotipe

penyakit

Hirschsprung.

RET

protoonkogen telah terlibat dalam beberapa penelitian dari pathogenesis


Hirschsprung. Pada tahun 2011, Jadi dan rekan menemukan bahwa varian
langka RET dikaitkan dengan fenotipe lebih parah di antara pasien
Hirschsprung Cina. Leon dan rekan pada tahun 2012 menetapkan bahwa
mutasi urutan coding RET sporadis pada pasien Hirschsprung menghasilkan
truncations protein yang akan menghalangi translokasi membran sel dan
anchoring. Pada tahun 2013, Qin dan rekannya melakukan analisis microarray
dari usus aganglionik dan jaringan normal. Mereka menemukan 622 gen
dengan ekspresi anomali dalam jaringan aganglionik, dan ekspresi HAND2
myenteric secara signifikan dilemahkan. Dalam perbandingan ekspresi gen
antara kolon normal dan aganglionik, Chen dan rekan menetapkan bahwa gen
DVL1 dan DVL3 yang berlebih dikaitkan dengan fenotipe Hirschsprung.
Dalam review 2013, Butler Tjaden dan rekan melaporkan bahwa mutasi pada
gen, RET, GDNF, GFR1, NRTN, EDNRB, ET3, ZFHX1B, PHOX2b,
SOX10, dan SHH hadir di sekitar 50% dari pasien penyakit Hirschsprung.
Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan kompleksitas dari pathogenesis
Hirschsprung. Studi yang sedang berlangsung dari faktor genetik dan
lingkungan akan terus menjelaskan penyakit bermasalah ini di masa depan
(Kessman et al., 2006).
Meskipun sel-sel ganglion enterik adalah entitas patogen utama pada
penyakit Hirschsprung, beberapa studi menunjukkan bahwa jenis sel lainnya
juga dapat terlibat. Ketika ekstrinsik dirangsang, sel-sel otot polos di usus
aganglionik tidak aktif. Sel-sel interstitial, yaitu sel pacemaker yang
menghubungkan saraf enterik dan otot polos usus, merupakan faktor yang
berkontribusi penting. Temuan

ini menunjukkan bahwa patofisiologi

Hirschsprung nantinya tidak terbatas pada sel-sel dalam ganglia enterik saja
(Kessman et al., 2006).

13

F. Patofisiologi
Pada penyakit Hirschprung, kolon mulai dari paling distal sampai pada
bagian usus yang berbeda ukuran penampangnya, tidak mempunyai ganglion
parasimpatis intramural. Bagian kolon yang aganglionik ini tidak dapat
mengembang sehingga tetap sempit dan defekasi terganggu. Akibat gangguan
defekasi ini kolon proksimal yang normal akan melebar oleh tinja yang
tertimbun, membentuk megakolon. Hirschprung segmen pendek, daerah
aganglionik meliputi rectum sampai sigmoid merupakan kelainan terbanyak
(18%), yang disebut hirschprung klasik. Hirschprung segmen panjang, daerah
aganglionik meluas lebih tinggi dari sigmoid Bila mengenai seluruh kolon
disebut kolon aganglionik total (Tjaden et al., 2013).
Tidak adanya ganglion yang meliputi pleksus auerbach yang terletak
pada lapisan otot dan pleksus meineri pada submucosa serabut saraf mengalami
hipertrofi dan didapatkan kenaikan kadar asetilkolinesterasi pada segmen yang
aganglionik. Gangguan inervasi parasimpatis akan menyebabkan kegagalan
peristaltik sehingga mengganggu propulsi isi usus. Daya propulsi yang tidak
ada menyebabkan proses evakuasi feses dan udara terganggu. Pasase usus yang
terganggu menimbulkan gejala trias obstruksi yang khas yaitu muntah hijau,
distensi abdomen dan keterlambatan evakuasi mekonium feses. Obstruksi dan
dilatasi

bagian proksimal

menyebabkan

refleks inhibisi rektosfingter

terganggu, sfingter ani interna tidak relaksasi. Feses lama dalam kolon rectum
menyebabkan konstipasi (Tjaden et al., 2013).
Akibat obstruksi dan dilatasi bagian proksimal, tekanan intralumen usus
meningkat, sehingga aliran usus menurun dan kontraksi usus menurun
menyebabkan stasis bakteri dalam membran mukosa usus. Proliferasi bakteri
dalam jumlah banyak terjadi dan timbulah reaksi inflamasi yang menyebabkan
peningkatan sekresi cairan dan elektrolit ke rongga usus disertai absorpsi.
Terbentuklah feses yang encer dan ini merupakan tanda enterokolitis. Akibat
dari tekanan usus yang meningkat dan inflamasi yang akhirnya merusak
jaringan pada lumen usus yang terkena dapat sebabkan ruptur usus atau

14

perforasi usus dan timbul gejala peritonitis dan sepsis yang dapat mengancam
nyawa (Tjaden et al., 2013).

15

Megakolon kongenital
Tidak adanya pleksus aurbach dan meissner di segmen rectosigmoid

Dengan hilangnya impuls intrinsik enteric untuk relaksasi kontrol otot polos usus adalah sangat dipengaruhi
oleh saraf aferen ekstrinstik Aktivitas dari kedua sistem kolinergik dan sistem adrenergik 2-3 kali dari usus
normal Sistem adrenergik diperkirakan mendominasi sistem kolinergik yang mengarah ke peningkatan
tonus otot polos tonus otot meningkat tidak ada yang melawan

Gangguan inervasi parasimpatis akan menyebabkan kegagalan peristaltik sehingga


mengganggu propulsi isi usus
proses evakuasi feses dan udara terganggu
gejala trias obstruksi yang khas yaitu muntah hijau, distensi abdomen dan keterlambatan evakuasi mekonium
feses
Obstruksi dan dilatasi bagian proksimal menyebabkan refleks inhibisi rektosfingter terganggu
sfingter ani interna tidak relaksasi

Tekanan intralumen usus

konstipasi

aliran usus menurun dan kontraksi usus


menurun

stasis bakteri dalam membran mukosa usus


Terjadi enterokolitits, reaksi inflamasi yang
menyebabkan peningkatan sekresi cairan dan
elektrolit ke rongga usus disertai absorpsi
feses yang encer

Proliferasi bakteri
tekanan usus yang meningkat dan inflamasi yang akhirnya
merusak jaringan pada lumen usus
Ruptur usus atau perforasi usus

Skema1. Patofisiologi Megakolon Kongenital

16

G. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis penyakit Hirschsprung dapat kita bedakan berdasarkan
usia dan gejala klinis yang mulai terlihat.
A. Periode Neonatal
Manifestasi penyakit Hirschsprung yang khas biasanya terjadi pada
neonatus cukup bulan. Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni
pengeluaran mekonium yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen.
Pengeluaran mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama)
merupakan tanda klinis yang signifikan. Pada lebih dari 90% bayi normal,
mekonium pertama keluar dalam usia 24 jam pertama, namun pada lebih
dari 90% kasus penyakit Hirschsprung mekonium keluar setelah 24 jam.
Mekonium normal berwarna hitam kehijauan, sedikit lengket dan dalam
jumlah yang cukup. Swenson (1973) mencatat angka 94% dari pengamatan
terhadap 501 kasus sedangkan Kartono mencatat angka 93,5% untuk waktu
24 jam dan 72,4% untuk waktu 48 jam setelah lahir. Tanda-tanda edema,
bercak-bercak kemerahan khususnya di sekitar umbilicus, punggung, dan di
sekitar genitalia ditemukan bila telah terdapat komplikasi peritonitis.
Sedangkan enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi
penderita penyakit Hirschsprung ini, yang dapat menyerang pada usia kapan
saja, namun paling tinggi saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah dapat
dijumpai pada usia 1 minggu. Gejalanya berupa diare, distensi abdomen,
feses berbau busuk dan disertai demam (Izadi et al, 2009)
B. Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi
kronis dan gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat gerakan
peristaltik usus di dinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan colok
dubur, maka feses biasanya keluar menyemprot, konsistensi semi-liquid dan
berbau tidak sedap. Penderita biasanya buang air besar tidak teratur, sekali
dalam beberapa hari dan biasanya sulit untuk defekasi (Izadi et al, 2009)

17

H. Penegakkan Diagnosis
Diagnosis penyakit Hirschsprung harus ditegakkan sedini mungkin.
Keterlambatan diagnosis dapat meyebabkan berbagai komplikasi yang
merupakan penyebab kematian tersering, seperti enterokolitis, perforasi usus,
dan sepsis. Pada tahun 1946, Ehrenpreis menekankan bahwa diagnosa penyakit
Hirschsprung dapat ditegakkan pada masa neonatal.
1. Anamnesis
a. Adanya keterlambatan pengeluaran mekonium yang pertama, biasanya
keluar >24 jam.
b. Adanya muntah berwarna hijau
c. Adanya obstipasi masa neonatus, jika terjadi pada anak yang lebih besar
maka obstipasi semakin sering, perut kembung, dan pertumbuhan
terhambat.
d. Enterokolitis pada neonatal
e. Pada anak yang lebih besar biasanya disertai dengan konstipasi yang
berat, muntah, distensi perut yang kronik dan gagal tumbuh (failure to
f.

thrive)
Adanya riwayat keluarga sebelumnya yang pernah menderita keluhan
serupa, misalnya anak laki-laki terdahulu meninggal sebelum usia 2

minggu dengan riwayat tidak dapat defekasi (Wagner, 2015)


2. Pemeriksaan Fisik
a. Pada neonatus biasa ditemukan :
Inspeksi: cembung, darm steifung atau darm contour bisa muncul atau
tidak
Auskultasi: masih dapat ditemukan adanya bising usus
Palpasi: Distensi abdomen kadang disertai nyeri tekan abdomen
Perkusi : timpani hingga hipertimpani
b. Bila dilakukan colok dubur maka sewaktu jari ditarik keluar maka feses
akan menyemprot keluar dalam jumlah yang banyak dan kemudian
tampak perut anak sudah kempes lagi (Lee, 2009).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Radiologi
Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting pada
penyakit Hirschsprung. Pada foto polos abdomen dapat dijumpai
gambaran obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi sulit untuk
membedakan usus halus dan usus besar. Pemeriksaan yang merupakan

18

standard dalam menegakkan diagnosa Hirschsprung adalah barium


enema, dimana akan dijumpai 3 tanda khas (Izadi et al., 2009).:
1) Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang
panjangnya bervariasi.
2) Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke
arah daerah dilatasi.
3) Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi.
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit
Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni
foto setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan feces.
Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang membaur dengan
feces kearah proksimal kolon. Sedangkan pada penderita yang bukan
Hirschsprung namun disertai dengan obstipasi kronis, maka barium
terlihat menggumpal di daerah rektum dan sigmoid (Izadi et al., 2009).

Gambar. Tampak dilatasi dari kolon tanpa adanya udara di bagian


rectum (Frontal abdominal radiograph)

19

Gambar 10. Diameter kolon sigmoid dan rectum yang semakin


menyempit/kecil (Lateral view from a barium enema examination)

Gambar 11. Pemeriksaan barium enema menunjukkan


berkurangnya caliber dari rektum yang diikuti oleh zona transisi
kearah pembesaran sigmoid.
b. Patologi anatomi
Walaupun standar diagnosa megakolon kongenital dapat ditegakkan
dengan pemeriksaan barium enema, diagnosa pasti tetap ditentukan oleh
pemeriksaan histopatologi (full thickness rectal biopsy) yang didasarkan
atas absennya sel ganglion pada pleksus mienterik (Auerbach) dan
20

pleksus sub-mukosa (Meissner). Disamping itu akan terlihat dalam


jumlah banyak penebalan serabut syaraf (parasimpatis). Akurasi
pemeriksaan akan semakin tinggi jika menggunakan pengecatan
immunohistokimia

asetilkolinesterase,

suatu enzim yang

banyak

ditemukan pada serabut syaraf parasimpatis, dibandingkan dengan


pengecatan konvensional dengan haematoxylin eosin (Rahman et al.,
2010).
c. Manometri Anorektal
Pemeriksaan manometri anorektal adalah suatu pemeriksaan objektif
mempelajari fungsi fisiologi defekasi pada penyakit yang melibatkan
spinkter anorektal. Dalam prakteknya, manometri anorektal dilaksanakan
apabila hasil pemeriksaan klinis, radiologis dan histologis meragukan.
Pada dasarnya, alat ini memiliki 2 komponen dasar , yaitu transduser
yang sensitif terhadap tekanan seperti balon mikro dan kateter mikro,
serta sisitem pencatat seperti poligraph atau computer (Naspghan &
Apgnn, 2006). Beberapa hasil manometri anorektal yang spesifik bagi
penyakit Hirschsprung adalah :
1) Hiperaktivitas pada segmen yang dilatasi
2) Tidak dijumpai kontraksi peristaltik yang terkoordinasi pada segmen
usus aganglionik
3) Tidak dijumpai relaksasi spinkter interna setelah distensi rektum
akibat desakan feces. Tidak dijumpai relaksasi spontan (Naspghan &
Apgnn, 2006).

21

I. Komplikasi
Secara garis besarnya, komplikasi pasca tindakan bedah penyakit
Hirschsprung dapat digolongkan atas kebocoran anastomose, stenosis,
enterokolitis dan gangguan fungsi spinkter. Beberapa hal dicatat sebagai faktor
predisposisi terjadinya penyulit pasca operasi, diantaranya : usia muda saat
operasi, kondisi umum penderita saat operasi, prosedur bedah yang digunakan,
keterampilan dan pengalaman dokter bedah, jenis dan cara pemberian
antibiotik serta perawatan pasaca bedah.
1. Kebocoran Anastomose
Kebocoran anastomose pasca operasi dapat disebabkan oleh
ketegangan yang berlebihan pada garis anastomose, vaskularisasi yang tidak
adekuat pada kedua tepi sayatan ujung usus, infeksi dan abses sekitar
anastomose serta trauma colok dubur atau businasi pasca operasi yang
dikerjakan terlalu dini dan tidak hati-hati. Kartono mendapatkan angka
kebocoran anastomese hingga 7,7% dengan menggunakan prosedur
Swenson, sedangkan apabila dikerjakan dengan prosedur Duhamel
modifikasi hasilnya sangat baik dengan tak satu kasuspun mengalami
kebocoran.
Manifestasi klinis yang terjadi akibat kebocoran anastomose ini
beragam. Kebocoran anastomosis ringan menimbulkan gejala peningkatan
suhu tubuh, terdapat infiltrat atau abses rongga pelvik, kebocoran berat
dapat terjadi demam tinggi, pelvioperitonitis atau peritonitis umum , sepsis
dan kematian. Apabila dijumpai tanda-tanda dini kebocoran, segera dibuat
kolostomi di segmen proksimal.
2. Stenosis
Stenosis yang terjadi pasca operasi dapat disebabkan oleh gangguan
penyembuhan luka di daerah anastomose, infeksi yang menyebabkan
terbentuknya jaringan fibrosis, serta prosedur bedah yang dipergunakan.
Stenosis sirkuler biasanya disebabkan komplikasi prosedur Swenson atau
Rehbein, stenosis posterior berbentuk oval akibat prosedur Duhamel
sedangkan bila stenosis memanjang biasanya akibat prosedur Soave.

22

Manifestasi yang terjadi dapat berupa gangguan defekasi yaitu


kecipirit, distensi abdomen, enterokolitis hingga fistula perianal. Tindakan
yang dapat dilakukan bervariasi, tergantung penyebab stenosis, mulai dari
businasi hingga sfinkterektomi posterior.
3. Enterokolitis
Enterokolitis merupakan komplikasi yang paling berbahaya, dan dapat
berakibat kematian. Swenson mencatat angka 16,4% dan kematian akibat
enterokolitis mencapai 1,2%. Kartono mendapatkan angka 14,5% dan
18,5% masing-masing untuk prosedur Duhamel modifikasi dan Swenson.
Sedangkan angka kematiannya adalah 3,1% untuk prosedur Swenson dan
4,8% untuk prosedur Duhamel modifikasi. Tindakan yang dapat dilakukan
pada penderita dengan tanda-tanda enterokolitis adalah :
a. Segera melakukan resusitasi cairan dan elektrolit,
b. Pemasangan pipa rektal untuk dekompresi,
c. Melakukan wash out dengan cairan fisiologis 2-3 kali perhari
d. Pemberian antibiotika yang tepat.
Sedangkan untuk koreksi bedahnya tergantung penyebab/prosedur
operasi yang telah dikerjakan. Businasi pada stenosis, sfingterotomi
posterior untuk spasme spingter ani dapat juga dilakukan reseksi ulang
stenosis. Prosedur Swenson biasanya disebabkan spinkter ani terlalu ketat
sehingga perlu spinkterektomi posterior. Sedangkan pada prosedur Duhamel
modifikasi, penyebab enterokolitis biasanya adalah pemotongan septum
yang tidak sempurna sehingga perlu dilakukan pemotongan ulang yang
lebih panjang.
Enterokolitis dapat terjadi pada semua prosedur tetapi lebih kecil pada
pasien dengan endorektal pullthrough. Enterokolitis merupakan penyebab
kecacatan dan kematian pada megakolon kongenital, mekanisme timbulnya
enterokolitis menurut Swenson adalah karena obtruksi parsial. Obtruksi usus
pasca bedah disebabkan oleh stenosis anastomosis, sfingter ani dan kolon
aganlionik yang tersisa masih spastik. Manifestasi klinis enterokolitis
berupa distensi abdomen diikuti tanda obtruksi seperti muntah hijau atau
fekal dan feses keluar eksplosif cair dan berbau busuk. Enetrokolitis

23

nekrotikan merupakan komplikasi paling parah dapat terjadi nekrosis,


infeksi dan perforasi. Hal yang sulit pada megakolon kongenital adalah
terdapatnya gangguan defekasi pasca pullthrough, kadang ahli bedah
dihadapkan pada konstipasi persisten dan enterokolitis berulang pasca
bedah.
4. Gangguan Fungsi Sfinkter
Hingga saat ini, belum ada suatu parameter atau skala yang diterima
universal untuk menilai fungsi anorektal ini. Fecal soiling atau kecipirit
merupakan parameter yang sering dipakai peneliti terdahulu untuk menilai
fungsi anorektal pasca operasi, meskipun secara teoritis hal tersebut tidaklah
sama. Kecipirit adalah suatu keadaan keluarnya feces lewat anus tanpa dapat
dikendalikan oleh penderita, keluarnya sedikit-sedikit dan sering. Untuk
menilai kecipirit, umur dan lamanya pasca operasi sangatlah menentukan
(Heikkinen dkk,1997; Lister,1996; Heij dkk,1995). Swenson memperoleh
angka 13,3% terjadinya kecipirit, sedangkan Kleinhaus justru lebih rendah
yakni 3,2% dengan prosedur yang sama. Kartono mendapatkan angka 1,6%
untuk prosedur Swenson dan 0% untuk prosedur Duhamel modifikasi.
Sedangkan prosedur Rehbein juga memberikan angka 0%.Pembedahan
dikatakan berhasil bila penderita dapat defekasi teratur dan kontinen.
J. Prognosis
Secara umum prognosisnya baik jika gejala obstruksi segera diatasi, 90%
pasien dengan penyakit hirschprung yang mendapat tindakan pembedahan
mengalami penyembuhan dan hanya sekitar 10% pasien yang masih
mempunyai masalah dengan saluran cernanya sehingga harus dilakukan
kolostomi permanen. Angka kematian akibat komplikasi dari tindakan
pembedahan pada bayi sekitar 20% .1

24

III.

KESIMPULAN

1. Megacolon Congenital adalah pembesaran abnormal atau dilatasi colon karena


tidak adanya sel-sel ganglion myenterik pada usus besar segmen distal
(aganglionosis).
2. Gambaran klinis penyakit Hirschsprung dapat dibedakan berdasarkan usia
gejala klinis mulai terlihat dimana pada periode neonatal terdapat tris gejala
klinis yakni pengeluaran

mekonium yang terlambat, muntah hijau dan

distensi abdomen
3. Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi
kronis dan gizi buruk (failure to thrive).
4. Diagnosis megakolon congenital ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik dan penunjang.
5. Penatalaksanaan megakolon congenital terdiri dari tindakan non bedah dan
tindakan bedah.
6. Tindakan bedah terdiri dari tindakan bedah sementara, dan tindakan bedah
definitive dengan beberapa prosedur yaitu

Prosedur Swenson, Prosedur

Duhamel, Prosedur Soave atau Endorectal Pull Through, Prosedur Rehbein.


7. Komplikasi yang dapat terjadi dari megakolon kongenital adalah kebocoran
anastomose, stenosis, enterokolitis, gangguan fungsi spinkter.

DAFTAR PUSTAKA

25

Farid Nur Mantu. 1993. Catatan Kuliah Ilmu Bedah Anak. Jakarta: EGC
Fonkalsrud. 1997. Hirschsprungs disease. In:Zinner MJ, Swhartz SI, Ellis H,
editors. Maingots Abdominal Operation. 10th ed. New York: Prentice-Hall
intl.inc. Vol 20: 97-105.
Hansen J T, Koeppen B M. 2009. Netters Atlas of Human Body Physiology 7th
ed. Teterboro: Icon Learning
Heikkinen M, Rintala R, Luukkonen. 1997. Longterm Anal Spincter Performance
After Surgery For Hirschsprungs Disease. J Pediatr Surg. Vol 32: 14431446.
Izadi M, Mansour MF, Jafarshad R, Joukar F, Bagherzadeh AH, Tareh F. 2009.
Clinical Manifestations of Hirschsprungs Disease: A Six Year Course
Review of Admitted Patients in Gilan, Northern Iran. Middle East Journal
of Digestive Diseases. Vol 1:68-73.
Kartono D. 1993. Penyakit Hirschsprung : Perbandingan Prosedur Swenson Dan
Duhamel Modifikasi. Disertasi Pascasarjana. Jakarta: FKUI
Kessman, J., Cassey, M., Shelley, R. et al. 2006. Pathogenesis and
Pathophysiology of Hirschprung Disease. Journal of American Family
Physician Vol 74 (8) Hal 1320-1324.
NASPGHAN (The North American Society for Pediatric Gastroenterology,
Hepatology and Nutrition) dan APGNN (The Association of Pediatric
Gastroenterology and Nutrition Nurses). 2006. Hirschsprungs Disease.
Available from: www.naspghan.org. Diakses pada 3 November 2016.
Rahman Z, Hannan J, Islam S. Hirschsprung's Disease: Role of Rectal Suction
Biopsy-Data on 216 Specimens. Journal of Indian Association Pediatric
Surgery. Vol 15: 56-58.
Sjamsuhidajat dan Wim De Jong. 2004. Tindakan Bedah: organ dan sistem organ,
usus halus, apendiks, kolon, dan anorektum, Kelainan bawaan, In: Buku
Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Sadler T W. 2011. Embriologi Kedokteran Langman. Jakarta: EGC.
Snell R S. 2012. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: EGC
Swenson O, Raffensperger JG. 1990. Hirschsprungs Disease. In: Raffensperger
JG,editor. Swensons Pediatric Surgery. 5th Ed. Connecticut: Appleton &
Lange Vol 5: 55-77.
Swenson O. 2002. Hirschsprungs Disease : A Review. J Pediatr. Vol 109:914918.

26

Tjaden, B and Trainor, P.A. 2013. The Developmental Etiology and Pathogenesis
of Hirschsprung Disease. Transl. Res Journal Vol 162(1) Hal 1-15.
Wagner, J. P., Steven, L. L., Shekherdimian, S.,et al. 2015. Pathogenesis of
Hirschprung Disease. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/178493-overview Diakses pada
tanggal 3 November 2016.
.

27

You might also like