Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit Hirschsprung (Megakolon kongenital) dapat dikatakan sebagai
kasus bedah yang jarang dijumpai dalam praktek medis sehari-hari. Megakolon
kongenital adalah suatu kelainan bawaan berupa aganglionik usus, mulai dari
spinkter ani interna kearah proksimal dengan panjang yang bervariasi, tetapi
selalu termasuk anus dan setidak-tidaknya sebagian rektum dengan gejala
klinis berupa gangguan pasase usus fungsional.
Sembilan puluh persen (90%) terletak pada rectosigmoid, akan tetapi
dapat mengenai seluruh kolon bahkan seluruh usus. Tidak adanya ganglion sel
ini mengakibatkan hambatan pada gerakan peristaltik sehingga terjadi ileus
fungsional dan dapat terjadi hipertrofi serta distensi yang berlebihan pada
kolon yang lebih proksimal.
Insidensi penyakit Hirschprung di Indonesia tidak diketahui secara pasti,
tetapi diperkirakan berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup, dengan jumlah
penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka
diprediksikan setiap tahun akan lahir sekitar 1400 bayi dengan penyakit
Hirschprung. Laki-laki 4 kali lebih banyak dibanding perempuan. Menurut
catatan Swenson, 81,1 % dari 880 kasus yang diteliti adalah laki-laki.
Richardson dan Brown menemukan tendensi faktor keturunan pada
penyakit ini (ditemukan 57 kasus dalam 24 keluarga). Beberapa kelainan
kongenital dapat ditemukan bersamaan dengan penyakit Hirschsprung, namun
hanya 2 kelainan yang memiliki angka yang cukup signifikan yakni Down
Syndrome (5-10 %) dan kelainan urologi (3%).
Pengetahuan masyarakat mengenai penyakit megakolon kongenital
masih rendah, terutama masyarakat yang tinggal di pedesaan. Hal ini
menyebabkan keterlambatan dalam diagnosis penyakit megakolon kongenital
yang berujung pada keterlambatan dalam penatalaksanaan penyakit ini. Bila
tindakan yang dilakukan terlambat maka memungkinkan terjadinya suatu
komplikasi
dari
penyakit
megakolon
kongenital
yaitu
enterokolitis.
II.
A.
TINJAUAN PUSTAKA
distal kanalis analis berasal dari ectoderm. Hindgut masuk ke bagian posterior
kloaka (bakal kanalis anorektalis) dan allantois masuk ke bagian anteriornya
(bakal sinus urogenital) (Sadler, 2012).
midgut dan
bersatu pada sigmoid distal. Panjang taenia lebih pendek daripada usus
sehingga usus tertarik dan berkerut membentuk kantong-kantong kecil yang
disebut haustra. Pada taenia melekat kantong-kantong kecil peritoneum yang
berisi lemak yang disebut apendices epiploika. Lapisan mukosa usus besar
lebih tebal dengan kriptus lieberkuhn terletak lebih dalam serta mempunyai sel
goblet lebih banyak daripada usus halus.
arteri kolika dekstra, dan arteri kolika media. Sedangkan arteri mesenterika
inferior memvaskularisasi kolon bagian kiri (mulai dari sepertiga distal kolon
transversum sampai rektum bagian proksimal). Arteri mesenterika inferior
mempunyai tiga cabang yaitu arteri kolika sinistra, arteri hemorroidalis
superior, dan arteri sigmoidea. Vaskularisasi tambahan daerah rektum diatur
oleh arteria sakralis media dan arteria hemorroidalis inferior dan media. Aliran
balik vena dari kolon dan rektum superior melalui vena mesenterika superior
dan inferior serta vena hemorroidalis superior, yaitu bagian dari sistem portal
yang mengalirkan darah ke hati. Vena hemorroidalis media dan inferior
mengalirkan darah ke vena iliaka dan merupakan bagian dari sirkulasi
sistemik. Ada anastomosis antara vena hemorroidalis superior, media, dan
inferior sehingga peningkatan tekanan portal dapat mengakibatkan aliran balik
ke dalam vena-vena ini dan mengakibatkan hemorrhoid (Snell, 2012)
limfe anus dan kulit perineum mengikuti aliran limfe inguinalis superficialis
(Snell, 2012)
Inervasi usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom kecuali sfingter
eksternus yang diatur secara voluntar. Serabut parasimpatis berjalan melalui
saraf vagus ke bagian tengah kolon transversum, dan saraf pelvikus yang
berasal dari daerah sakral mensuplai bagian distal. Serabut simpatis yang
berjalan dari pars torasika dan lumbalis medula spinalis melalui rantai
simpatis ke ganglia simpatis preortika. Disana bersinaps dengan post ganglion
yang mengikuti aliran arteri utama dan berakhir pada pleksus mienterikus
(Aurbach) dan submukosa (meissner). Perangsangan simpatis menyebabkan
penghambatan sekresi dan kontraksi, serta perangsangan sfingter rektum,
sedangkan saraf parasimpatis mempunyai efek yang berlawanan. Kendali usus
yang paling penting adalah aktivitas refleks lokal yang diperantarai oleh
pleksus nervosus intramural (Meissner dan Aurbach) dan interkoneksinya
(Snell, 2012)
Jadi pasien dengan kerusakan medula spinalis maka fungsi ususnya tetap
normal, sedangkan pasien dengan penyakit hirschsprung akan mempunyai
fungsi usus yang abnormal karena pada penyakit ini terjadi keabsenan pada sel
ganglion mienteric dan ganglion submokosal (pleksus aurbach dan Meissner)
di traktus gastrointertinal bagian distal. Megacolon kongenital merupakan
neurocristopathy karena adanya migrasi ke arah craniocaudal yang prematur
dari sel neural vagal di usus belakang untuk membentuk ssstem saraf enteric
pada usia gestasi ke 5 hingga 12 minggu. Sebagai konsekuensinya, sel
ganglion intramural di plexus Meissner dan Auerbach menjadi tidak ada
(Sadler, 2011).
C.
Definisi
Megakolon Kongenital adalah pembesaran abnormal atau dilatasi
kolon karena tidak adanya sel-sel ganglion myenterik pada usus besar segmen
distal (aganglionosis). Sel-sel ganglion bertanggung jawab atas kontraksi
ritmik yang diperlukan untuk mencerna makanan yang masuk. Hilangnya
fungsi motorik dari segmen ini menyebabkan dilatasi hypertropik massive
kolon proximal yang normal sehingga terjadi kesulitan defekasi dan feses
Etiologi
Sekitar 10% kasus penyakit Hirschsprung timbul secara herediter
melalui mutasi sporadik di dalam gen, angka ini dapat lebih tinggi pada pasien
dengan segmen penyakit yang lebih panjang. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa seseorang dengan riwayat keluarga terpapar penyakit Hirschsprung
beresiko lebih tinggi.
Penyakit Hirschsprung ditemukan pada kelainan-kelainan Kongenital
sebagai berikut:
10
1.
Sindroma Down
2.
Sindroma Neurocristopathy
3.
Sindroma Waardenburg-Shah
4.
5.
Piebaldism
6.
Sindroma Goldberg-Shprintzen
7.
8.
9.
Cartilage-hair hypoplasia
10.
11.
Penyakit
Chagas,
pada
penyakit
ini
tripanosoma
11
E. Patogenesis
Tiga pleksus saraf yang menginervasi usus, yaitu pleksus submukosa
(Meissner), pleksus myenterik (Aurbach), dan pleksus mukosa kecil. Semua
pleksus ini terintegrasi dan terlibat dalam semua aspek fungsi usus, termasuk
absorbsi, sekresi, motilitas, dan regulasi aliran darah (Wagner et al., 2015).
Motilitas normal utama di bawah kendali neuron intrinsik. Dengan tidak
adanya sinyal ekstrinsik, fungsi usus tetap memadai, karena arsitektur refleksif
kompleks dari enteric nervus system (ENS). Untuk alasan ini, ENS sering
disebut sebagai "otak kedua." Kontraksi otot polos usus dan relaksasi berada di
bawah
kendali
ganglia
enterik.
Kebanyakan
aktivasi
saraf
enterik
12
menghasilkan
ekspresi
fenotipe
penyakit
Hirschsprung.
RET
Hirschsprung nantinya tidak terbatas pada sel-sel dalam ganglia enterik saja
(Kessman et al., 2006).
13
F. Patofisiologi
Pada penyakit Hirschprung, kolon mulai dari paling distal sampai pada
bagian usus yang berbeda ukuran penampangnya, tidak mempunyai ganglion
parasimpatis intramural. Bagian kolon yang aganglionik ini tidak dapat
mengembang sehingga tetap sempit dan defekasi terganggu. Akibat gangguan
defekasi ini kolon proksimal yang normal akan melebar oleh tinja yang
tertimbun, membentuk megakolon. Hirschprung segmen pendek, daerah
aganglionik meliputi rectum sampai sigmoid merupakan kelainan terbanyak
(18%), yang disebut hirschprung klasik. Hirschprung segmen panjang, daerah
aganglionik meluas lebih tinggi dari sigmoid Bila mengenai seluruh kolon
disebut kolon aganglionik total (Tjaden et al., 2013).
Tidak adanya ganglion yang meliputi pleksus auerbach yang terletak
pada lapisan otot dan pleksus meineri pada submucosa serabut saraf mengalami
hipertrofi dan didapatkan kenaikan kadar asetilkolinesterasi pada segmen yang
aganglionik. Gangguan inervasi parasimpatis akan menyebabkan kegagalan
peristaltik sehingga mengganggu propulsi isi usus. Daya propulsi yang tidak
ada menyebabkan proses evakuasi feses dan udara terganggu. Pasase usus yang
terganggu menimbulkan gejala trias obstruksi yang khas yaitu muntah hijau,
distensi abdomen dan keterlambatan evakuasi mekonium feses. Obstruksi dan
dilatasi
bagian proksimal
menyebabkan
terganggu, sfingter ani interna tidak relaksasi. Feses lama dalam kolon rectum
menyebabkan konstipasi (Tjaden et al., 2013).
Akibat obstruksi dan dilatasi bagian proksimal, tekanan intralumen usus
meningkat, sehingga aliran usus menurun dan kontraksi usus menurun
menyebabkan stasis bakteri dalam membran mukosa usus. Proliferasi bakteri
dalam jumlah banyak terjadi dan timbulah reaksi inflamasi yang menyebabkan
peningkatan sekresi cairan dan elektrolit ke rongga usus disertai absorpsi.
Terbentuklah feses yang encer dan ini merupakan tanda enterokolitis. Akibat
dari tekanan usus yang meningkat dan inflamasi yang akhirnya merusak
jaringan pada lumen usus yang terkena dapat sebabkan ruptur usus atau
14
perforasi usus dan timbul gejala peritonitis dan sepsis yang dapat mengancam
nyawa (Tjaden et al., 2013).
15
Megakolon kongenital
Tidak adanya pleksus aurbach dan meissner di segmen rectosigmoid
Dengan hilangnya impuls intrinsik enteric untuk relaksasi kontrol otot polos usus adalah sangat dipengaruhi
oleh saraf aferen ekstrinstik Aktivitas dari kedua sistem kolinergik dan sistem adrenergik 2-3 kali dari usus
normal Sistem adrenergik diperkirakan mendominasi sistem kolinergik yang mengarah ke peningkatan
tonus otot polos tonus otot meningkat tidak ada yang melawan
konstipasi
Proliferasi bakteri
tekanan usus yang meningkat dan inflamasi yang akhirnya
merusak jaringan pada lumen usus
Ruptur usus atau perforasi usus
16
G. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis penyakit Hirschsprung dapat kita bedakan berdasarkan
usia dan gejala klinis yang mulai terlihat.
A. Periode Neonatal
Manifestasi penyakit Hirschsprung yang khas biasanya terjadi pada
neonatus cukup bulan. Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni
pengeluaran mekonium yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen.
Pengeluaran mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama)
merupakan tanda klinis yang signifikan. Pada lebih dari 90% bayi normal,
mekonium pertama keluar dalam usia 24 jam pertama, namun pada lebih
dari 90% kasus penyakit Hirschsprung mekonium keluar setelah 24 jam.
Mekonium normal berwarna hitam kehijauan, sedikit lengket dan dalam
jumlah yang cukup. Swenson (1973) mencatat angka 94% dari pengamatan
terhadap 501 kasus sedangkan Kartono mencatat angka 93,5% untuk waktu
24 jam dan 72,4% untuk waktu 48 jam setelah lahir. Tanda-tanda edema,
bercak-bercak kemerahan khususnya di sekitar umbilicus, punggung, dan di
sekitar genitalia ditemukan bila telah terdapat komplikasi peritonitis.
Sedangkan enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi
penderita penyakit Hirschsprung ini, yang dapat menyerang pada usia kapan
saja, namun paling tinggi saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah dapat
dijumpai pada usia 1 minggu. Gejalanya berupa diare, distensi abdomen,
feses berbau busuk dan disertai demam (Izadi et al, 2009)
B. Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi
kronis dan gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat gerakan
peristaltik usus di dinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan colok
dubur, maka feses biasanya keluar menyemprot, konsistensi semi-liquid dan
berbau tidak sedap. Penderita biasanya buang air besar tidak teratur, sekali
dalam beberapa hari dan biasanya sulit untuk defekasi (Izadi et al, 2009)
17
H. Penegakkan Diagnosis
Diagnosis penyakit Hirschsprung harus ditegakkan sedini mungkin.
Keterlambatan diagnosis dapat meyebabkan berbagai komplikasi yang
merupakan penyebab kematian tersering, seperti enterokolitis, perforasi usus,
dan sepsis. Pada tahun 1946, Ehrenpreis menekankan bahwa diagnosa penyakit
Hirschsprung dapat ditegakkan pada masa neonatal.
1. Anamnesis
a. Adanya keterlambatan pengeluaran mekonium yang pertama, biasanya
keluar >24 jam.
b. Adanya muntah berwarna hijau
c. Adanya obstipasi masa neonatus, jika terjadi pada anak yang lebih besar
maka obstipasi semakin sering, perut kembung, dan pertumbuhan
terhambat.
d. Enterokolitis pada neonatal
e. Pada anak yang lebih besar biasanya disertai dengan konstipasi yang
berat, muntah, distensi perut yang kronik dan gagal tumbuh (failure to
f.
thrive)
Adanya riwayat keluarga sebelumnya yang pernah menderita keluhan
serupa, misalnya anak laki-laki terdahulu meninggal sebelum usia 2
18
19
asetilkolinesterase,
banyak
21
I. Komplikasi
Secara garis besarnya, komplikasi pasca tindakan bedah penyakit
Hirschsprung dapat digolongkan atas kebocoran anastomose, stenosis,
enterokolitis dan gangguan fungsi spinkter. Beberapa hal dicatat sebagai faktor
predisposisi terjadinya penyulit pasca operasi, diantaranya : usia muda saat
operasi, kondisi umum penderita saat operasi, prosedur bedah yang digunakan,
keterampilan dan pengalaman dokter bedah, jenis dan cara pemberian
antibiotik serta perawatan pasaca bedah.
1. Kebocoran Anastomose
Kebocoran anastomose pasca operasi dapat disebabkan oleh
ketegangan yang berlebihan pada garis anastomose, vaskularisasi yang tidak
adekuat pada kedua tepi sayatan ujung usus, infeksi dan abses sekitar
anastomose serta trauma colok dubur atau businasi pasca operasi yang
dikerjakan terlalu dini dan tidak hati-hati. Kartono mendapatkan angka
kebocoran anastomese hingga 7,7% dengan menggunakan prosedur
Swenson, sedangkan apabila dikerjakan dengan prosedur Duhamel
modifikasi hasilnya sangat baik dengan tak satu kasuspun mengalami
kebocoran.
Manifestasi klinis yang terjadi akibat kebocoran anastomose ini
beragam. Kebocoran anastomosis ringan menimbulkan gejala peningkatan
suhu tubuh, terdapat infiltrat atau abses rongga pelvik, kebocoran berat
dapat terjadi demam tinggi, pelvioperitonitis atau peritonitis umum , sepsis
dan kematian. Apabila dijumpai tanda-tanda dini kebocoran, segera dibuat
kolostomi di segmen proksimal.
2. Stenosis
Stenosis yang terjadi pasca operasi dapat disebabkan oleh gangguan
penyembuhan luka di daerah anastomose, infeksi yang menyebabkan
terbentuknya jaringan fibrosis, serta prosedur bedah yang dipergunakan.
Stenosis sirkuler biasanya disebabkan komplikasi prosedur Swenson atau
Rehbein, stenosis posterior berbentuk oval akibat prosedur Duhamel
sedangkan bila stenosis memanjang biasanya akibat prosedur Soave.
22
23
24
III.
KESIMPULAN
distensi abdomen
3. Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi
kronis dan gizi buruk (failure to thrive).
4. Diagnosis megakolon congenital ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik dan penunjang.
5. Penatalaksanaan megakolon congenital terdiri dari tindakan non bedah dan
tindakan bedah.
6. Tindakan bedah terdiri dari tindakan bedah sementara, dan tindakan bedah
definitive dengan beberapa prosedur yaitu
DAFTAR PUSTAKA
25
Farid Nur Mantu. 1993. Catatan Kuliah Ilmu Bedah Anak. Jakarta: EGC
Fonkalsrud. 1997. Hirschsprungs disease. In:Zinner MJ, Swhartz SI, Ellis H,
editors. Maingots Abdominal Operation. 10th ed. New York: Prentice-Hall
intl.inc. Vol 20: 97-105.
Hansen J T, Koeppen B M. 2009. Netters Atlas of Human Body Physiology 7th
ed. Teterboro: Icon Learning
Heikkinen M, Rintala R, Luukkonen. 1997. Longterm Anal Spincter Performance
After Surgery For Hirschsprungs Disease. J Pediatr Surg. Vol 32: 14431446.
Izadi M, Mansour MF, Jafarshad R, Joukar F, Bagherzadeh AH, Tareh F. 2009.
Clinical Manifestations of Hirschsprungs Disease: A Six Year Course
Review of Admitted Patients in Gilan, Northern Iran. Middle East Journal
of Digestive Diseases. Vol 1:68-73.
Kartono D. 1993. Penyakit Hirschsprung : Perbandingan Prosedur Swenson Dan
Duhamel Modifikasi. Disertasi Pascasarjana. Jakarta: FKUI
Kessman, J., Cassey, M., Shelley, R. et al. 2006. Pathogenesis and
Pathophysiology of Hirschprung Disease. Journal of American Family
Physician Vol 74 (8) Hal 1320-1324.
NASPGHAN (The North American Society for Pediatric Gastroenterology,
Hepatology and Nutrition) dan APGNN (The Association of Pediatric
Gastroenterology and Nutrition Nurses). 2006. Hirschsprungs Disease.
Available from: www.naspghan.org. Diakses pada 3 November 2016.
Rahman Z, Hannan J, Islam S. Hirschsprung's Disease: Role of Rectal Suction
Biopsy-Data on 216 Specimens. Journal of Indian Association Pediatric
Surgery. Vol 15: 56-58.
Sjamsuhidajat dan Wim De Jong. 2004. Tindakan Bedah: organ dan sistem organ,
usus halus, apendiks, kolon, dan anorektum, Kelainan bawaan, In: Buku
Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Sadler T W. 2011. Embriologi Kedokteran Langman. Jakarta: EGC.
Snell R S. 2012. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: EGC
Swenson O, Raffensperger JG. 1990. Hirschsprungs Disease. In: Raffensperger
JG,editor. Swensons Pediatric Surgery. 5th Ed. Connecticut: Appleton &
Lange Vol 5: 55-77.
Swenson O. 2002. Hirschsprungs Disease : A Review. J Pediatr. Vol 109:914918.
26
Tjaden, B and Trainor, P.A. 2013. The Developmental Etiology and Pathogenesis
of Hirschsprung Disease. Transl. Res Journal Vol 162(1) Hal 1-15.
Wagner, J. P., Steven, L. L., Shekherdimian, S.,et al. 2015. Pathogenesis of
Hirschprung Disease. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/178493-overview Diakses pada
tanggal 3 November 2016.
.
27