You are on page 1of 23

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA FISIKA

KINETIKA REAKSI

Oleh:
TKS1-C
Kelompok 4

Aisyah Rani

(1307113021)

Mustapa Ardi

(1307112867)

Rusma Yanti

(1307122933)

Program Sarjana Teknik Kimia


Fakultas Teknik Universitas Riau
2014

BAB I
Landasan Teori

1.1 Pengertian Kinetika Reaksi


Kinetika reaksi adalah cabang ilmu kimia yang mempelajari berlangsungnya
suatu reaksi. Kinetika reaksi menerangkan dua hal yaitu mekanisme reaksi dan
laju reaksi. Dalam kehidupan konsep laju reaksi sudah banyak diterapkan dalam
kegiatan sehari-hari, dan yang menjadi prinsipnya adalah semakin luas bidang
sentuh maka akan semakin cepat laju reaksinya, seperti contoh penduduk
pedesaan membelah kayu gelondongan menjadi beberapa bagian sebelum
dimasukkan ke tungku perapian. Sedangkan dalam bidang industri konsep
pengaruh luas permukaan bidang sentuh terhadap laju reaksi diterapkan pada
beberapa industri seperti industri alumunium, logam alumunium diperoleh dari
mineral bauksit melalui proses peleburan dan elektrolisis. Pada industri semen
konsep laju reaksi konsep laju reaksi diterapkan saat batu kapur dihancurkan
menggunakan mesin penghancur sampai halus. Penghancuran ini bertujuan
mempercepat reaksi pada proses selanjutnya (Anderton, 1997).
Dalam ilmu kimia persamaan laju reaksi hanya dapat dinyatakan berdasarkan
data hasil percobaan. Dari data tersebut akan didapat cara untuk menentukan orde
reaksi dan konstata laju reaksi. Persamaan laju reaksi ditentukan berdasarkan
konsentrasi awal setiap zat dipangkatkan orde reaksinya. Nilai orde reaksi tak
selalu sama dengan koefisien reaksi zat yang bersangkutan, karena orde reaksi
merupakan penjumlahan dari orde reaksi setiap zat pereaksi. Mekanisme reaksi
dipakai untuk menerangkan bagian langkah suatu reaktan berubah menjadi suatu
produk(Anderton, 1997).
Dalam ilmu kimia, laju reaksi menunjukan perubahan konsentrasi zat yang
terlibat dalam reaksi setiap satuan waktu. Konsentrasi pereaksi dalam suatu reaksi
kimia semakin lama semakin berkurang, sedangkan hasil reaksi semakin lama
semakin bertambah. Kinetika kimia merupakan salah satu cabang ilmu kimia
fisika yang mempelajari laju reaksi. Laju reaksi berhubungan dengan pembahasan

seberapa cepat atau lambat reaksi berlangsung. Sebagai contoh seberapa cepat
reaksi pemusnahan ozon di atmosfer bumi, seberapa cepat reaksi suatu enzim
dalam tubuh berlangsung dan sebagainya (Atkinson, 1989). Bila terdapat reaksi
sebagai berikut:
Aa + bB

cC + dD

dimana a, b, c, dan d adalah koefisien reaksi dan A, B adalah reaktan dan C, D


adalah produk reaksi. Laju reaksi dapat didefinikan sebagai pengurangan reaktan
tiap satuan waktu dan dirumuskan sebagai:
V=

1 d [ A ] 1 d [ B ]
=
(1.1)
a dt
b dt

atau didefinisikan sebagai penambahan jumlah produk tiap satuan waktu dan
dirumuskan sebagai:
V=

1 d [C] 1 d [ D]
=
(1.2)
c dt
d dt

tanda minus (-) digunakan pada reaktan disebabkan jumlah reaktan setelah t detik
akan lebih kecil dibandingan dengan jumlah reaktan pada t 0 (waktu awal)
sehingga untuk mendapatkan hasil v yang bernilai positif maka harus
ditambahkan tanda minus. Nilai v yang dicarai dari keempat cara diatas yaitu
dengan memakai [A], [B], [C], dan [D] akan memiliki nilai yang sama (Morie,
2009).
Untuk mengukur laju reaksi , kita hanya perlu memonitor konsentrasi
salah satu reaktan atau produk sebagai fungsi dari waktu . sejauh ini, kesulitan
dalam mendefinisikan tentang laju reaksi terletak pada stochiometry reaksi .
Stoikiometri hanya mengacu pada jumlah mol masing-masing reaktan dan produk
yang muncul dalam persamaan reaksi . Misalnya , persamaan reaksi untuk proses
Haber terkenal, digunakan dalam industri untuk memproduksi ammonia (Smith,
1980) adalah :

N2 + 3H2

2NH3

N2 memiliki koefisien stokiometri dari 1, H2 memiliki koefisien 3, dan


NH3 memiliki koefisien 2. Kita bisa menentukan laju reaksi ini dalam salah satu
dari tiga cara, dengan memantau perubahan konsentrasi N 2, H2, atau NH3.
Katakanlah kita memantau N2, dan mendapatkan tingkat d [ N2 ]/dt = x mol dm3s .
Karena untuk setiap mol N2 yang bereaksi, kita kehilangan tiga mol H2, jika kita
telah dipantau H2 bukan N2 kita akan memperoleh tingkat d [H2] /dt = 3x mol dm 3 -1

s . Demikian pula , pemantauan konsentrasi NH 3 akan menghasilkan tingkat 2x

mol dm-3s1. Untuk reaksi di atas , biasanya diberikan simbol , karena itu (Smith,
1980):
V=

d [ N ] 2 13 d [ H ]2 12 d [ NH 3 ]
=
=
( 1.3)
dt
dt
dt
Perhatikan bahwa tanda negatif muncul ketika kita mendefinisikan

tingkat orde menggunakan konsentrasi salah satu reaktan. Hal ini karena laju
perubahan dari reaktan negatif (karena sedang digunakan dalam reaksi), tetapi
kebutuhan laju reaksi menjadi kuantitas positif (Smith, 1980).
Hukum laju adalah ekspresi yang berhubungan dengan laju reaksi
dengan konsentrasi bahan kimia spesies yang ada, termasuk reaktan, produk, dan
katalis. Banyak reaksi mengikuti hukum laju sederhana, yang mengambil bentuk
angka ini sebanding dengan konsentrasi masing-masing reaktan dengan kenaikan
beberapa pangkat. Konstanta proporsionalitas disebut konstanta laju (Savajano,
2011). Kekuatan konsentrasi menentukan urutan reaksi terhadap reaktan itu.
Jumlah kekuatan ini disebut urutan keseluruhan. Bahkan reaksi yang melibatkan
beberapa langkah dasar sering mematuhi hukum laju semacam ini, meskipun
dalam kasus ini perintah akan belum tentu mencerminkan stoikiometri dari
persamaan reaksi (Kassel,1996). Sebagai contoh, H2 + I2 2HI = k [H2][I2].
Reaksi lain mengikuti hukum laju yang kompleks. Ini sering memiliki
jauh lebih rumit ketergantungan pada spesies kimia ini, dan mungkin juga
mengandung lebih dari satu tingkat yang konstan. Hukum laju kompleks selalu
menyiratkan mekanisme reaksi multi-langkah.

Sebagai contoh, H2 + Br2 2HBr.


V=

[ H 2][Br 2]1 /2
(1.4)
k ' [ HBr ]
1+
[ Br 2 ]

Dalam contoh di atas, reaksi memiliki urutan 1 terhadap [ H 2 ] , tetapi


tidak mungkin untuk menentukan perintah terhadap Br2 dan HBr karena tidak ada
proporsionalitas langsung antara konsentrasi dan laju reaksinya. Akibatnya, juga
tidak mungkin untuk menentukan perintah keseluruhan untuk reaksi in. Agar
sehubungan dengan masing-masing reaktan mencerminkan molekularitas proses
(berapa banyak molekul yang terlibat ). Sebagai contoh(Pilling, 1985):
dekomposisi Unimolecular

A B = k [A]

Bimolecular reaction

A + B P = k [A][B]
A + A P = k [A][A] = k [A]2

Proses multi langkah dapat mengikuti hukum laju sederhana atau


kompleks , dan sebagai contoh di atas, hukum laju umumnya tidak mengikuti dari
persamaan reaksi keseluruhan. Ini masuk akal , karena persamaan reaksi
keseluruhan untuk proses multi langkah hanya berisi hasil dari semua reaksi dasar
dalam mekanisme hukum laju adalah akibat langsung dari urutan langkah-langkah
dasar yang merupakan mekanisme reaksi(Sander, 2003).
Setelah kita tahu urutan dasar langkah yang merupakan mekanisme
reaksi, kita dapat cukup cepat menyimpulkan hukum laju. Sebaliknya, jika kita
tidak tahu mekanisme reaksi, kita dapat melakukan percobaan untuk menentukan
perintah sehubungan dengan masing-masing reaktan dan kemudian mencoba
berbagai percobaan mekanisme reaksi untuk melihat mana yang paling cocok
dengan data eksperimen . Pada titik ini seharusnya ditekankan lagi bahwa untuk
reaksi multi-langkah, hukum laju, laju konstan, dan ketertiban yang ditentukan
oleh percobaan , dan perintah umumnya tidak sama dengan stoikiometri yang
koefisien dalam persamaan reaksi. Titik penting akhir tentang hukum laju adalah
bahwa hukum laju keseluruhan untuk berisi reaktan. Konsentrasi produk dan

katalis, tetapi tidak harus mengandung konsentrasi zat antara reaktif


(Kassel,1996).

1.2

Persamaan Laju Reaksi


Persamaan laju reaksi mendiskripsikan persamaan matematika yang

dipegunakan dalam kinetika kimia yang menghubungkan antara laju reaksi


dengan konsentrasi reaktan. Untuk reaksi yang sama seperti diatas, maka
persamaan laju reaksinya secara umum dapat didefinisikan sebagai berikut:
a

V =k [ A ] [B ] (1.5)
Dimana k adalah konstanta laju reaksi, a disebut orde reaksi terhadap A
dan b disebut orde reaksi terhadap B. Penjumlahan a+b menghasilkan orde reaksi
total. Persamaan laju reaksi tidak dapat ditentukan secara teoritis akan tetapi bisa
ditentukan melalui percobaan kimia/eksperimental (Morie, 2009). Ada kalanya
reaksi hanya dipengaruhi oleh satu reaktan atupun semua reaktan, dan nilai orde
reaksi bisa sama dengan koefisien reaksi maupun tidak. Berdasarkan orde reaksi
totalnya maka reaksi dibedakan atas reaksi orde 1, orde 2, orde 3 dan sebagainya.
Ada kalanya reaksi berorde nol yang artinya reaksi tidak dipengaruhi oleh reaktan
yang terlibat dalam reaksi, dan biasanya terjadi pada reaksi dekomposisi/
penguraian.
Bila terdapat reaktan yang berbentuk padatan maka reaktan ini tidak
dimasukkan dalam persamaan reaksi disebabkan reaksi yang terjadi pada padatan
hanya terjadi pada permukaan padatan sehingga konsentrasinya dianggap konstan.
(Morie, 2009)
1.3

Orde Reaksi
Orde suatu reaksi ialah jumlah semua eksponen (dari konsentrasi dalam

persamaan laju. Orde reaksi juga menyatakan besarnya pengaruh konsentrasi


reaktan (pereaksi) terhadap laju reaksi. Jika laju suatu reaksi berbanding lurus
dengan pangkat satu konsentrasi dari hanya satu pereaksi (Tsang, 1992).

V =k [ A ] (1.6)
maka reaksi itu dikatakan sebagai reaksi orde pertama. Penguraian N2O5
merupakan suatu contoh reaksi orde pertama. Jika laju reaksi itu berbanding lurus
dengan pangkat dua suatu pereaksi,
V =k [ A ]2 (1.7)
atau berbanding lurus dengan pangkat satu konsentrasi dari dua pereaksi,
V =k [ A ][ B ] (1.8)
Maka reaksi itu disebut reaksi orde kedua. Dapat juga disebut orde
terhadap masing-masing pereaksi. Misalnya dalam persamaan terakhir itu adalah
orde pertama dalam A dan orde dalam B, atau orde kedua secara keseluruhan.
Suatu reaksi dapat berorde ketiga atau mungkin lebih tinggi lagi, tetapi hal-hal
semacam itu sangat jarang. Dalam reaksi yang rumit, laju itu mungkin berorde
pecahan, misalnya orde pertama dalam A dan orde 0.5 dalam B atau berorde 1.5
secara keseluruhan (Siregar, 2008). Suatu reaksi dapat tidak tergantung pada
konsentrasi suatu pereaksi. Perhatikan reaksi umum, yang ternyata berorde
pertama dalam A. Jika kenaikan konsentrasi B tidak menaikkan laju reaksi, maka
reaksi itu disebut orde nol terhadap B. Ini bisa diungkapkan sebagai :
0

V =k [ A ][ B ] (1.9)
Orde suatu reaksi tidak dapat diperoleh dari koefisien pereaksi dalam persamaan
berimbangnya. Dalam penguraian N2O5 dan NO2, koefisien untuk pereaksi dalam
masing-masing persamaan berimbang adalah 2 tetapi reaksi pertama bersifat orde
pertama dalam N2O5 dan yang kedua berorde kedua dalam NO2.
Suatu pereaksi dapat tidak muncul dalam persamaan laju suatu reaksi.
Orde suatu reaksi diberikan hanya atas dasar penetapan eksperimental dan sekedar
memberi informasi mengenai cara laju itu bergantung pada konsentrasi pereaksipereaksi tertentu. Ramalan teoritis mengenai orde-orde dari reaksi-reaksi yang
kurang dikenal jarang berhasil. Misalnya mengetahui bahwa reaksi antara H 2 dan

I2 adalah orde kedua mungkin orang akan meramal bahwa reaksi antara H2 dan Br2
juga akan berorde-kedua. Ternyata tidak, malahan reaksi ini mempunyai
persamaan laju yang lebih rumit (Siregar, 2008). Cara menentukan laju reaksi
adalah sebagai berikut (Siregar, 2008):
1. Jika tahap reaksi dapat diamati, orde adalah koefisien pada tahap reaksi yang
berjalan lambat. Contoh : reaksi 4HBr + O2 -> 2H2O + 2Br2
Berlangsung dalam tahapan sebagai berikut :

HBr + O2 -> HBr2O (lambat)

HBr + HBr2O -> 2HBrO (cepat)

2HBr + 2HBr) -> 2H2O + 2Br2 (cepat)


Maka orde reaksi ditentukan oleh reaksi (1). Persamaan laju reaksi, V = [HBr]
[O2]. Orde reaksi total (lihat koefisien reaksi) = 1 + 1 = 2.

2. Jika tahap reaksi tidak bisa diamati, orde reaksi ditentukan melalu eksperimen,
konsentrasi salah satu zat tetap dan kosentrasi zat lain berubah. Penentuan laju
reaksi kimia dapat menggunakan persamaan (1.5). Hukum laju untuk reaksi
berhubungan dengan laju reaksi dengan konsentrasi molar reaktan.
1.4

Persamaan Arrhenius
Pada tahun 1889, Arrhenius mengusulkan sebuah persamaan emperik yang

menggambarkan kebergantungan konstanta laju reaksi pada suhu. Persamaan yang


diusulkan Arrhenius adalah sebagai berikut :
k =Ae

Ea
RT

(1.10)

k = konstanta laju reaksi


A = faktor frekuensi
Faktor e-Ea/RT memiliki kesamaan dengan hukum distribusi Boltzmann. Faktor ini
menunjukkan fraksi molekul yang memiliki energi yang melebihi energi aktivasi
(Ratna, 2009).

1.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Laju Reaksi


Ada sejumlah variabel yang mempengaruhi laju reaksi, yang utamanya
adalah sebagai berikut (Ratna, 2009):

1. Konsentrasi
Paling sedikit ada satu reaktan dalam suatu reaksi. Untuk terbentuknya suatu
produk akibat reaksi katalisis atau autokatalisis. Jika konsentrasi suatu larutan
makin besar, larutan akan mengandung jumlah partikel semakin banyak sehingga
partikel-partikel tersebut akan tersusun lebih rapat dibandingkan larutan yang
konsentrasinya lebih rendah. Susunan partikel yang lebih rapat memungkinkan
terjadinya tumbukan semakin banyak dan kemungkinan terjadi reaksi lebih besar.
Semakin besar konsentrasi zat, semakin cepat laju reaksinya.
2. Kondisi Fisika
Suhu dan tekanan mempengaruhi laju reaksi. Kedua-duanya biasanya dijaga
konstan. Reaksi yang melibatkan gas, kecepatan reaksinya berbanding lurus
dengan kenaikan tekanan dimana faktor tekanan ini ekuivalen dengan konsentrasi
gas. Molekul-molekul harus bertumbukan dengan energi yang cukup agar
bereaksi. Semakin tinggi temperatur, akan lebih banyak tumbukan yang terjadi per
satuan waktu karena meningkatkan energi tumbukan: laju-energi tumbukantemperatur.
Sifat pereaksi dan ukuran pereaksi menentukan laju reaksi. Semakin relatif
dari sifat pereaksi laju reaksi akan semakin bertambah atau reaksi berlangsung
semakin cepat. Semakin luas permukaan zat pereaksi laju reaksi akan semakin
bertambah, hal ini dijelaskan dengan semakin luas permukaan zat yang bereaksi
maka daerah interaksi zat pereaksi semakin luas juga. Permukaan zat pereaksi
dapat diperluas dengan memperkecil ukuran pereaksi. Jadi untuk meningkatkan
laju reaksi, pada zat pereaksi dalam bentuk serbuk lebih baik bila dibandingkan
dalam bentuk bongkahan. Sifat dasar pereaksi, zat-zat berbeda secara nyata dalam
lajunya mereka mengalami perubahan kimia. Molekul hidrogen dan flour bereaksi

secara meledak, bahkan pada temperatur kamar, dengan menghasilkan molekul


hidrogen fluorida.
3. Orde reaksi
Orde reaksi menentukan seberapa besar konsentrasi reaktan berpengaruh pada
kecepatan reaksi.
4. Intensitas Radiasi
Sinar matahari atau sinar lampu juga dapat mempengaruhi laju reaksi.
Umumnya pengaruh ini sedikit diperhatikan hanya untuk mempelajari pengaruh
fotokimia. Kekuatan sinar di dalam spektrofotometri yang menggunakan sinar
monokromatik tidak diharapkan. Tetapi jika berkas sinar putih jatuh lurus ke atas
sampel seperti didalam dioda spektrofotometer perlu diperhatikan.
5. Sifat-Sifat Pelarut
Laju reaksi tergantung dari kepolaran pelarut, viskositas, jumlah donor
elektron, dan sebagainya. Penambahan suatu elektrolit dapat memperkecil atau
menaikkan suatu laju reaksi (pengaruh garam), dan demikian pula adanya buffer.
6. Katalis
Adanya katalis dalam suatu sistem reaksi akan meningkatkan kecepatan
reaksi disebabkan katalis menurunkan energi aktivasi. Dengan penurunan energi
aktivasi ini maka energi minimum yang dibutuhkan untuk terjadinya tumbukkan
semakin berkurang sehingga mempercepat terjadinya reaksi.
7. Pengadukan
Proses pengadukan mempengaruhi kecepatan reaksi yang melibatkan sistem
heterogen. Seperti reaksi yang melibatkan dua fasa yaitu fasa padatan dan fasa
cair seperti melarutkan serbuk besi dalam larutan HCl, dengan pengadukan maka
reaksi akan cepat berjalan.
8. Temperatur

Berbagai varian temperatur dapat mempengaruhi laju reaksi, hal ini


dikarenakan pemanasan dapat meyebabkan pergerakkan partikel di dalam larutan
menjadi lebih aktif, sehingga akan terjadi tumbukan antara sesama partikel dan
laju reaksi dapat berlangsung lebih cepat.

BAB II
Metodologi Percobaan
2.1 Alat-alat yang digunakan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Gelas ukur 100 ml


Stopwatch
Water bath
Gelas piala 600 ml
Tabung reaksi
Pipet ukur
Batang pengaduk
Termometer
Corong

2.2 Bahan-bahan yang digunakan


1. Na2S2O3
2. HCl
3. Akuades
2.3 Prosedur Percobaan
A. Pengaruh konsentrasi terhadap laju reaksi
1. Tempatkan 50 ml Na2S2O3 kedalam gelas ukur 100 ml yang mempunyai alas
rata.

2. Tempatkan gelas ukur di atas sehelai kertas putih tepat di atas tanda silang
hitam yang dibuat pada kertas putih tersebut, sehingga ketika dilihat dari atas
melalui larutan tiosulfat, tanda silang tadi terlihat jelas
3. Tambahan 2 ml HCL 1M dan tepat ketika penambahan dilakukan, nyalakan
stopwatch. Larutan diaduk agar pencampuran jadi merata, pengamatan dari
atas tetap dilakukan.

Mata
Gelas Ukur

Larutan

Tanda silang
Gambar 2.1 Posisi mata melihat larutan
4. Catat waktu yang diperlukan sampai tanda silang hitam tidak dapat diamati

dari atas. Lalu ukur suhu larutan dan dicatat.


5. Ulangi langkah di atas dengan komposisi larutan seperti pada tabel di bawah
ini :
Tabel 2.1 Komposisi larutan
Siste
m
1
2
3
4
5
6

Volume
-2

S2O3

Volume
air

(ml)
50
40
30
20
10
5

Volume
HCl

(ml)
5
10
20
30
40
45

(ml)
2
2
2
2
2
2

B.

Pengaruh suhu terhadap laju reaksi

1. Masukkan 10 ml larutan tiosulfat kedalam gelas ukur lalu encerkan hingga


volumenya mencapai 50 ml
2. Ukur 2 ml HCL 1M, lalu masukkan kedalam tabung reaksi. tempatkan gelas
ukur dan tabung reaksi pada penangas air yang bersatu 35 oC. Biarkan ke 2
larutan beberapa lama, sampai suhu mencapai kesetimbangan, ukur suhu
kedua larutan dan catat
3. Tambahkan asam kedalam larutan tiosulfat dan pada saat yang bersamaan
nyalakan stopwatch. Aduk larutan, tempatkan diatas tanda silang. Catat waktu
yang dibutuhkan sampai suhu mencapai kesetimbangan. Ukur suhu kedua
larutan dan catat
4. Ulangi langkah diatas untuk berbagai suhu sampai 65 oC (lakukan untuk
empat suhu yang berbeda).
2.4 Pengamatan
Pengamatan praktikum di sajikan dalam tabel 2.2:
Tabel 2.2 Pengamatan Praktikum
N

Prosedur

o
1

Pengamatan

Pembuatan

larutan

Padatan tiosulfat bersifat

Na2S2O3 0,25 M 160 ml dengan higroskopis dan mudah larut dalam


melarutkan

5,04

gr

padatan air.

Na2S2O3.
Terjadi

perubahan

warna

2 Pengenceran HCl 10 N menjadi pada larutan HCl dari kuning keruh


1M
3

Prosedur

menjadi bening.
pengaruh
Tiosulfat

konsentrasi terhadap laju reaksi


4

Prosedur
terhadap laju reaksi

pengaruh

diencerkan

sebanyak 5 kali dengan variabel


konsentrasi yang berbeda-beda
Sistem dipanaskan dengan
variabel temperatur yang berbedabeda

BAB III
Hasil dan Diskusi
3.1 Hasil Percobaan
Berdasarkan praktikum yang dilakukan, didapatkan hasil dari dua prosedur
yang variabelnya berbeda. Prosedur pertama menyertakan variabel konsentrasi
tiosulfat di dalam enam sistem yang divariasikan konsentrasinya. Berikut kurva
hasil prosedur pertama.
300
250
200

Waktu 150
100
50
0
0.25 M

0.2 M

0.15 M

0.1

0.05 M

0.025 M

Molaritas Tiosianat

Gambar 3.1 Kurva Hubungan Konsentrasi Tiosulfat VS Waktu


Cepat atau lambatnya laju reaksi dari setiap sistem dapat dilihat dari jumlah
waktu yang perlukan oleh ke-enam sistem tersebut dalam membentuk endapan
koloid belerang. Endapan koloid belerang terbentuk jika tanda silang pada kertas
putih yang berhimpitan dengan gelas ukur sudah tidak terlihat lagi.

Berdasarkan gambar 3.1, semakin besar konsentrasi tiosulfat, maka semakin


cepat laju reaksi pembentukan endapan dan semakin kecil jumlah waktu yang
diperlukan untuk bereaksi. Dan sebaliknya, semakin kecil konsentrasi tiosulfat
maka semakin lama laju reaksi pembentukan endapan dan semakin besar jumlah
waktu yang diperlukan untuk bereaksi. Artinya, laju reaksi dan berbanding lurus
dengan konsentrasi. Hal yang mempengaruhi besarnya laju reaksi pembentukan
endapan tersebut adalah penggunaan variabel konsentrasi tiosulfat dengan
berbagai varian konsentrasi.
Sedangkan prosedur yang kedua menggunakan lima sistem dengan berbagai
varian temperatur. Berikut kurva hasil prosedur kedua.
90
80
70
60
50

Waktu 40
30
20
10
0

35

40

45

50

65

Temperatur (oC)

Gambar 3.2 Kurva Hubungan Temperatur VS Waktu


Berdasarkan gambar 3.2, pemberian variasi temperatur terhadap sistem
cenderung mempengaruhi kelangsungan laju reaksi pembentukan endapan koloid
belerang. Semakin tinggi temperatur suatu sistem, maka akan semakin cepat laju
reaksi dapat berlangsung. Dan sebaliknya, semakin rendah temperatur sistem,
maka akan semakin lambat laju reaksi dapat berlangsung. Artinya, temperatur
berbanding lurus dengan laju reaksi.

3.2 Diskusi
Berdasarkan hasil yang telah disajikan pada gambar 3.1, dapat dinyatakan
bahwa untuk prosedur pengaruh variabel konsentrasi hasilnya telah sesuai dengan
referensi yang ada, dimana variabel konsentrasi dengan berbagai varian di dalam
sistem dapat mempengaruhi laju reaksi. Jika konsentrasi suatu larutan makin
besar, larutan akan mengandung jumlah partikel semakin banyak sehingga
partikel-partikel tersebut akan tersusun lebih rapat dibandingkan larutan yang
konsentrasinya lebih rendah. Susunan partikel yang lebih rapat memungkinkan
terjadinya tumbukan semakin banyak dan kemungkinan terjadi reaksi lebih besar.
Semakin besar konsentrasi zat, semakin cepat laju reaksinya (Ratna, 2009).
Sedangkan hasil untuk prosedur pengaruh variabel temperatur terhadap
laju reaksi juga telah sesuai dengan referensi yang ada. Berbagai varian
temperatur dapat mempengaruhi laju reaksi, hal ini dikarenakan pemanasan dapat
meyebabkan pergerakkan partikel di dalam larutan menjadi lebih aktif, sehingga
akan terjadi tumbukan antara sesama partikel dan laju reaksi dapat berlangsung
lebih cepat (Ratna, 2009).

BAB IV
Kesimpulan dan Saran
4.1

Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa:
Konsentrasi suatu zat berpengaruh terhadap kelangsungan laju reaksi,

Semakin besar konsentrasi zat, semakin cepat laju reaksinya.


Temperatur suatu larutan juga berpengaruh terhadap laju reaksi, semakin
besar temperatur suatu sistem, semakin cepat laju reaksinya.

4.2 Saran
Disarankan untuk pembuatan larutan tiosulfat agar dilakukan dengan cepat,
dikarenakan tiosulfat bersifat higroskopis dan akan mempengaruhi massa
tiosulfat.

BAB V
Daftar Pustaka

Anderton, J. D. 1997. Foundations of Chemistry Edisi kedua. Melbourne:


Longman
Atkinson, Roger, 1989, Kinetics and Mechanisms Of The Gas Phase Reactions
Of The Hydroxyl Radical With Organic Compounds. Journal Physical and
Chemical Reference Data Monograph No 1, California : American
Chemical Society, Tanggal Akses 9 Oktober 2014.
Kassel, 1996, The Kinetics Homogenius Gas Reaction. Chem Catalog.
New York, Tanggal akses 7 Oktober 2014.
Morie, Indigo, 2009, Kimia Dasar 1, Bandung: Penerbit Yudhistira.
Ratna, dkk, 2009, Kimia SMA/MA Kelas XI, Jakarta : Pusat Perbukuan
Departemen Pendidikan Nasional.
Savajano. Romain, 2011, Reduced Chemical Kinetic Model for Titan Entries.
International Journal of Chemical Engineering Article ID 970247, 8
pages. Hindawi Publishing Corporation. Tanggal Akses 9 Oktober 2014.
Pilling. M. J, 1985, Reaction Kinetics Vol II, American : Oxford University Press.
Akses 7 Oktober 2014.
Sander. S .P, 2003, Journal Chemical Kinetics and Photochemical Data for Use
in Atmospheric Studies Evaluation Number 14. NASA JPL Publication.
Akses 11 Oktober 2014
Tsang. W, 1992, Chemical kinetic data base for propellant combustion 2, Journal

of Physical Chemistry Reference Data, vol. 21, no. 4. Akses 8 Oktober


2014.
Siregar,Tirena Bahnur, 2008, Kinetika Kimia Reaksi Elementer, Medan:
USU Press.
Smith. I. W. M, 1998, Kinetics and Dinamics Elementary Gas Reaction
Buteerworths, London, Tanggal Akses 9 Oktober 2014.

BAB VI
Jawaban Pertanyaan

A. Pengaruh Konsentrasi Terhadap Laju Reaksi


1. Tabel hasil pengamatan
Konsentras
ktu
i relatif tiosulfat
istem
(M)
ik)
1
0,25

Wa

(det

1/wakt
u
(det-1)

23

0,043

0,2

27

0,037

0,15

33

0,030

0,1

88

0,011

0,05

176

0,005

0,025

253

0,0039

2. Dalam percobaan ini 1/waktu digunakan untuk mengukur laju reaksi.


Buatlah kurva laju reaksi sebagai fungsi konsentrasi tiosulfat!

0.05
0.05
0.04
0.04
0.03
1/waktu 0.03
0.02
0.02
0.01
0.01
0
0

0.05

0.1

0.15

0.2

0.25

konsentrasi relatif tiosulfat

3. Hitung orde reaksi terhadap tiosulfat


Sistem 5 dan 6
V4

= k [Na2S2O3]4m.[HCl]4n

V5

k [Na2S2O3]5m.[HCl]5n

0.011 = k [0.1]4m.[1]4n
0.005
2.2
M
M

k [0.05]5m.[1]5n
= [2]m
= 2 log 2.2
= 1,14

B. Pengaruh suhu terhadap laju reaksi


1. Tabel hasil pengamatan

stem

Si
uhu

S
uhu

30

0,0
0,0
0319

1/
waktu

detik )
77
62

Lo

(
-1

detik)

0325
31

aktu

K )

(
-1

K)

5
0

suhu
(

C)
1

1/

0,0
13
0,0
16

(1/
waktu)
-1,89
-1,80

0.3

3
4
5

4
5

31
8

5
0

32

0,0

37

031
33

51

0314

3
6

0,0

0,0

28

0296

0,0

-1,70

2
0,0

-1,67

27
0,0

-1,44

36

2. Laju reaksi dinyatakan sebagai 1/waktu. Buat kurva laju reaksi sebagai
fungsi suhu (C). Buat kurva log laju reaksi sebagai 1/suhu (K -1). Beri
komentar anda mengenai hal ini!
0
-0.2 0

-0.4
-0.6
-0.8
log 1/waktu

-1
-1.2
-1.4
-1.6
-1.8
-2
1/suhu

Kurva yang terbentuk antara log laju reaksi sebagai fungsi 1/suhu (K -1)
adalah berbentuk kurva lurus atau linier. Dari kurva diperoleh bahwa
peningkatan suhu akan memberikan pengaruh terhadap laju reaksi.
VII. Pertanyaan
1.

2.

Cara menentukan orde reaksi secara keseluruhan.


Jawab:
a.

Dengan cara melihat grafik/kurva laju reaksi.

b.

Dengan rumus : v = [A]a [B]b

Peningkatan suhu tidak selalu berarti peningkatan laju reaksi. Beri


komentar anda mengenai ini!

Jawab:
Umumnya, reaksi menjadi cepat bila suhu ditingkatkan. Seperti yang
didapatkan setelah percobaan, hubungan antara suhu dengan laju
reaksi berbanding lurus. Pada suhu yang tinggi memungkinkan
semakin banyak tumbukan efektif sehingga mempengaruhi laju
reaksinya.

Lampiran

1. Tabel Hasil Percobaan Pengaruh Konsentrasi


Konsentras
S
ktu
i relatif tiosulfat
istem
(M)
ik)
1
0,25

Wa
(det

1/wakt
u
(det-1)

23

0,043

0,2

27

0,037

0,15

33

0,030

0,1

88

0,011

0,05

176

0,005

0,025

253

0,0039

2. Tabel Hasil Percobaan Hubungan Pengaruh Temperatur

stem

Si
uhu

S
uhu

C)
1
2

3
4
0

30
8

0325
0,0
0319

1/
waktu

77
62

Lo
g

(
detik-1)

detik)
0,0

31
3

W
aktu

K-1)

K)

1/
suhu

0,0
13
0,0
16

(1/
waktu)
-1,89
-1,80

3
4
5

4
5

31
8

5
0

0314
32

3
6

0,0
0,0
031

33
8

0,0
0296

51
37
28

0,0
2
0,0
27
0,0
36

-1,70
-1,67
-1,44

You might also like