You are on page 1of 27

MAKALAH

GANGGUAN DEPRESI PADA ANAK USIA TK


Disusun untuk Memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester (UTS)
Mata Kuliah Psikologi Klinis yang Dibina Bapak Muhammad Jamaluddin, M.Si

Oleh:
Kelompok 3 / Kelas D
Vierdha Nahdiaty Z (08410015)
M.yazid Mubarok. (08410045)
Umi Choiriyah Nurbaiti (08410086)
Nurul Qomariyah (08410137)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MMI MALANG


FAKULTAS PSIKOLOGI
JURUSAN PSIKOLOGI
MALANG, APRIL 2010

KATA PENGANTAR
Allhamdullilahhirobbilalamin, segala puji dan puja syukur kami panjatkan kepada Allah
S.W.T karena melalui karuniaNYA yang telah memberikan kami kemudahan dalam
menyelesaikan makalah ini. Tanpa adanya pertolonganNYA mungkin makalah ini tidak akan
terselesaikan dengan tepat waktu. Dengan adanya makalah ini diharapkan dapat menambah
khasanah pengetahuan kita mengenai GANGGUAN DEPRESI PADA ANAK USIA TK .
Makalah yang telah kami tulis berisikan informasi mengenai pengertian dari depresi yang di
sertai dengan ciri- ciri apa saja yang terjadi ketika anak usia dini mengalami gangguan depresi.
Depressi dapat dialami oleh anak- anak usia dini dengan berbagai faktor pemicu dalam
kehidupan sehari- hari. Di bahas pula mengenai bagaimana terapi yang bisa dilakukan ketika
anak mengalami depresi.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Walaupun dalam
penulisan makalah ini masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki, namun dengan adanya
kekurangan ini kami mengharapkan para pembaca dapat mengupasnya pada lain waktu.
Tak lupa kami haturkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada dosen pembina
mata kuliah psikologi kepribadian Muhammad Jamaluddin, M.Si

yang telah memberikan

banyak kesempatan kepada kami. Kepada segenap para pembaca, kami ucapkan terimakasih
telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan makalah ini. Sebuah penghormatan yang
amat besar bagi penulis jika para pembaca menyampaikan saran dan kritik agar tercipta suatu
karya yang lebih baik lagi dan dapat bermanfaat bagi siapa saja, khususnya mahasiswa/I
psikologi.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang turut terlibat dalam
proses penyusunan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua,
khususnya mahasiwa/i psikologi. Serta semoga Allah selalu meridloi setiap tetes keringat kita.
Amiiieenn
Malang, April 2010

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Psikologi Klinis merupakan cabang psikologi yang berusaha memahami, memprediksi, dan
mengurangi madjusment, disabilitas, dan ketidak nyamanan, serta memperbaiki adaptasi penyesuaian
dan perkembangan pribadi manusia.
Psikologi klinis bertujuan melakukan penelitian terhadap perilaku manusia, mengaplikasi kan
hasil penelitian itu dan melakukan assessment yang kemudian memberikan bantuan pada individu
yang mengalami masalah psikologis.
1.2 Dasar pemikiran
Tugas membesarkan anak mungkin adalah tantangan yang paling menyenangkan sekaligus
menakutkan. Pengaruh dan pengalaman beberapa generasi akan mempengaruhi bagaimana anak
dibesarkan. Anak membawa kedunia ini satu set karakteristik yang unik. Tingkat aktivitas,
kecenderungan, potensial untuk perkembangan intelektual dan fisik, dan ciri neurobiochemical
wiring, semuanya berkontribusi pada keunikan ini. Selain itu, sebuah interaksi yang kuat antara anak
anda dan orang tua, dan antara anak dengan orang lain, terjadi mulai semenjak awal. Setiap tingkat
interaksi akan menggoreskan sesuatu pada seorang anak.
Jika Anda ingin menanam tanaman dari benih, dengan harapan ia akan tumbuh menjadi
tanaman yang sehat dan berbunga maka Anda harus mempelajari apa yang dibutuhkan oleh tanaman
itu seperti merawatnya dengan lembut, menyiraminya, memupuknya, dan melindunginya dari
elemen-elemen yang berbahaya. Anda akan memangkas dan mengarahkan tanaman itu sesuai dengan
kebutuhannya. Anda tidak akan menghentak rantingnya atau menggoncangnya dengan kasar. Anda
juga tidak akan mengabaikannya atau terlalu banyak memberinya makan.
Setelah menerima perawatan khusus dari Anda pada awal hidupnya, benih itu akhirnya benih
itu akan tumbuh menjadi pohon yang kuat dan dewasa, bisa menahan stress dan tekanan. Seorang
anak membutuhkan perhatian dan bimbingan yang sama, terutama selama masa pra-sekolah, dan akan
menderita jika tidak mendapatkan perhatian dan bimbingan tersebut

1.3 Tujuan
Dan tujuan dari observasi ini adalah:

a). Mengetahui dan mempelajari tentang kelaianan klinis seperti deppresi


b). Mengetahui lebih jauh tentang kasus klinis secara langsung dan bagaimana cara untuk
menanganinya.
c). Berusaha membantu orang lain dengan mengetahui sebab dari apa yang terjadi pada
dirinya.
1.4 Manfaat

Manfaat yang bisa diambil dari observasi ini adalah:


a) Mengetahui pengertian dan juga jenis- jenis dari depresi
b) Mengetahui ciri- ciri anak yang mengalami deppresi.
c) Mengetahui cara bagaimana menangani anak yang mengalami depresi pada masa
kecil dengan berbagai terapi dan juga konseling.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 PENGERTIAN DEPRESI
Anak anak dan remaja dapat menderita gangguan mood, termasuk gangguan bipolar
dan depresi mayor. Seperti orang dewasa yang depresi, anak- anak dan remaja ini memiliki
perasaan tidak berdaya, pola piker yang terdistorsi, kecendrungan untuk menyalahkan diri sendiri
sehubungan dengan kejadian- kejadian negative, serta self astem, self confidence, dan persepsi
akan kompetensi yang lebih rendah di bandingkan teman- teman sebayanya yang tidak depresi.
Menurut teori psikoanalisis, depresi dapat dialami oleh individu yang mengalami fiksasi
pada tahap oral. Individu ini akan mengembangkan dependensi terhadap figur tertentu (awalnya
ibu), dan memiliki mekanisme pertahanan berupa introyeksi. Dengan melakukan introyeksi,
berarti individu menyerap hampir seluruh nilai, sikap, dan karakteristik dari figur tempatnya
bergantung. Ketika orang yang dijadikan tempat bergantung ini tidak ada lagi (pergi atau
meninggal dunia), maka individu ini menjadi marah. Kemarahannya sebenarnya ditujukan
kepada orang tersebut. Namun dengan dependensi dan introyeksinya, individu tidak dapat
mengungkapkan kemarahannya. Rasa marah tersebut malah ditujukan ke dalam diri (introjected
hostility), sehingga menghasilkan kebencian terhadap diri yang akhirnya menimbulkan rasa
putus asa (Freud, dikutip oleh Davison et al, 2004).
Para ahli psikologi perilaku (behavioral) menyatakan bahwa seseorang mengalami
depresi karena kurang memperoleh penguat positif (positive reinforcement) dalam hidupnya.
Pandangan ini berangkat dari fakta bahwa depresi seringkali muncul sebagai reaksi terhadap
peristiwa yang menekan seperti putusnya hubungan, kematian orang yang dicintai, kehilangan
pekerjaan, atau penyakit medis yang serius (Frank et al, 1994). Kondisi keuangan dan
perkawinan yang buruk juga ditemukan sebagai salah satu sumber penyebab terjadinya depresi
(Kessler, Davis, & Kendler, 1997). Tekanan-tekanan dalam hidup ini menunjukkan kurangnya
positive reinforcers dalam kehidupan orang tersebut.
Beck (dalam McDowell & Newel, 1996) mendefinisikan depresi sebagai keadaan abnormal
organisme yang dimanifestasikan dengan tanda simptom- simptom seperti: menurunya mood
subjektif, rasa pesimis dan sikap nihilistic, kehilangan kespontanan dan gejala vegetatif (seperti

kehilangan berat badan dan gangguan tidur). Depresi juga merupakan kompleks gangguan yang
meliputi gangguan afeksi, kognisi, motivasi dan komponen perilaku.
Gangguan depresi merupakan suatu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan
alam perasaan yang sedih dengan gejala penyertaan termasuk perubahan pola tidur, nafsu makan,
psikomotor, konsentrasi, kelelahan, rasa putus asa, tak berdaya dan gagasan bunuh diri.
2.2 TEORI-TEORI TENTANG DEPRESI
Ada beberapa teori yang menjelaskan tentang munculnya gangguan depressi
a.Teori Biologi, Teori biologi ini mempunyai asumsi bahwa penyebab depresi terletak pada gen
atau malfungsi beberapa faktor fisiologik yang memungkinkan faktor tersebut (dalam Sarason
dan Sarason,1989).
b. Teori Psikodinamika, Studi psikologik tentang depresi dimulai oleh sighmund freud dan karl
Abraham. Keduanya menggambarkan bahwa depresi merupakan reaksi kompleks terhadap
kehilangan atau (loss). Freud dalam bukunya Mourning and Melancholia menggambarkan
bahwa rasa sedih yang normal dan depresi sebagai respon dari kehilangan seseorang atau sesuatu
yang dicintainya (Davidson dan Neale, 1997). Pada orang yang mengalami depresi terjadi
pengurangan harga diri secara luar biasa dan mengalami kemiskinan ego pada skala yang besar
(dalam Sarason dan Sarason,1989).
c.Pandangan Behavioral, Teori belajar berasumsi bahwa antara depresi dan penguat yang
kurang (Lack of Reinforcment) saling berhubungan satu sama lain. Pandangan Behavioral
menjelaskan bahwa orang yang mengalami depresi kurang menerima penghargaan (rewards)
atau dengan kata lain lebih mengalami hukuman (punishment) daripada orang yang tidak
mengalami depresi (dalam Sarason dan Sarason,1989).
d.Pandangan humaistik eksistansial, Teori eksistensial memfokuskan kehilangan harga diri
sebagai penyebab depresi utama. Kehilangan harga diri dapat nyata atau simbolik, misal
kehilangan kekuasaan, status sosial atau uang. Teori humanistic menekankan perbedaan self
seseorang dengan keadaan yang nyata sebagai sumber depresi dan kecemasan. Menurut
pandangan ini depresi terjadi jika perbedaan antara ideal self dan kenyataan terlalu besar( dalam
Sarason dan Sarason, 1989).
e.Pandangan Kognitif, Teori depresi berdasarkan kognitif ini merupakan teori yang paling
sering digunakan dalam penelitian tentang depresi (dalam susanty, 1997) Hal ini disebabkan

karena teori kognitif selama ini sangat efektif digunakan untuk terapi terhadap deopresi. Teori ini
menyatakan bahwa seseorang yang berpikiran negatif tentang dirinya akan menelusuri lebih
lanjut bahwa mereka melakukan interpretasi yang salah dan menyimpang dari realita. Salah satu
teori kognitif adalah teori depresi beck (Atkinson 1991). Teori tersebut menyatakan bahwa
seseorang yang yang mudah terkena depresi telah mengembangkan sikap umum untuk menilai
peristiwa dari segi negative dan kritik diri.
2.3 FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA DEPRESI
Secara umum faktor- faktor yang mempengaruhi depresi adalah sebagai berikut:
Faktor Biologis
Data yang dilaporkan paling konsisten dengan hipotesis bahwa gangguan depresi berat adalah
berhubungan dengan disregulasi pada amin biogenik (norepineprin dan serotonin). Penurunan
serotonin dapat mencetuskan depresi dan pada beberapa pasien yang bunuh diri memiliki
konsentrasi metabolik serotonin di dalam cairan serebrospinal yang rendah serta konsentrasi
tempat ambilan serotonin yang rendah di trombosit.
Faktor Genetika
Data genetik menyatakan bahwa sanak saudara derajat pertama dari penderita gangguan depresi
berat kemungkinan 1,5 sampai 2,5 kali lebih besar daripada sanak saudara derajat pertama
subyek kontrol untuk penderita gangguan.
Faktor psikososial
Peristiwa kehidupan dan stress lingkungan, suatu pengamatan klinis yang telah lama direplikasi
bahwa peristiwa kehidupan yang menyebabkan stress lebih sering mendahului episode pertama
gangguan mood daripada episode selanjutnya, hubungan tersebut telah dilaporkan untuk pasien
dengan gangguan depresi berat.
Menurut Hadi (2004), untuk menemukan penyebab depresi kadang menemui kesulitan
karena ada sejumlah penyebab dan mungkin beberapa diantaranya bekerja pada saat yang sama.

Namun

dari

sekian

banyak

penyebab

dapat

dirangkum

sebagai

berikut:

a. Karena kehilangan. Kehilangan merupakan faktor utama yang mendasari depresi. Ada empat
macam kehilangan, yaitu:
1) Kehilangan abstrak, misalnya: kehilangan harga diri, kasih sayang, harapan, atau
ambis.
2) Kehilangan sesuatu yang konkrit, misalnya: rumah, mobil, potret, orang atau bahkan
binatang kesayangan.
3) Kehilangan hal yang bersifat khayal, misalnya: tanpa fakta mungkin tapi ia merasa
tidak disukai atau dipergunjingkan orang.
4) Kehilangan sesuatu yang belum tentu hilang, misalnya: menunggu hasil tes kesehatan,
menunggu hasil ujian,dll.
b.Reaksi

terhadap

stress

85%

depresi

ditimbulkan

oleh

stress

dalam

hidup.

c. Terlalu lelah atau capek, karena terjadi pengurangan tenaga baik secara fisik maupun
emosional.
d. Reaksi terhadap obat.
2.4 GEJALA- GEJALA DEPRESSI
Gejala- gejala depresi pada anak dapat di lihat secara umum yaitu, mereka sering
melaporkan adanya episode kesedihan dan menangis, merasa apatis, sulit tidur, lelah, dan kurang
makan. Mereka juga memiliki pikiran- pikiran untuk bunuh diri dan bahkan mencoba untuk
melakukan bunuh diri. Namun depresi pada anak anak juga memiliki ciri- ciri yang berbedabedaseperti menolak masuk sekolah atau masuk ke kelas, takut akan kematian orang tua, dan
terikat pada orang tua. Depresi tidak hanya dimonopoli oleh orang dewasa. Anak pun dapat
dihinggapi penyakit ini. Beberapa tanda yang patut dicurigai, bahwa telah terjadi depresi pada
anak :

Hilang nafsu makan atau berat badan turun

Hilang keinginan untuk bermain

Kurang percaya diri

Menjadi tidak tertarik lagi dengan kegiatan yang selama ini difavoritkan

Tidak mau lagi ke sekolah

Terjadi perubahan besar pada pola tidur dan pola makan

Sering mengeluh nyeri ulu hati atau sakit kepala yang berkepanjangan.

Mudah marah

Kurangnya konsentrasi dan suka lupa

Kelelahan kronis atau kekurangan energi

Bermain yang melibatkan kekerasan, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain, atau
dengan tema yang sedih.

Seringnya muncul pembicaraan mengenai kematian atau bunuh diri.


Pada anak anak atau remaja yang depresi mungkin gagal untuk melabel perasaan

mereka sebagai depresi. Mereka mungkin tidak melaporkan perasaan sedih walaupun mereka
tampak sedih bagi orang lain dan menangis. Sebagian dari masalahnya adalah masalah kognitif
2.5 JENIS- JENIS DEPRESSI
Adapun jenis jenis depresi menurut PPDGJ III, yaitu:
1. Depresi ringan, ciri cirinya:
a. sekurang kurangnya harus ada 2 atau 3 gejala utama depresi seperti tersebut diatas
b) ditambah sekurang kurangnya 2 dari gejala lainya : a g
c) tidak boleh ada gejala berat diantaranya
d) lamanya seluruh episode berlangsung sekurang kurangnya sekitar 2 minggu
e)hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan social yang biasa dilakukan.
2. Depresi sedang, ciri cirinya :
a) sekurang kurangnya harus ada 2 atau 3 gejala utama depresi seperti pada depresi
ringan
b) ditambah sekurang kurangnya 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala lainya
c) lamanya seluruh episode berlangsung minimal sekitar 2 minggu
d) menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial pekerjaan dan urusan
rumah tangga.

3.Depresi

berat

dibagi

menjadi

jenis,

yaitu:

a.Depresi berat tanpa gejala psikotik, ciri cirinya :


a) semua 3 gejala depresi harus ada,
b) ditambah sekurang kurangnya 4 dari gejala lainya dan beberapa diantaranya harus
berintensitas berat,
c) bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor) yang mencolok,
maka pasien nubgkin tidak mau atau mampu untuk melaporkan banyak gejala secara
rinci,
d) episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang kurangnya 2 minggu,akan
tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat, maka masih dibenarkan untuk
menegakan diagnosis dalam kurun waktu kurang dari 2 minggu, e) sangat tidak mungkin
pasien akan mampu meneruskan kegiatan social, pekerjaan atau urusan rumah tangga,
kecuali

pada

taraf

yang

sangat

terbatas.

b. Depresi berat dengan gejala psikotik, cirri cirinya:


a) episode depresi berat yang memenuhi kriteria menurut depresi berat tanpa gejala
psikotic,
b) disertai waham, halusinasi atau stupor depresif, waham biasanya melibatkan ide
tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang mengancam dan pasien merasa
bertanggung jawab atas hal itu. Halusinasi audiotorik atau aolfatoric biasanya berupa
suara yang menghina atau menuduh, atau bau kotoran atau daging membusuk. Retardasi
psikomotorik yang berat dapat menuju pada stupor. Jika diperlukan, waham atau
halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi atau tidak serasi dengan efek (mood
congruent).

BAB III
KONDISI KLIEN
3.1 Identitas Klien
Nama

: Muhammad Darrel

Tempat / tanggal lahir

: Malang, 9 September 2005

Jenis kelamin

: Laki- laki

Alamat

: Jl. M.T.Haryono IV / No.8

Pendidikan

: Taman kanak- kanak Muslimat NU 1

Umur

: 5 tahun

Suku Bangsa

: Indonesia

Nama Ayah

: Agung Nugroho

Nama Ibu

: Betty

Pekerjaan Ayah

: Pegawai Bank Panin ( Jakarta )

Pekerjaan Ibu

: Berdagang

Tujuan Pemeriksaan

: Untuk mengetahui keadaan subjek

3.2. Demografi
Darrel merupakan anak tunggal dari bapak Agung dan Ibu Betty. Keadaan
keluarga Darrel bisa dikatakan tidak harmonis, karena kedua orang tuanya hidup terpisah.
Ayah Darrel tinggal dan hidup di jakarta sedangkan Darrel tinggal bersama ibu dan
kakeknya. Ia di besarkan oleh ibunya dengan pola asuh yang dibisa di katakan sangat
permisif. Ibunya kurang memberikan perhatian kepada Darrel, sehingga di usia yang
sangat dini ia sudah merasakan kesepian dan kekurangan rasa kasih sayang, perhatian,
dan lain- lain yang seharusnya ia rasakan di masa- masa seperti ini. Ibunya hanya sibuk
dengan dirinya sendiri dan juga tidak seolah- olah tidak perduli terhadap keadaan
anaknya.
Darrel bersekolah di RA. Muslimat NU 1 yang beralamatkan di jalan Tata Surya
No. 1 Malang. Di taman kanak- kanak ini Darrel sangat menunjukkan sikapnya yang
pasif, sehingga guru- gurunya mengalami kesulitan ketika mengajarnya. Sekolah ini
berusaha memberikan yang terbaik kepada Darrel serta membantu dalam mengatasi apa
yang di hadapi oleh Darrel. Pihak taman kanak- kanak berulang- ulang kali mencoba

untuk berbicara kepada ibu Darrel tetapi ibunya sangat sulit sekali untuk di hubungi dan
di minta datang ke sekolah. Sehingga proses belajar- mengajar untuk Darrel banyak
mengalami hambatan- hambatan yang sangat signifikan. Di samping ia tak mau berbicara
kepada siapaun, menulis maupun mengenal huruf menjadi sulit juga bagi Darrel.
Di lihat dari sisi ekonomi keluarga, ia berada pada tahap yang istilahnya cukup.
Hal ini juga karena dilihat dari pekerjaan ayahnya adalah seorang pegawai bank yang
juga setiap bulannya tidak pernah telat untuk mengirimkan uang tersebut kepada ibu
Darrel. Tetapi di satu sisi ada yang mengatakan bahwasannya ibu Darrel memiliki banyak
hutang.
3.3. Konflik
Hubungan sosial Darrel baik dengan lingkungan tempat tingggal maupun
lingkungan sekolahnya tidak berjalan dengan baik. Darrel tidak mau berbicara kepada
siapapun, teman- teman di sekolah, guru-gurunya, dan juga teman- teman bermainnya.
Seakan- akan dia tidak merasakam bahwa ada orang lain di kanan dan kirinya. Ketidak
mauan Darrel dalam berbicara menjadi salah satu pemicu terjadinya konflik antara
dirinya dan orang- orang yang berada di sekitarnya, seperti guru- gurunya di taman
kanak- kanak yang mengalami kesulitan untuk mengajarkan pelajaran- pelajarannya,
seperti membaca, mengeja maupun yang lainnya.
Kemudian hal yang menjadi masalah lain yaitu ia di umur 5 tahun masih
menggunakan pampers, dan hal itu membuat ia sangat tidak nyaman ketika duduk atau
melakukan aktivitas di sekolah. Di katakan bahwa ketika ia tidak memakai pampers
justru menyebabkan ia tidak bisa buang air kecil. Hal ini juga lah yang membuat Darrel
merasa minder karena teman- teman di kelasnya mengetahui bahwa ia memakai pampers
di usia yang seharusnya sudah tidak perlu lagi. Teman- teman sekelasnya kadang
mengoloknya.
3.4. Kekurangan
Darrel mengalami ketidak mauan untuk berbicara kepada siapa pun. Sehingga
mengalami kesulitan lainnya seperti ia belum bisa membaca, dan mengeja huruf- hruf
yang telah diajarkan oleh ibu gurunya di sekolah. Ia sangat pasif sekali di sekolah dan hal
ini menjadi tidak baik bagi dirinya kelak yang akan menginjak pendidikan disekolah
dasar.

BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Dinamika dan Kondisi Psikologis
Secara psikologis anak ini terlihat tidak baik mengalami tekanan dan juga
perasaan takut serta minder ketika berada di antara teman- temannya. Ia mengalami
perasaan yang juga tidak nyaman di lingkungan sekolah maupun di lingkungan rumah,
tidak ada yang merasa bisa untuk ia gantungkan. Kurangnya rasa kasih sayang dan cinta
dari pihak keluarga terutama ornag tua menjadi faktor pemicu dari timbulnya masalah
ketidak mauan ia berbicara baik di sekolah maupun pada teman- teman sebayanya.
4.2 Diagnosis Kelainan dan Faktor yang Mempengaruhi
Darrel mengarah pada depresi ringan yang terlihat dari ciri- ciri yang ia
tunjukkan, seperti ia sangat pasif, dia saja dan tidak mau berbicara kepada siapa pun.
Terlihat putus asa. Ketika di sekolah ia tidak menunjukkan dirinya selayaknya anak kecil
yang senang untuk bermain dan belajar bersama teman- teman. Ia seperti menanggung
beban yang sangat berat yang seharusnya belum ia rasakan dan ia tanggung sendiri. Di
sekolah pun menjadi tempat yang tidak menyenangkan bagi Darrel karena ia seperti
merasa malu atau minder enggan apa yang terjadi pada dirinya. Ia tidak punya semangat
untuk belajar seperti yang di tunjukkan oleh anak- anak lain yang seumurannya yang
mempunyai minat untuk belajar. Bukan hanya kemampuan kognitif yang di berikan oleh
pihak TK tetapi juga yang lain- lain

seeperti mengaji, bermain musik, membuat

prakarya, dan lain- lain. Ia juga mengalami kesusahan dalam bersosialisasi dengan
teman- temannya.
Semua hal di atas tadi sebagian besar di sebabkan karena masalah- masalah yang
terjadi di rumah dan juga pola asuh kedua orang tua yang bisa di katakan tidak baik. Ibu
dan ayahnya kurang memperhatikan kebutuhan- kebutuhan anak ini, yang terlebih lagi
kebutuhan akan kasih sayang dan cinta yang seharusnya sangat di butuhkan oleh anak
seusia Darrel. Ibunya kurang juga memberika perhatian

seperti memperdulikan

sekolahnya, atau menanyakan hal- hal yang berhubungan dengan dirinya. Darrel pada
pagi hari diantar ke sekolah oleh ibunya kemudian ia di beri uang Rp. 10.000,-. Uang itu

yang menjadi bekal Darrel selama seharian. Ketika pulang sekolah ia tidak langsung di
jemput oleh ibunya dan pulang kerumahnya melainkan ia oleh ibunya di titipkan pada
teman ibunya. Ketika di rumah teman ibunya pun ia tidak merasa nyaman, ia berganti
baju seragam sendiri kemudian ia akan pergi bermain dengan bekal uang tadi, entah
bermain playstation atau yang lainnya, yang jelas pada siang hari ia tidk berada di rumah
teman ibunya tadi hingga sore hari. Ketika sore ia akan pulang dan menunggu untuk di
jemput ibunya, jika tidak maka ia akan bermalam di rumah teman ibunya tadi. Ibu Dareel
sibuk sendiri dengan aktivitasnya di luar rumah, seperti berdagang, dan lain- lain. Kakek
Darrel pun sudah tua dan ia adalah pensiunan tentara. Ia juga kurang memberikan
perhatian kepada cucunya.
4.3 Treatmen/ Terapi
1.

TEORI

BELAJAR

BEHAVIORISTIK

DAN

PENERAPANNYA

DALAM

PEMBELAJARAN
A. Pengertian Belajar Menurut Pandangan Teori Behavioristik
Menurut teori behavioristik belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil
dari pengalaman (Gage, Berliner, 1984) Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara
stimulus dan respon (Slavin, 2000). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia
dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting
adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa
saja yang diberikan guru kepada siswa, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan
siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara
stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan
tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa
yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh siswa (respon) harus
dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran
merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku
tersebut.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor
penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka
respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative
reinforcement) maka responpun akan semakin kuat.

Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: (1) Reinforcement


and Punishment; (2) Primary and Secondary Reinforcement;(3) Schedules of
Reinforcement; (4) Contingency Management; (5) Stimulus Control in Operant Learning;
(6) The Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984).
Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike,Watson, Clark
Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran
behavioristik.
a.1 Teori Belajar Menurut Thorndike
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon.
Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran,
perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon
adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa
pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan
belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang
tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran,
tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat
diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000).
Ada tiga hukum belajar yang utama, yakni (1) hukum efek; (2) hukum latihan dan
(3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana halhal tertentu dapat memperkuat respon.
a.2 Teori Belajar Menurut Watson
Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan
respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan
dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam
diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal
yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang
behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain
seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata,
yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.
a.3 Teori Belajar Menurut Clark Hull

Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon
untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi
Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku
bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu
Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive
reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia,
sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan
kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud
macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan
dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991).
a.4 Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie
Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan
stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung
akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan
variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar.
Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus
sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi
hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang
baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam
kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan
stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa
hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang
diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.
Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon
secara tepat. Siswa harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam
mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak
(Bell, Gredler, 1991).
a.5 Tori Belajar Menurut Skinner
Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli
konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana,
namun lebih komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang

terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan


tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya.
Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulusstimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan
mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensikonsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya
perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara
benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta
memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuaensi yang
mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengmukakan bahwa dengan
menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku
hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu
penjelasan lagi, demikian seterusnya.
B. Analisis Tentang Teori Behavioristik
Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan
tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang
siswa dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik
biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagianbagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian
tersebut disusun secara hirarki, dari yang sederhana sampai yang komplek (Paul, 1997)
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun
dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap
perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti
Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran
lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktorfaktor penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori
belajar yang dikemukakan Skiner.
Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan
situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan
pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan

respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi


dalam hubungan stimulus dan respon.
Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat
emosi siswa, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan
ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan
pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran
berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan
behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka
tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan
unsur-unsur yang diamati tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir linier,
konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar
merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa siswa menuju atau
mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik untuk tidak bebas berkreasi
dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang berpengaruh yang mempengaruhi proses
belajar. Jadi teori belajar tidak sesederhana yang dilukiskan teori behavioristik.
Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak
menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang
mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi
siswa untuk berpikir dan berimajinasi.
Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar.
Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu:
1) Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara.
2) Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari
jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama.
3) Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun
salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat
mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk daripada
kesalahan yang diperbuatnya.
Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat
negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman

harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang
sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon
yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang siswa perlu dihukum karena
melakukan kesalahan. Jika siswa tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka
hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak mengenakkan siswa (sehingga ia
melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini
mendorong siswa untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan
negatif. Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement).
Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat
positif

menambah,

sedangkan

penguat

negatif

adalah

mengurangi

agar

memperkuat respons.
D. Aplikasi Teori Behavioristik dalam Kegiatan Pembelajaran
Aliran psikologi belajar yang sangat besar mempengaruhi arah pengembangan
teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik.
Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang
yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan
menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin
kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Istilah-istilah seperti hubungan stimulus respon, individu atau siswa pasif,
perilaku sebagai hasil yang tampak, pembentukan perilaku (shaping) dengan penataan
kondisi secara ketat, reinforcement dan hukuman, ini semua merupakan unsur-unsur yang
sangat penting dalam teori behavioristik. Teori ini hingga sekarang masih merajai praktek
pembelajaran di Indonesia. Hal ini tampak dengan jelas pada penyelenggaraan
pembelajaran dari tingkat yang paling dini, seperti kelompok bermain, Taman KanakKanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, bahkan sampai Perguruan Tinggi,
pembentukan perilaku dengan cara drill (pembiasaan) disertai dengan reinforcement atau
hukuman masih sering dilakukan.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari
beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik siswa,
media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan

berpijak pada teori behvioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti,
tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah
perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer
of knowledge)ke orang yang belajar atau siswa. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk
menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat
dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini
ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Siswa diharapkan akan
memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang
dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid (Degeng, 2006).
Demikian halnya dalam proses belajar mengajar, siswa dianggap sebagai objek
pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu,
para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan
standart-standart tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para siswa.
Begitu juga dalam proses evaluasi belajar siswa diukur hanya pada hal-hal yang nyata
dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat unobservable kurang dijangkau dalam
proses evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang
memberikan ruang gerak yang bebas bagi siswa untuk berkreasi, bereksperimentasi dan
mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat
otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti
kinerja mesin atau robot. Akibatnya siswa kurang mampu untuk berkembang sesuai
dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa sebagai pengetahuan telah
terstruktur rapi dan teratur, maka siswa atau orang yang belajar harus dihadapkan pada
aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan
disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak
dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam
penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan
keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas
diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu
keberhasilan belajar. Siswa atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai

dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar
diri siswa (Degeng, 2006).
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan
pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas mimetic, yang menuntut siswa untuk
mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis,
atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi
atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran
mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak
didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan
mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi
menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan
biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban
yang benar. Maksudnya bila siswa menjawab secara benar sesuai dengan keinginan
guru, hal ini menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi
belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya
dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada
kemampuan siswa secara individual (Degeng, 2006).
Teori Operant Conditioning dari Skinner
Operant conditioning mengkaji belajar sebagai respon yang sadar. Bila Classical
Conditioning diilustrasikan sebagai teori belajar S>R, maka operant conditioning sering
dipandang sebagai teori belajar R>S. Konsekuensi yang mengikuti respon akan
mempengaruhi apakah respon akan terjadi lagi. Model kontengensi dari operant
conditioning (S> R >S) menjelaskan konsep bahwa respon tidak dapat terjadi tanpa
peristiwa dalam lingkungan, misal melalui antecedent stimulus yang mendasarinya.
Antecedent tidak serta merta membentuk atau menyebabkan terjadinya respon
(sebagaimana dalam Cassical Conditioning), tetapi dapat mempengaruhinya. Jika
antecedent memberikan pengaruh dalam terjadinya respon, maka secara teknis dapat
disebut sebagai discriminative stimulus. SD (discriminative stimulus) adalah stimulus
yang diikuti oleh respon yang disadari. Selain itu Skinner juga mengungkapkan perlunya

penjadwalan reinforcement sebagai upaya untuk memelihara respon (dalam Bechtel,


Abrahamsen, and Graham, 1998, hal. 17-21).
Pengaruh dalam Pendidikan
Operant Conditioning memberikan pengaruh dalam pendidikan, pengaruhpengaruh tersebut diantaranya adalah:
a. Tujuan pendidikan yang sesuai dengan teori operant conditioning adalah:
Tujuan-tujuan yang bersifat behavioristik. Tujuan yang bersifat behavioristik dipengaruhi
oleh Marger dan disebut sebagai Behavioral Objectives. Standard yang sesuai dari
Marger ini kemudian dikembangkan dalam Toxonomy Bloom yang berlaku pada domain
kognitif

individu,

yaitu:

knowledge-comprehension-application-analysis-synthesis-

evaluation. Tiga bagian tujuan belajar yang bersifat behavioristik menurut Marger:
1. Perilaku murid, tindakan atau keterampilan yang perlu bagi murid, misal;
menamakan, menghitung, mendeskripsikan, dsb.
2. Kondisi dari performance, apakah keterampilan itu ditunjukkan dalam suatu
presentasi lisan atau tulisan.
3. performance criteria
a.Seberapa baik perilaku/keterampilan ditunjukkan dan dengan stadandard apa?
b.Metodologi pendidikan yang konsisten dengan operant conditioning adalah:
reinforcement dan extinction (punishment).
c.Menurut operant conditioning tujuan sekolah dan pendidikan adalah: untuk
mengubah (shape) perilaku
d. Pencapaian murid dalam belajar menurut operant conditioning dipandang
sebagai: perubahan perilaku sesuai dengan yang diinginkan.
e. Faktor-faktor yang memberikan kontribusi dalam achievement adalah: perlunya
tujuan-tujuan yang bersifat perilaku (behavioral goals) yang dapat dicapai anak
dan kemudian menyediakan reinforcement yang dibutuhkan.
f. Faktor yang kemudian menghalangi adanya achievement (yang memungkinkan
juga munculnya label negative pada anak) adalah: guru tidak menyusun
behavioral goals yang dapat dicapai anak dan tidak menyediakan
reinforcement yang diperlukan.

g. Tidak tercapainya tujuan pendidikan menurut operant conditioning adalah


akibat dari pengajaran yang tidak tepat. Bila anak tidak belajar itu berarti
kesalahan ada pada sistem pendidikan.
Kritik terhadap Behaviorisme dan teorinya
Beberapa kritik yang sering dilontarkan terhadap para behaviorist dan
pengaruhnya terhadap pendidikan, diantaranya adalah:
1. Semua individu dipandang pasif. Tidak ada kehendak yang bebas dan tidak dapat
mengambil keputusan dengan bebas sehingga untuk menggunakan teori ini berarti kita
harus aktif membentuk anak didik dan dapat memutuskan tujuan secara behavioristik
untuk kemudian dianalisa datanya. Mungkinkah seseorang secara obyektif menganggap
dirinya aktif sementara yang lainnya pasif dan dapat dibentuk?
2. Aspek internal pada anak didik tidak mendapatkan tempat sehingga bila dikembangkan
pada pembahasan mengenai kreativitas maka behavioristik tidak banyak memberikan
peluang pada anak didik untuk menemukan kaidah dan mengkonstruksikan sendiri
pengetahuannya.
3. Analis aplikasi perilaku yang dilakukan dalam setting-setting pendidikan baik formal
maupun nonformal dianggap tidak dapat mendukung konsep mengenai generalisasi
dengan alasan bahwa sangat sulit untuk mencari setting natural yang ekuivalen dengan
setting yang bersifat terapeutik
4.4 Prognosis
Dari treatment maupun pendekatan yang kami berikan belum terlihat kemajuan
yang sangat signifikan. Hanya saja kami sudah dapat melihat perubahan bahwa ia mulai
bisa tersenyum tanpa beban. Dan itu merupakan satu kemajuan dimana dulu ia sangat
pasif, tersenyum saja ia kurang mau. Dalam melakukan treatment maupun pendekatan
kami mengalami kesulitan karena orang tua atau ibu klien tidak mau bekerja sama atau
tidak peduli. Pihak sekolah pun telah berusaha membantu tetapi tidak ada respon positif
yang di tunjukkana dari ibu klien. Jadi kami hanya bisa membantu untuk tahap di sekolah
saja. Menimbulkan trust dan juga sediki menghilangkan ia dari trauma atau rasa takut dan

mindernya di sekolah dengan terapi Behaviour, yaitu lebih pada pemberian reward ketika
ia melakukan hal- hal yang baik atau positif.

BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari hasil Penelitian kami, dapat menyimpulkan bahwa Darrel mengarah pada Deppresi
ringan yang terlihat dengan ciri- ciri yang ditunjukkan seperti sangat pasif, dia saja dan tidak
mau berbicara kepada siapa pun. Terlihat putus asa. Ketika di sekolah ia tidak menunjukkan
dirinya selayaknya anak kecil yang senang untuk bermain dan belajar bersama teman- teman.
Ia seperti menanggung beban yang sangat berat yang seharusnya belum ia rasakan dan ia
tanggung sendiri. Di sekolah pun menjadi tempat yang tidak menyenangkan bagi Darrel
karena ia seperti merasa malu atau minder engan apa yang terjadi pada dirinya. Ia tidak
punya semangat untuk belajar seperti yang di tunjukkan oleh anak- anak lain yang
seumurannya yang mempunyai minat untuk belajar. Bukan hanya kemampuan kognitif yang
di berikan oleh pihak TK tetapi juga yang lain- lain seeperti mengaji, bermain musik,
membuat prakarya, dan lain- lain. Ia juga mengalami kesusahan dalam bersosialisasi dengan
teman- temannya.
Faktor yang mendasari anak berbuat seperti itu karena masalah- masalah yang terjadi di
rumah dan juga pola asuh kedua orang tua yang bisa di katakan tidak baik. Ibu dan ayahnya
kurang memperhatikan kebutuhan- kebutuhan anak ini, yang terlebih lagi kebutuhan akan
kasih sayang dan cinta yang seharusnya sangat di butuhkan oleh anak seusia Darrel. Ibunya
kurang juga memberika perhatian seperti memperdulikan sekolahnya, atau menanyakan halhal yang berhubungan dengan dirinya. Darrel pada pagi hari diantar ke sekolah oleh ibunya
kemudian ia di beri uang Rp. 10.000,-. Uang itu yang menjadi bekal Darrel selama seharian.
Ketika pulang sekolah ia tidak langsung di jemput oleh ibunya dan pulang kerumahnya
melainkan ia oleh ibunya di titipkan pada teman ibunya. Ketika di rumah teman ibunya pun
ia tidak merasa nyaman, ia berganti baju seragam sendiri kemudian ia akan pergi bermain
dengan bekal uang tadi, entah bermain playstation atau yang lainnya, yang jelas pada siang
hari ia tidk berada di rumah teman ibunya tadi hingga sore hari. Ketika sore ia akan pulang
dan menunggu untuk di jemput ibunya, jika tidak maka ia akan bermalam di rumah teman
ibunya tadi. Ibu Dareel sibuk sendiri dengan aktivitasnya di luar rumah, seperti berdagang,

dan lain- lain. Kakek Darrel pun sudah tua dan ia adalah pensiunan tentara. Ia juga kurang
memberikan perhatian kepada cucunya.
5.2 Saran
Terapi yang kami berikan adalah memberikan faktor penguatan (reinforcement) pada
anak berupa pemberian Reward ketika ia melakukan hal baik atau positif meskipun dalam hal
ini belum signifikan karena dalam melakukan pendekatan kami mengalami kesulitan karena
orang tua atau ibu klien yang tidak mau bekerja sama dan peduli sekalipun pihak sekolah
telah berusaha membantu tetapi tidak ada respon positif yang ditunjukkan ibu klien.
5.3 Evaluasi
Sebaiknya orang tua perlu ekstra memperhatikan anak dengan pemberian asupan secara
psikologis berupa kasih sayang dan perhatian pada anak memotivasi diri agar ia dapat
memacu perkembangan yang ada dalam dirinya dan menggali potensi yang ia miliki sejak
usia dini. Orang tua juga bisa mengarahkan kemampuan apa yang dimiliki seorang anak
sehingga anak mempunyai pandangan tentang kesukaannya pada bidang tertentu itu
tersalurkan dengan baik. Tidak memberikan kebutuhan secara material saja karena anak
hanyalah butuh sebuah kasih sayang dan perhatian dari seorang ibu yang telah merawat,
melahirkan dan membesarkannya. Jika Darrel dibiarkan begitu saja ia dapat tumbuh menjadi
anak yang pasif dan selalu terdiam dengan semua masalah yang ada dalam dirinya sehingga
berdampak pada orang- orang sekitarnya seperti ; Keluarga, Guru di TK dan Temantemannya. Dalam makalah yang kami buat mungkin masih perlu banyak evaluasi tentang
bagaimana mentreatment anak secara baik, karena kami juga kesulitan dengan orang tua
klien sehingga kami susah untuk mendekati anak secara psikologis. Dan lebih baiknya jika
kami bisa melakukan pendekatan secara baik pada keluarga khususnya pada ibunya agar
kami mengerti keseharian anak dirumah, kebiasaan yang dapat menunjang dan membantu
perkembangan anak sehingga kami bisa mengambil kesimpulan yang sebaik mungkin
tentang terapi yang tepat untuk Darrel dan menambah Referensi dari berbagai buku yang
menunjang kasus sehingga dapat menyimpulkan dan menganalisis sebuah kasus dengan
sebaik mungkin

Daftar Pustaka
Shochib, mohammad. 1998. Pola Asuh Orang Tua. Rineka Cipta. Jakarta
Tylor, Jim. 2005. Memberi Dorongan Positif Pada Anak. Gramedia Pustaka. Jakarta
Weiss, Lynn.2003. How to Read Your Child Like a book. Interaksara. Jogyakarta.
Safaria, Triantoro. 2004. Terapi Kognitif Perilaku untuk Anak. Graha Ilmu. Jogyakarta
Corey, Gerald.1997. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Eresco. Bandung
Nevid, S Jeffrey. 2003. Psikologi Abnormal 2. Erlangga. Jakarta
Graham, G. 1991. Connectionism in Pavlovian Harness. In T. Horgan and J.
Tienson (eds.), Connectionism and the Philosophy of Mind (pp. 143-66). Dordrecht: Kluwer.
Kazdin, Alan E., Behavior Modification in Applied Setting. 1994. UCLA
Ryle, G. 1949. The Concept of Mind. London: Hutchinson. Schwartz, B. and Lacey, H. 1982.
Behaviorism, Science, and Human Nature. New York: Norton.
Smith, L. 1986. Behaviorism and Logical Positivism: A Reassessment of Their Alliance.
California: Stanford.
Turner, M. B. (1967). Philosophy and the science of behavior. New York: Appleton-CenturyCrofts.
Atkinson, R. L. 1991. Pengantar Psikologi. Jilid 2. Diterjemahkan oleh Nurdjanah Taufik.
Jakarta: Erlangga

You might also like