You are on page 1of 11

Definisi

Penyakit Graves, juga dikenal sebagai penyakit Parry atau Basedow,


merupakan kelainan dengan tiga mekanisme utama: hipertiroidisme dengan
struma difusa, oftalmopati dan dermopati dimana ketiga manifestasi utama ini
tidak harus tampak bersamaan.
Prevalensi
Penyakit Graves merupakan suatu kelainan yang dapat terjadi pada
semua umur tetapi sering terjadi pada dekade ketiga atau keempat. Penyakit
ini lebih sering pada perempuan. Rasio predominasi perempuan pada daerah
struma 7:1. Pada daerah endemik struma, rasionya lebih rendah. Faktor
genetik memainkan suatu peranan penting; oleh karena itu predisposisi
familial yang nyata terhadap penyakit Graves.
Etiologi dan pathogenesis
penyebabnya tidak diketahui. Dari p:utdangan bahwa manifestasinya
yang bervariasi clan perjalanan penyakit yang berbeda, merupakan hal yang
mungkin bahwa tidak ada faktor tunggal yang berpengaruh terhadap
keseluruhan sindroma. Dengan mcmpertimbangkan hipertiroidisme, kelainan
sentral merupakan suatu gangguan pada mekanisme homcostatik yang
biasanya menyesuaikan sekresi hormon untuk memenuhi kebutuhan jaringan
perifer. Gangguan homeostatik ini dihasilkan dari adanya stimulator tiroid
abnormal pada plasma, yang pertama kali dikenali pada saat muncul dalam
serum pasien clengan pcnyakit Graves yang melepaskan radioyodium dari
tiroid babi Nugini atau tikus. Dan aspek durasi kerjanya yang memanjang dari
relatif clibandingkan dengan durasi pada TSH pada sistem bioassay ini, bahan
ini dirancang sebagai stimulator tiroid kerja lama (LATS = long-acting thyroid
stimulator). Aktivitas LATS pada pengujian tikus disebabkan oleh
imunoglobulin penstimulasi tiroid (TSI= thyroid stimulating immunoglobulin)
dari kelas IgG yang dielaborasi oleh limfosit dari pasien dengan penyakit
Graves. Jikajaringan tiroid manusia digunakan sebagai sistem pengujian, titik
akhir pengukuran adalah stimulasi dari tetes-tetes koloid atau pembentukan
AMP siklis pada sel, potongan atau membrana (TSab = thyroid-stintulating
antibodies) tiroid, dan inhibisi pengikatan TSH dengan reseptornya di jaringan
tiroid manusia (TBII = TSH-binding inhibitory immunoglobulin). Faktor ini
mewakili antibodi terhadap reseptor TSH tiroid (TRAb). Aktivitas dari tipe ini
juga ditemukan dalam serum pada beberapa pasien dengan penyakit Graves
oftalmika, kadang-kadang pada pasien dengan penyakit Hashimoto, dan
beberapa pasien eutiroid relatif dengan penyakit Graves. Diduga, absennya
tirotoksikosis pada keadaaan demikian merefleksikan predominasi
penghambatan versus stimulasi TRAb atau penyakit tiroid intrinsik yang
mencegah suatu respons hipertiroid. Hilangnya faktor stimulasi dari serum
selama pengobatan antitiroid meramalkan sesu:rtu yang baik untuk remisi
jangka panjang setelah pengobatan dihentikan. Dengan demikian, sementara
penyebab dasar dari penyakit Graves tidak diketahui, sebuah imunoglobulin
atau keluarga imunoglobulin yang diarahkan terhadap reseptor TSH
memperantarai stimulasi tiroid. Suatu abnormalitas yang dapat diturunkan
pada penyelidikan imun dapat memungkinkan limfosit tertentu untuk bertahan, berproliferasi dan mensekesikan imunoglobulin stimulator sebagai
respons terhadap faktor presipitasi. Patogenesis dari komponen oftamika lebih

merupakan teka-teki. Suatu mekanisme yang diusulkan adalah perkembangan


antibodi terhadap antigen spesifik pada otot
Patologi
Pada penyakit Graves, kelenjar tiroid membesar secara difus, lunak
dan vaskuler. Patologinya adalah hipertrofi dan hiperplasia parenkimatosa,
ditandai dengan peningkatan tinggi epitelium dan pengulangan dinding
folikuler, memberikan gambaran lipatan ke dalam papiler dan bukti sitologi
dari peningkatan aktivitas. Hiperplasia yang demikian biasanya diikuti dengan
infiltrasi limfositik yang mereplesikan aspek imun dari penyakit dan
berkorelasi dengan kadar antibodi antitiroid dalam darah. Penyakit Graves
dikaitkan dengan hiperplasia dan infiltrasi limfoid generalisata dan kadangkadang dengan pembesaran limpa atau timus. Tirotoksikosis dapat mengarah
pada degenerasi serat-serat otot skeletal, pembesaran jantung, infiltrasi lemak
atau fibrosis difusa hati, dekalsifikasi dari tulang rangka dan hilangnya
jaringan tubuh (termasuk deposit lemak, osteoid dan otot).
Oftalmopati ditandai dengan infiltrasi inflamasi dari kandungan orbital,
kecuali bola mata, dengan limfosit, sel mast, dan sel plasma. Otot-otot orbita
sering membesar akibat infiltrasi oleh limfosit, mukopolisakarida, dan edema
dengan lemak yang sebagian besar berpengaruh terhadap peningkatan volume
kandungan orbita yang menyebabkan bola mata menonjol. Serat-serat otot
memperlihatkan degenerasi dan hilangnya stria, dengan fibrosis pada
akhirnya.
Dermopati pada penyakit Graves ditandai dengan penebalan dermis,
yang diinfiltrasi oleh limfosit dan dengan mukopolisakarida yang diwarnai
dengan pewarnaan hidrofilik dan metakromatik.
Manifestasi Klinik
Manifestasi meliputi hal-hal yang merefleksikan tirotoksikosis yang
terkait dan terutama manifestasi yang berkaitan dengan penyakit Graves. Hal
yang disebut pertama bervariasi dalam intensitas dengan beratnya
tirotoksikosis, usia pasien, lamanya penyakit dan adanya penyakit pada organ
lain, seperti jantung.
Manifestasi Tirotoksikosis
Manifestasi yang sering ditemukan meliputi kegelisahan, labilitas
emosi, tidak dapat tidur, tremor, pergerakan usus yang sering, keringat yang
berlebihan dan intoleransi terhadap panas. Kehilangan berat badan biasa
terjadi kecuali adanya nafsu makan yang dapat dipertahankan atau meningkat.
Kelemahan otot proksimal muncul, dengan hilangnya kekuatan yang sering
termanifestasi dengan kesulitan naik tangga. Pada perempuan pramenopause,
cenderung terjadi oligominorae dan amenore. Dispnea, palpitasi, dan pada
pasien lanjut usia peningkatan angina pektoris atau kegagalan jantung dapat
terjadi. Secara umum, gejala neurologik mendominasi gambaran klinis pada
individu yang lebih muda, sementara gejala kardiovaskuler dan miopati
menonjol pada yang lebih tua.
Biasanya, pasien tampak cemas, gelisah, dan bergerak dengan gelisah.
Kulit hangat dan lembab dengan tekstur seperti beludru dan eritema palmaris
muncul. Pemisahan kuku dari jaringan kuku (kuku plummer) biasa terjadi,
terutama pada jari keempat. Rambut normal dan bersinar. Tremor halus pada
jari dan lidah, bersama dengan hiperrefleksia adalah khas. Tanda okuler
meliputi pandangan membelalak yang khas dengan fisura palpebra yang

melebar, pengejapan mata yang jarang, kelelahan kelopak mata dan kegagalan
untuk mengernyitkan alis pada pandangan ke atas. Tanda-tanda ini dihasilkan
oleh stimulasi berlebih simpatik dan biasanya berkurang jika tirotoksikosis
dikoreksi. Tanda-tanda tersebut harus dibedakan dari oftalmopati infiltrat yang
khas pada penyakit Graves, yang didiskusikan di bawah.
Temuan kardiovaskuler meliputi tekanan denyut yang lebar, sinus
takikardia, atrial aritmia (terutama fibrilasi atrial), murmur sistolik,
peningkatan intensitas bunyi pertama apikal, pembesaran jantung dan kadangkadang gagal jantung yang nyata. Suatu bunyi yang bolak-balik dan dengan
nada tinggi dapat didengar pada daerah pulmonik dan dapat menstimulasi
friksi gesekan perikardial (goresan Means-Lerman).
Manifestasi Penyakit Graves.
Manifestasi penyakit Graves yang mudah dibedakan, struma
hiperfungsi difusa oftalmopati, dan dermopati, tampak pada kombinasi yang
bermacam-macam, struma merupakan yang paling sering. Rambut yang
memutih prematur dan bercak-bercak vitiligo tidak spesifik untuk penyakit
Graves dan lazim pada penyakit autoimun yang lain.
Struma difusa toksik dapat asimetrik dan lobuler. Adanya bruit pada
kelenjar biasanya menandai bahwa pasien menderita tirotoksikosis, tetapi hal
ini jarang terdapat pada kelainan lain dengan tiroid yang menjadi hiperplastik.
Bising vena dan hembusan aliran karotis harus dibedakan dengan tiroid bruit
asli. Pembesaran lobus piramidal tiroid dapat dipalpasi.
Tanda klinis yang dikaitkan dengan oftalmopati pada penyakit Graves
dapat dibagi dalam dua komponen: spastik dan mekanis. Yang disebut pertama
termasuk mata melotot, kelelahan kelopak mata. Temuan ini tidak perlu
dikaitkan dengan proptosis, yang mungkin disebabkan oleh antagonis
adrenergik, dan biasanya kembali normal setelah koreksi tirotoksikosis.
Komponen mekanis meliputi proptosis dengan derajat yang bermacam-macam
dengan oftalmoplegia dan okulopati kongestif yang ditandai oleh kemosis,
konjungtivitis, pembangkakan periorbita dan komplikasi potensial ulserasi
korea, neuritis optik dan atrofi optik. Jika eksoftalmus berkembang cepat dan
menjadi hal utama dalam penyakit Graves, hal itu disebut progresif dan jika
berat, eksoftalmus maligna. Istilah oftamolplegia eksoftalmik mengacu pada
kelemahan otot okuler yang menyebabkan gangguan pada pandangan melihat
ke atas dan konvergensi dan strabismus dengan derajat diplopia yang
bervariasi. Eksoftalmus dapat unilateral pada saat awal tetapi biasanya
berkembang menjadi bilateral.
Dermopati biasanya terjadi di dorsal tungkai atau kaki dan disebut
miksedema lokal atau pretibial. Hal ini muncul pada pasien dengan riwayat
atau sedang menderita penyakit Graves dan bukan merupakan manifestasi dari
hipotiroidisme. Sekitar setengah dari kasus terjadi selama stadium aktif
tirotoksikosis. Daerah yang terkena biasanya dibatasi dari daerah normal
dengan fakta bahwa kulit di daerah tersebut meningkat, menebal dan memiliki
gambaran peau dorang e (kulit jeruk) dan dapat pruritik dan hiperpigmentasi.
Lesi biasanya diskrit, mengasumsikan konfigurasi seperti plak atau noduler
tetapi pada beberapa keadaan, konfluen. Pembesaran jari dan ibu jari dengan
perubahan tulang yang khas dapat berbeda dari gambaran pada osteoartopati
hipertrofik paru yang dapat menemani perubahan dermis (thyroid acropachy).

Diagnosis. Jika berat, penyakit Graves menampakkan sedikit kesulitan


pada diagnosis. Tirotoksikosis dengan warna kulit yang kemerahan
termanifestasikan oleh rasa lemah, hilangnya berat badan akibat hilangnya
nafsu makan, instabilitas serat saraf, tremor, intoleransi terhadap panas,
berkeringat, palpitasi dan hiperdefekasi. Jika dikaitkan dengan pembesaran
tiroid difusa, yang sering disertai bruit, dan khususnya jika dikaitkan dengan
pembesaran tiroid difusa, yang sering disertai bruit dan khususnya jika
dikaitkan dengan oftamolpati, gambaran klinisnya nyata unik. Pada kasus
yang demikian, uji laboratorium yang mencatat TSH yang tidak terdeteksi,
peningkatan RAIU, T4 serum dan T3, RT3U dan FT4I berfungsi sebagai garis
dasar untuk evaluasi terapi daripada alat diagnostik yang diperlukan. Kadangkadang, uji laboratorium memperlihatkan RAIU normal, T4 dan RT3U serum
normal, dan peningkatan T3 dan FT3I serum (T3 toksikosis).
Pada kasus yang kurang berat, terutama jika tidak ada oftalmopati
diagnosis dapat lebih sulit, karena gejala tirotoksikosis ringan mirip dengan
gejala dari penyakit lain (lihat Diagnosis Diferensial, bawah). Adanya struma
membuat diagnosis kemungkinan hipertiroidisme, tetapi palpasi yang hati-hati
diperlukan untuk menentukan apakah struma multinoduler toksik, adenoma
toksik atau tirotoksikosis subakut muncul, karena terapi kelainan ini dapat
berbeda dari struma difus toksik. Tidak adanya pembesaran tiroid membuat
diagnosis penyakit Graves kurang tetapi tidak menyingkirkannya. Pada kasus
ringan, uji laboratorium konfirmasi mengasumsikan kepentingan yang besar.
Sayangnya, tirotoksikosis ringan sering dikaitkan dengan abnormalitas
marginal pada uji laboratorium atau nilai berada dalam batas atas dari kisaran
normal. Pada kasus yang demikain, penilaian TSH yang ultrasensitif atau uji
stimulasi TRH memainkan peranan yang penting.
Pada sedikit pasien (biasanya yang lebih tua), gambaran klinis dapat
menjadi satu apati daripada hiperaktivitas, dan bukti hipermetabolisme dapat
ringan (apathetic thyrotoxicosis). Pada pasein yang demikian, gambaran
miopatik dapat lebih dominan, karena hipertiroidisme ringan dapat
menghasilkan ketidakmarnpuan berat pada pasien dengan penyebab
penyakitjantung. Karenanya semua pasien dengan kegagalan kardiovaskuler
atau arimia atriunt harus di periksa untuk tirotoksikosis.
Diagnosis Banding
Tanda dan gejala dari beberapa kelainan nontiroid dapat menstimulasi
aspek tertentu dari sindroma tirotoksikosis. Kegelisahan merupakan gambaran
yang menonjol dari tirotoksikosis, dan karenanya terdapat beberapa tumpang
tindih pada simtomatologi tirotoksikosis dengan yang terdapat pada keadaan
gelisah. Takikardia, tremor, iritabilitas, rasa lemah, dan fatik biasa pada kedua
kelainan tersebut. Pada kegelisahan, manif'estasi perifer dari kelebihan
horrnon tiroid tidak ada; kulit biasanya dingin dan lengket daripada panas dan
lembab. Kehilangan berat badan, jika muncul pada kegelisahan emosional,
ditandai dengan anoreksia, sementara pada tirotoksikosis, nafsu makan
biasanya meningkat. Tirotoksikosis kadang-kadang sulit dibedakan dari
kelainan seperti pada metastasis karsinoma, sirosis hepatis,
hiperparatiroidisme, sprue, miastenia gravis, dan distrofi muskuler. Paralisis
periodik hipokalemik lebih sering pada pasien tirotoksikosis, terutama lakilaki Asia dan Amerika Latin. Tanda dan gejala tirotoksikosis dapat tumpang
tindih dengan tanda dan gejala feokromositoma, yang dapat menyebabkan
intoleransi panas, berkeringat, takikardia dengan palpitasi, dan keadaan

hipermetabolik. Pada kelainan yang rnengikuti dan pada kondisi lain yang
dipertimbangkan dalam diagnosis banding, uji laboratorium biasa membuat
hal tersebut mungkin untuk dibedakan dari tirotoksikosis.
Jika oftalmopati bilateral disertai struma dan tirotoksikosis, asal
oftalmopati pada penyakit Graves biasanya nyata. Kehadiran oftalmopati
unilateral, bahkan jika dikaitkan dengan tirotoksikosis, menimbulkan
kemungkinan beberapa penyakit intraorbital atau intrakranial lain. Pada pasien
eutiroid dengan oftalmopati bilateral atau unilateral, penyebab lain yang harus
disingkirkan adalah trombosis sinus kavernosus, meningioma rigi sfenoidalis,
tumor retrobulbar, termasuk deposit leukemik, dan kelainan granulomatosa
pseudotumor okuli yang jarang. Eksoftalmus juga dapat ditentukan pada
kelainan sistemik tertentu, seperti uremia, hipertensi terakselerasi, alkoholisme
kronik, penyakit obstruktif paru kronik, obstruksi mediastinum superior dan
sindroma Cushing. Oftalmoplegia sebagai manifestasi dari adanya infiltrasi
dapat dibingungkan dengan yang muncul pada diabetes mellitus, miastenia
gravis, dan miopati. Jika terdapat keraguan mengenai penyebab oftalmopati,
peragaan titer TSI atau TBII yang nyata atau dari stimulasi TRH abnormal
atau uji supresi tiroid menandakan bahwa penyebabnya adalah penyakit
Graves, walaupun tidak sernua pasien dengan penyakit Graves eutiroid
rnemperlihatkan respons abnormal. Pada kasus demikian, ultrasonografi,
pencitraan resonansi rnagnctik, atau tomografi komputasi orbita berguna untuk
memperlihatkan penebalan khas otot ekstraokuler. Jika keadaan tirotoksikosis
terjadi pada seorang pasien tanpa adanya oftalmopati penyakit Graves,
penl'ebab lain dari tirotoksikosis harus dipertimbangkan. Palpasi tiroid yang
seksama dan studi dengan yodium radioaktif penting dalam hal ini. Strr.rma
asimetrik, difusa yang sedang atau besar ukurannya mencurigai diagnosis
penyakit Graves, terutama jika ada Drrll. Namun demikian, pasien jarang yang
menderita hipertiroidisme sekunder akibat kelebihan TSH (yang berkaitkan
dengan tunror hipofisis atau resistensi terhadap supresi umpan balik sekrcsi
TSH) atau stimulator abnormal yang berasal dari trotbblas (mola hitlatido^ra
atau koriokarsinoma uterus atau testis; Iihat Bab 327) dapat muncul seperti ini.
Sebuah nodul tiroid yang tunggal dan menetap atau multinodul mencurigai
adanya adenctnta toksik atau stnrnru multinoduler toksik. Lunaknya tiroid
dikaitkan dengan nodulalitas yang keras yang dicurigai sebagai tiroiditis
subaklrl, sementara struma yang kecil, tidak dapat digerakkan dan tidak lunak
konsisten dengan tiroidistis kronik dengan tilotoksikosis yang sembuh
spontan. Kelainan yang berkaitan akan didiskusikan pada bagian selanjutnya.
Tidak adanya kelenjar tiroid yang dapat dipalpasi menandai adanya suatu
sumber ekstratiroid dari hormon, misalnya jaringan tiroid ektopik (struma
ovarium) atau lebih sering, penggunaan sendiri dari hormon tersebut
(tirotoksikosis ,fakriria). Studi dengan yodium radioaktif juga membanru.
Kecuali jika produksi horrnon yang berlebih sekunder dari peningkatan
masukan yodilrm, nilai RAIU meningkat pada semua kelainan yang
menghasilkan hipertiroidisme. Kebalikannya, tirotoksikosis yang tidak
disebabkan oleh hipertiroidisme, ditandai oleh nilai RAIU yang subnonnal.
Tiroiditis subakut dan tiroiditis kronik dengan tirotoksikosis yang sembuh
spontan adalah yang paling sering. Jaringan ektopik tiroid jarang
menyebabkan tirotoksikosis. Di sini, RAIU, seperti diukur pada tiroid, rendah,
karena sekresi TSH disupresi, tetapi eksresi urin oleh yodium radioaktif
lambat, karena akumulasi jaringan ektopik. Jaringan ektopik yang berfungsi

dapat direntukan lokasinya oleh scintillat ion scanning. Tirotoksikosis faktisial


paling sering muncul pada pekerja medis atau paramedis atau pada mereka
yang memiliki akses mudah terhadap hormon tiroid. Kelainan menyerupai
gambaran tirotoksikosis yang disebabkan oleh jaringan tiroid ektopik pada
tiroid pasien disupresi. Konsekuensinya, RAIU sangat rendah, dan sebagiar-r
besar yodium radioaktif yang diberikan dieksresikan langsung ke dalam urin.
Jika kelainan disebabkan oleh masuknya preparat yang mengandung Ta,
misalnya levotiroksin atau ekstrak tiroid, To serum meningkat. Pada sisi yang
lain, jika disebabkan oleh liotironin, To serum subnormal. Tanpa
menghiraukan preparatnya, serum T. meningkat, tetapi lebih banyakjika
liotironin yang merupakan bahan penahan. Pengukuran tiroglobulin serum
berguna untuk mengkonfirmasikan tirotoksikosis faktisial. Kadarnya
meningkat pada penyakit Graves dan tiroiditis, tetapi subnormal pada supresi
hormon tiroid eksogen. Penampakan titer TRAb yang meningkat dalam darah
juga memberikan bukti yang kuat bahwa penyakit Graves merupakan
penyebab tirotoksikosis.
TERAPI. Hipertiroidisme Hipertiroidisme sering ditandai oleh fase
siklis eksaserbasi dan remisi, yang tidak dapat diduga awitan dan lamanya.
Terlebih lagi, penyakit yang berkepanjangan dapat dikaitkan dengan
kegagalan tiroid progresif, kemungkinan sebagai konsekuensi dari tiroiditis
kronik, dengan ikut serlanya hipotiroidisme atau penumnan cadahgan tiroid.
Kekhasan ini memiliki implikasi penting dalam memilih dan menberikan
respons terhadap terapi. Terapi yang utama ditujukan untuk membatasi
jr.rmlah hormon tiroid yang diproduksi oleh kelenjar. Bahan antitiroid
memberikan blokade kimiawi terhadap sintesis hormon, efek yang diperoleh
hanya selama obat diberikan. Sehingga, bahan tersebut dapat mengontlol
secara aktif tirotoksisitas tetapi kemungkinan tidak mencegah eksaserbasi pada
beberapa periode selanjutnya. Pendekatan utama kedua adalah ablasi jaringan
tiroid, sehingga membatasi produksi hormon. Hal ini dapat dicapai dengan
pembedahan atau dengan yodium radioaktif. Karena prosedur ini menginduksi
perubahan anatomik yang menetap pada tiroid, pendekatan ini dapat
mcngontrol fase aktifdan lebih mungkin untuk mencegah ekselbasi atau
rekurensi yang kemudian. Pada sisi lain, pembedahan atau radiasi lebih
mungkin mengarah pada hipotiroidisme, baik segera setelah terapi atau dengan
berjalannya waktu.
Setiap terapi memiliki keuntungan dan kerugian, indikasi dan
kontraindikasi. Yang disebut terakhir lebih sering relatif daripada absolut.
Secara umum, percobaan terapi antitiroid jangka panjang diharapkan pada
anak, remaja, orang dewasa muda, dan perempuan hamil, tetapi juga dapat
diberikan pada pasien yang lebih tua. Indikasi prosedur ablasi termasuk relaps
atau rekurensi setelah terapi obat, struma yang besar, toksisitas obat,
kegagalan untuk mengikuti regimen obat, atau kegagalan untuk kembali pada
pemeriksaan yang periodik. Tiroidektomi subtotal dapat dipilih untuk pasien
berumur di bawah 30 tahun yang memerlukan terapi ablasi; namun pendapat
berbeda, dan beberapa pengambil keputusan memberikan yodium radioaktif
dalam pengobatan pasien pada dekade kedua atau ketiga. Pembedahan juga
dipilih pada pasien dengan struma yang sangat besar atau dengan nodul yang
kebetulan berfungsi, terutama jika terdapat riwayat radiasi pada kepala dan
leher. Yodium radioaktif merupakan prosedur ablatif pilihan pada pasien yang
lebih tua, pada pasien yang sebelumnya menjalani pembedahan tiroid, dan

pada pasien yang menderita penyakit sistemik yang merupakan kontraindikasi


pernbedahan elektif. Pada pasien yang terseleksi unluk terapi antiti roid j
angktL panj ang, kontrol yang memuaskan !rampir selalu dupat dicapai jika
obat yang cukup diberikan. Seba!ian besar pasien dapat ditatalaksana dengan
propiltiourasil, 100 sampai 150 rng setiap 6 atau 8 jam. Dosis yang lebih besar
mungkin diperlukan untuk kontrol awal. Metimazole sedikitnya sama efektif
dengan propiitiourasil jika diberikan pada sepersepuluh dosis. Namun
propiltiourasil memiliki keuntungan menghambat konversi perifer Ta ke Tj,
sehingga membawa perbaikan simtomatik yang lebih cepat. Sekali
eutiroidisme dicapai, dosis setiap hari dapat dikurangi sampaijumlah terkecil
yang dapat mengontrol tirotoksikosis. Pada beberapa klinik, dosis awal
diteruskan dan ditambah dengan levotiroksin. Dengan regimen yang terakhir
ini, hipotiroidisme akibat overdosis dari obat antitiroid dapat dicegah.
Konsekuensi yang tidak diinginkan dari hipotiroidisme, misalnya peningkatan
oftalmopati dan pembesaran dari struma, dapat dicegah. Pada satu studi, terapi
kombinasi dikaitkan dengan titer rendah TRAb dan pernurunan risiko
rekurensi saat terminasi terapi. Lamanya terapi obat antitiroid sulit untuk
diduga secara individual pada pasien, dan dapat merupakan suatu fungsi sifat
alamiah penyakit. Semakin lama terapi diberikan, semakin besar
kemungkiniur pasien tetap baik setelah obat dihentikan. Secara umum jangka
waktu i2 sampai 24 bulan digunakan, setelah sepertiga sampai setengah dari
pasien tetap baik setelah periode yang diperpanjang atau tidak menentu.
Kemungkinan remisi yang memanjang meningkat dengan berkurangnya
ukuran struma, kembalinya uji supresi tiroid dan uji stimulasi TRH untuk
normal, atau hilangnya TRAb dari serum selama terapi. Leukopenia
merupakan efek samping utama yang tidak diinginkan dari obat antitiroid.
Suatu hitung darah lengkap harus diperoleh sebelum terapi dimulai untuk
mengidentifikasi pasien yang menderita leukopenia yang berkaitan dengan
penyakit Graves. Leukopenia sementara yang ringan mungkin terjadi dengan
obat antitiroid pada kurang lebih 10 persen pasien dan tidak harus merupakan
indikasi untuk menghentikan terapi. Jika jumlah absolut leukosit
polimortbnukleus mencapai 1500 per milirneter kubik atau kurang, terupi
antitiroid harus dihentikan. Eritema alergika dan sensitivitas obat terjadi
kadang-kadang. Hal ini dapat hilang dengan terapi antihistamin pada dosis
antitiroid yang sama atau kurang, tetapi lebih disukai jika reaksi sensitivitas
terjadi untuk merubah obat lain. Pada keadaan yang jarang (pada kurang dari
0,2 persen), terjadi agranulositosis. Hal ini mungkin muncul tiba-tiba.
Hepatitis, demam akibat obat, dan atralgia kadang-kadang terjadi. Pada
pandangan penulis, reaksi sensitivitas yang hebat, termasuk agranulositosis,
menuntut penghentian terapi antitiroid daripada mengganti dengan obat
alternatif. Yodida menghambat pelepasan hormon dari kelenjar tiroid yang
hiperfungsi, dan efek perbaikannya terjadi lebih cepat daripada zat yang
menghambat sintesis hormon. Karena penggunaan utamanya adalah pada
pasien krisis tiroid yang sedang berlangsung atau yang mengancam serta
pasien penyakit jantung berat. Respons terhadap yodium sendiri sering tidak
lengkap dan transien. Lebih jauh lagi, dengan memperbesar penyimpanan
hormon tiroid, yodida dapat memperpanjang respons terhadap terapi antitiroid.
Jadi, yodium aman dipakai hanya bila digabungkan dengan obat antitiroid.
Bila perjalanan klinisnya cukup berat sehingga memerlukan pemberian
yodium, obat antitiroid biasanya merupakan terapi utama dan halus diberikan

dalam dosis besar sebelum pemberian yodium. Yodium juga berguna dalam
mengendalikan tirotoksikosis setelah pemberian 131I, selama periode efek
terapeutik radioaktif bekerja. Glukoko rtikoiddosis besar (2 mg deksametason
tiap 6 jam) menurunkan konsentrasi Ta serum bila perlu segera mengatasi
tirotoksikosis. Zat kontras sinar-X natrium ipodate teryodinasi memiliki efek
serupa. Yodium yang dibebaskan dari zal ini menghambat sekresi Tj dan Ta
dari tiroid, dan kadar T. serum selanjutnya dihambat oleh pembentukan
ipodate T., perifer. Dosis harian 1 gram per oral cukup efektif, tetapi sejumlah
peringatan bagi yodium, jugaberlaku bagi ipodate. Karena komponen
adrenergik pada tirotoksikosis, beberapa antagonis adrenergik telah
dipergunakan dalam penatalaksanaan tirotoksikosis. Dari antagonis ini,
propranolol merupakan obat pilihan karena relatif bebas dari efek samping.
Pada dosis 40 sampai 120 mg/hari, propranolol menyingkirkan kelainan
metabolik seperti berkeringat, tremor, dan takikardia, dan dapat mengurangi
pada beberapa sisi konversi Ta ke T3. Namun, propranolol harus digunakan
sebagai hanya sebagai terapi tambahan, karena penyebab kelainan
metaboliknya tidak terpengaruh. Lebih lanjut, walaupun pengurangan denyut
jantung dan kerja jantung dapat menguntungkan, blokade penyangga
adrenergik terhadap kontraktilitas miokard memerlukan pengunaan yang hatihati pada pasien dengan gagal j antung, kecuali berkaitan dengan denyut atau
irama. Sebagai terapi tambahan, propranolol berguna selama periode respons
terhadap bahan antitiroid konvensiorral atau terhadap terapi radioyodium
ditunggu dan pada penatalaksanaan krisis tirotoksikosis. Hal ini telah
dipergunakan sebagai bahan tunggal pada preparat untuk tiroidektomi, tetapi
penggunaannya pada keadaan ini tidak disarankan, karena preparat tersebut
tidak menyebabkan pasien menjadi eutiroid, dengan kernungkinan risiko yang
lebih besar dari krisis yang diinduksi oleh pembedahan. Yodiutn radioaktif
(t3tD merupakan suatu alat yang sederhana, efektif, dan ekonomis untuk
mengobati tirotoksikosis. Radioaktif dapat rnemproduksi efek ablasi dari
pembedahan tanpa operasi dan komplikasi pascaoperatif. Kerugian utama dari
terapi I31I, pada dosis yang biasanya dipergunakan, adalah kecenderungannya
untuk menghasilkan hipotiroidisme dengan frekuensi yang meningkat sejalan
dengan waktu. Sebanyak 40 sampai 70 persen pasien menghasilkan
komplikasi ini dalam waktu 10 tahun setelah pengobatan. Walaupun
hipotiroidisme dapat diobati, setelah didiagnosis, awitan yang mendadak dapat
mengaburkan diagnosis sampai komplikasi yang serius muncul. Karenanya
beberapa orang menyuankan bahwa semua pasien yang diobati dengan dosis
besar tt'I ha.us dipastikan bebas dari tirotoksikosis dan kemudian digantikan
dengan dosis fisiologik pengganti yang permanen dari hormon tiroid. Tidak
ada bukti efek karsinogenik atau leukcmogenik dari radioyodiumjika diberikan
pada orang dewasa pada dosis yang biasa digunakan dalam mengobati
hipertirodisme. Namun kerentanan telhadap karsinogenesis dapat meningkat
pada tiroid anak. Ef'ek mutagenik tidak pernah dilaporkan dan akan sulit untuk
didokumentasikan. Karena hal ini, banyak dokter lebih memilih untuk
memberikan terapi radioyodium pada pasien di atas 30 tahun atau mereka
yang tidak memiliki kcmungkinan untuk mempunyai anak selanjutnya. Lebih
lanjut, semakin lama umur harapan hidup setelah terapi 13rI, semakin besar
kemungkinan untuk menderita hipotiroidisme. Di antara pasien yang lebih
muda, karenanya, hanya mereka dengan tirotoksikosis berulang setelah
pembedahan, mereka yang menolak pembedahan, dan merekar dengan

penyakit komplikasi yang merupakan kontraindikasi operasi adalah kandidat


untuk terapi radioyodium. Pada pasien lanjut usia, terapi dengan dosis
radioyodium yang lebih besar merupakan metode umum terpilih sehingga
darnpak dari terapi yang inkomplit atau rekurensi dapat dihindari. Pada pasien
dengan oftalmopati yang nyata, merupakan hal yang hati-hati untuk
memberikan glukokortikoid atau kurang lebih 2 minggu sebelum dan 6
minggu setelah dosis 13rI untuk mengurangi kemungkinan eksaserbasi
penyakit mata. Dosis telapeutik yang biasa untuk 't'I ;kurang lebih 5,9 MBq
(160 pCi) pcrgram dari berat kelenjar yang telah diestimasil mengarah kepada
irekuensi hipotirodisme yang tinggi. Sebagai hasilnya, bcberapa penulis yang
terus menggunakan dosis ini, harus secara reguler memberikan dosis
penggantian profilaktik hormon tiroid. Yang lain lagi memberikan dosis yang
lebih kecil [sekitar 3 mBq/g (80pCi/g)1. Namun, ini tidak mengurangi
frekuensi hipotiroidisme lanjut tetapi memperlambat awitannya. Lebih lanjut,
dosis yang lebih kecil kemungkinannya untuk mengobati tirotoksikosis dalam
waktu yang relatif pendek. Bahan antitiroid dapat diberikan, namun untuk
mencapai keadaan eumetabolik, dan propranolol dapat diberikan untuk
mengurangi gejala sementara efek r3rI berfungsi. Terdapat suatu persetujuan
umum bahwa pasien dengan penyakit jantung harus menerima 't'I ,lala* dosis
besar untuk mencegah kemungkinan terj adinya tirotoksikosiiyang rekuren.
Tiroiditis akibat radiasi merupakan komplikasi langsung yang kadang-kaclang
muncul pada terapi tttI. H"l ini biasanya tampak dalam 7 sampai 10 hari dan
dikaitkan dengan peningkatan pelepasan hormon ke dalam darah. Jarang,
tiroiditis akibat radiasi menyebabkan krisis tiroid (lihat bawah), yang pasing
sering pada pasicn lanjut usia dengan penyakit sistemik lain. Untuk alasan ini,
pasien dengan hipertiroidisme berat atau penyakit jantung harus diusahakan
mencapai eumetabolik dengan bahan antitiroid sebelum l3rI diberikan.
Propanolol juga dapat digunakan sebagai tambahan baik sebelum dan sesudah
pemberian l3ll tetapi tidak bertumpu hanya untuk memberikan profilaksis
yang adekuatjika diberikan sendiri. Pembengkakan yang menyertai tiroiditis
akibat radiasi dapat merupakan kontra indikasi penggunaan '3rI dosis besar
pada pasien dengan struma retrosternal yang besar. Sebelum yodium radioaktif
diperkenulkun, r i ro i d e kromi sub totaL merupakan bentuk standar dari
terapi ablatif, dan masih tetap diberi
kan pada pasien yang lebih muda yang terapi antitiroidnya tidak
berhasil. Walaupun program praoperatifyng tepat berbeda, beberapa prinsip
umum harus ditekankan. Pasien perlama-tama harus menjadi eutiroid dengan
menggunakan bahan antitiroid. Hanya setelah itu, yodida (5 tetes solusio
Lugol setiap hari selama kurang lebih l0 hari) dapat diberikan secara
berturutan untuk mempengaruhi respons involusi dari kelenjar. Obat
antitiroidjangan dihentikan hanya karena pengobatan dengan yodida diberikan.
Respons pasien, dan bukan penanggalan, yang harus menentukan kapan
pembedahan dilakukan. Bahaya dari tiroidektomi subtotal termasuk
komplikasi langsung, misalnya kecelakaan anestesia, perdarahan yang kadangkadang mengarah ke obstruksi pernapasan, dan kerusakan nervus laringeus
rekuren mengarah kepada paralisis pita suara. Komplikasi lanjut termasuk
infeksi luka, perdarahan, hipoparatiroidisme, dan hipotiroidisme. Tiroidektomi
subtotal harus dilakukan oleh seorang ahli bedah yang berpengalaman dengan
prosedur ini; pada keadaan ini, pembedahan adalah et-ektif dan relatif aman.
Rekurensi puscaoperasi sangat tidak biasa. Namun studi yang dilaksanakan

dengan hati-hati memperlihatkan hipotiroidisme setelah pembedahan lebih


sering daripada yang dicudgai sebelumnya, walaupun tidak sebiasa dengan
dosis konvensional l3lI. Terapi hipertiroidistne selama kehantilan merupakan
topik dari beberapa perbedaan pendapat. Sebagian besar dokter mempercayai
bahwa terapi antitiroid lcbih disukai daripada pembedahan, yang tidak
sehat'usnya dilakukan pada berbagai keadaan selama trimester pertama dan
ketiga. Bahan antitiroid membawa risiko lebih sedikit pada pasien dan pada
kehamilan. Lebih lanjut, karena obat ini melewati barier plasenta, obat ini
memiliki keuntungan secara teoritis untuk mencegah hipertiroidisme pada
fetal dan neonatus jika titer TRAb tinggi. Seperti petunjuk terhadap risiko
hipertiroidisme pada fetus, pengujian stimulator yang demikian harus
diberikan pada perempuan harnil dengan riwayat penyakit Graves, baik diobati
atau tidak. Pada sisi lain, kerugian utama dari terapi antitiroid adalah
kemungkinan menginduksi hipotiroidisme pada fetus. Hormon T. dan T.
melewati plasenta manusia dari ibu kepada fetus hanya secara perlahan, dan
pemberian hornron tiroid secara simultan dan obat antitiroid kepada ibu tidak
melindungi fetus dari hipotiroidisme. Dengan demikian, aturan utama dalam
menggunakan bahan antitiroid pada kehamilan adalah bahwa dosis harus yang
terkecil yang diperlukan untuk mengontrol hipertiroidisme pada ibu. Dari nilai
laboratorium, dokter harus berusaha untuk menjaga TSH serum dan
konsentrasi FT,, dalarn batas nonnal, mengingat bahwa kehamilan biasanya
dikaitkan dengan beberapa peningkatan To serum total karena peningkatan
pada konsentrasi TBG serum. Karena kehamilan tampaknya mengurangi
beratnya hipcrtiroidisme, kontrol sering dapat dicapai dengan dosis
propiltiourasil pemeliharaan 200 mg atau kurang setiap hari. Pada dosis ini,
struma f'etus atau hipotiroidisme tidak menjadi problern. Pasien yang
memerlukan dosis 300 mg/hari atau lebih selama timester pertamzr biasanya
mungkin harus diobati dengan tiroidektomi subtotal selama trimestcr kedua.
Penulis yakin bahwa pasien yang membawa bahan antitiroid selama
kehamilan sebaiknya tidak diberikan propanolol sebagai terapi tambahan, pada
pandangan bahwa bahan tersebut dapat menyebabkan retardasi dalam
pertumbuhan fetus dan depresi pernapasan neonatus. Propiltiourasil cenderung
lebih dipilih dari metimazol, walaupun catatan yang terdahulu tentang anomali
fetus dengan bahan yang terakhir tidak dapat dikonfirmasi. Keuntungan
propiltiourasil termasuk efeknya pada penghambatan konversi dari Tu rnenjadi
T1 dan derajat yang lebih tinggi dari pengikatan protein, yang menghambat
ekskresinya ke dalam air susu. Radioyodiumjangan diberikan kepada
perempuan hamil, dan semua perempuan dalam usia produktif yang akan
menerima 'ttI hu.ur menjalani uji kehamilan sebelumnya. Oftalmopati,
dermopati Jika berat dan progresif, oftalmopati adalah komponen penyakit
Graves yang paling sulit untuk diterapi secara memuaskan. Untungnya, pada
kebanyakan pasien kelainan ini mengalami perkembangan secarajinak yang
sebagian besi independen terhadap hipertiroidisme. Pada sebagian besar kasus,
aktivitas dari penyakit berat yang sedang berkurang dan menghilang dengan
waktu, walaupun beberapa eksoftalmus dan oftalmoplegia menetap. Pada
penyakit yang ringan, keuntungan yang cukup didapat dengan pengukuran
sederhana, misalnya peninggian kepala pada malam hari, pemberian diuretik
untuk mengurangi edema, dan memberikan kaca mata berwarna untuk
melindungi dari matahari, angin, dan bendabenda asing. Suatu solusi
metilselulose l% atau pelindung plastik dapat mencegah pengeringan kornea

pada pasien yang tidak mampu menutup kelopak mata selama tidur. Pada
kasus yang lebih berat, yang dibuktikan dengan eksoftalmus yang progresif,
kemosis, oftalmoplegia, atau kehilangan pandangiur, dosis besar prednison (I
00 sampai 120 mg/hari) harus diberikan, karena hal ini biasanya efektif dalam
mengurangi komponen edematosa dan intiltratif. Dengan perbaikan, dosis
dikurangi ke yang terendah untuk meminimalkan efek dari kelebihan
glukokortikoid. Radiasi orbita dapat berguna pada beberapa pasien dengan
manifestasi yang akut dan berat, terutama jika diberikan secara terus menerus
dengan glukokortikoid. Pada kasus dengan kemajuan yang dikecualikan dari
pengukuran ini, dekompresi orbita misalnya pembuangan bagian tulang dari
orbita, diperlukan untuk mengurangi tekanan intraorbita. Penatalaksanaan
harus selaiu dilakukan bersama-sama dengan ahli mata. Secara umum, terapi
hipeltiroidisme yang berkaitkan harus dilakukan jika oftalmopati tidak
muncul, karena arah pengobatan hipertiroidisme tidak mempengaruhi
perjalanan penyakit okuler. Apakah terapi 13rI dapat mempersulit penyakit
oftalmopati okuler tetap kontroversial. Suatu hal yang disetujui adalah
hipotiroidisme harus dihindariDermopati berat dapat diredakan dengan
pemberian topikal glukokortikoid.

Manifestasi Klinis Penyakit Graves


A.Menunjukkan goiter difus pada wanita usia 28 tahun dengan penyakit
Graves. B dan C menunjukkan oftalmopati pada wanita usia 55 tahun dengan
penyakit Graves, edema periorbital, chemosis, injeksi sklera dan proptosis
retraksi kelopak mata. D menunjukkan dermopati.
Sumber : Gravess Disease-The New England Journal of Medicine 2000

You might also like