You are on page 1of 27

MAKALAH HAMA DAN PENYKIT PENTING TANAMAN TEH

Di PERKEBUNAN TEH WONOSARI

Oleh :
Kelompok 1
Kelas H
Sari Tri Handayani

155040201111056

Rose Clarita Situmorang

155040201111202

Meilani Afsari

155040201111103

Naufaldi Pratama

155040200111150

Oscar Julio Girsang

135040201111321

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016

KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT , dan atas segala Rahmat-Nya
sehingga penulis kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul Hama dan Penyakit pada
Tanaman Teh di Perkebunan Teh Wonosari, Lawang. Makalah ini disusun dalam rangka
memenuhi tugas presentasi mata kuliah Hama dan Penyakit Penting Tanaman.
Makalah ini kami susun dengan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat
memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu, kami menyampaikan terima kasih kepada
semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan dalam
pengerjaan makalah ini baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu,
kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun
inspirasi bagi para pembaca.

Malang,

September 2016

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
I. PENDAHULUAN..1
1.1 Latar Belakang.........................................1
1.2 Rumusan Masalah................................................2
1.3 Tujuan.......................................2
1.4 Manfaat ................................2
II. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................3
2.1 Sejarah Lahan.......................3
2.2 Budidaya Tananaman Teh ......................................4
2.3 Agrosistem...........................6
2.4 Identifikasi Hama dan Pengendalian ..............9
2.5 Penyakit dan Pengendalian........................18
2.6 Musuh Alami.............................................19
III. Penutup
3.1 Kesimpulan.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tanaman tidak selamanya bisa hidup tanpa gangguan. Kadang tanaman mengalami
gangguan oleh binatang atau organisme kecil (virus, bakteri, atau jamur). Hewan dapat
disebut hama karena mereka mengganggu tanaman dengan memakannya. Belalang,
kumbang, ulat, wereng, tikus, walang sangit merupakan beberapa contoh binatang yang
sering menjadi hama tanaman. Gangguan terhadap tanaman yang disebabkan oleh virus,
bakteri, dan jamur disebut penyakit. Tidak seperti hama, penyakit tidak memakan tanaman,
tetapi mereka merusak tanaman dengan mengganggu proses proses dalam tubuh tanaman
sehingga mematikan tanaman. Oleh karena itu, tanaman yang terserang penyakit, umumnya,
bagian tubuhnya utuh. Akan tetapi, aktivitas hidupnya terganggu dan dapat menyebabkan
kematian. Untuk membasmi hama dan penyakit, sering kali manusia menggunakan obatobatan anti hama. Pestisida yang digunakan untuk membasmi serangga disebut insektisida.
Pembasmi hama dan penyakit menggunakan pestisida dan obat harus secara hatihati
dan tepat guna. Pengunaan pertisida yang berlebihan dan tidak tepat justru dapat
menimbulkan bahaya yang lebih besat. Hal itu disebabkan karena pestisida dapat
menimbulkan kekebalan pada hama dan penyakit. Oleh karena itu pengguna obat-obatan anti
hama dan penyakit hendaknya diusahakan seminimal dan sebijak mungkin. Secara alamiah,
sesungguhnya hama mempunyai musuh yang dapat mengendalikannya. Namun, karena ulah
manusia, sering kali musuh alamiah hama hilang sehingga mengakibatkan hama tersebut
merajalela.
Oleh karena itu, disamping untuk memenuhi tugas dari dosen, kami sebagai penulis
melakukan studi kasus di Perkebunan Teh Wonosari agar dapat melihat secara langsung hama
dan penyakit yang terdapat pada tanaman teh serta musuh alami yang ada
mempelajarinya lebih dalam lagi.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah tentang:
1. Sejarah Perkebunan Teh Wonosari

dan dapat

2.
3.
4.
5.
6.

Cara budidaya tanaman teh


Agrosistem yang terdapat di Perkebunan Teh Wonosari
Hama yang terdapat dikebun teh, populasinya, gejala serta cara pengendalian
Penyakit yang terdapat dikebun teh dan pengendaliannya
Musuh alami yang terdapat di Perkebunan Teh Wonosari

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui sejarah Perkebunan Teh Wonosari
2. Mengetahui cara budidaya tanaman teh
3. Mengetahui agrosistem yang terdapat di Perkebunan Teh Wonosari
4. Mengetahui hama yang terdapat dikebun teh, populasinya, gejala serta cara
pengendalian
5. Mengetahui penyakit yang terdapat dikebun teh dan pengendaliannya
6. Mengetahui musuh alami yang terdapat di Perkebunan Teh Wonosari
1.4 Manfaat
Adapun manfaat dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi pembaca, yaitu diharapkan dapat menambah ilmu atau wawasan pertanian
tentang teh.
2. Bagi mahasiswa, yaitu dapat menganalis lebih dalam tentang tanaman teh.

BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Lahan
Kebun teh wonosari berbentuk kebun dengan luas 1144 hektar. 1144 hektar ini di
bagi atas 3 bagian yaitu kebun wonosari yang berada di Desa Toyomarto, Kecamatan
Singosari , kebun Gebug Lor di Desa Wonorejo, Kecamatan Lawang, dan kebun Raden
Agung di Desa Ambal-Ambal, Kecamatan Kejayan. Wisata ini sendiri terletak di lereng
gunung Arjuno. Lahan kebun teh sebelum nya sebelum sekarang jadi tempat wista kebun

teh dahulunya merupakan lahan milik NV. Cultur Maatschappy, yaitu perusahaan asing
asal belanda. Perusahaan inilah yang membuka kebun ini pertama kali pada tahun 1875
dan telah ditanami pohon kayu manis , sengon , akasiya.
Tahun 1910 sampai dengan 1942 Kebun ini lalu di tanami teh dan kina. Tetapi
sejak tahun 1942 1945 kebun ini di jadikan lahan penanaman tanaman pangan seperti
umbi, singkong dan lain sebagainya. Pada tahun kemerdekaan Indonesia yaitu tahun 1945
kebun ini di ambil alih oleh Negara dan di beri nama PPN (Pusat Perkebunan Negara).
Pada tahun 1950 tanaman kina di ganti dengan teh. Pada tahun 1957 sampai tahun 1996
mengalami perubahan manajemen. Pada akhirnya pada tahun 1996 kebun ini di kelola PTP
Nusantara XII. Dan di jadikan sebagai tempat pengelolaan kebun teh hingga saat ini.

Gambar 1. Peta Lokasi Perkebunan Teh Wonosari, Lawang

2.2 Budidaya Tanaman Teh


Menurut Ghani (2002) dalam sistem budidaya teh, pengelolaan pembibitan
merupakan titik kritis yang menentukan proses selanjutnya. Sekali salah dalam
menentukan jenis atau klon yang ditanam maka perlu waktu puluhan tahun untuk
menggantinya karena umumnya tanaman teh diremajakan setelah berumur 50 tahun.
Penyediaan bahan tanaman (pembibitan) pada budidaya teh dapat dilaksanakan dari
biji dan stek. Pembibitan asal stek telah demikian populer, karena merupakan cara yang
paling cepat untuk memenuhi kebutuhan bahan tanam (bibit) dalam jumlah banyak. Bibit

dapat dipindahkan ke lapangan setelah berumur 2 tahun yang mempunyai ukuran batang
lebih besar dari pensil (Pusat Penelitian Gambung, 1992). Pada saat di pembibitan
dilakukan pemeliharaan intensif seperti pemupukan pemberantasan hama penyakit,
penyiraman dan penyiangan.
Pada pelaksanaan penanaman bibit teh, hal-hal yang harus diperhatikan adalah
penentuan jarak tanam yang tepat, pengajiran, pembuatan lubang tanam, teknik penanaman
dan penanaman tanaman pelindung yang diperlukan. Jarak tanam antar barisan tanaman
120 cm, dan jarak tanam dalam barisan beragam 60 cm 90 m. Pengajiran adalah
memasang ajir pada tempat-tempat yang akan ditanami bibit teh, sesuai dengan jarak
tanam yang telah ditentukan. Ukuran lubang tanam untuk bibit asal stump biji adalah 30
cm 30 cm 40 cm, sedangkan untuk bibit stek dalam polybag adalah 20 cm 20 cm
40 cm. Tanaman pelindung atau pohon naungan pertanaman teh terdiri atas pohon
pelindung sementara seperti Theprosia sp. atau Crotalaria sp. dan pohon pelindung tetap
seperti Gliricidia maculata (Setyamidjaja, 2000).
Budidaya selanjutnya seperti pemeliharaan diantaranya pemangkasan, pemupukan,
pengelolaan dan pengawetan tanah, pengendalian hama dan penyakit serta pengendalian
gulma. Pemangkasan dilakukan untuk meningkatkan produksi, memperbaiki bidang petik
dan memperbaiki kondisi tanaman yang terserang hama dan penyakit. Gilir pangkas adalah
jangka waktu antara pemangkasan yang terdahulu dengan pemangkasan berikutnya. Gilir
pangkas dibedakan berdasarkan ketinggian tempat yaitu pada dataran rendah dilakukan 3
tahun sekali sedangkan dataran tinggi dilakukan 4 tahun sekali. Waktu pangkasan yang
baik adalah pada saat kandungan pati lebih dari 12 %. Waktu terbaik untuk pemangkasan
perkebunan di pulau jawa adalah bulan April-Mei (akhir musim hujan) dan SepetemberOktober (awal musim hujan) (Tobroni dan Adimulya, 1997).
Jenis pangkasan yang sering dilakukan diantaranya pangkasan kepris yaitu
menurunkan dan meratakan bidang petik, pangkasan bersih yaitu menurunkan bidang petik
dan memangkas semua cabang dengan diameter lebih dari 1 cm, pangkasan jambul
merupakan pangkasan yang menyisakan 2 cabang yang berdaun 50-100 lembar. Selain itu
juga jenis pangkasan lainnya yaitu pangkasan indung merupakan pangkasan pertama,
pangkasan bentuk dengan tujuan membentuk bidang petik agar lebar, pangkasan tengah
bersih hampir sama dengan pangkas bersih tapi hanya bagian tengah saja, pangkasan dalam

adalah memperbaiki dan memperbaharui bidang petik yang kurang baik, pangkasan leher
akar yaitu pangkasan berat yang dilakukan pada leher akar atau disebut dengan pangkasan
rejuvenasi (Tobroni dan Adimulya, 1997).
Ranggas (cabang sisa pangkasan) diletakkan diatas bekas luka pangkasan untuk
mengurangi sengatan matahari secara langsung pada cabang yang terbuka selama 3-5 hari.
Setelah itu ranggas dibenamkan ke dalam tanah, dan dilakukan gosok lumut agar tidak
menghambat pertumbuhan tunas baru (Tobroni dan Adimulya, 1997).
Pemetikan merupakan ujung tombak produksi, dalam budidaya teh. Keberhasilan
pemetikan merupakan kunci kesuksesan dalam bisnis teh secara keseluruhan. Menurut
Setyamidjaja (2000), pemetikan adalah pekerjaan memungut sebagian dari tunas-tunas teh
beserta daunnya yang masih muda, untuk kemudian diolah menjadi produk teh kering yang
merupakan komoditi perdagangan. Jenis pemetikan diantaranya petikan jendangan,
gendesan dan produksi. Petikan jendangan dilakukan pertama setelah pangkasan sekitar 34 bulan setelah pangkas. Tujuan dari petikan jendangan adalah membentuk daun
pemeliharaan. Petikan gendesan dilakukan sebelum tanaman dipangkas sekitar 1-2 minggu.
Tujuan dari petikan ini adalah untuk mengurangi kehilangan produksi akibat pemangkasan.
Petikan produksi merupakan pemetikan yang dilakukan untuk produksi. Petikan ini
dilakukan terus menerus dengan daur petik tertentu dan jenis petikan tertentu sampai
tanaman dipangkas kembali.
Menurut Tobroni dan Adimulya (1997), daur petikan merupakan jangka waktu
antara satu pemetikan dengan pemetikan berikutnya, dihitung dalam hari. Daur petik juga
disebut gilir petik dipengaruhi oleh umur pangkas, ketinggian tempat, iklim dan kesehatan
tanaman. Berdasarkan ketinggian gilir petik dibagi menjadi dua yaitu dataran tinggi dengan
gilir petik 10-12 hari dan dataran rendah dengan gilir petik 9-10 hari.
2.3 Agrosistem Tanaman Teh di Perkebunan Teh Wonosari
Agroekosistem adalah komunitas tanaman dan hewan yang berhubungan dengan
lingkungannya (baik fisik maupun kimia) yang telah diubah oleh manusia untuk
menghasilkan Pangan, pakan, serat, kayu bakar, dan produk- produk lainnya.
Seperti yang kita ketahui, di dalam suatu ekosistem tentunya terdapat berbagai
komponen, dari yang abiotic sampai dengan yang biotik. Di dalam agroekosistem juga

demikian, dan antara komponen-komponen tersebut menjalin interaksi satu sama lain yang
apabila interaksi tersebut normal, akan terjadi sebuah keseimbangan ekosistem dan
sebaliknya apabila tidak normal, atau ada salah satu di ntara komponen tersebut yang
jumlahnya melampaui batas, missal meledaknya hama maka interaksinya akan terganggu
dan tidak akan seimbang.
Tipe agroekosistem yang digunakan di Perkebunan Teh Wonosari adalah
monokultur, yaitu hanya ditanami oleh tanaman teh saja. Jika dilihat dari penggunaan
lahannya, kebun teh wonosari tergolong kedalam bentuk lahan perkebunan. Perkebunan
merupakan usaha penanaman tumbuhan secara teratur sesuai dengan ilmu pertanian dan
mengutamakan tanaman perdagangan. Perkebunan penting bagi bahan ekspor dan bahan
industri. Jenis-jenis tanaman perkebunan khususnya di Indonesia antara lain karet, kelapa
sawit, kopi, teh, tembakau, tebu, kelapa, cokelat, kina, kapas, dan cengkih.
Pada sistem pengairan, pertanian lahan kering, kondisi topogragfi memegang
peranan cukup penting dalam penyediaan air, serta menentukan cara dan fasilitas
pengairan. Sumber sumber air biasanya berada pada bagian yang paling rendah, sehingga
air perlu dinaikkan terlebih dahulu agar pendistribusiannya merata dengan baik. Oleh
karena itu, pengairan pada lahan kering dapat berhasil dan efektif pada wilayah yang datar
datar berombak.
Komponen abiotik dan biotik di dalam agroekosistem saling berinteraksi untuk
mencapai keseibampangan ekosistem pertanian. Kebutuhan pangan atau sumber nutrisi
bagi faktor biotik tersedia dengan adanya faktor abiotik tanah, air, unsur hara, dan anasir
iklim yang mendukung nutrisi dalam tanah maupun udara menjadi tersedia. Adanya daur
unsur atau daur biogeokimiawi di alam menunjukkan keterkaitan antara faktor biotik dan
abiotik.
Tanaman teh (Camellia sinensis L.) berasal dari daerah subtropis, karena itu di
Indonesia teh lebih cocok ditanam di daerah pegunungan. Lingkungan fisik yang paling
berpengaruh terhadap pertumbuhan teh adalah iklim dan tanah.
Faktor iklim sangat berkaitan erat dengan tinggi tempat (elevasi). Suhu udara yang
baik bagi tanaman teh ialah suhu harian yang berkisar antara 13 - 25 C yang diikuti oleh
cahaya matahari yang cerah dan kelembaban relatif pada siang hari tidak kurang 70%
(Pusat Penelitian Gambung, 1992).

Menurut Setyamidjaja (2000), curah hujan tahunan yang diperlukan untuk tanaman
teh adalah 2 000 mm 2 500 mm, dengan jumlah curah hujan pada musim kemarau ratarata tidak kurang dari 100 mm/bulan. Tanaman teh merupakan tanaman yang tidak tahan
pada kekeringan. Sinar matahari berpengaruh pada pertumbuhan tanaman teh karena sinar
matahari mempengaruhi suhu, makin banyak sinar matahari maka suhu udara makin tinggi.
Daerah pertanaman tanaman teh umumnya pada ketinggian lebih dari 400 meter di atas
permukaan air laut (dpl). Di Indonesia, pertanaman teh dilakukan pada ketinggian antar
400m sampai 1 200 m dpl. Perkebunan teh yang terletak pada ketinggian di atas 1 500
meter dpl, sering mengalami kerusakan karena terjadinya embun beku (night frost).
Berdasarkan ketinggian tempat, tanaman teh dibedakan menjadi dataran rendah dengan
ketinggian kurang dari 800 m dpl, dataran sedang dengan ketinggian 800-1 200 m dpl dan
dataran tinggi dengan ketinggian lebih dari 1 200 m dpl.
Ketinggian lahan tanaman teh pada Perkebunan Teh Wonosari adalah 900 1500 m
dpl. Dimana menurut Syamsulbahri (1996), ketinggian paling baik pertumbuhan tanaman
teh adalah 900 - 1 100 m dpl. Bila tanaman teh ditanam pada ketinggian kurang dari 800
m dpl maka pertumbuhan tanaman akan terganggu perkembangannya. Pada ketinggian
lebih dari 1 200 m dpl, sinar matahari kurang dan pada malam hari temperatur akan turun
yang berakibat buruk terhadap proses fisiologis tanaman. Ketinggian tempat berkaitan
dengan unsur iklim yaitu suhu udara. Salah satu faktor pendukung Perkebunan Teh
Wonosari berlokasi di lawang adalah karena ketinggian lahan untuk di tanami teh sudah
mencukupi ketinggian lahan yang baik untuk pertumbuhan tanaman. Jika berada di
Malang, kemungkinan tanaman teh tersebut tidak mendapatkan hasil produksi yang
maksimal. . Hal tersebut sesuai dengan Siswoputranto (1978) yang mengatakan bahwa
tanaman teh dapat tumbuh subur di daerah dengan ketinggian 200-2 000 meter di atas
permukaan laut (m dpl). Di daerah-daerah yang rendah umumnya tanaman kurang dapat
memberi hasil yang cukup tinggi dan semakin tinggi letak daerah untuk penanaman teh
umumnya dapat diperoleh hasil yang lebih baik mutunya.
Selain itu, lahan tanaman teh di Perkebunan Teh Wonosari memiliki kelembapan
sebesar 70 90 %, suhu sebesar 16-30 C, kecepatan angin 0-7 rpm dan pH tanah sebesar
4-6. Eden (1976) mengatakan bahwa suhu yang tinggi akan menyebabkan proses
transpirasi yang berlebihan sehingga menyebabkan turunnya poduksi. Sedangkan suhu

yang terlalu rendah pada tempat yang terlalu tinggi menyebabkan penyakit mudah
menyerang tanaman teh. Semakin rendah ketinggian tempat maka suhu semakin tinggi.
Sehingga pohon naungan dibutuhkan tanaman teh dataran rendah.
Menurut Setyamidjaja (2000), tanah yang baik dan sesuai dengan kebutuhan
tanaman teh adalah tanah yang cukup subur dengan kandungan bahan organik cukup, tidak
bercadas, serta mempunyai derajat keasaman (pH) antara 4.5 6.0. Sifat-sifat fisik tanah
yang cocok untuk tanaman teh adalah: solum cukup dalam, tekstur lempung ringan atau
sedang, atau debu, keadaan gembur sedalam mungkin, mampu menahan air, memiliki
kandungan hara yang cukup. Di Indonesia jenis utama yang digunakan untuk perkebunan
teh adalah tanah Andosol (di pulau Jawa pada ketinggian 800 m dpl.) dan tanah Podsolik
(Sumatra). Pemupukan nitrogen sebaiknya menggunakan pupuk ZA, sehingga tanah tetap
dalam kondisi asam. Unsur hara dalam abu daun teh yang terdapat dalam jumlah yang
besar (makro) adalah: kalium 1.75% - 2.25%, fosfor 0.30% - 0.50%, kapur 0.40% - 0.50%,
magnesium 0.20% dan belerang 0.10% - 0.30% dari berat kering.

2.4 Hama yang Ditemukan di Perkebunan Teh Wonosari


2.4.1 Ulat Penggulung Pucuk (Cydia leucostoma)

Gambar 2. Ulat Penggulung Pucuk Tanaman Teh


Ulat penggulung daun membuat tempat berlindung untuk diri sendiri dari daun teh;
caranya dengan menyambungkan dua (atau lebih) daun bersama-sama dengan sutra, atau dengan
menggulung satu daun lalu menyambungkan pinggirnya. Daun yang terserang tidak dapat dipetik
sebagai hasil panen teh.
a. Klasifikasi
Kingdom

: Animalia

Filum

: Arthopoda

Kelas

: Insecta

Ordo

: Lepidoptera

Famili

: Tortricidae

Genus

: Cydia

Spesies

: Cydia leucostoma

b. Gejala yang Timbul

Gambar 3. Pucuk Daun Tanaman Teh yang Terserang


Daun pucuk tanaman teh menggulung rapat yang didalamnya terdapat ulat tersebut. Ulat
penggulung pucuk menghasilkan benang-benang halus yang merekatkan struktur daun dan
menjaga agar daun tetap tergulung.
c. Siklus Hidup
Ngengat betina bertelur dengan meletakkan satu atau dua telur per daun teh, biasanya
pada daun yang matang di bagian atas tanaman teh. Setelah larva (ulat) menetas, dia berjalan ke
pucuk dan masuk kedalamnya. Setelah masuk, dia mulai makan. Ulat yang baru menetas hanya
bisa hidup lama di dalam pucuk. Biasanya terdapat hanya satu ulat per pucuk.
Ulat secara bertahap membuat semacam sarang dan makan dari dalamnya. Dua hari
sebelum menjadi kepompong, ulat berhenti makan dan mulai melipat daun di pinggirnya. Dalam

lipatan daun, ulat membuat kokon putih. Dewasa (ngengat) keluar dari kepompong pada siang
hari, biasanya antara jam 8:00 dan 15:00. Ngengat-ngengat kawin pada pagi atau malam hari.
d. Kondisi di Lapangan
Larva (ulat) Cydia leucostoma ditemukan pada pucuk beberapa tanaman teh di lahan.
Ada beberapa pucuk yang terserang, namun ada juga yang tidak. Menurut narasumber yang
berprofesi sebagai guide di lahan tersebut, serangan dari ulat penggulung pucuk tidak pernah
sampai menimbulkan kerugian besar.
e. Pengendalian
Pada kondisi di lapangan, pengendalian yang dilakukan adalah secara mekanik yaitu
dengan mencabut pucuk-pucuk tanaman teh yang terserang. Untuk menghemat waktu, pemetikan
biasanya dilakukan bersamaan dengan pemanenan untuk produksi, dipisahkan secara manual
dengan dimasukkan ke kantong plastik besar, lalu dibakar. Pestisida tidak digunakan karena
menurut narasumber, tidak terlalu diperlukan sebab serangannya tidak intens / besar. Selain itu,
menurutnya lagi pestisida dapat mempengaruhi daun teh yang disemprot dan dapat berdampak
pula pada konsumen.
Untuk musuh alami, sebenarnya ulat ini memiliki beberapa musuh alami, seperti
Macrocentrus homonae, namun dalam kenyataannya di lahan musuh alami ini tidak ditemukan.
Hanya ditemukan beberapa jenis laba-laba yang merupakan musuh alami Cydia leucostoma fase
dewasa (berbentuk ngengat).

2.4.2

Kutu Loncat (Heteropsylla cubana)

Gambar 4. Kutu Loncat

Sumber: http://disbunhut.probolinggokab.go.id/
Kutu loncat menyerang tanaman-tanaman lamtoro yang ditanam di sekitar kebun teh.
Pohon lamtoro sendiri berfungsi sebagai penaung bagi tanaman teh dari paparan sinar matahari
langsung, terpaan angin kencang dan juga untuk menjaga kelembaban

tanah dan udara di

sekitar tanaman teh.


a. Klasifikasi
Kingdom

: Animalia

Filum

: Arthropoda

Kelas

: Insecta

Ordo

: Hemiptera

Subordo

: Sternorrhyncha

Superfamili

: Psylloidea

Famili

: Aphalaridae

Spesies

: Diaphorina citri

b. Gejala yang Ditimbulkan


Tanaman yang terserang pada bagian tangkai, kuncup daun muda. Gejala serangan pada
umumnya tunas menjadi keriting sehingga menghambat pertumbuhan apabila serangan cukup
parah maka bagian tersebut akan mati.

c. Pengendalian
Pengendalian hama ini dilakukan dengan menggunakan musuh alami berupa kumbang
biru Curinus coeruleus, sebagai predator alami bagi kutu loncat. Selain itu, musuh alami yang
lain adalah burung walet Collocalia vestita yang juga merupakan predator alami kutu loncat.
Tidak dilakukan pengendalian hama secara manual maupun dengan pestisida.

Gambar 5. Kumbang Biru Curinus coeruleus


2.4.3 Kepik Penghisap Daun Teh (Helopeltis antonii Signoret)
a. Klasifikasi
Menurut Borror dkk, (1992) klasifikasi Helopetis antonii adalah
Kingdom

: Animalia

Filum

: Arthropoda

Kelas

: Insekta

Ordo

: Hemiptera

Famili

: Miridae

Genus

: Helopeltis

Spesies

: Helopeltis antonii

b. Morfologi
Helopeltis spp. termasuk ordo Hemiptera, famili Miridae. Serangga ini bertubuh kecil
ramping dengan tanda yang spesifik yaitu tonjolan berbentuk jarum pada mesoskuletum.
Helopeltis merupakan genus yang mempunyai banyak spesies. Di Indonesia, spesies yang
banyak merusak tanaman jambu mete, kakao dan teh adalah H. antonii dan H. theivora Waterh.
Bentuk serangga dewasa Helopeltis antonii berupa bewarna coklat kehitaman, panjang tumbuh
4,5 6 mm, pada bagian toraks terdapat tonjolan seperti jarum pentul. Antena 4 ruas, panjangnya
dua kali panjang tubuhnya. Lama hidup imago sekitar 24 hari.
c. Bioekologi
Nimfa dan imago menyerang dengan cara mengisap cairan tanaman yang masih muda
seperti daun, pucuk muda, tunas, bunga, biji,/gelondong, dan buah. Air liur serangga ini sangat
beracun sehingga pada bagian tanaman yang terkena tusukan melepuh dan berwarna coklat tua.
Serangan pada titik tumbuh dapat mengakibatkan mati pucuk sehingga pertumbuhan tanaman
terhambat.

Di pembibitan, nimfa instar pertama dan kedua pertama-tama menyerang daun muda
kemudian pucuk. Gejala serangan Ditandai dengan adanya bercak-bercak transparan berbentuk
elips di sepanjang tepi tulang daun dan bentuk segi empat pada helai daun.
Bercak tersebut pada hari berikutnya berubah warna menjadi cokelat. Serangan yang
berat dapat menyebabkan kematian tanaman. Nimfa instar ketiga menyerang tunas kemudian ke
bagian batang.Gejala serangan ditandai dengan adanya bercak coklat tua berbentuk elips.
Serangan nimfa pada bibit yang berumur 2-3 bulan menyebabkan pertumbuhan bibit terhambat
(Wiratno et al 1996).
d. Gejala dan Kerusakan yang Ditimbulkan
Helopeltis antonii Signoret adalah salah satu hama yang sering menimbulkan kerugian di
beberapa kebun teh.H. antonii hampir selalu menjadi masalah di berbagai perkebunan teh di
Indonesia. Kehilangan hasil yang diakibatkan hama ini dapat mencapai 40% bahkan lebih.
Menurut Sukasman (1996) cit.Atmadja (2003), serangan yang berat dapat menimbulkan kerugian
sekitar 50-100%. Telur H. antonii yang diletakkan di bawah pucuk daun teh setelah 6-7
hari akan menetas menjadi nimfa instar 1 dan merusak (menusuk dan menghisap cairan)
daun pucuk teh tersebut, sehingga pucuk daun teh tidak bisa dipanen (Atmadja, 2012).

Gambar 6. Daun yang terseragng H. antonii


Sumber: Dokumentasi pribadi
e. Pengendalian
Adapun upaya pengendalian Helopeltis sp. Pada tanaman teh antara lain:
1. Pengendalian secara kultur teknis
Pada tanaman teh, pemberian pupuk yang tepat dan teratur diperlukan untuk
mendapatkan keseimbangan ketersediaan unsur hara bagi tanaman. Tanaman yang sehat
relatif tahan terhadap gangguan hama. Ketersediaan unsurhara yang cukup, menjadikan
tanaman lebih tahan terhadap serangan hama dan penyakit, karena pertumbuhan lebih baik
dan cepat pulih dari kerusakan. Pemupukan yang berlebihan menyebabkan tanamanmenjadi

peka terhadap seranganhama, karena pucuk teh bertambah sehingga disenangi oleh hama
tersebut (Dharmadi,1990 cit. Atmadja, 2012). Pemangkasan perdu teh sering dilakukan
untuk menghindari dari gangguan H. antonii.Akibat pemangkasan, H. antonii tidak
ditemukan pada perdu teh saat dipangkas sampai 16 minggu. Sanitasi gulma sebagai
tanaman inang di sekitar pertanaman teh juga harus dilakukan. Selain itu, dianjurkan untuk
menanaman teh klon tahan dan berproduksi tinggi seperti TRI 2024, TRI-2025, PS-1, SA35, Kiara-8, PS-125,dan RB-1 (Atmadja, 2012).
2. Pengendalian secara hayati
Berdasarkan hasil inventarisasi, predator H. antonii adalah dari kelompok Mintidae,
Reduviidae, Arachnidae, dan semut. Parasitoid Eupharus helopeltianus merupakan musuh
alami yang cukup potensial. Patogen yang menyerang H. antonii yaitu jamur
Metarhiziumyang dapat berperan sebagai biota pengendali secara hayati di kebun teh
(Dharmadi, 1990 cit. Atmadja, 2012).
3. Penggunaan insektisida nabati
Daun dan biji srikaya mengandung lanonin dan anonain yang bersifat insektisida.
Ekstrak daun srikaya yang dilarutkan dalam air memiliki aktivitas antifeedant terhadap
Helopeltissp. sebesar 66-82% (Gurusubramanian et al., 2008 cit. Mamun and Ahmed, 2011).
Akar tuba (Derris elliptica) mengandung 4-11% rotenon. Larutan yang akan disemprotkan
harus mengandung 0,002% hingga 0,004% bahan aktif yang berguna untuk mengendalikan
hama pengisap seperti Helopeltis sp. insektisida nabati ini bersifat racun kontak dan perut
(Mamun and Ahmed, 2011).

2.4.4 Ulat Penggulung Daun (Homona coffearia)


a. Klasifikasi
Kingdom

: Animalia

Filum

: Arthropoda

Kelas

: Insekta

Ordo

: Lepidoptera

Famili

: Tortricidae

Subfamili

: Tortricinae

Genus

: Homona

Spesies

: Homona coffearia Nietne

b. Morfologi
Ulat dewasa panjangnya 11 mm, berwarna kehijau hijauan. Larva Enarmonia
mempunyai daya lekat pada tepi pucuk daun yang ditempati. Siklus hidup 50 -50 hari.
c. Bioekologi
Ngengat Homona mengeluarkan telur yang berbentuk datar. Telur tersebut tersusun dalam
kelompok yang berbaris baris di atas permukaan daun teh. Larva yang menetas akan mulai
memakan daun teh muda sehingga mengurangi hasil panenan karena daun tersebutlah yang
dimanfaatkan manusia. Setelah larva tumbuh hingga panjangnya 18-26 mm, dia menjadi
kepompong. Daun teh yang dijalin menjadi rumah kepompong tersebut. Kemudian ia keluar
sebagai ngengat dewasa. Ngengat aktif hanya malam hari. Betina dapat mengeluarkan beratusratus telur. Ulat Homona diparasit oleh beberapa jenis tawon parasitoid, khususnya
Macrocentrus homonae yang merupakan tawon Braconidae.
Homona coffearia dapat bertelur antara 100-150 butir yang diletakkan dalam satu
kelompok pada permukaan atas daun. Ulat membuat sarangnya dengan menggunakan benangbenang sutera, biasanya satu daun dilipat tetapi terdapat pula beberapa daun yang dilipat. Salah
satu tanda yang dapat digunakan untuk membedakannya dari ulat pengulung lain adalah bagian
kepala dari ulat ini berwarna hitam atau kecoklatan. Kepompong ulat dapat ditemukan pada
gulungan daun yang digunakan sebagai sarangnya.
Daur hidup H. coffearia adalah: (1) periode telur: 6-11 hari, (2) periode ulat:5-6 minggu,
(3) periode pupa: 7-10 hari. Satu generasi memerlukan 5-6 minggu pada daerah rendah, dan 7-8
minggu pada daerah tinggi.
d. Gejala dan Kerusakan yang Ditimbulkan
Gejala serangan yang sering nampak yaitu, terlihat adanya satu atau lebih daun terlipat
dengan menggunakan benang halus. Mula-mula ulat memakan epidermis daun sehingga seluruh
daun dimakan. Larva akan makan daun pertama sehingga habis kemudian pindah ke daun yang
lain. Selama perkembangannya, satu ulat dapat menghabiskan lebih dari 1 helai daun. Pada instar
awal, kerusakan yang ditimbulkan sangat kecil karena yang dimakan adalah permukaan bawah
dari daun yang tua. Setelah panjang tubuh mencapai 5 mm, ulat berpindah ke daun-daun muda.
Serangan terjadi sepanjang tahun. Apabila kondisi lingkungan yang mendukung seperti akhir

musim kemarau atau awal musim hujan populasi hama dapat meningkat. Serangan berat
mengakibatkan tanaman gundul.
e.

Pengendalian
Pengendaliannya dapat dilakukan dengan cara mekanis, yaitu dengan melakukan

pemetikan daun yang terserang dan pengambilan kelompok telur. Cara hayati dengan
menggunakan musuh alami antara lain Macrocentrus homonae, Elasmus homonae, jamur
penyebab Wilt disease dan bakteri entomopatogenik. Dengan pengendalian kimiawi, yaitu
menggunakan insektisida dengan berbahan aktif Lamda Sihalotrin.

Gambar 7. Daun yang Terserang Ulat Daun Penggulung


Sumber: Dokumentasi pribadi

2.4.5 Ulat Api


a. Klasifikasi
Klasifikasi Ulat api (nettle caterpillar) menurut klasifikasinya termasuk dalam Famili
Limacodidae, Ordo Lepidoptera (bangsa ngengat dan kupu-kupu).
b. Morfologi
Larva ulat api tidak memiliki kaki seperti layaknya ulat pada umumnya. Sebagai
gantinya mereka memilikisemacam mangkuk pengisap yang berukuran kecil. Larva
akanmemanfaatkan lendir untuk mendukung pergerakannya. Sebenarnya lendir ini berupa sutera

cair, sehingga bila digunakan akan memudahkan gerakan larva.Larva dewasa memiliki rambutrambut yang berfungsi sebagai duri sengat,sehingga menyebabkan rasa panas, gatal, dan pedih
seperti terbakar bila tersentuh kulit.
c.

Bioekologi
Faktor lingkungan ternyata berpengaruh pada perkembangan ulat api. Beberapa

penelitian membuktikan bahwa populasi ulat api sangat ditentukan oleh faktor-faktor abiotikbaik
secara temporal (berdasarkan waktu) maupun secara spasial (berdasarkan tempat).Selain itu,
kondisi tanaman inang jugasangatmenentukan keberadaan ulat api di lapangan. Faktor jumlah
dan ketebalan bulu pada permukaan daun terbukti menentukan pergerakan (mobilitas) ulat
api,yang pada akhirnya berdampak pada derajat kesukaan ulat api untuk memakan daun.
d. Gejala dan Kerusakan yang Ditimbulkan
Gejala serangan dimulai dari daun bagian bawah. Larva akan memakan helaian daun
mulai dari tepi hingga helaian daun yang telah berlubang habis, tinggal menyisakan tulang daun
atau lidi. Bahkan pada kasus serangan ulat api di kebun teh Wonosari, ulat tersebut dapat
mengakibatkan kerugian besar dan sangat merugikan produksi daun teh di Wonosari. Tanaman
yang diserang oleh ulat api terganggu proses fotosintesisnya karena daun menjadi kering. Ulat
api terkenal sangat rakus. Dalam sehari mampu memakan 300-500 cm daun. Batas ambang
ekonomi (AE) untuk ulat api adalah 5-10 ekor. Ini berarti bila dalam 1 pohon ditemukan
sedikitnya 5 ekor larva, maka pengendalian perlu segera dilakukan.
e. Pengendalian
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ulat api tidak hanya bersifat sebagai hama yang
merugikanbagi tanaman. Namun keberadaan ulat api juga telah terbukti berbahaya bagi
kesehatan manusia, terutama bagi yang mudah terkena alergi. Oleh karena itu keberadaan ulat
api ini perlu diwaspadai, lebih-lebih bila serangannya telah di atas AE. Pengendalian secara
kimiawi perlu segera dilakukan meski tidak berarti pemusnahansecara besar-besaran.
Keberadaan ulat api di lapangan tetap harus dipertahankan karena menjadi jaminan bagi
kelangsungan sistem rantai makanan di alam.

Gambar 8. Larva Ulat Api dan Kokonnya


2.5 Penyakit dan Pengendaliannya
2.5.1 Cacar daun

Gambar 9. GejalaPenyakit Cacar Daun


Sumber: Dokumentasi pribadi
Penyakit cacar daun teh yang disebabkan oleh jamur E. vexans dapat menurunkan
produksi pucuk basah sampai 50 persen karena menyerang daun atau ranting yang masih muda.
a. Gejala
Umumnya serangan terjadi pada pucuk peko, daun pertama, kedua dan ketiga. Gejala
awal terlihat bintik-bintik kecil tembus cahaya, kemudian bercak melebar dengan pusat tidak
berwarna dibatasi oleh cincin berwarna hijau, lebih hijau dari sekelilingnya dan menonjol ke
bawah. Pusat bercak menjadi coklat tua akhirnya mati sehingga terjadi lubang.
b. Pengendalian
Biasanya dilakukan dengan memetik lalu membuang daun-daun yang terserang. Biasanya
juga menggunakan cairan Simura, yaitu bekas air cucian beras yang difermentasi. Cairan ini
sebenarnya digunakan untuk pupuk daun, namun juga bisa berperan sebagai fungisida alami.

Terkadang juga cairan Simura ini juga dicampur dengan cairan yang diekstrak dari tanaman
Legum, untuk meningkatkan kesuburan daun.
2.6 Musuh Alami
2.6.1 Burung Walet sebagai Musuh Alami Tungau
Klasifikasi burung wallet adalah sebagai berikut:
Kingdom

: Animalia

Filum

: Chordata

Sub Filum

: Vertebrata

Kelas

: Aves

Superordo

: Apomorphae

Ordo

: Apodiformes

Famili

: Apodidae

Sub Famili

: Apodenae

Genus

: Collacalia

Species

: Collacaliafuciphaga

Burung Walet Collacaliafuciphaga.merupakan burung pemakan serangga yang bersifat


aerial dan suka meluncur. Burung ini berwarna gelap, terbangnya cepat dengan ukuran tubuh
sedang/kecil, dan memiliki sayap berbentuk sabit yang sempit dan runcing, kakinya sangat kecil
begitu juga paruhnya dan jenis burung ini tidak pernah hinggap di pohon.
Hubungan antara burung wallet dengan lingkungan hidupnya yang terpenting adalah
keberadaan serangga kecil sebagai pakannya. Jenis-jenis serangga yang menjadi mangsa wallet
diantaranya: semut bersayap, laron, belalangkecil, kumbang, Tungau dan wereng. Burung wallet
juga memiliki nilai ekologis yang memegang peranan penting sebagai pengendali hama serangga
tanaman budidaya karena makanan burung wallet adalah serangga tanaman budidaya karena
makanan burung wallet adalah serangga yang ditangkapnya ketika terbang.
2.6.2

Semut Hitam sebagai Musuh Alami Hama Helopeltis (Kepik Penghisap Daun
Teh)

Klasifikasi semut hitam adalah sebagai berikut:


Kingdom

: Animalia

Sub kingdom : Invertebrata


Filum

: Arthropoda

Kelas

: Insecta

Ordo

: Hymenoptera

Familia

: Formicidae

Genus

: Dolichoderus

Spesies

: Dolichoderusbituberculatus

PenelitianKarmawatiet al. (1999) di Wonogiritelahmenemukanbeberapajenis predator H


antonii, yaituCoccinella sp., semuthitam, dansemutrangrang.Semut hitam merupakan salah satu
musuh alami yang dapat digunakan untuk mengendalikan hama Helopeltis sp. Semut hitam
bersimbiosis dengan kutu putih ( Planoccus sp.) karena, sekresi yang dikeluarkan oleh kutu putih
tersebut rasanya manis dan sangat disukai oleh semut.Sementara itu semut hitam dengan sengaja
atau tidak, membantu menyebarkan nimfa kutu putih. Aktivitas semut hitam yang selalu berada
dipermukaan buah menyebabkan Hellopeltis spp. tidak sempat menusukkan stylet atau bertelur
sehingga tanaman terbebas dari serangan Helopeltis s.
2.6.3

Laba-laba Pembuat Jaring ( Orb Web Spinning Spiders )

Klasifikasi dari laba-laba pembuat jaring adalah sebagai berikut:


Kingdom

: Animalia

Phylum

: Arthropoda

Subphylum

: Chelicerata

Class

: Arachnida

Ordo

: Araneae

Infraordo

: Araneomorphae

Superfamily

: Araneoidea

Family

:Araneidae
Banyak jenis laba-laba membuat jaring. Mata dan kaki laba-laba ini lemah, tidak mampu

menangkap mangsa tanpa bantuan jaringnya. Laba-laba jarring bulat menunggu dengan sabar.
Ada yang tinggal di tengah jaring, ada juga yang bersembunyi di daun terlipat. Laba-laba lari
kemangsanya hanya bila ada getaran serangga yang terperangkap .Dia kemudian menggigit dan

melumpuhkannya. Kadang-kadang langsung mengisap cairan, atau membungkus korban dengan


sutera untuk dimakan di lain waktu. Ada jenis berukuran besar dan kecil. Ada yang membuat
jaring bulat, ada juga yang membuat jarring dengan bentuk kubah. Ada jenis yang menggunakan
jaring yang sama selama beberapa minggu, menunggu di tengah-tengah jaringnya sepanjang
hari. Jenis lain membuat jarring baru setiap malam. Pagi-pagi ia memakan jaring yang
sebelumnya dia buat, kemudian bersembunyi menunggu malam tibalagi. Daur hidup laba-laba
ini adalah jantan sering lebih kecil dari betina, dan ada jantan dengan warna yang sangat berbeda
dari

betina.Setelah

kawin,

betina

membuat

sarung

berisi

ratusan

telur.

Ia

terus

menjaganya.Betina mati sebelum anaknya lahir.Anak-anak menenun paying sutera dan dibawa
angin ketempat baru.
2.6.4

Belalang Sembah

Klasifikasi belalang sembah adalah sebagai berikut:


Kingdom

Animalia

Sub kingdom

Invertebrata

Filum

Arthropoda

Kelas

Insecta

Ordo

Orthoptera

Familia

Mantidae

Genus

Mantis

Spesies

Mantis religiosa

Belalang sembah memakan banyak jenis serangga, termasuk hama-hama the seperti
Helopeltis.Belalang sembah sangat bermanfaat sebagaia gen pengontro lbiologik, dan orang
dapat

menempatkannya

di

kebun

untuk

mengendalikan

serangga

hama

(Kusnaedi,

1999).Belalang sembah biasanya menunggu sampai mangsa cukup dekat, dan dia menangkap
mangsa dengan gerakan cepat menggunakan kedua kaki depannya yang dilengkapi duri kecil
untuk menusuk mangsanya (Jumar, 1997) .Belalang sembah merupakan salah satu dari serangga
pembunuh terbaik dengan dukungan fisiknya

yang

menunjangnya sebagai predator

sejati.Meskipun spesiesnya juga banyak, namun belalang sembah atau mantis terkenalakan kaki
depannya yang didesain khusus untuk menangkap mangsanya. Serangga ini menunggu
mangsanya dengan mengandalkan kamu flase tubuhnya dan ketika mangsanya lewat, ia akan

segera menyergap dengan kecepatan tinggi. Belalang sembah biasanya memangsa hewan
hewan kecil .Serangga ini juga dikenal memakan mangsanya secara langsung karena ia juga
memiliki rahang yang kuat (Djafaruddin, 1996).

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari studi kasus tentang hama dan penyakit penting tanaman teh di
Perkebunan Teh Wonosari adalah sebagai berikut:
1. Tanaman teh yang berada di Perkebunan Teh Wonosari pertama kali ditanam pada tahun
1910.
2. Ketinggian lahan tanaman teh di Perkebunan wonosari adalah 900-15- m dpl dengan
temperatur sebesar 16-30 C, pH tanah 4-6, kecepatan angin 0-7 rpm dan kelembapan udara
sebesar 70-90 %.
3. Hama yang ditemukan di lapang adalah ulat penggulung pucuk (Cydia leucostoma), ulat
penggulung daun (Homona coffearia), kutu loncat, kepik penghisap daun teh dan ulat api.
4. Penyakit yang ditemukan di lapang adalah cacar daun.
5. Musuh alami yang ditemukan dilapang adalah burung walet, semut hitam, laba-laba
pembuat jaring dan belalang sembah.

DAFTAR PUSTAKA
Arifin M. 1999. Pemanfaatan musuh alami dalam pengendalian hama utama tanaman teh, kopi,
dan kelapa. Seminar Pemasyarakatan PHT Tanaman Perkebunan. Dinas Perkebunan
Kabupaten Bogor, 4-5 Agustus 1999. 19 p.

Atmadja, WR. 2003. Status Helopeltis antonii sebagai Hama pada Beberapa Tanaman
Perkebunan dan Pengendaliannya. Jurnal Litbang Pertanian 22 (2):57-63p.
Atmadja, WR. 2012. Pedoman Teknis Teknologi Tanaman Rempah dan Obat. Jurnal Litbang
Pertanian.
Borror, D.J., Charles A.T., & Norman, F.J.1992. Pengenalan Pelajaran Serangga. Gajah Mada
University Press, Yogyakarta.
Ditjdenbun. 2003. Musuh Alami, Hama dan Penyakit Tanaman Teh. Direktorat Jenderal Produksi
Perkebunan. Direktorat Perlindungan Perkebunan. Jakarta.
Djafaruddin. 1996. Dasar- Dasar Perlindungan Tanaman. Bina Aksara. Jakarta.
Eden, T. 1976. Tea. Third edition. Lowe and Brydone (Printers) Ltd, Thetford, Norfolk: Great
Britain. p 215.
Ghani, M. A. 2002. Buku Pintar Mandor : Dasar-Dasar Budi Daya Teh. Penebar Swadaya.
Jakarta. hal 134. Diakses dari http://ditjenbun.pertanian.go.id/perlindungan/berita-214penyakit-cacar-daun-teh-mengenal-gejala-kerusakan-dan-cara-pengendaliannya.html pada
tanggal 21 September 2016.
Jumar. 1997. EntimologiPertanian. RinekaCipta. Jakarta.
Karmawati, E., T.E. Wahyono, TH. Savitri.dan I WayanLaba. 1999. Dinamika populasi
Helopeltis antonii Signoret pada jambu mete. Jumal Penelitian Tanaman Industri IV(6):
163167.
Kusnaedi.1999. Pengendalian Hama Tanpa Pestisida. Penebar Swadaya. Jakarta.
Nur Tjahjadi, Ir. 1989. Hama dan Penyakit Tanaman. Kanisius, Yogyakarta.
Pengendalian Terpadu Helopeltis Tanaman Perkebunan. Unit Penerbitan dan Publikasi Balittro,
Bogor. 25p.
Pusat Penelitian Perkebunan Gambung. 1992. Petunjuk Kultur Teknik Tanaman Teh Asosiasi
Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Indonesia (Eds 1). Gambung. hal 136.
Setyamidjaja, D. 2000. Budidaya dan Pengolahan Pasca Panen Tanaman Teh. Kanisius.
Yogkarta. hal 154.
Siswoputranto, P.S. 1978. Perkembangan Teh Kopi Cokelat Internasional. PT Gramedia. Jakarta.
hal 125
Syamsulbahri. 1996. Bercocok Tanam Tanaman Perkebunan Tahunan. Gajah Mada University
Press. Yogyakarta. hal 318.
Tobroni, M dan S. Adimulya. 1997. Petunjuk Kultur Teknik Tanaman Teh. Edisi 2. Pusat
Penelitian Teh dan Kina. Gambung . hal 151.

You might also like