You are on page 1of 12

Prosiding Tugas Akhir Semester Genap 2011/2012

SINTESIS PARTIKEL NANO CaO DENGAN METODE KOPRESIPITASI DAN


KARAKTERISASINYA
Sari Rahmawati*, Dr. Didik Prasetyoko, M.Sc.,1 Dra. Ratna Ediati, MS, PhD.2
Jurusan Kimia
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya

ABSTRAK
Pengaruh pelarut air dan organik terhadap ukuran partikel dan morfologi dari CaO yang
disintesis dengan metode kopresipitasi menggunakan asam oksalat serta kalsium asetat sebagai
prekursor telah diamati pada penelitian ini. Ukuran nano pada oksida kalsium diperoleh melalui
dekomposisi termal dengan suhu 800 C dari kalsium oksalat bermedia air dan organik. Fasa pada
sampel dikonfirmasi melalui XRD dengan perangkat lunak rietica, dan diperoleh data bahwa CaO
yang dipreparasi dengan pelarut etilen glikol memiliki kristalinitas yang paling rendah
dibandingkan dengan pelarut air, polietilen glikol 400, dietilen glikol dan gliserol. Untuk
menganalisis gugus yang terdapat pada permukaan oksida, sampel dianalisis menggunakan
spektroskopi FTIR. Berdasarkan spektra FTIR diketahui bahwa pada sampel CaO masih terdapat
gugus CO dari CaCO3 dan OH dari Ca(OH)2. Analisis SEM menunjukkan morfologi yang berbeda
untuk CaO yang dihasilkan pada pelarut air dan organik. Melalui persamaan Scherrer dan analisis
rietica diketahui pelarut yang paling baik adalah dietilen glikol yang menghasilkan ukuran partikel
CaO sebesar 72,13 nm dengan %berat CaO sebesar 93,34.
Kata Kunci: CaO, partikel nano, kopresipitasi, asam oksalat

nano
banyak
diteliti
karena
dapat
diaplikasikan dalam berbagai bidang
kehidupan seperti: bahan untuk mereduksi
polusi, katalis, penarget sel kanker,
biosensor, dan baterai.
Kalsium oksida (CaO) merupakan
material anorganik yang penting, karena
dapat digunakan sebagai katalis untuk reaksi
transesterifikasi karena memiliki banyak
keuntungan yaitu memiliki aktivitas yang
tinggi, tahan lama, biaya murah, serta
memiliki kekuatan basa yang tinggi (Liu,
dkk., 2008). CaO bersifat sedikit larut dalam
metanol dibandingkan dengan oksida atau
hidroksida logam alkali tanah yang lain
seperti SrO dan Ba(OH)2 yang terlarut secara
penuh dalam media reaksi (Granados dkk,
2007). Kebanyakan katalis CaO yang
digunakan dalam reaksi transesterifikasi
masih berukuran mikro, seperti yang
dilaporkan oleh Xin (2009),
yang
menggunakan kristal CaO dengan diameter
berukuran
4-8
m
untuk
reaksi
transesterifikasi. Oleh sebab itu, sintesis CaO

I. PENDAHULUAN
Beberapa tahun terakhir ini partikel nano
mendapatkan banyak perhatian dari peneliti
di seluruh dunia, yang terlihat dari
banyaknya tulisan ilmiah dan artikel yang
dipublikasikan pada jurnal ilmu pengetahuan
baik di dalam maupun di luar negeri. Partikel
nano dapat terjadi secara alamiah ataupun
sintesis. Sintesis partikel nano merupakan
pembuatan partikel dengan ukuran yang
kurang dari 100 nm dan sekaligus mengubah
sifat atau fungsinya (Rahman, 2008). Partikel

*Corresponding author e-mail :


sari@chem.its.ac.id
1
Alamat sekarang :
Jur Kimia, Fak MIPA
Institut Teknologi Sepuluh Nopember,
Surabaya

berukuran nano sangat diperlukan dalam


upaya mendapatkan katalis CaO dengan
aktivitas yang lebih tinggi.
Beberapa literatur menyebutkan bahwa
terdapat dua metode utama yang menjelaskan
tentang preparasi nano-CaO, diantaranya
adalah dekomposisi termal, sol-gel. Melalui
metode sol-gel diperoleh partikel nano
berukuran sekitar 4 nm, akan tetapi
memerlukan biaya yang tinggi serta proses
yang sangat komplikasi dan memakan
banyak waktu, sehingga sangat sulit untuk
mengaplikasikan metode sol-gel pada
industri.
metode
dekomposisi
termal
memiliki beberapa keuntungan seperti proses
yang sederhana, biaya murah, kemudahan
memperoleh produk dengan kemurnian
tinggi. Akan tetapi pada metode dekomposisi
termal, CaO seringkali dihasilkan melalui
kalsinasi CaCO3 secara langsung dengan
suhu tinggi (Tang, dkk., 2007). Metode
kopresipitasi merupakan suatu metode
sintesis bottom up yang dapat digunakan
dalam pembuatan partikel nano. Kelebihan
metode kopresipitasi dibandingkan dengan
metode yang lain adalah metode kopresipitasi
memiliki proses yang sederhana dan dapat
menghasilkan partikel yang berukuran butir
sangat kecil. Melalui metode kopresipitasi,
Bhargava dkk (2007) menggunakan asam
oksalat dan amonium hidroksida sebagai
agen pengendap untuk menghasilkan MgO
dengan ukuran partikel nano. Selanjutnya,
Taufiq dkk. (2010) telah mensintesis CaO
yang dicampur dengan MgO dan ZnO
melalui
metode
kopresipitasi
untuk
memperoleh katalis dengan luas permukaan
yang lebih besar. Agen pengendap berupa
asam oksalat telah berhasil dipakai dalam
sintesis katalis campuran oksida CaO dan
ZnO berukuran nano yang kemudian
digunakan
sebagai
katalis
dalam
memproduksi biodiesel dari refined palm oil
(Yulianti,
2011).
Keberadaan
agen
pengendap pada metode kopresipitasi sangat
mempengaruhi ukuran partikel dari material
yang akan disintesis.
Pelarut sangat berpengaruh pada ukuran
partikel padatan hasil sintesis seperti yang
dilaporkan oleh Kanade dkk. (2005). Zhang
dkk. (2002) dan Kwon dkk. (2002) juga
mengamati pentingnya pelarut dalam
mengontrol morfologi material. Oleh karena
itu perlu diamati pengaruh jenis pelarut

terhadap pembentukan suatu material. Dalam


penelitian ini dipilih pelarut air, gliserol,
etilen glikol, dietilen glikol, dan polietilen
glikol 400 dalam sintesis CaO. CaO yang
diharapkan adalah partikel CaO dalam
ukuran nano.
II. EKSPERIMEN
2.1 Sintesis Partikel Nano CaO
Partikel nano CaO disintesis dengan
menyiapkan
terlebih
dahulu
Ca(CH3COO)2H2O yang dilarutkan dalam
akua demineralisasi sehingga dihasilkan
larutan kalsium asetat 0,1 M dengan volume
sebanyak 100 mL. Endapan kalsium oksalat
diperoleh dengan penambahan secara
perlahan-lahan 50 mL larutan asam oksalat
0,15 M disertai pengadukan dengan
kecepatan 150 rpm selama 12 jam pada
temperatur kamar. Eksperimen yang sama
dilakukan dengan variasi pelarut etilen glikol,
dietilen glikol, polietilen glikol 400 dan
gliserol sebagai pelarut Ca(CH3COO)2H2O.
Produk padat diperoleh dengan sentrifus,
diikuti pencucian berturut-turut dengan akua
demineralisasi lalu dengan aseton serta
dikeringkan dalam oven pada 120 oC selama
satu malam. Padatan yang telah kering
kemudian dikalsinasi dalam furnace pada
temperatur 800 oC selama 6 jam.
2.2 Karakterisasi Hasil Sintesis
2.2.1 Difraksi Sinar-X
Karakterisasi
menggunakan
teknik
difraksi sinar-X (XRD) dilakukan untuk
mengidentifikasi fase kristal dan analisis
terbentuk atau tidaknya material nano CaO
dari sampel yang telah disintesis. Untuk
keperluan karakterisasi XRD, sampel CaO
dibentuk menjadi serbuk. Sebanyak 0,2 g
sampel ditempatkan pada suatu cetakan
(sample holder) kemudian disinari dengan
sumber radiasi Cu K ( = 1,54056)
dengan rentang sudut 2 sebesar 5-90 o ,
dan kecepatan scan 0,020 o .
2.2.2 SEM (Scanning Electron Microscopy)
Morfologi dan ukuran partikel dari
sampel padat dianalisis menggunakan
Scanning Electron Microscopy (SEM).
Sampel yang akan dianalisis dengan SEM
terlebih
dahulu
dipreparasi
dengan
menambahkan etanol kemudian digetarkan
dengan ultrasonik yang bertujuan untuk
2

mengurangi aglomerasi pada sampel yang


akan dianalisis. Setelah dilakukan preparasi,
sampel dimasukkan dalam sample holder
kemudian dilakukan perbesaran gambar SEM
antara 5000-40.000 kali.

partikel nano ZnO. Pada penelitian ini untuk


menghasilkan partikel nano CaO digunakan
larutan Ca(CH3COO)2 0,1 M sebagai
prekursor dengan agen pengengap yang sama
dengan yang digunakan oleh Kanade dkk.
(2006) yaitu berupa larutan asam oksalat
dengan konsentrasi 0,15 M. Penggunaan
konsentrasi dan agen pengendap yang sama
ini dimaksudkan untuk memperoleh CaO
dengan ukuran yang kecil.
Disamping itu, untuk menghasilkan
partikel nano CaO dengan ukuran sekecil
mungkin, pada penelitian ini digunakan
beberapa pelarut yang berbeda yaitu pelarut
air, etilen glikol (EG), dietilen glikol (DEG),
polietilen glikol 400 (PEG), dan gliserol.
Penggunaan pelarut air dan etilen glikol telah
dilaporkan oleh Kanade dkk. (2006) dapat
menghasilkan partikel nano ZnO dengan
ukuran yang cukup kecil (25-14 nm).
Sedangkan pemilihan pelarut polietilen glikol
didasarkan pada penelitian Adam dan Wong
(2011) yang menggunakan polietilen glikol
sebagai medium untuk mensintesis partikel
nano CaO dengan metode mikroemulsi. Pada
penelitian ini, polietilen glikol tersebut diuji
apakah dapat menghasilkan partikel nano bila
digunakan sebagai pelarut pada metode
kopresipitasi. Adapun penggunaan dietilen
glikol sebagai pelarut dimaksudkan untuk
mendapatkan korelasi antara etilen glikol dan
polietilen glikol dalam hal kemampuannya
untuk menghasilkan partikel berukuran nano,
seperti yang dikemukakan oleh Iijima dan
Kamiya (2009) bahwa reagen partikel nano
seperti garam logam dan logam kompleks
dapat larut dalam media pelarut poliol (etilen
glikol, dietilen glikol, trietilen glikol) yang
memiliki sifat polar. Pelarut lain berupa
gliserol dipilih berdasarkan sintesis partikel
nano NiO dengan metode presipitasi yang
dilakukan oleh Li dkk. (2005). Pada sintesis
tersebut gliserol berhasil digunakan sebagai
pelarut untuk menghasilksan NiO berukuran
12 hingga 30 nm.
Sintesis dimulai dengan membuat larutan
kalsium asetat dengan cara melarutkan
padatan kalsium asetat ke dalam akua
demineralisasi hingga diperoleh larutan
kalsium asetat dengan konsentrasi 0,1 M.
Kemudian ke dalam larutan tersebut
ditambahkan asam oksalat tetes demi tetes
sambil diaduk menggunakan magnetik stirer
dengan kecepatan 160 rpm selama 12 jam

2.2.3 Spektrofotometri Inframerah


Spektrum
inframerah
direkam
menggunakan spektrofotometer Fourier
Transform Infrared (FTIR), yang dilakukan
dengan mencampurkan sampel kedalam pelet
KBr dengan komposisi sampel 1% terhadap
total campuran. Kemudian dilakukan
karakterisasi pada bilangan gelombang antara
4000 cm-1 sampai 400 cm-1.
2.2.4 Penghalusan Difraktogram
(Refinement)
Analisis Rietveld merupakan salah satu
analisis lanjut untuk mengetahui karakter
fisis dari material secara kuantitatif
berdasarkan data difraksi sinar-X dengan
menggunakan program komputer berupa
software Rietica. Pada penelitian ini, untuk
CaO dibuat model dari ICSD nomor 75785,
CaCO3 dari ICSD nomor 16710. Setelah
dilakukan pemilihan model, selanjutnya
dilakukan pencocokan pola difraksi terukur
dengan pola difraksi terhitung dengan cara
mengubah/memperhalus
(refining)
parameterparameter dalam model terhitung.
Analisis ini disebut proses Refinement. Dari
proses refinement, akan diperoleh parameter
parameter keluaran (output) yang selanjutnya
akan digunakan dalam analisis lanjutan.
Parameterparameter yang direfine adalah
dengan Background (Bo, B1, B2, B3, B4,
B5), Sample displacement, Phase scale,
Lattice parameter, Size, U parameter,
Asymetry parameter, Overall thermal,
Preferred orientation. Dengan memanfaatkan
parameter keluaran Rietica tersebut maka
dapat menganalisis komposisi fasa dari
sampel.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Sintesis Partikel Nano CaO
Sintesis partikel nano CaO dilakukan
melalui metode kopresipitasi sesuai dengan
metode yang dilakukan oleh Kanade dkk.
(2006). Pada penelitian Kanade dkk. (2006)
digunakan larutan Zn(CH3COO)2 0,1 M
sebagai prekursor dan asam oksalat 0,15 M
sebagai agen pengendap untuk menghasilkan
3

dengan cara melarutkan padatan kalsium


asetat ke dalam etilen glikol hingga diperoleh
larutan kalsium asetat 0,1 M. Presedur
tersebut diulangi pula pada penggunaan
pelarut dietilen glikol, polietilen glikol 400,
dan gliserol. Pada persamaan reaksi 4.1
terjadi pada pelarut air, dan media pelarut
organik menghasilkan jumlah kalsium
oksalat yang sama. Reaksi pada media air
lebih cepat dibandingkan dengan reaksi pada
media organik yang disebabkan karena
kepolaran dan konstanta dielektrik yang
tinggi pada air. Polaritas dan tekanan uap
jenuh dari pelarut dapat mempengaruhi hasil
reaksi dibawah kondisi termal, dimana
pelarut organik yang kurang polar akan
sangat berperan dalam mengontrol nukleasi
bila dibandingkan dengan pelarut air yang
lebih polar (Kanade dkk., 2006).

hingga diperoleh larutan yang keruh.


Perubahan larutan dari jernih menjadi keruh
menunjukkan bahwa larutan telah jenuh serta
merupakan indikasi bahwa telah terbentuk
kalsium oksalat. Reaksi yang terjadi pada
kopresipitasi ini ditunjukkan oleh Kanade
dkk. (2006) sebagai berikut:
Ca(CH3COO)2(l) + H2C2O4(l) CaC2O4(s)
+ 2CH3COOH(l)
(4.1)
Hasil yang diperoleh kemudian disaring
dengan menggunakan kertas saring. Setelah
dilakukan penyaringan ternyata masih
didapatkan filtrat yang keruh. Filtrat yang
masih keruh ini menandakan bahwa masih
ada partikel-partikel berukuran kecil yang
lolos dari penyaringan dan kembali masuk ke
dalam filtrat. Oleh sebab itu, untuk
memisahkan filtrat dengan endapan kalsium
oksalat yang memiliki ukuran partikel kecil
maka digunakan alat sentrifus (Yulianti,
2011). Endapan yang diperoleh kemudian
dicuci dengan akua demineralisasi dan dicuci
kembali dengan aseton sehingga diperoleh
endapan berwarna putih. Perlakuan ini
dilakukan untuk mengurangi sisa asam
oksalat yang tidak bereaksi (Kanade dkk.,
2006). Endapan putih kemudian dikeringkan
dalam oven selama 12 jam pada suhu 120 C.
Selanjutnya, padatan dikalsinasi pada suhu
800 C selama 6 jam untuk menghilangkan
ion oksalat dan juga senyawa organik yang
masih tersisa sehingga diperoleh padatan
CaO. Suhu kalsinasi tersebut juga digunakan
oleh Cho dkk. (2009) untuk mensintesis CaO
dari prekursor berupa kalsium asetat.
Pemilihan suhu kalsinasi tersebut didasarkan
pada hasil analisis DTA-TGA yang
dilakukan oleh Cho dkk. (2009) bahwa
CaCO3 terdekomposisi pada suhu 450 C dan
CaO dihasilkan pada suhu 600-720 C.
Reaksi dekomposisi dari padatan kalsium
oksalat menjadi padatan kalsium oksida
dituliskan dalam persamaan berikut ini
(Kanade dkk., 2006; West, 1984) :
CaC2O4 (s)

CaCO3 (s) + CO (g)

(4.2)

CaCO3 (s)

CaO (s) + CO2 (g)

(4.3)

3.2 Karakterisasi
3.2.1 Difraksi Sinar-X (XRD)
Analisis dengan XRD dilakukan untuk
mengetahui struktur serta kristalinitas dari
sampel CaO. Pola difraksi sinar-x dimonitor
pada 2 = 5-90. Perbandingan pola XRD
dari sampel CaO dengan variasi pelarut
berupa air, etilen glikol, dietilen glikol,
polietilen serta gliserol ditunjukkan pada
Gambar 4.1. Pada CaO murni, puncak
muncul pada 2 = 32,2; 37,3; 53,8; 64,1
dan 67,3 (Taufiq dkk, 2010).
Pada kelima sampel CaO yang disintesis
terlihat memiliki puncak yang cenderung
sama mengindikasikan bahwa kelima sampel
tersebut memiliki fasa yang sama. Selain itu
juga terdapat fasa CaCO3 pada 2 = 29,5
yang juga muncul pada CaO sintesis. Adanya
pola difraksi CaCO3 tersebut menandakan
bahwa pada CaO hasil sintesis masih terdapat
sedikit pengotor yang disebabkan kondisi
sampel yang terbuka saat dikarakterisasi
XRD sehingga memungkinkan terbentuknya
CaCO3 melalui penyerapan CO2 dari atmosfer
selama analisis XRD (Umdu, 2008). Agrinier
dkk. (2001) mengungkapkan bahwa CaO
dapat bereaksi dengan CO2 secara lambat
pada suhu kamar membentuk CaCO3. Reaksi
tersebut dapat dituliskan pada persamaan
berikut ini :

Prosedur tersebut kemudian diulangi lagi


untuk mensintesis CaO dengan pelarut yang
berbeda, dimana larutan kalsium asetat dibuat

CaO (s) + CO2 (g) CaCO3 (s)


4

(4.4)

Agrinier dkk. (2001) juga menyebutkan


bahwa ukuran partikel CaO sangat
mempengaruhi kapasitas penyerapan CO2,
dimana semakin kecil ukuran CaO maka
akan semakin besar daya absorpsinya
terhadap CO2 dikarenakan luas permukaan
yang lebih besar.

dengan sampel CaO yang disintesis dengan


pelarut air, gliserol dan DEG.
Pelarut organik PEG memiliki fasa CaO
dengan puncak yang lebih rendah
dibandingkan dengan media pelarut DEG
dan gliserol. Sedangkan pelarut EG memiliki
fasa CaO dengan puncak yang paling rendah,
hal ini mengindikasikan bahwa pelarut etilen
glikol memiliki kemampuan mendispersi
yang paling baik diantara keempat pelarut
lainnya. Pelarut PEG dan DEG memiliki
puncak dengan intensitas yang hampir sama
dengan
selisih
yang
sangat
tipis,
menunjukkan bahwa baik pelarut PEG dan
DEG memiliki kemampuan mendispersi yang
hampir sama. Park dan Oh (2009)
mengungkapkan bahwa sampel CaCO3
sebagai prekursor CaO yang dipreparasi
menggunakan aditif berupa polimer seperti
etilen glikol, polietilen glikol dan propilen
glikol memiliki puncak dengan intensitas
yang lebih rendah dan broad bila
dibandingakan dengan sampel CaCO3 yang
dipreparasi tanpa menggunakan aditif
polimer. Hasil tersebut sesuai dengan hasil
analisis XRD pada sampel yang disintesis
pada penelitian ini. CaO yang disintesis
dengan pelarut gliserol dan DEG juga
memiliki puncak yang lebih broad
dibandingkan dengan puncak dari CaO yang
disintesis dengan air. Trung, dkk. (2009)
mengungkapkan bahwa kristal berukuran
nano dapat menyebabkan pelebaran puncak
dan overlap pada difraktogram. Sehingga
dapat diketahui bahwa sampel yang disintesis
dengan pelarut organik dapat menghasilkan
pelebaran puncak pada difraktogram, dimana
puncak yang melebar dapat mengindikasikan
ukuran partikel yang semakin kecil.

Gambar 3.1 Gambar pola difraksi sampel


CaO sintesis.
Pada difraktogram Gambar 3.1 terlihat
bahwa fasa CaO pada pelarut gliserol
dibandingkan dengan etilen glikol mengalami
penurunan intensitas. Sedangkan intensitas
pada fasa CaO yang disintesis dengan pelarut
air lebih tinggi dibandingkan dengan
intensitas CaO yang disintesis dengan pelarut
PEG dan EG, namun tidak lebih tinggi
dibandingkan dengan intensitas CaO yang di
sintesis dengan pelarut gliserol dan DEG.
Intensitas pada pola difraksi XRD
berhubungan dengan tingkat kristalinitas
dimana umumnya semakin tinggi kristalinitas
maka akan semakin besar ukuran partikelnya
(HORIBA Scientific, 2010). Pada sampel
yang disintesis dengan pelarut organik EG
dan PEG memiki intensitas yang lebih rendah
dibandingkan dengan intensitas yang dimiliki
oleh sampel CaO dengan media pelarut air.
Melalui hasil tersebut dapat diketahui bahwa
sampel CaO yang disintesis dengan pelarut
organik EG dan PEG memiliki ukuran
partikel yang lebih kecil dibandingkan

Tabel

3.1 Hubungan kristalinitas sampel


CaO sintesis pada variasi
pelarut.

Media
pelarut

2
()

Air
Gliserol
EG
DEG
PEG

37,44
37,36
37,36
37,38
37,36

Tinggi
%
puncak, Kristalinitas
I
2725
90
3025*
100
2440
81
2809
93
2673
88

Hubungan kristalinitas sampel CaO


dengan variasi media pelarut ditunjukkan
pada Tabel 3.1. Hubungan kristalinitas
tersebut dihitung berdasarkan intensitas
puncak difraksi dari sampel CaO yang
disintesis dengan media gliserol pada 2 =
37,36 dimana sampel tersebut memiliki
intensitas tertinggi (kristalinitas dianggap
100%) sehingga digunakan sebagai standar
pembanding (*). Tabel 3.1 menunjukkan
bahwa sampel CaO yang disintesis dengan
media gliserol memiliki intensitas yang
paling tinggi yaitu 100 diikuti dengan CaO
yang disintesis dengan media dietilen glikol,
air, polietilen glikol 400 dan CaO yang
disintesis menggunakan media etilen glikol
memiliki % kristalinitas terendah yaitu
sebesar 81. Hasil tersebut sesuai dengan hasil
sintesis partikel nano ZnO yang dilakukan
oleh Kanade dkk. (2006) yaitu kristalinitas
yang lebih rendah diperoleh saat digunakan
media pelarut etilen glikol. Hasil analisis
XRD yang dilakukan Lee dan Lee (2002)
memperlihatkan partikel nano TiO2 yang
disintesis menggunakan media etilen glikol
dengan
jumlah
lebih
besar
dapat
menghasilkan puncak dengan intensitas yang
lebih
rendah
dibandingkan
dengan
penggunaan sedikit etilen glikol.
Kristalinitas
dapat
menunjukkan
perkiraan ukuran partikel dari suatu sampel,
semakin kristalin umumnya akan semakin
besar ukuran partikelnya. Melalui hasil
perhitungan % kristalinitas tersebut tampak
bahwa penggunaan media pelarut yang
berbeda akan dihasilkan kristalinitas yang
berbeda pula. Penggunaan bahan organik
sebagai
pelarut
dapat
memperkecil
kristalinitas yang dapat memperbesar
kemungkinan terbentuknya partikel nano
dengan ukuran yang lebih kecil. Hal ini
disebabkan pelarut organik memiliki
kemampuan mendispersi yang lebih baik
dibandingkan dengan air (Kanade dkk.,
2006).

oleh data ICSD no. 75785 untuk senyawa


CaO, dan ICSD no. 16710 untuk CaCO3.
Kecocokan dari hasil pengukuran tersebut
menunjukkan bahwa pada kelima sampel
yang diuji mengandung dua fasa yaitu CaO
dan CaCO3. Setelah dilakukan penghalusan
menggunakan rietica akan diketahui tingkat
kesesuaian antara data terhitung dan terukur.
Hasil penghalusan berupa nilai-nilai Rwp
(R-weighted pattern) antara 22,295-23,561%,
dan GoF (goodness of fit) antara 1,5071,588% ditampilkan pada Tabel 3.2. Plot
selisih antara pola terhitung dan terukur
berfluktuasi tidak terlalu signifikan. Hasil
tersebut
menandakan
bahwa
proses
refinement acceptable karena memiliki nilai
GoF kurang dari 4% yang menunjukkan
adanya kecocokan antara stuktur oksida hasil
sintesis dengan struktur oksida acuan.
Tabel 3.2 Tingkat kesesuaian (figures of
merit) sampel CaO sintesis pada
variasi pelarut.
Media pelarut
Air
Gliserol
EG
DEG
PEG

GOF
1,573
1,588
1,507
1,567
1,509

Rwp
23,561
23,496
22,384
22,990
22,295

Komposisi fasa sampel CaO dapat


diketahui dengan melakukan perhitungan
menggunakan perangkat lunak rietica. Data
perbandingan komposisi dua fasa yang
diperoleh untuk kelima sampel CaO
ditampilkan pada Tabel 3.3. Secara garis
besar kelima sampel memiliki perbandingan
komposisi fasa yang sama, dimana fasa CaO
terdapat sebesar 89,27-93,56 %berat dan
terdapat fasa CaCO3 dengan jumlah sebesar
6,44-10,73 %berat (Tabel 3.3). Adanya fasa
CaCO3 yang teramati dapat disebabkan
kondisi yang terbuka saat analisis XRD
sehingga ada kemungkinan sampel CaO
mengalami kontak dengan udara, seperti
analisis yang dilakukan oleh Umdu (2008)
yang menyatakan bahwa sampel CaO dapat
berubah fasa menjadi CaCO3 bila mengalami
kontak dengan udara selama analisis XRD.
Selain itu, fasa CaCO3 yang muncul dapat
pula disebabkan kalsinasi pada suhu 800 C
belum dapat membuat CaCO3 terdekomposisi

3.2.2

Penghalusan Rietveld dengan


perangkat lunak Rietica
Perangkat lunak rietica digunakan dalam
penghalusan rietveld untuk mengetahui fasafasa yang terkandung dalam sampel yang
dianalisis. Melalui hasil penghalusan dengan
rietica kelima sampel CaO sintesis sesuai
dengan puncak-puncak yang dimodelkan
6

secara keseluruhan membentuk CaO (Park


dan Oh, 2009).

memiliki kemampuan dalam menstabilkan


permukaan partikel pada suhu yang tinggi
dan menunjang formasi kristal CaO dengan
dispersivitas yang baik sehingga arah
pertumbuhan kristal CaO terkontrol dan
dapat dihasilkan ukuran partikel yang lebih
kecil dibandingkan dengan pelarut air
(Kanade dkk., 2006).
Polaritas dapat pula mempengaruhi
pembentukan partikel nano. Bila ditinjau dari
kepolarannya maka urutan pelarut dari
kopolaran tinggi ke rendah adalah sebagai
berikut:
Air >Gliserol >Etilen Glikol >Dietilen Glikol
>Polietilen Glikol
Umumnya, semakin polar pelarut maka
ukuran partikel kristal yang dihasilkan juga
akan semakin tinggi, hal ini berkaitan dengan
kemampuan mendispersi. Pelarut semi polar
memiliki kemampuan mendispersi yang lebih
baik karena dapat mencegah terjadinya
aglomerasi yang dapat menyebabkan
terjadinya sintering saat kalsinasi, dimana
sintering tersebut dapat memperbesar ukuran
partikel.

Tabel 3.3 Perbandingan komposisi fasa dan


ukuran kristal dari sampel CaO
sintesis pada variasi pelarut.
Media
pelarut
Air
Gliserol
EG
DEG
PEG

Komposisi fasa
(% molar)
CaO
CaCO3
93,56
6,44
92,26
7,74
90,14
9,86
93,34
6,66
89,27
10,73

Ukuran
Partikel
92,66 nm
84,20 nm
67,59 nm
72,13 nm
72,12 nm

Tabel 3.3 juga menunjukkan ukuran


partikel dari sampel CaO yang dihitung
dengan menggunakan persamaan Scherrer.
Hasil tersebut serupa dengan sintesis partikel
nano yang dilakukan oleh Trung dkk. (2003)
dimana partikel nano TiO2 berukuran 50 nm
dihasilkan tanpa pelarut organik, 10-15 nm
pada media PEG. Gliserol dan dietilen glikol
tampak sebagai pelarut organik yang dapat
menghasilkan ukuran partikel kecil meskipun
memiliki intensitas yang tinggi, dikarenakan
pelarut
tersebut
memiliki
puncak
difraktogram yang broad. Hal ini disebabkan
gliserol berperan dalam menghasilkan
viskositas yang tinggi dan menstabilkan
larutan campuran yang dapat menghalangi
agregasi pada partikel kalsium dan
menunjang pembentukkan kalsium nano
dengan yield yang tinggi (Li dkk., 2005).
Peranan gliserol dalam menghasilkan ukuran
partikel nano dapat dijelaskan sebagai
berikut: Ca2+ mula-mula berinteraksi dengan
gliserol membentuk Ca-gliserol yang
kemudian berubah menjadi endapan setelah
dilakukan penambahan larutan asam oksalat.
Selama kalsinasi, gliserol yang masih tersisa
dipermukaan endapan mulai terdekomposisi
menjadi H2, CO dan CO2 selanjutnya Ca
kemudian menjadi CaCO3 yang akhirnya
terdekomposisi pada suhu 800 C
membentuk CaO berukuran nano. Tahapan
ini sama seperti hasil sintesis yang dilakukan
oleh Li dkk. (2005) untuk menghasilkan
partikel nano Ni/NiO pada media gliserol.
Selain terjadi pada pelarut gliserol, tahapan
reaksi serupa juga berlaku pada pelarut
organik etilen glikol, dietilen glikol, dan
polietilen glikol dimana pada pelarut glikol

3.2.3 Spektroskopi Inframerah


Spektroskopi
inframerah
dilakukan
dengan tujuan untuk mengidentifikasi gugus
fungsi yang terdapat dalam suatu senyawa.
Analisis FTIR dilakukan pada panjang
gelombang 4000-400 cm-1. Gambar 3.3.
menunjukkan adanya puncak yang muncul
pada kelima sampel yang secara umum
hampir sama. Pada kelima sampel yang
dianalisis menunjukkan adanya pita OH di
daerah sekitar 3600 cm-1, pita CH di 23002900 cm-1, pita CO di daerah sekitar 1400
cm-1, 1700 cm-1, dan 875 cm-1, serta pita CaO
pada daerah sekitar 400 cm-1. Pita dari gugus
OH muncul sangat tajam di bilangan
gelombang 3643,53 cm-1 pada sampel yang
disintesis dengan media air, gliserol,
polietilen glikol, sedangkan sampel dengan
media dietilen glikol dan etilen glikol muncul
pada bilangan gelombang 3641,6 cm-1.
Gugus OH dengan puncak yang tajam
merupakan karakteristik dari CaO standar
(Ruiz dkk, 2009), sehingga kemunculan
gugus OH tersebut menunjukkan adanya
kecocokan puncak antara kelima sampel yang
dianalisis dengan CaO standar. Akan tetapi
kemunculan gugus OH tersebut pada daerah
3643,53 cm-1 hingga 3641,6 cm-1 tidak dapat
7

begitu saja memastikan bahwa sampel yang


dianalisis benar-benar merupakan CaO
karena Ca(OH)2 juga memiliki karakteristik
puncak yang tajam didaerah 3643 cm-1
seperti hasil analisis yang dilakukan oleh
Granados dkk, (2007) yang mendapati
adanya gugus OH dari Ca(OH)2 sehingga
ada kemungkinan bahwa puncak tersebut
menunjukkan keberadaan air yang teradsorb
pada permukaan CaO dimana CaO sangat
mudah menyerap uap air dari udara. Oleh
sebab itu maka perlu ditemukannya ciri khas
puncak yang meyakinkan bahwa sampel
benar-benar mengandung CaO.
Puncak yang sangat lebar pada daerah
sekitar 400 cm-1 dapat dijadikan acuan untuk
memastikan kehadiran CaO pada sampel, hal
ini dikarenakan diantara spektrum CaO
standar, CaCO3 standar dan Ca(OH)2 standar
nampak hanya CaO standar yang memiliki
puncak yang melebar pada panjang
gelombang tersebut sebab puncak di daerah
sekitar 400-500 cm-1 berhubungan dengan
ikatan Ca-O dengan vibrasi ulur.
Pita dengan puncak di daerah sekitar
1700 cm-1 menunjukkaan adanya gugus C=O
(karbonil) yang disebabkan oleh ikatan C=O
stretching, dimana pada sampel dengan
media pelarut air, gliserol dan polietilen
glikol muncul puncak di panjang gelombang
1793,80 cm-1 dan muncul dengan puncak
yang lemah pada sampel yang disintesis
dengan media pelarut etilen glikol dan
dietilen glikol. Ikatan O-C-O stretching dari
karbonat muncul pada semua sampel di
bilangan gelombang 1400 cm-1. Sedangkan
vibrasi tekuk C-O dari gugus karbonat
muncul pada bilangan gelombang 870 cm-1,
dimana pada kelima sampel yang di sintesis
gugus tersebut muncul pada bilangan
gelombang yang hampir sama yaitu di daerah
875,68 cm-1 (air, PEG), 877,61 cm-1 (gliserol,
DEG, EG). Puncak di sekitar 870 cm-1
merupakan karakteristik puncak yang
biasanya muncul pada CaCO3 dan Ca(OH)2
(Ruiz dkk., 2009). Hal ini menunjukkan
bahwa sampel mengandung senyawa lain
selain CaO yang mengindikasikan sampel
hasil sintesis belum murni.

Gambar 3.2 Spektra FT-IR sampel CaO


sintesis pada variasi pelarut.
3.2.2 Scanning Electron Microscopy
Analisis menggunakan SEM dilakukan
untuk mengetahui morfologi permukaan dari
sampel padat. SEM merupakan teknik
analisis menggunakan elektron sebagai
sumber
pencitraan
dan
medan
elektromaknetik sebagai lensanya. SEM dari
sampel CaO dengan variasi pelarut
diilustrasikan pada Gambar 3.3. Perbesaran
20.000 kali pada gambar SEM dilakukan
untuk mengetahui bentuk morfologi dari
sampel secara global.
Morfologi dari CaO yang disintesis
menggunakan pelarut air ditunjukkan pada
Gambar 3.3 (a). Pada gambar SEM dengan
perbesaran 20.000 kali terlihat kumpulan
partikel berbentuk bulat dengan ukuran yang
tidak homogen dengan ukuran diameter
berkisar antara 65-290 nm. Pada CaO yang
disintesis dengan pelarut etilen glikol,
gambar SEM dengan perbesaran 20.000 kali
menunjukkan kumpulan partikel berbentuk
bunga karang yang lebih homogen bila
dibandingkan dengan CaO yang disintesis
dengan pelarut air. Pada gambaran SEM
tersebut terlihat morfologi dari CaO yang
berbentuk bulatan pipih yang saling sambung
menyambung hingga memanjang seperti tali
dengan diameter antara 72-110 nm.
Kumpulan partikel berbentuk bunga karang
8

pada CaO yang disintesis dengan pelarut


dietilen glikol hampir serupa dengan gambar
SEM pada CaO yang disintesis dengan
pelarut etilen glikol, akan tetapi pada sampel
CaO yang disintesis dengan pelarut dietilen
glikol tersebut didapatkan pula bentuk
partikel berupa kubus berukuran besar dan
kecil. Partikel berbentuk kubus tersebut
serupa dengan morfologi dari CaO murni
yang dianalisis oleh Taufiq dkk, 2010.
Namun, ukuran partikel berbentuk kubus
pada sampel CaO yang disintesis dengan
pelarut dietilen glikol ini memiliki ukuran
yang jauh lebih kecil (sekitar 0,3-2,5 m)
bila dibandingkan dengan CaO murni yang
dianalisis oleh Taufiq dkk, 2010, yaitu
sebesar 2-10 m.
Pada CaO yang disintesis dengan pelarut
polietilen glikol, gambar SEM yang
dihasilkan serupa dengan CaO yang
disintesis dengan pelarut etilen glikol dan
dietilen glikol. Pada Gambar 3.3 (d) terlihat
kumpulan partikel menyerupai bunga karang
yang terdiri dari bulatan pipih yang saling
sambung menyambung hingga memanjang
seperti tali dengan diameter 50-210 nm. CaO
yang disintesis dengan pelarut gliserol
memiliki bentuk yang berbeda dengan CaO
yang disintesis dengan pelarut air, etilen
glikol, dietilen glikol, dan polietilen glikol.
Seperti yang terlihat pada Gambar 3.3 (d),
morfologi dari CaO sintesis pada media
gliserol terlihat lebih homogen dibandingkan
dengan keempat hasil sintesis CaO yang lain.
Morfologi dari CaO memiliki bentuk tidak
beraturan dan tepian yang tidak rapi dengan
diameter antara 90-200 nm.
Ukuran-ukuran partikel yang diperoleh
dari analisis morfologi SEM tersebut
memiliki perbedaan dengan ukuran partikel
yang diperoleh dari perhitungan Scherrer.
Hal ini disebabkan ukuran-ukuran yang
diperoleh dari SEM diukur secara kasat mata
sehingga ukuran yang dihasilkan menjadi
kurang akurat. Sedangkan penentuan ukuran
partikel melalui perhitungan Scherrer
diperoleh dari data XRD yang memiliki
ketelitian yang lebih baik dalam menganalisis
ketebalan kristal.
Pada Gambar 3.3, CaO yang disintesis
dengan gliserol nampak memiliki ukuran
partikel yang paling besar dibandingkan
dengan sampel lainnya pada gambar SEM,
sedangkan menurut perhitungan Scherrer,

CaO yang disintesis dengan media gliserol


memiliki ukuran partikel yang kecil. Hal ini
menunjukkan bahwa bentuk morfologi yang
tampak tersebut tidak dapat mewakili ukuran
partikel CaO yang sebenarnya karena ada
kemungkinan bahwa pada partikel yang
tersusun seperti bongkahan besar tersebut
terdiri dari partikel-partikel dengan ukuran
yang lebih kecil lagi.

Gambar 3.3 SEM CaO yang disintesis


dengan pelarut air (a), Etilen
glikol (b) Dietilen glikol (c),
Polietilen glikol (d), Gliserol
(e).
Aglomerasi terjadi pada seluruh sampel
terutama pada sampel yang disintesis dengan
media air, hal ini disebabkan karena pelarut
air memiliki kemampuan mendispersi yang
kurang baik bila dibandingkan dengan
pelarut organik. Pada media pelarut air,
reaksi dispersi lebih homogen dibandingakan
dengan
pelarut
organik
menjadikan
pertumbuhan
inti
kristal
akan
kurang terlindungi yang dapat mendorong
pertumbuhan kristal CaO mengarah ke
ukuran yang lebih besar (Kanade dkk., 2006).
Etilen glikol, dietilen glikol, dan polietilen
glikol berperan sebagai surfaktan yang dapat
menstabilan permukaan partikel pada
temperatur yang tinggi serta menghasilkan
9

formasi kristal CaO monodispersi dengan


kemampuan dispersi yang baik. Gliserol
dapat menghasilkan kerekatan dan kestabilan
tinggi pada larutan campuran yang dapat
mencegah terjadinya agregasi pada partikel
kalsium dan menghasilkan formasi partikel
nano kalsium dengan yield yang tinggi (Li
dkk., 2005). Ukuran partikel lebih kecil dan
morfologi yang berbeda menunjukkan bahwa
pelarut organik memiliki peranan dalam
mengontrol nukleasi dan orientasi dari
kristal (Kanade, 2006).

menghasilkan ukuran partikel yang paling


kecil dibandingkan pelarut lain, akan tetapi
rendemen fasa CaO yang dihasilkan cukup
kecil.

3.3 Hasil Keseluruhan


Penggunaan pelarut berupa air, gliserol,
etilen glikol, dietilen glikol dan polietilen
glikol 400 dalam mensintesis CaO melalui
metode
kopresipitasi
telah
berhasil
membentuk partikel CaO berukuran nano.
Hal tersebut menunjukkan bahwa metode
kopresipitasi merupakan metode yang cukup
baik digunakan sebagai metode dalam
mensintesis partikel nano. Kehadiran pelarut
dalam sintesis partikel nano juga sangat
penting dalam mengontrol morfologi dan
ukuran partikel, hal ini terlihat pada analisis
SEM yang menunjukkan morfologi yang
berbeda dengan penggunaan pelarut yang
berbeda serta ukuran partikel yang dihasilkan
bervariasi dengan penggunaan pelarut yang
berbeda. Melalui perhitungan dengan
persamaan
Scherrer
terlihat
bahwa
penggunaan
pelarut
organik
dapat
membentuk ukuran partikel yang lebih kecil
dibandingkan dengan pelarut air. Selain itu,
penggunaan pelarut juga mempengaruhi
rendemen fasa CaO yang terbentuk. Melalui
analisis menggunakan rietica diperoleh hasil
dimana pelarut air menghasilkan rendemen
fasa CaO yang paling banyak. Hubungan
antara ukuran partikel dengan %berat fasa
CaO dapat dilihat pada gambar 3.4.
Bila ditinjau dari kepolarannya maka
urutan pelarut dengan kepolaran tinggi ke
rendah adalah sebagai berikut:
Air >Gliserol >Etilen Glikol >Dietilen Glikol
>Polietilen Glikol
Pada gambar 3.4 terlihat bahwa penggunaan
pelarut air yang memiliki kepolaran tinggi
dapat menghasilkan rendemen fasa CaO
paling besar, akan tetapi ukuran partikel yang
dihasilkan cukup besar yaitu mendekati batas
ukuran partikel nano (mendekati 100 nm).
Sedangkan pelarut etilen glikol mampu

Gambar 3.4

Hubungan
ukuran
partikel
dengan %berat fasa CaO pada
media pelarut air, gliserol, etilen
glikol, dietilen glikol, dan
polietilen glikol.

Pelarut yang baik untuk penelitian ini


adalah pelarut yang dapat menghasilkan
ukuran partikel kecil dengan rendemen fasa
CaO yang besar. Dari kelima pelarut yang
diuji nampak bahwa pelarut dietilen glikol
memiliki dua kriteria tersebut, hal ini
menunjukkan bahwa pelarut dietilen glikol
adalah pelarut yang sangat baik digunakan
dalam sintesis partikel nano CaO. Pelarut
dengan kepolaran tinggi seperti air akan
melarutkan secara sempurna kalsium asetat
yang bersifat polar, hal ini dapat
mengakibatkan kristal CaO yang terbentuk
adalah kristal sejati yang memiliki ukuran
partikel yang besar. Penggunaan pelarut
dengan kepolaran yang sangat rendah dapat
menyebabkan aglomerasi karena banyak
partikel dari kalsium asetat yang sukar larut
sehingga mengakibatkan ukuran partikel CaO
yang dihasilkan juga akan besar. Pelarut
dietilen glikol memiliki kepolaran sedang
sehingga mampu menghasilkan koloid yang
dapat menyebabkan terbentuknya partikel
berukuran kecil-kecil.
IV. KESIMPULAN
Partikel nano CaO telah berhasil
disintesis menggunakan metode kopresipitasi
dengan prekursor kalsium asetat dalam media
10

precursors,
Fuel
Processing
Technology, 90, 12521258.
Granados, M,L., Poves, M.D.Z., Alonzo,
D.M., Marizcal, R., Galisteo, F.C.,
Moreno-Tost, R., Santamaria, J., dan
Fierro, J.L.G., (2007), Biodiesel from
Sunflower Oil Using Activated
Calcium Oxide, Applied Catalysis B,
Enviromental, 73, 317-326.
HORIBA Scientific, (2010), A Guidebook to
Particle size analysis, HORIBA
Instruments, Inc, USA.
Iijima, M., dan Kamiya, H., (2009), Surface
Modification for Improving the
Stability of Nanoparticles in Liquid
Media, KONA Powder and Particle
J, 27, 119-129.
Kanade, K.G., Kale, B.B., Aiyer, R.C., Das,
B.K., (2005), Effect of solvents on
the synthesis of nano-size zinc oxide
and
its
properties,
Materials
Research Bulletin, 41, 590600.
Kwon, Y.J., Kim, K.H., Lim, C.S., Shim,
K.B., (2002), Characterization of
ZnO nanopowders synthesized by the
polymerized complex method via an
organochemical route, J.Ceram, Pro
Res, 3, 146-149.
Lee, S.J., dan Lee, C.H., (2002), Fabrication
of Nano-Sized TiO2 Powder Via an
Ethylene Glycol Entrapment Route,
Materials Letters, 56, 705 708.
Li, Y., Cai, M., Rogers, J., Xu, Y., dan Shen,
W.,
(2006),
Glycerol-Mediated
Synthesis of Ni and Ni/NiO CoreShell
Nanoparticles,
Materials
Letters, 60, 750753.
Liu, X., He, H., Wang, Y., Zhu, S., Piao, X.,
(2008),
Transesterification
of
Soybean Oil to Biodiesel Using CaO
as a Solid Base Catalyst, Fuel, 87,
216221.
Park, J.H., dan Oh, S.G., (2009), Preparation
of CaO as OLED getter material
through control of crystal growth of
CaCO3 by block copolymers in
aqueous
solution,
Materials
Research Bulletin, 44, 110118.
Rahman, R., (2008), Pengaruh Proses
Pengeringan, Anil, dan Hidrotermal
Terhadap Kristallinitas Nanopartikel
TiO2 Hasil Proses Sol-Gel, FT,
Departemen Metalurgi dan Material,
Universitas Indonesia.

pelarut air, etilen glikol, dietilen glikol,


polietilen glikol, dan gliserol. Hasil XRD
menunjukkan bahwa CaO yang dipreparasi
dengan pelarut etilen glikol memiliki
kristalinitas yang paling rendah dibandingkan
dengan pelarut air, polietilen glikol, dietilen
glikol dan gliserol. Berdasarkan spektra FTIR
diketahui bahwa pada sampel CaO masih
terdapat gugus CO dari CaCO3 dan OH dari
Ca(OH)2. Hasil analisis dengan SEM
menunjukkan bahwa penggunaan pelarut
yang berbeda telah menghasilkan morfologi
yang berbeda pula. Dari perhitungan Scherrer
dan analisis rietica diperoleh pelarut yang
paling baik adalah pelarut dietilen glikol
yang menghasilkan partikel nano CaO
sebesar 72,13 nm dengan %berat CaO
sebesar 93,34.
V. UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih
kepada Dr. Didik Prasetyoko, M.Sc., Dra.
Ratna Ediati, MS, PhD atas bimbingannya
sampai terselesainya penelitian ini. Orang tua
yang tiada henti mendukung dan mendoakan
anak-anaknya. Pak Hamzah Fansuri selaku
koordinator TA serta semua pihak yang
terlibat dalam pembuatan makalah ini
VI. DAFTAR PUSTAKA
Adam, F., dan Wong, M. S., (2011), The
Synthesis of Organic Carbonates
Over Nanocrystalline CaO Prepared
Via
Microemulsion
Technique,
Catalysis Communications, 13, 87
90.
Agrinier, P., Deutsch, A., Scharer, U.,
Martinez, I., (2001), Fast BackReactions of Shock-Released CO2
from Carbonates: An experimental
approach,
Geochimica
et
Cosmochimica Acta, 65, 26152632.
Bhargava, A., Alarco, J. A., Mackinnon,
D.R., Page, D., Ilyushechkin, A.,
(2007),
Synthesis
and
Characterisation
of
Nanoscale
Magnesium Oxide Powders and
Their Application in Thick Films of
Bi2Sr2CaCu2O8, Materials Letters,
34, 133142
Cho, Y.B., Seo, G., Chang, D.R., (2009),
Transesterification of tributyrin with
methanol over calcium oxide
catalysts prepared from various
11

Ruiz, M.G., Hernndez, J., Baos, L.,


Montes, J.N., dan Garca, M.E.R.,
(2009), Characterization of Calcium
Carbonate, Calcium Oxide, and
Calcium Hydroxide as Starting Point
to the Improvement of Lime for
Their Use in Construction, J. of
Materials in Civil Engineering, 694698.
Taufiq, Y.Y.H., Lee, H.V., Hussein., Yunus,
R., (2010), Calcium-Based Mixed
Oxide Catalysts For Methanolysis of
Jatropha Curcas Oil to Biodiesel,
Biomass and Bioenergy, 35, 827-834.
Trung, T., Cho, W.J., Ha, C.S., (2003),
Preparation of TiO2 nanoparticles in
glycerol-containing
solutions,
Materials Letters, 57, 27462750.
Umdu, E.S., (2008), Methyl Ester Production
From
Vegetable
Oils
on
Heterogeneous
basic
Catalysts,
Engineering and Sciences of zmir
Institute of Technology.
West, Anthoni R., (1989), Solid State
Chemistry and Its Application, John
Wiley & Sons, New York.
Xin, B.H., Zhen S.X., Hua, L.X., Yong, L.S.,
(2009), Synthesis of Porous CaO
Microsphere and Its Aplication in
Catalyzing
Transesterification
Reaction for Biodiesel, Trans
Nonferrous Met. Soc, 19, 674-677.
Yulianti, C. H., (2011), Sintesis Katalis
Nanopartikel Campuran Oksida CaO
dan ZnO dan Aktivitasnya pada
Transesterifikasi Refines Palm Oil
untuk Produksi Biodiesel, Fakultas
MIPA,
Jurusan
Kimia,
ITS,
Surabaya.
Zhang, J., Sun, L., Yin, J., Su, H., Liao, C.,
Yan, C., (2002), Control of ZnO
Morphology via a Simple Solution
Route. Chem. Mater, 14, 4172.

12

You might also like