You are on page 1of 7

PERDARAHAN SALURAN CERNA BAGIAN ATAS

1. Pengertian (Definisi)

Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) adalah


perdarahan saluran makanan proksimal dari ligamentum Treitz
meliputi hematemesis dan atau melena. Untuk keperluan klinik,
dibedakan perdarahan varises esophagus dan non-varises,
karena antara keduanya terdapat ketidaksamaan dalam
pengelolaan dan prognosisnya.

2. Anamnesis

Badan lemas, pucat, bab bewarna hitam, dan muntah darah

3. Pemeriksaan Fisik

Tanda-tanda syok : takikardia, akral dingin dan lembab,


takipnu,

oliguria,

penurunan

kesadaran,

hipotensi

ortostatik, JVP (Jugular Vein Pressure) meningkat.

Tanda-tanda penyakit hati kronis dan sirosis : hipertensi


portal (pecahnya varises esofagus, asites, splenomegali),
ikterus, edema tungkai dan sakral, spider nevi, eritema
palmarum, ginekomasti, venektasi dinding perut (caput
medusa), asteriksis (flapping tremor).

Tanda-tanda anemia : pucat, koilonikia, telangiektasia

Tanda-tanda sindrom Peutz-Jegher : bintik-bintik coklat


pada kulit muka dan mukosa pipi.

Lesi-lesi telangiektasi yang berdenyut merupakan indikasi


telangiektasi hemoragik herediter.

Koagulopati : purpura, memar, epistaksis

Tanda-tanda keganasan : limfadenopati, organomegali


(hepatomegali, splenomegali), penurunan berat badan,
anoreksia, rasa lemah.

Pemeriksaan abdomen : untuk mengetahui adanya

nyeri tekan, distensi, atau massa. Adanya nyeri tekan


epigastrik merupakan tanda ulkus peptikum, dan adanya
hepatosplenomegali meningkatkan kemungkinan varises.

Pemeriksaan rektal untuk massa, darah, melena, dan


darah samar pada feses.

4. Diagnosis

Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas


Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah

5. Diagnosis Banding
a.
6. Pemeriksaan

Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap : Hb, Ht, golongan darah,

Penunjang

jumlah eritrosit, leukosit, trombosit, waktu perdarahan,


waktu pembekuan, PT, APTT, morfologi darah tepi,
fibrinogen, dan crossmatch jika diperlukan transfusi.
Pemeriksaan ureum dan kreatinin
Pemeriksaan fungsi hati : AST (SGOT), ALT (SGPT),
bilirubin, fosfatase alkali, gama GT, kolinesterase,
protein total, albumin, globulin, HBSAg, AntiHBS.
Tes guaiac positif : pemeriksaan darah samar dari feses
masih dapat terdeteksi sampai seminggu atau lebih
setelah terjadi perdarahan.
Pemeriksaan elektrolit : kadar Na+, Cl-, K+. K+ bisa lebih
tinggi dari normal akibat absorpsi dari darah di usus
halus. Alkalosis hipokloremik pada waktu masuk rumah
sakit menunjukan adanya episode perdarahan atau
muntah-muntah yang hebat.
b.

Endoskopi
Endoskopi
diagnosis,

digunakan

untuk

menentukan

membantu
sumber

menegakkan
perdarahan,

memungkinkan pengobatan endoskopik awal, informasi


prognostik (seperti identifikasi stigmata perdarahan baru).
Endoskopi dilakukan sebagai pemeriksaan darurat sewaktu
perdarahan atau segera setelah hematemesis berhenti.
c.

Pemeriksaan radiologis

Barium meal

Barium

enema

untuk

menyingkirkan

kemungkinan penyebab perdarahan saluran cerna


bagian bawah.
USG

untuk

menunjang

diagnosis

hematemesis/melena bila diduga penyebabnya adalah


pecahnya

varises

esofagus

karena

secara

tidak

langsung memberi informasi tentang ada tidaknya


hepatitis kronik, sirosis hati dengan hipertensi portal,
keganasan hati, dengan cara yang non invasif dan tak
memerlukan

persiapan

sesudah

perdarahan

akut

berhenti.
Pada kondisi hemodinamik tidak stabil, berikan
7. Terapi

infus cairan kristaloid dan pasang monitor CVP (central


venous pressure). Tujuannya untuk memulihkan tandatanda vital dan mempertahankan tetap stabil.
Penderita dengan perdarahan 500 1000 cc perlu
diberi infus Dextrose 5%, Ringer laktat atau Nacl 0,9%.
Pemberian transfusi darah dipertimbangkan pada keadaan
berikut ini:
1. Perdarahan pada kondisi hemodinamik tidak stabil
(tanda tanda syok).
2. Perdarahan

baru

atau

masih

berlangsung

dan

diperkirakan jumlahnya 1 liter atau lebih.


3. Perdarahan baru atau masih berlangsung dengan
hemoglobin < 10 g% atau hematokrit < 30 %.
4. Terdapat tanda tanda oksigenasi jaringan yang
menurun.
1. Non-Endoskopis
Pemberian Vitamin K
Boleh diberikan dengan pertimbangan tidak merugikan dan
relatif murah.

Vasopressin
Menghentikan perdarahan saluran cerna bagian atas lewat
efek

vasokostriksi

pembuluh

darah

splanknik,

menyebabkan aliran dan tekanan vena porta menurun.


Pemberian vasopressin dengan mengencerkan sediaan
vasopressin 50 unit dalam 100 ml dekstrose 5%, diberikan
0.5-1 mg/menit/iv selama 20-60 menit dan dapat diulang
tiap 3-6 jam, atau setelah pemberian pertama dilanjutkan
per infus 0.1-0.5 U/menit. Vasopressin dapat memberikan
efek samping berupa insufisiensi koroner mendadak, maka
disarankan bersamaan preparat nitrat.
Somatostatin dan analognya (octreotide)
Dapat digunakan untuk perdarahan varises esofagus
dan perdarahan nonvarises. Pemberian diawali dengan
bolus 250 mcg/iv, dilanjutkan per infus 250 mcg/jam selama
12-24 jam atau sampai perdarahan berhenti, sedangkan
untuk octreotide, dosis bolus 100 mcg/iv dilanjutkan per
infus

25

mcg/jam

selama

8-24

jam

atau

sampai

peradarahan berhenti.
Obat Anti sekresi asam
Bermanfaat untuk mencegah perdarahan ulang SCBA.
Diawali bolus omeprazol 80 mg/iv dilanjutkan per infus 8
mg/kgBB/jam selama 72 jam. Pada perdarahan SCBA,
antasida, sukralfat, dan antagonis reseptor H2 dapat
diberikan untuk penyembuhan lesi mukosa penyebab
perdarahan.
Balon Tamponade
Sengstaken Blakemore tube (SB-tube) mempunyai tiga
pipa serta dua balon masing-masing untuk esofagus dan
lambung. Komplikasi pemasangan SB-tube antara lain
pnemoni aspirasi, laserasi sampai perforasi.

2. Endoskopis
Terapi ini ditujukan untuk perdarahan tukak yang
masih aktif atau tukak dengan pembuluh darah yang
tampak. Metode terapi meliputi : 1) Contact thermal
(monopolar atau bipolar elektrokoagulasi, heater probe), 2)
Noncontact thermal (laser), dan 3) Nonthermal (misalnya
suntikan adrenalin, polidokanol, alcohol, cyanoacrylate,
atau pemakaian klip).
Terapi endoskopis yang relatif mudah dan tanpa
banyak peralatan pendukung ialah penyuntikan submukosa
sekitar titik perdarahan menggunakan adrenalin 1:10000
sebanyak 0.5-1 ml tiap kali suntik dengan batas dosis 10 ml
atau

alkohol

absolut

(98%)

tidak

melebihi1

ml.

Keberhasilan terapi endoskopis mencapai di atas 95% dan


tanpa terapi tambahan, perdarahan ulang frekuensinya
sekitar 15-20%.
Pilihan pertama untuk mengatasi varises esofagus
adalah ligasi varises. Terapi pilihan adalah hemostasis
endoskopi. Ligasi varises mengurangi efek samping dari
pemakaian sklerosan, serta lebih menurunkan frekuensi
terjadinya ulserasi dan striktur. Bila ligasi sulit dilakukan,
skeloterapi dapat digunakan sebagai terapi alternatif.
3. Terapi Radiologi
Terapi

angiografi

perlu

dipertimbangkan

bila

perdarahan tetap berlansung dan belum bisa ditentukan


asal perdarahan, atau bila terapi endoskopi dinilai gagal
dan pembedahan sangat berisiko. Tindakan hemostasis
yang bisa dilakukan dengan penyuntikan vasopressin atau
embolisasi arterial. Bila dinilai tidak ada kontraindikasi dan
fasilitas dimungkinkan, pada perdarahan varises dapat
dipertimbangkan

TIPS

Portosystemic shunt).

4. Pembedahan

(Transjugular

Intrahepatic

Pembedahan dasarnya dilakukan bila terapi medik,


endoskopi

dan

radiologi

dinilai

gagal.

Ahli

bedah

seyogyanya dilibatkan sejak awal dalam bentuk tim


multidisipliner pada pengelolaan kasus perdarahan SCBA
untuk menentukan waktu yang tepat kapan tindakan bedah
sebaiknya dilakukan.

Ad vitam : dubia ad bonam/malam


8. Prognosis

Ad sanationam : dubia ad bonam/malam


Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam

9. Tingkat Evidens

I/II/III/IV

10. Tingkat Rekomendasi

A/B/C

11. Penelaah Kritis

Dokter Spesialis Penyakit Dalam


1. Adi, Pangestu. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi

12. Kepustakaan

4. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI.


2007. Hal 289-92.
2. Davey, Patrick. At a Glance Medicine. Oxford : Blackwell
Science Ltd. 2006. Hal 36-37.
3. Gleadle,

Jonathan.

At

Glance

Anamnesis

dan

Pemeriksaan Fisik. Oxford : Blackwell Science Ltd. 2007.


Hal 65.
4. Kauver, A. J. Diagnosis Medis Beorientasikan Masalah.
Massachussets : Little, Brown and Company. 1985. Hal
173-9.
5. Lindseth, Glenda N. Patofisiologi Konsep Klinis dan
Proses-Proses Penyakit Volume 1 Edisi 6. Michigan :
Elsevier Science. 2006. Hal 428.
6. Sibuea, W. Herdin, Frenkel, M. Pedoman Dasar Anamnesis
dan Pemeriksaan Jasmani. Jakarta : Sagung Seto. 2007.
Hal 7, 12.

You might also like