You are on page 1of 24

1.

KONSEP DASAR PENYAKIT


1.1. Definisi
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang
akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel (Tarwoto,
2007).
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala
yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas
muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai
etiologi (Arif, 2000).
Sedangakan defenisi epilepsi oleh Hugling Jakson masih tetap bertahan sejak
abad ke-19 Epilepsi merupakan istilah untuk cetusan listrik lokal pada substansia
grisea otak yang terjadi sewaktu-waktu mendadak dan sangat cepat (ginsberg,
2005)
Dari defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa epilepsi merupakan penyakit
serebral kronik dimana terjadinya cetusan listrik atau lepasnya muatan listrik lokal
pada substansia grisea otak dengan karakteristik gejala berupa kejang berulang.

1.2. Klasifikasi
Epilepsi diklasifikasikan menjadi dua pokok umum, yaitu klasifikasi epilepsi
dengan sindrom epilepsi dan klasifikasi berdasarkan tipe kejang.

1.1.1. Klasifikasi Epilepsi Dengan Sindrom Epilepsi


Berdasarkan penyebab dibedakan menjadi:
1. Epilepsi idiopatik: bila tidak diketahui penyebabnya, epilepsi pada anak
dengan paroksimal oksipital

2. Simtomatik: bila ada penyebabnya, letak fokus pada pada semua lobus
otak

1.1.2. Klasifikasi Tipe Kejang Epilepsi


1. Epilepsi kejang parsial (lokal, fokal)
1) Epilepsi parsial sederhana, yaitu epilepsi parsial dengan kesadaran
tetap normal.
Dengan gejala motorik:
(1) Fokal motorik tidak menjalar: epilepsi terbatas pada satu bagian
tubuh saja
(2) Fokal motorik menjalar: epilepsi dimulai dari satu bagian tubuh dan
menjalar meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson.
(3) Versif: epilepsi disertai gerakan memutar kepala, mata, tuibuh.

(4) Postural: epilepsi disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam
sikap tertentu
(5) Disertai gangguan fonasi: epilepsi disertai arus bicara yang
terhenti atau pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu
Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial (epilepsi disertai
halusinasi sederhana yang mengenai kelima panca indera dan
bangkitan yang disertai vertigo).
(1) Somatosensoris: timbul rasa kesemutan atau seperti ditusuk-tusuk
jarum.
(2) Visual: terlihat cahaya
(3) Auditoris: terdengar sesuatu
(4) Olfaktoris: terhidu sesuatu
(5) Gustatoris: terkecap sesuatu
(6) Disertai vertigo
Dengan

gejala

atau

tanda

gangguan

saraf

otonom

(sensasi

epigastrium, pucat, berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi pupil).


Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur).
(1) Disfagia: gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku kata,
kata atau bagian kalimat.
(2) Dimensia: gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti
sudah mengalami, mendengar, melihat, atau sebaliknya. Mungkin
mendadak mengingat suatu peristiwa di masa lalu, merasa seperti
melihatnya lagi.
(3) Kognitif: gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
(4) Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut.
(5) Ilusi: perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil
atau lebih besar.
(6) Halusinasi kompleks (berstruktur): mendengar ada yang bicara,
musik, melihat suatu fenomena tertentu, dan lain-lain.
2) Epilepsi parsial kompleks, yaitu kejang disertai gangguan kesadaran.
Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran: kesadaran
mula-mula baik kemudian baru menurun.
(1) Dengan gejala parsial sederhana A1-A4. Gejala-gejala seperti
pada golongan A1-A4 diikuti dengan menurunnya kesadaran.

(2) Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul


dengan sendirinya, misalnya gerakan mengunyah, menelan, raut
muka berubah seringkali seperti ketakutan, menata sesuatu,
memegang kancing baju, berjalan, mengembara tak menentu,dan
lain-lain.
Dengan penurunan kesadaran sejak serangan; kesadaran menurun
sejak permulaan kesadaran.
(1) Hanya dengan penurunan kesadaran
(2) Dengan automatisme
3) Epilepsi Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonikklonik, tonik, klonik).
(1) Epilepsi parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan
umum.
(2) Epilepsi parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan
umum.
(3) Epilepsi parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial
kompleks lalu berkembang menjadi bangkitan umum.
2. Epilepsi kejang umum
1) Lena Atau Kejang absant (Petit mal)
Lena khas (tipical absence), dapat disertai:
(1) Pada epilepsi ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka
tampak membengong, bola mata dapat memutar ke atas, tak ada
reaksi bila diajak bicara
(2) Biasanya epilepsi ini berlangsung selama menit dan
biasanya dijumpai pada anak
(3) Hanya penurunan kesadaran
(4) Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan, biasanya
dijumpai pada kelopak mata atas, sudut mulut, atau otot-otot
lainnya bilateral
(5) Dengan komponen atonik. Pada epilepsi ini dijumpai otot-otot
leher, lengan, tangan, tubuh mendadak melemas sehingga tampak
mengulai
(6) Dengan komponen klonik. Pada epilepsi ini, dijumpai otot-otot
ekstremitas, leher atau punggung mendadak mengejang, kepala,

badan menjadi melengkung ke belakang, lengan dapat mengetul


atau mengedang
(7) Dengan automatisme
(8) Dengan komponen autonom
Lena tak khas (atipical absence), dapat disertai:
(1) Gangguan tonus yang lebih jelas.
(2) Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak
2) Grand Mal
Kejang mioklonik
Pada epilepsi mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar,
dapat kuat atau lemah sebagian otot atau semua otot, seringkali atau
berulang-ulang. Bangkitan ini dapat dijumpai pada semua umur.
Kejang klonik
Pada epilepsi ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif,
tajam, lambat, dan tunggal multiple di lengan, tungkai atau torso.
Dijumpai terutama sekali pada anak.
Kejang tonik
Pada epilepsi ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya
menjadi kaku pada wajah dan bagian tubuh bagian atas, flaksi lengan
dan ekstensi tungkai. Epilepsi ini juga terjadi pada anak.
Kejang tonik- klonik
Epilepsi ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang
terkenal dengan nama grand mal. Serangan dapat diawali dengan
aura, yaitu tanda-tanda yang mendahului suatu epilepsi. Pasien
mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang kaku
berlangsung kira-kira menit diikutti kejang kejang kelojot seluruh
tubuh. Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan napas menjadi
dalam beberapa saat lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang
meningkat, mulut menjadi berbusa karena hembusan napas. Mungkin
pula pasien kencing ketika mendapat serangan. Setelah kejang
berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun dengan

kesadaran yang masih rendah, atau langsung menjadi sadar dengan


keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala
Kejang atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas
sehingga pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun
sebentar. Epilepsi ini terutama sekali dijumpai pada anak
3. Epilepsi kejang tak tergolongkan
Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola
mata yang ritmik, mengunyah, gerakan seperti berenang, menggigil, atau
pernapasan yang mendadak berhenti sederhana.

1.3. Etiologi
Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui (idiopatik), sering
terjadi pada:
1. Trauma lahir, asphyxia neonatorum
2. Cedera Kepala, infeksi sistem syaraf
3. Keracunan CO, intoksikasi obat/alcohol
4. Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
5. Tumor otak
6. Kelainan pembuluh darah (Tarwoto, 2007).
Faktor etiologi berpengaruh terhadap penentuan prognosis. Penyebab utama
ialah epilepsi idopatik, Remote Simtomatik Epilepsi (RSE), epilepsi simtomatik akut
dan epilepsi pada anak-anak yang didasari oleh kerusakan otak pada saat peri- atau
antenatal. Dalam klasifikasi tersebut ada dua jenis epilepsi menonjol, ialah epilepsi
idiopatik dan RSE dari kedua tersebut terdapat banyak etiologi dan sindrom yang
berbeda, masing-masing dengan prognosis yang baik dan yang buruk.
Dipandang dari kemungkinan terjadinya bangkitan ulang pasca-awitan,
definisi neurologik dalam kaitannya dengan umur saat awitan mempunyai nilai
prediksi yaitu apabila pada saat lahir telah terjadi defisit neurologik maka dalam
waktu 12 bulan pertama seluruh kasus akan mengalami bangkitan ulang, apabila
defisit neurologik terjadi pada saat pascalahir maka resiko terjadinya bangkitan
ulang adalah 75% pada 12 bulan pertama dan 85% dalam 36 bulan pertama kecuali
bangkitan pertama yang terjadi pada saat terkena gangguan otak akut akan
mempunyai resiko 40% dalam 12 bulan pertama dan 36 bulan pertama untuk

terjadinya bangkitan ulang. Secara keseluruhan resiko untuk terjadinya bangkitan


ulang tidak konstan. Sebagian besar kasus menunjukan bangkitan ulang dalam
waktu 6 bulan pertama.
Perubahan bisa terjadi pada awal saat otak janin mulai berkembang, yakni
pada bulan pertama dan kedua kehamilan. Dapat pula diakibatkan adanya
gangguan pada ibu hamil muda seperti infeksi, demam tinggi, kurang gizi (malnutrisi)
yang bisa menimbulkan bekas berupa kerentanan untuk terjadinya kejang. Proses
persalinan yang sulit, persalinan kurang bulan atau telat bulan (serotinus)
mengakibatkan otak janin sempat mengalami kekurangan zat asam dan ini
berpotensi menjadi ''embrio'' epilepsi bahkan bayi yang tidak segera menangis saat
lahir atau adanya gangguan pada otak seperti infeksi/ radang otak dan selaput otak,
cedera karena benturan fisik/ trauma serta adanya tumor otak atau kelainan
pembuluh darah otak juga memberikan kontribusi terjadinya epilepsi.
Penyebab- penyebab kejang pada epilepsi
Bayi (0- 2 th) :

Hipoksia dan iskemia paranatal

Cedera lahir intrakranial

Infeksi akut

Gangguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia,


hipomagnesmia, defisiensi piridoksin)

Anak (2- 12 th) :

Remaja (12- 18 th) :

Dewasa Muda (18- 35 th) :

Malformasi kongenital

Gangguan genetic

Idiopatik

Infeksi akut

Trauma

Kejang demam

Idiopatik

Trauma

Gejala putus obat dan alcohol

Malformasi anteriovena

Trauma

Dewasa lanjut (> 35):

Alkoholisme

Tumor otak

Tumor otak

Penyakit serebrovaskular

Gangguan metabolik (uremia, gagal hepatik, dll )

Alkoholisme

1.4. Patofisiologi
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus
merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta
neuron. Pada hakekatnya tugas neuron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas
listrik saraf yang berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps
terdapat zat yang dinamakan neurotransmiter. Asetilkolin dan norepinerprine ialah
neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-butiric-acid)
bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps. Bangkitan
epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang dinamakan fokus
epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit
ke neron-neron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan
hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan
demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar
ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya
kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik
dapat merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya
akan menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian
akan terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.
Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel saraf,
sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi karena adanya
influx Na+ ke intraseluler. Jika natrium yang seharusnya banyak di luar membrane sel
itu masuk ke dalam membran sel sehingga menyebabkan ketidakseimbangan ion
yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu
homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron.
Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter
aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah
fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan
patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan

tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar
bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak
memicu kejang. Ditingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa
fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut:
1. Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami
pengaktifan.
2. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan
menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara
berlebihan.
3. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu
dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi
asam gama-aminobutirat (GABA).
4. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau
elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi
kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan
peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter
inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah
kejang sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat
hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis
meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000
per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan.
Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam
glutamat mungkin mengalami deplesi (proses berkurangnya cairan atau darah dalam
tubuh terutama karena pendarahan; kondisi yang diakibatkan oleh kehilangan cairan
tubuh berlebihan) selama aktivitas kejang.

Pathway
Faktor idiopatik

Trauma lahir, cedera kepala,


demam, gangguan metabolik,
tumor otak

Defisit
Lidah
melemah, dan
Ggn Persepsi
perawatan
Akumulasi
Ggnneuron
Perfusi
KU
Lemah,
Kebingungan,
Isolasi
Kerusakan
Kerusakan
depolarisasi
Asetilkolin
Ggn
polarisasi
Ggn
Bersihan
Suhu Tubuh/
menutup
saluran
GABA
zat
inhibitif
Ggn
peredaran
darah
Permeabilitas
Ggn
depolarisasi
(ke
listrikan
saraf)
Sensori
Stabilisasi membran sinaps
Kerusakan
berfikir
diri
ggn nervus
V, IX, X
KEJANG
Metabolisme
mucus
Aktifitas
otot
+
+
+
Jaringan
neuron
otak
Ansietas
Resti
Cidera
(zat
eksitatif)
(hypo/hiper
polarisasi)
Malas
bangun
trakea
Nafas
kapiler
Atonik
Ketidakseimbangan
Invlux
Na
Ketidak
Sederhana
Parsial
dlm
Na
seimbangan
intra
kesel
intraseluler
berlebihan
Komplex
ion
elektrolit
Na
& Jalan
K+
Kesadaran
Absen
Mioklonik
Ketidak
seimbangan
Umum
Tonik
neurotransmiter
klonik
Reflek
menelan
Pen Sosial
CO
Asfiksia
Keb
O2
Hipertermi

1.5. Gejala Klinis


1. Kehilangan kesadaran
2. Aktivitas motorik
1) Tonik klonik
2) Gerakan sentakan, tepukan atau menggarau
3)

Kontraksi singkat dan mendadak disekelompok otot

4) Kedipan kelopak mata


5) Sentakan wajah
6) Bibir mengecap ecap
7) Kepala dan mata menyimpang ke satu sisi
3. Fungsi pernafasan
1) Takipnea
2) Apnea
3) Kesulitan bernafas
4) Jalan nafas tersumbat
Sedangkan manifestasi klinik berdasarkan proses terjadinya keadaan epilepsi yang
dialami pada penderita gejala yang timbul berturut-turut meliputi di saat serangan:
1. Penyandang epilepsi tidak dapat bicara secara tiba-tiba
2. Kesadaran menghilang dan tidak mampu bereaksi terhadap rangsangan
3. Tidak

ada

respon

terhadap

rangsangan

baik

rangsang

pendengaran,

penglihatan, maupun rangsang nyeri


4. Badan tertarik ke segala penjuru
5. Kedua lengan dan tangannya kejang, sementara tungkainya menendangnendang
6. Gigi geliginya terkancing
7. Hitam bola mata berputar-putar
8. Dari mulut keluar busa
9. Napasnya sesak dan jantung berdebar. Raut mukanya pucat dan badannya
berlumuran keringat
10. Terkadang diikuti dengan buang air kecil. Manifestasi tersebut dimungkinkan
karena terdapat sekelompok sel-sel otak yang secara spontan, di luar kehendak,
tiba-tiba melepaskan muatan listrik

1.6. Pemeriksaan Diagnostik


1. CT Scan dan Magnetik resonance imaging (MRI) untuk mendeteksi lesi pada otak,
fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan degeneratif serebral. Epilepsi
simtomatik yang didasari oleh kerusakan jaringan otak yang tampak jelas pada CT
scan atau magnetic resonance imaging (MRI) maupun kerusakan otak yang tak jelas
tetapi dilatarbelakangi oleh masalah antenatal atau perinatal dengan defisit
neurologik yang jelas.
2. Elektroensefalogram(EEG) untuk mengklasifikasi tipe kejang, EEG sangat berperan
untuk menunjukkan fokus dari suatu kejang di area tertentu otak. Membedakan
kejang umum dan kejang parsial/fokal sangatlah penting oleh karena berkaitan
dengan pemilihan obat antikonvulsan terutama pada epilepsi.
3. Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.
1) Elektrolit (natrim dan kalium), ketidak seimbangan pada Na + dan K+ dapat
berpengaruh atau menjadi predisposisi pada aktivitas kejang
2) Glukosa, hipolegikemia dapat menjadi presipitasi (percetus) kejang
3) Ureum atau creatinin, meningkat dapat meningkatkan resiko timbulnya
aktivitas kejang atau mungkin sebagai indikasi nefrofoksik yang berhubungan
dengan pengobatan
4) Sel darah merah, anemia aplestin mungkin sebagai akibat dari therapy obat
5) Kadar obat pada serum : untuk membuktikan batas obat anti epilepsi yang
teurapetik
6) Fungsi lumbal, untuk mendeteksi tekanan abnormal, tanda infeksi,
perdarahan
7) Foto rontgen kepala, untuk mengidentifikasi adanya sel, fraktur
8) DET (Position Emission Hemography), mendemonstrasikan perubahan
metabolic.

1.7. Prognosis
Prognosis epilepsi bergantung pada beberapa hal, di antaranya jenis epilepsi
faktor penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat. Pada
umumnya prognosis epilepsi cukup menggembirakan. Pada 50-70% penderita
epilepsi serangan dapat dicegah dengan obat-obat, sedangkan sekitar 50 % pada
suatu waktu akan dapat berhenti minum obat. Serangan epilepsi primer, baik yang
bersifat kejang umum maupun serangan lena atau melamun atau absence
mempunyai prognosis terbaik. Sebaliknya epilepsi yang serangan pertamanya mulai
pada usia 3 tahun atau yang disertai kelainan neurologik dan atau retardasi mental
mempunyai prognosis relatif jelek.

1.8. Penatalaksanaan
1. Atasi penyebab dari kejang
2. Tersedia obat obat yang dapat mengurangi frekuensi kejang yang didalam
seseorang
1) Anti konvulson
2) Sedatif
3) Barbirorat
Obat yang dapat mencegah serangan epilepsy
1) fenitoin (difenilhidantoin)
2) karbamazepin
3) fenobarbital dan asam valproik
Dalam memberikan terapi anti epilepsi yang perlu diingat sasaran pengobatan
yang dicapai, yakni:
1) Pengobatan harus di berikan sampai penderita bebas serangan.
2) Pengobatan hendaknya tidak mengganggu fungsi susunan saraf pusat yang
normal.
3) Penderita dapat memiliki kualitas hidup yang optimal.

3. Operasi dengan reseksi bagian yang mudah terangsang


4. Menanggulangi kejang epilepsy
1) Selama kejang
(1) Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin
tahu
(2) Mengamankan pasien di lantai jika memungkinkan
(3) Hindarkan benturan kepala atau bagian tubuh lainnya dari bendar keras,
tajam atau panas. Jauhkan ia dari tempat / benda berbahaya.
(4) Longgarkan baju . Bila mungkin, miringkan kepalanya kesamping untuk
mencegah lidahnya menutupi jalan pernapasan.
(5) Biarkan kejang berlangsung. Jangan memasukkan benda keras diantara
giginya, karena dapat mengakibatkan gigi patah. Untuk mencegah gigi
klien melukai lidah, dapat diselipkan kain lunak disela mulut penderita tapi
jangan sampai menutupi jalan pernapasannya.
(6) Ajarkan penderita untuk mengenali tanda2 awal munculnya epilepsi atau
yg biasa disebut "aura". Aura ini bisa ditandai dengan sensasi aneh

seperti perasaan bingung, melayang2, tidak fokus pada aktivitas,


mengantuk, dan mendengar bunyi yang melengking di telinga. Jika
Penderita mulai merasakan aura, maka sebaiknya berhenti melakukan
aktivitas apapun pada saat itu dan anjurkan untuk langsung beristirahat
atau tidur.
(7) Bila serangan berulang-ulang dalam waktu singkat atau penyandang
terluka berat, bawa ia ke dokter atau rumah sakit terdekat.
2) Setelah kejang
(1) Penderita akan bingung atau mengantuk setelah kejang terjadi.
(2) Pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi.
Yakinkan bahwa jalan napas paten.
(3) Biasanya terdapat periode ekonfusi setelah kejang grand mal
(4) Periode apnea pendek dapat terjadi selama atau secara tiba- tiba setelah
kejang
(5) Pasien pada saaat bangun, harus diorientasikan terhadap lingkungan
(6) Beri penderita minum untuk mengembalikan energi yg hilang selama
kejang dan biarkan penderita beristirahat.
(7) Jika pasien mengalami serangan berat setelah kejang (postiktal), coba
untuk menangani situasi dengan pendekatan yang lembut dan member
restrein yang lembut
(8) Laporkan adanya serangan pada kerabat terdekatnya. Ini penting untuk
pemberian pengobatan oleh dokter.

2. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


2.1. Pengkajian

1. Identitas
Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa,alamat,
tanggal masuk rumah sakit, nomor register, tanggal pengkajian dan diagnosa
medis.
2. Keluhan utama
Merupakan kebutuhan yang mendorong penderita untuk masuk RS. Pasien
sering mangalami kejang.
3. Riwayat penyakit sekarang
Merupakan riwayat klien saat ini meliputi keluhan, sifat dan hebatnya keluhan,
mulai timbul. Biasanya ditandai dengan anak mulai rewel, kelihatan pucat,
demam, anemia, terjadi pendarahan (pendarah gusi dan memar tanpa sebab),
kelemahan. nyeri tulang atau sendi dengan atau tanpa pembengkakan.
4. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat penyakit sebelumnya yang berhubungan dengan keadaan
penyakit sekarang perlu ditanyakan.
5. Riwayat kehamilan dan kelahiran.
Dalam hal ini yang dikaji meliputi riwayat prenatal, natal dan post natal. Dalam
riwayat prenatal perlu diketahui penyakit apa saja yang pernah diderita oleh ibu.
Riwayat natal perlu diketahui apakah bayi lahir dalam usia kehamilan aterm atau
tidak karena mempengaruhi sistem kekebalan terhadap penyakit pada anak.
Trauma persalinan juga mempengaruhi timbulnya penyakit contohnya aspirasi
ketuban untuk anak. Riwayat post natal diperlukan untuk mengetahui keadaan
anak setelah kelahariran dan pertumbuhan dan perkembanagannya.
6. Riwayat penyakit keluarga
Merupakan gambaran kesehatan keluarga, apakah ada kaitannya dengan
penyakit yang dideritanya. Pada keadaan ini status kesehatan keluarga perlu
diketahui, apakah ada yang menderita gangguan hematologi, adanya faktor
hereditas misalnya kembar monozigot.
Observasi dan pengkajian selama dan setelah kejang akan membantu dalam
mengindentifikasi tipe kejang dan penatalaksanaannya
1) Selama serangan:
(1) Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan.

(2) Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena.


(3) Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai.
(4) Apakah disertai komponen motorik seperti kejang tonik, kejang klonik,
kejang tonik-klonik, kejang mioklonik, kejang atonik.
(5) Apakah pasien menggigit lidah.
(6) Apakah mulut berbuih.
(7) Apakah ada inkontinen urin.
(8) Apakah bibir atau muka berubah warna.
(9) Apakah mata atau kepala menyimpang pada satu posisi.
(10)

Berapa lama gerakan tersebut, apakah lokasi atau sifatnya berubah

pada satu sisi atau keduanya.


2) Sesudah serangan:
(1) Apakah pasien: letargi , bingung, sakit kepala, otot-otot sakit, gangguan
bicara
(2) Apakah ada perubahan dalam gerakan.
(3) Sesudah serangan apakah pasien masih ingat apa yang terjadi sebelum,
selama dan sesudah serangan.
(4) Apakah terjadi perubahan tingkat kesadaran, pernapasan atau frekuensi
denyut jantung.
(5) Evaluasi kemungkinan terjadi cedera selama kejang.
3) Riwayat sebelum serangan
(1) Apakah ada gangguan tingkah laku, emosi
(2) Apakah disertai aktivitas otonomik yaitu berkeringat, jantung berdebar.
(3) Apakah ada aura yang mendahului serangan, baik sensori, auditorik,
olfaktorik maupun visual.
4) Riwayat Penyakit
(1) Sejak kapan serangan terjadi.
(2) Pada usia berapa serangan pertama.
(3) Frekuensi serangan.
(4) Apakah ada keadaan yang mempresipitasi serangan, seperti demam,
kurang tidur, keadaan emosional.
(5) Apakah penderita pernah menderita sakit berat, khususnya yang disertai
dengan gangguan kesadaran, kejang-kejang.
(6) Apakah pernah menderita cedera otak, operasi otak
(7) Apakah makan obat-obat tertentu
(8) Apakah ada riwayat penyakit yang sama dalam keluarga

7. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum dan Tingkat kesadaran pasien
2) Sirkulasi
Gejala : palpitasi.
Tanda : Takikardi, membrane mukosa pucat.
3) Penglihatan (mata)
Perubahan pada posisi bola mata, dan perubahan pupil
4) Makanan / cairan
Gejala : anoreksia, muntah, penurunan BB, disfagia.
Tanda : distensi abdomen, penurunan bunyi usus, perdarahan pada gusi
5) Ekstremitas:
Adanya kelemahan otot ekstremitas, distrosia osteo atau tidak
6) Integritas ego
Gejala : perasaan tidak berdaya / tidak ada harapan.
Tanda : depresi, ansietas, marah.
7) Neurosensori
Gejala : penurunan koordinasi, kacau, disorientasi, kurang konsentrasi,
pusing.
Tanda : aktivitas kejang, otot mudah terangsang.
8) Nyeri / kenyamanan
Gejala : nyeri abdomen, sakit kepala, nyeri tulang / sendi, kram otot.
Tanda : gelisah, distraksi.
9) Pernafasan
Gejala : nafas pendek dengan kerja atau gerak minimal, akumulasi cairan.
Tanda : dispnea, apnea, batuk
Selain itu juga dilakukan pemeriksaan 6B, yaitu:
1) B1 (Breathing)
Inspeksi apakah klien batuk, produksi sputum, sesak napas dan peningkatan
frekuensi pernapasan yang sering didapatkan pada klien epilepsi disertai
adanya gangguan pada sistem pernapasan.
2) B2 (Blood)
Pengkajian pad asitem kardiovaskuler terutama dilakukan pada klien epilepsi
tahap lanjut apabila klien sudah mengalami syok.
3) B3 (Brain)

Peningkatan B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap


dibandingkan pengkaian pada sistem lainnya.
Tingkat kesadaran: Tingkat kesadaran klien dan respons terhadap lingkungan
adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem persarafan.
Fungsi serebral, Status mental: observasi penampilan dan tingkah laku klien,
nilai gaya bicara dan observasi ekspresi wajah, aktifitas motorik pada klien
epilepsi tahap lanjut biasanya mengalami perubahan status mental seperti
adanya gangguan perilaku, alam perasaan, dan persepsi.
4) B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada sitem kemih biasanya didapatkan berkurangnya volume
output urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan
curah jantung keginjal.
5) B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam
lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien epilepsi menurun karena anoreksia
dan adanya kejang.
6) B6 (Bone)
Pada fase akut setelah kejang sering didapatkan adanya penurunan
kekuatan otot dan kelemahan fisik secara umum sehingga mengganggu
aktifitas perawatan diri.

2.2. Diagnosa Keperawatan


1. Resiko

cedera

b.d

aktivitas

kejang

yang

tidak

terkontrol

(gangguan

keseimbangan).
2. Gangguan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di
endotrakea, peningkatan sekresi saliva
3. Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk
penyakit epilepsi dalam masyarakat
4. Gangguan peningkatan suhu tubuh/hipertermi b.d peningkatan metabolisme
5. Defisit perawatan diri b.d kelemahan, kebingungan, malas bangun sekunder
respons pasca kejang (postikal).
6. Gangguan persepsi sensori b.d gangguan pada nervus organ sensori persepsi
7. Ansietas b.d kurang pengetahuan mengenai penyakit
8. Resiko gangguan perfusi jaringan serebral b.d penurunan suplai oksigen ke otak

2.3. Rencana Keperawatan

1. Diagnosa 1. Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan
keseimbangan).
Tujuan :
Setelah diberikan Asuhan Keperrawatan selama diharapkan Klien dapat
mengidentifikasi

faktor

presipitasi

serangan

dan

dapat

meminimalkan/menghindarinya, menciptakan keadaan yang aman untuk klien,


menghindari adanya cedera fisik, menghindari jatuh
Kriteria hasil :
Tidak terjadi cedera fisik pada klien, klien dalam kondisi aman, tidak ada memar,
tidak jatuh.
Intervensi:
1) Identivikasi factor lingkungan yang memungkinkan resiko terjadinya cedera
R:/ Barang- barang di sekitar pasien dapat membahayakan saat terjadi
kejang
2) Pantau status neurologis setiap 8 jam
R:/

Mengidentifikasi

perkembangan

atau

penyimpangan

hasil

yang

diharapkan
3) Jauhkan benda- benda yang dapat mengakibatkan terjadinya cedera pada
pasien saat terjadi kejang
R:/ Mengurangi terjadinya cedera seperti akibat aktivitas kejang yang tidak
terkontrol
4) Pasang penghalang tempat tidur pasien
R:/ Penjagaan untuk keamanan, untuk mencegah cidera atau jatuh
5) Letakkan pasien di tempat yang rendah dan datar
R:/ Area yang rendah dan datar dapat mencegah terjadinya cedera pada
pasien
6) Tinggal bersama pasien dalam waktu beberapa lama setelah kejang
R:/ Memberi penjagaan untuk keamanan pasien untuk kemungkinan terjadi
kejang kembali
7) Siapkan kain lunak untuk mencegah terjadinya tergigitnya lidah saat terjadi
kejang
R:/ Lidah berpotensi tergigit saat kejang karena menjulur keluar
8) Tanyakan pasien bila ada perasaan yang tidak biasa yang dialami beberapa
saat sebelum kejang
R:/ Untuk mengidentifikasi manifestasi awal sebelum terjadinya kejang pada
pasien

9) Anjurkan pasien untuk memberi tahu jika merasa ada sesuatu yang tidak
nyaman, atau mengalami sesuatu yang tidak biasa sebagai permulaan
terjadinya kejang.
R:/ Sebagai informasi pada perawat untuk segera melakukan tindakan
sebelum terjadinya kejang berkelanjutan
10) Berikan informasi pada keluarga tentang tindakan yang harus dilakukan
selama pasien kejang
R:/ Melibatkan keluarga untuk mengurangi resiko cedera
11) Berikan obat anti konvulsan sesuai advice dokter
R:/

Mengurangi aktivitas

kejang

yang berkepanjangan,

yang

dapat

mengurangi suplai oksigen ke otak


2. Diagnosa 2.

Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan

sumbatan lidah di endotrakea, peningkatan sekresi saliva


Tujuan:
Setelah diberikan Asuhan Keperrawatan selama diharapkan Jalan nafas
menjadi efektif
Kriteria hasil:
Nafas normal (16-20 kali/ menit), tidak terjadi aspirasi, tidak ada dispnea
Intervensi:
1) Anjurkan klien untuk mengosongkan mulut dari benda / zat tertentu / gigi
palsu atau alat yang lain jika fase aura terjadi dan untuk menghindari rahang
mengatup jika kejang terjadi tanpa ditandai gejala awal.
R:/ Menurunkan resiko aspirasi atau masuknya sesuatu benda asing ke
faring.
2) Letakkan pasien dalam posisi miring, permukaan datar
R:/ Meningkatkan aliran (drainase) sekret, mencegah lidah jatuh dan
menyumbat jalan nafas
3) Tanggalkan pakaian pada daerah leher / dada dan abdomen
R:/ Untuk memfasilitasi usaha bernafas / ekspansi dada
4) Lakukan suction sesuai indikasi
R:/ Mengeluarkan mukus yang berlebih, menurunkan resiko aspirasi atau
asfiksia.
5) Berikan oksigen sesuai program terapi
R:/ Membantu memenuhi kebutuhan oksigen agar tetap adekuat, dapat
menurunkan hipoksia serebral sebagai akibat dari sirkulasi yang menurun
atau oksigen sekunder terhadap spasme vaskuler selama serangan kejang.

3. Diagnosa 3. Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma
buruk penyakit epilepsi dalam masyarakat
Tujuan:
Setelah diberikan Asuhan Keperawatan selama diharapkan Mengurangi
rendah diri pasien
Kriteria hasil:
1) Adanya interaksi pasien dengan lingkungan sekitar
2) Menunjukkan adanya partisipasi pasien dalam lingkungan masyarakat
Intervensi:
1) Identifikasi dengan pasien, factor- factor yang berpengaruh pada perasaan
isolasi sosial pasien
R:/ Memberi informasi pada perawat tentang factor yang menyebabkan
isolasi sosial pasien
2) Memberikan dukungan psikologis dan motivasi pada pasien
R:/ Dukungan psikologis dan motivasi dapat membuat pasien lebih percaya
diri
3) Kolaborasi dengan tim psikiater
R:/ Konseling dapat membantu mengatasi perasaan terhadap kesadaran diri
sendiri.
4) Rujuk pasien/ orang terdekat pada kelompok penyokong, seperti yayasan
epilepsi dan sebagainya.
R:/ Memberikan kesempatan untuk mendapatkan informasi, dukungan ideide untuk mengatasi masalah dari orang lain yang telah mempunyai
pengalaman yang sama.
5) Anjurkan keluarga untuk memberi motivasi kepada pasien
R:/ Keluarga sebagai orang terdekat pasien, sangat mempunyai pengaruh
besar dalam keadaan psikologis pasien
6) Beri informasi pada keluarga dan teman dekat pasien bahwa penyakit
epilepsi tidak menular
R:/ Menghilangkan stigma buruk terhadap penderita epilepsi (bahwa penyakit
epilepsi dapat menular).

4. Diagnosa 4. Gangguan peningkatan suhu tubuh/hipertermi b.d peningkatan


metabolisme
Tujuan:
setelah diberikan asuhan keperawatan selama ... diharapkan suhu tubuh pasien
kembali normal
kriteria hasil:
1) Pasien mengatakan tidak demam
2) Pasien tidak menggigil
3) Suhu tubuh dalam batas normal (36,5 - 37,5

Intervensi:
1) Observasi tanda tanda vital terutama suhu tubuh
2) R:/

peningkatan

suhu

tubuh

menandakan

terjadinya

peningkatan

metabolisme
3) Berikan kompres air hangat
R:/ Air hangat membantu peningkatan vasodilatasi pembuluh darah dan
membuka pori pori kulit agar mempercepat proses pengeluaran keringat
sehingga dapat menurunkan suhu tubuh.
4) Anjurkan banyak minum
R:/ untuk mencegah terjadinya dehidrasi karena pengeluaran keringat.
5) Kolaborasi dalam pemberian obat antipiretik
R:/ Antipiretik membatu mempercepat menurunkan panas
5. Diagnosa

5.

Defisit

perawatan

diri

berhubungan

dengan

kelemahan,

kebingungan, malas bangun sekunder respons pasca kejang (postikal).


Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama diharapkan klien mampu
memenuhi ADL secara mandiri
Kriteri hasil:
1) Klien mampu makan/minum secara mandiri
2) Klien mampu berpakaian secara mandiri
3) Klien mampu beraktifitas secara bertahap
Intervensi:
1) Observasi tanda-tanda vital klien
R:/ tanda tanda vital menunjukkan keadaan umum klien
2) Berikan bantuan seminimal mungkin untuk memenuhi ADL klien
R:/ untuk memenuhi kebutuhan ADL klien

3) Motivasi klien agar mau melakukan latihan gerak secara bertahap, misalnya
miring kanan/kiri.
R:/ Agar klien mampu melakukan latihan gerak secara bertahap dan mampu
beraktifitas secara andiri.
4) Kolaborasi dengan ahli gizidalam pemenuhan nutrisi klien
R:/ Untuk memenuhi kebutuhan nutrisi klien.
6. Diagnosa 6. Gangguan persepsi sensori b.d gangguan pada nervus organ
sensori persepsi
Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama diharapkan organ sensori
dapat menerima stimulus dan menginterpretasikan dengan normal
Kriteri hasil:
1) Klien dapat mengenal lingkungan di sekitarnya
2) Klien tidak mengalami disorientasi ruang, waktu, tempat
Intervensi:
1) Observasi atau validasi persepsi pasien dan berikan umpan balik,
orientasikan kembali pasien secara teratur pada lingkungan, dan tindakan
yang akan dilakukan
R:/ Membantu pasien untuk memisahkan pada realitas dari perubahan
persepsi, gangguan fungsi kognitif yang dapat menjadi potensi timbulnya
disorientasi dan ansietas.
2) Buat jadwal istirahat yang adekuat/periode tidur tanpa ada gangguan
R:/ Mengurangi kelelahan, mencegah kejenuhan, memberikan kesempatan
untuk tidur REM (ketidakadaan tidur REM ini dapat meningkatkan gangguan
persepsi sensori)
3) Berikan kesempatan yang lebih banyak untuk berkomunikasi dan melakukan
aktivitas.
R:/ Agar dapat melatih klien utuk berinteraksi dengan lingkungan sehingga
dapat meningkatkan rangsangan persepsi sensori klien
4) Kolaborasi dengan ahli fisioterapi
R:/ Kolaborasi dengan ahli fisioterapi dapat membantu klien dalam melatih
persepsi sensori

7. Diagnosa 7. Ansietas b.d kurang pengetahuan mengenai penyakit.


Tujuan
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama diharapkan klien tidak merasa
cemas
Kriteri hasil:
1) Klien tidak bertanya tanya tentang penyakitnya
2) Klien memahami kondisinya saat ini
3) Klien tidak gelisah
Intervensi
1) Observasi tanda-tanda vital klien
R:/ tanda tanda vital menunjukkan keadaan umum klien
2) Berikan penjelasan tentang proses terjadinya penyakit
R:/ memberikan tambahan pengetahuan tentang kondisi yang dialami klien
8. Diagnosa 8. Resiko gangguan perfusi jaringan serebral b.d penurunan suplai
oksigen ke otak
Tujuan
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama diharapkan tidak terjadi
ganggua perfusi jaringan.
Kriteria hasil:
1) Tidak terjadi gangguan perfusi jaringan
2) TTV dalam batas normal (Suhu: 36-37C, Nadi:70-80x/menit, Respirasi 1620x/menit, TD: 120/80mmHg).
3) Kesadaran pasien kembali seperti sebelum sakit.
4) Gelisah hilang/berkurang.
5) Ingatanya kembali seperti sebelum sakit.
Intervensi
1) Pantau status neurologis dengan teratur dan bandingkan dengan keadaan
normalnya seperti GCS.
R:/ Agar dapat mengetahui adanya perubahan tingkat kesadaran dan potensi
peningkatan TIK.
2) Pantau frekuensi dan irama jantung
R:/ Perubahan pada frekuensi dan disritmia dapat terjadi yang mencerminkan
trauma atau tekanan batang otak tentang ada tidaknya penyakit yang diderita
3) Pantau suhu juga atur suhu lingkungan sesuai kebutuhan. Batasi
penggunaan selimut dan lakukan kompres hangat jika terjadi demam .

R:/ Demam biasanya berhubungan dengan proses inflamasi tetapi mungkin


merupakan komplikasi dari kerusakan pada hipotalamus.
4) Pantau masukan dan pengeluaran, catat karakteristik urin, tugor kulit dan
keadaan membrane mukosa
R:/ Hipertermi meningkatkan kehilangan air dan meningkatkan resiko
dehidrasi, terutama jika tingkat kesadaran menurun.
5) Kolaborasi pemberian obat golongan steroid sesuai indikasi
R:/ Dapat menurunkan permebilitas kapiler untuk membatasi pembentukan
edema, mengatasi menggigil yang dapat meningkatkan TIK, menurunkan
metabolism seluler/ menurunkan konsumsi oksigen.

2.4. Implementasi
Implementasi atau pelaksanaan tindakan keperawatan ini dilakukan setelah
menyusun rencana keperawatan sebelumnya dan disesuaikan dengan intervensi
keperawatan yang telah di rencanakan

2.5. Evaluasi
1. Pasien tidak mengalami cedera, tidak jatuh, tidak ada memar
2. Tidak ada obstruksi lidah, pasien tidak mengalami apnea dan aspirasi
3. Pasien dapat berinteraksi kembali dengan lingkungan sekitar, pasien tidak
menarik diri (minder)
4. suhu tubuh pasien kembali normal
5. klien mampu memenuhi ADL secara mandiri
6. Organ sensori dapat menerima stimulus dan menginterpretasikan dengan
normal
7. Ansietas pasien dan keluarga berkurang, pasien tampak tenang
8. Tidak terjadi gangguan perfusi jaringan.

DAFTAR PUSTAKA
Brunner and Sudarth, 2002. Buku ajar keperawatan medikal-bedah. Jakarta ; EGC
Doenges, marilynn E. 2000. Rencana asuhan keperawatan. Jakarta, EGC
Ginsberg, L., 2005. Lecture Notes Neurologi. 8th ed.Indonesia: Penerbit Erlangga:72-75.
Nurarif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma.2015.Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc Jilid 3.Jogjakarta:Mediaction Jogja.
Masjoer, Arief.2000.Kapita Selekta kedokteran, Edisi 3 Jild 2. Jakarta : Media Aesculaplus.
Muttaqin, Arif.2008.Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan.Jakarta: Salemba Medika.
Tarwoto. 2007. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Persarafan.Jakarta: CV.
Sagung Seto.

You might also like