Professional Documents
Culture Documents
1.2. Klasifikasi
Epilepsi diklasifikasikan menjadi dua pokok umum, yaitu klasifikasi epilepsi
dengan sindrom epilepsi dan klasifikasi berdasarkan tipe kejang.
2. Simtomatik: bila ada penyebabnya, letak fokus pada pada semua lobus
otak
(4) Postural: epilepsi disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam
sikap tertentu
(5) Disertai gangguan fonasi: epilepsi disertai arus bicara yang
terhenti atau pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu
Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial (epilepsi disertai
halusinasi sederhana yang mengenai kelima panca indera dan
bangkitan yang disertai vertigo).
(1) Somatosensoris: timbul rasa kesemutan atau seperti ditusuk-tusuk
jarum.
(2) Visual: terlihat cahaya
(3) Auditoris: terdengar sesuatu
(4) Olfaktoris: terhidu sesuatu
(5) Gustatoris: terkecap sesuatu
(6) Disertai vertigo
Dengan
gejala
atau
tanda
gangguan
saraf
otonom
(sensasi
1.3. Etiologi
Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui (idiopatik), sering
terjadi pada:
1. Trauma lahir, asphyxia neonatorum
2. Cedera Kepala, infeksi sistem syaraf
3. Keracunan CO, intoksikasi obat/alcohol
4. Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
5. Tumor otak
6. Kelainan pembuluh darah (Tarwoto, 2007).
Faktor etiologi berpengaruh terhadap penentuan prognosis. Penyebab utama
ialah epilepsi idopatik, Remote Simtomatik Epilepsi (RSE), epilepsi simtomatik akut
dan epilepsi pada anak-anak yang didasari oleh kerusakan otak pada saat peri- atau
antenatal. Dalam klasifikasi tersebut ada dua jenis epilepsi menonjol, ialah epilepsi
idiopatik dan RSE dari kedua tersebut terdapat banyak etiologi dan sindrom yang
berbeda, masing-masing dengan prognosis yang baik dan yang buruk.
Dipandang dari kemungkinan terjadinya bangkitan ulang pasca-awitan,
definisi neurologik dalam kaitannya dengan umur saat awitan mempunyai nilai
prediksi yaitu apabila pada saat lahir telah terjadi defisit neurologik maka dalam
waktu 12 bulan pertama seluruh kasus akan mengalami bangkitan ulang, apabila
defisit neurologik terjadi pada saat pascalahir maka resiko terjadinya bangkitan
ulang adalah 75% pada 12 bulan pertama dan 85% dalam 36 bulan pertama kecuali
bangkitan pertama yang terjadi pada saat terkena gangguan otak akut akan
mempunyai resiko 40% dalam 12 bulan pertama dan 36 bulan pertama untuk
Infeksi akut
Malformasi kongenital
Gangguan genetic
Idiopatik
Infeksi akut
Trauma
Kejang demam
Idiopatik
Trauma
Malformasi anteriovena
Trauma
Alkoholisme
Tumor otak
Tumor otak
Penyakit serebrovaskular
Alkoholisme
1.4. Patofisiologi
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus
merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta
neuron. Pada hakekatnya tugas neuron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas
listrik saraf yang berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps
terdapat zat yang dinamakan neurotransmiter. Asetilkolin dan norepinerprine ialah
neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-butiric-acid)
bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps. Bangkitan
epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang dinamakan fokus
epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit
ke neron-neron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan
hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan
demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar
ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya
kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik
dapat merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya
akan menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian
akan terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.
Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel saraf,
sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi karena adanya
influx Na+ ke intraseluler. Jika natrium yang seharusnya banyak di luar membrane sel
itu masuk ke dalam membran sel sehingga menyebabkan ketidakseimbangan ion
yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu
homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron.
Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter
aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah
fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan
patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan
tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar
bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak
memicu kejang. Ditingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa
fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut:
1. Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami
pengaktifan.
2. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan
menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara
berlebihan.
3. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu
dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi
asam gama-aminobutirat (GABA).
4. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau
elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi
kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan
peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter
inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah
kejang sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat
hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis
meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000
per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan.
Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam
glutamat mungkin mengalami deplesi (proses berkurangnya cairan atau darah dalam
tubuh terutama karena pendarahan; kondisi yang diakibatkan oleh kehilangan cairan
tubuh berlebihan) selama aktivitas kejang.
Pathway
Faktor idiopatik
Defisit
Lidah
melemah, dan
Ggn Persepsi
perawatan
Akumulasi
Ggnneuron
Perfusi
KU
Lemah,
Kebingungan,
Isolasi
Kerusakan
Kerusakan
depolarisasi
Asetilkolin
Ggn
polarisasi
Ggn
Bersihan
Suhu Tubuh/
menutup
saluran
GABA
zat
inhibitif
Ggn
peredaran
darah
Permeabilitas
Ggn
depolarisasi
(ke
listrikan
saraf)
Sensori
Stabilisasi membran sinaps
Kerusakan
berfikir
diri
ggn nervus
V, IX, X
KEJANG
Metabolisme
mucus
Aktifitas
otot
+
+
+
Jaringan
neuron
otak
Ansietas
Resti
Cidera
(zat
eksitatif)
(hypo/hiper
polarisasi)
Malas
bangun
trakea
Nafas
kapiler
Atonik
Ketidakseimbangan
Invlux
Na
Ketidak
Sederhana
Parsial
dlm
Na
seimbangan
intra
kesel
intraseluler
berlebihan
Komplex
ion
elektrolit
Na
& Jalan
K+
Kesadaran
Absen
Mioklonik
Ketidak
seimbangan
Umum
Tonik
neurotransmiter
klonik
Reflek
menelan
Pen Sosial
CO
Asfiksia
Keb
O2
Hipertermi
ada
respon
terhadap
rangsangan
baik
rangsang
pendengaran,
1.7. Prognosis
Prognosis epilepsi bergantung pada beberapa hal, di antaranya jenis epilepsi
faktor penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat. Pada
umumnya prognosis epilepsi cukup menggembirakan. Pada 50-70% penderita
epilepsi serangan dapat dicegah dengan obat-obat, sedangkan sekitar 50 % pada
suatu waktu akan dapat berhenti minum obat. Serangan epilepsi primer, baik yang
bersifat kejang umum maupun serangan lena atau melamun atau absence
mempunyai prognosis terbaik. Sebaliknya epilepsi yang serangan pertamanya mulai
pada usia 3 tahun atau yang disertai kelainan neurologik dan atau retardasi mental
mempunyai prognosis relatif jelek.
1.8. Penatalaksanaan
1. Atasi penyebab dari kejang
2. Tersedia obat obat yang dapat mengurangi frekuensi kejang yang didalam
seseorang
1) Anti konvulson
2) Sedatif
3) Barbirorat
Obat yang dapat mencegah serangan epilepsy
1) fenitoin (difenilhidantoin)
2) karbamazepin
3) fenobarbital dan asam valproik
Dalam memberikan terapi anti epilepsi yang perlu diingat sasaran pengobatan
yang dicapai, yakni:
1) Pengobatan harus di berikan sampai penderita bebas serangan.
2) Pengobatan hendaknya tidak mengganggu fungsi susunan saraf pusat yang
normal.
3) Penderita dapat memiliki kualitas hidup yang optimal.
1. Identitas
Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa,alamat,
tanggal masuk rumah sakit, nomor register, tanggal pengkajian dan diagnosa
medis.
2. Keluhan utama
Merupakan kebutuhan yang mendorong penderita untuk masuk RS. Pasien
sering mangalami kejang.
3. Riwayat penyakit sekarang
Merupakan riwayat klien saat ini meliputi keluhan, sifat dan hebatnya keluhan,
mulai timbul. Biasanya ditandai dengan anak mulai rewel, kelihatan pucat,
demam, anemia, terjadi pendarahan (pendarah gusi dan memar tanpa sebab),
kelemahan. nyeri tulang atau sendi dengan atau tanpa pembengkakan.
4. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat penyakit sebelumnya yang berhubungan dengan keadaan
penyakit sekarang perlu ditanyakan.
5. Riwayat kehamilan dan kelahiran.
Dalam hal ini yang dikaji meliputi riwayat prenatal, natal dan post natal. Dalam
riwayat prenatal perlu diketahui penyakit apa saja yang pernah diderita oleh ibu.
Riwayat natal perlu diketahui apakah bayi lahir dalam usia kehamilan aterm atau
tidak karena mempengaruhi sistem kekebalan terhadap penyakit pada anak.
Trauma persalinan juga mempengaruhi timbulnya penyakit contohnya aspirasi
ketuban untuk anak. Riwayat post natal diperlukan untuk mengetahui keadaan
anak setelah kelahariran dan pertumbuhan dan perkembanagannya.
6. Riwayat penyakit keluarga
Merupakan gambaran kesehatan keluarga, apakah ada kaitannya dengan
penyakit yang dideritanya. Pada keadaan ini status kesehatan keluarga perlu
diketahui, apakah ada yang menderita gangguan hematologi, adanya faktor
hereditas misalnya kembar monozigot.
Observasi dan pengkajian selama dan setelah kejang akan membantu dalam
mengindentifikasi tipe kejang dan penatalaksanaannya
1) Selama serangan:
(1) Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan.
7. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum dan Tingkat kesadaran pasien
2) Sirkulasi
Gejala : palpitasi.
Tanda : Takikardi, membrane mukosa pucat.
3) Penglihatan (mata)
Perubahan pada posisi bola mata, dan perubahan pupil
4) Makanan / cairan
Gejala : anoreksia, muntah, penurunan BB, disfagia.
Tanda : distensi abdomen, penurunan bunyi usus, perdarahan pada gusi
5) Ekstremitas:
Adanya kelemahan otot ekstremitas, distrosia osteo atau tidak
6) Integritas ego
Gejala : perasaan tidak berdaya / tidak ada harapan.
Tanda : depresi, ansietas, marah.
7) Neurosensori
Gejala : penurunan koordinasi, kacau, disorientasi, kurang konsentrasi,
pusing.
Tanda : aktivitas kejang, otot mudah terangsang.
8) Nyeri / kenyamanan
Gejala : nyeri abdomen, sakit kepala, nyeri tulang / sendi, kram otot.
Tanda : gelisah, distraksi.
9) Pernafasan
Gejala : nafas pendek dengan kerja atau gerak minimal, akumulasi cairan.
Tanda : dispnea, apnea, batuk
Selain itu juga dilakukan pemeriksaan 6B, yaitu:
1) B1 (Breathing)
Inspeksi apakah klien batuk, produksi sputum, sesak napas dan peningkatan
frekuensi pernapasan yang sering didapatkan pada klien epilepsi disertai
adanya gangguan pada sistem pernapasan.
2) B2 (Blood)
Pengkajian pad asitem kardiovaskuler terutama dilakukan pada klien epilepsi
tahap lanjut apabila klien sudah mengalami syok.
3) B3 (Brain)
cedera
b.d
aktivitas
kejang
yang
tidak
terkontrol
(gangguan
keseimbangan).
2. Gangguan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di
endotrakea, peningkatan sekresi saliva
3. Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk
penyakit epilepsi dalam masyarakat
4. Gangguan peningkatan suhu tubuh/hipertermi b.d peningkatan metabolisme
5. Defisit perawatan diri b.d kelemahan, kebingungan, malas bangun sekunder
respons pasca kejang (postikal).
6. Gangguan persepsi sensori b.d gangguan pada nervus organ sensori persepsi
7. Ansietas b.d kurang pengetahuan mengenai penyakit
8. Resiko gangguan perfusi jaringan serebral b.d penurunan suplai oksigen ke otak
1. Diagnosa 1. Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan
keseimbangan).
Tujuan :
Setelah diberikan Asuhan Keperrawatan selama diharapkan Klien dapat
mengidentifikasi
faktor
presipitasi
serangan
dan
dapat
Mengidentifikasi
perkembangan
atau
penyimpangan
hasil
yang
diharapkan
3) Jauhkan benda- benda yang dapat mengakibatkan terjadinya cedera pada
pasien saat terjadi kejang
R:/ Mengurangi terjadinya cedera seperti akibat aktivitas kejang yang tidak
terkontrol
4) Pasang penghalang tempat tidur pasien
R:/ Penjagaan untuk keamanan, untuk mencegah cidera atau jatuh
5) Letakkan pasien di tempat yang rendah dan datar
R:/ Area yang rendah dan datar dapat mencegah terjadinya cedera pada
pasien
6) Tinggal bersama pasien dalam waktu beberapa lama setelah kejang
R:/ Memberi penjagaan untuk keamanan pasien untuk kemungkinan terjadi
kejang kembali
7) Siapkan kain lunak untuk mencegah terjadinya tergigitnya lidah saat terjadi
kejang
R:/ Lidah berpotensi tergigit saat kejang karena menjulur keluar
8) Tanyakan pasien bila ada perasaan yang tidak biasa yang dialami beberapa
saat sebelum kejang
R:/ Untuk mengidentifikasi manifestasi awal sebelum terjadinya kejang pada
pasien
9) Anjurkan pasien untuk memberi tahu jika merasa ada sesuatu yang tidak
nyaman, atau mengalami sesuatu yang tidak biasa sebagai permulaan
terjadinya kejang.
R:/ Sebagai informasi pada perawat untuk segera melakukan tindakan
sebelum terjadinya kejang berkelanjutan
10) Berikan informasi pada keluarga tentang tindakan yang harus dilakukan
selama pasien kejang
R:/ Melibatkan keluarga untuk mengurangi resiko cedera
11) Berikan obat anti konvulsan sesuai advice dokter
R:/
Mengurangi aktivitas
kejang
yang berkepanjangan,
yang
dapat
3. Diagnosa 3. Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma
buruk penyakit epilepsi dalam masyarakat
Tujuan:
Setelah diberikan Asuhan Keperawatan selama diharapkan Mengurangi
rendah diri pasien
Kriteria hasil:
1) Adanya interaksi pasien dengan lingkungan sekitar
2) Menunjukkan adanya partisipasi pasien dalam lingkungan masyarakat
Intervensi:
1) Identifikasi dengan pasien, factor- factor yang berpengaruh pada perasaan
isolasi sosial pasien
R:/ Memberi informasi pada perawat tentang factor yang menyebabkan
isolasi sosial pasien
2) Memberikan dukungan psikologis dan motivasi pada pasien
R:/ Dukungan psikologis dan motivasi dapat membuat pasien lebih percaya
diri
3) Kolaborasi dengan tim psikiater
R:/ Konseling dapat membantu mengatasi perasaan terhadap kesadaran diri
sendiri.
4) Rujuk pasien/ orang terdekat pada kelompok penyokong, seperti yayasan
epilepsi dan sebagainya.
R:/ Memberikan kesempatan untuk mendapatkan informasi, dukungan ideide untuk mengatasi masalah dari orang lain yang telah mempunyai
pengalaman yang sama.
5) Anjurkan keluarga untuk memberi motivasi kepada pasien
R:/ Keluarga sebagai orang terdekat pasien, sangat mempunyai pengaruh
besar dalam keadaan psikologis pasien
6) Beri informasi pada keluarga dan teman dekat pasien bahwa penyakit
epilepsi tidak menular
R:/ Menghilangkan stigma buruk terhadap penderita epilepsi (bahwa penyakit
epilepsi dapat menular).
Intervensi:
1) Observasi tanda tanda vital terutama suhu tubuh
2) R:/
peningkatan
suhu
tubuh
menandakan
terjadinya
peningkatan
metabolisme
3) Berikan kompres air hangat
R:/ Air hangat membantu peningkatan vasodilatasi pembuluh darah dan
membuka pori pori kulit agar mempercepat proses pengeluaran keringat
sehingga dapat menurunkan suhu tubuh.
4) Anjurkan banyak minum
R:/ untuk mencegah terjadinya dehidrasi karena pengeluaran keringat.
5) Kolaborasi dalam pemberian obat antipiretik
R:/ Antipiretik membatu mempercepat menurunkan panas
5. Diagnosa
5.
Defisit
perawatan
diri
berhubungan
dengan
kelemahan,
3) Motivasi klien agar mau melakukan latihan gerak secara bertahap, misalnya
miring kanan/kiri.
R:/ Agar klien mampu melakukan latihan gerak secara bertahap dan mampu
beraktifitas secara andiri.
4) Kolaborasi dengan ahli gizidalam pemenuhan nutrisi klien
R:/ Untuk memenuhi kebutuhan nutrisi klien.
6. Diagnosa 6. Gangguan persepsi sensori b.d gangguan pada nervus organ
sensori persepsi
Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama diharapkan organ sensori
dapat menerima stimulus dan menginterpretasikan dengan normal
Kriteri hasil:
1) Klien dapat mengenal lingkungan di sekitarnya
2) Klien tidak mengalami disorientasi ruang, waktu, tempat
Intervensi:
1) Observasi atau validasi persepsi pasien dan berikan umpan balik,
orientasikan kembali pasien secara teratur pada lingkungan, dan tindakan
yang akan dilakukan
R:/ Membantu pasien untuk memisahkan pada realitas dari perubahan
persepsi, gangguan fungsi kognitif yang dapat menjadi potensi timbulnya
disorientasi dan ansietas.
2) Buat jadwal istirahat yang adekuat/periode tidur tanpa ada gangguan
R:/ Mengurangi kelelahan, mencegah kejenuhan, memberikan kesempatan
untuk tidur REM (ketidakadaan tidur REM ini dapat meningkatkan gangguan
persepsi sensori)
3) Berikan kesempatan yang lebih banyak untuk berkomunikasi dan melakukan
aktivitas.
R:/ Agar dapat melatih klien utuk berinteraksi dengan lingkungan sehingga
dapat meningkatkan rangsangan persepsi sensori klien
4) Kolaborasi dengan ahli fisioterapi
R:/ Kolaborasi dengan ahli fisioterapi dapat membantu klien dalam melatih
persepsi sensori
2.4. Implementasi
Implementasi atau pelaksanaan tindakan keperawatan ini dilakukan setelah
menyusun rencana keperawatan sebelumnya dan disesuaikan dengan intervensi
keperawatan yang telah di rencanakan
2.5. Evaluasi
1. Pasien tidak mengalami cedera, tidak jatuh, tidak ada memar
2. Tidak ada obstruksi lidah, pasien tidak mengalami apnea dan aspirasi
3. Pasien dapat berinteraksi kembali dengan lingkungan sekitar, pasien tidak
menarik diri (minder)
4. suhu tubuh pasien kembali normal
5. klien mampu memenuhi ADL secara mandiri
6. Organ sensori dapat menerima stimulus dan menginterpretasikan dengan
normal
7. Ansietas pasien dan keluarga berkurang, pasien tampak tenang
8. Tidak terjadi gangguan perfusi jaringan.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner and Sudarth, 2002. Buku ajar keperawatan medikal-bedah. Jakarta ; EGC
Doenges, marilynn E. 2000. Rencana asuhan keperawatan. Jakarta, EGC
Ginsberg, L., 2005. Lecture Notes Neurologi. 8th ed.Indonesia: Penerbit Erlangga:72-75.
Nurarif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma.2015.Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc Jilid 3.Jogjakarta:Mediaction Jogja.
Masjoer, Arief.2000.Kapita Selekta kedokteran, Edisi 3 Jild 2. Jakarta : Media Aesculaplus.
Muttaqin, Arif.2008.Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan.Jakarta: Salemba Medika.
Tarwoto. 2007. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Persarafan.Jakarta: CV.
Sagung Seto.